Anda di halaman 1dari 7

Aceh Versus Portugis dan VOC

Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, justru membawa hikmah bagi Aceh.
Banyak para pedagang Islam yang menyingkir dari Malaka menuju ke Aceh. Dengan demikian
perdagangan di Aceh semakin ramai. Hal ini telah mendorong Aceh berkembang menjadi bandar dan
pusat perdagangan. Perkembangan Aceh yang begitu pesat ini dipandang oleh Portugis sebagai
ancaman, oleh karena itu, Portugis berkehendak untuk menghancurkan Aceh. Pada tahun 1523
Portugis melancarkan serangan ke Aceh di bawah pimpinan Henrigues, dan menyusul pada tahun
1524 dipimpin oleh de Sauza. Beberapa serangan Portugis ini mengalami kegagalan.
Beberapa serangan Portugis ini mengalami kegagalan Portugis terus mencari cara untuk
melemahkan posisi Aceh sebagai pusat perdagangan. Kapal-kapal Portugis selalu mengganggu kapal-
kapal dagang Aceh di manapun berada. Misalnya, pada saat kapal-kapal dagang Aceh sedang
berlayar di Laut Merah pada tahun 1524/1525 diburu oleh kapal kapal Portugis untuk ditangkap.
Sudah barang tentu tindakan Portugis telah merampas kedaulatan Aceh yang ingin bebas dan
berdaulat berdagang dengan siapa saja, mengadakan hubungan dengan bangsa manapun atas dasar
persamaan. Oleh karena itu, tindakan kapal-kapal Potugis telah mendorong munculnya perlawanan
rakyat Aceh. Sebagai persiapan Aceh melakukan langkah-langkah antara lain:

Kapal-kapal dagangnya yang berlayar disertai prajurit dengan perlengkapan meriam.


Meminta bantuan meriam serta tenaga ahlinya dari Turki. Bantuan dari Turki itu diperoleh
pada tahun 1567.
Meminta bantuan dari Jepara (Demak) dan Calicut (India).

Setelah berbagai bantuan berdatangan, Aceh segera melancarkan serangan terhadap Portugis di
Malaka. Portugis harus bertahan mati-matian di Formosa/Benteng. Portugis harus mengerahkan
semua kekuatannya sehinggaserangan Aceh ini dapat digagalkan. Sementara itu, Portugis
mempunyai rencana terhadap Aceh sebagai berikut :

Menghancurkan Aceh dengan jalan mengepungnya selama 3 tahun.


Setiap kapal yang berlayar di selat Malaka akan disergap dan dihancurkan.

Sebagai tindakan balasan pada tahun 1569 Portugis balik menyerang Aceh, tetapi serangan
Portugis di Aceh ini juga dapat digagalkan oleh pasukan Aceh. Rakyat Aceh dan para pemimpinnya
selalu ingin memerangi kekuatan dan dominasi asing, oleh karena itu, jiwa dan semangat juang
untuk mengusir Portugis dari Malaka tidak pernah padam. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar
Muda (1607-1639), semangat juang mempertahankan tanah air dan mengusir penjajahan asing
semakin meningkat.

Sultan Iskandar Muda


Iskandar Muda adalah raja yang gagah berani dan bercita-cita untuk mengenyahkan
penjajahan asing, termasuk mengusir Portugis dari Malaka. Iskandar Muda berusahauntuk
melipatgandakan kekuatan pasukannya. Angkatan lautnya diperkuat dengan kapal-kapal besar yang
dapat mengangkut 600-800 prajurit. Pasukan kavaleri dilengkapi dengan kuda kuda dari Persia,
bahkan Aceh juga menyiapkan pasukan gajah dan milisi infanteri.

Setelah mempersiapkan pasukannya, pada tahun 1629 Iskandar Muda melancarkan


serangan ke Malaka. Bentrokan-bentrokan antara kedua belah pihak masih sering terjadi, tetapi
Portugis tetap tidak berhasil menguasai Aceh dan begitu juga Aceh tidak berhasil mengusir Portugis
dari Malaka. Yang berhasil mengusir Portugis dari Malaka adalahVOC pada tahun 1641.

Maluku Angkat Senjata

Portugis berhasil memasuki Kepulauan Maluku pada tahun 1521 Mereka memusatkan
aktivitasnya di Ternate. Tidak lama berselang orang-orang Spanyol juga memasuki Kepulauan
Maluku dengan memusatkan kedudukannya di Tidore. Terjadilah persaingan antara kedua belah
pihak.Persaingan itu semakin tajam setelah Portugis berhasil menjalin persekutuan dengan Ternate
dan Spanyol bersahabat dengan Tidore.

Pada tahun 1529 terjadi perang antara Tidore melawan Portugis. Penyebab perang ini
karena kapal-kapal Portugis menembaki jung-jung dari Banda yang akan membeli cengkih ke Tidore.
Tentu saja Tidore tidak dapat menerima tindakan armada Portugis. Rakyat Tidore angkat senjata.
Terjadilah perang antara Tidore melawan Portugis. Dalam perang ini Portugis mendapat dukungan
dari Ternate dan Bacan. Akhirnya Portugis mendapat kemenangan.Dengan kemenangan ini Portugis
menjadi semakin sombong dan seringberlaku kasar terhadap penduduk Maluku. Upaya monopoli
terus dilakukan. Maka, wajar jika sering terjadi letupan-letupan perlawanan rakyat.Sementara itu
untuk menyelesaikan persaingan antara Portugis dan Spanyol dilaksanakan perjanjian damai, yakni
Perjanjian Saragosa pada tahun 1534. Dengan adanya Perjanjian Saragosa kedudukan Portugis di
Maluku semakin kuat.

Dengan adanya Perjanjian Saragosa kedudukan Portugis di Maluku semakin kuat. Portugis
semakin berkuasa untuk memaksakan kehendaknya melakukan monopoli perdagangan rempah-
rempah di Maluku. Kedudukan Portugis juga semakin mengganggu kedaulatan kerajaan-kerajaan
yang ada di Maluku. Pada tahun 1565 muncul perlawanan rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan
Khaerun/Hairun.

Portugis mulai kewalahan dan menawarkan perundingan kepada Sultan Khaerun. Dengan
pertimbangan kemanusiaan, Sultan Khaerun menerima ajakan Portugis Perundingan dilaksanakan
pada tahun 1570 bertempat di Benteng Sao Paolo. Ternyata semua ini hanyalah tipu muslihat
Portugis. Pada saat perundingan sedang berlangsung, Sultan Khaerun ditangkap dan dibunuh.

Setelah Sultan Khaerun dibunuh, perlawanan dilanjutkan di bawah pimpinan Sultan


Baabullah (putera Sultan Khaerun). Melihat tindakan Portugis yang tidak mengenal nilai-nilai
kemanusiaan, semangat rakyat Maluku untuk melawannya semakin berkobar. Seluruh rakyat
Maluku berhasil dipersatukan termasuk Ternate dan Tidore untuk melancarkan serangan besar-
besaran terhadap Portugis.

Sultan Baabullah merupakan generasi ke-5, putra dari Sultan Khairun Janil, dengan silsilah
sebagai berikut; Berawal dari Sultan Zainal Abidin (1485-1500). Generasi pertamanya adalah Sultan
Bayanullah (1500-1522), kedua Sultan Maharani Noekila (1522-1532), ketiga Sultan Tabarija (1532-
1536), dan keempat Sultan Khairun Janil (1536-1570).

Saat diangkat menjadi sultan Ternate yang ke-25, usia Sultan Baabullah saat itu sudah
terhitung matang, yakni sekitar 42 tahun. Segenap penghuni kerajaan sudah tak ragu lagi sebab ia
telah terlatih di berbagai medan pertempuran pada masa pergolakan pemerintahan Ayahandanya
Khairun Janil dalam melawan Portugis.

Kematangannya dalam hal berperang telah didapatkan Sultan Baabullah sejak masa muda. Ia
telah digembleng kemiliteran oleh Salahaka Sula dan Salahaka Ambon. Keduanya merupakan
panglima Kerajaan Ternate. Berkat bimbingan kedua tokoh inilah, dalam usia relatif muda Sultan
Baabulla telah diangkat menjadi Kaicil Paparangan alias panglima tertinggi angkatan perang.

Sehingga perlawanan melawan Portugis semakin garang di masa pemerintahannya. Di dalam


benaknya selalu teringat saat-saat duka dodora ketika ia membopong jenazah Sultan Chairun yang
hancur. Ayahnya dibunuh ketika diajak berunding oleh Belanda di benteng Sao Paulo, diambil
jantungnya oleh serdadu Portugis untuk dipersembahkan pada Rajamuda Portugis di Goa India
(1570).

Akhirnya Portugis dapat didesak dan pada tahun 1575 berhasil diusir dari Ternate. Orang-
orang Portugis kemudian melarikan diri dan menetap di Ambon sampai tahun 1605. Tahun itu
Portugis dapat diusir oleh VOC dari Ambon dan kemudian menetap di Timor Timur.

Sultan Agung Versus J.P. Coen

Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (Bahasa Jawa: Sultan Agung Adi Prabu
Hanyokrokusumo, lahir: Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593 - wafat: Karta (Plered, Bantul),
Kesultanan Mataram, 1645) adalah Sultan ke-tiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada
tahun 1613-1645. Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di
Jawa dan Nusantara pada saat itu.

Sultan Agung adalah raja yang paling terkenal dari Kerajaan Mataram. Pada masa pemerintahan
Sultan Agung, Mataram mencapai zaman keemasan. Cita-cita Sultan Agung antara lain:

mempersatukan seluruh tanah Jawa


mengusir kekuasaan asing dari bumi Nusantara. Terkait dengan cita-citanya ini maka
Sultan Agung sangat menentang keberadaan kekuatan VOC di Jawa.
Terkait dengan cita-citanya ini maka Sultan Agung sangat menentang keberadaan kekuatan VOC di
Jawa. Apalagi tindakan VOC yang terus memaksakan kehendak untuk melakukan monopoli
perdagangan membuat para pedagang Pribumi mengalami kemunduran. Kebijakan monopoli itu
juga dapat membawa penderitaan rakyat. Oleh karena itu, Sultan Agung merencanakan serangan ke
Batavia. Ada beberapa alasan mengapa Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia, yakni:

indakan monopoli yang dilakukan VOC,


VOC sering menghalang-halangi kapal-kapal dagang Mataram yang akan berdagang ke
Malaka,
VOC menolak untuk mengakui kedaulatan Mataram, dan
keberadaan VOC di Batavia telah memberikan ancaman serius bagi masa depan Pulau
Jawa.

Pada tahun 1628 telah dipersiapkan pasukan dengan segenap persenjataan dan perbekalan.
Pada waktu itu yang menjadi gubernur jenderal VOC adalah J.P. Coen.

Bulan April 1628 Kyai Rangga bupati Tegal dikirim sebagai duta ke Batavia untuk
menyampaikan tawaran damai dengan syarat-syarat tertentu dari Mataram. Tawaran tersebut
ditolak pihak VOC sehingga Sultan Agung memutuskan untuk menyatakan perang.

Maka, pada 22 Agustus 1628 pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Bahureksa, bupati
Kendal tiba di Batavia. Pasukan kedua tiba bulan Oktober dipimpin Pangeran Mandurareja (cucu Ki
Juru Martani).

o Serangan Pertama

Armada Bahureksa membawa 150 ekor sapi, 5.900 karung gula, 26.600 buah kelapa dan
12.000 karung beras. Pihak Mataram menyampaikan hal ini sebagai alasan keinginan Mataram
berdagang dengan Batavia. Namun pihak Belanda curiga. Hari berikutnya, mereka menyetujui sapi
diturunkan, dengan syarat kapal Mataram hanya menepi satu demi satu. 100 prajurit bersenjata dari
garnisun Kasteel (benteng) keluar untuk menjaga-jaga.

Hari ketiga, tujuh lagi kapal Mataram muncul, dengan alasan ingin minta surat jalan dari
pihak Belanda agar dapat berlayar ke Melaka, saat itu di bawah kekuasaan VOC. Belanda
memperkuat penjagaan di dua benteng kecil utara dan menyiapkan artilerinya. Sore hari itu,
duapuluhan kapal Mataram menurunkan pasukannya di depan Kasteel. Belanda terkejut dan buru-
buru masuk benteng kecil. Sejumlah kapal Mataram lain mendaratkan prajuritnya. Pasukan Mataram
kemudian dihujani tembakan dari Kasteel.

Tanggal 25 Agustus, 27 kapal Mataram lagi masuk teluk, namun berlabuh agak jauh dari
Kasteel. Di sebelah selatan Batavia, serdadu Mataram mulai tiba, dengan panji perang berkibar.
Mataram telah menyatakan dengan jelas keinginannya menyerang Belanda. Esok harinya, terhitung
1.000 prajurit Mataram memasang kuda-kuda di depan Batavia. Tanggal 27 Agustus, mereka
menyerang benteng kecil "Hollandia" di sebelah tenggara kota. Sekompi berkekuatan 120 prajurit di
bawah pimpinan Letnan Jacob van der Plaetten berhasil menghalang mereka, setelah pertempuran
yang dahsyat. Sementara beberapa kapal Belanda datang dari Banten dan Pulau Onrust dan
mendaratkan 200 prajurit. Kini Kasteel dipertahankan oleh 530 prajurit.
Pasukan kedua tiba bulan Oktober dipimpin Pangeran Mandurareja (cucu Ki Juru Martani).
Total semuanya adalah 10.000 prajurit. Perang besar terjadi di Benteng Holandia. Pasukan Mataram
mengalami kehancuran karena kurang perbekalan. Menanggapi kekalahan ini Sultan Agung
bertindak tegas, pada bulan Desember 1628 ia mengirim algojo untuk menghukum mati
Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja. Pihak VOC menemukan 744 mayat orang Jawa
berserakan dan sebagian tanpa kepala.

o Serangan Kedua

Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun berikutnya.
Pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada bulan Mei 1629, sedangkan pasukan kedua
dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total semua 14.000 orang prajurit. Kegagalan
serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras tersembunyi di
Karawang dan Cirebon. Namun pihak VOC yang menggunakan mata-mata berhasil menemukan dan
memusnahkan semuanya. Hal ini menyebabkan pasukan Mataram kurang perbekalan, ditambah
wabah penyakit malaria dan kolera yang melanda mereka, sehingga kekuatan pasukan Mataram
tersebut sangat lemah ketika mencapai Batavia. Walaupun kembali mengalami kekalahan, serangan
kedua Sultan Agung ini berhasil membendung dan mengotori Sungai Ciliwung, yang mengakibatkan
timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC yaitu J.P. Coen
meninggal menjadi korban wabah tersebut.

Dalam situasi yang kritis ini pasukan Belanda semakin marah dan meningkatkan kekuatannya
untuk mengusir pasukan Mataram. Dengan mengandalkan persenjataan yang lebih baik dan
lengkap, akhirnya dapat menghentikan serangan-serangan pasukan Mataram. Pasukan Mataram
semakin melemah dan akhirnya ditarik mundur kembali ke Mataram. Dengan demikian serangan
Sultan Agung yang kedua ini juga mengalami kegagalan. Dengan kegagalan pasukan Mataram
menyerang Batavia, membuat VOC semakin berambisi untuk terus memaksakan monopoli dan
memperluas pengaruhnya di daerah-daerah lain. Namun di balik itu VOC selalu khawatir dengan
kekuatan tentara Mataram. Tentara VOC selalu berjaga-jaga untuk mengawasi gerak-gerik pasukan
Mataram. Sebagai contoh pada waktu pasukan Sultan Agung dikirim ke Palembang untuk
membantu Raja Palembang dalam melawan VOC, langsung diserang oleh tentara VOC di tengah
perjalanan.

Perlawanan pasukan Sultan Agung terhadap VOC memang mengalami kegagalan. Tetapi
semangat dan cita-cita untuk melawan dominasi asing di Nusantara terus tertanam pada jiwa Sultan
Agung dan para pengikutnya. Sayangnya semangat ini tidak diwarisi oleh raja-raja pengganti Sultan
Agung. Setelah Sultan Agung meninggal tahun 1645, Mataram menjadi semakin lemah sehingga
akhirnya berhasil dikendalikan oleh VOC.

Perlawanan Banten Terhadap VOC Banten memiliki posisi yang strategis sebagai bandar
perdagangan internasional. Oleh karena itu sejak semula Belanda ingin menguasai Banten, tetapi
tidak pernah berhasil. Akhirnya VOC membangun Bandar di Batavia pada tahun 1619. Terjadi
persaingan antara Banten dan Batavia memperebutkan posisi sebagai bandar perdagangan
internasional. Oleh karena itu, rakyat Banten sering melakukan seranganserangan terhadap VOC.
Hubungan antara Banten dan VOC yang semula baik berubah seiring dengan naiknya Sultan Banten
Abu'l Fath Abdulfattah yang lebih dikenal sebagai Sultan Ageng Tirtayasa menjadi raja Banten pada
tahun 1651. Sultan yang duduk di tahta saat berusia 20 tahun ini tidak menyukai Belanda karena
Belanda dalam pandangannya hanya merupakan penghalang perdagangan Banten.

Beberapa yang dilakukan misalnya mengundang para pedagang Eropa lain seperti Inggris,
Perancis, Denmark dan Portugis. Sultan Ageng juga mengembangkan hubungan dagang dengan
negara-negara Asia seperti Persia, Benggala, Siam, Tonkin, dan Cina. Perkembangan di Banten
ternyata sangat tidak disenangi oleh VOC. Oleh karena itu, untuk melemahkan peran Banten sebagai
Bandar perdagangan, VOC sering melakukan blokade. Jung-jung Cina dan kapal-kapal dagang dari
Maluku dilarang meneruskan perjalanan menuju Banten. Sebagai balasan Sultan Ageng juga
mengirim beberapa pasukannya untuk mengganggu kapal-kapal dagang VOC dan menimbulkan
gangguan di Batavia. Dalam rangka memberi tekanan dan memperlemah kedudukan VOC, rakyat
Banten juga melakukan perusakan terhadap beberapa kebun tanaman tebu milik VOC. Akibatnya
hubungan antara Banten dan Batavia semakin memburuk.

Menghadapi serangan pasukan Banten, VOC terus memperkuat kota Batavia dengan
mendirikan benteng-benteng pertahanan seperti Benteng Noordwijk. Dibangun untuk memberikan
perlindungan hewan-hewan ternak yang tersebar di lapangan Paviljoen di sebelah selatannya dan
dibongkar tahun 1809. Di lokasi itu sekarang berdiri Masjid Istiqlal. Terletak di tepi barat sungai
Ciliwung (Kali Besar), di sebelah barat jembatan Pintu Air (Sluisburg). Berbentuk segi empat dengan
bastion di sudut-sudutnya. Pintu masuk di sisi barat dan di depan gerbang tersebut terdapat
kubangan atau rawa yang menurut lukisan Rach disana burung-burung air suka berenang-renang.
Rawa ini terdapat juga di sebelah utara benteng.

Panjang benteng dari pintu masuk sampai ke courtine (dinding tengah antara dua bastion)
sekitar 25 meter. Oleh karena ukurannya yang kecil ini benteng Noordwijk dianggap sebagai sebuah
redoute (kubu). Di dalam benteng terdapat sebuah bangunan (ruangan besar) untuk tentara pribumi
yang dilengkapi dengan tempat tidur dari kayu. Selain itu masih ada tiga buah ruangan kecil (kamar)
untuk sersan dan para penembak meriam. Pada tahun 1697 meriam-meriam yang ada di dalam
benteng dipindahkan dan ketika gambar benteng ini dibuat oleh Rach, hanya ada 5 orang pengawal
yang tugas utamanya adalah menjaga keamanan pintu air dan memberikan penghormatan kepada
pembesar-pembesar yang berlalu di sana. Di bastion timur laut ada tempat menggantung lonceng,
kemudian di dinding barat sisi luar terdapat dapur. Di sebelah selatan benteng terdapat parit kering
(droge gracht), kemudian di atas parit itu terdapat jembatan yang berpintu.

Dengan tersedianya beberapa benteng di Batavia diharapkan VOC mampu bertahan dari
berbagai serangan dari luar dan mengusir para penyerang tersebut. Sementara itu untuk
kepentingan pertahanan, Sultan Ageng memerintahkan untuk membangun saluran irigasi yang
membentang dari Sungai Untung Jawa sampai Pontang. Selain berfungsi untuk meningkatkan
produksi pertanian, saluran irigasi dimaksudkan juga untuk memudahkan transportasi perang. Pada
masa pemerintahan Sultan Ageng ini memang banyak dibangun saluran air/irigasi. Oleh karena jasa-
jasanya ini maka sultan digelari Sultan Ageng Tirtayasa (tirta artinya air).

Serangan dan gangguan terhadap VOC terus dilakukan. Di tengah-tengah mengobarkan


semangat anti VOC itu, pada tahun 1671 Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putra mahkota
Abdulnazar Abdulkahar sebagai raja pembantu yang lebih dikenal dengan nama Sultan Haji. Sebagai
raja pembantu Sultan Haji bertanggung jawab urusan dalam negeri, dan Sultan Ageng Tirtayasa
bertanggung jawab urusan luar negeri dibantu puteranya yang lain, yakni Pangeran Arya Purbaya.
Pemisahan urusan pemerintahan di Banten ini tercium oleh perwakilan VOC di Banten W. Caeff. Ia
kemudian mendekati dan menghasut Sultan Haji agar urusan pemerintahan di Banten tidak dipisah-
pisah dan jangan sampai kekuasaan jatuh ke tangan Arya Purbya.

Voc merasa kesulitan untuk menundukkan kekuatan Banten. Akhirnya, Voc menggunakan
siasat adu domba untuk mengalahkan Sultan Ageng Tirtayasa. Siasat itu dengan cara menghasut
Sultan Haji, anak tertua Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu di Kesultanan Banten sedang terjadi
sengketa antara kedua putra Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu Sultan Haji dan Pangeran Purbaya Voc
tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Sultan Haji yang dihasut oleh Voc untuk menyingkirkan Sultan
Ageng Tirtayasa. Sultan Haji akhirnya terhasut. Ia mengira ayahnya akan memberikan kekuasaannya
kepada Pangeran Purbaya, adiknya. Semua itu menimbulkan perang keluarga.

Sultan Haji yang dibantu oleh VOC dapat mengalahkan Sultan Ageng Tirtayasa. Kemenangan Sultan
Haji atas bantuan VOC tersebut menghasilkan kompensasi dalam penandatanganan perjanjian
dengan kompeni.

Banten harus menyerahkan cirebon kepada voc,


Monopoli lada di banten dipegang oleh voc dan harus menyingkirkan para pedagang
persia, india, dan cina,
Banten harus membayar 600.000 ringgit apabila ingkar janji, dan
Pasukan banten yang menguasai daerah pantai dan pedalaman priangan segera
ditarik kembali.

Pada tahun 1681 VOC atas nama Sultan Haji berhasil merebut Kesultanan Banten. Istana
Surosowan berhasil dikuasai. Sultan Haji menjadi Sultan Banten yang berkedudukan di istana
Surosowan. Sultan Ageng kemudian membangun istana yang baru berpusat di Tirtayasa. Sultan
Ageng berusaha merebut kembali Kesultanan Banten dari Sultan Haji yang didukung VOC. Pada
tahun 1682 pasukan Sultan Ageng Tirtayasa berhasil mengepung istana Surosowan. Sultan Haji
terdesak dan segera meminta bantuan tentara VOC. Voc segera membantunya dengan mengirim
pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack de Saint Martin. Kerja sama antara Sultan Haji dan Belanda
akhirnya dapat mengalahkan Sultan Ageng Tirtayasa.

Pada tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap dan dibuang ke Batavia. Sultan
Ageng Tirtayasa akhirnya meninggal dunia di dalam penjara. Beliau lalu di makamkan di komplek
pemakaman raja-raja Banten yang terletak di sebelah utara Masjid Agung Banten.

Perjanjian tersebut menandakan perlawanan rakyat Banten terhadap VOC dapat


dipadamkan, bahkan Banten dapat dikuasai oleh VOC. Pertikaian keluarga di Kerajaan Banten
menunjukkan bahwa mudahnya rakyat Banten untuk diadu domba oleh VOC.

Anda mungkin juga menyukai