Anda di halaman 1dari 17

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja

dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah sejarah Indonesia tentang tokoh
pahlawan nasional: KH. Wahid Hasyim
    Makalah ini telah kami susun dengan semaksimal mungkin dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
    Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
    Akhir kata kami berharap semoga makalah kami dapat memberikan manfaat maupun inpirasi
terhadap pembaca.

BAB I

A.      Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang mayoritas rakyatnya menganut agama islam. Namun, dalam
catatan sejarah, ada seorang tokoh islam yang sangat bijaksana dan mampu menjadi penengah
dalam konflik sila pertama pancasila. Beliau mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan
memberikan solusi yang adil dan dapat diterima oleh semua pihak. Beliau adalah KH. Wahid
Hasyim.
Selain itu beliau juga tergabung dalam beberapa organisasi penting seperti MIAI, BPUPKI
dan PPKI. Beliau ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sejak masih muda.
Tidak hanya itu, beliau juga ikut berjuang mengisi pemerintahan indonesia setelah
kemerdekaan berhasil diraih. Beliau menduduki kursi politik sebagai Menteri Urusan Agama
pertama Indonesia.
Merujuk pada pemaparan diatas, kami mengangkat Tokoh Pahlawan Nasional: KH. Wahid
Hasyim sebagai judul makalah kami.
B.       Rumusan Masalah
1.        Bagaimana latar belakang kehidupan Tokoh-tokoh Pendiri Kerajaan Islam di Indonesia?
2.        Apa saja peranan Tokoh-tokoh Pendiri Kerajaan Islam di Indonesia?

C.       Tujuan
1.        Memenuhi tugas mata pelajaran Pendidikan Agama Islam
2.        Mengetahui sejarah kehidupan Tokoh-tokoh Pendiri Kerajaan Islam di Indonesia
3.        Mengetahui peranan Tokoh-tokoh Pendiri Kerajaan Islam di Indonesia
4.        Dapat memahami perjuangan Tokoh-tokoh Pendiri Kerajaan Islam di Indonesia
5.        Dapat meneladani sifat dan pola pikir Tokoh-tokoh Pendiri Kerajaan Islam di Indonesia

1. Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten


Sultan Ageng Tirtayasa atau Pangeran Surya (Lahir di Kesultanan Banten, 1631 –
meninggal di Batavia, Hindia Belanda, 1692 pada umur 60 - 61 tahun) adalah Sultan
Banten ke-6. Ia naik takhta pada usia 20 tahun menggantikan kakeknya, Sultan Abdul
Mafakhir yang wafat pada tanggal 10 Maret 1651, setelah sebelumnya ia diangkat
menjadi Sultan Muda dengan gelar Pangeran Adipati atau Pangeran Dipati, menggantikan
ayahnya[2] yang wafat lebih dulu pada tahun 1650.

Biografi
Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra dari Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad (Sultan Banten
periode 1640-1650) dan Ratu Martakusuma. Sejak kecil ia bergelar Pangeran Surya, kemudian
ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Dipati. Setelah
kakeknya meninggal dunia pada tanggal 10 Maret 1651, ia diangkat sebagai Sultan Banten ke-6
dengan gelar Sultan Abu al-Fath Abdulfattah.
Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di
dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang).
Perjuangan
Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 - 1683. Ia
memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian
monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak
perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka. Saat itu, Sultan Ageng
Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar.
Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka
sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh
Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.
Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut
campur dengan cara bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa.
Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu
Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan Saint-Martin.
Hubungan Diplomatik
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Kesultanan Banten aktif membina hubungan
baik dan kerjasama dengan berbagai kesultanan di sekitarnya, bahkan dengan negara lain di
luar Nusantara. Banten menjalin hubungan dengan Turki, Inggris, Aceh, Makassar, Arab, dan
kerajaan lain.
Banten dan Kerajaan Nusantara lain
Sekitar tahun 1677, Banten mengadakan kerjasama dengan Trunojoyo yang sedang
memberontak terhadap Mataram. Tidak hanya itu, Banten juga menjalin hubungan baik
dengan Makassar, Bangka, Cirebon dan Inderapura.
Banten dan Prancis
Sultan Ageng Tirtayasa berhasil menjalin hubungan dagang dan kerja sama dengan pedagang-
pedagang Eropa selain Belanda, seperti Inggris, Denmark, dan Prancis.
Pada tahun 1671, Raja Prancis Louis XIV mengutus François Caron, pimpinan Kongsi Dagang
Prancis di Asia sekaligus pemimpin armada pelayaran ke Nusantara. Setelah mendarat di
pelabuhan Banten, ia diterima oleh Syahbandar Kaytsu, seorang Tionghoa muslim. Pada 16
Juli 1671, raja didampingi oleh beberapa pembesar kerajaan mendatangi kediaman orang-orang
Prancis di kawasan Pecinan. Caron meminta izin untuk membuka kantor perwakilan di Banten.
Hal itu berangkat dari pengalaman Caron yang pernah bekerja pada VOC dan berambisi
membuat kongsi dagang Prancis sebesar VOC[8]. Raja kemudian menanyakan tujuan kongsi
dagang mereka, ke mana tujuan kapal-kapal mereka, barang dagangan yang diinginkan, dan
jumlah uang tunai yang mereka miliki. Sesudah itu pihak Prancis berusaha menjual barang
muatan mereka. Barang-barang dagangan apa saja dapat dijual, kecuali candu yang dilarang
keras beredar di Banten.
Caron kembali mengunjungi raja dan menghadiahkan getah damar, dua meja besar (yang dibawa
dari Surat, India), dua belas pucuk senapan, dua jenis mortir, beberapa granat, dan hadiah lain.
Caron dan Gubernur Banten kemudian menyetujui perjanjian yang berisi sepuluh kesepakatan
mengenai pemberian kemudahan dan hak-hak khusus kepada pihak Prancis, sama dengan yang
diberikan kepada pihak Inggris.
Banten dan Inggris
Hubungan baik antara Inggris dan Banten sudah terjalin sejak lama, salah satunya adalah
ketika Sultan Abdul Mafakhir mengirimkan surat ucapan selamat pada
tahun 1602 kepada Kerajaan Inggris atas dinobatkannya Charles I sebagai Raja Inggris. Sultan
Abdul Mafakhir juga memberikan izin kepada Inggris untuk membuka kantor dagang. Bahkan,
Banten menjadi pusat kegiatan dagang Inggris sampai akhir masa penerintahan Sultan Ageng
Tirtayasa tahun 1682, karena saat itu terjadi perang saudara antara Sultan dengan
putranya, Sultan Haji. Sultan Haji meminta bantuan Belanda, sedangkan Sultan Ageng Tirtayasa
diketahui meminta bantuan dari Kerajaan Inggris untuk melawan kekuatan anaknya itu.[10][11]
Pada 1681, Sultan Haji mengirim surat kepada Raja Charles II. Dalam suratnya, dia berminat
membeli senapan sebanyak 4000 pucuk dan peluru sebanyak 5000 butir dari Inggris. Sebagai
tanda persahabatan, Sultan Haji menghadiahkan permata sebanyak 1757 butir. Surat ini juga
merupakan pengantar untuk dua utusan Banten bernama Kiai Ngabehi Naya Wipraya dan Kiai
Ngabehi Jaya Sedana. Tidak lama kemudian, Sultan Ageng Tirtayasa mengirim surat kepada
Raja Charles II meminta bantuan berupa senjata dan mesiu untuk berperang melawan putranya
yang dibantu VOC.
Keluarga
Sultan Ageng Tirtayasa memiliki 18 orang putera

1. Sultan Abu Nashar Abdulqahar


2. Pangeran Purbaya
3. Tubagus Abdul
4. Tubagus Rajaputra
5. Tubagus Husaen
6. Tubagus Ingayudadipura
7. Raden Mandaraka
8. Raden Saleh
9. Raden Rum
10.Raden Sugiri
11.Raden Muhammad
12.Tubagus Rajasuta
13.Raden Muhsin
14.Arya Abdulalim
15.Tubagus Muhammad Athif
16.Tubagus Wetan
17.Tubagus Kulon
18.Raden Mesir
Kematian dan Penghargaan
Pada tahun 1683, Sultan Ageng tertangkap dan dipenjarakan di Batavia. Ia meninggal dunia
dalam penjara dan dimakamkan di Komplek Pemakaman Raja-raja Banten, di sebelah
utara Masjid Agung Banten, Banten Lama.
Atas jasa-jasanya pada negara, Sultan Ageng Tirtayasa diberi gelar pahlawan
Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 045/TK/Tahun 1970, tanggal 1
Agustus 1970.
Nama Sultan Ageng Tirtayasa juga kemudian diabadikan menjadi nama salah satu perguruan
tinggi negeri di Banten, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Panembahan Senopati 
Danang Sutawijaya (lahir: ? - wafat: Jenar, 1601) adalah pendiri Kesultanan Mataram yang
memerintah sebagai raja pertama pada tahun 1587-1601, bergelar Panembahan Senopati ing
Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa. Tokoh ini dianggap sebagai peletak dasar-
dasar Kesultanan Mataram. Riwayat hidupnya banyak digali dari kisah-kisah tradisional,
misalnya naskah-naskah babad karangan para pujangga zaman berikutnya.

Asal Usul
Danang Sutawijaya adalah putra sulung pasangan Ki Ageng Pamanahan dan Nyai Sabinah.
Menurut naskah-naskah babad, ayahnya adalah keturunan Brawijaya raja terakhir Majapahit,
sedangkan ibunya adalah keturunan Sunan Giri anggota Walisanga. Hal ini seolah-olah
menunjukkan adanya upaya para pujangga untuk mengkultuskan raja-raja Kesultanan Mataram
sebagai keturunan orang-orang istimewa.
Nyai Sabinah memiliki kakak laki-laki bernama Ki Juru Martani, yang kemudian diangkat
sebagai patih pertama Kesultanan Mataram. Ia ikut berjasa besar dalam mengatur strategi
menumpas Arya Penangsang pada tahun 1549.
Sutawijaya juga diambil sebagai anak angkat oleh Hadiwijaya bupati Pajang sebagai pancingan,
karena pernikahan Hadiwijaya dan istrinya sampai saat itu belum dikaruniai anak. Sutawijaya
kemudian diberi tempat tinggal di sebelah utara pasar sehingga ia pun terkenal dengan sebutan
Raden Ngabehi Loring Pasar.

Peran Awal
Sayembara menumpas Arya Penangsang tahun 1549 merupakan pengalaman perang pertama
bagi Sutawijaya. Ia diajak ayahnya ikut serta dalam rombongan pasukan supaya Hadiwijaya
merasa tidak tega dan menyertakan pasukan Pajang sebagai bala bantuan. Saat itu Sutawijaya
masih berusia belasan tahun.
Arya Penangsang adalah Bupati Jipang Panolan yang telah membunuh Sunan Prawoto raja
terakhir Kesultanan Demak. Ia sendiri akhirnya tewas di tangan Sutawijaya. Akan tetapi sengaja
disusun laporan palsu bahwa kematian Arya Penangsang akibat dikeroyok Ki Ageng Pamanahan
dan Ki Panjawi, karena jika Sultan Hadiwijaya sampai mengetahui kisah yang sebenarnya
(bahwa pembunuh Bupati Jipang Panolan adalah anak angkatnya sendiri), dikhawatirkan ia akan
lupa memberikan hadiah.
Memberontak terhadap Pajang
Usai sayembara, Ki Panjawi mendapatkan tanah Pati dan menjadi bupati di sana sejak tahun
1549, sedangkan Ki Ageng Pamanahan baru mendapatkan tanah Mataram sejak tahun 1556.
Sepeninggal Ki Ageng Pamanahan tahun 1575, Sutawijaya menggantikan kedudukannya sebagai
pemimpin Mataram, bergelar Senapati Ingalaga (yang artinya “panglima di medan perang”).
Pada tahun 1576 Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil dari Pajang tiba untuk menanyakan
kesetiaan Mataram, mengingat Senapati sudah lebih dari setahun tidak menghadap Sultan
Hadiwijaya. Senapati saat itu sibuk berkuda di desa Lipura, seolah tidak peduli dengan
kedatangan kedua utusan tersebut. Namun kedua pejabat senior itu pandai menjaga perasaan
Sultan Hadiwijaya melalui laporan yang mereka susun.
Senapati memang ingin menjadikan Mataram sebagai kerajaan merdeka. Ia sibuk mengadakan
persiapan, baik yang bersifat material ataupun spiritual, misalnya membangun benteng, melatih
tentara, sampai menghubungi penguasa Laut Kidul dan Gunung Merapi. Senapati juga berani
membelokkan para mantri pamajegan dari Kedu dan Bagelen yang hendak menyetor pajak ke
Pajang. Para mantri itu bahkan berhasil dibujuknya sehingga menyatakan sumpah setia kepada
Senapati.
Sultan Hadiwijaya resah mendengar kemajuan anak angkatnya. Ia pun mengirim utusan
menyelidiki perkembangan Mataram. Yang diutus adalah Arya Pamalad Tuban, Pangeran
Benawa, dan Patih Mancanegara. Semuanya dijamu dengan pesta oleh Senapati. Hanya saja
sempat terjadi perselisihan antara Raden Rangga (putra sulung Senapati) dengan Arya Pamalad.

Memerdekaan Mataram
Pada tahun 1582 Sultan Hadiwijaya menghukum buang Tumenggung Mayang ke Semarang
karena membantu anaknya yang bernama Raden Pabelan, menyusup ke dalam keputrian
menggoda Ratu Sekar Kedaton, putri bungsu Sultan. Raden Pabelan sendiri dihukum mati dan
mayatnya dibuang ke Sungai Laweyan.
Ibu Pabelan adalah adik Senapati. Maka Senapati pun mengirim para mantri pamajegan untuk
merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya.
Perbuatan Senapati ini membuat Sultan Hadiwijaya murka. Sultan pun berangkat sendiri
memimpin pasukan Pajang menyerbu Mataram. Perang terjadi. Pasukan Pajang dapat dipukul
mundur meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak.
Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dalam perjalanan pulang ke Pajang. Ia akhirnya meninggal dunia
namun sebelumnya sempat berwasiat agar anak-anaknya jangan ada yang membenci Senapati
serta harus tetap memperlakukannya sebagai kakak sulung. Senapati sendiri ikut hadir dalam
pemakaman ayah angkatnya itu.

Menjadi Raja
Arya Pangiri adalah menantu Sultan Hadiwijaya yang menjadi adipati Demak. Ia didukung
Panembahan Kudus berhasil merebut takhta Pajang pada tahun 1583 dan menyingkirkan
Pangeran Benawa menjadi adipati Jipang.
Pangeran Benawa kemudian bersekutu dengan Senapati pada tahun 1586 karena pemerintahan
Arya Pangiri dinilai sangat merugikan rakyat Pajang. Perang pun terjadi. Arya Pangiri tertangkap
dan dikembalikan ke Demak.
Pangeran Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Senapati namun ditolak. Senapati hanya
meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram.
Pangeran Benawa pun diangkat menjadi raja Pajang sampai tahun 1587. Sepeninggalnya, ia
berwasiat agar Pajang digabungkan dengan Mataram. Senapati dimintanya menjadi raja. Pajang
sendiri kemudian menjadi bawahan Mataram, dengan dipimpin oleh Pangeran Gagak Baning,
adik Senapati.
Maka sejak itu, Senapati menjadi raja pertama Mataram bergelar Panembahan. Ia tidak mau
memakai gelar Sultan untuk menghormati Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa. Istana
pemerintahannya terletak di Kotagede.

Memeprluas Kekuasaan Mataram


Sepeninggal Sultan Hadiwijaya, daerah-daerah bawahan di Jawa Timur banyak yang melepaskan
diri. Persekutuan adipati Jawa Timur tetap dipimpin Surabaya sebagai negeri terkuat. Pasukan
mereka berperang melawan pasukan Mataram di Mojokerto namun dapat dipisah utusan Giri
Kedaton.
Selain Pajang dan Demak yang sudah dikuasai Mataram, daerah Pati juga sudah tunduk secara
damai. Pati saat itu dipimpin Adipati Pragola putra Ki Panjawi. Kakak perempuannya (Ratu
Waskitajawi) menjadi permaisuri utama di Mataram. Hal itu membuat Pragola menaruh harapan
bahwa Mataram kelak akan dipimpin keturunan kakaknya itu.
Pada tahun 1590 gabungan pasukan Mataram, Pati, Demak, dan Pajang bergerak menyerang
Madiun. Adipati Madiun adalah Rangga Jumena (putra bungsu Sultan Trenggana) yang telah
mempersiapkan pasukan besar menghadang penyerangnya. Melalui tipu muslihat cerdik, Madiun
berhasil direbut. Rangga Jemuna melarikan diri ke Surabaya, sedangkan putrinya yang bernama
Retno Dumilah diambil sebagai istri Senapati.
Pada tahun 1591 terjadi perebutan takhta di Kediri sepeninggal bupatinya. Putra adipati
sebelumnya yang bernama Raden Senapati Kediri diusir oleh adipati baru bernama Ratujalu hasil
pilihan Surabaya.
Senapati Kediri kemudian diambil sebagai anak angkat Panembahan Senapati Mataram dan
dibantu merebut kembali takhta Kediri. Perang berakhir dengan kematian bersama Senapati
Kediri melawan Adipati Pesagi (pamannya).
Pada tahun 1595 adipati Pasuruhan berniat tunduk secara damai pada Mataram namun dihalang-
halangi panglimanya, yang bernama Rangga Kaniten. Rangga Kaniten dapat dikalahkan
Panembahan Senapati dalam sebuah perang tanding. Ia kemudian dibunuh sendiri oleh adipati
Pasuruhan, yang kemudian menyatakan tunduk kepada Mataram.
Pada tahun 1600 terjadi pemberontakan Adipati Pragola dari Pati. Pemberontakan ini dipicu oleh
pengangkatan Retno Dumilah putri Madiun sebagai permaisuri kedua Senapati. Pasukan Pati
berhasil merebut beberapa wilayah sebelah utara Mataram. Perang kemudian terjadi dekat
Sungai Dengkeng di mana pasukan Mataram yang dipimpin langsung oleh Senapati sendiri
berhasil menghancurkan pasukan Pati.

Akhir Pemerintahan
Panembahan Senapati alias Danang Sutawijaya meninggal dunia pada tahun 1601 saat berada di
desa Kajenar. Ia kemudian dimakamkan di Kotagede. Putra yang ditunjuk sebagai raja
selanjutnya adalah yang lahir dari putri Pati, bernama Mas Jolang.
Kepustakaan
Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti
M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press
Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta:
Kanisius
Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu

Sultan Baabullah 
Sultan Baabullah (10 Februari 1528 - permulaan 1583), juga ditulis Sultan
Babullah atau Sultan Baab (tulisan Eropa) adalah sultan dan penguasa Kesultanan Ternate ke-
24 yang berkuasa antara tahun 1570 - 1583. Ia dikenal sebagai
sultan Ternate dan Maluku terbesar sepanjang sejarah, yang berhasil mengalahkan Portugis dan
mengantarkan Ternate ke puncak keemasan di akhir abad ke-16. Sultan Baabullah juga dijuluki
sebagai penguasa 72 pulau berpenghuni yang meliputi pulau–pulau di nusantara bagian
timur, Mindanao selatan dan kepulauan Marshall.

Masa Muda
Dilahirkan tanggal 10 Februari 1528, kaicil (pangeran) Baab adalah putera Sultan
Khairun (1535-1570) dengan permaisurinya Boki Tanjung, puteri Sultan Alauddin I dari Bacan.
Sultan Khairun sangat memperhatikan pendidikan calon penggantinya, sejak kecil pangeran
Baab bersama saudara-saudaranya telah digembleng oleh para mubalig dan panglima dimana ia
memperoleh pemahaman tentang ilmu agama dan ilmu perang sekaligus. Sejak remaja ia juga
telah turut mendampingi ayahnya menjalankan urusan pemerintahan dan kesultanan.
Ketika pecah perang Ternate–Portugis yang pertama (1559-1567), Sultan Khairun mengutus
putera – puteranya sebagai panglima untuk menghantam kedudukan Portugis di Maluku dan
Sulawesi, salah satunya adalah pangeran Baab yang kemudian tampil sebagai panglima yang
cakap dan berhasil memperoleh kemenangan bagi Ternate. Ternate sukses menahan ambisi
Portugis sekaligus memenangkan banyak wilayah baru.

Kematian Sultan Khairun


Setelah kejatuhan Ambon ke tangan Ternate dalam perang Ternate – Portugis yang pertama,
Portugis terpaksa memohon damai kepada sultan Khairun yang kemudian disambut dengan
itikad baik. Semua hak-hak istimewa Portugis menyangkut monopoli perdagangan rempah-
rempah dihilangkan namun mereka tetap diperbolehkan untuk berdagang dan bersaing dengan
pedagang nusantara serta pedagang asing lainnya secara bebas. Rupanya permohonan damai
Portugis itu hanya kedok untuk mengulur waktu demi mengkonsolidasikan kembali kekuatan
mereka, menunggu waktu yang tepat untuk membalas Ternate.
Dengan dalih ingin membicarakan dan merayakan hubungan Ternate – Portugis yang membaik,
gubernur Portugis Lopez de Mesquita (1566-1570) mengundang sultan Khairun ke benteng Sao
Paulo tanggal 25 Februari 1570 untuk jamuan makan. Sang sultan memenuhi undangan itu dan
datang tanpa pengawal, tak dinyana setibanya di benteng ia dibunuh atas perintah De Mesquita.
De Mesquita beranggapan dengan mengenyahkan sultan Khairun, Maluku akan kehilangan
pemimpin hebat dan segera tercerai berai, akan tetapi ia lupa bahwa sultan Khairun memiliki
pewaris – pewaris yang hebat terutama dalam diri pangeran Baab.

Kebangkitan Sultan Baabullah


Penobatan sebagai Sultan
Kematian Sultan Khairun yang tragis memicu kemarahan rakyat dan juga para raja di Maluku,
dewan kerajaan atas dukungan rakyat lalu menobatkan Kaicil Baab sebagai Sultan Ternate
berikutnya bergelar Sultan Baabullah Datu Syah. Dalam pidato penobatannya Sultan
Baabullah bersumpah bahwa ia akan berjuang untuk menegakkan kembali panji -
panji Islam di Maluku dan menjadikan kesultanan Ternate sebagai kerajaan besar serta
melakukan tindakan balasan sampai orang terakhir bangsa Portugis meninggalkan wilayah
kerajaannya.
Pengumuman Perang Jihad
Sultan Baabullah tidak menunda waktu setelah penobatan dan pidato pelantikan diucapkan.
Perang Jihad diumumkan di seluruh negeri. Tak kalah dengan ayahnya ia tampil sebagai
koordinator yang handal dari berbagai suku yang berbeda akar genealogis di nusantara bagian
timur. Untuk memperkuat kedudukannya Sultan Baabullah menikahi adik Sultan Iskandar
Sani dari Tidore. Raja – raja Maluku yang lainpun melupakan persaingan mereka dan bersatu
dalam satu komando di bawah Sultan Baabullah dan panji Ternate, begitu pula raja – raja dan
kepala suku di Sulawesi serta Papua. Sultan Baabullah memiliki panglima – panglima yang
handal, di antaranya ; Raja Jailolo Katarabumi, salahakan (gubernur) Sula Kapita
Kapalaya, salahakan Ambon Kapita Kalakinka, dan Kapita Rubuhongi. Menurut
sumber Spanyol, di bawah panjinya Sultan Baabullah mampu mengerahkan 2000 kora – kora
dan 120.000 prajurit.

Pengusiran Portugis
Pasca pembunuhan Sultan Khairun, Sultan Baabullah menuntut penyerahan Lopez de Mesquita
untuk diadili. Benteng – benteng Portugis di Ternate yakni Tolucco, Santo Lucia dan Santo
Pedro jatuh dalam waktu singkat hanya menyisakan Benteng Sao Paulo kediaman De Mesquita.
Atas perintah Baabullah pasukan Ternate mengepung benteng Sao Paulo dan memutuskan
hubungannya dengan dunia luar, suplai makanan dibatasi hanya sekadar agar penghuni benteng
bisa bertahan. Sultan Baabullah bisa saja menguasai benteng itu dengan kekerasan namun ia tak
tega karena cukup banyak rakyat Ternate yang telah menikah dengan orang Portugis dan mereka
tinggal dalam benteng bersama keluarganya. Karena tertekan Portugis terpaksa memecat Lopez
de Mesquita dan menggantinya dengan Alvaro de Ataide namun langkah ini tidak berhasil
meluluhkan Baabullah.
Meskipun bersikap “lunak” terhadap Portugis di Sao Paulo, Sultan Baabullah tidak melupakan
sumpahnya, ia mencabut segala fasilitas yang diberikan sultan Khairun kepada Portugis terutama
menyangkut misi Jesuit. Ia mengobarkan perang Soya – Soya (perang pembebasan negeri),
kedudukan Portugis di berbagai tempat digempur habis – habisan, tahun 1571 pasukan Ternate
berkekuatan 30 juanga yang memuat 3000 serdadu di bawah pimpinan Kapita Kalakinka
(Kalakinda) menyerbu Ambon dan berhasil mendudukinya. Pasukan Portugis di bawah kapten
Sancho de Vasconcellos yang dibantu pribumi kristen berhasil memukul mundur pasukan
Ternate di pulau Buru untuk sementara namun segera jatuh setelah Ternate memperbaharui
serangannya kembali di bawah pimpinan Kapita Rubuhongi.
Tahun 1575 seluruh kekuasaan Portugis di Maluku telah jatuh dan suku-suku atau kerajaan
pribumi yang mendukung mereka telah berhasil ditundukkan hanya tersisa benteng Sao Paulo
yang masih dalam pengepungan. Selama lima tahun orang-orang Portugis dan keluarganya hidup
menderita dalam benteng, terputus dari dunia luar sebagai balasan atas penghianatan mereka.
Sultan Baabullah akhirnya memberi ultimatum agar mereka meninggalkan Ternate dalam waktu
24 jam. Mereka yang telah beristrikan pribumi Ternate diperbolehkan tetap tinggal dengan syarat
menjadi kawula kerajaan. Kemenangan rakyat Ternate ini merupakan kemenangan pertama
putera-putera Nusantara atas kekuatan barat dan oleh Buya Hamka kemenangan rakyat Ternate
ini dipuji sangat penting karena menunda penjajahan barat atas nusantara selama 100 tahun.
Demikianlah, tanggal 15 Juli 1575, orang Portugis pergi secara memalukan dari Ternate, tak
satupun yang disakiti. Mereka kemudian diperbolehkan menetap di Ambon hingga 1576, setelah
itu sebagian dari mereka pergi ke Malaka dan sebagian lagi ke Timor dimana mereka
menancapkan kekuasaan mereka hingga 400 tahun kemudian.

Kunjungan Francis Drake


Tanggal 3 November 1579, Sultan Baabullah menerima kunjungan Francis Drake (kelak Sir
Francis Drake), seorang petualang Inggris yang terkenal. Drake dan kelompoknya datang
dari Australia dengan 5 kapal salah satunya Golden Hind yang legendaris. Kepada Sultan
Baabullah, Drake menyatakan kedatangannya hanya untuk berdagang semata-mata. Ia
mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap orang Portugis maupun Spanyol serta menceritakan
situasi terakhir di Eropa. Sultan Baab menerima tamunya dengan gembira dan menjamu mereka
di istana. Pertemuan mereka merupakan embrio hubungan diplomatik Indonesia – Inggris.
Dalam jamuan makan mewah yang berlangsung setelah perundingan, Drake dan rombongan
disuguhkan hidangan dari sagu, nasi, bermacam – macam lauk pauk dari kambing, rusa dan
ayam sampai ikan bubara bakar dan katang kanari (kepiting kenari), yang semuanya dimasak
dengan ramuan cengkih. Antara Sultan dan Francis Drake timbul rasa saling menghormati.
Francis Drake amat terkesan dengan sultan Baabullah. Ia meninggalkan Ternate dengan kapal
penuh muatan cengkih kualitas prima, sang sultan bersama armada Ternate mengiringi kapal
Drake sampai ke laut lepas.
Laporan Francis Drake
Sultan Baabullah menyambut para tamu dengan upacara kebesaran dan jamuan istimewa.
Laporan Francis Drake seperti yang dimuat Willard A. Hanna dan Des Alwi dalam buku mereka
(Ternate dan Tidore masa lalu penuh gejolak, hal 96-97) menggambarkan suasana pertemuan
itu ;
“Sementara orang-orang kami menunggu kedatangan sultan yang akan datang kira-kira
setengah jam lagi, mereka mendapat kesempatan lebih baik untuk mengamati semua itu;
juga sebelum kedatangan sultan sudah ada tiga baris tokoh bangsawan tua, yang konon
semuanya adalah penasihat pribadi raja; di ujung rumah ditempatkan sekelompok orang
muda, berpakaian dan berpenampilan anggun. Di luar rumah, di sebelah kanan, berdiri
empat orang dengan rambut ubanan, semuanya berpakaian jubah merah panjang
sampai ke tanah, tetapi penutup kepalanya tidak jauh berbeda dari orang Turki; mereka
ini disebut orang Rum (Romawi/Eropa), atau orang asing, yang ada disana sebagai
perantara untuk tetap memelihara perdagangan dengan bangsa ini: mereka adalah dua
orang Turki, satu orang Italia sebagai perantara dan yang terakhir seorang Spanyol,
yang dibebaskan oleh sultan dari tangan orang Portugis dalam perebutan kembali pulau
itu, dan berhenti sebagai serdadu untuk mengabdi kepada sultan.
Sultan akhirnya datang dari benteng, dengan 8 atau 10 senator yang mengikuti dia,
dinaungi payung yang sangat mewah (dengan hiasan emas timbul di tengahnya), dan
dijaga dengan 12 tombak yang matanya diarahkan ke bawah: orang kami (disertai
saudara sultan), bangun untuk menemui dia, dan ia dengan sangat ramah menyambut
dan berbasa – basi dengan mereka. Seperti telah kami gambarkan sebelumnya, ia
bersuara lirih, bicaranya halus, dengan keanggunan sikap seorang sultan, dan seorang
dari bangsanya. Pakaiannya menurut mode penduduk lain dari negerinya, tetapi jauh
lebih mewah, sebagaimana dituntut oleh keberadaan dan statusnya; dari pinggang ke
tanah ia mengenakan kain bersulam emas, sepatu dari beludru berwarna merah; hiasan
kepalanya bertatahkan berbagai cincin berlapis emas, selebar satu atau satu setengah
inci, yang membuatnya indah dan agung dipandang, mirip seperti mahkota; di lehernya
ia mengenakan kalung rantai dari emas murni yang mata rantainya besar sekali dan satu
rangkaian rangkap; di tangan kirinya terdapat Intan, batu Zamrud, batu Merah Delima
dan batu Pirus, 4 batu permata yang sangat indah dan sempurna; di tangan kanannya;
pada satu cincin terdapat satu batu Pirus besar dan sempurna, dan pada cincin lain
terdapat banyak Intan berukuran lebih kecil, yang ditatahkan dengan sangat indah.
Demikianlah ia duduk di atas tahta kerajaannya, dan di sebelah kanan berdiri seorang
pelayan dengan sebuah kipas sangat mahal (tersulam dengan kaya dan terhias dengan
batu nilam). Ia mengipas dan mengumpulkan udara untuk menyejukkan sultan, karena
tempatnya panas sekali, baik oleh sinar matahari maupun kumpulan begitu banyak
orang. Sesudah beberapa waktu, setelah para tuan menyampaikan pesan mereka, dan
memperoleh jawaban, mereka diizinkan untuk pamit, dan dengan selamat di antara
kembali oleh salah satu ketua Dewan Sultan, yang ditugaskan oleh sultan sendiri untuk
melakukan hal itu.”

Sultan Baabullah dan masa keemasan Ternate


Dengan kepergian orang Portugis, Sultan Baabullah menjadikan benteng Sao Paulo
sebagai benteng sekaligus istana, ia merenovasi dan memperkuat benteng tersebut
kemudian mengubah namanya menjadi benteng Gamalama. Sultan Baabullah masih
melanjutkan hubungan dagang dengan bangsa barat termasuk Portugis dan
mengizinkan mereka menetap di Tidore, akan tetapi tanpa pemberian hak istimewa,
para pedagang barat diperlakukan sama dengan pedagang – pedagang dari negeri lain
dan mereka tetap diawasi dengan ketat. Sultan Baabullah bahkan mengeluarkan
peraturan yang mewajibkan setiap bangsa Eropa yang tiba di Ternate untuk
melepaskan topi dan sepatu mereka, sekadar untuk mengingatkan mereka agar tidak
lupa diri.
Sultan Baabullah tetap memelihara persekutuan yang telah terbentuk dan sering
mengadakan kunjungan ke wilayah – wilayah yang mendukung Ternate dan
menuntut kesetiaan mereka terhadap persekutuan yang dipimpinnya.
Tahun 1580 Sultan Baabullah mengunjungi Makassar dan mengadakan pertemuan
dengan raja Gowa Tunijallo, mengajaknya masuk Islam dan ikut serta dalam
persekutuan melawan Portugis dan Spanyol. Sang raja tak langsung menyutujui
ajakan Sultan untuk memeluk Islam namun setuju untuk ikut dalam persekutuan
kemudian sebagai tanda persahabatan Sultan Baabullah menghadiahkan pulau
Selayar kepada Raja Gowa.
Dibawah pimpinan Sultan Baabullah, Ternate mencapai puncak kejayaan, wilayah
kekuasaan dan pengaruhnya membentang dari Sulawesi Utara, tengah dan timur di
bagian barat hingga kepulauan Marshall dibagian timur, dari Filipina (Selatan) di
bagian utara hingga sejauh kepulauan Kai dan Nusa Tenggara dibagian selatan. Tiap
wilayah atau daerah ditempatkan wakil – wakil sultan atau yang disebut Sangaji.
Sultan Baabullah dijuluki “penguasa 72 negeri” yang semuanya memiliki raja yang
tunduk kepadanya (sejarawan Belanda, Valentijn menuturkan secara rinci nama-
nama ke-72 negeri tersebut) hingga menjadikan kesultanan Ternate sebagai kerajaan
Islam terbesar di Indonesia timur.
Sultan Baab tetap melanjutkan kebijakan ayahnya dengan menjalin persekutuan
dengan Aceh dan Demak untuk mengenyahkan Portugis dari Nusantara. Persekutuan
Aceh – Demak – Ternate ini merupakan simbol persatuan nusantara karena
ketiganya sebagai yang terbesar dan terkuat pada masa itu merangkai wilayah barat.
tengah dan timur nusantara dalam satu ikatan persaudaraan, mewujudkan kembali
persatuan nusantara sejak keruntuhan Majapahit.

Ternate pasca Baabullah


Permulaan tahun 1583 Sultan Baabullah dipanggil menghadap Sang Khaliq. Adapun
penyebab maupun tempat kematiannya masih diperdebatkan, tetapi apapun dan
dimanapun itu kematian Sultan Baab sebagai putera kebanggaan Maluku
meninggalkan duka mendalam bagi rakyatnya. Ia adalah satu-satunya putera
Nusantara yang meraih kemenangan mutlak atas kekuatan barat. Keberhasilannya
mengantarkan Ternate menjadi kerajaan besar dan mencapai puncak kejayaan
bukanlah satu – satunya tanda kebesarannya. Ia telah berhasil menanamkan rasa
percaya diri rakyatnya untuk bangkit menghadapi kekuasaan asing yang ingin
menguasai kehidupan mereka. Sultan Baabullah adalah simbol perlawanan terhadap
kesewenang – wenangan bangsa asing. Ia tak sudi tunduk pada kekuasaan asing dan
menempatkan dirinya sejajar dengan mereka, menjadi tuan di negeri sendiri.
Sepeninggal Sultan Baabullah tak ada lagi pemimpin lain di Ternate maupun Maluku
yang sekaliber dia. Para penggantinya tak mampu berbuat banyak mempertahankan
kebesaran Ternate.
Sultan Baabullah Datu Syah digantikan puteranya Sultan Said
Barakati (1583 – 1606) yang terus mengobarkan perang
terhadap Portugis dan Spanyol.
Biografi dan Profil Lengkap Sultan Iskandar Muda – Pahlawan Nasional Indonesia Dari
Aceh

Biografi dan Profil Lengkap Sultan Iskandar Muda – Sultan Iskandar Muda merupakan sultan
yang paling besar dalam masa Kesultanan Aceh, yang berkuasa dari tahun 1607 hingga 1636.
Iskandar Muda lahir di Aceh, Banda Aceh pada tahun 1593 atau 1590 dan wafat di Banda Aceh,
Aceh pada 27 September 1636. Pada masa kepemimpinann Iskandar Muda, Kesultanan
atau Kerajaan Aceh mencapai kejayaannya, dimana daerah kekuasaannya yang semakin besar
dan reputasi internasional sebagai pusat dari perdagangan dan pembelajaran tentang Islam. Nama
Sultan Iskandar Muda diabadikan sebagai nama bandar udara yaitu Bandar Udara Internasional
Sultan Iskandar Muda di Aceh.

Profil Singkat Sultan Iskandar Muda


Nama: Sultan Iskandar Muda
Lahir: Banda Aceh, 1593
Meninggal: Banda Aceh, 27 Desember 1636
Orang Tua: Puteri Raja Inderabangsa, Mansur Syah
Anak: Safiatuddin dari Aceh, Merah Pupok

Asal Usul Keluarga dan Masa Kecil Sultan Iskandar Muda


Dari pihak leluhur ibu, Iskandar Muda merupakan keturunan dari Raja Darul-Kamal, dan dari
pihak leluhur ayah merupakan keturunan dari keluarga Raja Makota Alam. Darul-Kamal dan
Makota Alam dikatakan dahulunya adalah dua tempat permukiman bertetangga yang terpisah
oleh sungai dan yang gabungannya merupakan asal mula Aceh Darussalam. Iskandar Muda
seorang diri mewakili kedua cabang tersebut yang berhak sepenuhnya menuntut takhta.

Ibunya bernama Putri Raja Indra Bangsa yang juga dinamai Paduka Syah Alam adalah anak dari
Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10; di mana sultan tersebut merupakan putra dari
Sultan Firman Syah, dan Sultan Firman Syah adalah anak atau cucu (menurut Djajadiningrat)
Sultan Inayat Syah, Raja Darul-Kamal.

Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan upacara besar-besaran dengan Sultan Mansur Syah,
yaitu putra dari Sultan Abdul-Jalil, di mana Abdul-Jalil adalah putra dari Sultan Alauddin Riayat
Syah al-Kahhar yang juga Sultan Aceh ke-3.

Sultan Iskandar Muda besar dalam lingkungan istana. Setelah cukup umur Iskandar Muda
dikirim ayahnya untuk belajar pada Teungku Di Bitai, yaitu salah seorang ulama dari Baitul
Mukadis pakar ilmu falak dan ilmu firasat. Iskandar muda mempelajari ilmu nahu dari beliau.

Selanjutnya, ayah Iskandar Muda mulai menerima banyak ulama terkenal dari Mekah dan
Gujarat. Diantaranya tiga orang yang sangat berpengaruh dalam intelektual Iskandar Muda, yaitu
Syekh Abdul Khair Ibnu Hajar, Sekh Muhammad Jamani dari Mekah dan Sekh Muhammad
Djailani bin Hasan Ar-Raniry dari Gujarat.

Pernikahan Sultan Iskandar Muda


Sri Sultan Iskandar Muda menikah dengan seorang Putri dari Kesultanan Pahang. Putri tersebut
dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan pada istrinya,
Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali atau Taman Istana
sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat
sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Untuk itu Sultan membangun
Gunongan untuk mengobati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan tersebut masih bisa
disaksikan dan dikunjungi.
Masa Kekuasaan Sultan Iskandar Muda
Masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda dimulai pada tahun 1607 hingga tahun 1636. Pada masa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Kesultanan aceh mencapai puncak kejayaannya. Meskipun
pada sisi lain kontrol ketat yang dilakukan oleh Iskandar Muda menyebabkan banyak
pemberontakan dikemudian hari setelah mangkatnya Sultan.

Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut seorang
penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh pada zaman Sultan Iskandar Muda
Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh
pula meliputi hingga Perak.

Ketika Iskandar Muda mulai berkuasa pada tahun 1607, ia segera melakukan ekspedisi angkatan
laut yang menyebabkan ia mendapatkan kontrol yang efektif di daerah barat laut Indonesia.
Kendali kerajaan berjalan dengan lancar di semua pelabuhan penting di pantai barat Sumatra dan
di pantai timur, hingga ke Asahan di selatan. Pelayaran penaklukannya dilancarkan hingga jauh
ke Penang, di pantai timur Semenanjung Melayu, dan pedagang asing dipaksa untuk tunduk
kepadanya. Kerajaannya kaya raya dan menjadi pusat ilmu pengetahuan.

Kontrol Di Dalam Negeri


Menurut tradisi Aceh, Iskandar Muda membagi wilayah Aceh ke dalam wilayah administrasi
yang dinamakan ulèëbalang dan mukim; ini dipertegas oleh laporan seorang penjelajah Perancis
bernama Beauliu, bahwa “Iskandar Muda membabat habis hampir semua bangsawan lama dan
menciptakan bangsawan baru.” Mukim pada awalnya adalah himpunan beberapa desa untuk
mendukung sebuah masjid yang dipimpin oleh seorang Imam (Aceh: Imeum). Ulèëbalang
(Melayu: Hulubalang) pada awalnya barangkali bawahan-utama Sultan, yang dianugerahi Sultan
beberapa mukim, untuk dikelolanya sebagai pemilik feodal. Pola tersebut dijumpai di Aceh
Besar dan di negeri taklukan Aceh yang penting.

Hubungan Dengan Bangsa asing


Inggris

Pada abad ke-16, Ratu Inggris yaitu Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James
Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: “Kepada Saudara Hamba,
Raja Aceh Darussalam.” serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu
menerima maksud baik “saudarinya” di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan
berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Ratu Elizabeth I juga mengirim hadiah-hadiah
yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang
halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar “Orang Kaya Putih”.

Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh,
yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:

I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and
over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise
to the sunset.

(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah
Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang
terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).

Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris
dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam
tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.

Belanda
Pangeran Maurits yaitu pendiri dinasti Oranje pernah mengirim surat dengan maksud meminta
bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan
mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku
Abdul Hamid.
Rombongan tersebut dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam
kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara
besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar Belanda. Akan tetapi karena orang
Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka ia dimakamkan dengan cara agama
Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam ia terdapat sebuah prasasti yang diresmikan
oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayah Yang
Mulia Ratu Beatrix.

Utsmaniyah Turki
Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan
Utsmaniyah yang berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang
gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus
menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Pada
akhirnya saar mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada
Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan
sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan
Aceh. Meriam tersebut masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada
masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.

Perancis
Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis
tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan
Aceh akan tetapi dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan
serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Denys Lombard
mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda berharga.

Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee
Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana
Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam
Darud Donya (kini Meuligoe Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali
dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda
juga memerintahkan untuk menggali sebuah kanal yang mengaliri air bersih dari sumber mata air
di Mata Ie hingga ke aliran Sungai Krueng Aceh di mana kanal tersebut melintasi istananya,
sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe. Di sanalah
sultan sering kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.

Demikian artikel tentang “Biografi dan Profil Lengkap Sultan Iskandar Muda – Pahlawan
Nasional Indonesia Dari Aceh“, semoga bermanfaat
Raden Patah

Raden Patah atau Praba atau Raden Bagus Kasan (Hasan) (Jawa : ꦫꦢꦺꦤ꧀ꦦꦠꦃ) alias Jin


Bun (Hanzi : 靳文, Pinyin : Jìn Wén) bergelar Senapati Jimbun[1] atau Panembahan Jimbun[2]
(lahir: Palembang, 1455; wafat: Demak, 1518) adalah pendiri dan Raja Demak pertama dan
memerintah tahun 1500-1518. Menurut kronik Tiongkok dari Kuil Sam Po Kong Semarang, ia
memiliki nama Tionghoa yaitu Jin Bun tanpa nama marga di depannya, karena hanya ibunya
yang berdarah Tionghoa. Jin Bun artinya orang kuat.[3] Nama tersebut identik dengan nama
Arabnya "Fatah (Patah)" yang berarti kemenangan. Pada masa pemerintahannya Masjid Demak
didirikan, dan kemudian ia dimakamkan di sana.
Mengikuti pakar Belanda Pigeaud dan De Graaf, sejarawan Australia M. C. Ricklefs menulis
bahwa pendiri Demak adalah seorang Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po (Pate Rodin
senior). Ricklefs memperkirakan bahwa anaknya adalah orang yang oleh Tomé
Pires dalam Suma Oriental-nya dijuluki "Pate Rodim (Adipati/Patih Rodim)", mungkin
maksudnya "Badruddin" atau "Kamaruddin" (meninggal sekitar tahun 1504). Putra atau adik
Rodim dikenal dengan nama Trenggana (bertahta 1505-1518 dan 1521-1546), pembangun
keunggulan Demak atas Jawa.
Asal usul Raden Patah[sunting | sunting sumber]
Terdapat berbagai versi tentang asal usul pendiri Kerajan Demak.
Menurut Babad Tanah Jawi, Raden Patah adalah putra Brawijaya raja
terakhir Majapahit (versi babad) dari seorang selir Tionghoa. Selir Tionghoa ini putri dari Kyai
Batong (alias Tan Go Hwat). Karena Ratu Dwarawati sang permaisuri yang berasal
dari Campa merasa cemburu, Brawijaya terpaksa memberikan selir Tiongkok kepada adipatinya
di Palembang, yaitu Arya Damar . Setelah melahirkan Raden Patah, putri Tionghoa
dinikahi Arya Damar (alias Swan Liong), melahirkan Raden Kusen (alias Kin San).
Menurut Purwaka Caruban Nagari, nama asli selir Tionghoa adalah Siu Ban Ci, putri Tan Go
Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat merupakan seorang saudagar dan juga ulama
bergelar Syaikh Bantong (alias Kyai Batong).
Menurut Suma Oriental karya Tome Pires, pendiri Demak bernama Pate Rodin, cucu seorang
masyarakat kelas rendah di Gresik.
Menurut kronik Tiongkok dari kuil Sam Po Kong, nama panggilan waktu Raden Patah masih
muda adalah Jin Bun, putra Kung-ta-bu-mi (alias Bhre Kertabhumi alias Brawijaya V)
raja Majapahit (versi Pararaton) dari selir Tiongkok. Kemudian selir Tionghoa diberikan kepada
seorang berdarah setengah Tionghoa bernama Swan Liong di Palembang. Swan Liong
merupakan putra Yang-wi-si-sa (alias Hyang Purwawisesa atau Brawijaya III) dari seorang selir
Tiongkok. Dari perkawinan kedua itu lahir Kin San (alias Raden Kusen). Kronik Tiongkok ini
memberitakan tahun kelahiran Jin Bun adalah 1455. Mungkin Raden Patah lahir saat Bhre
Kertabhumi belum menjadi raja (memerintah tahun 1474-1478). Menurut Slamet Muljana
(2005), Babad Tanah Jawi teledor dalam mengidentifikasi Brawijaya sebagai ayah Raden Patah
sekaligus ayah Arya Damar, yang lebih tepat isi naskah kronik Tiongkok Sam Po Kong terkesan
lebih masuk akal bahwa ayah Swan Liong (alias Arya Damar) adalah Yang-wi-si-
sa alias Brawijaya III, berbeda dengan ayah Jin Bun (alias Raden Patah) yaitu Kung-ta-bu-mi
alias Brawijaya V.[3]
Menurut Sejarah Banten, Pendiri Demak bernama Cu Cu (Gan Eng Wan?), putra (atau
bawahan) mantan perdana menteri Tiongkok (Haji Gan Eng Cu?) yang pindah ke Jawa Timur.
Cu Cu mengabdi ke Majapahit dan berjasa menumpas pemberontakan Arya Dilah
bupati Palembang. Berita ini cukup aneh karena dalam Babad Tanah Jawi, Arya Dilah adalah
nama lain Arya Damar, ayah angkat Raden Patah sendiri. Selanjutnya, atas jasa-jasanya, Cu Cu
menjadi menantu raja Majapahit dan dijadikan bupati Demak bergelar Arya Sumangsang (Aria
Suganda?).
Meskipun terdapat berbagai versi, namun diceritakan bahwa pendiri Demak memiliki hubungan
dengan Majapahit, Tiongkok, Gresik, dan Palembang.
Pendirian Demak[sunting | sunting sumber]
Babad Tanah Jawi menyebutkan, Raden Patah menolak menggantikan Arya Damar menjadi
Adipati Palembang. Ia kabur ke pulau Jawa ditemani Raden Kusen. Sesampainya di Jawa,
keduanya berguru pada Sunan Ampel di Surabaya. Raden Kusen kemudian mengabdi
ke Majapahit, sedangkan Raden Patah pindah ke Jawa Tengah membuka hutan Glagahwangi
menjadi sebuah pesantren.
Makin lama Pesantren Glagahwangi semakin maju. Brawijaya (alias Bhre Kertabhumi)
di Majapahit khawatir kalau Raden Patah berniat memberontak. Raden Kusen yang kala itu
sudah diangkat menjadi Adipati Terung diperintah untuk memanggil Raden Patah.
Raden Kusen menghadapkan Raden Patah ke Majapahit. Brawijaya (diidentifikasi
sebagai Brawijaya V) merasa terkesan dan akhirnya mau mengakui Raden Patah sebagai
putranya. Raden Patah pun diangkat sebagai bupati, sedangkan Glagahwangi diganti nama
menjadi Demak, dengan ibu kota bernama Bintara.
Menurut kronik Tiongkok, Jin Bun pindah dari Surabaya ke Demak tahun 1475. Kemudian ia
menaklukkan Semarang tahun 1477 sebagai bawahan Demak. Hal itu membuat Kung-ta-bu-mi
(alias Bhre Kertabhumi) di Majapahit resah. Namun, berkat bujukan Bong Swi Hoo (alias Sunan
Ampel), Kung-ta-bu-mi bersedia mengakui Jin Bun sebagai anak, dan meresmikan
kedudukannya sebagai bupati di Bing-to-lo (ejaan Tionghoa untuk Bintoro).
Konflik Demak dan Majapahit pada Masa Raden Fatah[sunting | sunting sumber]
Versi Perang antara Demak dan Majapahit diberitakan dalam naskah babad dan serat,
terutama Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Dikisahkan, Sunan Ampel melarang Raden Patah
memberontak pada Majapahit karena meskipun berbeda agama, Brawijaya tetaplah ayah Raden
Patah. Namun sepeninggal Sunan Ampel, Raden Patah tetap
menyerang Majapahit. Brawijaya moksa dalam serangan itu. Untuk menetralisasi pengaruh
agama lama, Sunan Giri menduduki takhta Majapahit selama 40 hari.
Versi Kronik Tiongkok dari kuil Sam Po Kong juga memberitakan adanya perang antara Jin Bun
melawan Kung-ta-bu-mi tahun 1478. Perang terjadi setelah kematian Bong Swi Hoo (alias Sunan
Ampel). Jin Bun menggempur ibu kota Majapahit. Kung-ta-bu-mi alias Bhre
Kertabhumi ditangkap dan dipindahkan ke Demak secara hormat. Sejak itu, Majapahit menjadi
bawahan Demak dengan dipimpin seorang Tionghoa muslim bernama Nyoo Lay Wa sebagai
bupati.
Versi Prof. Dr. N. J. Krom dalam buku “Javaansche Geschiedenis” dan Prof. Moh. Yamin dalam
buku “Gajah Mada” mengatakan bahwa bukanlah Demak yg menyerang Majapahit pada masa
Prabu Brawijaya V, tetapi adalah Prabu Girindrawardhana. Kemudian pasca serangan
Girindrawardhana atas Majapahit pada tahun 1478 M, Girindrawardhana kemudian mengangkat
dirinya menjadi raja Majapahit bergelar Prabu Brawijaya VI, Kekuasaan Girindrawardhana tidak
begitu lama, karena Patihnya melakukan kudeta dan mengangkat dirinya sebagai Prabu
Brawijaya VII. Perang antar Demak dan Majapahit terjadi pada masa pemerintahan Prabu
Brawijaya VII bukan pada masa Raden Fatah dan Prabu Brawijaya V.[4]
Pada tahun 1485 Nyoo Lay Wa mati karena pemberontakan kaum pribumi. Maka, Jin Bun
mengangkat seorang pribumi sebagai bupati baru bernama Pa-bu-ta-la, yang juga menantu Kung-
ta-bu-mi.
Tokoh Pa-bu-ta-la ini identik dengan Prabu Natha Girindrawardhana alias Dyah
Ranawijaya yang menerbitkan prasasti Jiyu tahun 1486 dan mengaku sebagai
penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri.
Selain itu, Dyah Ranawijaya juga mengeluarkan prasasti Petak yang berkisah tentang perang
melawan Majapahit. Berita ini melahirkan pendapat kalau Majapahit runtuh tahun 1478 bukan
karena serangan Demak, melainkan karena serangan keluarga Girindrawardhana.
Pemerintahan[sunting | sunting sumber]
Apakah Raden Patah pernah menyerang Majapahit atau tidak, dia diceritakan sebagai raja
pertama Demak. Menurut Babad Tanah Jawi, ia bergelar Senapati Jimbun Ningrat
Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama, sedangkan menurut Serat
Pranitiradya, bergelar Sultan Syah Alam Akbar, dan dalam Hikayat Banjar disebut Sultan
Surya Alam.
Nama Patah sendiri berasal dari kata al-Fatah, yang artinya "Sang Pembuka", karena ia memang
pembuka kerajaan Islam pertama di pulau Jawa.
Pada tahun 1479 ia meresmikan Masjid Agung Demak sebagi pusat pemerintahan. Ia juga
memperkenalkan pemakaian Salokantara sebagai kitab undang-undang kerajaan. Kepada umat
beragama lain, sikap Raden Patah sangat toleran. Kuil Sam Po Kong di Semarang tidak dipaksa
kembali menjadi masjid, sebagaimana dulu saat didirikan oleh Laksamana Cheng Ho yang
beragama Islam.
Raden Patah juga tidak mau memerangi umat Hindu dan Buddha sebagaimana wasiat Sunan
Ampel, gurunya. Meskipun naskah babad dan serat memberitakan ia menyerang Majapahit, hal
itu dilatarbelakangi persaingan politik memperebutkan kekuasaan pulau Jawa, bukan karena
sentimen agama. Lagi pula, naskah babad dan serat juga memberitakan kalau
pihak Majapahit lebih dulu menyerang Giri Kedaton, sekutu Demak di Gresik.
Tome Pires dalam Suma Oriental memberitakan pada tahun 1507 Pate Rodin alias Raden Patah
meresmikan Masjid Agung Demak yang baru diperbaiki. Lalu pada tahun 1512 menantunya
yang bernama Pate Unus bupati Jepara menyerang Portugis di Malaka.
Tokoh Pate Unus ini identik dengan Yat Sun dalam kronik Tiongkok yang diberitakan
menyerang bangsa asing di Moa-lok-sa tahun 1512. Perbedaannya ialah, Pate Unus adalah
menantu Pate Rodin, sedangkan Yat Sun adalah putra Jin Bun. Kedua berita, baik dari
sumber Portugis ataupun sumber Tiongkok, sama-sama menyebutkan armada Demak hancur
dalam pertempuran ini.
Menurut kronik Tiongkok, Jin Bun alias Raden Patah meninggal dunia tahun 1518 dalam usia 63
tahun. Ia digantikan Yat Sun sebagai raja selanjutnya, yang dalam Babad Tanah
Jawi bergelar Pangeran Sabrang Lor.[5]
Keturunan Raden Patah[sunting | sunting sumber]
Menurut naskah babad dan serat, Raden Patah memiliki tiga orang istri. Yang pertama adalah
Solekha anak dari Malokha putri Sunan Ampel, Malokha adalah isteri dari P. Wironegoro
Adipati Lasem, melahirkan Raden Kikin alias Surowiyoto dan Ratu Mas Nyawa. Isteri kedua
melahirkan Raden Surya dan Raden Trenggana, yang masing-masing secara berurutan kemudian
naik takhta, bergelar Pangeran Sabrang Lor dan Sultan Trenggana.
Istri yang ketiga seorang putri dari Randu Sanga, melahirkan Raden Kanduruwan. Raden
Kanduruwan ini pada pemerintahan Sultan Trenggana berjasa menaklukkan Sumenep.
Ketika Pangeran Sabrang Lor meninggal tahun 1521, Putra Mahkota Pangeran Surowiyoto dan
Raden Trenggana bersaing memperebutkan takhta. P. Surowiyoto alias Raden Kikin akhirnya
mati dibunuh putra sulung Raden Trenggana yang bernama Raden Mukmin alias Sunan Prawata,
di tepi sungai Lasem. Oleh karena itu, Raden Kikin pun dijuluki Pangeran Sekar Seda ing Lepen,
artinya bunga yang gugur di sungai.
Kronik Tiongkok hanya menyebutkan dua orang putra Jin Bun saja, yaitu Yat Sun dan Tung-ka-
lo, yang masing-masing identik dengan Pangeran Sabrang Lor dan Sultan Trenggana.
Dalam Suma Oriental, Tomé Pires menulis bahwa Pate Rodin memiliki putra yang juga bernama
Pate Rodim, dan menantu bernama Pate Unus. Berita versi Portugis ini menyebut Pate Rodin
Yunior lebih tua usianya daripada Pate Unus. Dengan kata lain Sultan Trenggana disebut sebagai
kakak ipar Pangeran Sabrang Lor.

Anda mungkin juga menyukai