Anda di halaman 1dari 39

1.

Aceh Versus Portugis dan VOC

Perlawanan pertama untuk melawan keserakahan kongsi dagang (abad ke-16 samapi abad ke-18)
terjadi di daerah aceh dengan nama perlawanan Aceh Versus Portugis dan VOC yang terjadi pada tahun
1511-1641. permususahan antara Portugis dengan Aceh disebabkan oleh ketidak sukaan atau rasa iri
terhadap Aceh yang berkembang pesat menjadi pusat perdagangan sehingga portugis ingin
menghancurkan Aceh.

Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, justru membawa hikmah bagi Aceh.
Banyak para pedagang Islam yang menyingkir dari Malaka menuju ke Aceh. Hal ini telah mendorong
Aceh berkembang menjadi bandar dan pusat perdagangan. Perkembangan Aceh yang begitu pesat ini
dipandang oleh Portugis sebagai ancaman. oleh karena itu, Portugis berkehendak untuk menghancurkan
Aceh.

Pada tahun 1523 Portugis melancarkan serangan ke Aceh di bawah pimpinan Henrigues, dan
menyusul pada tahun 1524 dipimpin oleh de Sauza. Beberapa serangan Portugis ini mengalami
kegagalan. Portugis terus mencari cara untuk melemahkan posisi Aceh sebagai pusat perdagangan.

Kapal-kapal Portugis selalu mengganggu kapal-kapal dagang Aceh di manapun berada. Misalnya,
pada saat kapal-kapal dagang Aceh sedang berlayar di Laut Merah pada tahun 1524/1525 diburu oleh
kapal-kapal Portugis untuk ditangkap.

Tindakan Portugis telah merampas kedaulatan Aceh yang ingin bebas dan berdaulat berdagang dengan
siapa saja. Langkah-langkah Aceh dalam menghalau tentara Portugis, antara lain:

Melengkapi kapal-kapal dagang Aceh dengan persenjataan, meriam dan prajurit

Mendatangkan bantuan persenjataan, sejumlah tentara dan beberapa ahli dari Turki pada tahun 1567

Mendatangkan bantuan persenjataan dari Kalikut dan Jepara

Setelah bermacam-macam bantuan berdatangan, Aceh segera melancarkan serangan terhadap Portugis
di Malaka. Portugis wajib bertahan mati-matian di Formosa/ Benteng. Portugis wajib mengerahkan
semua kekuatannya sehingga serangan Aceh ini dapat digagalkan. Sebagai tindakan balasan pada tahun
1569 Portugis balik menyerang Aceh, tetapi serangan Portugis di Aceh ini juga dapat digagalkan oleh
pasukan Aceh.

Rakyat Aceh dan para pemimpinnya selalu ingin memerangi kekuatan dan dominasi asing, oleh
sebab itu, jiwa dan semangat juang untuk mengusir Portugis dari Malaka tidak pernah padam. Pada
masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, semangat juang mempertahankan tanah air dan mengusir
penjajahan asing semakin meningkat. Iskandar Muda adalah raja yang gagah berani dan bercita-cita
untuk mengenyahkan penjajahan asing, termasuk mengusir Portugis dari Malaka. Iskandar Muda
berusaha untuk melipatgandakan kekuatan pasukannya. Angkatan lautnya diperkuat dengan kapal-kapal
besar yang dapat mengangkut 600-800 prajurit.

Pasukan kavaleri dilengkapi dengan kuda-kuda dari Persia, bahkan Aceh juga menyiapkan
pasukan gajah dan milisi infanteri. Sementara itu untuk mengamankan wilayahnya yang semakin luas
meliputi Sumatera Timur dan Sumatera Barat, ditempatkan para pengawas di jalur-jalurperdagangan.

Para pengawas itu ditempatkan di pelabuhan-pelabuhan penting seperti di Pariaman. Para


pengawas itu biasanya terdiri para panglima perang. Setelah mempersiapkan pasukannya, pada tahun
1629 Iskandar Muda melancarkan serangan ke Malaka. Menghadapi serangan kali ini Portugis sempat
kewalahan. Portugis wajib mengerahkan semua kekuatan tentara dan persenjataan untuk menghadapi
pasukan Iskandar Muda.

Namun, serangan Aceh kali ini tidak juga berhasil mengusir Portugis dari Malaka. Hubungan Aceh dan
Portugis semakin memburuk. Bentrokan-bentrokan antara kedua belah pihak masih sering terjadi, tetapi
Portugis tetap tidak berhasil menguasai Aceh dan begitu juga Aceh tidak berhasil mengusir Portugis dari
Malaka. Yang berhasil mengusir Portugis dari Malaka adalah VOC pada tahun 1641.

2.Maluku Angkat Senjata

Portugis berhasil memasuki Kepulauan Maluku pada tahun 1521. Mereka memusatkan
aktivitasnya di Ternate. Tidak lama berselang orang- orang Spanyol juga memasuki Kepulauan Maluku
dengan memusatkan kedudukannya di Tidore. Terjadilah persaingan antara kedua belah pihak.
Persaingan itu semakin tajam setelah Portugis berhasil menjalin persekutuan dengan Ternate dan
Spanyol bersahabat dengan Tidore.

Pada tahun 1529 terjadi perang antara Tidore melawan Portugis. Penyebab perang ini sebab kapal-
kapal Portugis menembaki jung-jung dari Banda yang akan membeli cengkih ke Tidore. Tentu saja Tidore
tidak dapat menerima tindakan armada Portugis. Rakyat Tidore angkat senjata. Terjadilah perang antara
Tidore melawan Portugis. Dalam perang ini Portugis mendapat dukungan dari Ternate dan Bacan.
Akhirnya Portugis memperoleh kemenangan. Dengan kemenangan ini Portugis menjadi semakin
sombong dan sering berlaku kasar pada penduduk Maluku. Upaya monopoli terus dilakukan.

Maka, wajar jika sering terjadi letupan-letupan perlawanan rakyat. Sementara itu untuk
menyelesaikan persaingan antara Portugis dan Spanyol dilaksanakan perjanjian damai, yakni Perjanjian
Saragosa pada tahun 1534. Dengan adanya Perjanjian Saragosa kedudukan Portugis di Maluku semakin
kuat. Portugis semakin berkuasa untuk memaksakan kehendaknya melakukan monopoli perdagangan
rempah-rempah di Maluku.

Kedudukan Portugis juga semakin mengganggu kedaulatan kerajaan-kerajaan yang ada di


Maluku. Pada tahun 1565 muncul perlawanan rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan
Khaerun/Hairun. Sultan Khaerun menyerukan seluruh rakyat dari Irian/Papua sampai Jawa untuk angkat
senjata melawan kezaliman kolonial Portugis. Portugis mulai kewalahan dan menawarkan perundingan
kepada Sultan Khaerun.

Dengan pertimbangan kemanusiaan, Sultan Khaerun menerima ajakan Portugis Perundingan


dilaksanakan pada tahun 1570 bertempat di Benteng Sao Paolo. Ternyata semua ini hanyalah tipu
muslihat Portugis. Pada saat perundingan sedang berlangsung, Sultan Khaerun ditangkap dan dibunuh.
Apa yang dilakukan Portugis kala itu sungguh kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan. Demi
keuntungan ekonomi Portugis sudah merusak sendi-sendi kehidupan kemanusiaan dan keberagamaan.

Setelah Sultan Khaerun dibunuh, perlawanan dilanjutkan di bawah pimpinan Sultan Baabullah (putera
Sultan Khaerun). Melihat tindakan Portugis yang tidak mengenal nilai-nilai kemanusiaan, semangat
rakyat Maluku untuk melawannya semakin berkobar. Seluruh rakyat Maluku berhasil dipersatukan
termasuk Ternate dan Tidore untuk melancarkan serangan besar-besaran terhadap Portugis. Akhirnya
Portugis dapat didesak dan pada tahun 1575 berhasil diusir dari Ternate. Orang-orang Portugis lalu
melarikan diri dan menetap di Ambon sampai tahun 1605. Tahun itu Portugis dapat diusir oleh VOC dari
Ambon dan lalu menetap di Timor Timur.

Pada tahun 1680, VOC memaksakan sebuah perjanjian baru dengan penguasa Tidore. Kerajaan
Tidore yang semula sebagai sekutu turun statusnya menjadi vassal VOC, dan sebagai penguasa yang
baru diangkatlah Putra Alam sebagai Sultan Tidore (menurut tradisi kerajaan Tidore yang berhak sebagai
sultan semestinya adalah Pangeran Nuku). Penempatan Tidore sebagai vassal atau daerah kekuasaan
VOC sudah menimbulkan protes keras dari Pangeran Nuku. Akhirnya Nuku memimpin perlawanan
rakyat. Timbullah perang hebat antara rakyat Maluku di bawah pimpinan Pangeran Nuku melawan
kekuatan kompeni Belanda (tentara VOC).

Sultan Nuku memperoleh dukungan rakyat Papua di bawah pimpinan Raja Ampat dan juga
orang-orang Gamrange dari Halmahera. Oleh para pengikutnya, Pangeran Nuku diangkat sebagai sultan
dengan gelar Tuan Sultan Amir Muhammad Syafiudin Syah. Sultan Nuku juga berhasil meyakinkan Sultan
Aharal dan Pangeran Ibrahim dari Ternate untuk bersama-sama melawan VOC.

Bahkan dalam perlawanan ini Inggris juga memberi dukungan pada Sultan Nuku. Belanda
kewalahan dan tidak mampu membendung ambisi Nuku untuk lepas dari dominasi Belanda. Sultan Nuku
berhasil mengembangkan pemerintahan yang berdaulat melepaskan diri dari dominasi VOC.

3. Sultan agung versus J.P.Coen


Latar Belakang Masalah
Sultan Agung adalah salah satu raja di kerajaan Islam Mataram yang selain

menjadi raja ia juga terkenal sebagai seorang pujangga. Ia dikenal sebagai raja

Mataram yang menentang praktek perdagangan kongsi dagang VOC milik

Belanda yang dianggap curang dan menindas rakyat Indonesia1

. Pada masa

pemerintahannya, Kesultanan Mataram menghadapi tantangan besar yakni

datangnya Imperialis Barat yang menjadikan Indonesia sebagai arena perang

Salib antara Katolik Portugis Malaka dengan Protestan Belanda atau VOC di

Batavia.2

Sejak akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 tiba saatnya bagi orang-orang

Belanda, Inggris, Denmark, dan Perancis untuk datang di Nusantara. Selain

orang-orang Portugis yang berperan dalam perdagangan dan cenderung kepada

arah politik monopolinya, maka orang-orang Belanda tidak mau kalah

perananannya dalam usaha politik monopoli perdagangan di Indonesia.

Sebenarnya, motif kedatangan orang-orang Belanda ini hampir serupa dengan

motif datangnya orang-orang Portugis di Indonesia. Jika motif datangnya orang


Portugis ada tiga yakni agama, ekonomi, dan petualangan maka kedatangan

orang-orang Belanda mempunyai dua motif yakni ekonomi dan petualangan. 3

Pada tahun 1595 orang-orang Belanda dengan suatu armadanya yang

terdiri dari empat buah kapal dagang berangkat menuju ke Indonesia. Pelayaran

pertama mengalami kesulitan dan penderitaan karena mereka belum mempunyai


pengalaman sehingga pelayaran itu dikatakan gagal dan memakan waktu yang

cukup lama yakni empat belas bulan. Perlu diketahui bahwa pelayaran pertama

yang dilakukan oleh orang-orang Belanda di Indonesia hanya sampai di Bali,

karena terpaksa mereka harus kembali ke negerinya. Pada pelayaran kedua

pengalaman-pengalaman yang telah diperolehnya merupakan pelajaran sehingga

mereka mengubah sikap dalam menghadapi orang-orang Indonesia.

Pada tahun 1596, ketika mereka tiba di Banten mereka disambut baik oleh

penguasa-penguasa Banten karena pada waktu itu orang-orang Belanda belum

menunjukkan sikapnya yang kurang baik terhadap warga pribumi. Untuk

pertama kalinya mereka ingin bersahabat dan melakukan perjanjian dagang

dengan Banten. Sama halnya dengan di Tuban dan Maluku, kedatangan orangorang Belanda di
pelabuhan Tuban dan Maluku juga mendapat sambutan yang

baik dari para penguasanya serta rakyatnya. Bahkan hampir setiap pulau di

Maluku disinggahi kapal-kapal Belanda untuk melakukan perdagangan dengan


penduduk. Di beberapa tempat mereka menempatkan pasukannya untuk

menampung rempah-rempah dari penduduk.

Untuk dapat menyaingi pelayaran dan perdagangan dengan orang-orang

Barat itu maka orang-orang Belanda mendirikan serikat dagang yang disebut

VOC ( Vereenigde Oost Indische Compagnie) pada tahun 1602 yang antara lain

bertujuan untuk menjalankan politik monopoli perdagangan rempah-rempah di

Indonesia. Akan tetapi, tujuan utama mengkonsentrasi perdagangan rempahrempah itu lambat
laun bergeser menjadi mengembangkan perkebunanperkebunan besar yang hasilnya sangat
laku terjual di pasaran Eropa seperti kopi,
teh, gula, lada, dan lain sebagainya.4

Serikat dagang tersebut berwatak semi

pemerintah yang dibantu, dipersenjatai, dan dilindungi pemerintah Belanda serta

merupakan satu-satunya serikat dagang yang diizinkan menjalankan dagang di

Hindia.5

Perlu diketahui bahwa terbentuknya VOC tidak hanya didasarkan pada

kepentingan ekonomi saja, akan tetapi juga tersimpan kepentingan-kepentingan

yang berhubungan dengan keagamaan. Orang-orang Protestan Belanda dengan

VOC nya berusaha mengembangkan ajaran Protestanisme untuk menjajah

Tanjung Pengharapan, Srilanka dan Nusantara serta Suriname. Walaupun nama

organisasinya sebagai organisasi niaga, tetapi, VOC oleh Staten General diberi

kebebasan untuk menyatakan perang atau damai dengan negara atau kesultananpenduduk. Di
beberapa tempat mereka menempatkan pasukannya untuk

menampung rempah-rempah dari penduduk.

Untuk dapat menyaingi pelayaran dan perdagangan dengan orang-orang

Barat itu maka orang-orang Belanda mendirikan serikat dagang yang disebut

VOC ( Vereenigde Oost Indische Compagnie) pada tahun 1602 yang antara lain

bertujuan untuk menjalankan politik monopoli perdagangan rempah-rempah di

Indonesia. Akan tetapi, tujuan utama mengkonsentrasi perdagangan rempahrempah itu lambat
laun bergeser menjadi mengembangkan perkebunanperkebunan besar yang hasilnya sangat
laku terjual di pasaran Eropa seperti kopi,

teh, gula, lada, dan lain sebagainya.4


Serikat dagang tersebut berwatak semi

pemerintah yang dibantu, dipersenjatai, dan dilindungi pemerintah Belanda serta

merupakan satu-satunya serikat dagang yang diizinkan menjalankan dagang di

Hindia.5

Perlu diketahui bahwa terbentuknya VOC tidak hanya didasarkan pada

kepentingan ekonomi saja, akan tetapi juga tersimpan kepentingan-kepentingan

yang berhubungan dengan keagamaan. Orang-orang Protestan Belanda dengan

VOC nya berusaha mengembangkan ajaran Protestanisme untuk menjajah

Tanjung Pengharapan, Srilanka dan Nusantara serta Suriname. Walaupun nama

organisasinya sebagai organisasi niaga, tetapi, VOC oleh Staten General diberi

kebebasan untuk menyatakan perang atau damai dengan negara atau kesultanan
lawan yang didatanginya. VOC ini digunakan oleh Imperialisme Barat untuk

mematahkan kekuasaan ekonomi Islam dengan segenap usaha niaganya dan

untuk melumpuhkan pasar yang dibangun oleh umat Islam sebagai media

penciptaan sumber dana dan kemakmuran masyarakat Islam. Bagi Imperialis

Barat dengan organisasinya, VOC juga bertujuan untuk menghancurkan

kekuasaan ekonomi dan politik Islam. Oleh karena itu, bangsa-bangsa di Asia

Tenggara tidak dapat memahami mengapa Barat dalam berniaga dikaitkan

dengan peperangan dan dikombinasikan dengan penyebaran agama secara

paksa6

. Sayangnya, hal seperti ini sangat jarang diungkapkan oleh para


sejarawan.

Pada tahun-tahun pertama setelah pendirian VOC hubungan antara mereka

dengan penguasa-penguasa kerajaan di Indonesia bisa dikatakan baik. Hal itu

dikarenakan orang-orang VOC sendiri sedang menghadapi saingan dari orangorang Portugis.
Sebaliknya, beberapa kerajaan Muslim waktu itu tengah

melakukan reaksi bahkan diantarannya sempat mengadakan beberapa perlawanan

terhadap penetrasi politik Portugis. 7

Pada tahun-tahun setelah J.P. Coen menjadi Gubernur Jendral VOC, dan

sejak saat itu arah politiknya tidak hanya untuk perdagangan saja tetapi juga

untuk melaksanakan monopoli perdagangan serta politik kekuasaan terhadap

kerajaan-kerajaan di Indonesia. Sistem monopoli itu ternyata bertentangan


dengan sistem tradisonal yang dianut oleh masyarakat. Sikap Belanda yang keras

dan memaksakan kehendak dengan kekerasan semakin memperkuat sikap

permusuhan pribumi tersebut. Meskipun secara politis VOC dapat menguasai

sebagian besar wilayah Indonesia dalam waktu yang cepat. 8 Oleh karena itu,

kegiatannya yang ingin menguasai perdagangan Indonesia menimbulkan

perlawanan pedagang-pedagang pribumi yang merasa kepentingannya terancam.

Maka sejak saat itu muncul reaksi-reaksi besar bahkan sampai terjadi

peperangan dari berbagai daerah seperti perang Paderi di Minangkabau, perang

Diponegoro, perang Banjarmasin, dan perang Aceh. Selain itu perlawanan

bersenjata juga dilakukan oleh beberapa kerajaan Islam di Jawa seperti kerajaan

Banten dan kerajaan Islam Mataram.


Di Banten misalnya, pada saat Banten berada di bawah kekuasaan Sultan

Ageng Tirtayasa, keadaan di Banten berkembang menjadi lebih baik sehingga

orang-orang Eropa datang untuk membeli rempah-rempah serta banyak di antara

mereka yang mempunyai kantor dagang di Banten. Ketegangan antara Sultan

Ageng Tirtayasa dan kompeni memang sudah ada, berbeda dengan putra sulung

Sultan Ageng yang lebih berpihak pada kompeni. Bagi kompeni sendiri, Banten

dianggap sebagai musuh yang sangat berbahaya. Sejak tahun 1680, keadaan

Sultan Ageng menjadi sulit, terutama karena Sultan Haji (putra Sultan Ageng

Tirtayasa) memotong politiknya. Akan tetapi, meskipun keadaan bagi Sultan dengan sistem
tradisonal yang dianut oleh masyarakat. Sikap Belanda yang keras

dan memaksakan kehendak dengan kekerasan semakin memperkuat sikap

permusuhan pribumi tersebut. Meskipun secara politis VOC dapat menguasai

sebagian besar wilayah Indonesia dalam waktu yang cepat. 8 Oleh karena itu,

kegiatannya yang ingin menguasai perdagangan Indonesia menimbulkan

perlawanan pedagang-pedagang pribumi yang merasa kepentingannya terancam.

Maka sejak saat itu muncul reaksi-reaksi besar bahkan sampai terjadi

peperangan dari berbagai daerah seperti perang Paderi di Minangkabau, perang

Diponegoro, perang Banjarmasin, dan perang Aceh. Selain itu perlawanan

bersenjata juga dilakukan oleh beberapa kerajaan Islam di Jawa seperti kerajaan

Banten dan kerajaan Islam Mataram.

Di Banten misalnya, pada saat Banten berada di bawah kekuasaan Sultan


Ageng Tirtayasa, keadaan di Banten berkembang menjadi lebih baik sehingga

orang-orang Eropa datang untuk membeli rempah-rempah serta banyak di antara

mereka yang mempunyai kantor dagang di Banten. Ketegangan antara Sultan

Ageng Tirtayasa dan kompeni memang sudah ada, berbeda dengan putra sulung

Sultan Ageng yang lebih berpihak pada kompeni. Bagi kompeni sendiri, Banten

dianggap sebagai musuh yang sangat berbahaya. Sejak tahun 1680, keadaan

Sultan Ageng menjadi sulit, terutama karena Sultan Haji (putra Sultan Ageng

Tirtayasa) memotong politiknya. Akan tetapi, meskipun keadaan bagi Sultan


Ageng Tirtayasa telah menjadi agak berat, Sultan Ageng yang sudah mulai lanjut

usia tidak mudah dapat ditundukkan, meskipun ia harus menghadapi putranya

sendiri. Perlawanan dengan kompeni tetap berlangsung meskpiun ia akhirnya

tertawan oleh pihak kompeni. Pada bulan Agustus 1682, putranya sendiri yakni

Sultan Haji menandatangani suatu perjanjian yang mengakhiri kekuasaan mutlak

Sultan Ageng atas daerahnya, sehingga Sultan Ageng terusir dari Banten dan

sejak saat itu Banten dikuasai oleh pihak kompeni. 9

Apabila tindakan-tindakan Belanda dalam menjalankan penetrasi politik

monopoli perdagangannya mendapat reaksi bahkan menimbulkan perang dengan

Banten maka demikian halnya mereka yang juga menghadapi rekasi-reaksi serta

perang dari Mataram yang pada saat itu juga tengah meluaskan pengaruhnya di

bawah pimpinan Sultan Agung, raja ketiga dari kerajaan Islam Mataram.10

Sebenarnya, kepentingan Belanda di Indonesia mendapatkan rintangan dari


umat Islam terutama dari kalangan ulama‟ dan santri di bidang perdagangan.

Belanda melihat kegiatan umat Islam mempunyai dwifungsi yakni sebagai da‟i

dan pedagang. Akibatnya, usaha perdagangan Belanda yang menghadapi

ancaman dari umat Islam tidaklah mengherankan jikalau Islam dijadikan sebagai

senjata politik, dalam hal ini melawan VOC. 11


Sejak awal, hubungan Sultan Agung dengan pihak VOC memang kurang

membaik. Pada tahun 1614, pihak Belanda mengutus seorang duta agar

menyampaikan ucapan selamat atas penobatan dirinya sebagai raja Mataram.

Akan tetapi, Sultan Agung memberi peringatan kepada duta itu bahwa

persahabatan yang mereka inginkan tidak akan pernah terwujud jika VOC berniat

untuk merebut tanah Jawa. Hubungan pribadi antara Sultan Agung dengan VOC

memang sangt buruk. Konon, orang-orang Belanda telah menyamakan Sultan

Agung dengan seekor anjing dan telah mengotori masjid Jepara dan ada pula

tuduhan–tuduhan mengenai dirampoknya kapal-kapal Jawa oleh VOC. Akhirnya,

permusuhan pun mulai meledak.12

Dalam bukunya Graff juga dijelaskan bahwa sebab-sebab kemarahan

Sultan Agung antara lain karena Sultan Agung merasa bahwa pihak Belanda

tidak pernah menepati janji-janjinya. Bahkan sebaliknya, pihak Belanda berusaha

mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari apa yang telah dijanjikan oleh

Sultan Agung, misalnya pembebasan bea cukai, bahan-bahan bangunan beserta

tanah untuk loji secara cuma-cuma, sedangkan pihak Belanda sendiri lupa pada
janji-janjinya yang terlalu berlebihan.13

Pada tahun 1619 penguasaan VOC atas Jakarta menyebabkan tidak

senangnya Mataram di bawah pimpinan Sultan Agung. Tepat setelah VOC

memaksakan monopoli perdagangannya di pesisir Utara Jawa, reaksi-reaksi


Mataram semakin meningkat. Sejak saat itu perlawanan antara Sultan Agung

dengan pihak VOC mulai terjadi. Meskipun ekspansi Mataram telah

mengahancurkan kota-kota pesisir dan mengakibatkan perdagangan setengahnya

menjadi lumpuh, namun, sebagai penghasil utama dan pengkespor beras, posisi

Mataram dalam jaringan perdagangan di Nusantara masih beerpengaruh. 14

Raja ketiga dari kerajaan Islam Mataram ini disebut Sultan Agung

sepanjang masa pemerintahannya dalam kronik-kronik Jawa, dan gelar ini

biasanya dapat diterima oleh para sejarawan. Dia adalah raja terbesar di antara

raja-raja pejuang dari Jawa. Tidak semua peperangan yang tertulis di dalam

kronik-kronik Jawa dapat dibuktikan kebenarannya dalam sumber-sumber VOC,

tetapi gambaran umum tentang penaklukkan-penaklukkan yang dilakukan

Mataram sudah tepat. Sultan Agung memang sosok raja yang terkenal dengan

ekspansinya. Hal ini bisa dilihat dari usaha pertamanya dalam rangka meluaskan

ekspedisi militer ke daerah Jawa Timur pada tahun 1614 dan 1615. Adapun

daerah-daerah yang berhasil dikuasai adalah Pasuruan, Lumajang dan Madura.

Bahkan pada tahun 1615 Sultan Agung ikut memimpin penyerangan ke Wirasaba

(Mojoagung).15
Sayangnya, di era sekarang ini perjuangan seorang tokoh muslim masih

sangat jarang dipaparkan dalam perjalanan sejarah Islam Indonesia. Nampaknya,

para pejuang muslim hanya dipandang sebelah mata. Meskipun dalam


kenyataanya Sultan Agung mengalami kegagalan ketika berhadapan denga VOC.

Akan tetapi, perjuangan gigih yang telah dilakukan Sultan patut dibanggakan.

Hampir bisa dipastikan bahwa seluruh sejarawan sepakat menyatakan bahwa

kerajaan Islam Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung disebut sebagai

masa puncak keemasan Mataram. 16

Bertumpu pada besarnya andil tokoh Muslim Indonesia pada masa

penjajahan Belanda khususnya VOC. Maka Penulis tertarik untuk menulis skripsi

yang berjudul „‟Perlawanan Sultan Agung terhadap VOC (1628-1629)‟‟. Hal ini

dikarenakan pada waktu itu peranan tokoh Muslim tidak begitu terlihat dalam

sejarah pergerakan nasional. Maka peneliti ingin menunjukkan kepada

masyarakat bahwa tokoh Muslim mempunyai andil yang besar dalam melawan

penjajah di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

1. Mengapa Sultan Agung melakukan perlawanan terhadap VOC?

2. Bagaimana bentuk perlawanan yang dilakukan Sultan Agung terhadap

VOC?

3. Bagaimana dampak kekalahan dari perlawanan Sultan Agung bagi dirinya

dan rakyatnya?
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui alasan Sultan Agung melakukan perlawanan dengan

VOC.

2. Untuk mengetahui bentuk perlawanan yang dilakukan Sultan Agung

terhadap VOC.

3. Untuk mengetahui bagaimana dampak kekalahan dari perlawanan yang

dilakukan oleh Sultan Agung bagi dirinya dan rakyatnya.

D. Kegunaan Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat yang positif pada

masyarakat baik dari sisi keilmuwan akademik maupun dari sisi praktis:

1. Sisi Keilmuwan Akademik

a. Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi bagi penelitian di

bidang yang sama.

b. Memberikan kontribusi wacana bagi perkembangan khazanah ilmu

pengetahuan, terutama bidang kesejarahan.

2. Sisi Praktis

a. Bagi penulis, penyusunan penelitian ini digunakan untuk memenuhi

syarat dalam mendapatkan gelar strata satu dalam jurusan Sejarah dan

Kebudayaan Islam pada Fakultas Adab dan Humaniora di Universitas

Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.


b. Untuk memperkaya kajian sejarah nasional terutama mengenai sejarah

perlawanan tokoh-tokoh Islam dalam memperjuangkan dan


mempertahankan kemerdekaan Indonesia khususnya tentang

perjuangan Sultan Agung yang telah melakukan perlawanan dengan

pihak VOC.

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik

Langkah yang sangat penting dalam menulis sejarah ialah menyediakan

suatu kerangka pemikiran yang mencakup berbagai konsep dan teori yang akan

dipakai dalam menganalisis itu.17 Di samping itu, penggambaran terhadap suatu

peristiwa sangat tergantung pada pendekatan, yaitu dari segi mana kita

memandangnya, dimensi mana yang diperhatikan, unsur-unsur mana yang

diungkapkan, dan lain sebagainya. Hasil-hasil pelukisannya akan sangat

ditentukan oleh pendekatan yang dipakai.18 Penelitian ini disusun dengan

menggunakan pendekatan historis yang bertujuan untuk mendeskripsikan

peristiwa yang terjadi di masa lampau. Pendekatan sejarah yang di dalamnya

terdapat eksplanasi kritis dan kedalaman pengetahuan tentang “mengapa” dan

“bagaimana” peristiwa-peristiwa masa lampau bisa terjadi. Melalui pendekatan

historis ini, diharapkan bisa mengungkapkan fakta-fakta yang terjadi mengenai

perlawanan Sultan Agung terhadap VOC di tahun 1628 dan 1629.


Adapun kerangka teori yang digunakan oleh penulis dalam skripsi ini

adalah teori kepemimpinan. Kepemimpinan adalah kemampuan yang dimiliki

seseorang untuk mempengaruhi orang lain agar bekerja mencapai tujuan dan

sasaran.19 Kepemimpinan merupakan suatu yang penting bagi setiap orang, sebab
dalam kenyataannya kelangsungan hidup suatu bangsa atau negara sangat

dipengaruhi oleh pemimpinnya. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa

kepemimpinan itu tidak harus terikat dengan batasan-batasan dan ketentuanketentuan formal,
sehingga seorang yang melakukan fungsi „‟Kepahlawanan‟‟

mungkin belum disebut sebagai seorang pemimpin. Ajaran-ajaran tradisional

seperti di Jawa misalnya, menggambarkan tugas seorang pemimpin melalui

pepatah sebagai berikut.

Ing ngarsa sung tulada

Ing madya mangun karsa

Tut wuri handayani

Pepatah tersebut sering dipergunakan oleh Ki Hajar Dewantara yang

apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut

“Di muka memberi tauladan, di tengah membangun semangat, dari belakang

memberikan pengaruh’’. Seorang pemimpin di muka harus memiliki idealisme

kuat serta dia harus dapat menjelaskan cita-citanya kepada masyarakat dengan

cara sejelas mungkin.20 Seorang pemimpin di tengah-tengah mengikuti kehendak


yang dibentuk masyarakat. Ia selalu dapat mengamati jalanya masyarakat serta

dapat merasakan suka-dukanya. Sedangkan pemimpin di belakang diharapkan

mempunyai kemampuan untuk mengikuti perkembangan masyarakat.21

Penulis memandang bahwa Sultan Agung adalah sosok pemimpin yang

mempunyai kharisma. Adapun mengenai kepemimpinan kharismatis adalah

kepemimpinan yang berdasarkan kepercayaan. Kharisma berarti „‟penumpahan


ampun‟‟. Kepatuhan dan kesetiaan para pengikut muncul dari kepercayaan yang

penuh kepada seorang pemimpin yang dicintai, dihormati, dam dikagumi, bukan

karena benar tidaknya alasan-alasan dan tindakan-tindakan sang pemimpin.

Menurut Max Weber, ia menggunakan istilah „‟kharisma‟‟ untuk menjelaskan

kekuasaan di sekitar kepribadian yang bersifat kepahlawanan. Dari pandangan

Weber, para pengikut menganggap pemimpinya sebagai membawa misi yang

khusus dengan dibekali kemampuan dan identitas yang hampir menyamai

Tuhan.22

Suatu tipe kepemimpinan yang mempunyai daya tarik yang amat besar

terhadap pengikut-pengikutnya, seakan-akan dalam diri pemimpin tersebut

terdapat kekuatan yang luar biasa. Sehingga dalam waktu yang singkat banyak

pengikutnya, dan pengikut-pengikutnya tidak mengerti mengapa mereka terbius

untuk mengikutinya.23 Sangat menarik diperhatikan bahwa para pengikut seorang


pemimpin yang kharismatik, tidak mempersoalkan nilai-nilai yang dianut, sikap,

dan perilaku serta gaya kepemimpinan yang digunakan oleh pemimpin yang

diikutinya itu, baik memakai gaya otokratik maupun demokratik, partisipatif atau

yang lainnya.24

Weber juga memasukkan diskusinya mengenai proses birokratisasi ke

dalam diskusi yang lebih luas tentang lembaga politik. Ia membedakan tiga jenis

sistem otoritas tradisional, kharismatik, dan rasional legal. Sistem otoritas

tradisional legal hanya dapat berkembang dalam masyarakat Barat modern dan
hanya dalam sistem otoritas rasional legal itulah birokrasi modern dapat

berkembang penuh. Akan tetapi, masyarakat lain di dunia tetap didominasi oleh

sistem otoritas tradisoional, kharismatik. Singkatnya, sistem otoritas tradisional

berasal dari sistem kepercayaan di zaman kuno. Misalnya adalah seorang

pemimpin yang berkuasa karena garis keluarga atau sukunya selalu merupakan

pemimpin kelompok. Pemimpin kharismatik mendapatkan otoritasnya dari

kemampuan atau ciri-ciri luar biasa, atau mungkin dari keyakinan pihak pengikut

bahwa pemimpin itu memang mempunyai ciri-ciri seperti itu. 25

Secara umum, Weber mengklasifikasikan seorang pemimpin dalam tiga

jenis otoritas, yakni:

a. Otoritas kharismatik yaitu berdasarkan pengaruh dan kewibawaaan

pribadi.
b. Otoritas tradisional yaitu yang dimiliki berdasarkan warisan.

c. Otoritas berdasarkan jabatan serta kemampuannya.

Dalam hal ini, Sultan Agung masuk dalam pengklasifikasian seorang

pemimpin yang mempunyai otoritas berdasarkan jabatan dan kemampuannya,

akan tetapi ia juga seorang pemimpin yang kharismatis. Dalam kisahnya

disebutkan bahwa dengan politik ekspansinya, Mataram berhasil melebarkan

radius kekuasaan dan pengaruhnya. Upaya menghalau VOC misalnya, meskpiun

gagal, akan tetapi perjuangannya telah menimbulkan rasa hormat bagi para

penguasa pribumi luar Jawa. Meskipun dalam buku yang dikarangan oleh H.J De
Graff disebutkan bahwa Sultan Agung adalah seorang raja yang keras dalam

bertindak, tetapi kekerasannya itu dikarenakan karena ia bertindak tegas. Adapun

kharismanya terlihat dari pakaiannya yang menarik perhatian dengan tidak

meninggalkan khas keJawaanya. Di samping itu, Sultan adalah sosok yang taat

beragama. 26

F. Penelitian Terdahulu

Sebelum penulis membahas tentang sejarah perlawanan Sultan Agung

terhadap VOC, sebelumnya sudah ada buku-buku yang mengkajinya yaitu

pertama, buku yang berjudul „‟ Puncak Kekuasaan Mataram (Politik Ekspansi

Sultan Agung)’‟ karangan H.J. De. Graff . Kedua, buku yang berjudul

„’Kerajaan-Kerajaan Islam Indonesia’’ oleh Prof. Ahwan Mukarrom yang berisi


tentang sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Jawa termasuk kerajaan Islam

Mataram pada masa Sultan Agung.

Selain literatur buku-buku juga ada skripsi yang membahas tentang

perlawanan seorang tokoh Islam dari Aceh yang berjudul ‘’Perlawanan Teuku

Umar terhadap Belanda dalam Perang Aceh Tahun 1873-1899’’ oleh Ana

Ujiati. Pada bagian pertama dibahas mengenai riwayat hidup Teuku Umar

termasuk mengenai geneologi dan pendidikan Teuku Umar dari kecil hingga

dewasa. Pada bab selanjutnya dibahas mengenai keterlibatan Teuku Umar dalam

Perang Aceh.

Selain itu ada juga skripsi yang membahas mengenai kerajaan Islam
Mataram. Adapun skripsi yang membahas tentang kerajaan Islam Mataram

berjudul „‟ Kolonialisme Belanda terhadap Kerajaan Islam Mataram’‟ oleh Siti

Rohmah. Pada bagian pertama dijelaskan tentang munculnya kerajaan Islam

Mataram yang di dalamnya juga dijelaskan mengenai tokoh-tokoh pendiri

kerajaan Mataram. Pada bagian selanjutnya dibahas tentang politik kolonialisme

Belanda terhadap Mataram yang di dalamnya dibahas mengenai VOC.

Dari penelitian buku-buku dan skripsi yang ada, belum ada yang

membahas secara tuntas dan terinci mengenai perlawanan yang dilakukan Sultan

Agung terhadap pihak VOC. Oleh sebab itu, penulis lebih menekankan pada

pembahasan mengenai „‟Perlawanan Sultan Agung terhadap VOC tahun 1628-

1629
G. Metode Penelitian

Penulisan dalam karya ini adalah sebuah studi sejarah, maka metode yang

digunakan adalah metode penelitian historis. Semua kegiatan atau proses ini

harus mengikuti metode dan aturan yang benar. Adapun langkah-langkah yang

digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Heuristik; mencari dan menemukan sumber yaitu suatu proses yang

dilakukan oleh peneliti untuk mendapatkan sumber-sumber, data-data, atau

jejak sejarah yang diperlukan.27 Sumber dalam penelitian sejarah adalah hal

yang paling utama yang akan menentukan bagaimana aktualitas masa lalu

manusia bisa dipahami oleh orang lain. Sumber sejarah adalah bahan-bahan
yang dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi yang banyak.

Sedangkan Heuristik merupakan pengetahuan yang bertugas menyelidiki

sumber-sumber sejarah.28 Penelitian ini menggunakan sumber-sumber

pustaka berupa buku-buku yang di dalamnya terdapat kisah-kisah mengenai

Sultan Agung dan perlawanannya terhadap VOC, seperti:

a. Puncak Kesultanan Mataram karangan H.J. De Graff

b. Babad Tanah Jawi karangan yang disusun oleh W.L. Olthof

c. Sejarah Indonesia Modern karangan M.C. Ricklefs

d. Api Sejarah karangan Ahmad Mansur Suryanegara


e. Wacana Pergerakan Islam di Indonesia karangan Ahmad Mansur

Suryanegara

f. Sejarah Nasional Indonesia karangan Sartono Kartodirjo dkk

g. Sejarah Sosial Umat Islam karangan Tim Penyusun MUI

h. Sejarah Raja-Raja Jawa karangan Purwadi

i. Pengantar Sejarah Indonesia Baru II karangan Sartono Kartodirjo

j. Kerajaan-Kerajaan Islam Indonesia karangan Ahwan Mukarrom

k. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II karangan Badri

Yatim, dan masih banyak literatur-literatur berbentuk buku yang

berhubungan dengan perlawanan Sultan Agung terhadap VOC.

2. Kritik Sumber, adalah suatu kegiatan untuk meneliti sumber-sumber yang

diperoleh agar memperoleh kejelasan apakah sumber tersebut kredibel atau


tidak, dan apakah sumber tersebut autentik atau tidak. Kritik Sumber itu ada

dua, yakni kritik intern dan kritik ekstern.

29 Kritik intern adalah suatu upaya

yang dilakukan oleh sejarawan untuk melihat apakah isi sumber tersebut

kredibel atau tidak. Sedangkan kritik ekstern adalah kegiatan sejarawan

untuk melihat apakah sumber yang didapatkan autentik ataukah tidak.

3. Interpretasi adalah suatu upaya sejarawan untuk melihat kembali tentang

sumber-sumber yang didapatkan apakah sumber-sumber yang di dapatkan

dan yang telah diuji autentisitasnya terdapat saling hubungan antara satu

dengan yang lainnya atau tidak. Dalam hal ini, langkah pertama yang
dilakukan adalah menyusun dan mendaftar semua sumber yang didapat.

Selanjutnya penulis menganalisa sumber-sumber tersebut untuk mencari

fakta-fakta yang dibutuhkan sesuai dengan judul penelitian.

4. Historiografi (penulisan) ialah cara untuk merekonstruksi suatu gambaran

masa lampau berdasarkan data yang diperoleh.30 Setelah didapatkan faktafakta yang
diperlukan, maka langkah selanjutnya adalah menuliskannya ke

dalam bentuk tulisan deskriptif dengan menggunakan susunan bahasa dan

format yang baik dan benar.

H. Sistematika Bahasan

Secara garis besar sistematika pembahasan ini disusun untuk

mempermudah pemahaman terhadap penulisan ini, uraian bab demi bab bukan

hanya rentetan dan ringkasan dari keseluruhan penulisan, melainkan suatu


deskripsi tentang hubungan antara pasal demi pasal atau bab demi bab.

Untuk kejelasannya pembagian tiap bab yang terkandung dalam penulisan

ini akan di uraikan sebagai berikut.

Bab I

: Pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, pendekatan dan kerangka

teoritik, penelitian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

BAB II : Pada bab II ini menjelaskan tentang biografi Sultan Agung baik itu

mengenai geneologi, kepribadian Sultan yang di dalamnya akan dipaparkan


mengenai penampilan, sifat, dan agama Sultan Agung serta mengenai

penobatannya dan karya-karyanya.

BAB III : Pada bab III akan dijelaskan mengenai Mataram pada Sultan Agung

yang di dalamnya terdapat penjelasan mengenai kondisi Kesultanan Mataram

pada masa pemerintahan Sultan Agung yang pada waktu itu banyak terjadi

ekspansi wilayah. Selain itu juga akan dijelaskan mengenai kebijakankebijakannya.

BAB IV : Pada bab IV ini menjelaskan tentang perlawanan Sultan Agung

terhadap VOC yang di dalamnya akan dijelaskan mengenai latar belakang

perlawanan Sultan Agung terhadap VOC dan bentuk perlawanan Sultan yang

dilakukan kepada VOC, dan pada bagian akhir juga akan disinggung sedikit

tentang kondisi Mataram atau dampak bagi rakyat Mataram dan bagi Sultan

sendiri pasca pemberontakannya dengan VOC.


BAB V : Penutup, pada bab yang terakhir berisi kesimpulan-kesimpulan

pembahasan dari awal hingga akhir, dan saran.


4. Perlawanan Banten

A. Berdirinya Kesultanan Banten

Wilayah Banten adalah tempat yang sepi dari jalur perdagangan.

Pasalnya, Selat Sunda dikala itu bukan termasuk jalur perdagangan. Laut Jawa

lah yang memiliki peranan penting dalam jalur pelayaran dan perdagangan.

Lalu, semenjak penyebaran Islam masuk di wilayah Jawa, Banten mulai agak

berarti. Hingga awal abad ke 16, wilayah Banten masih beragama hindu dan

masih menjadi bagian wilayah Pajajaran yang berpusat di Bogor. Bahkan,

Kerajaan Pajajaran telah melakukan kesepakatan dengan Portugis. Sehingga,

Portugis bisa mendirikan wilayah dagang dan benteng di Sunda Kelapa. Pada

tahun 1526, Sultan Trenggono menugaskan anaknya, Fattahilla untuk

menaklukan wilayah Pajajaran sekaligus memperluas Kerajaan Demak. Alhasil,

pasukan Fatahilla berhasil merebut pelabuhan Sunda Kelapa pada tanggal 22

Juni 1527. Dari situlah, nama Sunda Kelapa diganti dengan Jayakarta yang

berarti kota kemenangan. Hanya dalam waktu singkat, seluruh kawasan pantai

utara dan Jawa Barat berhasil diduduki oleh Fatahilla sehingga agama islam bisa

menyebar di wilayah Jawa Barat. Dari situlah, Fatahilla diberi gelar nama Sunan

Gunung Jati. Pada tahun 1552, ditunjuklah putra Sunan Gunung Jati sebagai
penguasa Banten. Sedangkan, putra yang lainnya, yakni Pasarean ditunjuk

sebagai raja di Cirebon. Jadi pada awalnya, Kerajaan Banten merupakan wilayah

kekuasaan Demak. Namun setelah tahun 1552, Maulana Hassanudin melepaskan


diri dari bayang-bayang Kerajaan Demak dan menjadi kerajaan yang mandiri,

dan Maulana Hasanudin lah pemimpin pertama kerajaan Banten. yang memiliki

periode pemerintahan dari tahun 1522 sampai dengan 1570. Sultan Hasanuddin

kemudian membuat Banten menjadi pusat perdagangan dan memperluas

wilayahnya hingga Lampung sebagai penghasil lada di wilayah Sumatera

Selatan. Secara geografis, Kerajaan Banten terletak di provinsi Banten. Wilayah

kerajaan ini meliputi bagian barat Pulau Jawa, seluruh bagian Lampung dan

sebagai wilayah di bagian selatan Jawa Barat. Hal ini yang menjadikan

Kerajaan Banten sebagai penguasa jalur pelayaran dan perdagangan yang

melewati Selat Sunda.

B. Silsilah Pemimpin Kerajaan Banten dan Kehidupan Politiknya

Perkembangan Banten dan kemajuannya tidak terlepas dari perjuangan

hebat sang pemimpin kerajaan. Karena kejayaan sebuah kerajaan tergantung

bagaimana sang Raja memimpin. Adapun silsilah Raja yang memimpin kerajaan

Banten hingga masa kejayaannya sebagai berikut.

1. Sultan Hasanuddin

Sultan Hasanuddin merupakan raja pertama Kerajaan Banten dan anak

dari Sunan Gunung Jati. Saat Kerajaan Demak terjadi perebutan kekuasaan,
wilayah Cirebon dan Banten berusaha melepaskan diri. Hingga akhirnya,

Kerajaan Banten menjadi kerajaan yang berdaulat. Sultan Hasanuddin sendiri

berkuasa selama 18 tahun dari tahun 1552 – 1570 M. Di bawah kepemimpinan

Sultan Hasanuddin, Kerajaan Banten berhasil menaklukan wilayah Lampung

yang memiliki banyak hasil rempah – rempah. Terlebih lagi, Selat Sunda yang

menjadi jalur pelayaran dan perdagangan terkenal. Selama kepemimpinannya

juga, Bandar Banten berhasil menjadi bandar yang ramai dikunjungi oleh para

saudagar dari Gujarat, Venesia dan Persia. Pada saat terjadi perebutan kekuasaan

di Demak daerah Cirebon dan Banten masing-masing berusaha untuk

melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan Demak. Akhirnya Cirebon dan Banten

terlepas dari pengaruh Demak dan menjadi kerajaan berdaulat. Maka Sultan

Hasanuddin akhirnya menjadi raja Banten pertama yang berkuasa selama 18

tahun yaitu 1552-1570 M. Dibawah pemerintahan beliau pelabuhan Banten


berhasil menjadi pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari

berbagai negara di dunia. Sultan Hasanuddin wafat pada tahun 1570 M.

Kepenguasan Kerajaan Banten kemudian digantikan oleh anaknya Maulana

Yusuf.

2. Maulana Yusuf

Raja kedua Kerajaan Banten adalah Maulana Yusuf yang berkuasa dari

tahun 1570 hingga 1580. Selama kepemimpinannya, Kerajaan Banten berhasil

menundukan Kerajaan Pajajaran yang berada di Pakuan. Bahkan, beliau berhasil


menurunkan Prabu Sedah yang merupakan raja Kerajaan Pajajaran. Hal ini yang

menyebabkan banyak rakyat Pajajaran yang mengungsi ke gunung. Keturunan

rakyat Pajajaran kala itu masih bisa kita lihat sebagai suku baduy.

3. Maulana Muhammad

Setelah wafatnya Sultan Maulana Yusuf, tahta Kerajaan Banten diduduki

oleh anaknya, yakni Sultan Maulana Muhammad. Namun, saat beliau naik tahta

masih dalam usia belia, yakni 9 tahun. Sehingga tahta kerajaan dipegang oleh

Mangkubumu Jayanegara hingga beliau berusia cukup dewasa, yakni 16 tahun.

Saat pemerintahan Sultan Maulana Muhammad, Kerajaan Banten menggempur

kesultanan Palembang yang didirikan oleh Ki Gendeng Sure. Ki Gendeng Sure

sendiri masih keturunan kesultanan Demak sehingga Kerajaan Banten yang juga

merupakan keturunan Demak.

4. Pangeran Ratu

Pangeran Ratu atau dikenal dengan Abdul Mufakhir merupakan raja ke

empat dan pengganti Sultan Maulana Muhammad. Pada saat tahta beliau masih

berusia 5 bulan, sehingga kepemerintahan dibantu oleh Mangkubumi

Ranamanggela. Pada pemerintahan Pangeran Ratu inilah bangsa Belanda yang

dipimpin oleh Cornelius de Houtman pertama kali mendarat di Banten pada

tanggal 22 Juni 1596.

5. Sultan Ageng Tirtayasa

Sepeninggalnya, Pangeran Ratu, Kerajaan Banten diduduki oleh


anaknya, Sultan Ageng Tirtayasa. Dalam masa pemerintahan beliau inilah,
Kerajaan Banten mengalami kemajuan yang pesat. Bahkan, Kerajaan Banten

menjalin hubungan dengan negara luar, seperti Moghul dan Turki. Walaupun

begitu, beliau tidak mau bekerja sama dengan Belanda.

6. Sultan Abdul Nasar

Raja terakhir Kerajaan Banten adalah Sultan Abdul Nasar. Selama masa

pemerintahan, beliau masih bersikukuh tidak mau bekerja sama dengan Belanda.

Sayangnya, kekuasaan Belanda semakin kuat. Alhasil, Kerajaan Banten menjadi

runtuh.

C. Masa Kejayaan Kerajaan Banten

Masa kejayaan Banten bersangsung ketika Banten dipimpin oleh Sultan

Ageng Tirtayasa, yang berkuasa sekitar tahun 1651-1683.1 Beliau dikenal

sebagai sosok yang ahli dalam strategi perang. Selain itu, beliau juga menaruh

perhatian yang besar pada perkembangan pendidikan agama Islam. Untuk

membina mental para prajurit. Beliau mendatangkan guru-guru agama dari

segala penjuru seperti Arab, Aceh, dan daerah lainnya. Salah seorang guru

agama tersebut adalah seorang ulama besar dari Makassar, yaitu Syekh Yusuf. Ia

kemudian dijadikan mufti agung, guru, dan menjadi menantu Sultan Ageng

Tirtayasa. Sultan Ageng terkenal sebagai seorang yang sangat menentang politik

Pemerintah Hindia Belanda. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kecurangan

yang dilakukan oleh pihak VOC seperti menerapkan perjanjian monopoli yang
sangat merugikan Kesultanan Banten. Ia menginginkan Banten sebagai akses

wilayah yang terbuka bagi bangsa-bangsa lainnya. Alasan lainnya, beliau ingin

mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar.

Pada awal pemerintahannya, Sultan Ageng berhasil mengembangkan

kembali perdagangan Banten. Banten berhasil menarik perdagangan bangsabangsa Eropa


seperti Inggris, Perancis, Denmark, dan Portugis. Selain itu,

Banten juga mampu mengembangkan perdagangannya dengan Persia, Surat,

Makkah, Koromandel, Benggala, dan Siam, Tonkin, China. Sehingga VOC

menganggap hal ini sebagai ancaman serius terhadap perdagangannya.


Sultan Ageng meneruskan usaha kakeknya dengan mengirimkan tentaratentara Banten untuk
menggadakan gangguan terhadap Batavia, yang saat itu

adalah pusat politik VOC. Pada tahun 1655, VOC telah mengusulkan kepada

Sultan Banten agar melakukan pembaruan perjanjian yang sudah hampir 10

tahun dibuat oleh kakeknya pada tahun 1645. Akan tetapi, pihak Banten

menolak untuk memperbaruinya selama pihak VOC selalu ingin menang sendiri.

Meskipun VOC tetap memaksakan kehendaknya, namun keinginan

mereka tetap tidak berhasil karena Banten selalu berjuang dengan gigih untuk

memulihkan kedudukannya, bahkan pada tahun 1655 dua kapal Belanda dirusak

oleh pasukan Banten. Demikian pula kebun-kebun tebu di daerah AngkeTangerang milik
Belanda dirusak, sehingga VOC terpaksa menutup kantor

dagangnya. Tahun-tahun berikutnya, Banten dapat meningkatkan ekonominya

dengan adanya loji-loji Perancis di Bandar Banten. Banten terus-menerus

melakukan upaya perlawanan, sehingga Perang pecah lagi pada tahun 1656. Dua
kapal Belanda disita dan perompakan Di Batavia dan sekitarnya. Belanda

langsung mengirim empat sampai lima kapal dan mengadakan blokade terhadap

Banten. Dengan demikian aktivitas perdagangan di pelabuhan Banten sangat

terganggu dan nyaris terhenti. Karena melihat hal itu, Sultan Ageng memutuskan

untuk berdamai dengan VOC. Perundingan pada akhir tahun 1657 gagal. Lalu

disusul dengan perjanjian pada tanggal 29 April 1658, dan perjanjian itu

disetujui. Namun perjanjian ini tidak lama, karena pada tanggal 10 Juli 1658

Banten mengerahkan lagi tentaranya sampai dengan bulan Juli 1659 ke daerah

perbatasan antara Angke Tangerang dan perairan Teluk Banten yang

mengakibatkan pertempuran hebat selama satu tahun. Perjanjian damai baru

diajukan oleh pihak VOC pada tanggal 10 Juli 1659 dengan perantaraan Sultan

Jambi.2 Namun, Sultan Ageng tetap waspada terhadap usaha VOC yang ingin

menguasai bahkan menghancurkan kekuasaan Kerajaan Banten.


Perkembangan Ekonomi, dan Sosial Budaya

1. Ekonomi

Banten di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa dapat

berkembang menjadi bandar perdagangan dan pusat penyebaran agama Islam.

Adapun factor-faktornya ialah: (1) letaknya strategis dalam lalu lintas

perdagangan; (2) jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, sehingga para pedagang

Islam tidak lagi singgah di Malaka namun langsung menuju Banten; (3) Banten

mempunyai bahan ekspor penting yakni lada.


Banten yang menjadi maju banyak dikunjungi pedagang-pedagang dari

Arab, Gujarat, Persia, Turki, Cina dan sebagainya. Di kota dagang Banten segera

terbentuk perkampungan-perkampungan menurut asal bangsa itu, seperti orangorang Arab


mendirikan Kampung Pakojan, orang Cina mendirikan Kampung

Pacinan, orang-orang Indonesia mendirikan Kampung Banda, Kampung Jawa

dan sebagainya. Pada masa kejayaannya juga Banten memiliki sistem pertanian

yang unggul dengan irigasi. Awalnya dengan pembuatan saluran air yang dapat

dilayari oleh perahu-perahu kecil di sepanjang jalan lama, dari Sungai Untung

Jawa lewat Tangerang hingga Pontang, dilakukan antara tahun 1660-1678.3

Pembangunan saluran inilah yang bertujuan untuk irigasi bagi keperluan

pertanian. Selain itu juga untuk mempercepat hubungan militer dari Banten ke

daerah perbatasan dengan Batavia. Produksi padi dan tanaman lainnya yang

dihasilkan dari daerah pesawahan, di kanan kiri saluran buatan itu tidak hanya

untuk menambah bahan-bahan makanan dan penghasilan rakyat, tetapi untuk

diekspor ke luar negri dan perbekalan dalam situasi perang pula. Pada tahun

1660 didirikan perkampungan baru di sebelah barat Sungai Untung Jawa yang

dapat menampung sekitar 5.000-6.000 jiwa, guna penyebaran penduduk ke

daerah pesawahan baru dan benteng pertahanan hidup serta persediaan tenaga

tempur dalam menghadapi kompeni. Karena hal inilah para penduduk pun relatif

sejahtera dengan kebutuhan-kebutuhan pokok maupun sekunder yang terpenuhi


.Sosial-Budaya

Sejak Banten di-Islamkan oleh Fatahilah (Faletehan) tahun 1527,


kehidupan sosial masyarakat secara berangsur- angsur mulai berlandaskan

ajaran-ajaran Islam. Setelah Banten berhasil mengalahkan Pajajaran, pengaruh

Islam makin kuat di daerah pedalaman. Pendukung kerajaan Pajajaran

menyingkir ke pedalaman, yakni ke daerah Banten Selatan, mereka dikenal

sebagai Suku Badui. Kepercayaan mereka disebut Pasundan Kawitan yang

artinya Pasundan yang pertama. Mereka mempertahankan tradisi-tradisi lama

dan menolak pengaruh Islam

Kehidupan sosial masyarakat Banten semasa Sultan Ageng Tirtayasa

cukup baik, karena sultan memerhatikan kehidupan dan kesejahteran rakyatnya.

Namun setelah Sultan Ageng Tirtayasa meninggal, dan adanya campur tangan

Belanda dalam berbagai kehidupan sosial masyarakat berubah merosot tajam.

Seni budaya masyarakat ditemukan pada bangunan Masjid Agung Banten

(tumpang lima), dan bangunan gapura-gapura di Kaibon Banten. Di samping itu

juga bangunan istana yang dibangun oleh Jan Lukas Cardeel, orang Belanda,

pelarian dari Batavia yang telah menganut agama Islam. Susunan istananya

menyerupai istana raja di Eropa.

Masa Keruntuhan Kerajaan Banten

Sejak tahun 1676 kekuasaan Banten “masuk” ke dalam Keraton Cirebon.

Hal ini berlangsung sampai tahun 1681, ketika Cirebon menjalin hubungan dan

kerja sama dengan VOC. Puncak konflik antara Banten dengan VOC terjadi

setelah Amangkurat II menandatangani perjanjian dengan VOC yang sangat


merugikan Mataram, Sultan Ageng segera berhubungan dengan Sultan Mataram

dan mendesak Mataram agar tidak mendekati VOC. Sultan Ageng gagal dalam

memutuskan hubungan VOC dengan Amangkurat II. Selanjutnya ia

membangkitkan perlawanan terhadap VOC di Cirebon, tetapi pemberontakan

Cirebon dapat pula digagalkan Belanda.4 Bersamaan dengan hal itu, Banten

mengalami perpecahan dari dalam keluarga kerajaan. Putra mahkota, Sultan Abu

Nasr Abdul Kahar yang dikenal Sultan Haji diangkat menjadi pembantu ayahnya

4 Hj. Nina H. Lubis, dkk. Sejarah Banten Membangun Tradisi dan peradaban (Banten: 1014)
mengurus urusan dalam negeri, sedangkan urusan luar negri dipegang oleh

Sultan Ageng dan dibantu oleh putera yang satunya lagi yaitu Pangeran Arya

Purbaya. Pemisahan urusan pemerintahan ini tercium oleh wakil Belanda di

Banten, W. Caeff yang kemudian mendekati dan menghasut Abdul Kahar

(Sultan Haji).5

Termakan hasutan VOC, Sultan Haji mencurigai ayah dan saudaranya.

Sultan Haji khawatir tidak akan bisa naik tahta kesultanan, jika masih ada putra

Sultan Ageng, Pangeran Arya Purbaya.6 Kekhawatiran ini akhirnya melahirkan

persekongkolan dengan VOC untuk merebut tahta kekuasaan Banten. VOC

bersedia membantu Sultan Haji dengan empat syarat yaitu; (1) Banten harus

menyerahkan Cirebon kepada VOC; (2) monopoli lada di Banten dipegang oleh

VOC dan harus menyingkirkan Persia, India, dan Cina; (3) Banten harus
membayar 600.000 ringgit apabila ingkar janji; dan (4) pasukan Banten yang

menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan segera ditarik kembali.

Perjanjian diterima oleh Sultan Haji. Dengan bantuan pasukan VOC, pada tahun

1681 Sultan Haji melakukan kudeta kepada ayahnya dan berhasil menguasai

istana Surasowan yang kemudian berada di bawah kekuasaan Belanda. Pada

tanggal 27 Februari 1682, pecah perang antara ayah dan anak,7

pasukan Sultan

Ageng menyerang Belanda untuk mengepung Sultan Haji yang menduduki

istana Surasowan.

Dalam waktu singkat, pasukan Sultan Ageng dapat menguasai istana

Surasowan. Sultan Haji segera dilindungi oleh Jacob de Roy dan dibawa ke Loji

milik VOC. Di bawah pimpinan Kapten Sloot dan W. Caeff, pasukan Sultan

Haji bersamasama dengan pasukan VOC mempertahankan loji itu dari kepungan

pasukan Sultan Ageng. Akibat perlawanan yang sangat kuat dari Sultan Ageng,

bantuan militer yang dikirim dari Batavia tidak dapat mendarat di Banten.

Bantuan militer yang lebih besar segera dikirim dari Batavia dengan syarat

Sultan Haji akan memberi hak monopoli kepada VOC di Banten. Sultan Haji

menyetujui syarat itu. Pada tanggal 7 April 1682 bantuan Kompeni yang

dijanjikan itu datang dengan kekuatan besar membalas serangan Sultan Ageng

dengan melakukan penyerangan ke Keraton Surasowan dan benteng istana

Tirtayasa di bawah pimpinan Francois Tack dan De Saint Martin.8


Pasukan ini

berhasil membebaskan loji dari kepungan Sultan Ageng. Sultan Ageng terus

melakukan perlawanan hebat. Ia dengan gigih meneruskan perjuangannya,

dibantu oleh pasukan Makassar, Bali, dan Melayu. Markas besar pasukannya

berada di Margasana. Serangan pasukan

Kompeni di bawah pimpinan Jonker, St. Martin, dan Tack berhasil

mendesak barisan Banten. Margasana pun dapat diduduki. Kacarabuan dan

Tangerang juga dapat dikuasai oleh Kompeni. Sultan Ageng kemudian

mengundurkan diri ke Tirtayasa yang dijadikan pusat pertahanannya. Serangan

umum dimulai dari daerah pantai menuju Tanara dan Tangkurak. Pada tanggal

28 Desember 1682 pasukan Jonker, Tack, dan Michielsz menyerang Pontang,

Tanara, dan Tirtayasa serta membakarnya. Ledakan-ledakan dan pembakaran

menghancurkan Keraton Tirtayasa. Akan tetapi, Sultan Ageng berhasil

menyelamatkan diri ke pedalaman. Pangeran Arya Purbaya juga berhasil lolos

dengan selamat dengan terlebih dahulu membakar benteng dan keratonnya.

Pihak Kompeni berusaha untuk mencari Sultan Ageng dan membujuknya untuk

menghentikan perlawanan dan turun ke Banten. Sultan Haji mengutus 52 orang

keluarganya untuk menjemput ayahnya, sebagai tipu daya menangkap ayahnya

di Ketos. Pada malam menjelang 14 Maret 1683, terjadi penghianatan putranya

sendiri yang berkerja sama dengan Belanda, namun Pangeran Arya Purbaya

berhasil lolos, Sultan Ageng Tirtayasa dipenjarakan di Batavia sampai ia


meninggal tahun 1692. Atas permintaan keluarganya, jenazah Sultan Ageng

Tirtayasa dipulangkan ke Banten dan dimakamkan di Kompleks Mesjid Agung

Banten.9

Banten dipimpin Sultan Haji namun dibawah kekuasaan tangan Belanda.

Dan setelah wafatnya Sultan Haji, Banten sepenuhnya dikuasai oleh Hindia

Belanda. Sehingga pengangkatan Sultan harus mendapat persetujuan Gubenur

Jendral Hindia Belanda. Akhirnya, Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya dipilih

sebagai pengganti Sultan Haji, kemudian digantikan oleh Sultan Abdul Mahasin
Muhammad Zainal Abidin. Penyerangan Banten terjadi saat pemerintahan

Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin. Penyerangan

tersebut terjadi karena Sultan menolak memindahkan ibukota Banten ke Anyer.

Hingga tahun 1813, Kerajaan Banten runtuh dan dipegang oleh Inggris.

. Peninggalan Arkeologis

Selama masa kepemimpinan lebih dari 3 abad, Kerajaan Banten memiliki

beberapa bukti peninggalan yang menjadi kunci sejarah kejayaannya terdahulu,

seperti berikut ini.

1. Masjid Agung Banten

Masjid ini terletak di desa Banten Lama, Kecamaran Kaseman. Keunikan

yang dimilikinya adalah bentuk menara yang mirip seperti mercusuar. Bagian

atap masjid mirip pagoda. Pada bagian kanan dan kiri terdapat serambi dan
makam Kesultanan Banten dan keluarganya.

2. Istana Keraton Kaibon

Istana ini merupakan tempat tinggal bunda ratu Aisyah. Beliau

merupakan ibunda dari Sultan Saifudin.

3. Istana Keraton Surosowan

Istana ini menjadi central pemerintahan Kerajaan Banten sekaligus

tempat tinggal para sultan Banten.

4. Benteng Speelwijk

Benteng ini merupakan bukti penjagaan Kerajaan Banten atas serangan

laut sekaligus digunakan untuk memantau aktivitas pelayaran.

5. Danau Tasikardi

Danau ini merupakan danau buatan pada masa pemerintahan Sultan

Maulana Yusuf dengan lapisan batu bara dan keramik.

6. Vihara Avalokitesvara

Peninggalan ini merupakan bukti akan keterbukaan Kerajaan Banten

dengan seluruh agama. Pada dinding wihara terdapat relief legenda siluman ular

putih.

7. Meriam Ki Amuk

Meriam ini terletak di dalam Bentang Speelwijk. Dinamakan demikian

karena konon katanya meriam ini memiliki daya tembakan jauh dan ledakan
yang besar.

KESIMPULAN

Sebagai kerajaan Islam terbesar di Indonesia Kerajaan Banten sejak dulu

sudah membuktikan sebagai negara anti penjajah. Mereka bersatu padu dengan

rakyat berusaha mengusir penjajah dari tanah air tercinta ini. Meskipun banyak

yang harus mereka korbankan dan mereka berikan buat negara kesatuan tercinta ini.

Namun mereka tetapsemangat pantang menyerah hingga bisa mengusir penjajah

dari negeri ini. Terlebih khususnya di Banten, susah payah rakyat Banten berjuan

untuk mendapatkan kehidupan yang sejahtera, yang aman dan damai, hingga

Banten berhasil mencapai kejayaannya. Namun Belanda tidak pernah berhenti

untuk menghancurkan Banten dan menguasainya dengan berbagai macam cara,

bahkan dengan politik adu domba sekalipun, hingga akhirnya Banten berada di

bawah kekuasaan Belanda. Selain memiliki sumber ekonomi yang cukup baik,

Banten juga memiliki beberapa bukti peninggalan yang menjadi kunci sejarah

kejayaannya terdahulu, yaitu masjid Agung Banten, Istana Keraton Kaibon, Istana

Keraton Surosowan, Benteng Speelwijk, Dnau Tasikardi, Vihara Avalokitesvara,


dan Meriam Ki Amuk. Yang dari kesemua peninggalan tersebut menyimpan makna

dan sejarahnya tersendiri.

Melihat sejarah perjuangan rakyat dahulu, kita sebagai pewaris tunggal

Negara tercinta Indonesia harusnya lebih bisa menjaga keutuhan dan kesatuan agar

tidak mudah untuk dipecah belah. Banyak hal yang bisa kita contoh dan kita

peroleh dari masa-masa kejayaan raja-raja tanah Jawa di Indonesia ini.

Anda mungkin juga menyukai