Anda di halaman 1dari 5

Latar Belakang Perlawanan Rakyat Makassar

Terhadap VOC
Perlawanan rakyat Makassar terhadap VOC terjadi pada tahun 1654-1655 yang
dipimpin oleh Sultan Hasanuddin. Pada pertengahan abad ke-17, Kerajaan
Makassar menjadi pesaing berat bagi VOC terutama dalam bidang pelayaran
dan perdagangan di wilayah Indonesia Timur. Persaingan dagang tersebut
terasa semakin berat untuk VOC, sehingga VOC merancang siasat dengan
berpura-pura ingin membangun hubungan baik dan saling menguntungkan
dengan Kerajaan Makassar. Upaya VOC yang sepertinya terlihat baik ini
disambut baik oleh Raja Gowa dan kemudian VOC diberikan izin untuk
berdagang secara bebas.

Setelah mendapatkan kesempatan berdagang dan mendapatkan pengaruh di


Makassar, VOC mulai mengajukan tuntutan kepada Sultan Hasanuddin.
Tuntutan VOC terhadap Makassar ditentang oleh Sultan Hasanudin dalam
bentuk perlawanan dan penolakan semua bentuk isi tuntutan yang diajukan oleh
VOC yang sangat ingin menguasai perdagangan di daerah Indonesia Timur.
Oleh karena itu, VOC selalu berusaha mencari jalan untuk menghancurkan
Makassar sehingga terjadilah beberapa kali pertempuran antara rakyat Makassar
melawan VOC.

Sebab Umum dan Khusus


Berikut ini terdapat beberapa sebab umum dan khusus VOC ingin menguasai
Makassar, terdiri atas:

1. Belanda menganggap Makasar sebagai pelabuhan


2. Belanda mengadakan blokade ekonomi terhadap
3. Sultan Hasanuddin menolak monopoli perdagangan Belanda di

Jalannya Pertempuran Makassar


Perang Makasar (1666-1668) sebenarnya dipicu oleh perang dagang antara
Kerajaan Makasar yang menjadikan pelabuhannya bebas dikunjungi oleh kapal-
kapal dari Eropa ataupun dari Asia dan Nusantara, dengan pihak VOC yang
ingin memaksakan monopoli. Pelabuhan Makasar dianggap menyaingi
perniagaan VOC. Keinginan VOC  untuk mengontrol jalur perniagaan laut, ditolak
oleh Sultan Hasanuddin.

Dalam kebudayaan bahari yang dimiliki oleh orang Makasar, mereka memiliki
filosofi bahwa secara umum laut adalah milik bersama, siapapun boleh
melayarinya.  Permintaan VOC agar Sultan menerima monopoli perdagangan di
Makasar  ditolak oleh Sultan Hasanuddin. Bahkan Sultan mengatakan:

“Tuhan telah menciptakan bumi dan lautan, telah membagi-bagi daratan di


antara  umat manusia. Tetapi mengaruniakan laut untuk semuanya. Tak pernah 
kedengaran larangan buat siapapun untuk mengarungi lautan.”

Jawaban ini meneguhkan  semangat orang-orang Makasar untuk melawan


tindakan yang memaksakan kehendak, padahal sudah sejak lama, perniagaan
laut di Asia Tenggara ini berjalan dengan sistem pasar bebas. Pihak penguasa
hanya mengontrol  keamanan laut dan pelabuhan dengan menarik cukai atas
bermacam mata dagangan. Bahkan para penguasa juga menjadi kaya karena
menjadi juragan atau pemilik kapal-kapal dagang. Namun sejak kekalahan dalam
Perang Makasar banyak bangsawan, saudagar, dan pelaut Makasar yang
meninggalkan kampung halamannya pergi merantau  ke seluruh kepulauan
Nusantara

Sementara itu sebagaian besar bangsawan Bugis di Wajo yang menjadi sekutu
Kerajaan Gowa-Tallo juga melakukan pengungsian setelah ibukota kerajaan di
Tosora dihancurkan oleh VOC. Peperangan yang terjadi kemudian pada
pertengahan abad ke 18 antara Kerajaan Bone melawan Kerajaan Gowa-
Tallo dan Kerajaan Wajo juga makin  menambah besar jumlah penduduk yang
mengNamun para pengungsi Makassar dan Bugis generasi awal telah
beradaptasi dengan baik di  lingkungan barunya. Kebanyakan  orang Bugis
kemudian menetap di wilayah kepulauan Riau dan Semenanjung Malaya, 
sementara orang Makasar di Jawa dan Madura. Sedangkan dalam jumlah kecil
mereka  menyebar hampir di seluruh wilayah kepulauan Indonesia.

Dalam proses awal adaptasi, Andaya melihat bahwa para pengungsi Makasar 
awalnya mengalami  kegagalan karena sifat mereka terus memusuhi VOC,
sehingga di Jawa Timur, Karaeng Galengsung dan pengikutnya, mendukung
pemberontakan Trunojoyo melawan Mataram dan VOC, yang pada akhirnya
mengalami kekalahan pada tahun 1679. Hal yang sama juga terjadi di Banten 
ketika Karaeng Bontomarannu tiba di Banten dengan 800 orang pengikutnya dan
mendapatkan tempat tinggal dari SultanB anten, sampai kemudiaan ditinggalkan
akibat perang antara VOC dan Banten tahun  1680.

Sebaliknya menurut Andaya, para pengungsi dari Bugis tidak memposisikan


sebagai musuh VOC dengan tidak mendukung  perlawanan penguasa setempat
terhadap VOC. Sehingga orang-orang Bugis ini relatif tidak dicurigai oleh VOC.
Para bangsawan Bugis dan pengikutnya yang berada di tanah Semenanjung
Malaya justru diminta bantuan  oleh Sultan Johor, Abd al-Jalil untuk melawan
saingannya, Raja Kecik, yang ingin merebut tahta dengan bantuan Orang Laut.

Setelah musuhnya berhasil dikalahkan, Sultan memberikan daerah kepulauan


Riau sebagai tempat tinggal orang-orang Bugis. Pada abad ke-18, para
bangsawan Bugis ini kemudian membentuk kerajaan yang otonom di  kepulauan
Riau.

Pertempuran antara rakyat Makassar dengan VOC terjadi. Pertempuran pertama


terjadi pada tahun 1633. Pada tahun 1654 diawali dengan perilaku VOC yang
berusaha menghalang-halangi pedagang yang akan masuk maupun keluar
Pelabuhan Makassar mengalami kegagalan. Pertempuran ketiga terjadi tahun
1666-1667, pasukan kompeni dibantu olehpasukan Raja Bone (Aru Palaka) dan
pasukan Kapten Yonker dari Ambon.

Angakatan laut VOC, yang dipimpin oleh Spleeman. Pasukan Arung Palakka
mendarat din Bonthain dan berhasil mendorog suku Bugis agar melakukan
pemberontakan terhadap Sultan Hasanudin. Penyerbuan ke Makassar
dipertahankan oleh Sultan Hasanudin. Sultan Hasanudin terdesak dan dipaksa
untuk menandatangani perjanjian perdamaian di Desa Bongaya pada tahun
1667.

Faktor penyebab kegagalan rakyat Makassar adalah keberhasilan politik adu


domba Belanda terhadap Sultan Hasanudin dengan Arung Palakka. Membantu
Trunojoyo dan rakyat Banten setiap melakukan perlawanan terhadap VOC.

Dengan disahkannya perjanjian Bongaya, maka Rakyat Gowa merasa sangat


dirugikan oleh karena itu perang pun kembali berkecamuk. Pertempuran hebat
itu membuat Belanda cemas, sehingga menambah bala bantuan dari batavia.
Dalam pertempuran dahsyat pada bulan Juni 1669 yang cukup banyak menelan
korban di kedua belah pihak, akhirnya Belanda berhasil merebut benteng
pertahanan yang paling kuat di Somba Opu. Benteng Somba Opu diduduki
Belanda sejak 12 Juni 1669 dan kemudian dihancurkan, setelah pasukan Gowa
mempertahankannya dengan gagah berani.

Peperangan demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone)


yang dialami Gowa, membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya
membawa pengaruh terhadap perekonomian Gowa. Sejak kekalahan Gowa
dengan Belanda terutama setelah hancurnya benteng Somba Opu, maka sejak
itu pula keagungan Gowa yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya
akhirnya mengalami kemunduran.
Akibat perjanjian Bongaya, pada tahun 1667 sultan Hasanuddin Tunduk. Dalam
perjanjian itu, nyatalah kekalahan Makassar. Pardagangannya telah habis dan
negeri-negeri yang ditaklukkannya harus dilepaskan. Apalagi sejak Arung
Palakka menaklukkan hampir seluruh daratan Sulawesi Selatan dan
berkedudukan di Makassar, maka banyak orang Bugis yang pindah di Makassar.
Sejak itu pula penjajahan Belanda mulai tertanam secara penuh di Indonesia.

Makassar, sebagai ibukota kerajaan Gowa mengalami pengalihan-pengalihan


baik dari segi penguasaan maupun perkembangan-perkembangannya.
Pengaruh kekuasaan gowa makin lama makin tidak terasa di kalangan penduduk
Makassar yang kebanyakan pengikut Aru Palaka dan Belanda . benteng Somba
Opu yang selama ini menjadi pusat politik menjadi kosong dan sepi.

Pemerintahan kerajaan Gowa yang telah mengundurkan diri dari Makassar


(Yang berada dalam masa peralihan) ke Kalegowa dan Maccini Sombala tidak
dapat dalam waktu yang cepat memulihkan diri untuk menciptakan stabilitas
dalam negeri. Namun demikian Sultan Hasanuddin telah menunjukkan
perjuangannya yang begitu gigih untuk membela tanah air dari cengkraman
penjajah

Akibat lain dari perjanjian ini adalah semua hubungan dengan orang-orang
Makassar di daerah ini harus diputuskan. Bagi VOC, orang-orang Makassar
merupakan para pengacau dan penyulut kekacauan karena hubungan Sumbawa
dan Makassar yang telah berjalan lama. Pada 1695, orang-orang Makassar
melakukan pelarian dalam jumlah besar ke daerah Manggarai. Bahkan,
perpindahan orang-orang Makassar itu telah berlangsung sejak 1669, setelah
Kerajaan Gowa ditaklukkan VOC dan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya
pada 1667.

Tokoh Pertempuran Makassar


Sultan Hasanuddin merupakan Raja yang memerintah Kerajaan Makassar pada
tahun 1645-1670. Beliau juga merupakan pemimpin dalam pertempuran besar
antara rakyat Makassar dengan VOC.

Dampak Perlawanan Rakyat Makassar


Perlawanan rakyat Makassar akhirnya mengalami kegagalan. Salah satu faktor
penyebab kegagalan rakyat Makassar adalah keberhasilan politik adu domba
Belanda terhadap Sultan Hasanudin dengan Aru Palaka yang merupakan Raja
Kerajaan Bone.

Pada akhir peperangan, Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani perjanjian


Bongaya pada tahun 1667 yang isinya sangat merugikan pihak Makassar.

Isi Perjanjian Bongaya


Berikut dibawah ini isi dari perjanjian bongaya, yaitu sebagai berikut:

1. VOC menguasai monopoli perdagangan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi


Tenggara
2. Makasar harus   melepas   seluruh daerah bawahannya, seperti Sopeng,
Luwu, Wajo, dan Bone
3. Aru Palaka diakui sebagai Raja Bone
4. Makassar harus menyerahkan seluruh benteng-bentengnya
5. Kerajaan Makasar diperkecil, hanya meliputi Gowa
6. Semua Bangsa Asing di usir dari Makasar, kecuali VOC
7. Makasar harus membayar biaya perang

Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan rakyat Makassar


terhadap Belanda tetap diteruskan oleh putra Sultan Hasannudin yaitu
Mapasomba.

Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makassar, Belanda mengerahkan


pasukannya secara besar-besaran dan pada akhirnya Belanda berhasil
menghancurkan Makassar dan menguasai wilayah kerajaan tersebut
sepenuhnya.

Anda mungkin juga menyukai