dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah sejarah Indonesia tentang tokoh
pahlawan nasional: KH. Wahid Hasyim
Makalah ini telah kami susun dengan semaksimal mungkin dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah kami dapat memberikan manfaat maupun inpirasi
terhadap pembaca.
BAB I
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang mayoritas rakyatnya menganut agama islam. Namun, dalam
catatan sejarah, ada seorang tokoh islam yang sangat bijaksana dan mampu menjadi penengah
dalam konflik sila pertama pancasila. Beliau mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan
memberikan solusi yang adil dan dapat diterima oleh semua pihak. Beliau adalah KH. Wahid
Hasyim.
Selain itu beliau juga tergabung dalam beberapa organisasi penting seperti MIAI, BPUPKI
dan PPKI. Beliau ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sejak masih muda.
Tidak hanya itu, beliau juga ikut berjuang mengisi pemerintahan indonesia setelah
kemerdekaan berhasil diraih. Beliau menduduki kursi politik sebagai Menteri Urusan Agama
pertama Indonesia.
Merujuk pada pemaparan diatas, kami mengangkat Tokoh Pahlawan Nasional: KH. Wahid
Hasyim sebagai judul makalah kami.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang kehidupan Tokoh-tokoh Pendiri Kerajaan Islam di Indonesia?
2. Apa saja peranan Tokoh-tokoh Pendiri Kerajaan Islam di Indonesia?
C. Tujuan
1. Memenuhi tugas mata pelajaran Pendidikan Agama Islam
2. Mengetahui sejarah kehidupan Tokoh-tokoh Pendiri Kerajaan Islam di Indonesia
3. Mengetahui peranan Tokoh-tokoh Pendiri Kerajaan Islam di Indonesia
4. Dapat memahami perjuangan Tokoh-tokoh Pendiri Kerajaan Islam di Indonesia
5. Dapat meneladani sifat dan pola pikir Tokoh-tokoh Pendiri Kerajaan Islam di Indonesia
Biografi
Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra dari Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad (Sultan Banten
periode 1640-1650) dan Ratu Martakusuma. Sejak kecil ia bergelar Pangeran Surya, kemudian
ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Dipati. Setelah
kakeknya meninggal dunia pada tanggal 10 Maret 1651, ia diangkat sebagai Sultan Banten ke-6
dengan gelar Sultan Abu al-Fath Abdulfattah.
Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di
dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang).
Perjuangan
Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 - 1683. Ia
memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian
monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak
perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka. Saat itu, Sultan Ageng
Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar.
Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka
sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh
Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.
Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut
campur dengan cara bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa.
Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu
Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan Saint-Martin.
Hubungan Diplomatik
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Kesultanan Banten aktif membina hubungan
baik dan kerjasama dengan berbagai kesultanan di sekitarnya, bahkan dengan negara lain di
luar Nusantara. Banten menjalin hubungan dengan Turki, Inggris, Aceh, Makassar, Arab, dan
kerajaan lain.
Banten dan Kerajaan Nusantara lain
Sekitar tahun 1677, Banten mengadakan kerjasama dengan Trunojoyo yang sedang
memberontak terhadap Mataram. Tidak hanya itu, Banten juga menjalin hubungan baik
dengan Makassar, Bangka, Cirebon dan Inderapura.
Banten dan Prancis
Sultan Ageng Tirtayasa berhasil menjalin hubungan dagang dan kerja sama dengan pedagang-
pedagang Eropa selain Belanda, seperti Inggris, Denmark, dan Prancis.
Pada tahun 1671, Raja Prancis Louis XIV mengutus François Caron, pimpinan Kongsi Dagang
Prancis di Asia sekaligus pemimpin armada pelayaran ke Nusantara. Setelah mendarat di
pelabuhan Banten, ia diterima oleh Syahbandar Kaytsu, seorang Tionghoa muslim. Pada 16
Juli 1671, raja didampingi oleh beberapa pembesar kerajaan mendatangi kediaman orang-orang
Prancis di kawasan Pecinan. Caron meminta izin untuk membuka kantor perwakilan di Banten.
Hal itu berangkat dari pengalaman Caron yang pernah bekerja pada VOC dan berambisi
membuat kongsi dagang Prancis sebesar VOC[8]. Raja kemudian menanyakan tujuan kongsi
dagang mereka, ke mana tujuan kapal-kapal mereka, barang dagangan yang diinginkan, dan
jumlah uang tunai yang mereka miliki. Sesudah itu pihak Prancis berusaha menjual barang
muatan mereka. Barang-barang dagangan apa saja dapat dijual, kecuali candu yang dilarang
keras beredar di Banten.
Caron kembali mengunjungi raja dan menghadiahkan getah damar, dua meja besar (yang dibawa
dari Surat, India), dua belas pucuk senapan, dua jenis mortir, beberapa granat, dan hadiah lain.
Caron dan Gubernur Banten kemudian menyetujui perjanjian yang berisi sepuluh kesepakatan
mengenai pemberian kemudahan dan hak-hak khusus kepada pihak Prancis, sama dengan yang
diberikan kepada pihak Inggris.
Banten dan Inggris
Hubungan baik antara Inggris dan Banten sudah terjalin sejak lama, salah satunya adalah
ketika Sultan Abdul Mafakhir mengirimkan surat ucapan selamat pada
tahun 1602 kepada Kerajaan Inggris atas dinobatkannya Charles I sebagai Raja Inggris. Sultan
Abdul Mafakhir juga memberikan izin kepada Inggris untuk membuka kantor dagang. Bahkan,
Banten menjadi pusat kegiatan dagang Inggris sampai akhir masa penerintahan Sultan Ageng
Tirtayasa tahun 1682, karena saat itu terjadi perang saudara antara Sultan dengan
putranya, Sultan Haji. Sultan Haji meminta bantuan Belanda, sedangkan Sultan Ageng Tirtayasa
diketahui meminta bantuan dari Kerajaan Inggris untuk melawan kekuatan anaknya itu.[10][11]
Pada 1681, Sultan Haji mengirim surat kepada Raja Charles II. Dalam suratnya, dia berminat
membeli senapan sebanyak 4000 pucuk dan peluru sebanyak 5000 butir dari Inggris. Sebagai
tanda persahabatan, Sultan Haji menghadiahkan permata sebanyak 1757 butir. Surat ini juga
merupakan pengantar untuk dua utusan Banten bernama Kiai Ngabehi Naya Wipraya dan Kiai
Ngabehi Jaya Sedana. Tidak lama kemudian, Sultan Ageng Tirtayasa mengirim surat kepada
Raja Charles II meminta bantuan berupa senjata dan mesiu untuk berperang melawan putranya
yang dibantu VOC.
Keluarga
Sultan Ageng Tirtayasa memiliki 18 orang putera
Asal Usul
Danang Sutawijaya adalah putra sulung pasangan Ki Ageng Pamanahan dan Nyai Sabinah.
Menurut naskah-naskah babad, ayahnya adalah keturunan Brawijaya raja terakhir Majapahit,
sedangkan ibunya adalah keturunan Sunan Giri anggota Walisanga. Hal ini seolah-olah
menunjukkan adanya upaya para pujangga untuk mengkultuskan raja-raja Kesultanan Mataram
sebagai keturunan orang-orang istimewa.
Nyai Sabinah memiliki kakak laki-laki bernama Ki Juru Martani, yang kemudian diangkat
sebagai patih pertama Kesultanan Mataram. Ia ikut berjasa besar dalam mengatur strategi
menumpas Arya Penangsang pada tahun 1549.
Sutawijaya juga diambil sebagai anak angkat oleh Hadiwijaya bupati Pajang sebagai pancingan,
karena pernikahan Hadiwijaya dan istrinya sampai saat itu belum dikaruniai anak. Sutawijaya
kemudian diberi tempat tinggal di sebelah utara pasar sehingga ia pun terkenal dengan sebutan
Raden Ngabehi Loring Pasar.
Peran Awal
Sayembara menumpas Arya Penangsang tahun 1549 merupakan pengalaman perang pertama
bagi Sutawijaya. Ia diajak ayahnya ikut serta dalam rombongan pasukan supaya Hadiwijaya
merasa tidak tega dan menyertakan pasukan Pajang sebagai bala bantuan. Saat itu Sutawijaya
masih berusia belasan tahun.
Arya Penangsang adalah Bupati Jipang Panolan yang telah membunuh Sunan Prawoto raja
terakhir Kesultanan Demak. Ia sendiri akhirnya tewas di tangan Sutawijaya. Akan tetapi sengaja
disusun laporan palsu bahwa kematian Arya Penangsang akibat dikeroyok Ki Ageng Pamanahan
dan Ki Panjawi, karena jika Sultan Hadiwijaya sampai mengetahui kisah yang sebenarnya
(bahwa pembunuh Bupati Jipang Panolan adalah anak angkatnya sendiri), dikhawatirkan ia akan
lupa memberikan hadiah.
Memberontak terhadap Pajang
Usai sayembara, Ki Panjawi mendapatkan tanah Pati dan menjadi bupati di sana sejak tahun
1549, sedangkan Ki Ageng Pamanahan baru mendapatkan tanah Mataram sejak tahun 1556.
Sepeninggal Ki Ageng Pamanahan tahun 1575, Sutawijaya menggantikan kedudukannya sebagai
pemimpin Mataram, bergelar Senapati Ingalaga (yang artinya “panglima di medan perang”).
Pada tahun 1576 Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil dari Pajang tiba untuk menanyakan
kesetiaan Mataram, mengingat Senapati sudah lebih dari setahun tidak menghadap Sultan
Hadiwijaya. Senapati saat itu sibuk berkuda di desa Lipura, seolah tidak peduli dengan
kedatangan kedua utusan tersebut. Namun kedua pejabat senior itu pandai menjaga perasaan
Sultan Hadiwijaya melalui laporan yang mereka susun.
Senapati memang ingin menjadikan Mataram sebagai kerajaan merdeka. Ia sibuk mengadakan
persiapan, baik yang bersifat material ataupun spiritual, misalnya membangun benteng, melatih
tentara, sampai menghubungi penguasa Laut Kidul dan Gunung Merapi. Senapati juga berani
membelokkan para mantri pamajegan dari Kedu dan Bagelen yang hendak menyetor pajak ke
Pajang. Para mantri itu bahkan berhasil dibujuknya sehingga menyatakan sumpah setia kepada
Senapati.
Sultan Hadiwijaya resah mendengar kemajuan anak angkatnya. Ia pun mengirim utusan
menyelidiki perkembangan Mataram. Yang diutus adalah Arya Pamalad Tuban, Pangeran
Benawa, dan Patih Mancanegara. Semuanya dijamu dengan pesta oleh Senapati. Hanya saja
sempat terjadi perselisihan antara Raden Rangga (putra sulung Senapati) dengan Arya Pamalad.
Memerdekaan Mataram
Pada tahun 1582 Sultan Hadiwijaya menghukum buang Tumenggung Mayang ke Semarang
karena membantu anaknya yang bernama Raden Pabelan, menyusup ke dalam keputrian
menggoda Ratu Sekar Kedaton, putri bungsu Sultan. Raden Pabelan sendiri dihukum mati dan
mayatnya dibuang ke Sungai Laweyan.
Ibu Pabelan adalah adik Senapati. Maka Senapati pun mengirim para mantri pamajegan untuk
merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya.
Perbuatan Senapati ini membuat Sultan Hadiwijaya murka. Sultan pun berangkat sendiri
memimpin pasukan Pajang menyerbu Mataram. Perang terjadi. Pasukan Pajang dapat dipukul
mundur meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak.
Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dalam perjalanan pulang ke Pajang. Ia akhirnya meninggal dunia
namun sebelumnya sempat berwasiat agar anak-anaknya jangan ada yang membenci Senapati
serta harus tetap memperlakukannya sebagai kakak sulung. Senapati sendiri ikut hadir dalam
pemakaman ayah angkatnya itu.
Menjadi Raja
Arya Pangiri adalah menantu Sultan Hadiwijaya yang menjadi adipati Demak. Ia didukung
Panembahan Kudus berhasil merebut takhta Pajang pada tahun 1583 dan menyingkirkan
Pangeran Benawa menjadi adipati Jipang.
Pangeran Benawa kemudian bersekutu dengan Senapati pada tahun 1586 karena pemerintahan
Arya Pangiri dinilai sangat merugikan rakyat Pajang. Perang pun terjadi. Arya Pangiri tertangkap
dan dikembalikan ke Demak.
Pangeran Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Senapati namun ditolak. Senapati hanya
meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram.
Pangeran Benawa pun diangkat menjadi raja Pajang sampai tahun 1587. Sepeninggalnya, ia
berwasiat agar Pajang digabungkan dengan Mataram. Senapati dimintanya menjadi raja. Pajang
sendiri kemudian menjadi bawahan Mataram, dengan dipimpin oleh Pangeran Gagak Baning,
adik Senapati.
Maka sejak itu, Senapati menjadi raja pertama Mataram bergelar Panembahan. Ia tidak mau
memakai gelar Sultan untuk menghormati Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa. Istana
pemerintahannya terletak di Kotagede.
Akhir Pemerintahan
Panembahan Senapati alias Danang Sutawijaya meninggal dunia pada tahun 1601 saat berada di
desa Kajenar. Ia kemudian dimakamkan di Kotagede. Putra yang ditunjuk sebagai raja
selanjutnya adalah yang lahir dari putri Pati, bernama Mas Jolang.
Kepustakaan
Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti
M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press
Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta:
Kanisius
Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
Sultan Baabullah
Sultan Baabullah (10 Februari 1528 - permulaan 1583), juga ditulis Sultan
Babullah atau Sultan Baab (tulisan Eropa) adalah sultan dan penguasa Kesultanan Ternate ke-
24 yang berkuasa antara tahun 1570 - 1583. Ia dikenal sebagai
sultan Ternate dan Maluku terbesar sepanjang sejarah, yang berhasil mengalahkan Portugis dan
mengantarkan Ternate ke puncak keemasan di akhir abad ke-16. Sultan Baabullah juga dijuluki
sebagai penguasa 72 pulau berpenghuni yang meliputi pulau–pulau di nusantara bagian
timur, Mindanao selatan dan kepulauan Marshall.
Masa Muda
Dilahirkan tanggal 10 Februari 1528, kaicil (pangeran) Baab adalah putera Sultan
Khairun (1535-1570) dengan permaisurinya Boki Tanjung, puteri Sultan Alauddin I dari Bacan.
Sultan Khairun sangat memperhatikan pendidikan calon penggantinya, sejak kecil pangeran
Baab bersama saudara-saudaranya telah digembleng oleh para mubalig dan panglima dimana ia
memperoleh pemahaman tentang ilmu agama dan ilmu perang sekaligus. Sejak remaja ia juga
telah turut mendampingi ayahnya menjalankan urusan pemerintahan dan kesultanan.
Ketika pecah perang Ternate–Portugis yang pertama (1559-1567), Sultan Khairun mengutus
putera – puteranya sebagai panglima untuk menghantam kedudukan Portugis di Maluku dan
Sulawesi, salah satunya adalah pangeran Baab yang kemudian tampil sebagai panglima yang
cakap dan berhasil memperoleh kemenangan bagi Ternate. Ternate sukses menahan ambisi
Portugis sekaligus memenangkan banyak wilayah baru.
Pengusiran Portugis
Pasca pembunuhan Sultan Khairun, Sultan Baabullah menuntut penyerahan Lopez de Mesquita
untuk diadili. Benteng – benteng Portugis di Ternate yakni Tolucco, Santo Lucia dan Santo
Pedro jatuh dalam waktu singkat hanya menyisakan Benteng Sao Paulo kediaman De Mesquita.
Atas perintah Baabullah pasukan Ternate mengepung benteng Sao Paulo dan memutuskan
hubungannya dengan dunia luar, suplai makanan dibatasi hanya sekadar agar penghuni benteng
bisa bertahan. Sultan Baabullah bisa saja menguasai benteng itu dengan kekerasan namun ia tak
tega karena cukup banyak rakyat Ternate yang telah menikah dengan orang Portugis dan mereka
tinggal dalam benteng bersama keluarganya. Karena tertekan Portugis terpaksa memecat Lopez
de Mesquita dan menggantinya dengan Alvaro de Ataide namun langkah ini tidak berhasil
meluluhkan Baabullah.
Meskipun bersikap “lunak” terhadap Portugis di Sao Paulo, Sultan Baabullah tidak melupakan
sumpahnya, ia mencabut segala fasilitas yang diberikan sultan Khairun kepada Portugis terutama
menyangkut misi Jesuit. Ia mengobarkan perang Soya – Soya (perang pembebasan negeri),
kedudukan Portugis di berbagai tempat digempur habis – habisan, tahun 1571 pasukan Ternate
berkekuatan 30 juanga yang memuat 3000 serdadu di bawah pimpinan Kapita Kalakinka
(Kalakinda) menyerbu Ambon dan berhasil mendudukinya. Pasukan Portugis di bawah kapten
Sancho de Vasconcellos yang dibantu pribumi kristen berhasil memukul mundur pasukan
Ternate di pulau Buru untuk sementara namun segera jatuh setelah Ternate memperbaharui
serangannya kembali di bawah pimpinan Kapita Rubuhongi.
Tahun 1575 seluruh kekuasaan Portugis di Maluku telah jatuh dan suku-suku atau kerajaan
pribumi yang mendukung mereka telah berhasil ditundukkan hanya tersisa benteng Sao Paulo
yang masih dalam pengepungan. Selama lima tahun orang-orang Portugis dan keluarganya hidup
menderita dalam benteng, terputus dari dunia luar sebagai balasan atas penghianatan mereka.
Sultan Baabullah akhirnya memberi ultimatum agar mereka meninggalkan Ternate dalam waktu
24 jam. Mereka yang telah beristrikan pribumi Ternate diperbolehkan tetap tinggal dengan syarat
menjadi kawula kerajaan. Kemenangan rakyat Ternate ini merupakan kemenangan pertama
putera-putera Nusantara atas kekuatan barat dan oleh Buya Hamka kemenangan rakyat Ternate
ini dipuji sangat penting karena menunda penjajahan barat atas nusantara selama 100 tahun.
Demikianlah, tanggal 15 Juli 1575, orang Portugis pergi secara memalukan dari Ternate, tak
satupun yang disakiti. Mereka kemudian diperbolehkan menetap di Ambon hingga 1576, setelah
itu sebagian dari mereka pergi ke Malaka dan sebagian lagi ke Timor dimana mereka
menancapkan kekuasaan mereka hingga 400 tahun kemudian.
Biografi dan Profil Lengkap Sultan Iskandar Muda – Sultan Iskandar Muda merupakan sultan
yang paling besar dalam masa Kesultanan Aceh, yang berkuasa dari tahun 1607 hingga 1636.
Iskandar Muda lahir di Aceh, Banda Aceh pada tahun 1593 atau 1590 dan wafat di Banda Aceh,
Aceh pada 27 September 1636. Pada masa kepemimpinann Iskandar Muda, Kesultanan
atau Kerajaan Aceh mencapai kejayaannya, dimana daerah kekuasaannya yang semakin besar
dan reputasi internasional sebagai pusat dari perdagangan dan pembelajaran tentang Islam. Nama
Sultan Iskandar Muda diabadikan sebagai nama bandar udara yaitu Bandar Udara Internasional
Sultan Iskandar Muda di Aceh.
Ibunya bernama Putri Raja Indra Bangsa yang juga dinamai Paduka Syah Alam adalah anak dari
Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10; di mana sultan tersebut merupakan putra dari
Sultan Firman Syah, dan Sultan Firman Syah adalah anak atau cucu (menurut Djajadiningrat)
Sultan Inayat Syah, Raja Darul-Kamal.
Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan upacara besar-besaran dengan Sultan Mansur Syah,
yaitu putra dari Sultan Abdul-Jalil, di mana Abdul-Jalil adalah putra dari Sultan Alauddin Riayat
Syah al-Kahhar yang juga Sultan Aceh ke-3.
Sultan Iskandar Muda besar dalam lingkungan istana. Setelah cukup umur Iskandar Muda
dikirim ayahnya untuk belajar pada Teungku Di Bitai, yaitu salah seorang ulama dari Baitul
Mukadis pakar ilmu falak dan ilmu firasat. Iskandar muda mempelajari ilmu nahu dari beliau.
Selanjutnya, ayah Iskandar Muda mulai menerima banyak ulama terkenal dari Mekah dan
Gujarat. Diantaranya tiga orang yang sangat berpengaruh dalam intelektual Iskandar Muda, yaitu
Syekh Abdul Khair Ibnu Hajar, Sekh Muhammad Jamani dari Mekah dan Sekh Muhammad
Djailani bin Hasan Ar-Raniry dari Gujarat.
Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut seorang
penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh pada zaman Sultan Iskandar Muda
Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh
pula meliputi hingga Perak.
Ketika Iskandar Muda mulai berkuasa pada tahun 1607, ia segera melakukan ekspedisi angkatan
laut yang menyebabkan ia mendapatkan kontrol yang efektif di daerah barat laut Indonesia.
Kendali kerajaan berjalan dengan lancar di semua pelabuhan penting di pantai barat Sumatra dan
di pantai timur, hingga ke Asahan di selatan. Pelayaran penaklukannya dilancarkan hingga jauh
ke Penang, di pantai timur Semenanjung Melayu, dan pedagang asing dipaksa untuk tunduk
kepadanya. Kerajaannya kaya raya dan menjadi pusat ilmu pengetahuan.
Pada abad ke-16, Ratu Inggris yaitu Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James
Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: “Kepada Saudara Hamba,
Raja Aceh Darussalam.” serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu
menerima maksud baik “saudarinya” di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan
berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Ratu Elizabeth I juga mengirim hadiah-hadiah
yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang
halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar “Orang Kaya Putih”.
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh,
yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:
I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and
over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise
to the sunset.
(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah
Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang
terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris
dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam
tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.
Belanda
Pangeran Maurits yaitu pendiri dinasti Oranje pernah mengirim surat dengan maksud meminta
bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan
mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku
Abdul Hamid.
Rombongan tersebut dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam
kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara
besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar Belanda. Akan tetapi karena orang
Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka ia dimakamkan dengan cara agama
Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam ia terdapat sebuah prasasti yang diresmikan
oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayah Yang
Mulia Ratu Beatrix.
Utsmaniyah Turki
Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan
Utsmaniyah yang berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang
gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus
menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Pada
akhirnya saar mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada
Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan
sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan
Aceh. Meriam tersebut masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada
masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.
Perancis
Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis
tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan
Aceh akan tetapi dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan
serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Denys Lombard
mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda berharga.
Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee
Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana
Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam
Darud Donya (kini Meuligoe Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali
dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda
juga memerintahkan untuk menggali sebuah kanal yang mengaliri air bersih dari sumber mata air
di Mata Ie hingga ke aliran Sungai Krueng Aceh di mana kanal tersebut melintasi istananya,
sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe. Di sanalah
sultan sering kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
Demikian artikel tentang “Biografi dan Profil Lengkap Sultan Iskandar Muda – Pahlawan
Nasional Indonesia Dari Aceh“, semoga bermanfaat
Raden Patah