Anda di halaman 1dari 81

1. R.

A Kartini

Nama : Raden Adjeng Kartini


Tempat Lahir : Jepara Jawa Tengah
Tanggal Lahir : Senin, 21 April 1879
Zodiac : Taurus
Wafat : 17 September 1904, Kab. Rembang
Warga Negara : Indonesia
Agama : Islam
Pasangan : K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat
Anak : Soesalit Djojoadhiningrat
Dikenal karena : Emansipasi wanita

Sudah banyak yang mengupas kisah mengenai sosok Kartini, salah satu tokoh pahlawan
wanita fenomenal dari Tanah Jawa, tepatnya di Jawa Tengah. Banyak penulis menuturkan
perjalanan hidup beliau yang menginspirasi lewat biografi, seperti yang dilakukan oleh
Sitisoemandari Soeroto dalam bukunya yang berjudul, ‘Kartini : Sebuah Biografi’. Dalam
buku tersebut diterangkan mengenai silsilah keluarga Kartini, sisi kehidupan yang menjadi
saksi perjuangan melalui tulisannya yang sarat akan kritik penyetaraan gender, nasionalisme
yang menggugah sampai ke negeri Belanda. Kumpulan tulisan kepada sahabat-sahabat
penanya di Belanda maupun surat-surat yang pernah ia buat dirangkum Armijn Pane dalam
sebuah buku berjudul, ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’, yang juga merupakan salah satu tema
surat yamg pernah beliau tuliskan. Berikut pemaparan mengenai Biografi Kartini mulai dari
perjalanan hidupnya, karyanya, semua yang bersangkutan mengenai Kartini, kontroversi
gelarnya, serta keturunan Kartini yang masih hidup. Semuanya disadur dari buku dan
beberapa sumber dari Internet.

Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat adalah nama lengkap beliau. Ia dilahirkan pada
tanggal 21 April 1879 di Mayong, Jepara, Jawa Tengah. Ayahnya yang bernama Raden Mas
Adipati Ario Sosroningrat merupakan seorang bupati Jepara. Kartini adalah keturunan
ningrat. Hal ini bisa dilihat dari silsilah keluarganya. Kartini adalah putri dari istri pertama,
tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari NyaiHaji Siti Aminah dan
Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah
Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI. Garis keturunan Bupati Sosroningrat
bahkan dapat ditilik kembali ke istana Kerajaan Majapahit. Semenjak Pangeran Dangirin
menjadi bupati Surabaya pada abad ke-18, nenek moyang Sosroningrat mengisi banyak posisi
penting di Pangreh Praja. Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong.
Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan.
Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan
Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan
itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah
kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.

Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara
sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro
IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun dan dikenal pada pertengahan abad ke-19 sebagai
salah satu bupati pertama yang memberi pendidikan Barat kepada anak-anaknya. Kakak
Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12
tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain
Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena
sudah bisa dipingit. Beliau bersekolah hanya sampai sekolah dasar. Ia berkeinginan untuk
melanjutkan sekolahnya, tapi tidak diizinkan oleh orangtuanya. Sebagai seorang gadis,
Kartini harus menjalani masa pingitan hingga sampai waktunya untuk menikah. Ini
merupakan suatu adat yang harus dijalankan pada waktu itu. Kartini hanya dapat memendam
keinginannnya untuk bersekolah tinggi.

Untunglah beliau gemar membaca dari buku – buku, koran, sampai majalah Eropa. Kartini
tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa .Kartini banyak membaca surat kabar
Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel
(paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah
kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De
Hollandsche Lelie. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat
judulMax Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah
dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian
karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja,
roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang
karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder(Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa
Belanda. Pikirannya menjadi terbuka lebar, apalagi setelah membandingkan keadaan wanita
di Eropa dengan wanita Indonesia. Sejak itu, timbullah keinginan beliau untuk memajukan
perempuan pribumi yang pada saat itu berada pada status sosial yang rendah. Ia ingin
memajukan wanita Indonesia melalui pendidikan. Untuk itu, beliau mendirikan sekolah bagi
gadis – gadis di Jepara, karena pada saat itu ia berdomisili di Jepara. Muridnya hanya
berjumlah 9 orang yang terdiri dari kerabat atau famili.

Di samping itu, ia banyak pula menulis surat untuk teman-temannya orang Belanda. Salah
satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dalam surat itulah ia
melampiaskan cita-citanya untuk menuntut persamaan hak dan kewajiban antara pria dan
wanita. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan akhirnya dimuat
diDe Hollandsche Lelie, sebuah majalah terbitan Belanda yang selalu ia baca. Dari surat-
suratnya, tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat
catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip
beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soalemansipasi wanita, tapi juga
masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan,
otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas.

Beliau sempat mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Belanda karena tulisan-tulisan


hebatnya, namun ayahnya pada saat itu memutuskan agar Kartini harus menikah dengan
R.M.A.A. Singgih Djojo Adhiningrat, Bupati Rembang kala ituyang sudah pernah memiliki
tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Sejak itu, Kartini harus hijrah
dari Jepara ke Rembang mengikuti suaminya. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan
Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu
gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan
sebagai Gedung Pramuka.

Kartini memiliki seorang anak lelaki bernama Soesalit Djojoadhiningrat, yang dilahirkan
pada tanggal 13 September 1904. Selang beberapa hari pasca melahirkan, Kartini tutup usia
pada tanggal 17 September 1904. Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Beliau dimakamkan
di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Untuk menghormati kegigihan beliau, didirikanlahSekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di
Semarang pada tahun1912, kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon
dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini
didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.Setelah Kartini wafat,
Mr.J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan
R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri
Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis
tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat
Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan
terakhir terdapat tambahan surat Kartini.

Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang
diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang merupakan
terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah
Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru. Armijn membagi buku menjadi
lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu
korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali. Surat-surat Kartini dalam
bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers. Selain itu, surat-surat
Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan Sunda.

Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian


masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan
masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang
tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional
Indonesia, antara lain W.R. Soepratman yang menciptakan lagu berjudul Ibu Kita Kartini.

Sayangnya, banyak kontroversi bermunculan dikarenakan ketetapan Ir. Soekarno, Presiden


pertama Republik Indonesia,melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun
1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan
Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap
tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.Bahkan lagu Ibu Kita
Kartini yang diciptakan oleh W.R. Supratman menjadi salah satu lagu nasional. Hal ini
menuai protes dari beberapa kalangan di Indonesia. Pengistimewaan Kartini terkesan pilih
kasih dari Pahlawan wanita Indonesia lainnya di berbagai belahan nusantara seperti Cut Nyak
Dien, Dewi Sartika, Maria Tiahahu, Rohana Kudus, yang beberapa diantara mereka menurut
para pengecam, telah ikut berperang langsung dengan para penjajah Belanda, dibandingkan
Kartini yang hanya menulis. Namun, apa yang dikatakan Oov Auliansyah pada halaman
(http://sosok.kompasiana.com/2013/04/21/kartinitak-layak-jadi-pahlawan-nasional-
553170.html) ada benarnya, ia mengatakan bahwa, “...Kartini telah berfikir tentang
perssamaan gender di awal 1900. Berbicara tentang wanita yg berhak mendapat pendidikan
selayaknya kaum laki-laki (laki-laki bangsawan & Belanda, SAAT itu diskriminasi cukup
kuat).

Kartini melawan diskriminasi Belanda terhadap pribumi dan kesewenang-wenangan Belanda


lewat suratnya kepada sahabat-sahabatnya di Belanda, akhirnya mampu menggugah hati
pemerintah Belanda dan membangun pendidikan di Jawa. Kartini adalah anak kaum
bangsawan, bisa dibilang seorang borjuis kecil, tapi kemudian dia memilih sendiri turun
menjadi proletar.
Surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat
Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda
terhadap perempuan pribumi di Jawa, sehingga menimbulkan simpati dari masyarakat
Belanda dan menentang kebijakan-kebijakan parlemen Belanda yg merugikan kaum pribumi
Jawa...Kartini telah memikirkan tentang pendidikan kaum wanita di masyarakat Jawa pada
waktu itu yg terpaku dengan segala adat-adatnya yang kaku, seolah wanita sudah tidak perlu
pendidikan, bisa bahasa Belanda saja sudah cukup, kemudian tinggal menunggu dinikahi dan
kemudian dimadu.Kartini telah memikirkan ini di awal 1900-an.

Bahkan ada yang menyangsikan gelar Kartini sebagai Pahlawan Nasional dikarenakan beliau
hanya menulis. Namun hal ini dibantah oleh beberapa pendapat dari halaman
(http://pustakailmudotcom.wordpress.com/2014/02/23/kartini-layak-menjadi-pahlawan/)
yang menyatakan bahwa, “... Kartini memang tak bisa mewujudkan mimpinya (akhirnya
dipoligami), tapi dia meninggalkan tulisan-tulisan yang dahsyat. Itu sudah cukup.
Sebenarnya Soekarno tidak keliru memilih Kartini sebagai Pahlawan Nasional…Surat
Kartini jadi biasa bagi pembaca yang sudah mengenyam pendidikan. Coba dirimu di era
pingitan atau 1890-an…Kartini memang bukan penggerak orang. Ia tak pernah berorasi. Juga
tak punya Taman Siswa seperti Ki Hajar Dewantara, tapi siapa yang menghubungi Oost en
West untuk memulai lagi kerajinan tangan asli Hindia Belanda? Itu Kartini! Siapa yang
menggelar pameran kerajinan PERTAMA asli Hindia Belanda sampai London
memperhatikan batik nasional? Kartini! @AndiChamomile.

Siapa yang ngobrol soal “feodalisme” sampai akhir tahun 1900-an dan itu di balik dinding
ruang pingitan? Kartini! FYI: setahuku hanya surat-surat Kartini yang komprehensif
membicarakan itu semua. Aku gak ngomongin profil lho ya, bukan!...Pahlawan itu tidak
harus angkat senjata dan menyelam di lautan pertempuran. Itu pertimbangan
Soekarno...Kalau sampean bilang tulisan Kartini biasa-biasa saja, sungguh aku harus bilang:
Kamu harus (benar-benar) banyak baca!!! Pemimpin redaksi De Echo di Jogjakarta saat itu
sampai minta ortunya Kartini biar mau nulis buat rubrik khusus. Koran-koran Belanda itu
ngemis tulisan Kartini. Kartini sering nolak. Sampai-sampai ia harus pake anonim “Tiga
Saudara” kalo nulis lho...kalau menilai tulisan Kartini biasa-biasa saja, kamu benar-benar
harus banyak baca! Tanpa Kartini, dunia memang tahu Hindia Belanda. Tapi siapa sih yang
tahu soal Koja kalau bukan dari reportase Kartini?Serius, Kartini tuh mereportase, dan
bertitimangsa 1890-an. Ini soal sejarah Kepala Bumipuetra pertama di Indonesia…Kartini
jadi pahlawan karena ia meninggalkan tulisan. Tulisannya bukan pepesan
kosong…Pemikiran Kartini jauh melampaui orang-orang di zamannya, bahkan bangsawan
dan lelaki sekalipun http://t.co/3qHSxKHWkA...Kalau meragukan tulisan karya Kartini
adalah benar-benar dari Kartini, mungkin karena riset itu tidak tercantum nama Kartini
sebagai penulisny... Kartini sering nulis. kadang disimpen di lemari. Saat KITLV datang,
tulisan Kartini disetorkan sendiri oleh ayahnya...Sangat disayangkan kalau masih ada yang
menyangsikan kepahlawanan Kartini hanya karena ia akhirnya dipoligami, padahal suaranya
anti-feodal…Kalau mau baca barang sebentar tulisan-tulisan Kartini, pasti terdiam.
Perempuan sehebat ini tidak salah jika disebut Pahlawan Nasional!”

Berikut serba – serbi Kartini yang disadur dari sebuah halaman blog :

1) Majalah Kartini
"Kartini adalah majalah wanita yang didirikan oleh Lukman Umar. Majalah Kartini pertama
kali diterbitkan pada tahun 1973 dan sangat populer di Indonesia. Edisi bahasa Indonesianya
diterbitkan oleh Kartini Group. Selain edisi cetaknya, ada pula edisi online nya."
2) Nama Universitas
Nama bu Kartini di jadikan nama salah satu Universitas di Surabaya, tepatnya di Jl. Raya
Nginden No. 19-23 Surabaya, Jawa Timur. Perguruan Tinggi Swasta ini berdiri sejak tahun
1986, yang terletak di kawasan Surabaya Timur dengan empat lantai. Kampus ini membuka
program D3, S1, dan S2 yang memiliki fakultas hukum, ekonomi, tehnik dan
pariwisata.Walaupun namanya Universitas Kartini, tapi kampus ini tidak hanya untu
perempuan saja.

3) Nama Film
R.A. Kartini adalah sebuah filmdramaperjuanganIndonesia yang diproduksi pada tahun 1984.
Film yang disutradarai oleh Sjumandjaja ini dibintangi antara lain oleh Yenny Rachman,
Bambang Hermanto dan Adi Kurdi. Film ini mengisahkan tentang perjuangan R.A. Kartini
dalam memperjuangkan hak kaum wanita Indonesia yang pada saat itu masih belum
disetarakan dengan hak-hak kaum pria dalam hal mendapatkan pendidikan dan sebagainya
(emansipasiwanita).

4) Nama Museum
Jika anda datang ke Kota Jepara jangan lewatkan untuk mampir ke Museum R.A.Kartini
yang berada di tengah-tengah jantung Kota Jepara, Jalan Alun-alun No.1 Jepara sebelah barat
daya Pendapa Kabupaten Jepara. Lokasinya memang sangat strategis, persisnya sebelah timur
Kantor Pusat Pemerintahan Kabupaten, sebelah selatan Alun-alun dan Masjid Besar, sebelah
barat Kodim Jepara dan sebelah utara shopping centre ( Pusat Perbelanjaan ).

Museum R.A.Kartini sendiri didirikan pada tanggal 30 Maret 1975 atas usulan wakil-wakil
rakyat Jepara dan didukung bantuan dari mantan Presiden Soeharto, pada era Jepara dipimpin
oleh Bupati Suwarno Djojo Mardowo, S.H. dan diresmikan pada tanggal 21 April 1977 tepat
seabad peringatan R.A.Kartini oleh Bupati Jepara, Sudikto S.H. Museum ini didirikan
sebagai penghargaan terhadap R.A.Kartini perintis emansipasi Wanita Indonesia.Dan saat ini
dikelola oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di bawah Pemerintah Daerah kabupaten
Jepara.

Museum R.A.Kartini berdiri di atas tanah seluas 5.210 meter persegi, dengan luas bangunan
890 meter persegi yang terdiri atas beberapa gedung. Selain menyajikan benda-benda
peninggalan R.A.Kartini maupun kakaknya R.M.P. Sosrokartono, juga menyimpan benda-
benda kuno peninggalan sejarah dan budaya hasil temuan di wilayah Kabupaten Jepara.

5) Nama Pantai
Obyek Wisata Pantai Kartini terletak 2,5 km ke arah barat dari Pendopo Kabupaten Jepara.
Obyek wisata ini berada di kelurahan Bulu kecamatan Jepara dan merupakan obyek wisata
alam yang menjadi dambaan wisatawan.
Berbagai sarana pendukung seperti dermaga, sebagian aquarium Kura-kura, motel, permainan
anak-anak (komedi putar, mandi bola, perahu arus), dan lain-lain telah tersedia untuk para
pengunjung. Suasana di sekitar pantai yang cukup sejuk memang memberikan kesan
tersendiri buat pengunjung, sehingga tempat ini sangat cocok untuk rekreasi keluarga atau
acara santai lainnya.

Pantai Kartini menduduki peringkat pertama apabila dilihat dari jumlah pengunjungnya. Hal
ini karena pantai Kartini yang mempunyai luas sekitar 3,5 hektar ini memiliki potensi alam
berupa pemandangan pantai yang indah, ombak yang kecil dengan pasir putihnya, serta
topografi pantai yang landai. Selain dapat menikmati indahnya pantai Kartini, kita dapat juga
menikmati naik perahu atau kapal motor menuju pulau Panjang atau pulau Karimunjawa.
Sementara disekitar pantai Kartini kita dapat menikmati berbagai fasilitas.

6) Nama Penghargaan
Kartini Award adalah kegiatan tahunan organisasi yang dibentuk pada tahun 1995, bagi para
wanita yang telah melakukan hal-hal inspiratif dalam kehidupannya. Tahun ini ada 7
perempuan inspiratif yang menerima penghargaan WITT-Kartini Award 2014.

7) Nama Jalan di Belanda


*Utrecht: Di Utrecht Jalan R.A. Kartini atau Kartinistraat merupakan salah satu jalan utama,
berbentuk 'U' yang ukurannya lebih besar dibanding jalan-jalan yang menggunakan nama
tokoh perjuangan lainnya seperti Augusto Sandino, Steve Biko, Che Guevara, Agostinho
Neto.

*Venlo: Di Venlo Belanda Selatan, R.A. Kartinistraat berbentuk 'O' di kawasan Hagerhof, di
sekitarnya terdapat nama-nama jalan tokoh wanitaAnne Frank dan Mathilde Wibaut.

*Amsterdam: Di wilayah Amsterdam Zuidoost atau yang lebih dikenal dengan Bijlmer, jalan
Raden Adjeng Kartini ditulis lengkap. Di sekitarnya adalah nama-nama wanita dari seluruh
dunia yang punya kontribusi dalam sejarah: Rosa Luxemburg, Nilda Pinto, Isabella
Richaards.

*Haarlem: Di Haarlem jalan Kartini berdekatan dengan jalan Mohammed Hatta, Sutan
Sjahrir dan langsung tembus ke jalan Chris Soumokilpresiden kedua Republik Maluku
Selatan.

Berikut bukti mengenai jejak keturunan Kartini

Tulisan ini disadur dari sebuah halaman blog mengenai hal yang bersangkutan :
“……. yang menggerakkan saya untuk menulis artikel ini adalah karena saya telah menikah
selama hampir 7 (tujuh) tahun dengan salah satu keturunan RA. Kartini dan K.R.M. Adipati
Ario Singgih Djojo Adhiningrat, seorang bupati dari Rembang. Yuppp.. seperti model
keluarga Jawa pada umumnya, pertemuan keluarga rutin diadakan tiap bulan di rumah
keturunan Beliau. Apalagi menjelang tanggal 21 April seperti ini, biasanya akan dikirimkan
utusan keluarga dari berbagai daerah untuk khusus nyekar ke makam Beliau di
Rembang……..” ;
Ketika tengah mencari info tentang silsilah dan keturunan R.A. Kartini, kami temukan
paragraf di atas yang merupakan petikan dari alamat situs http://mubarika-
darmayanti.com/1303/ra-kartini-1001-perempuan-yang-berpengaruh-di-dunia-sosialmedia/ .
Ya, Mubarika Darmayanti seorang blogger Indonesia mengaku bahwa dia telah menjadi
bagian keluarga besar R.A. Kartini sejak 7 tahun yang lalu. Menilik beberapa temuan yang
ada, kami rasa Mubarika Darmayanti bukanlah seorang pembual.
Dari sumber artikel ke [2] yang menceritakan kepada kita sedikit kisah tentang Singgih/ RM
Soesalit (keturunan semata wayang dari R.A Kartini) sebagai berikut : “… RM Soesalit
pernah menjabat sebagai Panglima Divisi III/ Diponegoro di kota Yogyakarta dan Magelang (
periode 1 Oktober 1946 – 1 Juni 1948) dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. RM Soesalit
menikahi Gusti Bendoro A.A Moerjati, putri Susuhunan Paku Buono IX dan mempunyai dua
putri yaitu R.A Srioerip dan R.A Sri Noerwati (putra pertama meninggal dan istri RM
Soesalit meninggal saat melahirkan putri kedua). Dalam perjalanan waktu, RM Soesalit
memperistri Ray. Loewiyah Soesalit DA dan mempunyai Putra tunggal, yaitu : RM. Boedi
Setiyo Soesalit (cucu RA Kartini) yang menikahi Ray. Sri Biatini Boedi Setio Soesalit. Dari
pernikahan itu dikarunia 5 orang anak (cicit dari R.A Kartini) yakni: RA. Kartini Setiawati
Soesalit, RM. Kartono Boediman Soesalit,RA Roekmini Soesalit, RM. Samingoen
Bawadiman Soesalit, dan RM. Rahmat Harjanto Soesalit. Mayjen RM Soesalit Djojo
Adiningrat sendiri meninggal di sebuah ruangan di bangsal Pavilliun Rumah Sakit RSPAD
pada 17 Maret 1962, tepat jam 05.30 WIB, di makamkan di desa Bulu, Rembang dekat
dengan makam ibundanya RA Kartini. Tepat tanggal 21 April 1979, alm Mayjen RM Soesalit
Djojo Adiningrat mendapat anugerah dari Pemerintah Republik Indonesia berupa Tanda
Kehormatan Bintang Gerilya… ”
Itulah salah satu bukti bahwa hingga saat ini masih ada keturunan/keluarga asli dari Raden
Ajeng Kartini.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu menghargai jasa-jasa para
pahlawannya.”
“Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa
diperbuat orang atas nama agama itu - (R.A Kartini).”
“Tiada awan di langit yang tetap selamanya. Tiada mungkin akan terus-menerus
terang cuaca. Sehabis malam gelap gulita lahir pagi membawa keindahan. Kehidupan
manusia serupa alam. - R. A. Kartini ”
“Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak
akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya. - R. A. Kartini.”
“Tahukah engkau semboyanku? Aku mau! Dua patah kata yang ringkas itu sudah
beberapa kali mendukung membawa aku melintasi gunung keberatan dan kesusahan.
Kata "Aku tiada dapat!" melenyapkan rasa berani. Kalimat "Aku mau!" membuat
kita mudah mendaki puncak gunung. - R. A. Kartini.”
“Dan biarpun saya tiada beruntung sampai ke ujung jalan itu, meskipun patah di
tengah jalan, saya akan mati dengan merasa berbahagia, karena jalannya sudah
terbuka dan saya ada turut membantu mengadakan jalan yang menuju ke tempat
perempuan Bumiputra merdeka dan berdiri sendiri. - R. A. Kartini”

Penghargaan R.A Kartini


 Tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan
 Setiap tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang
kemudian dikenal sebagai Hari Kartini
 Namanya dijadikan nama jalan di beberapa kota di Belanda. Seperti di Utrecht,
Venlo, Amsterdam, Haarlem

Sumber :
Jeparadise.org. “Mencari Jejak Keturunan R.A. Kartini”. 26 Oktober 2014.
http://www.jeparadise.org/mencari-jejak-keturunan-r-a-kartini/
2. KI HAJAR DEWANTARA

Nama : Ki Hadjar Dewantara


Lahir : 2 Mei 1889, Kota Yogyakarta, Indonesia
Meninggal : 28 April 1959, Kota Yogyakarta, Indonesia
Makam : Taman Wijaya Brata
Pendidikan : School tot Opleiding van Indische Artsen
Warga Negara : Indonesia
Zodiac : Taurus
Agama : Islam

Ki Hajar Dewantara lebih dikenal sebagai Bapak pendidikan Indonesia. Nama asli ki hajar
dewantara adalah Raden Mas suwardi suryaningrat. Beliau merupakan keturunan dari keraton
Yogyakarta. Pada umur 40 tahun, beliau merubah namanya menjadi Ki Hajar Dewantara.
Beliau tidak memakai gelar nama kebangsaannya lagi dikarenakan beliau ingin lebih dekat
dengan layar secara fisik maupun hatinya. Biografi Ki hajar dewantara memang penuh
pengabdian kepada Indonesia. Sudah banyak sekali hal bermanfaat yang dilakukan oleh
beliau.

Ki hajar dewantara bersekolah di ELS yang dulu merupakan sekolah dasar Belanda.
Selanjutnya beliau juga melanjutkan sekolah di STOVIA yang merupakan sekolah dokter
untuk bumiputera. Tetapi selama sekolah di Stovia beliau tidak sampai tamat dikarenakan
sakit. Hal ini juga banyak diceritakan disemua buku biografi Ki Hajar Dewantoro. Beliau
juga pernah bekerja menjadi wartawan diberbagai media cetak terkenal pada masa itu. Seperti
mideen java, sedyotomo, De ekpress, kaoem moeda, poesara, oetoesan hindia, dan tjahaja
timoer. Tulisan beliau diberbagai media tersebut sangat komunikatif dan juga kritis, sehingga
dapat meningkatkan semangat rakyat pada masa itu.

Ketika membahas tentang biografi Ki hajar dewantara memang tidak pernah ada habisnya.
Ada banyak sekali hal yang harus kita banggakan untuk beliau. Pada tahun 1908 beliau aktif
sebagai pengurus di organisasi boedi oetomo. Selanjutnya beliau juga membuat organisasi
sendiri bersama Douwes Dekker atau lebih dikenal dengan Dr. Danudirdja Setya Budhi dan
Dr Cipto Mangoekoesoemo mendirikan sebuah organisasi yang bernama Indische Partij pada
tanggal 25 desember tahun 1912. Organisasi ini merupakan partai politik pertama di
Indonesia yang beraliran nasionalisme untuk mencapai Indonesia merdeka. Ketika ingin
mendaftarkan partai ini, mereka di tolak oleh Belanda, karena dianggap menumbuhkan
nasionalisme pada rakyat.

Dengan ditolaknya partai tersebut, mereka akhirnya komite boemi poetra yang digunakan
untuk membuat kritik ke pemerintahan Belanda. Mereka menulis berbagai kritikan untuk
pemeritahan Belanda yang dimuat di surat kabar De ekpress yang pemiliknya pada saat out
adalah Douwe Dekker. Dalam tulisan tersebut mereka mengatakan bahwa tidak mungkin
merayakan kemerdekaan, di Negara yang sudah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Karena
tulisannya itu beliau di buang ke pulau Bangka, sebagai hukuman pengasingannya oleh
pemerintahan Belanda. Cerita ini banyak ditemukan di buku-buku biografi ki hajar
dewantara.

Setelah pulang dari pengasingan dan sempat melakukan perjalanan ke Belanda. Beliau
akhirnya mendirikan taman siswa. Selama pendirian taman siswa ini banyak sekali tantangan
dan halangan dari pihak pemerintahan Belanda. Dengan segala kegigihannya, akhirnya taman
siswa mendapatkan ijin berdirinya. Setelah masa kemerdekaan, beliau menjabat sebagai
menteri pendidikan dan kebudayaan. Jika kalian mengunjungi Yogyakarta, anda bisa
mengunjungi museum yang didedikasikan untuk ki hajar dewantara. Sekian artikel tentang
biografi Ki Hjar Dewantara, semoga dapat memberikan informasi untuk anda.

Karir Ki Hajar Dewantara


 Pendiri perguruan Taman Siswa

Penghargaan Ki Hajar Dewantara


 Gelar doktor kehormatan (Doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari Universitas Gadjah
Mada
 Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari
Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28
November 1959
3. IMAM BONJOL

Nama : Tuanku Imam Bonjol


Lahir : 1772, Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia
Meninggal : 6 November 1864, Kota Manado, Indonesia
Makam : Desa Lotta Kec. Pineleng, Minahasa, Sulawesi Utara
Warga Negara : Indonesia
Ayah / Ibu : Bayanuddin / Hamatun
Agama : Islam

Ada banyak sekali pahlawan Indonesia yang harus kita kenang sejarahnya dan selalu kita
banggakan. Bangsa yang hebat adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Salah satu
pahlawan yang sangat berjasa untuk Indonesia adalah Tuanku Imam Bonjol. Nama asli dari
tuanku imam bonjol adalah Muhammad sahib atau Petto syarif. Ayah beliau merupakan
seorang guru agama yang bernama Buya nurdin. Ilmu agama yang beliau dapat juga dari
ayahannya. Tuanku imam bonjol merupakan seorang guru agama di daerah bonjol. Oleh
karena itu namanya berubah menjadi tuanku imam bonjol.

Pada tahun 1821 terjadi perang padrie yang di pimpin oleh tuanku imam bonjol. Perang ini
merupakan perang antara kaum padre yang ingin belajar agama dengan baik dan benar
melawan kaum adat yang dimotori oleh pemerintahan Belanda. Dengan perlawanan yang
keras dari kaum padre membuat seluruh pasukan Belanda menjadi menyerah. Pada tahun
1824 pemerintahan Belanda mengadakan perjanjian damai yang lebih dikenal dengan
perjanjian masang. Tetapi tidak membutuhkan waktu yang lama, perjanjian damai tersebut
juga dilanggar sendiri oleh pemerintahan Belanda. Cerita tentang pernah padrie dan
perjanjian masang banyak diceritakan di berbagai buku biografi Tuanku imam bonjol.
Pada saat Belanda melanggar perjanjian tersebut, rakyat padrie dan juga dari kaum adat
akhirnya sadar kalau semua hal tersebut hanya akan merugikan rakyat Sumatra barat dan
membuat Belanda dapat masuk ke daerah minangkabau. Akhirnya warga padrie dan kaum
adat juga melakukan perjanjian damai sendiri yang ditulis di plakat tabek patah. Pada tahun
1833 akhirnya seluruh rakyat miangkabau sumatera barat bersatu untuk mengusir Belanda
dari tanah mereka. Akhirnya Belanda selama 3 tahun menyerah dna tidak dapat menguasai
daerah bonjol yang merupakan daerah incaran mereka. Jika membaca buku biografi tuanku
imam bonjol, anda akan tahu bagaimana perjuangan tuanku imam bonjol melawan penjajah
Belanda.

Selanjutnya Belanda mengeluarkan pasukan lebih banyak yang lebih dikenal dengan pasukan
sepoys. Hampir 6000 pasukan Belanda mengepung seluruh daerah di bonjol. Akhirnya
daerah bonjol baru dapat direbut oleh Belanda pada 16 agustus tahun 1837. Tunaku imam
bonjol dibuang oleh Belanda ke daerah cianjur, kemudian pindah ke ambon dan akhirnya
beliau pindah ke lontan daerah manado. Beliau wafat pada tanggal 6 november tahun 1864 di
pembuangan terakhirnya yaitu di manado. Melihat semua perjuangan beliau di buku biografi
tuanku imam bonjol, memang sangat besar rasa cinta beliau terhadap Indonesia.

Rasa juang dan patriotisme yang sangat tinggi harus selalu kita junjung dari beliau. Beliau
adalah seorang pemimpin yang sangat baik, selain itu beliaulah yang mengajarkan tentang
agama islam di seluruh tanah minangkabau. Beliau tidak hanya mementingkan kehidupannya
sendiri. beliau juga memperjuangkan semua kepentingan rakyat dan benar-benar berjuang
untuk mengusir Belanda dari sumatera barat. Itulah sedikit cerita tentang biografi tuanku
imam bonjol. Semoga dapat dijadikan inspirasi.

Penghargaan Tuanku Imam Bonjol


 Pahlawan Nasional Indonesia SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973
Profil I Gusti Ngurah Rai

Nama : I Gusti Ngurah Rai


Lahir : Petang, Kabupaten Badung, Bali, Hindia Belanda | 30 Januari 1917
Meninggal : Marga, Tabanan, Bali | 20 November 1946 (umur 29)
Makam : Taman Makam Pahlawan Margarana Bali
Agama : Hindu
Zodiac : Aquarius
Warga Negara : Indonesia

I Gusti Ngurah Rai, adalah pahlawan nasional dari daerah Bali. Terkenal dengan gagasan
perangnya yakni Puputan Margarana yang berarti perang secara habis-habisan di daerah
Margarana (Kecamatan di pelosok Kabupaten Tabanan, Bali). Memiliki darah pejuang
dengan tanah kelahiran Badung, Bali pada 30 Januari 1917. Ia merupakan anak camat yang
bernama I Gusti Ngurah Palung. Hal ini pula yang menjadikan ia berkesempatan untuk
bersekolah formal di Holands Inlandse School (HIS). Untuk mengenal lebih mendalam, mari
kita ulas bersama biografi I Gusti Ngurah Rai.

Biografi I Gusti Ngurah Rai diawali dengan perjalanan pendidikannya di masa kecil. I Gusti
Ngurah Rai memilih untuk mengawali pendidikan formalnya di Holands Inlandse School di
Bali. Setelah tamat dari HIS ia melanjutkan ke MULO (setingkat Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama) di Malang. Selanjutnya ia memperdalam ilmu kemiliterannya di Prayodha Bali,
Gianyar dilanjutkan pendidikan di Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO) di
Magelang dan pendidikan Arteri Malang. Berkat pendidikan militer yang banyak serta
kecerdasan yang ia miliki, ia sempat menjadi intel sekutu di daerah Bali dan Lombok.

Biografi I Gusti Ngurah Rai berlanjut pada masa perjuangan melawan penjajah colonial.
Setelah pemerintahan Indonesia merdeka, I Gusti Ngurah Rai membentuk Tentara Keamanan
Rakyat (TKR) Sunda Kecil dan di Bali dan memiliki pasukan bernama Ciung Wanara.
Pasukan ini dibentuk untuk membela tanah air guna melawan penjajah di daerah Bali.
Sebagai seorang Komandan TKR di Sunda Kecil dan, ia merasa perlu untuk melakukan
konsolidasi ke Yogyakarta yang menjadi markas TKR pusat. Sampai di Yogyakarta I GUsti
Ngurah Rai dilantik menjadi komandan Resimen Sunda Kecil berpangkat Letnan Kolonel.
Sekembalinya dari Yogyakarta dengan persenjataan, I Gusti Ngurai Rai mendapati Bali telah
dikuasai oleh Belanda dengan mempengaruhi raja-raja Bali.

Biografi I Gusti Ngurah Rai berlanjut dengan meletusnya perang di Bali. Setelah
kepulangannya dari Yogyakarta Ia mendapati pasukan Belanda dengan 2000 pasukan dan
persenjataan lengkap dan pesawat terbang siap untuk menyerang I Gusti Ngurah Rai dengan
pasukan kecilnya. Bersama dengan pasukan Ciung Wanaranya, I Ngurah Rai berhasil
memukul mundur pasukan Belanda pada saat itu pada tanggal 18 November 1946. Namun
hal ini justru membuat pihak Belanda menyiapkan bala tentara yang lebih banyak dari Pulau
Jawa, Madura dan Lombok untuk membalas kekalahannya. Pertahanan I Gusti Ngurah Rai
berhasil dipukul mundur dan hingga akhirnya tersisa pertahanan Ciung Wanara terakhir di
desa Margarana. Kekuatan terakhir ini pun dipukul mundur lantaran seluruhnya pasukannya
jatuh ke dasar jurang. Hal ini pulalah yang diabadikan dengan istilah puputan Margarana
(perang habis-habisan di daerah Margarana) pada tanggal 20 November 1946.

Berkat usaha yang gigih memperjuangkan Bali untuk masuk menjadi kekuasaan Indonesia
(sesuai kesepakatan Linggarjati hanya Sumatra, Jawa, dan Madura yang masuk kekuasaan
Indonesia) Ngurah Rai mendapat gelar Bintang Mahaputra dan dan kenaikan pangkat
menjadi Brigjen TNI (Anumerta). Ia meninggal pada usia 29 tahun dan memperoleh gelar
pahlawan nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 63/TK/1975 tanggal 9 Agustus 1975.
Namanya pun diabadikan menjadi nama Bandara di kota Bali.

Pendidikan I Gusti Ngurah Rai


 HIS, Denpasar
 MULO, Malang
 Prayodha Bali, Gianyar, Bali
 Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO), Magelang
 Pendidikan Artileri, Malang

Karir I Gusti Ngurah Rai


 Brigjen TNI (anumerta)
 Letnan Kolonel
 Letnan II

Penghargaan I Gusti Ngurah Rai


 Bintang Mahaputra
 Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI no 63/TK/1975 tanggal 9 Agustus
1975

Sumber: http://profil.merdeka.com/indonesia/i/i-gusti-ngurah-rai/
Profil Bung Tomo

Nama : Sutomo (Bung Tomo)

Lahir : Surabaya, Minggu, 3 Oktober 1920

Meninggal : Padang Arafah, Arab Saudi, 7 Oktober 1981 (umur 61 tahun)

Dikenal karena : Pahlawan Nasional Indonesia

Agama : Islam

Nama Orangtua : Kartawan Tjiptowidjojo

Pasangan : Sulistina Sutomo

Anak :5

Masyarakat indonesia memperingati hari pahlawan pada sepuluh november, yang didasarkan
pada peperangan besar di Surabaya antara Indonesia melawan tentara NICA yang
mendompleng sekutu, peperangan yang bermula dari insiden pengibaran bendera belanda di
hotel yamato ini berkembang menjadi peperangan yang menumpahkan banyak darah dan
merupakan peperangan paling besar yang pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia
setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia yang saat itu sudah merdeka dilecehkan oleh
tentara sekutu yang ternyata membawa pasukan belanda untuk merebut kembali indonesia
dengan alasan melucuti tentara jepang dan membebaskan tawanan perang, biografi bung
tomo akan menceritakan sejarah berdarah tersebut.

Bung tomo yang memiliki nama lengkap Soetomo adalah laki-laki kelahiran Surabaya pada
tanggal 02 Oktober 1920, merupakan putra dari Kartawan Tjiptowidjojo terlahir dari keluarga
kelas menengah setengah priyayi, bung tomo juga menempuh pendidikan yang hampir setara
dengan anak-anak kompeni saat itu, padahal waktu itu sangat sulit mendapatkan akses
pendidikan bagi warga pribumi, bung tomo muda juga aktif mengikuti berbagai macam
organisasi, salah satunya adalah organisasi kepanduan bangsa indonesia yang juga
merupakan organisasi cikal bakal pramuka di indonesia, bung tomo sendiri mengatakan
bahwa selama bergabung dengan organisasi ini banyak sekali hal yang ia pelajari sebagai
landasannya memperjuangkan negara indonesia, mengetahui biografi bung tomo merupakan
hal yang sangat penting untuk menumbuhkan rasa nasionalisme generasi muda indonesia.

Bung tomo juga memiliki karir yang cemerlang di segala bidang yang pernah bung tomo
geluti, diantaranya adalah sebagai jurnalist, bung tomo memiliki minat yang sangat tinggi
terhadap dunia jurnalistik pada masa mudanya, puncak karir bung tomo di dunia jurnalistik
adalah menjadi pemimpin redaksi pada kantor berita antara, membahas biografi bung tomo
dengan pertempuran sepuluh november yang sangat sengit tidak bisa terlepas dari peran
ulama-ulama dan kyai-kyai di jawa timur, diantaranya adalah KH. Wahab Chasbullah yang
saat itu menjabat sebagai panglima laskar Hizbullah yang berada di garis terdepan
peperangan sepuluh november.

Selepas peperangan melawan penjajah bung tomo sempat terjun ke dunia politik dengan
menjadi menteri negara Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Veteran dan juga pernah
menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi namun pada kenyataannya hati
bung tomo tidak terpuaskan dan seringkali merasa kecewa dengan keputusan-keputusan
politik saat itu, biografi bung tomo bisa sangat panjang jika membahas hal ini.

Bung tomo mengalami kekecewaan yang sangat mendalam terhadap model pemerintahan
orde baru yang di pimpin oleh soeharto, sehingga membuatnya menjadi lantang meneriakkan
ketidak adilan yang dilakukan oleh pemerintahan orde baru, sehingga pada puncaknya bung
tomo sempat dipenjara oleh pemerintah orde baru yang merasa khawatir dengan protes dan
kritik yang dilakukan oleh bung tomo, demikian biografi bung tomo semoga dapat
meningkatkan rasa nasionalisme kita.
“Merdeka atau mati !”
"Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat
membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, selama itu kita tidak akan mau
menyerah kepada siapa pun juga."
“Kita tunjukkan bahwa kita adalah benar-benar orang yang ingin merdeka. Lebih baik
kita hancur lebur daripada tidak merdeka”

Karir Bung Tomo


 KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia)
 Gerakan Rakyat Baru
 Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran, 1955-1956
 Menteri Sosial Ad Interim, 1955-1956
 Anggota DPR yang mewakili Partai Rakyat Indonesia, 1956-1959

Penghargaan Bung Tomo


 Pahlawan Nasional
PROFIL SOEKARNO

Nama lahir : Kusno Sosrodihardjo


Lahir : Surabaya, Jawa Timur, 6 Juni 1901
Meninggal : Jakarta, 21 Juni 1970 (umur 69)
Makam : Blitar, Jawa Timur
Kebangsaan : Indonesia
Zodiac : Gemini
Jabatan : Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945–1966
Ayah : Raden Soekemi Sosrodihardjo
Ibu : Ida Ayu Nyoman Rai

Siapa yang tidak kenal dengan Ir. Soekarno. Semua orang di Indonesia pasti kenal dengan
beliau. Beliau adalah Presiden pertama Republik Indonesia. Sebagai rakyat Indonesia dan
mencintai sejarah, anda harus mengetahui biografi Ir.Soekarno. beliau merupakan sosok yang
banyak dikagumi oleh semua orang. Berkat perjuangan beliau, Indonesia bisa merdeka dari
tangan para penjajah. Bapak ir. Soekarno lebih dikenal dengan nama bung karno. Beliau lahir
di Blitar pada tanggal 6 juni 1901. Nama asli dari Bung karno adalah Koesno Sosrodiharjo.
Mari kita bahas lebih lanjut tentang perjalanan hidup bung karno.

Nama Soekarno diberi ketika soekarno sering mengalami sakit ketika memiliki nama Koesno
Sosrodiharjo. Menurut orang zaman dulu, orang tersebut keberatan nama sehingga sering
sakit. Dari beberapa buku biografi Ir soekarno menyebutkan bahwa nama dari bapak Ir
soekarno adalah Raden Soekemi Sosrodihardjon dan beliau mempunyai ibu yang bernama
Ida Ayu Nyoman Rai. Bung karno meninggal dunia pada umur 69 tahun yaitu pada tanggal
21 juni 1970 di Jakarta. Banyak sekali sejarah yang menceritakan tentang masa-masa
kejayaan beliau. Ketika masih kecil beliau tinggal bersama kakeknya di daerah Tulungagung,
jawa timur.
Pada saat beliau berumur 14 tahun beliau diajak untuk tinggal di Surabaya dan bersekolah di
Hoogere Burger School (H.B.S) oleh teman ayahnya yang bernama Oemar Said
Tjokroaminoto. Dari buku biografi Ir. Soekarno diceritakan bahwa beliau mulai kenal dengan
pemimpin serikat islam pada saat beliau tinggal di Surabaya. Pada saat itu serikat islam di
pimpin oleh Bapak Tjokroaminoto. Pada saat itu juga soekarno mulai gabung dengan
organisasi Pemuda java atau Jong Java. Bung karno tamat dari sekolah hoogere burger
School pada tahun 1920. Setelah itu beliau melanjutkan sekolah di ITB yang dulu bernama
Technische Hoge School dan lulus pada tahun 1925.

Jika melihat dari biografi Ir. Soekarno beliau banyak mendirikan dan bergabung dengan
berbagai organisasi. Pada saat tinggal di bandung, beliau pernah mendirikan organisasi
Algemene Studi Club pada tahun 1926. Pada tahun 1927 Ir soekarno merubah organisasi ini
menjadi Partai Nasional Indonesia. Ketika mendirikan Partai Nasional Indonesia inilah, bung
karno ditangkap oleh Belanda pada bulan desember 1929 dan beliau dibebaskan pada bulan
desember tahun 1931. Hal itu juga dikarenakan Pledoi Indonesia menggugat yang sangat
terkenal pada waktu itu.

Ir soekarno mempunyai 3 istri, istri pertama bernama Fatmawati dan mempunyai anak yang
bernama rachmawati, megawati, Guntur dan juga guruh. Dari istri keduanya yang bernama
hartini beliau mempunyai dua anak yang bernama bayu dan taufan. Istri ketiga beliau
merupakan seorang wanita yang mempunyai kebangsaan Jepang yang bernama naoko
nemoto dan berganti nama bernama ratna sari dewi dan dikarunia anak bernama kartika.
Ketika berbicara tentang biografi Ir. Soekarno memang tidak ada habisnya. Ada banyak
sekali sejarah tentang perjalanan hidup presiden pertama Indonesia ini.
“Gantungkan cita-cita mu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau
jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.”
“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit
karena melawan bangsamu sendiri.”
“Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10
pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia.”
“Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian bahwa kekuasaan seorang Presiden sekalipun
ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanya kekuasaan rakyat. Dan diatas
segalanya adalah Kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.”
“Bangunlah suatu dunia dimana semuanya bangsa hidup dalam damai dan
persaudaraan.”
“Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak
akan minta-minta, apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini
syarat itu! Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, daripada makan bistik tapi
budak.”
“Kalau perempuan itu baik, maka jayalah negara. Tetapi kalau perempuan itu buruk,
maka runtuhlah negara.”

PENDIDIKAN SOEKARNO
 Pendidikan sekolah dasar di Eerste Inlandse School, Mojokerto
 Pendidikan sekolah dasar di Europeesche Lagere School (ELS), Mojokerto (1911)
 Hoogere Burger School (HBS) Mojokerto (1911-1915)
 Technische Hoge School, Bandung (sekarang berganti nama menjadi Institut
Teknologi Bandung) (1920)

PENGHARGAAN SOEKARNO
 Gelar Doktor Honoris Causa dari 26 universitas di dalam dan luar negeri antara lain
dari Universitas Gajah Mada, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung,
Universitas Padjadjaran, Universitas Hasanuddin, Institut Agama Islam Negeri
Jakarta, Columbia University (Amerika Serikat), Berlin University (Jerman),
Lomonosov University (Rusia) dan Al-Azhar University (Mesir).
 Penghargaan bintang kelas satu The Order of the Supreme Companions of OR Tambo
yang diberikan dalam bentuk medali, pin, tongkat, dan lencana yang semuanya
dilapisi emas dari Presiden Afrika Selatan, Thabo Mbeki, atas jasa Soekarno dalam
mengembangkan solidaritas internasional demi melawan penindasan oleh negara maju
serta telah menjadi inspirasi bagi rakyat Afrika Selatan dalam melawan penjajahan
dan membebaskan diri dari politik apartheid. Penyerahan penghargaan dilaksanakan
di Kantor Kepresidenan Union Buildings di Pretoria (April 2005).
Biografi Dewi Sartika

Dewi Sartika lahir di Bandung, 4 Desember 1884, dan meninggal di Tasikmalaya, 11


September 1947 pada umur 62 tahun. Beliau adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum
perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966.
Ayahnya, Raden Somanagara adalah seorang pejuang kemerdekaan. Terakhir, sang ayah
dihukum buang ke Pulau Ternate oleh Pemerintah Hindia Belanda hingga meninggal dunia di
sana. Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda , Nyi Raden Rajapermas dan
Raden Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan
Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula.

Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang
berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan
mengenai kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat
didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda. Sejak kecil, Dewi Sartika sudah
menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di
belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-
tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang
kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.

Raden Dewi Sartika yang mengikuti pendidikan Seko lah Dasar di Cicalengka, sejak kecil
memang sudah menunjukkan minatnya di bidang pendidikan. Dikatakan demikian karena
sejak anak-anak ia sudah senang memerankan perilaku seorang guru. Sebagai contoh,
sebagaimana layaknya anak-anak, biasanya sepulang sekolah, Dewi kecil selalu bermain
sekolah-sekolahan dengan teman-teman anak perempuan sebayanya, ketika itu ia sangat
senang berperan sebagai guru. Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun,
ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam
bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di
waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti
itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.

Berpikir agar anak-anak perempuan di sekitarnya bisa memperoleh kesempatan menuntut


ilmu pengetahuan, maka ia berjuang mendirikan sekolah di Bandung, Jawa Barat. Ketika itu,
ia sudah tinggal di Bandung. Perjuangannya tidak sia-sia, dengan bantuan
R.A.A.Martanegara, kakeknya, dan Den Hamer yang menjabat Inspektur Kantor Pengajaran
ketika itu, maka pada tahun 1904 dia berhasil mendirikan sebuah sekolah yang dinamainya
“Sekolah Isteri”. Sekolah tersebut hanya dua kelas sehingga tidak cukup untuk menampung
semua aktivitas sekolah. Maka untuk ruangan belajar, ia harus meminjam sebagian ruangan
Kepatihan Bandung. Awalnya, muridnya hanya dua puluh orang. Murid-murid yang hanya
wanita itu diajar berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam dan pelajaran
agama.

Sekolah Istri tersebut terus mendapat perhatian positif dari masyarakat. Murid- murid
bertambah banyak, bahkan ruangan Kepatihan Bandung yang dipinjam sebelumnya juga
tidak cukup lagi menampung murid-murid. Untuk mengatasinya, Sekolah
Advertisement
Isteri pun kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih luas. Seiring perjalanan waktu, enam
tahun sejak didirikan, pada tahun 1910, nama Sekolah Istri sedikit diperbarui menjadi
Sekolah Keutamaan Isteri. Perubahan bukan cuma pada nama saja, tapi mata pelajaran juga
bertambah.

Ia berusaha keras mendidik anak-anak gadis agar kelak bisa menjadi ibu rumah tangga yang
baik, bisa berdiri sendiri, luwes, dan terampil. Maka untuk itu, pelajaran yang berhubungan
dengan pembinaan rumah tangga banyak diberikannya. Untuk menutupi biaya operasional
sekolah, ia membanting tulang mencari dana. Semua jerih payahnya itu tidak dirasakannya
jadi beban, tapi berganti menjadi kepuasan batin karena telah berhasil mendidik kaumnya.
Salah satu yang menambah semangatnya adalah dorongan dari berbagai pihak terutama dari
Raden Kanduruan Agah Suriawinata, suaminya, yang telah banyak membantunya
mewujudkan perjuangannya, baik tenaga maupun pemikiran.
Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola
Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang
sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota
kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh,
tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan
Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola
Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana
Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh.

Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota
kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan. Bulan
September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah
berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas
jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-
Belanda.

Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang
yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada
waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru. Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di
Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman
Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di
kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.
Jangan tanya apa yang telah diberikan negara kepadamu, tapi apa yang telah kamu berikan
pada negaramu. Kata bijak tersebut sangat tepat menjadi panduan semua bangsa yang
hendak menobatkan seseorang sebagai penerima gelar kehormatan ‘pahlawan’ di
negaranya.
Terlepas dari bentuk atau cara perjuangannya, seorang pahlawan pasti telah berbuat sesuatu
yang heroik untuk bangsanya sesuai kondisi zamannya. Demikian halnya dengan Raden
Dewi Sartika. Jika pahlawan lain melakukan perjuangan untuk bangsanya melalui perang
frontal seperti angkat senjata, Dewi Sartika memilih perjuangan melalui pendidikan, yakni
dengan mendirikan sekolah. Berbagai tantangan, khususnya di bidang pendanaan operasional
sekolah yang didirikannya sering dihadapinya. Namun berkat kegigihan dan ketulusan
hatinya untuk membangun masyarakat negerinya, sekolah yang didirikannya sebagai sarana
pendidikan kaum wanita bisa berdiri terus, bahkan menjadi panutan di daerah lainnya.
biografiku.com
BIOGRAFI AGUS SALIM

Ketika penulis masih sekolah dulu, penulis ingat sepenggal kisah tentang Haji Agus Salim adalah
sebagai berikut :

Saat Indonesia baru merdeka, masih banyak negara-negara terutama Eropa yang tak mau
mengakui kemerdekaan Indonesia. Khususnya Jerman. Rakyat Jerman adalah rakyat yang
“sombong”. Rakyat Jerman merasa bahwa dirinya yang termasuk bangsa Arya adalah
bangsa yang paling tinggi derajatnya di dunia dibanding bangsa-bangsa lain, termasuk
dalam hal bahasa. Jerman tak mau mendengar pidato diplomasi negara lain jika tak
menggunakan bahasa Jerman.

Ketika itu Haji Agus Salim adalah seorang Menteri Luar Negeri dan sedang berkunjung ke
Jerman. Beliau tahu tentang hal ini. Beliau pun akhirnya menyusun naskah pidato dengan
Bahasa Jerman bukan Bahasa Inggris. Jerman yang awalnya tak mau memandang Indonesia
sama sekali sangat terpukau mendengar pidato dari Haji Agus Salim yang ternyata bisa
berbahasa Jerman. Seketika itu Jerman langsung menyatakan dukungannya terhadap
Indonesia.

Haji Agus Salim dilahirkan pada tanggal 8 Oktober 1884 di Kota Gadang, Agam, Sumatra
Barat. Beliau terlahir dengan nama Mashudul Haq, bahasa Arab yang berarti “membela yang
benar”. Ia adalah anak keempat dari seorang jaksa pengadilan tinggi setempat, Moehammad
Salim.

Sebagai anak seorang jaksa, tentunya Agus Salim lebih beruntung dibanding anak yang lain
karena dengankedudukan keluarganya yang terhormat ini, ia bisa bersekolah tinggi Belanda
dengan tanpa hambatan. Agus Salim juga dikenal sangat pandai di sekolahnya. Ketika
remaja, Agus Salim telah menguasai tujuh bahasa asing yaitu Belanda, Inggris, Arab, Turki,
Perancis, Jepang, dan Jerman.
Karena kecerdasan Agus Salim itulah pada 1903 beliau berhasil lulus dengan predikat lulusan
terbaik SMA atau HBS (Hogere Burger School) dimana saat itu masa belajar Sekolah
Menengah adalah 5 tahun diusianya yang masih belia yaitu 19 tahun. Agus Salim menjadi
lulusan terbaik di tiga kota yaitu Surabaya, Semarang, dan Jakarta.

Setelah lulus HBS maka Agus Salim menyampaikan minatnya untuk meneruskan sekolah ke
Belanda dengan mengambil jurusan kedokteran. Beliau kemudia mengajukan beasiswa.
Namun entah kenapa beasiswa beliau ditolak.

Di lain pihak, RA Kartini yang hidup semasa dengan beliau melakukan hal yang sama dan
beasiswanya diterima namun karena RA Kartini sudah menikah dan sesuai adat Jawa,
perempuan yang sudah menikah tak boleh tinggal jauh dari suami maka Kartini
mengurungkan niatnya untuk mengambil kedokteran di Belanda. Kartini kemudian
mendengar kabar mengenai Agus Salim dan berniat ingin menggantikan beasiswanya kepada
Agus Salim.

Hal ini sempat termaktub dalam sebuah surat Kartini kepada sahabat Belandanya yaitu Ny.
Abendanon, istri pejabat yang menentukan pemberian beasiswa pemerintah pada Kartini:
“Kami tertarik sekali kepada seorang anak muda, kami ingin melihat dia dikarunia bahagia.
Anak muda itu namanya Salim, dia anak Sumatera asal Riau, yang dalam tahun ini,
mengikuti ujian penghabisan sekolah menengah HBS, dan ia keluar sebagai juara. Juara
pertama dari ketiga-tiga HBS! Anak muda itu ingin sekali pergi ke Negeri Belanda untuk
belajar menjadi dokter. Sayang sekali, keadaan keuangannya tidak memungkinkan.”
Pemerintah Hindia Belanda pun menyetujui usulan Kartini untuk menghibahkan beasiswa
senilai 4800 gulden pada Agus Salim. Namun Agus Salim menolak dengan halus karena
beliau beranggapan beasiswa Kartini itu bukan karena prestasinya melainkan karena
permintaan Kartini yang seorang bangsawan sehingga bisa memohon langsung ke
pemerintah. Bagi Agus Salim hal tersebut justru sangat menyinggung perasaannya karena
telah diperlakukan demikian.

Akhirnya Agus Salim mengurungkan niatnya sekolah kedokteran ke Belanda. Dalam waktu
yang bersamaan, beliau mendapat tawaran bekerja sebagai penerjemah di konsulat Belanda di
Jeddah, Arab Saudi. Ini terjadi kira-kira tahun 1906 hingga 1911. Beliau akhirnya menerima
tawaran tersebut. Selain bekerja, beliau juga memperdalam ilmu agama Islamm beliau
langsung pada Imam Masjidil Haram yang masih pamannya juga yang bernama Syech
Ahmad Khatib. Beliau juga mempelajari ilmu diplomasi. Ketajaman ilmu agama dan ilmu
politik Agus Salim benar-benar diasah di Arab Saudi. Hingga ketika pulang ke Indonesia,
beliau telah mantab untuk bergabung dalam pergerakan nasional. Beliau juga mendirikan
sekolah HIS (Hollandsche Inlandesche School).

Dalam dunia politik, Agus Salim kemudian bergabung dengan Serikat Islam pimpinan HOS
Tjokroaminoto dan Abdul Muis pada 1915. Awalnya SI memiliki perwakilan di pemerintah
Hindia Belanda yaitu di Volksraad (semacam DPR/MPR). Di Volksraad, SI diwakili oleh
kedua tokoh pimpinannya yaitu HOS Tjokroaminoto dan abdul Muis. Namun kedua tokoh ini
mundur karena tak menyukai kebijakan Belanda. Akhirnya tempat itu digantikan oleh Agus
Salim. Ternyata Agus Salim juga mengalami kekecewaan yang sama seperti yang dirasakan
pendahulunya. Akhirnya Agus Salim berkesimpulan bahwa berjuang dari ‘dalam’ tak ada
gunanya. Akhirnya Agus Salim keluar dari Volksraad dan fokus pada SI.

Di tahun 1923, SI mengalami perpecahan ideologi dimana beberpa tokoh SI seperti Semaun
dan Darsono menghendaki agar SI condong ke ‘kiri’ sedang Agus Salim dan HOS
Tjokroaminoto tetap menghendaki SI lebih berhalauan ‘kanan’. Akhirnya SI pecah jadi dua
yaitu SI kanan dan SI kiri yang kemudian berubah menjadi Sarekat Rakyat yang merupakan
cikal bakal PKI. Agus Salim tetap setia dengan Serikat Islam. Kedudukan Agus Salim dalam
SI sebenarnya biasa saja bahkan karena beliau pernah bekerja di pemerintahan dan tak pernah
dipenjarakan seperti HOS Tjokroaminoto, beliau sempat dituduh mata-mata Belanda. Namun
Agus Salim menepisnya melalui pidato-pidatonya yang sering mengkritik pemerintahan
Belanda.

Agus Salim bahkan didaulat sebagai pimpinan puncak SI ketika HOS Tjokroaminoto wafat
pada 1934.

Kiprah Agus Salim tak hanya melalui SI. Beliau juga telah mendirikan Jong Islamieten Bond
dimana beliau membuat perubahan baru untuk mengganti doktrin keagamaan yang kaku
dengan meniadakan hijab kain pada duduk laki-laki dan perempuan dalam kongres Jong
Islamieten Bond ke 2 di Yogyakarta tahun 1927. Tentunya hal ini sudah disetujui oleh
seluruh pengurus organisasi.

Pada saat Indonesia akan memproklamirkan kemerdekaannya, Agus Salim didaulat menjadi
anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Ketika Republik tercinta ini
berhasil merdeka, Agus Salim diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung. Beliau
juga diangkat menjadi Menteri Muda Luar Negeri pada Kabinet Syahrir I dan II juga dalam
Kabinet Hatta. Hal ini mengingat Agus Salim sangat pandai dalam berdiplomasi serta
menguasai tujuh bahasa asing. Beliau juga ditunjuk menjadi penasehat Menteri Luar Negeri
setelah Indonesia diakui kedaulatannya dimata dunia Internasional.

Agus Salim juga mendapat julukan “The Grand Old Man” . Hal ini karena kepiawaiannya
dalam berdiplomasi yang belum ada tandingannya saat itu. Agus Salim memiliki perawakan
yang kecil dan terbiasa dengan mengenakan sarung dan peci. Kesederhanaan hidupnya ini
tidak menggambarkan kesederhanaan pemikirannya. Agus Salim memiliki jiwa yang bebas,
beliau tak mau dikekang oleh batasan-batasan. Beliau berhasil mendobrak tradisi Minang
yang cukup kolot.

Beliau selalu berpindah-pindah dan tak pernah memiliki rumah tetap. Surabaya, Yogya dan
Jakarta adalah sebaran hidup beliau. Di kota-kota tersebut beliau hanya menyewa rumah
kevil dan sangat sederhana. Beliau juga mengajar anaknya sendiri. Anaknya tak ada yang
bersekolah di sekolah formal. Hanya anak bontotnya yang bersekolah di sekolah formal. Hal
ini beliau lakukan karena beliau bisa memiliki keahlian ini semua bukan berasal dari sekolah
formal melainkan dari otodidak ‘learning by doing’ dalam kehidupan nyata.
”Saya telah melalui jalan berlumpur akibat pendidikan kolonial,” ujarnya tentang
penolakannya terhadap pendidikan formal kolonial yang juga sebagai bentuk
pembangkangannya terhadap kekuasaan Belanda. Haji Agus Salim menghembuskan nafas
terakhirnya pada tanggal 4 November 1954 di usia 70 tahun.

Agus Salim adalah pahlawan nasional yang sangat langka. Beliau hampir sempurna dalam
hal diplomasi. Latar belakang beliau yang anak dari seorang pejabat pemerintahan sekaligus
dari keluarga religius turut mewarnai pribadi Agus Salim. Perjuangan dan pengorbanan
beliau untuk Republik ini patut kita berucap trima kasih sebesar-besarnya.

Tak hanya Agus Salim tapi juga bagi semua jasa pahlawan-pahlawan yang telah memberikan
segenap hidup, jiwa, raga, harta, nyawa bahkan keluarganya demi tercpainya kemerdekaan
Indonesia. Agus Salim adalah pribadi perpaduan dari nilai-nilai keIslaman, keIndonesiaan
dan kemodernan. Terimakasih kami untuk anda Haji Agus Salim semoga semua yang telah
anda berikan menjadi amal jariyah di akherat kelak. AMIN.
Cut nya dien

Cut Nyak Dhien

1848
Lahir
Lampadang, Kesultanan Aceh

6 November 1908 (berusia 59–60)


Meninggal
Sumedang, Hindia Belanda

Dikenal karena Pahlawan Nasional Indonesia

Agama Islam

Pasangan Ibrahim Lamnga, Teuku Umar

Anak Cut Gambang

Cut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien, Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848 –
Sumedang, Jawa Barat, 6 November1908; dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang) adalah
seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa
Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara suaminya
Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum pada
tanggal 29 Juni1878 yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah
hendak menghancurkan Belanda.

Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda melamar Cut Nyak Dhien. Pada
awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut
dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880.
Mereka dikaruniai anak yang diberi nama Cut Gambang.[1] Setelah pernikahannya dengan
Teuku Umar, Cut Nyak Dhien bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda.
Namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari1899,
sehingga ia berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak
Dien saat itu sudah tua dan memiliki penyakit encok dan rabun, sehingga satu pasukannya
yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba.[2][3] Ia akhirnya ditangkap
dan dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Namun,
keberadaannya menambah semangat perlawanan rakyat Aceh. Ia juga masih berhubungan
dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap. Akibatnya, Dhien dibuang ke Sumedang. Tjoet
Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6 November1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh,
Sumedang. Nama Cut Nyak Dhien kini diabadikan sebagai Bandar Udara Cut Nyak Dhien
Nagan Raya di Meulaboh.

Kehidupan Awal

Rumah Cut Nyak Dhien di Lampisang, Aceh Besar

Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar,
wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang
uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Datuk Makhudum Sati, perantau dari
Minangkabau. Datuk Makhudum Sati merupakan keturunan dari Laksamana Muda Nanta
yang merupakan perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar
Muda di Pariaman.[4]. Datuk Makhudum Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18
ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir.[2][5]. Sedangkan ibunya
merupakan putri uleebalangLampageu.

Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik.[2] Ia memperoleh pendidikan
pada bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga
(memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik
oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha
melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862
dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga[2][5], putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka
memiliki satu anak laki-laki.

Perlawanan saat Perang Aceh


Rencong merupakan senjata tradisional milik Suku Aceh. Cut Nyak Dhien menggunakan Rencong
sebagai salah satu alat perang untuk melawan para tentara Kerajaan Belanda pada saat Kerajaan
Belanda menyerang Kerajaan Aceh dan membakar Masjid Raya Baiturrahman di tahun 1873.
Pada tanggal 26 Maret1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai
melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen.
Perang Aceh pun meletus. Pada perang pertama (1873-1874), Aceh yang dipimpin oleh
Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah bertempur melawan Belanda yang dipimpin
Johan Harmen Rudolf Köhler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal
8 April1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Köhler, dan
langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Kesultanan Aceh
dapat memenangkan perang pertama. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali
dengan sorak kemenangan, sementara Köhler tewas tertembak pada April1873.

Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan JenderalJan van Swieten, daerah VI Mukim dapat
diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut
Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada
tanggal 24 Desember1875. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah
VI Mukim.

Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni1878. Hal ini
membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.[2]

Cut Nyak Dien, setelah tertangkap oleh pihak Belanda

Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien
menolak. Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk ikut bertempur dalam medan
perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar pada
tahun 1880. Hal ini membuat meningkatnya moral semangat perjuangan Aceh melawan
Kaphe Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak
yang diberi nama Cut Gambang.

Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun 1875,
Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang
Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30 September1893, Teuku Umar dan pasukannya yang
berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan "menyerahkan diri" kepada Belanda. Belanda
sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka
memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komandan
unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh. Teuku Umar merahasiakan rencana untuk
menipu Belanda, meskipun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh. Bahkan, Cut
Nyak Meutia datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya.[1][2] Cut Nyak Dien berusaha
menasihatinya untuk kembali melawan Belanda. Namun, Teuku Umar masih terus
berhubungan dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk mempelajari taktik Belanda,
sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai.
Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana
palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.[1]
Teuku Umar, suami kedua Cut Nyak Dhien.

Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat,
senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini disebut Het
verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar).

Teuku Umar yang mengkhianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan melancarkan
operasi besar-besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar.[1][2] Namun,
gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda. Mereka mulai menyerang Belanda
sementara Jend. Van Swieten diganti. Penggantinya, Jend. Jakobus Ludovicius Hubertus Pel,
dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan.[1] Belanda lalu
mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya.[2]

Dien dan Umar terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh (Kutaraja) dan
Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan mengganti jenderal
yang bertugas.[1] Unit "Maréchaussée" lalu dikirim ke Aceh. Mereka dianggap biadab dan
sangat sulit ditaklukan oleh orang Aceh. Selain itu, kebanyakan pasukan "De Marsose"
merupakan orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang ada di jalannya.[1]
Akibat dari hal ini, pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van der Heyden
membubarkan unit "De Marsose".[1] Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jenderal
selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad kehilangan nyawa mereka,
dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh.[1]

Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai menyewa
orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai informan sehingga Belanda
menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari1899.
Akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru. Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien,
menangis karena kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan
berkata:

Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang
“ sudah syahid[1] ”
Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh
bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur
sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di
medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai
rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulit
memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya.[2][3]

Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada
Belanda karena iba.[2][3] Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong
Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Dhien berusaha mengambil rencong
dan mencoba untuk melawan musuh. Sayangnya, aksi Dhien berhasil dihentikan oleh
Belanda.[6][7] Cut Nyak Dhien ditangkap, sementara Cut Gambang berhasil melarikan diri ke
hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.[1]

Masa Tua dan Kematian

Perangko Peringatan 100 Tahun Cut Nyak Dhien

Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di situ. Penyakitnya
seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak Dien akhirnya dibuang
ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan
semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum
tunduk.

Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian
bupati Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian mereka pada Cut
Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan.[1] Ia ditahan
bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien merupakan ahli
dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai "Ibu Perbu".[1]

Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua.
Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur
Aceh saat itu, Ali Hasan.[7] "Ibu Perbu" diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan
Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei1964.[1][2]

Makam
Perangko Peringatan 100 Tahun Cut Nyak Dhien

Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan pada tahun 1959
berdasarkan permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data
yang ditemukan di Belanda.[7] Masyarakat Aceh di Sumedang sering menggelar acara
sarasehan. Pada acara tersebut, peserta berziarah ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak
sekitar dua kilometer.[7] Menurut pengurus makam, kumpulan masyarakat Aceh di Bandung
sering menggelar acara tahunan dan melakukan ziarah setelah hari pertama Lebaran. Selain
itu, orang Aceh dari Jakarta melakukan acara Haul setiap bulan November

Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat melalui monumen
peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam yang ditandatangani
oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pada tanggal 7 Desember1987. Makam Cut Nyak Dhien
dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama beton dengan luas 1.500 m2. Di belakang makam
terdapat musholla dan di sebelah kiri makam terdapat banyak batu nissan yang dikatakan
sebagai makam keluarga ulama H. Sanusi.[7]

Pada batu nissan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab, Surah At-
Taubah dan Al-Fajr, serta hikayat cerita Aceh.

Jumlah peziarah ke makam Cut Nyak Dhien berkurang karena Gerakan Aceh Merdeka
melakukan perlawanan di Aceh untuk merdeka dari Republik Indonesia. Selain itu, daerah
makam ini sepi akibat sering diawasi oleh aparat.[7]

Kini, makam ini mendapat biaya perawatan dari kotak amal di daerah makam karena
pemerintah Sumedang tidak memberikan dana.[7]

Apresiasi
Biografi dalam Seni
Poster Film Tjoet Nja' Dhien

Perjuangan Cut Nyak Dien diinterpretasi dalam film dramaepos berjudul Tjoet Nja' Dhien
pada tahun 1988 yang disutradarai oleh Eros Djarot dan dibintangi Christine Hakim sebagai
Tjoet Nja' Dhien, Piet Burnama sebagai Pang Laot, Slamet Rahardjo sebagai Teuku Umar
dan juga didukung Rudy Wowor. Film ini memenangkan Piala Citra sebagai film terbaik, dan
merupakan film Indonesia pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes (tahun 1989).

Pada 13 April 2014, sebuah karya seni untuk mengenang semangat perjuangan dan
perjalanan hidup Cut Nyak Dhien (CND) dalam bentuk teater monolog yang dimainkan dan
disutradarai oleh Sha Ine Febriyanti; dipentaskan pertama kali di Auditorium Indonesia Kaya,
Jakarta. Naskah berdurasi 40 menit yang ditulis oleh Prajna Paramita tersebut kemudian
dipentaskan kembali pada 2015 di Jakarta, Pekalongan, Magelang, Semarang, dan Banda
Aceh. Rencananya, teater monolong CND juga akan dipentaskan di Australia dan Belanda.

Biografi beliau juga pernah dituangkan dalam bentuk cerita bergambar secara berseri dalam
majalah anak-anak Ananda.

Pengabadian

 Sebuah kapal perang TNI-AL diberi nama KRI Cut Nyak Dhien.
 Mata uang rupiah yang bernilai sebesar Rp10.000,00 yang dikeluarkan tahun 1998 memuat
gambar Cut Nyak Dhien dengan deskripsi Tjoet Njak Dhien.
 Namanya diabadikan di berbagai kota Indonesia sebagai nama jalan.
 Masjid Aceh kecil didirikan di dekat makamnya untuk mengenangnya.
Biografi Pangeran Diponegoro

Nama asli Pangeran Diponegoro adalah Raden Mas Ontowiryo. Beliau termasuk garis
keturunan Sultan Hamengku Buwono III. Ketika sultan ingin mengangkatnya menjadi raja,
beliau menolak dan memilih meninggalkan keraton. Hal ini disebabkan beliau merasa tidak
berhak sebagai anak dari seorang selir, bukan permaisuri. Diponegoro juga lebih tertarik pada
kehidupan religius dan merakyat sehingga lebih suka tinggal di Tegalrejo, kediaman nenek
buyutnya, Ratu Ageng Tegalrejo, permaisuri HB I. Lebih dari itu, Pangeran Diponegoro juga
tidak suka akan campur tangan Belanda yang terlalu besar dalam keraton.

Puncak kemarahan Diponegoro muncul ketika Belanda hendak menggusur makam


leluhurnya untuk membuat jalan. Sikap Belanda yang seenaknya tanpa menghargai budaya
dan tradisi masyarakat setempat, ditambah penerapan pajak yang tinggi terhadap rakyat
membuat Pangeran Diponegoro bangkit mengangkat senjata. Perang tersebut kemudian
terkenal dengan nama Perang Diponegoro. Perang ini dimulai pada tanggal 20 Juni 1825
dan berlangsung selama 5 tahun yang tercatat sebagai salah satu perang terberat yang
dihadapi Belanda.

 Tempat/Tgl. Lahir : Yogyakarta, 11 November 1785


 Tempat/Tgl. Wafat : Makasar, 8 Januari 1855
 SK Presiden : Keppres No. 087/TK/1973, Tgl. 6 November 1973
 Gelar : Pahlawan Nasional

Ketika Tegalrejo berhasil dikuasai Belanda, Pangeran Diponegoro berjuang secara bergerilya.
Dengan hidup berpindah pindah, Belanda mengalami kesulitan menangkap Diponegoro.
Belanda pun menerapkan taktik Benteng Stelsel untuk membatasi pergerakan Diponegoro.
Untuk menangkapnya, Belanda membuat jebakan dengan mengundang Diponegoro
berunding di Magelang. Pada tanggal 28 Maret 1830, Diponegoro tertangkap dan dibuang ke
Manado, kemudian dipindahkan ke Makasar. Pada tanggal 8 Januari 1855, Pangeran
Diponegoro meninggal dunia di Benteng Rotterdam, Makasa
Asal Usul Pattimura

pecintawisata.wordpress.com

Pattimura atau Thomas Matulessy dilahirkan di Haria, Pulau Saparua, Maluku pada tanggal 8
Juni 1783. Ia merupakan pahlawan asal Maluku yang begitu terkenal di Indonesia.

Nah, kata “Maluku” yang menjadi tempat kelahiran Pattimura itu sendiri diambil dari bahasa
Arab yakni “Al Mulk” atau “Al Malik” yang memiliki arti Tanah Raja-raja. Karena pada
masa itu, masih banyak kerajaan yang berdiri di Maluku.

Menurut salah satu penulis bernama M Sapija, Pattimura merupakan keturunan bangsawan.
Ia berasal dari Nusa Ina (Seram) yang merupakan keturunan dari Antoni Mattulessy, seorang
anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy.

Akan tetapi, menurut Mansyur Suryanegara, Pattimura dilahirkan di Hualoy, Seram Selatan,
bukannya di Saparua. Dan Pattimura merupakan bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau
yang diperintah oleh Sultan Abdurrahman.
2Gelar Kapitan

www.playbuzz.com

Pattimura merupakan satu di antara banyak pahlawan yang disematkan sebuah gelar
untuknya, yakni “kapitan”. Menurut beberapa tokoh, gelar yang ia dapatkan adalah
pemberian dari pemerintah Belanda.

Namun, pada kenyataannya bukan seperti itu. Gelar yang Pattimura dapatkan berasal dari
kepercayaan warga Maluku yang menganggap bahwa Pattimura itu memiliki kepercayaan
khusus dari kekuatan-kekuatan alam.

Orang-orang Maluku tersebut percaya bahwa kekuatan alam itu telah menyatu pada diri
Pattimura yang menjadi sosok panutan dalam hal agama. Mereka pun menganggap bahwa
Pattimura adalah seorang yang kharismatik.

Dari anggapan tersebut tercetuslah sebutan “kapitan” yang hingga kini dikenal begitu erat dan
telah melekat pada diri Pattimura.

3Perjuangan Kapitan Pattimura


picodio.com

Pattimura dahulu sempat berkarir di dalam militer dan menjabat sebagai sersan untuk
kemiliteran Inggris. Setelah dari kemiliteran itu, dirinya kemudian ikut dalam perlawanan
terhadap VOC.

Di tahun 1816, Belanda menerima penyerahan kekuasaan dari Inggris. Kemudian, setelah
kekuasaan diserahkan, Belanda membuat suatu ketetapan dalam hal kebijakan politik
monopoli, pajak atas tanah, pemindahan penduduk.

Belanda pun menetapkan pelayaran Hongi dan mengabaikan Traktat London I yang ada
dalam pasal 11 dengan ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus membuat
perundingan terlebih dahulu mengenai pemindahan korps-Ambon dengan Gubernur.

Pihak Belanda pun juga mencantumkan bahwa pemerintah Inggris telah berakhir di Maluku
sehingga para tentara dari Ambon harus dibebaskan.

Pasukan Belanda bermaksud meminta para tentara Ambon untuk mengambil keputusan untuk
memasuki pemerintah baru atau keluar dari dinas militer. Tetapi, kenyataannya, pemindahan
dinas militer tentara Ambon dipaksakan.
Tahun 1817, kolonial Belanda kembali datang ke Indonesia dan mendapat protes keras dari
seluruh rakyat. Karena kondisi politik, ekonomi dan hubungan kemasyarakatan pada saat itu
sedang buruk-buruknya.

www.youtube.com

Hingga pada akhirnya, rakyat Maluku dapat bangkit dan melawan penjajahan di bawah
arahan Kapitan Pattimura. Pattimura diangkat menjadi pemimpin dan panglima perang oleh
para Raja, Patih, Kapitan, Tetua Adat, dan rakyat.

Pemilihan Pattimura menjadi panglima perang didasarkan pada pengalaman dan sifat-sifatnya
yang dimiliki oleh seorang kesatria. Setelah ditunjukkan Pattimura menjadi seorang
pemimpin, strategi melawan musuh pun mulai disusun.

Ia melibatkan para Raja-raja dan Patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, mengatur
pendidikan, memimpin rakyat, menyediakan pangan, dan membangun benteng pertahanan.

Perang yang dilakukan oleh Pattimura itu ternyata membuat Belanda harus menurunkan
banyak pasukan. Sampai-sampai mereka harus mengirimkan seorang Laksamana Buykes,
seorang Komisaris Jenderal dari Belanda.

Begitu banyak pertempuran hebat yang antara Pattimura melawan Belanda. Hingga pada
akhirnya Pattimura tertangkap dan berakhir di tiang gantung pada tanggal 16 Desember 1817
di Ambon.
4Patung Pattimura

pecintawisata.wordpress.com

Di Taman Kota Lapangan Merdeka didirikan Monumen Pattimura, tepatnya di Pattimura


Park. Lokasi tersebut adalah tempat digantungnya Pattimura oleh pasukan Belanda.

Patung setinggi tujuh meter berdiri dengan gagahnya di monumen tersebut. Awal didirikan
monumen pada tahun 1971 oleh Brigjen TNI Wing Wiryawan. Dan sempat mengalami
pergantian satu kali di tahun 2008.

Monumen yang dibuat dimaksud untuk mengenang keberanian dan jasa seorang Kapitan
Pattimura sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Sultan Hasanuddin

Sultan Hasanuddin

Sultan Hasanuddin (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari1631 – meninggal di


Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni1670 pada umur 39 tahun) adalah Raja Gowa ke-15 dan
pahlawan nasional Indonesia yang terlahirdengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir
Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape sebagai nama pemberian dari Qadi Islam
Kesultanan Gowa yakni Syeikh Sayyid Jalaludin bin Muhammad Bafaqih Al-Aidid, seorang
mursyid tarekat Baharunnur Baalwy Sulawesi Selatan sekaligus guru tarekat dari Syeikh
Yusuf dan Sultan Hasanuddin. Setelah menaiki Tahta sebagai Sultan, ia mendapat tambahan
gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan
Sultan Hasanuddin saja. Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het Osten oleh
Belanda yang artinya Ayam Jantan/Jago dari Timur. Ia dimakamkan di Katangka, Kabupaten
Gowa. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden No.
087/TK/1973, tanggal 6 November1973.[1] Nominal seratus repes

Sejarah-sejarahnya

Monumen Sultan Hasanuddin di Makassar, Pantai Losari


Makam Sultan Hasanuddin di Sungguminasa

Sultan Hasanuddin lahir di Gorongtalo, merupakan putera kedua dari Sultan Dimas Lintang,
Raja Gowa ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang
diwakili Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. GOWA
merupakan kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.[1]

Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha
menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain
pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan
kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni.

Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada


akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November1667
bersedia mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu
Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan
tentara ke. Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Sultan Hasanuddin
memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan
Kompeni, hingga akhirnya Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaitu
Benteng Sombaopu pada tanggal 12 Juni1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan
diri dari takhta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni1670.
Ahmad Yani

Menteri/Panglima Angkatan Darat ke-6

Masa jabatan
23 Juni 1962 – 1 Oktober 1965

Presiden Soekarno

Didahului oleh Abdul Harris Nasution

Digantikan
Pranoto Reksosamudro
oleh

Informasi pribadi

19 Juni1922
Lahir Purworejo, Jawa Tengah, Hindia
Belanda

1 Oktober1965 (umur 43)


Meninggal
Jakarta, Indonesia

Suami/istri Yayu Rulia Sutowiryo Ahmad Yani

Anak 8

Agama Islam

Dinas militer

Pengabdian Indonesia

Dinas/cabang
TNI Angkatan Darat

Masa dinas 1943-1965

Pangkat
JenderalTNIAnumerta
JenderalTNIAnumertaAhmad Yani (juga dieja Achmad Yani; lahir di Purworejo, Jawa
Tengah, 19 Juni1922 – meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober1965 pada umur 43
tahun) adalah komandan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, dan dibunuh oleh
anggota Gerakan 30 September saat mencoba untuk menculik dia dari rumahnya.

Kehidupan awal
Ahmad Yani lahir di Jenar, Purworejo, Jawa Tengah pada tanggal 19 Juni 1922 di keluarga
Wongsoredjo, keluarga yang bekerja di sebuah pabrik gula yang dijalankan oleh pemilik
Belanda. Pada tahun 1927, Yani pindah dengan keluarganya ke Batavia, di mana ayahnya
kini bekerja untuk General Belanda. Di Batavia, Yani bekerja jalan melalui pendidikan dasar
dan menengah. Pada tahun 1940, Yani meninggalkan sekolah tinggi untuk menjalani wajib
militer di tentara Hindia Belanda pemerintah kolonial. Ia belajar topografi militer di Malang,
Jawa Timur, tetapi pendidikan ini terganggu oleh kedatangan pasukan Jepang pada tahun
1942. Pada saat yang sama, Yani dan keluarganya pindah kembali ke Jawa Tengah.

Pada tahun 1943, ia bergabung dengan tentara yang disponsori Jepang Peta (Pembela Tanah
Air), dan menjalani pelatihan lebih lanjut di Magelang. Setelah menyelesaikan pelatihan ini,
Yani meminta untuk dilatih sebagai komandan peleton Peta dan dipindahkan ke Bogor, Jawa
Barat untuk menerima pelatihan. Setelah selesai, ia dikirim kembali ke Magelang sebagai
instruktur.

Karier militer

Kolonel Yani memimpin briefing pada 12 April1958 (umur 35) selama "Operasi Agustus 17

Setelah Kemerdekaan Yani bergabung dengan tentara republik yang masih muda dan
berjuang melawan Belanda. Selama bulan-bulan pertama setelah Deklarasi Kemerdekaan,
Yani membentuk batalion dengan dirinya sebagai Komandan dan memimpin kepada
kemenangan melawan Inggris di Magelang. Yani kemudian diikuti ini dengan berhasil
mempertahankan Magelang melawan Belanda ketika ia mencoba untuk mengambil alih kota,
mendapat julukan "Juruselamat Magelang". Sorot lain yang menonjol karier Yani selama
periode ini adalah serangkaian serangan gerilya yang diluncurkan pada awal 1949 untuk
mengalihkan perhatian Belanda sementara Letnan Kolonel Soeharto dipersiapkan untuk
Serangan Umum 1 Maret yang diarahkan pada Yogyakarta.

Setelah Kemerdekaan Indonesia diakui oleh Belanda, Yani dipindahkan ke Tegal, Jawa
Tengah. Pada tahun 1952, ia dipanggil kembali beraksi untuk melawan Darul Islam, sebuah
kelompok pemberontak yang berusaha untuk mendirikan sebuah teokrasi di Indonesia. Untuk
menghadapi kelompok pemberontak ini, Yani membentuk sebuah kelompok pasukan khusus
yang disebut The Banteng Raiders. Keputusan untuk memanggil Yani dividen dibayar dan
selama 3 tahun ke depan, pasukan Darul Islam di Jawa Tengah menderita satu kekalahan
demi satu.

Pada Desember 1955, Yani berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar di Komando dan Staf
Umum College, Fort Leavenworth, Texas. Kembali pada tahun 1956, Yani dipindahkan ke
Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta di mana ia menjadi anggota staf Umum untuk Abdul
Haris Nasution. Di Markas Besar Angkatan Darat, Yani menjabat sebagai Asisten Logistik
Kepala Staf Angkatan Darat sebelum menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat untuk
Organisasi dan Kepegawaian.

Pada bulan Agustus tahun 1958, ia memerintahkan Operasi 17 Agustus terhadap Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia pemberontak di Sumatera Barat. Pasukannya berhasil
merebut kembali Padang dan Bukittinggi, dan keberhasilan ini menyebabkan ia dipromosikan
menjadi wakil kepala Angkatan Darat ke-2 staf pada 1 September 1962, dan kemudian
Kepala Angkatan Darat stafnya pada 13 November 1963 (otomatis menjadi anggota kabinet),
menggantikan Jenderal Nasution.

Akhir hayat

Plak menandai tempat ketika Yani jatuh setelah ditembak oleh anggota Gerakan 30 September -
mantan rumahnya sekarang menjadi museum. Perhatikan lubang peluru di pintu.

Sebagai Presiden, Soekarno bergerak lebih dekat ke Partai Komunis Indonesia (PKI) di awal
60-an. Yani yang sangat anti-komunis, menjadi sangat waspada terhadap PKI, terutama
setelah partai ini menyatakan dukungannya terhadap pembentukan kekuatan kelima (selain
keempat angkatan bersenjata dan polisi) dan Sukarno mencoba untuk memaksakannya
Nasakom (Nasionalisme-Agama-Komunisme) doktrin di militer. Keduanya, Yani dan
Nasution menunda-nunda ketika diperintahkan oleh Soekarno pada tanggal 31 Mei 1965
mempersiapkan rencana untuk mempersenjatai rakyat.

Pada dini hari 1 Oktober 1965, Gerakan 30 September mencoba untuk menculik tujuh
anggota staf umum Angkatan Darat. Sebuah tim dari sekitar 200 orang mengepung rumah
Yani di Jalan Latuhahary No. 6 di pinggiran Jakarta Menteng, Jakarta Pusat. Biasanya Yani
memiliki sebelas tentara menjaga rumahnya. Istrinya kemudian melaporkan bahwa seminggu
sebelumnya tambahan enam orang ditugaskan kepadanya. Orang-orang ini berasal dari
komando Kolonel Latief, yang diketahui Yani, adalah salah satu komplotan utama dalam
Gerakan 30 September. Menurut istri Yani, orang-orang tambahan tersebut tidak muncul
untuk bertugas pada malam itu. Yani dan anak-anaknya sedang tidur di rumahnya sementara
istrinya keluar merayakan ulang tahunnya bersama sekelompok teman-teman dan kerabat.
Dia kemudian menceritakan bahwa saat ia pergi dari rumah sekitar pukul 23.00, ia melihat
seseorang duduk di seberang jalan seakan menjaga rumah di bawah pengawas. Dia tidak
berpikir apa-apa pada saat itu, tetapi setelah peristiwa pagi itu ia bertanya-tanya berbeda.
Juga, dari sekitar jam 9 pada malam 30 September ada sejumlah panggilan telepon ke rumah
pada interval, yang ketika menjawab akan bertemu dengan keheningan atau suara akan
bertanya apa waktu itu. Panggilan terus sampai sekitar 01.00 dan Mrs Yani mengatakan dia
memiliki firasat sesuatu yang salah malam itu.

Yani menghabiskan malam dengan beberapa pertemuan, pukul 7 malam ia menerima seorang
kolonel dari KOTI, Komando Operasi Tertinggi. Jendral Basuki Rahmat, komandan divisi di
Jawa Timur, kemudian tiba dari markasnya di Surabaya. Basuki datang ke Jakarta untuk
melaporkan kepada Yani pada keprihatinan tentang meningkatnya aktivitas komunis di Jawa
Timur. Memuji laporannya, Yani memintanya untuk menemaninya ke pertemuan keesokan
harinya dengan Presiden untuk menyampaikan laporannya.

Ketika para penculik datang ke rumah Yani dan mengatakan kepadanya bahwa ia akan
dibawa ke hadapan presiden, ia meminta waktu untuk mandi dan berganti pakaian. Ketika
penculik menolak ia menjadi marah, menampar salah satu prajurit penculik, dan mencoba
untuk menutup pintu depan rumahnya. Salah satu penculik kemudian melepaskan tembakan,
membunuhnya secara spontan. Tubuhnya dibawa ke Lubang Buaya di pinggiran Jakarta dan
bersama-sama dengan orang-orang dari jenderal yang dibunuh lainnya, disembunyikan di
sebuah sumur bekas.

Tubuh Yani, dan orang-orang korban lainnya, diangkat pada tanggal 4 Oktober, dan semua
diberi pemakaman kenegaraan pada hari berikutnya, sebelum dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan di Kalibata. Pada hari yang sama, Yani dan rekan-rekannya resmi dinyatakan
Pahlawan dari Revolusi dengan Keputusan Presiden Nomor 111/KOTI/1965 dan pangkatnya
dinaikkan secara anumerta dari Letnan Jenderal untuk bintang ke-4 umum
(Indonesia:Jenderal Anumerta).

Ibu Yani dan anak-anaknya pindah dari rumah setelah kematian Yani. Ibu Yani membantu
membuat bekas rumah mereka ke Museum publik yang berdiri sebagian besar seperti itu pada
Oktober 1965, termasuk lubang peluru di pintu dan dinding, dan dengan perabot rumah itu
waktu itu. Saat ini, banyak kota di Indonesia memiliki jalan dinamai Yani. Selain itu
namanya diabadikan untuk Bandar Udara Internasional Achmad Yani di Semarang.

Pendidikan
 HIS (setingkat SD) Bogor, tamat tahun 1935
 MULO (setingkat SMP) kelas B Afd. Bogor, tamat tahun 1938
 AMS (setingkat SMU) bagian B Afd. Jakarta, berhenti tahun 1940
 Pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang
 Pendidikan Heiho di Magelang
 PETA (Tentara Pembela Tanah Air) di Bogor
 Command and General Staff College di Fort Leaven Worth, Kansas, Amerika Serikat, tahun
1955
 Special Warfare Course di Inggris, tahun 1956
Bintang Kehormatan

Perangko Ahmad Yani keluaran tahun 1966

 Bintang RI Kelas II
 Bintang Sakti
 Bintang Gerilya
 Bintang Sewindu Kemerdekaan I dan II
 Satyalancana Kesetyaan VII, XVI
 Satyalancana G: O.M. I dan VI
 Satyalancana Sapta Marga (PRRI)
 Satyalancana Irian Barat (Trikora)
 Ordenon Narodne Armije II Reda Yugoslavia (1958) dan lain-lain

.
Mohammad Hatta

Wakil Presiden Indonesia ke-1

Masa jabatan
18 Agustus1945 – 1 Desember1956

Presiden Soekarno

Perdana Menteri Daftar[tampilkan]

Didahului oleh Tidak ada, jabatan baru

Digantikan oleh Sultan Hamengkubuwono IX

Perdana Menteri Indonesia ke-3

Masa jabatan
29 Januari1948 – 5 September1950

Presiden Soekarno

Didahului oleh Amir Sjarifuddin

Susanto Tirtoprodjo
Digantikan oleh
Mohammad Natsir

Menteri Pertahanan Indonesia ke-4

Masa jabatan
29 Januari1948 – 4 Agustus1949
Presiden Soekarno

Didahului oleh Amir Sjarifuddin

Digantikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX

Informasi pribadi

Muhammad Athar
12 Agustus1902
Lahir
Fort de Kock, Hindia Belanda
(Kota Bukittinggi, Sumatera Barat)

14 Maret1980 (umur 77)


Meninggal
Jakarta, Indonesia

Kebangsaan Indonesia

Partai politik Non partai

Suami/istri Rahmi Rachim

Meutia Hatta
Anak Gemala Hatta
Halida Hatta

Agama Islam

Tanda tangan

Dr.(HC)Drs. H. Mohammad Hatta (lahir dengan nama Mohammad Athar, populer sebagai
Bung Hatta; lahir di Fort de Kock (sekarang Bukittinggi, Sumatera Barat), Hindia Belanda,
12 Agustus1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret1980 pada umur 77 tahun) adalah pejuang,
negarawan, ekonom, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia bersama Soekarno
memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda
sekaligus memproklamirkannya pada 17 Agustus 1945. Ia juga pernah menjabat sebagai
Perdana Menteri dalam Kabinet Hatta I, Hatta II, dan RIS. Ia mundur dari jabatan wakil
presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta juga dikenal
sebagai Bapak Koperasi Indonesia.

Bandar udara internasional Tanggerang Banten, Bandar Udara Soekarno-Hatta, menggunakan


namanya sebagai penghormatan terhadap jasa-jasanya. Selain diabadikan di Indonesia, nama
Mohammad Hatta juga diabadikan di Belanda yaitu sebagai nama jalan di kawasan
perumahan Zuiderpolder, Haarlem dengan nama Mohammed Hattastraat. Pada tahun 1980,
ia meninggal dan dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta. Bung Hatta ditetapkan sebagai salah
satu Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 23 Oktober 1986 melalui Keppres nomor
081/TK/1986/[1]
Kehidupan awal
Latar belakang

Mohammad Hatta lahir dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha yang berasal dari
Minangkabau. Ayahnya merupakan seorang keturunan ulama tarekat di Batuhampar, dekat
Payakumbuh, Sumatera Barat.[2] Sedangkan ibunya berasal dari keluarga pedagang di
Bukittinggi. Ia lahir dengan nama Muhammad Athar pada tanggal 12 Agustus1902.
Namanya, Athar berasal dari bahasa Arab, yang berarti "harum".[3] Ia merupakan anak kedua,
setelah Rafiah yang lahir pada tahun 1900. Sejak kecil, ia telah dididik dan dibesarkan dalam
lingkungan keluarga yang taat melaksanakan ajaran agama Islam. Kakeknya dari pihak ayah,
Abdurahman Batuhampar dikenal sebagai ulama pendiri Surau Batuhampar, sedikit dari
surau yang bertahan pasca-Perang Padri.[4] Sementara itu, ibunya berasal dari keturunan
pedagang. Beberapa orang mamaknya adalah pengusaha besar di Jakarta.

Ayahnya meninggal pada saat ia masih berumur tujuh bulan.[3] Setelah kematian ayahnya,
ibunya menikah dengan Agus Haji Ning, seorang pedagang dari Palembang,[5] Haji Ning
sering berhubungan dagang dengan Ilyas Bagindo Marah, kakeknya dari pihak ibu. Dari
perkawinan Siti Saleha dengan Haji Ning, mereka dikaruniai empat orang anak, yang
kesemuanya adalah perempuan.[3]

Pendidikan dan pergaulan

Mohammad Hatta pertama kali mengenyam pendidikan formal di sekolah swasta.[6] Setelah
enam bulan, ia pindah ke sekolah rakyat dan sekelas dengan Rafiah, kakaknya. Namun,
pelajarannya berhenti pada pertengahan semester kelas tiga.[7] Ia lalu pindah ke ELS di
Padang (kini SMA Negeri 1 Padang) sampai tahun 1913,[7] kemudian melanjutkan ke MULO
sampai tahun 1917. Selain pengetahuan umum, ia telah ditempa ilmu-ilmu agama sejak kecil.
Ia pernah belajar agama kepada Muhammad Jamil Jambek, Abdullah Ahmad, dan beberapa
ulama lainnya.[8] Selain keluarga, perdagangan memengaruhi perhatian Hatta terhadap
perekonomian. Di Padang, ia mengenal pedagang-pedagang yang masuk anggota Serikat
Usaha dan juga aktif dalam Jong Sumatranen Bond sebagai bendahara.[9] Kegiatannya ini
tetap dilanjutkannya ketika ia bersekolah di Prins Hendrik School. Mohammad Hatta tetap
menjadi bendahara di Jakarta.[10]

Kakeknya bermaksud akan ke Mekkah, dan pada kesempatan tersebut, ia dapat membawa
Mohammad Hatta melanjutkan pelajaran di bidang agama, yakni ke Mesir (Al-Azhar).[11] Ini
dilakukan untuk meningkatkan kualitas surau di Batu Hampar yang memang sudah menurun
semenjak ditinggalkan Syaikh Abdurrahman. Tapi, hal ini diprotes dan mengusulkan
pamannya, Idris untuk menggantikannya.[11] Menurut catatan Amrin Imran, Pak Gaeknya
kecewa dan Syekh Arsyad pada akhirnya menyerahkan kepada Tuhan.[12]
Keluarga

Pada 18 November 1945, Hatta menikah dengan Rahmi Hatta dan tiga hari setelah menikah,
mereka bertempat tinggal di Yogyakarta. Kemudian, dikarunai 3 anak perempuan yang
bernama Meutia Farida Hatta, Gemala Rabi’ah Hatta, dan Halida Nuriah Hatta.

Perjuangan dan pergerakan


1921-1932: Sewaktu di Belanda

Hatta (berdiri, kedua dari kanan) bersama para pengurus Perhimpunan Indonesia, pada waktu itu
(tahun 1925) Hatta masih berstatus seorang bendahara di situ

Pergerakan politik ia mulai sewaktu bersekolah di Belanda dari 1921-1932. Ia bersekolah di


Handels Hogeschool (kelak sekolah ini disebut Economische Hogeschool, sekarang menjadi
Universitas Erasmus Rotterdam), selama bersekolah di sana, ia masuk organisasi sosial
Indische Vereniging yang kemudian menjadi organisasi politik dengan adanya pengaruh Ki
Hadjar Dewantara, Cipto Mangunkusumo, dan Douwes Dekker. Pada tahun 1923, Hatta
menjadi bendahara dan mengasuh majalah Hindia Putera yang berganti nama menjadi
Indonesia Merdeka.[13] Pada tahun 1924, organisasi ini berubah nama menjadi Indische
Vereniging (Perhimpunan Indonesia; PI).[14]

Pada tahun 1926, ia menjadi pimpinan Perhimpunan Indonesia. Sebagai akibatnya, ia


terlambat menyelesaikan studi.[15] Di bawah kepemimpinannya, PI mendapatkan perubahan.
Perhimpunan ini lebih banyak memperhatikan perkembangan pergerakan di Indonesia
dengan memberikan banyak komentar, dan banyak ulasan di media massa di Indonesia.[15]
Setahun kemudian, ia seharusnya sudah berhenti dari jabatan ketua, namun ia dipilih kembali
hingga tahun 1930.[16] Pada Desember 1926, Semaun dari PKI datang kepada Hatta untuk
menawarkan pimpinan pergerakan nasional secara umum kepada PI,[15] selain itu dia dan
Semaun membuat suatu perjanjian bernama "Konvensi Semaun-Hatta". Inilah yang dijadikan
alasan Pemerintah Belanda ingin menangkap Hatta.[17] Waktu itu, Hatta belum meyetujui
paham komunis. Stalin membatalkan keinginan Semaun, sehingga hubungan Hatta dengan
komunisme mulai memburuk.[18] Sikap Hatta ini ditentang oleh anggota PI yang sudah
dikuasai komunis.[19]

Pada tahun 1927, ia mengikuti sidang "Liga Menentang Imperialisme, Penindasan Kolonial
dan untuk Kemerdekaan Nasional" di Frankfurt.[a] Dalam sidang ini, pihak komunis dan
utusan dari Rusia nampak ingin menguasai sidang ini, sehingga Hatta tidak bisa percaya
terhadap komunis.[20] Pada waktu itu, majalah PI, Indonesia Merdeka masuk dengan mudah
ke Indonesia lewat penyelundupan, karena banyak penggeledahan oleh pihak kepolisian
terhadap kaum pergerakan yang dicurigai. [21]

Mohammad Hatta bersama Abdulmadjid Djojohadiningrat, Nazir Datuk Pamuntjak, dan Ali
Sastroamidjojo

Pada 25 September 1927, Hatta bersama Ali Sastroamidjojo, Nazir Datuk Pamuntjak, dan
Madjid Djojohadiningrat ditangkap oleh penguasa Belanda atas tuduhan mengikuti partai
terlarang yang dikait-kaitkan dengan Semaun, terlibat pemberontakan di Indonesia yang
dilakukan PKI dari tahun 1926-1927, dan menghasut (opruiing) supaya menentang Kerajaan
Belanda. Moh. Hatta sendiri dihukum tiga tahun penjara.[22] Mereka semua dipenjara di
Rotterdam.[23] Dia juga dituduh akan melarikan diri, sehingga dia yang sedang
memperkenalkan Indonesia ke kota-kota di Eropa sengaja pulang lebih cepat begitu berita ini
tersebar.[24]

Semua tuduhan tersebut, ia tolak dalam pidatonya "Indonesia Merdeka" (Indonesie Vrij) pada
sidang kedua tanggal 22 Maret 1928.[23] Pidato ini sampai ke Indonesia dengan cara
penyelundupan. Ia juga dibela 3 orang pengacara Belanda yang salah satunya berasal dari
parlemen. Yang dari parlemen, bernama J.E.W. Duys. Tokoh ini memang bersimpati
padanya. Setelah ditahan beberapa bulan, mereka berempat dibebaskan dari tuduhan, karena
tuduhan tidak bisa dibuktikan.[25]

Sampai pada tahun 1931, Mohammad Hatta mundur dari kedudukannya sebagai ketua karena
hendak mengikuti ujian sarjana, sehingga ia berhenti dari PI; namun demikian ia akan tetap
membantu PI.[16] Akibatnya, PI jatuh ke tangan komunis, dan mendapat arahan dari partai
komunis Belanda dan juga dari Moskow. Setelah tahun 1931, PI mengecam keras kebijakan
Hatta dan mengeluarkannya dari organisasi ini.[26] PI di Belanda mengecam sikap Hatta sebab
ia bersama Soedjadi mengkritik secara terbuka terhadap PI. Perhimpunan menahan sikap
terhadap kedua orang ini.[27]

Pada Desember 1931, para pengikut Hatta segera membuat gerakan tandingan yang disebut
Gerakan Merdeka yang kemudian bernama Pendidikan Nasional Indonesia yang kelak
disebut PNI Baru. Ini mendorong Hatta dan Syahrir yang pada saat itu sedang bersekolah di
Belanda untuk mengambil langkah kongkret untuk mempersiapkan kepemimpinan di sana.
Hatta sendiri merasa perlu untuk menyelesaikan studinya terlebih dahulu. Oleh karenanya,
Syahrir terpaksa pulang dan untuk memimpin PNI.[28] Kalau Hatta kembali pada 1932,
diharapkan Syahrir dapat melanjutkan studinya.[28]
1932-1941: Pengasingan

Sekembalinya ia dari Belanda, ia ditawarkan masuk kalangan Sosialis Merdeka


(Onafhankelijke Socialistische Partij, OSP) untuk menjadi anggota parlemen Belanda, dan
menjadi perdebatan hangat di Indonesia pada saat itu. Pihak OSP mengiriminya telegram
pada 6 Desember 1932, yang berisi kesediaannya menerima pencalonan anggota Parlemen.[29]
Ini dikarenakan ia berpendapat bahwa ia tidak setuju orang Indonesia menjadi anggota dalam
parlemen Belanda.[30] Sebenarnya dia menolak masuk, dengan alasan ia perlu berada dan
berjuang di Indonesia.[b] Namun, pemberitaan di Indonesia mengatakan bahwa Hatta
menerima kedudukan tersebut, sehingga Soekarno menuduhnya tidak konsisten dalam
menjalankan sistem non-kooperatif.[31]

Setelah Hatta kembali dari Belanda, Syahrir tidak bisa ke Belanda karena keduanya keburu
ditangkap Belanda pada 25 Februari1934 dan dibuang ke Digul, dan selanjutnya ke Banda
Neira.[32] Baik di Digul maupun Banda Neira, ia banyak menulis di koran-koran Jakarta, dan
ada juga untuk majalah-majalah di Medan. Artikelnya tidak terlalu politis, namun bersifat
lebih menganalisis dan mendidik pembaca. Ia juga banyak membahas pertarungan kekuasaan
di Pasifik.[33]

Semasa diasingkan ke Digul, ia membawa semua buku-bukunya ke tempat pengasingannya.


Di sana, ia mengatur waktunya sehari-hari. Pada saat hendak membaca, ia tak mau diganggu.
Sehingga, beberapa kawannya menganggap dia sombong.[34] Ia juga merupakan sosok yang
peduli terhadap tahanan. Ia menolak bekerja sama dengan penguasa setempat, misalnya
memberantas malaria. Apabila ia mau bekerja sama, ia diberi gaji f 7.50 sebulan. Namun,
kalau tidak, ia hanya diberi gaji f 2.50 saja.[35] Gajinya itu tidak ia habiskan sendiri. Ia juga
peduli terhadap kawannya yang kekurangan.[35]

Di Digul, selain bercocok tanam,[36] ia juga membuat kursus kepada para tahanan. Di antara
tahanan tersebut, ada beberapa orang yang ibadah shalat dan puasanya teratur; baik dari
Minangkabau maupun Banten. Tapi, mereka ditangkap karena -pada umumnya- terlibat
pemberontakan komunis.[37] Pada masa itu, ia menulis surat untuk iparnya untuk dikirimi
alat-alat pertukangan seperti paku dan gergaji. Selain itu, dia juga menceritakan nasib orang-
orang buangan dalam surat itu. Kemudian, ipar Hatta mengirim surat itu ke koran
Pemandangan di Jakarta dan segera surat itu dimuat. Surat itu dibaca menteri jajahan pada
saat itu, Colijn.[38] Colijn mengecam pemerintah dan segera mengirim residenAmbon untuk
menemui Hatta di Digul. Maka uang diberikan untuknya, Hatta menolak dan ia juga meminta
supaya kalau mau ditambah, diberikan juga kepada pemimpin lain yang hidup dalam
pembuangan.[36]

Pada 1937, ia menerima telegram yang mengatakan dia dipindah dari Digul ke Banda
Neira.[c] Hatta pindah bersama Syahrir pada bulan Februari pada tahun itu, dan mereka
menyewa sebuah rumah yang cukup besar. Di situ, ada beberapa kamar dan ruangan yang
cukup besar. Adapun ruangan besar itu digunakannya untuk menyimpan bukunya dan tempat
bekerjanya.[39]

Sewaktu di Banda Neira, ia bercocok tanam dan menulis di koran "Sin Tit Po" (dipimpin Lim
Koen Hian; bulanan ini berhenti pada 1938) dengan honorarium f 75 dalam Bahasa Belanda.
Kemudian, ia menulis di Nationale Commantaren (Komentar Nasional; dipimpin Sam
Ratulangi) dan juga, ia menulis di koran Pemandangan dengan honorarium f 50 sebulan per
satu/dua tulisan.[40] Hatta juga pernah menerima tawaran Kiai Haji Mas Mansur untuk ke
Makassar, dia menolak dengan alasan kalaupun dirinya ke Makassara dia masih berstatus
tahanan juga.[41] Waktu itu, sudah ada Cipto Mangunkusumo dan Iwa Kusumasumantri.
Mereka semua sudah saling mengenal.

Selain itu, di Banda Neira, Hatta juga mengajar kepada beberapa orang pemuda. Anak dr.
Cipto belajar tata-buku dan sejarah. Ada juga anak asli daerah Banda Neira yang belajar
kepada Hatta. Ada seorang kenalan Hatta dari Sumatera Barat yang mengirimkan dua orang
kemenakannya untuk belajar ekonomi dan juga sejarah.[42] Selain itu, dari Bukittinggi dikirim
Anwar Sutan Saidi sebanyak empat orang pemuda yang belajar kepada Hatta.[43]

Pada tahun 1941, Mohammad Hatta menulis artikel di koran Pemandangan yang isinya
supaya rakyat Indonesia jangan memihak kepada baik ke pihak Barat ataupun fasisme
Jepang. Kelak, pada zaman Jepang tulisan Hatta dijadikan bahan oleh penguasa Jepang untuk
tidak percaya Hatta selama Perang Pasifik.[44] Yang mana, kelak tulisan Hatta dibaca Murase,
seorang Wakil Kepala Kenpeitei (dinas intelijen) dan menyarankan Hatta agar mengikuti
Nippon Sheisin di Tokyo[45] pada November 1943.[46]

1942-1945: Penjajahan Jepang

Pada tanggal 8 Desember 1941, angkatan perang Jepang menyerang Pearl Harbor, Hawaii.
Ini memicu Perang Pasifik, dan setelah Pearl Harbor, Jepang segera menguasai sejumlah
daerah, termasuk Indonesia. Dalam keadaan genting tersebut, Pemerintah Belanda
memerintahkan untuk memindahkan orang-orang buangan dari Digul ke Australia, karena
khawatir kerjasama dengan Jepang. Hatta dan Syahrir dipindahkan pada Februari 1942,[47] ke
Sukabumi setelah menginap sehari di Surabaya dan naik kereta api ke Jakarta. Bersama
kedua orang ini, turut pula 3 orang anak-anak dari Banda yang dijadikan anak angkat oleh
Syahrir.[48]

Setelah itu, ia dibawa kembali ke Jakarta. Ia bertemu Mayor Jenderal Harada. Hatta
menanyakan keinginan Jepang datang ke Indonesia. Harada menawarkan kerjasama dengan
Hatta. Kalau mau, ia akan diberi jabatan penting. Hatta menolak, dan memilih menjadi
penasihat.[49] Ia dijadikan penasihat dan diberi kantor di Pegangsaan Timur dan rumah di
Oranje Boulevard (Jalan Diponegoro). Orang terkenal pada masa sebelum perang, baik orang
pergerakan, atau mereka yang bekerjasama dengan Belanda, diikut sertakan seperti Abdul
Karim Pringgodigdo, Surachman, Sujitno Mangunkususmo, Sunarjo Kolopaking, Supomo,
dan Sumargo Djojohadikusumo. Pada masa ini, ia banyak mendapat tenaga-tenaga baru.
Pekerjaan di sini, merupakan tempat saran oleh pihak Jepang.[50] Jepang mengharapkan agar
Hatta memberikan nasehat yang menguntungkan mereka, malah Hatta memanfaatkan itu
untuk membela kepentingan rakyat.[51]

1945: Mempersiapkan kemerdekaan Republik Indonesia

Saat-saat mendekati Proklamasi pada 22 Juni 1945, Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) membentuk panitia kecil yang disebut Panitia Sembilan
dengan tugas mengolah usul dan konsep para anggota mengenai dasar negara Indonesia.
Panitia kecil itu beranggotakan 9 orang dan diketuai oleh Ir. Soekarno. Anggota lainnya Bung
Hatta, Mohammad Yamin, Ahmad Soebardjo, A.A. Maramis, Abdulkahar Muzakir, Wahid
Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso.
Kemudian pada 9 Agustus 1945, Bung Hatta bersama Bung Karno dan Radjiman
Wedyodiningrat diundang ke Dalat (Vietnam) untuk dilantik sebagai Ketua dan Wakil Ketua
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Badan ini bertugas melanjutkan hasil kerja
BPUPKI dan menyiapkan pemindahan kekuasaan dari pihak Jepang kepada Indonesia.
Pelantikan dilakukan secara langsung oleh Panglima Asia Tenggara Jenderal Terauchi.
Puncaknya pada 16 Agustus 1945, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok hari dimana Bung
Karno bersama Bung Hatta diculik ke kota kecil Rengasdengklok (dekat Karawang, Jawa
Barat).

Penculikan itu dilakukan oleh kalangan pemuda, dalam rangka mempercepat tanggal
proklamasi kemerdekaan Indonesia. Malam hari, mereka mengadakan rapat untuk persiapan
proklamasi Kemerdekaan Indonesia di kediaman Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam
Bonjol 1 Jakarta. Sebelum rapat, mereka menemui somabuco (kepala pemerintahan umum)
Mayjen Nishimura untuk mengetahui sikapnya mengenai pelaksanaan proklamasi
kemerdekaan Indonesia. Pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepahaman sehingga tidak
adanya kesepahaman itu meyakinkan mereka berdua untuk melaksanakan proklamasi
kemerdekaan itu tanpa kaitan lagi dengan Jepang.

1945-1956: Menjadi Wakil Presiden pertama di Indonesia

Pada 17 Agustus 1945, hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh rakyat Indonesia dia
bersama Soekarno resmi memproklamasikan kemerdekaan di Jalan Pegangsaan Timur 56
Jakarta pk10.00 WIB. Dan keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945, dia resmi dipilih
sebagai Wakil Presiden RI yang pertama mendampingi Presiden Soekarno.

Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta amat gigih bahkan dengan nada sangat marah,
menyelamatkan Republik dengan mempertahankan naskah Linggajati di Sidang Pleno KNIP
di Malang yang diselenggarakan pada 25 Februari – 6 Maret 1947 dan hasilnya Persetujuan
Linggajati diterima oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sehingga anggota KNIP
menjadi agak lunak pada 6 Maret 1947.

Pada saat terjadinya Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947, Hatta dapat meloloskan diri
dari kepungan Belanda dan pada saat itu dia masih berada di Pematang Siantar. Dia dengan
selamat bersama dengan Gubernur Sumatera Mr. T. Hassan tiba di Bukittinggi. Sebelumnya
pada 12 Juli 1947 Bung Hatta mengadakan Kongres Koperasi pertama di Tasikmalaya. Pada
hari itu juga, Hari Koperasi Indonesia ditetapkan dan Bung Hatta ditetapkan sebagai Bapak
Koperasi Indonesia.

Kemudian, Bung Hatta dengan kewibawaannya sebagai Wakil Presiden hendak menggoalkan
persetujuan Renville dengan berakibat jatuhnya Kabinet Amir dan digantikan oleh Kabinet
Hatta. Pada era Kabinet Hatta yang dibentuk pada 29 Januari 1948, Bung Hatta menjadi
Perdana Menteri dan merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan.

Suasana panas waktu timbul pemberontakan PKI Madiun dalam bulan September 1948,
memuncak pada penyerbuan tentara Belanda ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Bung
Hatta bersama Bung Karno diangkut oleh tentara Belanda pada hari itu juga. Pada tahun yang
sama, Bung Hatta bersama Bung Karno diasingkan ke Menumbing, Bangka. Beberapa waktu
setelah pengasingan karena mengalami adanya sebuah perundingan Komisi Tiga Negara
(KTN) di Kaliurang, di mana Critchley datang mewakili Australia dan Cochran mewakili
Amerika.
Mohammad Hatta berpidato di hadapan para peserta Konferensi Persiapan Nasional di Jakarta pada
26 November1949. Tampak Sartono (duduk deretan depan no.2 dari kiri) mendengarkan dengan
saksama.

Pada Juli 1949, terjadi kemenangan Cochran dalam menyelesaikan perundingan Indonesia.
Tahun ini, terjadilah sebuah perundingan penting, Konferensi Meja Bundar (KMB) yang
diadakan di Den Haag sesudah berunding selama 3 bulan, pada 27 Desember 1949
kedaulatan NKRI kita miliki untuk selamanya. Ratu Juliana memberi tanda pengakuan
Belanda atas kedaulatan negara Indonesia tanpa syarat kecuali Irian Barat yang akan
dirundingkan lagi dalam waktu setahun setelah Pengakuan Kedaulatan kepada Bung Hatta
yang bertindak sebagai Ketua Delegasi Republik Indonesia di Amsterdam dan di Jakarta.

Di Amsterdam dari Ratu Juliana kepada Drs. Mohammad Hatta dan di Jakarta dari Dr.
Lovink yang mewakili Belanda kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sehingga pada
akhirnya negara Indonesia menjadi negara Republik Indonesia Serikat (RIS), Bung Hatta
terpilih menjadi Perdana Menteri RIS juga merangkap sebagai Menteri Luar Negeri RIS dan
berkedudukan di Jakarta dan Bung Karno menjadi Presiden RIS. Ternyata RIS tidak
berlangsung lama, dan pada 17 Agustus 1950, Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dengan ibu kota Jakarta dengan Perdana Menteri Moh. Natsir. Bung Hatta
menjadi Wakil Presiden RI lagi dan berdinas kembali ke rumah yang berada di Jalan Medan
Merdeka Selatan 13 Jakarta.

Kunjungan kerja Wakil Presiden Moh.Hatta ke Yogyakarta tahun 1950. Tampak dalam gambar,paling
kiri, Mayor Pranoto Reksosamodra sebagai Komandan Militer Kota Besar Yogyakarta.

Pada tahun 1955, Mohammad Hatta membuat pernyataan bahwa bila parlemen dan
konstituante pilihan rakyat sudah terbentuk, dia akan mengundurkan diri. Menurutnya, dalam
negara yang mempunyai kabinet parlementer, Kepala Negara adalah sekadar simbol saja,
sehingga Wakil Presiden tidak diperlukan lagi.
Pada tanggal 20 Juli1956, Mohammad Hatta menulis sepucuk surat kepada Ketua DPR pada
saat itu, Sartono yang isinya antara lain, "Merdeka, Bersama ini saya beritahukan dengan
hormat, bahwa sekarang, setelah Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih rakyat mulai
bekerja, dan Konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya bagi
saya untuk mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Segera, setelah Konstituante dilantik,
saya akan meletakkan jabatan itu secara resmi."

DPR menolak secara halus permintaan Mohammad Hatta tersebut, dengan cara mendiamkan
surat tersebut. Kemudian, pada tanggal 23 November1956, Bung Hatta menulis surat susulan
yang isinya sama, bahwa tanggal 1 Desember1956, dia akan berhenti sebagai Wakil Presiden
RI. Akhirnya, pada sidang DPR pada 30 November1956, DPR akhirnya menyetujui
permintaan Mohammad Hatta untuk mengundurkan diri dari jabatan sebagai Wakil Presiden,
jabatan yang telah dipegangnya selama 11 tahun.

Di akhir tahun 1956 juga, Hatta tidak sejalan lagi dengan Bung Karno karena dia tidak ingin
memasukkan unsur komunis dalam kabinet pada waktu itu. Sebelum ia mundur, dia
mendapatkan gelar doctor honouris causa dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Sebenarnya gelar doctor honouris causa ingin diberikan pada tahun 1951. Namun, gelar
tersebut baru diberikan pada 27 November 1956. Demikian pula Universitas Indonesia pada
tahun 1951 telah menyampaikan keinginan itu tetapi Bung Hatta belum bersedia
menerimanya. Kata dia, “Nanti saja kalau saya telah berusia 60 tahun.”.

1956-1980: Setelah pensiun

Foto terakhir Bung Hatta sebelum masuk rumah sakit, tanggal 1 Maret1980. Di sebelah kanan adalah
Ny. Moenadji Soerjohadikoesoemo.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang juga pernah menjabat sebagai Wakil Presiden RI tampak serius
berbicara dengan Mohammad Hatta.

Setelah mundur dari jabatannya sebagai Wakil Presiden RI pada 1 Desember1956, dia dan
keluarga berpindah rumah dari Jalan Medan Merdeka Selatan 13 ke Jalan Diponegoro 57.
Bung Hatta tak pernah menyesal atas keputusan yang telah ia buat. Kegiatan sehari-hari Bung
Hatta setelah pensiun adalah menambah dari penghasilan menulis buku dan mengajar.
Meskipun sudah tak menjabat lagi sebagai Wakil Presiden, pada tahun 1957 dia berangkat ke
Cina karena mendapat undangan dari Pemerintah RRC. Rakyat sana masih menganggap dia
sebagai “a great son of his country”, terbukti dari penyambutan yang seharusnya diberikan
kepada seorang kepala negara di mana PM Zhou Enlai sendiri menyambut dia yang bukan
lagi sebagai wakil presiden.

Mereka yang sibuk pada masa Revolusi berkumpul kembali tahun 1979 ketika Richard C. Kirby, yang
dulu mewakili Australia dalam Komite Jasa Baik PBB untuk Indonesia (KTN), berkunjung ke Jakarta.
Dari kanan : Ali Budiardjo (pembantu politik Hamengkubuwono IX menjelang RIS), Mohammad
Hatta, Richard C. Kirby, Mohammad Roem, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Subadio Sastrosatomo,
Mohammad Natsir, Tamzil, dan Thomas K. Critchley yang menggantikan Kirby dalam Komite PBB.

Ketika Presiden Soekarno berada di puncak kekuasaannya pada tahun 1963, Bung Hatta
pertama kali jatuh sakit dan perlu perawatan di Swedia karena perlengkapan medis di sana
lebih lengkap. Sekitar tahun 1965, Bung Hatta sering jadi bulan-bulanan serangan politik
PKI.

Pada 31 Januari 1970, melalui Keppres No. 12/1970 telah dibentuk Komisi Empat yang
bertugas mengusut masalah korupsi. Untuk keperluan itu Dr. Moh. Hatta (mantan Wakil
Presiden RI) telah diangkat menjadi Penasehat Presiden dalam masalah pemberantasan
Korupsi. Komisi Empat ini diketuai oleh Wilopo, SH, dengan anggota-anggota: IJ Kasimo,
Prof. Dr. Yohanes, H. Anwar Tjokroaminoto, dengan sekretaris Kepala Bakin/Sekretaris
Kopkamtib, Mayjen. Sutopo Juwono. Dr. Moh. Hatta juga ditunjuk sebagai Penasehat Komisi
Empat tersebut.

Hatta dipercaya oleh Presiden Soeharto untuk menjadi Anggota Dewan Penasehat Presiden.
Pada 15 Agustus 1972, Bung Hatta mendapat anugerah Bintang Republik Indonesia Kelas I
dari Pemerintah Republik Indonesia. Kemudian, pada tahun yang sama Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta mengangkat dia sebagai warga utama Ibukota Jakarta dengan segala fasilitasnya,
seperti perbaikan besarnya pensiun dan penetapan rumah dia menjadi salah satu gedung yang
bersejarah di Jakarta.

Kemudian, pada tahun 1975, Bung Hatta menjadi anggota Panitia Lima bersama Prof Mr.
Soebardjo, Prof Mr. Sunario, A.A. Maramis, dan Prof Mr. Pringgodigdo untuk memberi
pengertian mengenai Pancasila sesuai dengan alam pikiran dan semangat lahir dan batin para
penyusun UUD 1945 dengan Pancasilanya. Ternyata, Bung Hatta resmi menjadi Ketua
Panitia Lima. Tak hanya itu, Bung Hatta kembali mendapatkan gelar doctor honouris causa
sebagai tokoh proklamator dari Universitas Indonesia yang seharusnya diberikan pada tahun
1951. Pemberian gelar tersebut dilakukan di Jakarta pada 30 Juli1975 dan diberikan secara
langsung oleh Rektor Mahar Mardjono. Dan pada tahun 1979, dimana tahun tersebut
merupakan tahun ke-5 Bung Hatta masuk ke rumah sakit. Kesehatan Bung Hatta semakin
menurun. Walaupun begitu, semangatnya tetap saja tinggi. Ia masih mengikuti perkembangan
politik dunia.

Wafat

LogoBung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA).

Hatta wafat pada tanggal 14 Maret1980 pk18.56 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Jakarta setelah sebelas hari ia dirawat di sana. Selama hidupnya, Bung Hatta telah dirawat di
rumah sakit sebanyak 6 kali pada tahun 1963, 1967, 1971, 1976, 1979, dan terakhir pada 3
Maret 1980. Keesokan harinya, dia disemayamkan di kediamannya Jalan Diponegoro 57,
Jakarta dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir, Jakarta disambut dengan upacara kenegaraan
yang dipimpin secara langsung oleh Wakil Presiden pada saat itu, Adam Malik. Ia ditetapkan
sebagai pahlawan proklamator pada tahun 1986 oleh pemerintahan Soeharto.

Mendapat gelar pahlawan


Setelah wafat, Pemerintah memberikan gelar Pahlawan Proklamator kepada Bung Hatta pada
23 Oktober1986 bersama dengan mendiang Bung Karno. Pada 7 November2012, Bung Hatta
secara resmi bersama dengan Bung Karno ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono sebagai Pahlawan Nasional.
Soedirman
Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat ke-1

Masa jabatan
12 November1945 – 29 Januari1950

Presiden Soekarno

Digantikan
Soeharto
oleh

Informasi pribadi

24 Januari1916[a]
Lahir
Purbalingga, Hindia Belanda

29 Januari1950 (umur 34)


Meninggal
Magelang, Indonesia

Taman Makam Pahlawan Semaki


Dimakamkan 7°48′9,88″LU110°23′2,11″BTKoordinat:
7°48′9,88″LU110°23′2,11″BT

Agama Islam

Tanda tangan

Dinas militer

 Kekaisaran Jepang(1944–1945)
Pengabdian
 Indonesia(1945–1950)

Dinas/cabang TNI Angkatan Darat

Masa dinas 1944–1950

 Letnan Jenderal(saat kematian)


 Jenderal(anumerta, 1950)
Pangkat

 Jenderal Besar(anumerta, 1997)

 Tentara PETA, Banyumas


Komando  Divisi V TKR, Banyumas
Perang Revolusi Nasional Indonesia

Penghargaan Pahlawan Nasional Indonesia

Jenderal BesarRadenSoedirman (EYD: Sudirman; lahir 24 Januari1916 – meninggal 29


Januari1950 pada umur 34 tahun[a]) adalah seorang perwira tinggi Indonesia pada masa
Revolusi Nasional Indonesia. Menjadi panglima besar Tentara Nasional Indonesia pertama, ia
secara luas terus dihormati di Indonesia. Terlahir dari pasangan rakyat biasa di Purbalingga,
Hindia Belanda, Soedirman diadopsi oleh pamannya yang seorang priyayi. Setelah
keluarganya pindah ke Cilacap pada tahun 1916, Soedirman tumbuh menjadi seorang siswa
rajin; ia sangat aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk mengikuti program kepanduan
yang dijalankan oleh organisasi Islam Muhammadiyah. Saat di sekolah menengah,
Soedirman mulai menunjukkan kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi, dan
dihormati oleh masyarakat karena ketaatannya pada Islam. Setelah berhenti kuliah keguruan,
pada 1936 ia mulai bekerja sebagai seorang guru, dan kemudian menjadi kepala sekolah, di
sekolah dasar Muhammadiyah; ia juga aktif dalam kegiatan Muhammadiyah lainnya dan
menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada tahun 1937. Setelah Jepang
menduduki Hindia Belanda pada 1942, Soedirman tetap mengajar. Pada tahun 1944, ia
bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang disponsori Jepang, menjabat
sebagai komandan batalion di Banyumas. Selama menjabat, Soedirman bersama rekannya
sesama prajurit melakukan pemberontakan, namun kemudian diasingkan ke Bogor.

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945,


Soedirman melarikan diri dari pusat penahanan, kemudian pergi ke Jakarta untuk bertemu
dengan Presiden Soekarno. Ia ditugaskan untuk mengawasi proses penyerahan diri tentara
Jepang di Banyumas, yang dilakukannya setelah mendirikan divisi lokal Badan Keamanan
Rakyat. Pasukannya lalu dijadikan bagian dari Divisi V pada 20 Oktober oleh panglima
sementara Oerip Soemohardjo, dan Soedirman bertanggung jawab atas divisi tersebut. Pada
tanggal 12 November 1945, dalam sebuah pemilihan untuk menentukan panglima besar TKR
di Yogyakarta, Soedirman terpilih menjadi panglima besar, sedangkan Oerip, yang telah aktif
di militer sebelum Soedirman lahir, menjadi kepala staff. Sembari menunggu pengangkatan,
Soedirman memerintahkan serangan terhadap pasukan Inggris dan Belanda di Ambarawa.
Pertempuran ini dan penarikan diri tentara Inggris menyebabkan semakin kuatnya dukungan
rakyat terhadap Soedirman, dan ia akhirnya diangkat sebagai panglima besar pada tanggal 18
Desember. Selama tiga tahun berikutnya, Soedirman menjadi saksi kegagalan negosiasi
dengan tentara kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, yang pertama
adalah Perjanjian Linggarjati –yang turut disusun oleh Soedirman – dan kemudian Perjanjian
Renville –yang menyebabkan Indonesia harus mengembalikan wilayah yang diambilnya
dalam Agresi Militer I kepada Belanda dan penarikan 35.000 tentara Indonesia. Ia juga
menghadapi pemberontakan dari dalam, termasuk upaya kudeta pada 1948. Ia kemudian
menyalahkan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai penyebab penyakit tuberkulosis-nya;
karena infeksi tersebut, paru-paru kanannya dikempeskan pada bulan November 1948.

Pada tanggal 19 Desember 1948, beberapa hari setelah Soedirman keluar dari rumah sakit,
Belanda melancarkan Agresi Militer II untuk menduduki Yogyakarta. Di saat pemimpin-
pemimpin politik berlindung di kraton sultan, Soedirman, beserta sekelompok kecil tentara
dan dokter pribadinya, melakukan perjalanan ke arah selatan dan memulai perlawanan gerilya
selama tujuh bulan. Awalnya mereka diikuti oleh pasukan Belanda, tetapi Soedirman dan
pasukannya berhasil kabur dan mendirikan markas sementara di Sobo, di dekat Gunung
Lawu. Dari tempat ini, ia mampu mengomandoi kegiatan militer di Pulau Jawa, termasuk
Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto.
Ketika Belanda mulai menarik diri, Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta pada bulan
Juli 1949. Meskipun ingin terus melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda, ia
dilarang oleh Presiden Soekarno. Penyakit TBC yang diidapnya kambuh; ia pensiun dan
pindah ke Magelang. Soedirman wafat kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui
kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.

Kematian Soedirman menjadi duka bagi seluruh rakyat Indonesia. Bendera setengah tiang
dikibarkan dan ribuan orang berkumpul untuk menyaksikan prosesi upacara pemakaman.
Soedirman terus dihormati oleh rakyat Indonesia. Perlawanan gerilyanya ditetapkan sebagai
sarana pengembangan esprit de corps bagi tentara Indonesia, dan rute gerilya sepanjang 100-
kilometer (62 mi) yang ditempuhnya harus diikuti oleh taruna Indonesia sebelum lulus dari
Akademi Militer. Soedirman ditampilkan dalam uang kertas rupiah keluaran 1968, dan
namanya diabadikan menjadi nama sejumlah jalan, universitas, museum, dan monumen. Pada
tanggal 10 Desember 1964, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Kehidupan awal
Soedirman lahir dari pasangan Karsid Kartawiraji dan Siyem saat pasangan ini tinggal di
rumah saudari Siyem yang bernama Tarsem di Rembang, Bodas Karangjati, Purbalingga,
Hindia Belanda. Tarsem sendiri bersuamikan seorang camat bernama Raden
Cokrosunaryo.[b][c][1][2] Menurut catatan keluarga, Soedirman –dinamai oleh pamannya –lahir
pada Minggu pon di bulan Maulud dalam penanggalan Jawa; pemerintah Indonesia kemudian
menetapkan 24 Januari 1916 sebagai hari ulang tahun Soedirman. Karena kondisi keuangan
Cokrosunaryo yang lebih baik, ia mengadopsi Soedirman dan memberinya gelar Raden, gelar
kebangsawanan pada suku Jawa.[1] Soedirman tidak diberitahu bahwa Cokrosunaryo
bukanlah ayah kandungnya sampai ia berusia 18 tahun.[3] Setelah Cokrosunaryo pensiun
sebagai camat pada akhir 1916, Soedirman ikut dengan keluarganya ke Manggisan, Cilacap.
Di tempat inilah ia tumbuh besar.[1] Di Cilacap, Karsid dan Siyem memiliki seorang putra
lain bernama Muhammad Samingan. Karsid meninggal dunia saat Soedirman berusia enam
tahun, dan Siyem menitipkan kedua putranya pada saudara iparnya dan kembali ke kampung
halamannya di Parakan Onje, Ajibarang.[1][4][5]

Soedirman dibesarkan dengan cerita-cerita kepahlawanan, juga diajarkan etika dan tata krama
priyayi,[6] serta etos kerja dan kesederhanaan wong cilik, atau rakyat jelata.[7] Untuk
pendidikan agama, ia dan adiknya mempelajari Islam di bawah bimbingan KyaiHaji Qahar;
Soedirman adalah anak yang taat agama dan selalu shalat tepat waktu. Ia dipercaya untuk
mengumandangkan adzan dan iqamat.[8] Saat berusia tujuh tahun, Soedirman terdaftar di
sekolah pribumi (hollandsch inlandsche school).[6][9] Meskipun hidup berkecukupan, keluarga
Soedirman bukanlah keluarga kaya. Selama menjabat sebagai camat, Cokrosunaryo tidak
mengumpulkan banyak kekayaan, dan di Cilacap ia bekerja sebagai penyalur mesin jahit
Singer.[4]

Pada tahun kelimanya bersekolah, Soedirman diminta untuk berhenti sekolah sehubungan
dengan ejekan yang diterimanya di sekolah milik pemerintah;[d] permintaan ini awalnya
ditolak, namun Soedirman dipindahkan ke sekolah menengah milik Taman Siswa pada tahun
ketujuh sekolah.[6][9][10] Pada tahun kedelapan, Soedirman pindah ke Sekolah Menengah
Wirotomo[e] setelah sekolah Taman Siswa ditutup oleh Ordonansi Sekolah Liar karena
diketahui tidak terdaftar.[10][11][12] Kebanyakan guru Soedirman di Wirotomo adalah nasionalis
Indonesia, yang turut mempengaruhi pandangannya terhadap penjajah Belanda.[11] Soedirman
belajar dengan tekun di sekolah; gurunya Suwarjo Tirtosupono menyatakan bahwa
Soedirman sudah mempelajari pelajaran tingkat dua di saat kelas masih mempelajari
pelajaran tingkat satu. Meskipun lemah dalam pelajaran kaligrafi Jawa, Soedirman sangat
pintar dalam pelajaran matematika, ilmu alam, dan menulis, baik bahasa Belanda maupun
Indonesia.[13] Soedirman juga menjadi semakin taat agama di bawah bimbingan gurunya,
Raden Muhammad Kholil. Teman-teman sekelasnya memanggilnya "haji" karena
ketaatannya dalam beribadah, dan Soedirman juga memberikan ceramah agama kepada siswa
lain.[14] Selain belajar dan beribadah, Soedirman juga berpartisipasi dalam kelompok musik
sekolah dan bergabung dengan tim sepak bola sebagai bek.[15] Kematian Cokrosunaryo pada
tahun 1934 menyebabkan keluarganya jatuh miskin, namun ia tetap diizinkan untuk
melanjutkan sekolahnya tanpa membayar sampai ia lulus pada akhir tahun.[14][16] Setelah
kepergian ayah tirinya, Soedirman mencurahkan lebih banyak waktunya untuk mempelajari
Sunnah dan doa.[17] Pada usia 19 tahun, Soedirman menjadi guru praktik di Wirotomo.[11]

Saat bersekolah di Wirotomo, Soedirman adalah anggota Perkumpulan Siswa Wirotomo,


klub drama, dan kelompok musik.[18] Ia membantu mendirikan cabang Hizboel Wathan,
sebuah organisasi Kepanduan Putra milik Muhammadiyah. Soedirman menjadi pemimpin
Hizboel Wathan cabang Cilacap setelah lulus dari Wirotomo;[19][20] tugasnya adalah
menentukan dan merencanakan kegiatan kelompoknya. Soedirman menekankan perlunya
pendidikan agama, bersikeras bahwa kontingen dari Cilacap harus menghadiri konferensi
Muhammadiyah di seluruh Jawa.[21] Ia mengajari para anggota muda Hizboel Wathan[f]
tentang sejarah Islam dan pentingnya moralitas, sedangkan pada anggota yang lebih tua ia
berlakukan disiplin militer.[22]

Mengajar
Setelah lulus dari Wirotomo, Soedirman belajar selama satu tahun di Kweekschool (sekolah
guru) yang dikelola oleh Muhammadiyah di Surakarta, tetapi berhenti karena kekuarangan
biaya.[23] Pada 1936, ia kembali ke Cilacap untuk mengajar di sebuah sekolah dasar
Muhammadiyah, setelah dilatih oleh guru-gurunya di Wirotomo. Pada tahun yang sama,
Soedirman menikahi Alfiah, mantan teman sekolahnya dan putri seorang pengusaha batik
kaya bernama Raden Sastroatmojo.[24][25] Setelah menikah, Soedirman tinggal di rumah
mertuanya di Cilacap agar ia bisa menabung untuk membangun rumah sendiri.[24] Pasangan
ini kemudian dikaruniai tiga orang putra; Ahmad Tidarwono, Muhammad Teguh Bambang
Tjahjadi, dan Taufik Effendi, serta empat orang putri; Didi Praptiastuti, Didi Sutjiati, Didi
Pudjiati, dan Titi Wahjuti Satyaningrum.[25][26]

Sebagai guru, Soedirman mengajarkan murid-muridnya pelajaran moral dengan


menggunakan contoh dari kehidupan para rasul dan kisah wayang tradisional.[24] Salah
seorang muridnya menyatakan bahwa Soedirman adalah guru yang adil dan sabar yang akan
mencampurkan humor dan nasionalisme dalam pelajarannya; hal ini membuatnya populer di
kalangan muridnya.[27] Meskipun bergaji kecil, Soedirman tetap mengajar dengan giat.
Akibatnya, dalam beberapa tahun Soedirman diangkat menjadi kepala sekolah meskipun
tidak memiliki ijazah guru.[28] Sebagai hasilnya, gaji bulanannya meningkat empat kali lipat
dari tiga gulden menjadi dua belas setengah gulden. Sebagai kepala sekolah, Soedirman
mengerjakan berbagai tugas-tugas administrasi, termasuk mencari jalan tengah di antara guru
yang berseteru. Seorang rekan kerjanya mengisahkan bahwa Soedirman adalah seorang
pemimpin yang moderat dan demokratis.[29] Ia juga aktif dalam kegiatan penggalangan dana,
baik untuk kepentingan pembangunan sekolah ataupun untuk pembangunan lainnya.[30]
Selama waktu-waktu ini, Soedirman juga terus bergiat sebagai anggota Kelompok Pemuda
Muhammadiyah. Dalam kelompok ini, ia dikenal sebagai negosiator dan mediator yang
lugas, berupaya untuk memecahkan masalah antar para anggota; ia juga berdakwah di masjid
setempat.[31] Soedirman terpilih sebagai Ketua Kelompok Pemuda Muhammadiyah
Kecamatan Banyumas pada akhir 1937. Selama menjabat, ia memfasilitasi seluruh kegiatan
dan pendidikan para anggota, baik dalam bidang agama ataupun sekuler. Ia kemudian
mengikuti seluruh kegiatan Kelompok Pemuda di Jawa Tengah[24][32] dan menghabiskan
sebagian besar waktu luangnya dengan melakukan perjalanan dan berdakwah, dengan
penekanan pada kesadaran diri.[33] Alfiah juga aktif dalam kegiatan kelompok putri
Muhammadiyah Nasyiatul Aisyiyah.[34]

Masa pendudukan Jepang

Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Jenderal Hein ter Poorten dibawa ke
sebuah kamp penahanan, keduanya menyerah setelah tentara Jepang menyerang pada tanggal 9
Maret 1942, yang berlanjut ke pendudukan selama tiga setengah tahun.

Ketika Perang Dunia II pecah di Eropa, diperkirakan bahwa Jepang, yang telah bergerak
mendekati Cina daratan, akan berupaya menginvasi Hindia. Sebagai tanggapan, pemerintah
kolonial Belanda –yang sebelumnya membatasi pelatihan militer bagi pribumi – mulai
mengajari rakyat cara-cara menghadapi serangan udara. Menindaklanjuti hal ini, Belanda
kemudian membentuk tim Persiapan Serangan Udara. Soedirman, yang disegani oleh
masyarakat, diminta untuk memimpin tim di Cilacap. Selain mengajari warga setempat
mengenai prosedur keselamatan untuk menghadapi serangan udara, Soedirman juga
mendirikan pos pemantau di seluruh daerah. Ia dan Belanda juga menangani pesawat udara
yang menjatuhkan material untuk mensimulasikan pengeboman; hal ini bertujuan untuk
mempertinggi tingkat respon.[35]

Jepang mulai menduduki Hindia pada awal 1942 setelah memenangkan beberapa
pertempuran melawan pasukan Belanda dan tentara Koninklijk Nederlands-Indische Leger
(KNIL) yang dilatih oleh Belanda. Pada 9 Maret 1942, Gubernur Jenderal Tjarda van
Starkenborgh Stachouwer dan Jenderal KNIL Hein ter Poorten menyerah. Peristiwa ini
menimbulkan perubahan drastis dalam pemerintahan nusantara dan dan semakin
memperburuk kualitas hidup warga non-Jepang di Hindia, banyak masyarakat pribumi yang
menderita dan mengalami pelanggaran hak asasi manusia di tangan Jepang.[36] Di Cilacap,
sekolah tempat Soedirman mengajar ditutup dan dialih fungsikan menjadi pos militer;[37] ini
adalah bagian dari upaya pemerintah untuk menutup sekolah-sekolah swasta.[g][38] Setelah
Soedirman berhasil meyakinkan Jepang untuk membuka kembali sekolah, ia dan guru lainnya
terpaksa menggunakan perlengkapan standar. Selama periode ini, Soedirman juga terlibat
dalam beberapa organisasi sosial dan kemanusiaan, termasuk sebagai ketua Koperasi Bangsa
Indonesia.[37] Hal ini membuatnya semakin dihormati di kalangan masyarakat Cilacap.[39]

Pada awal 1944, setelah menjabat selama satu tahun sebagai perwakilan di dewan
karesidenan yang dijalankan oleh Jepang (Syu Sangikai),[40] Soedirman diminta untuk
bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA). Jepang sendiri mendirikan PETA
pada Oktober 1943 untuk membantu menghalau invasi Sekutu,[40][41] dan berfokus dalam
merekrut para pemuda yang belum "terkontaminasi" oleh pemerintah Belanda.[42] Meskipun
sempat ragu-ragu, terutama karena cedera lutut yang dialaminya ketika masih remaja,
Soedirman akhirnya setuju untuk memulai pelatihan di Bogor, Jawa Barat. Sehubungan
dengan posisinya di masyarakat, Soedirman dijadikan sebagai komandan (daidanco) dan
dilatih bersama orang lain dengan pangkat yang sama. Di Bogor, ia dilatih oleh para perwira
dan tentara Jepang, para taruna dipersenjatai dengan peralatan yang disita dari Belanda.
Setelah empat bulan pelatihan, Soedirman ditempatkan di batalion Kroya, Banyumas, Jawa
Tengah, tidak jauh dari Cilacap.[h][40][41][43][44]

Jabatan Soedirman sebagai komandan PETA berlalu tanpa banyak peristiwa hingga tanggal
21 April 1945, ketika tentara PETA di bawah komando Kusaeri mulai melancarkan
pemberontakan terhadap Jepang. Diperintahkan untuk menghentikan pemberontakan
tersebut, Soedirman setuju untuk melakukannya dengan syarat agar pemberontak PETA tidak
dibunuh, dan lokasi persembunyian mereka tidak dimusnahkan; syarat ini diterima oleh
komandan Jepang, dan Soedirman beserta pasukannya mulai mencari para pemberontak.
Meskipun anak buah Kusaeri berhasil menembak komandan Jepang, Soedirman melalui
pengeras suara mengumumkan bahwa mereka tidak akan dibunuh, dan para pemberontak pun
mundur.[45] Kusaeri menyerah pada tanggal 25 April.[i] Peristiwa ini meningkatkan dukungan
terhadap Soedirman di kalangan tentara Jepang, meskipun beberapa perwira tinggi Jepang
menyatakan keprihatinannya atas dukungan Soedirman bagi kemerdekaan Indonesia.
Soedirman dan anak buahnya kemudian dikirim ke sebuah kamp di Bogor dengan alasan
akan dilatih; namun sebenarnya mereka dipekerjakan sebagai pekerja kasar dalam upaya
untuk mencegah pemberontakan lebih lanjut, dan desas-desus mengatakan bahwa perwira
PETA akan dibunuh.[46]

Revolusi Nasional
Panglima besar

Rumah dinas Soedirman di Yogyakarta; saat ini menjadi Museum Sasmitaloka.


Setelah berita tentang pengeboman Hiroshima dan Nagasaki mencapai Hindia pada awal
Agustus 1945, yang kemudian diikuti oleh proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal
17 Agustus,[46] kontrol Jepang sudah mulai melemah. Soedirman memimpin pelarian dari
pusat penahanan di Bogor. Meskipun rekannya sesama tahanan ingin menyerang tentara
Jepang, Soedirman menentang hal itu. Setelah memerintahkan yang lainnya untuk kembali ke
kampung halamannya, Soedirman berangkat menuju Jakarta dan bertemu dengan Presiden
Soekarno, yang memintanya untuk memimpin perlawanan terhadap pasukan Jepang di kota.
Karena tidak terbiasa dengan lingkungan Jakarta, Soedirman menolaknya, ia malah
menawarkan diri untuk memimpin pasukan di Kroya. Soedirman bergabung dengan
pasukannya pada tanggal 19 Agustus 1945.[47][48] Di saat yang bersamaan, pasukan Sekutu
sedang dalam proses merebut kembali kepulauan Indonesia untuk Belanda,[j] tentara Inggris
pertama kali tiba pada tanggal 8 September 1945.[49]

Pada tanggal 22 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam
sidangnya memutuskan untuk membentuk tiga badan sebagai wadah untuk menyalurkan
potensi perjuangan rakyat. Badan tersebut adalah Komite Nasional Indonesia (KNI), Partai
Nasional Indonesia (PNI), dan Badan Keamanan Rakyat (BKR).[50] BKR merupakan bagian
dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang semula bernama Badan
Pembantu Prajurit, dan kemudian menjadi Badan Pembantu Pembelaan (BPP). BPP sudah
ada sejak zaman Jepang dan bertugas memelihara kesejahteraan anggota-anggota tentara
PETA dan Heihō.[50] Pada tanggal 18 Agustus 1945, Jepang membubarkan PETA dan Heihō.
Tugas untuk menampung mantan anggota PETA dan Heihō ditangani oleh BPKKP.[51]
Pembentukan BKR merupakan perubahan dari hasil sidang PPKI pada tanggal 19 Agustus
1945 yang telah memutuskan untuk membentuk Tentara Kebangsaan, yang diumumkan oleh
Presiden Soekarno pada tanggal 23 Agustus 1945.[50] BKR ini berfungsi sebagai organisasi
kepolisian,[52] terutama karena pemimpin politik saat itu yang berniat memanfaatkan
diplomasi sebagai sarana penggalangan bantuan internasional terhadap negara baru, dan juga
untuk memungkinan tentara Jepang melihatnya sebagai sebuah ancaman bersenjata sehingga
mencegah kemunculan tentara Jepang yang masih ada di nusantara.[53]

Soedirman dan beberapa rekannya sesama tentara PETA mendirikan cabang BKR di
Banyumas pada akhir Agustus, setelah sebelumnya singgah di Kroya dan mengetahui bahwa
batalion di sana telah dibubarkan. Dalam pertemuannya dengan komandan wilayah Jepang,
Saburo Tamura, dan Residen Banyumas, Iwashige, Soedirman dan Iskak Cokroadisuryo
memaksa Jepang untuk menyerahkan diri dan memberikan senjata mereka, sementara
kerumunan warga Indonesia bersenjata mengepung kamp Jepang. Sebagian besar senjata ini
kemudian digunakan oleh unit BKR Soedirman, menjadikan unitnya sebagai salah satu unit
dengan senjata terbaik di Indonesia; sisa senjata juga dibagikan kepada batalion
lain.[54][55][56][57]

Sebagai negara yang baru merdeka dan belum memiliki militer yang professional, pada
tanggal 5 Oktober 1945 Soekarno mengeluarkan dekrit pembentukan Tentara Keamanan
Rakyat (TKR, sekarang dikenal dengan Tentara Nasional Indonesia). Sebagian besar
personelnya adalah mantan tentara KNIL, sedangkan perwira tinggi berasal dari PETA dan
Heihō.[58] Dekrit mengangkat Soeprijadi sebagai Panglima Besar TKR, namun ia tidak
muncul,[k] dan kepala staff Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo ditetapkan sebagai pemimpin
sementara.[59] Pada bulan Oktober, pasukan Inggris, yang bertugas melucuti senjata tentara
Jepang dan memulangkan tawanan perang Belanda, tiba di Semarang, dan kemudian
bergerak menuju Magelang. Ketika Inggris mulai mempersenjatai kembali tentara Belanda
yang menjadi tawanan perang dan sepertinya sedang mempersiapkan sebuah pangkalan
militer di Magelang, Soedirman –yang sekarang menjadi kolonel – mengirim beberapa
pasukannya di bawah pimpinan Letnan Kolonel Isdiman untuk mengusir mereka; misi ini
berhasil, dan tentara Eropa menarik diri dari Ambarawa, di tengah-tengah Magelang dan
Semarang.[60] Pada 20 Oktober, Soedirman membawahi Divisi V[l] setelah Oerip membagi
Pulau Jawa menjadi divisi militer yang berbeda.[61]

Pada tanggal 12 November 1945, dalam pertemuan pertama TKR, Soedirman terpilih sebagai
pemimpin TKR setelah melalui pemungutan suara buntu dua tahap. Pada tahap ketiga, Oerip
mengumpulkan 21 suara, sedangkan Soedirman unggul dengan 22 suara; para komandan
divisi Sumatera semuanya memilih Soedirman.[m][62][63][64] Soedirman, yang saat itu berusia
29 tahun, terkejut atas hasil pemilihan dan menawarkan diri untuk melepas posisi tersebut
kepada Oerip, namun para peserta rapat tidak mengizinkannya. Oerip, yang telah kehilangan
kendali dalam pertemuan bahkan sebelum pemungutan suara dimulai, merasa senang karena
tidak lagi bertanggung jawab atas TKR. Soedirman tetap menunjuk Oerip sebagai kepala
staff. Sesuai dengan jabatan barunya, Soedirman dipromosikan menjadi Jenderal.[65][66][67]
Setelah pertemuan, Soedirman kembali ke Banyumas sembari menunggu persetujuan
pemerintah dan mulai mengembangkan strategi mengenai bagaimana mengusir tentara
Sekutu.[66][68] Rakyat Indonesia khawatir bahwa Belanda, yang diboncengi oleh Nederlandsch
Indië Civil Administratie (NICA), akan berupaya untuk merebut kembali nusantara. Tentara
gabungan Belanda-Inggris telah mendarat di Jawa pada bulan September, dan pertempuran
besar telah terjadi di Surabaya pada akhir Oktober dan awal November.[69] Ketidakstabilan
ini, serta keraguan Soekarno atas kualifikasi Soedirman,[n] menyebabkan terlambatnya
pengangkatan Soedirman sebagai pemimpin TKR.[70]

Markas TKR pertama, terletak di Gondokusuman, Yogyakarta; saat ini menjadi Museum Dharma
Wiratama.

Sambil menunggu pengangkatan, pada akhir November Soedirman memerintahkan Divisi V


untuk menyerang pasukan Sekutu di Ambarawa, sekali lagi dikomandoi oleh Isdiman; kota
itu dianggap penting secara strategis karena memiliki barak militer dan fasilitas pelatihan
yang sudah ada sejak zaman penjajahan. Serangan ini dilumpuhkan oleh serangan udara dan
tank-tank Sekutu, yang memaksa divisi untuk mundur, Isdiman sendiri tewas dalam
pertempuran, terbunuh oleh pemberondong P-51 Mustang.[71][72] Soedirman kemudian
memimpin Divisi dalam serangan lain terhadap pasukan Sekutu; tentara Indonesia
dipersenjatai dengan berbagai senjata, mulai dari bambu runcing dan katana sitaan sebagai
senjata, sedangkan tentara Inggris dipersenjatai dengan peralatan modern. Soedirman
memimpin di barisan depan sambil memegang sebuah katana.[73] Sekutu, yang fasilitas
serangan udaranya telah musnah saat tentara gerilya menyerang Lapangan Udara Kalibanteng
di Semarang, berhasil dipukul mundur dan bersembunyi di Benteng Willem. Pada 12
Desember, Soedirman memimpin pengepungan empat hari, yang menyebabkan pasukan
Sekutu mundur ke Semarang.[o][68][74]
Soedirman, awal 1946

Pertempuran Ambarawa membuat Soedirman lebih diperhatikan di tingkat nasional,[55] dan


membungkam bisik-bisik yang menyatakan bahwa ia tidak layak menjadi pemimpin TKR
karena kurangnya pengalaman militer dan pekerjaannya sebelumnya adalah guru sekolah.[75]
Pada akhirnya, Soedirman dipilih karena kesetiaannya yang tidak diragukan, sementara
kesetiaan Oerip kepada Belanda dipandang dengan penuh kecurigaan. Soedirman dikukuhkan
sebagai panglima besar TKR pada tanggal 18 Desember 1945.[70] Posisinya sebagai kepala
Divisi V digantikan oleh Kolonel Sutiro,[61] dan mulai berfokus pada masalah-masalah
strategis.[76] Hal yang dilakukannya antara lain dengan membentuk dewan penasihat, yang
bertugas memberikan saran mengenai masalah-masalah politik dan militer.[p] Oerip sendiri
menangani masalah-masalah militer.[77]

Bersama-sama, Soedirman dan Oerip mampu mengurangi perbedaan dan rasa


ketidakpercayaan yang tumbuh di antara mantan tentara KNIL dan PETA, meskipun
beberapa tentara tidak bersedia tunduk kepada militer pusat, dan lebih memilih untuk
mengikuti komandan batalion pilihan mereka. Pemerintah mengganti nama Angkatan Perang
sebanyak dua kali pada Januari 1946, yang pertama adalah Tentara Keselamatan Rakjat,
kemudian diganti lagi menjadi Tentara Repoeblik Indonesia (TRI).[78][79][80] Pergantian nama
ini diakhiri dengan membentuk secara resmi angkatan laut dan angkatan udara pada awal
1946.[79] Sementara itu, pemerintah Indonesia memindahkan pusat pemerintahan dari
Jakarta – sekarang di bawah kontrol Belanda – ke Yogyakarta pada bulan Januari; delegasi
yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir melakukan negosiasi dengan Belanda pada
bulan April dan Mei terkait dengan pengakuan kedaulatan Indonesia, namun tidak
berhasil.[81] Pada tanggal 25 Mei, Soedirman dikukuhkan kembali sebagai panglima besar
setelah reorganisasi dan perluasan militer.[79][78][82] Dalam upacara pengangkatannya,
Soedirman bersumpah untuk melindungi republik "sampai titik darah penghabisan."[q][83]
Menteri Pertahanan yang berhaluan kiri, Amir Sjarifuddin, memperoleh kekuasaan yang lebih
besar setelah reorganisasi militer. Ia mulai mengumpulkan para tentara sosialis dan komunis
di bawah kontrolnya, termasuk unit paramiliter (laskar) sayap kiri yang setia dan didanai oleh
berbagai partai politik.[r] Sjarifuddin melembagakan program pendidikan politik di tubuh
angkatan perang, yang bertujuan untuk menyebarkan ideologi sayap kiri. Memanfaatkan
militer sebagai alat manuvering politik tidak disetujui oleh Soedirman dan Oerip, yang pada
saat itu disibukkan dengan penerapan perlakuan yang sama bagi tentara dari latar belakang
militer berbeda.[84][85][86] Namun, rumor yang beredar mengabarkan bahwa Soedirman sedang
mempersiapkan sebuah kudeta;[87] upaya kudeta tersebut terjadi pada awal Juli 1946, dan
peran Soedirman, kalaupun ada, tidak dapat dipastikan.[s][88] Pada bulan Juli, Soedirman
mengonfirmasi rumor ini melalui pidato yang disiarkan di Radio Republik Indonesia (RRI),
menyatakan bahwa ia, seperti semua rakyat Indonesia, adalah abdi negara,[87] dan jika dirinya
ditawari jabatan presiden, ia akan menolaknya.[89] Di kemudian hari, ia menyatakan bahwa
militer tidak memiliki tempat dalam politik, begitu juga sebaliknya.[90]

Negosiasi dengan Belanda

Soedirman tiba di Jakarta pada tanggal 1 November 1946

Sementara itu, Sjahrir terus berusaha bernegosiasi dengan pasukan Sekutu. Pada tanggal 7
Oktober 1946, Sjahrir dan mantan Perdana Menteri Belanda, Wim Schermerhorn, sepakat
untuk melakukan gencatan senjata. Perundingan ini dimoderatori oleh diplomat Inggris Lord
Killearn, dan juga melibatkan Soedirman. Ia berangkat ke Jakarta dengan menggunakan
kereta khusus pada tanggal 20 Oktober. Namun, ia diperintahkan untuk kembali ke
Yogyakarta setelah tentara Belanda tidak mengizinkan dirinya dan anak buahnya memasuki
Jakarta dengan bersenjata. Soedirman merasa bahwa perintah tersebut melanggar harga
dirinya; Belanda kemudian meminta maaf, menyatakan bahwa peristiwa ini hanyalah
kesalahpahaman. Soedirman berangkat dengan kereta lainnya pada akhir Oktober, dan tiba di
Stasiun Gambir pada tanggal 1 November. Di Jakarta, ia disambut oleh kerumunan
besar.[91][92] Perundingan di Jakarta berakhir dengan perumusan Perjanjian Linggarjati pada
tanggal 15 November; perjanjian ini disahkan pada 25 Maret 1947, meskipun ditentang oleh
para nasionalis Indonesia.[93][94] Soedirman secara lantang juga menentang perjanjian tersebut
karena ia tahu bahwa perjanjian itu akan merugikan kepentingan Indonesia,[95] namun
menganggap dirinya juga wajib mengikuti perintah.[96]

Pada awal 1947, kondisi sudah relatif damai setelah Perjanjian Linggarjati. Soedirman mulai
berupaya untuk mengonsolidasikan TKR dengan berbagai laskar. Dalam upayanya ini,
Soedirman mulai melaksanakan reorganisasi militer; kesepakatan baru bisa tercapai pada Mei
1947, dan pada 3 Juni 1947, Tentara Nasional Indonesia (TNI) diresmikan. TNI terdiri dari
TKR dan tentara dari berbagai kelompok laskar,[95] yang berhasil dirangkul Soedirman
setelah mengetahui bahwa mereka dimanfaatkan oleh partai-partai politik.[97] Namun,
gencatan senjata yang berlangsung pasca Perjanjian Linggarjati tidak bertahan lama. Pada
tanggal 21 Juli 1947, tentara Belanda –yang telah menduduki wilayah peninggalan Inggris
selama penarikan mereka – melancarkan Agresi Militer, dan dengan cepat berhasil menguasai
sebagian besar Jawa dan Sumatera. Meskipun demikian, pemerintahan pusat di Yogyakarta
tetap tak tersentuh.[98] Soedirman menyerukan kepada para tentara untuk melawan dengan
menggunakan semboyan "Ibu Pertiwi memanggil!,[t][99] dan kemudian menyampaikan
beberapa pidato melalui RRI, namun upayanya ini gagal mendorong tentara untuk berperang
melawan Belanda.[100] Terlebih lagi, tentara Indonesia sedang tidak siap dan pertahanan
mereka ditaklukkan dengan cepat.[101]

Garis Van Mook, wilayah yang dikontrol oleh Indonesia ditandai dengan warna merah;[102] pada 1947
Soedirman terpaksa menarik kembali lebih dari 35.000 tentara dari wilayah taklukan Belanda.

Setelah ditekan oleh PBB, yang memandang situasi di bekas Hindia dengan remeh, pada 29
Agustus 1947 Belanda menciptakan Garis Van Mook. Garis ini membagi wilayah-wilayah
yang dikuasai oleh Belanda dan Indonesia. Di sepanjang garis ini, gencatan senjata
diberlakukan.[103] Soedirman memanggil para gerilyawan Indonesia yang bersembunyi di
wilayah taklukan Belanda, memerintahkan mereka agar kembali ke wilayah yang dikuasai
Indonesia. Untuk tetap mengobarkan semangat mereka, ia menyebut penarikan ini dengan
hijrah, merujuk pada perjalanan nabi Muhammad ke Madinah pada tahun 622 M, dan
meyakinkan bahwa mereka akan kembali.[104] Lebih dari 35.000 tentara meninggalkan Jawa
bagian barat dan berangkat menuju Yogyakarta dengan menggunakan kereta dan kapal
laut.[105] Perbatasan ini diresmikan melalui Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948;
penandatangan perjanjian ini di antaranya adalah Amir Sjarifuddin, yang pada saat itu
menjabat sebagai perdana menteri.[103] Di saat yang bersamaan, Sjarifuddin mulai
merasionalisasi TNI (Program Re-Ra) dengan memangkas jumlah pasukan.[106] Pada saat itu,
tentara reguler terdiri dari 350.000 personel, dan lebih dari 470.00 terdapat di laskar.[107]

Dengan adanya program ini, pada tanggal 2 Januari 1948 Presiden Soekarno mengeluarkan
Keputusan Presiden No.1 Tahun 1948, yang memecah pucuk pimpinan TNI menjadi Staf
Umum Angkatan Perang dan Markas Besar Pertempuran. Staf Umum dimasukkan ke dalam
Kementerian Pertahanan di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP).
Sementara itu, Markas Besar Pertempuran dipimpin oleh seorang Panglima Besar Angkatan
Perang Mobil. Pucuk pimpinan TNI dan Staf Gabungan Angkatan Perang beserta seluruh
perwira militer dihapus, dan pangkatnya diturunkan satu tingkat. Presiden kemudian
mengangkat Soerjadi Soerjadarma sebagai Kepala Staf Angkatan Perang dengan KolonelT.B.
Simatupang sebagai wakilnya. Sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Mobil diangkat
Soedirman. Staf Umum Angkatan Perang bertugas sebagai perencana taktik dan siasat serta
berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan, sedangkan Staf Markas Besar Angkatan
Perang Mobil adalah pelaksana taktis operasional.[108]

Pelantikan Soedirman di Istana Negara.


Keputusan Presiden ini menimbulkan reaksi di kalangan angkatan perang. Pada tanggal 27
Februari 1948, presiden mengeluarkan Ketetapan Presiden No.9 Tahun 1948 yang
membatalkan ketetapan yang lama. Dalam ketetapan yang baru ini, Staf Angkatan Perang
tetap di bawah Soerjadi Soerjadarma, sedangkan Markas Besar Pertempuran tetap di bawah
Soedirman, ditambah wakil panglima yaitu Djenderal Major[u]A.H. Nasution. Angkatan
perang berada di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP) yang membawahi
Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL), dan Kepala
Staf Angkatan Udara (KASAU). Dalam penataannya, organisasi ini dibagi menjadi 2 bagian;
penataan kementerian dan pimpinan tertinggi ditangani oleh KASAP, sementara mengenai
pasukan serta daerah-daerah pertahanan ditangani oleh Wakil Panglima Besar Angkatan
Perang.

Tak lama setelah itu, Sjafruddin digulingkan dalam mosi tidak percaya atas keterlibatannya
dalam Perjanjian Renville, dan perdana menteri yang baru, Muhammad Hatta, berupaya
untuk menerapkan program rasionalisasi.[109][106][110] Hal ini menimbulkan perdebatan di
antara kelompok yang pro dan anti-rasionalisasi. Soedirman menjadi tempat mengadu dan
pendorong semangat bagi para tentara, termasuk sejumlah komandan senior yang menentang
program rasionalisasi. Soedirman secara resmi dikembalikan ke posisinya pada tanggal 1 Juni
1948. Untuk menyelesaikan penataan organisasi ini, Soedirman membentuk sebuah panitia
yang anggotanya ditunjuk oleh Panglima sendiri. Anggota panitia terdiri dari Djenderal
Major Susaliy (mantan PETA dan laskar), Djenderal Major Suwardi (mantan KNIL) dan
Djenderal Major A.H. Nasution dari perwira muda. Penataan organisasi TNI selesai pada
akhir tahun 1948, setelah Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera, Kolonel Hidajat
Martaatmadja, menyelesaikan penataan organisasi tentara di Pulau Sumatera.[111]

Setelah program rasionalisasi mereda, Sjarifuddin mulai mengumpulkan tentara dari Partai
Sosialis, Partai Komunis, dan anggota Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia untuk
mengobarkan revolusi proletar di Madiun, Jawa Timur, yang berlangsung pada tanggal 18
September 1948. Soedirman, yang saat itu sedang sakit, mengirim Nasution untuk
memadamkan revolusi;[112] Soedirman juga mengirim dua perwira lainnya sebagai antena
perdamaian sebelum serangan. Meskipun pemimpin revolusi, Muso, telah sepakat untuk
berdamai,[113] Nasution dan pasukannya berhasil menumpas pemberontakan pada 30
September.[v][112] Soedirman mengunjungi Madiun tidak lama setelah pertempuran; ia
mengatakan kepada istrinya bahwa ia tidak bisa tidur di sana karena pertumpahan darah yang
terjadi.[114]

Rumah Sakit Umum Panti Rapih (difoto sekitar tahun 1956) tempat Soedirman dirawat karena
tuberkulosis.
Pemberontakan di Madiun, dan ketidakstabilan politik yang sedang berlangsung,
melemahkan kondisi kesehatan Soedirman. Pada tanggal 5 Oktober 1948, setelah perayaan
hari jadi TNI ketiga, Soedirman pingsan. Setelah diperiksa oleh berbagai dokter, ia
didiagnosis mengidap tuberkulosis (TBC). Pada akhir bulan, ia dibawa ke Rumah Sakit
Umum Panti Rapih dan menjalani pengempesan paru-paru kanan, dengan harapan bahwa
tindakan ini akan menghentikan penyebaran penyakit tersebut. Selama di rumah sakit, ia
melimpahkan sebagian tugas kepada Nasution. Mereka berdua terus mendiskusikan rencana
untuk berperang melawan Belanda, dan Soedirman secara rutin menerima laporan. Mereka
sepakat bahwa perang gerilya, yang telah diterapkan di wilayah taklukan Belanda sejak bulan
Mei, adalah perang yang paling cocok bagi kepentingan mereka; untuk mewujudkan hal ini,
Soedirman mengeluarkan perintah umum pada 11 November,[115][116] dan persiapannya
ditangani oleh Nasution.[w][117] Soedirman dipulangkan dari rumah sakit pada tanggal
28 November 1948.[115][116]

Meskipun ia terus mengeluarkan perintah, Soedirman baru kembali aktif bertugas pada
tanggal 17 Desember. Seiring dengan semakin meningkatnya ketegangan antara tentara
Indonesia dan Belanda, ia memerintahkan TNI untuk meningkatkan kewaspadaan;[118] ia juga
memerintahkan latihan militer skala besar dalam upayanya – yang gagal – untuk meyakinkan
Belanda bahwa TNI terlalu kuat untuk diserang.[119] Dua hari kemudian, diumumkan bahwa
mereka tak lagi terikat dengan Perjanjian Renville. Pada 19 Desember, Belanda melancarkan
Agresi Militer Kedua untuk merebut ibu kota Yogyakarta. Pukul 07.00 Waktu Indonesia
Barat, lapangan udara di Maguwo berhasil diambil alih oleh pasukan Belanda di bawah
pimpinan Kapten Eekhout. Soedirman, yang telah menyadari serangan itu, memerintahkan
stasiun RRI untuk menyiarkan pernyataan bahwa para tentara harus melawan karena mereka
telah dilatih – sebagai gerilyawan.[120]

Perintah Kilat
No. 1/PB/D/48

1. Kita telah diserang.


2. Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang kota Yogyakarta dan
lapangan terbang Maguwo.
3. Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan Gencatan Senjata.
4. Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi
serangan Belanda.[x]

Pidato radio Soedirman, dari Imran (1980)

Soedirman kemudian mengunjungi Istana Presiden di Yogyakarta, tempat para pemimpin


pemerintahan sedang mendiskusikan ultimatum yang menyatakan bahwa kota itu akan
diserbu kecuali para pemimpin menerima kekuasaan kolonial. Soedirman mendesak presiden
dan wakil presiden agar meninggalkan kota dan berperang sebagai gerilyawan, namun
sarannya ini ditolak. Meskipun dokter melarangnya, Soedirman mendapat izin dari Soekarno
untuk bergabung dengan anak buahnya. Pemerintah pusat dievakuasi ke Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat atas desakan Sultan Hamengkubuwono IX, namun mereka
tertangkap dan diasingkan.[121][122]

Perang gerilya
Sebelum memulai gerilya, Soedirman pertama-tama pergi ke rumah dinasnya dan
mengumpulkan dokumen-dokumen penting, lalu membakarnya untuk mencegahnya jatuh ke
tangan Belanda.[123] Soedirman, bersama sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya,
mulai bergerak ke arah selatan menuju Kretek, Parangtritis, Bantul. Setibanya di sana,
mereka disambut oleh bupati pada pukul 18.00. Selama di Kretek, Soedirman mengutus
tentaranya yang menyamar ke kota yang telah diduduki oleh Belanda untuk melakukan
pengintaian, dan meminta istrinya menjual perhiasannya untuk membantu mendanai gerakan
gerilya. Setelah beberapa hari di Kretek, ia dan kelompoknya melakukan perjalanan ke timur
di sepanjang pantai selatan menuju Wonogiri.[124] Sebelum Belanda menyerang, sudah
diputuskan bahwa Soedirman akan mengontrol para gerilyawan dari Jawa Timur, yang masih
memiliki beberapa pangkalan militer.[125] Sementara itu, Alfiah dan anak-anaknya
diperintahkan untuk tinggal di Kraton.[109] Sadar bahwa Belanda sedang memburu mereka,
pada tanggal 23 Desember Soedirman memerintahkan pasukannya untuk melanjutkan
perjalanan ke Ponorogo. Di sana, mereka berhenti di rumah seorang ulama bernama Mahfuz;
Mahfuz memberi sang jenderal sebuah tongkat untuk membantunya berjalan, meskipun
Soedirman terus dibopong dengan menggunakan tandu di sepanjang perjalanan. Mereka
kemudian melanjutkan perjalanan ke timur.[126]

Soedirman, dikelilingi oleh para gerilyawan selama perang gerilya.

Di dekat Trenggalek, Soedirman dan kelompoknya dihentikan oleh prajurit TNI dari Batalion
102.[127] Para tentara ini diberitahu bahwa Soedirman –yang saat itu berpakaian sipil dan dan
tidak dikenali oleh tentara yang menghentikan mereka – adalah tahanan dan menolak untuk
melepaskan Soedirman dan kelompoknya;[128] mereka mencurigai konvoi Soedirman yang
membawa peta dan catatan militer Indonesia, benda yang mungkin dimiliki oleh mata-
mata.[129] Ketika sang komandan, Mayor Zainal Fanani, datang untuk memeriksa keadaan, ia
menyadari bahwa orang itu adalah Soedirman dan segera meminta maaf. Fanani beralasan
bahwa tindakan anak buahnya sudah tepat karena menjaga wilayah dengan saksama. Ia juga
menyebutkan tentang sebuah pos di Kediri dan menyediakan mobil untuk mengangkut
Soedirman dan pasukannya. Setelah beberapa saat di Kediri, mereka melanjutkan perjalanan
lebih jauh ke timur; setelah mereka meninggalkan kota pada tanggal 24 Desember, Belanda
berencana untuk menyerang Kediri.[128]

Serangan Belanda yang berkelanjutan menyebabkan Soedirman harus mengganti pakaiannya


dan memberikan pakaian lamanya pada salah seorang prajuritnya, Letnan Heru Kesser –yang
memiliki kemiripan dengan Soedirman.[128][130][131] Kesser diperintahkan untuk menuju
selatan bersama sekompi besar tentara, mengganti pakaiannya, dan diam-diam kembali ke
utara, sedangkan Soedirman menunggu di Karangnongko. Pengalihan ini berhasil, dan pada
27 Desember, Soedirman dan anak buahnya bergerak menuju Desa Jambu dan tiba pada 9
Januari 1949. Di sana, Soedirman bertemu dengan beberapa menteri yang tidak berada di
Yogyakarta saat penyerangan: Supeno, Susanto Tirtoprojo, dan Susilowati. Bersama para
politisi ini, Soedirman berjalan ke Banyutuwo sambil memerintahkan beberapa tentaranya
untuk menahan pasukan Belanda. Di Banyutuwo, mereka menetap selama seminggu lebih.
Namun, pada 21 Januari, tentara Belanda mendekati desa. Soedirman dan rombongannya
terpaksa meninggalkan Banyutuwo, berjuang menembus jalan dalam hujan lebat.[128]

Soedirman dan pasukannya terus melakukan perjalanan melewati hutan dan rimba, akhirnya
tiba di Sobo, di dekat Gunung Lawu, pada tanggal 18 Februari. Selama perjalanannya ini,
Soedirman menggunakan sebuah radio untuk memberi perintah pada pasukan TNI setempat
jika ia yakin bahwa daerah itu aman. Merasa lemah karena kesulitan fisik yang ia hadapi,
termasuk perjuangannya melewati hutan dan kekurangan makanan, Soedirman yakin bahwa
Sobo aman dan memutuskan untuk menggunakannya sebagai markas gerilya.[132][133]
Komandan tentara setempat, Letnan Kolonel Wiliater Hutagalung, berperan sebagai perantara
antara dirinya dengan pemimpin TNI lain. Mengetahui bahwa opini internasional yang mulai
mengutuk tindakan Belanda di Indonesia bisa membuat Indonesia menerima pengakuan yang
lebih besar, Soedirman dan Hutagalung mulai membahas kemungkinan untuk melakukan
serangan besar-besaran.[134] Sementara itu, Belanda mulai menyebarkan propaganda yang
mengklaim bahwa mereka telah menangkap Soedirman; propaganda tersebut bertujuan untuk
mematahkan semangat para gerilyawan.[55][135]

Soedirman memerintahkan Hutagalung untuk mulai merencanakan serangan besar-besaran,


dengan prajurit TNI berseragam akan menyerang Belanda dan mununjukkan kekuatan
mereka di depan wartawan asing dan tim investigasi PBB. Hutagalung, bersama para prajurit
dan komandannya, Kolonel Bambang Sugeng, serta pejabat pemerintahan di bawah pimpinan
Gubernur Wongsonegoro, menghabiskan waktu beberapa hari dengan membahas cara-cara
untuk memastikan agar serangan itu berhasil.[134] Pertemuan ini menghasilkan rencana
Serangan Umum 1 Maret 1949; pasukan TNI akan menyerang pos-pos Belanda di seluruh
Jawa Tengah. Pasukan TNI di bawah komando Letnan Kolonel Soeharto berhasil merebut
kembali Yogyakarta dalam waktu enam belas jam, menjadi unjuk kekuatan yang sukses dan
menyebabkan Belanda kehilangan muka di mata internasional; Belanda sebelumnya
menyatakan bahwa TNI sudah diberantas.[134][136] Namun, siapa tepatnya yang
memerintahkan serangan ini masih belum jelas: Soeharto dan Hamengkubuwono IX sama-
sama mengaku bertanggung jawab atas serangan ini, sedangkan saudara Bambang Sugeng
juga menyatakan bahwa dia lah yang telah memerintahkan serangan tersebut.[137]

Soedirman (kiri), berkonsultasi dengan Letnan Kolonel Soeharto di Sobo


Karena semakin meningkatnya tekanan dari PBB, pada 7 Mei 1949 Indonesia dan Belanda
menggelar perundingan, yang menghasilkan Perjanjian Roem-Royen. Perjanjian ini
menyatakan bahwa Belanda harus menarik pasukannya dari Yogyakarta, beserta poin-poin
lainnya;[y][138] Belanda mulai menarik pasukannya pada akhir Juni, dan para pemimpin
Indonesia di pengasingan kembali ke Yogyakarta pada awal Juli. Soekarno lalu
memerintahkan Soedirman untuk kembali ke Yogyakarta, tapi Soedirman menolak untuk
membiarkan Belanda menarik diri tanpa perlawanan; ia menganggap pasukan TNI pada saat
itu sudah cukup kuat untuk mengalahkan pasukan Belanda. Meskipun ia dijanjikan akan
diberi obat-obatan dan dukungan di Yogyakarta, Soedirman menolak untuk kembali ke
kalangan politisi, yang menurutnya telah sepaham dengan Belanda. Soedirman baru setuju
untuk kembali ke Yogyakarta setelah menerima sebuah surat, yang pengirimnya masih
diperdebatkan.[z] Pada tanggal 10 Juli, Soedirman dan kelompoknya kembali ke Yogyakarta,
mereka disambut oleh ribuan warga sipil dan diterima dengan hangat oleh para elit politik di
sana.[139][140] Wartawan Rosihan Anwar, yang hadir pada saat itu, menulis pada 1973 bahwa
"Soedirman harus kembali ke Yogyakarta untuk menghindari anggapan adanya keretakan
antar pemimpin tertinggi republik".[141]

Pasca-perang dan kematian


Pada awal Agustus, Soedirman mendekati Soekarno dan memintanya untuk melanjutkan
perang gerilya; Soedirman tidak percaya bahwa Belanda akan mematuhi Perjanjian Roem-
Royen, belajar dari kegagalan perjanjian sebelumnya. Soekarno tidak setuju, yang menjadi
pukulan bagi Soedirman. Soedirman menyalahkan ketidak-konsistenan pemerintah sebagai
penyebab penyakit tuberkulosisnya dan kematian Oerip pada 1948, ia mengancam akan
mengundurkan diri dari jabatannya, namun Soekarno juga mengancam akan melakukan hal
yang sama.[109][142][143] Setelah ia berpikir bahwa pengunduran dirinya akan menyebabkan
ketidakstabilan, Soedirman tetap menjabat,[144] dan gencatan senjata di seluruh Jawa mulai
diberlakukan pada tanggal 11 Agustus 1949.[145]

Jenazah Soedirman disemayamkan di rumahnya di Yogyakarta

Soedirman terus berjuang melawan TBC dengan melakukan pemeriksaan di Panti Rapih.[144]
Ia menginap di Panti Rapih menjelang akhir tahun, dan keluar pada bulan Oktober; ia lalu
dipindahkan ke sebuah sanatorium di dekat Pakem.[146] Akibat penyakitnya ini, Soedirman
jarang tampil di depan publik.[147][148][149] Ia dipindahkan ke sebuah rumah di Magelang pada
bulan Desember.[150] Di saat yang bersamaan, pemerintah Indonesia dan Belanda
mengadakan konferensi panjang selama beberapa bulan yang berakhir dengan pengakuan
Belanda atas kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949.[151] Meskipun sedang sakit,
Soedirman saat itu juga diangkat sebagai panglima besar TNI di negara baru bernama
Republik Indonesia Serikat. Pada 28 Desember, Jakarta kembali dijadikan sebagai ibu kota
negara.[146]
Peti mati Soedirman dibopong oleh para tentara.

Soedirman wafat di Magelang pada pukul 18.30 tanggal 29 Januari 1950; kabar duka ini
dilaporkan dalam sebuah siaran khusus di RRI.[147] Setelah berita kematiannya disiarkan,
rumah keluarga Soedirman dipadati oleh para pelayat, termasuk semua anggota Brigade IX
yang bertugas di lingkungan tersebut. Keesokan harinya, jenazah Soedirman dibawa ke
Yogyakarta, diiringi oleh konvoi pemakaman yang dipimpin oleh empat tank dan delapan
puluh kendaraan bermotor,[149] dan ribuan warga yang berdiri di sisi jalan. Konvoi tersebut
diselenggarakan oleh anggota Brigade IX.[150]

Jenazah Soedirman disemayamkan di Masjid Gedhe Kauman pada sore hari, yang dihadiri
oleh sejumlah elit militer dan politik Indonesia maupun asing, termasuk Perdana Menteri
Abdul Halim, Menteri Pertahanan Hamengkubuwono IX, Menteri Kesehatan Johannes
Leimena, Menteri Keadilan Abdoel Gaffar Pringgodigdo, Menteri Informasi Arnold
Mononutu, Kepala Staff TNI AU Soerjadi Soerjadarma, Kolonel Paku Alam VIII, dan
Soeharto. Upacara ini ditutup dengan prosesi hormat 24 senjata.[149] Jenazah Soedirman
kemudian dibawa ke Taman Makam Pahlawan Semaki dengan berjalan kaki, sementara
kerumunan pelayat sepanjang 2 kilometer (1.2 mi) mengiringi di belakang.[149] Ia
dikebumikan di sebelah Oerip setelah prosesi hormat senjata. Istrinya menuangkan tanah
pertama ke makamnya,[152] lalu diikuti oleh para menteri.[149] Pemerintah pusat
memerintahkan pengibaran bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung di seluruh
negeri,[148] dan Soedirman dipromosikan menjadi jenderal penuh.[55] Djenderal Major Tahi
Bonar Simatupang terpilih sebagai pemimpin angkatan perang yang baru.[149] Memoar
Soedirman diterbitkan pada tahun itu, dan rangkaian pidato-pidatonya juga diterbitkan pada
tahun 1970.[153]

Peninggalan
Makam Soedirman di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta; makam ini telah menjadi tujuan
para peziarah.

Surat kabar harian Yogyakarta, Kedaulatan Rakjat, menulis bahwa Indonesia telah
kehilangan seorang "pahlawan yang jujur dan pemberani."[aa][148] Kolonel Paku Alam VIII,
yang bertanggung jawab atas wilayah Yogyakarta, mengatakan kepada kantor berita nasional
Antara bahwa seluruh rakyat Indonesia, khususnya angkatan perang, telah "kehilangan
seorang bapak yang tidak ternilai jasa-jasanya kepada tanah air".[ab][55] Tokoh Muslim
Indonesia, Haji Abdul Malik Karim Amrullah, menggambarkan sosok Soedirman sebagai
"lambang dari kebangunan jiwa pahlawan Indonesia",[ac][90] sedangkan politisi Muslim
Muhammad Isa Anshary menyatakan bahwa Soedirman adalah "putra revolusi, karena dia
lahir dalam revolusi, dan dibesarkan oleh revolusi".[ad][154] Dalam sebuah pidato radio, Hatta
mengungkapkan bahwa Soedirman adalah sosok yang tidak mungkin bisa dikontrol dan keras
kepala, tapi tetap bertekad untuk melakukan yang benar bagi negara; Hatta berkata meskipun
Soedirman tidak menyukai jabatan pemerintahan, ia secara umum tetap mematuhi
perintahnya.[55] Namun, Hamengkubuwono IX mengungkapkan bahwa tentara terlatih seperti
Abdul Haris Nasution dan Tahi Bonar Simatupang kecewa terhadap Soedirman karena latar
belakang dan pengetahuan teknik militernya yang buruk.[155]

Opini modern yang berkembang di Indonesia mengenai Soedirman cenderung berupa pujian.
Sardiman, seorang profesor sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta, menulis bahwa
Soedirman hidup sebagai pembicara seperti Soekarno, yang dikenal karena pidatonya yang
berapi-api,[156] dan pemimpin yang berbakti dan tidak bisa disuap.[157] Sejarawan Indonesia
dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho Notosusanto menggambarkan Soedirman
sebagai "satu-satunya idolanya", menyatakan bahwa masa-masa gerilya sang jenderal adalah
asal esprit de corps TNI.[158] Kampanye gerilya Soedirman lebih ditekankan dalam
biografinya karena pada masa ini, angkatan perang memiliki peran yang lebih besar jika
dibandingkan dengan pemimpin politik di pengasingan.[158] Sejak 1970-an, semua taruna
militer harus menelusuri kembali rute gerilya Soedirman sepanjang 100-kilometer (62 mi)
sebelum lulus dari Akademi Militer, bentuk "ziarah" yang bertujuan untuk menanamkan rasa
perjuangan.[159] Makam Soedirman juga menjadi tujuan ziarah, baik dari kalangan militer
ataupun masyarakat umum.[160] Menurut Katharine McGregor dari Universitas Melbourne,
militer Indonesia telah memuliakan status Soedirman menjadi semacam orang suci.[161]

Soedirman telah menerima berbagai tanda kehormatan dari pemerintah pusat secara
anumerta, termasuk Bintang Sakti, Bintang Gerilya,[162]Bintang Mahaputra
Adipurna,[163]Bintang Mahaputra Pratama,[164]Bintang Republik Indonesia Adipurna,[165] dan
Bintang Republik Indonesia Adipradana.[166][ae] Pada 10 Desember 1964, Soedirman
ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 314 Tahun
1964. Oerip juga dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional oleh keputusan yang sama.[167]
Soedirman dipromosikan menjadi Jenderal Besar pada tahun 1997.[168]

Soedirman pada uang kertas 5 rupiah keluaran 1968.


Menurut McGregor, militer memanfaatkan sosok Soedirman sebagai simbol kepemimpinan
setelah mereka meraih kekuasaan politik.[153] Gambar Soedirman ditampilkan dalam seri
uang kertas rupiah terbitan 1968.[af] Soedirman juga ditampilkan sebagai karakter utama
dalam beberapa film perang, termasuk Janur Kuning (1979) dan Serangan Fajar (1982).[153]

Terdapat banyak museum yang didedikasikan untuk Soedirman. Rumah masa kecilnya di
Purbalingga saat ini menjadi Museum Soedirman,[169] sedangkan rumah dinasnya di
Yogyakarta dijadikan Museum Sasmitaloka Jenderal Soedirman.[153] Rumah kelahirannya di
Magelang juga dijadikan Museum Soedirman, yang didirikan pada tanggal 18 Mei 1967 dan
menyimpan barang-barang milik sang jenderal.[170] Museum lainnya, termasuk Monumen
Yogya Kembali di Yogyakarta dan Museum Satria Mandala di Jakarta, memiliki ruangan
khusus yang didedikasikan untuk dirinya.[153] Sejumlah jalan juga dinamai sesuai namanya,
termasuk sebuah jalan utama di Jakarta;[109] McGregor menyatakan bahwa hampir setiap kota
di Indonesia memiliki jalan bernama Soedirman. Patung dan monumen yang didedikasikan
untuk dirinya juga tersebar di seluruh negeri, sebagian besarnya dibangun setelah tahun
1970.[153]Universitas Jenderal Soedirman di Purwokerto, Banyumas, didirikan pada 1963 dan
dinamai sesuai namanya.
I Gusti Ngurah Rai

Nama lahir I Gusti Ngurah Rai

30 Januari1917
Lahir
Desa Carangsari, Petang, Kabupaten Badung, Bali, Hindia Belanda

20 November1946 (umur 29)


Meninggal
Marga, Tabanan, Bali, Indonesia

Pengabdian Indonesia

Dinas/cabang Tentara

Pangkat Kolonel Letnan

Perang Pertempuran Margarana

Penghargaan Pahlawan Nasional Indonesia

Gambar I Gusti Ngurah Rai pada uang rupiah pecahan 50 ribu


Pembagian politis kerajaan Bali di saat Revolusi (1945-49)

KolonelTNIAnumertaI Gusti Ngurah Rai (lahir di Desa Carangsari, Petang, Kabupaten


Badung, Bali, Hindia Belanda, 30 Januari1917 – meninggal di Marga, Tabanan, Bali,
Indonesia, 20 November1946 pada umur 29 tahun) adalah seorang pahlawanIndonesia dari
Kabupaten Badung, Bali.

Ngurah Rai memiliki pasukan yang bernama "TOKRING" KOTOK GARING melakukan
pertempuran terakhir yang dikenal dengan nama Puputan Margarana. (Puputan, dalam bahasa
bali, berarti "habis-habisan", sedangkan Margarana berarti "Pertempuran di Marga"; Marga
adalah sebuah desa ibukota kecamatan di pelosok Kabupaten Tabanan, Bali)

Bersama 1.372 anggotanya pejuang MBO (Markas Besar Oemoem) Dewan Perjoeangan
Republik Indonesia Sunda Kecil (DPRI SK) dibuatkan nisan di Kompleks Monumen de
Kleine Sunda Eilanden, Candi Marga, Tabanan. Detil perjuangan I Gusti Ngurah Rai dan
resimen CW dapat disimak dari beberapa buku, seperti "Bergerilya Bersama Ngurah Rai"
(Denpasar: BP, 1994) kesaksian salah seorang staf MBO DPRI SK, I Gusti Bagus Meraku
Tirtayasa peraih "Anugrah Jurnalistik Harkitnas 1993", buku "Orang-orang di Sekitar Pak
Rai: Cerita Para Sahabat Pahlawan Nasional Brigjen TNI (anumerta) I Gusti Ngurah Rai"
(Denpasar: Upada Sastra, 1995), atau buku "Puputan Margarana Tanggal 20 November1946"
yang disusun oleh Wayan Djegug A Giri (Denpasar: YKP, 1990).

Pemerintah Indonesia menganugerahkan Bintang Mahaputra dan kenaikan pangkat menjadi


BrigjenTNI (anumerta). Namanya kemudian diabadikan dalam nama bandar udara di Bali,
Bandara Ngurah Rai.
Profil Agus Salim

Nama Lengkap : Agus Salim

Lahir : Sumatera Barat, 8 Oktober 1884

Meninggal : Jakarta, 4 November 1954 (70 Tahun)

Zodiac : Balance

Profesi : Jurnalis, Diplomat

Makam : Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta

Warga Negara : Indonesia

Agama : Islam

Biografi Agus Salim


Agus Salim terlahir sebagai anak keempat dari pasangan Soetan Mohamad Salim dan Siti
Zaenab pada tanggal 8 Oktober 1884 di Koto Gadang, Agam Sumatera Barat. Ayahnya,
seorang Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau. Mashudul Haq yang berarti ``Pembela
Kebenaran`` adalah nama yang diberikan oleh orang tuanya saat beliau lahir. Menelusuri
jejak dalam biografi Agus Salim, kita mendapati kecerdasannya sangat menonjol dibanding
teman-temannya. Terlahir dari keluarga yang berada, membuat Agus Salim dapat
mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah Belanda tanpa hambatan. Pada usia 19 tahun,
belai lulus dari HBS (Hogere Burger School) atau sekolah menengah atas saat ini dalam
waktu 5 tahun dengan menyandang predikat lulusan terbaik di tiga kota yaitu Surabaya,
Semarang, dan Jakarta. Pada usia mudanya itu, Agus salim mampu menguasai sedikitnya
tujuh bahasa asing; Belanda, Inggris, Arab, Turki, Perancis, Jepang,dan Jerman.

Semangat belajar Agus Salim terus Menyala, dan berbekal sebagai lulusan terbaik dia
mengajukan beasiswa kepada pemerintah Belanda untuk dapat melanjutkan sekolah
Kedokteran di Belanda. Tanpa sebab yang jelas, ternyata permohonannya ditolak yang
membuatnya kecewa. Disisi lain, R.A. Kartini yang hidup sejaman dengan Agus Salim,
mendapatkan beasiswa dari pemerintah Belanda untuk bisa belajar di negeri Kincir Angin
tersebut. Namun,karena beliau telah menikah, yang dalam tradisi adat Jawa, tidak
memperbolehkan seorang wanita yang sudah menikah jauh dari suaminya mengurungkan niat
belajarnya. Mengetahui ada anak muda yang cerdas dan merupakan lulusan terbaik dari tiga
kota sekaligus, maka kartini berkirim surat kepada temannya, Ny. Abendanon yang
merupakan istri pejabat di negeri Belanda yang berwenang menentukan beasiswa untuk
mengalihkan beasiswa kepada Agus Salim. Pengajuan pengalihan beasiswa R.A. kartini
kepada Agus Salim disetujui oleh pemerintah Belanda. Membaca biografi Agus Salim kita
dapati, kalau dia orang yang memiliki kemerdekaan diri yang tinggi. Beasiswa dari
pemerintah Belanda justru ditolaknya, karena Ia tahu, itu bukan murni atas prestasinya,
namun karena atas permintaan seorang bangsawan bernama Kartini. Dia justru merasa
tersinggung atas perlakuan yang tidak adil tersebut.

Dalam biografi Agus Salim disebutkan, pada tahun 1906 bersamaan dengan gagalnya dia
melanjutkan sekolah, beliau mendapatkan tawaran kerja sebagai penerjemah di konsulat
Belanda di Jeddah, Arab Saudi. Beliau menerima pekerjaan tersebut dalam kurun waktu 2
tahun antara tahun 1909 sampai 1911. Disela-sela pekerjaannya, beliau menimba ilmu lebih
jauh tentang agama Islam kepada Syech Ahmad Khatib, seorang Imam di Masjidil Haram
yang juga pamannya sendiri dan merupakan guru dari KH. Hasyim Asy`ari pendiri NU dan
KH. Ahmad dahlan Pendiri Muhammadiyah. Selain belajar agama, beliau juga belajar
mengenai ilmu diplomasi dan politik. Perpaduan ketajaman ilmu Agama, ilmu Politik,
Kemampuan Bahasa asing dan kecerdasannya yang tinggi membuatnya menjadi pribadi yang
disegani. Saat pulang ke tanah air, beliau langsung aktif dalam pergerakan nasional dan juga
mendirikan Sekolah HIS (Hollandsche Inlandesche School.

Melanjutkan biografi Agus Salim, perjuangan politiknya diawali saat bergabung dengan
Serikat Islam pada tahun 1915 yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis.
Beliau sempat menjadi anggota Volksraad ( semacam DPR/MPR) dari perwakilan SI di
pemerintah Hindia Belanda menggantikan seniornya HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis.
Agus Salim tidak bertahan lama dan mengalami kekecewaan atas kebijakan pemerintah
Hindia Belanda sebagaimana pendahulunya dan berkesimpulan berjuang dari dalam tidak
efektif hingga memutuskan focus berjuang melalui SI. Pada tahun 1923 SI pecah secara
ideolgi menjadi SI kiri atau SI merah yang berideologikan ke ``kiri`` yang dipimpin oleh
Semaun dan Darsono yang menjadi cikal bakal PKI dengan SI kanan atau SI Putih yang
berhaluan ideology kanan, dimana Agus Salim tergabung didalamnya dengan Tjokroaminoto.
Agus Salim sering mendapat tuduhan sebagai mata-mata Belanda, namun ditepisnya dengan
keberaniannya untuk mengkritik pemerintah Belanda melalui pidato-pidatonya. Agus Salim
menjadi pimpinan puncak SI menggantikan HOS Tjokroaminoto yang wafat pada tahun
1934. Selain di SI, beliau mendirikan juga organisasi Jong Islamieten Bond dan melakukan
perubahan pola pikir dari yang kaku ke Islam moderat dengan meniadakan hijab pemisah
antara tempat duduk laki-laki dan perempuan pada kongres ke 2 Jong Islamieten Bond di
Yogyakarta tahun 1927.
Membaca biografi Agus Salim lebih dalam kita menemukan keterlibatan beliau sebagai
anggota PPKI yang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan Indonesia,
beliau mendapat mandate sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung. Pada Kabinet
Syahrir I dan II, beliau di tunjuk menjadi Menteri Muda Luar Negeri. Begitu pula pada
cabinet Hatta. Berlanjut setelah kedaulatan Indonesia diakui oleh internasional, beliau
ditunjuk menjadi penasihat Menteri Luar Negeri. ``The Grand Old Man`` adalah julukan
terhadap Agus Salim, karena kepiawainnya dalam berdiplomasi yang tidak tertandingi pada
jamannya. Salah satu contoh, beliau sangat cerdik untuk mendapatkan pengakuan atas
kemerdekaan Indonesia dari Negara Jerman. Negara Jerman yang merasa keturunan bangsa
Arya berlaku sombong dan menganggap rendah Negara atau orang yang tidak bisa berbahasa
Jerman. Maka, saat kunjungannya sebagai Menteri Luar Negeri, dia menyusun naskah
pidatonya dalam Bahasa Jerman yang sangat fasih dan memukau petinggi Jerman hingga
akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia.

Menelaah biografi Agus Salim, kita akan menemukannya sebagai sosok yang merdeka dalam
berpikir dan bertindak. Beliau tidak mau terkungkung dalam batasan-batasan, termasuk
mendobrak tradisi Minang yang menurutnya kolot. Walaupun seorang tokoh yang disegani
dan sangat cerdas, penampilannya sangat sederhana,sering hanya menggunakan sarung dan
peci. Beliau tidak tidak memiliki brumah tetap dan selalu berpindah-pindah dari satu kota ke
kota lain. Di tiap kota, beliau hanya menyewa rumah yang kecil dan sederhana. Dalam hal
pendidikan anak, beliau mengajarnya sendiri atau home schooling kalau dalam istilah
sekarang. Hanya anaknya yang paling kecil yang disekolahkan secara formal. Beliau
beranggapan, semua keahliannya tidak diperoleh disekolah formal, namun lebih karena
belajar mandiri atau otodidak dengan ``learning by doing``. Beliau melakukan perlawanan
terhadap kekuasaan Belanda dalam hal pendidikan dengan berujar`` saya telah melalui jalan
berlumpur akibat pendidikan kolonial``. Haji Agus Salim begitu akrab panggilannya di
lintasan sejarah, wafat dalam usia 70 tahun tepatnya pada 4 November 1954 dan dimakamkan
di TMP Kalibata. Atas segala jasa dan perjuangannya, beliau mendapat anugerah sebagai
salah satu Pahlawan Nasional Indonesia yang tertuang dalam Keppres nomor 657 tertanggal
27 Desember 1961.

Pendidikan Agus Salim


 Europeesche Lagere School (ELS)
 Hoogere Burgerschool (HBS)

Penghargaan Agus Salim


 Pahlawan Nasional Indonesia SK Keppres nomor 657 tahun 1961

Seperti itulah ulasan Biografi Agus Salim salah satu tokoh pahlawan nasional Indonesia dari
Sumatera Barat yang sempat BiografiPahlawan.com bagikan kepada pembaca. Semoga
dengan hadirnya biografi diatas dapat membantu pembaca dalam mengenal lebih dalam
sosok Agus Salim.

Anda mungkin juga menyukai