Sultan Baabullah adalah sultan ke-7 dan penguasa ke-24 Kesultanan Ternate di Maluku
Utara. Ia memerintah pada periode 1570 sampai 1538. Baabullah memimpin kerajaan di
Ternate. Ia dianggap sebagai sultan teragug dalam sejarah Ternate dan Maluku karena
berhasil mengusir penjajah Portugis dari Ternate. Sultan Baabullah juga terkenal dengan
gelarnya sebagai Penguasa 72 Pulau.
Kehidupan
Sultan Baabullah lahir pada 10 Februari 1528. Ia merupakan putra tertua dari Sultan Khairun
Jamil dan Boki Tanjung. Sejak kecil, Baabullah sudah diberi pendidikan soal keagamaan
oleh sang ayah. Ia diajari untuk berdakwah kepada masyarakat. Ia sudah menemani ayahnya
ke mana-mana, termasuk saat Sultan Khairun diasingkan untuk sementara ke Goa pada 1545
sampai 1546. Beranjak dewasa, Baabullah membantu sang ayah menjalankan pemerintahan
kesultanan. Ia ikut menandatangani surat perjanjian vasalisasi Ternate kepada Portugis pada
1560, surat tertua Indonesia dengan stempel kesultanan yang masih bertahan.
Masa Pemerintahan
Ternate menjadi pusat utama perdagangan cengkeh yang memiliki ketergantungan erat pada
Portugis sejak mendirikan benteng di sana pada 1522. Awalnya, Ternate menganggap bahwa
Portugis memegang kuasa atas bandar persinggahan di Melaka, serta memiliki senjata yang
lebih unggul. Namun, setelah beberapa waktu, perilaku para serdadu Portugis tidak disukai
oleh masyarakat. Konflik antara Ternate dan Portugis pun pecah pada 1560-an. Saat itu
kaum Muslim di Ambon meminta bantuan dari sultan untuk mencegah orang-orang Eropa
yang mencoba mengkristenkan daerah tersebut. Pada 1563, Sultan Khairun mengirim sebuah
armada untuk mengepung Desa Kristen Nusaniwi. Namun, usaha pengepungan ini gagal
setelah tiga kapal Portugis datang. Setelah 1564, orang-orang Portugis terpaksa meninggalkan
Ambon. Tetapi, pada 1569 mereka kembali lagi menetap di sana. Sejak saat itu, peperangan
masih terus berlanjut. Sampai akhrinya, pada 25 Februari 1570, Kapten Diogo Lopes de
Mesquita mengajak Sultan Khairun datang ke kediamannya untuk sebuah jamuan. Ia hendak
mengajak sultan mendiskusikan sesuatu hal yang serius. Khairun pun menyanggup
permintaan tersebut dan datang seorang diri. Martim Afonso Pimentel, keponakan dari sang
kapten, diperintahkan untuk berjaga di sisi dalam gerbang. Saat Khairun hendak keluar,
Pimentel langsung menikamnya menggunakan belati. Khairun pun gugur. Setelah Khairun
gugur, Sultan Baabullah pun ditunjuk sebagai penggantinya. Tak lama setelah penobatannya,
Sultan Baabullah menyumpahkan permusuhan yang tidak lagi dapat didamaikan oleh orang-
orang Portugis. Guna menguatkan posisinya, Baabullah menikahi saudari Sultan Gapi
Baguna dari Tidore.
Pengusiran Portugis
Sebagai bentuk balasan atas kematian Khairun, Baabullah meminta agar Lopes dibawa ke
hadapannya untuk diadili. Benteng-benteng Portugis di Ternate, yaitu Tolucco, Santa Lucia,
dan Santo Pedro jatuh dalam waktu yang singkat, menyisakan Sao Joao Baptista (kediaman
Lopes) sebagai pertahanan terakhir. Di bawah komando Baabullah, pasukan Ternate telah
mengepung Sao Joao Baptista dan memutuskan hubungan benteng tersebut dengan dunia
luar. Selesai pengepungan, pasukannya pun menyerang wilayah-wilayah yang menjadi pusat
misi Yesuit, ordo gereja katolik, di Halmahera, pada 1571. Pada 1571, sebuah armada
Ternate dengan enam kora-kora besar di bawah pimpinan Kapita Kalasinka menyerbu
Ambon. Tentara Portugis yang dikomandoi Sancho de Vasconcellos berusaha susah payah
untuk mempertahankan benteng-benteng mereka. Pasukannya pun kehilangan kekuasaan di
laut atas perdagangan cengkeh. Pada 1575, sebagian besar tanah Portugis di Maluku telah
diambil alih oleh Ternate. Hanya tersisa Sao Joao Baptista yang masih dalam pengepungan.
Oleh sebab itu, Portugis pun menyerah dan pergi meninggalkan Ternate. Sultan Baabullah
memegang janjinya dan tidak ada satu pun dari mereka yang dilukai. Ia menyatakan bahwa
orang Portugis masih diperbolehkan berkunjung sebagai pedagang, serta harga cengkeh untuk
mereka tidak akan berubah
Kejayaan Ternate
Selepas kepergian Portugis, Sultan Baabullah mengambil alih Sao Joao Baptista. Ia
memanfaatkan tempat tersebut sebagai benteng sekaligus istana kediamannya. Di bawah
kepemimpinan Baabullah, Kesultanan Ternate menggapai masa jayanya. Kombinasi dari
pengaruh sosiopolitik agama Islam, imbas dari keberadaan Portugism serta harga cengkeh
yang semakin melonjak, memperkuat dan memperluas kekuatan Ternate atas jalur
perdagangan rempah. Pada bulan Juli 1583, Sultan Baabullah meninggal dunia. Sampai saat
ini, masih belum diketahui dengan pasti penyebab kematian dari Sultan Baabullah sendiri.
Pada 1511, Portugis berhasil merebut Malaka dan ingin segera melebarkan kekuasaannya
sampai ke Maluku. Mengetahui hal ini, Kesultanan Demak tidak mau tinggal diam dan
melakukan penyerangan. Perlawanan terhadap Portugis dilakukan oleh Demak lebih dari satu
kali. Meski pada awalnya sempat menemui kegagalan, perjuangan Demak akhirnya
membawa hasil yang menggembirakan.
Latar belakang perlawanan Demak terhadap Portugis
Dengan berkuasa di Malaka, Portugis otomatis menguasai jalur pelayaran dan perdagangan
yang penting di dunia. Keberadaan Portugis itu tidak hanya menjadi penghalang Kesultanan
Demak, tetapi juga mematikan perdagangan kaum Muslim Indonesia. Terlebih lagi, Demak
sendiri menjalankan perdagangan beras dan bahan pangan lainnya dengan Malaka. Di
samping itu, kedatangan bangsa Portugis juga menyebarkan agama Katolik, yang dianggap
menghalangi perkembangan Islam di Nusantara. Karena sebab-sebab itulah, Kesultanan
Demak mengirim armadanya ke Malaka untuk menggempur kedudukan Portugis. Selain di
Malaka, Kesultanan Demak juga melakukan perlawanan terhadap Portugis yang hendak
mendirikan loji di Sunda Kelapa.
Perlawanan Pati Unus terhadap Portugis (1918-1921)
Pada masa kekuasaan Raden Patah, perlawanan rakyat Demak terhadap Portugis dipimpin
oleh Pati Unus. Serangan yang dilakukan pada 1513 itu dilengkapi dengan kekuatan 100
kapal dan 5.000 pasukan dari Jawa, serta tambahan tentara dari Palembang, hingga
jumlahnya menjadi 12.000 pasukan. Akan tetapi, kekuatan yang sangat besar tersebut dapat
dipatahkan oleh Portugis, sehingga Pati Unus terpaksa kembali ke Jawa dengan kekalahan.
Setelah Raden Patah wafat pada 1518, takhta Kesultanan Demak jatuh ke tangan Pati Unus,
yang kembali mempersiapkan armada untuk menggempur kedudukan Portugis di Malaka.
Maka pada 1521, ia kembali melakukan perlawanan ke Malaka. Namun, Portugis ternyata
menyambut pasukan Demak dengan pertahanan yang lebih baik. Lagi-lagi, Kesultanan
Demak mengalami kekalahan. Bahkan Pati Unus gugur di medan perang. Seteleh itu, Pati
Unus disebut masyarakat dengan gelar Pangeran Sabrang Lor atau Pangeran (yang gugur) di
seberang utara.
Perlawanan Fatahillah terhadap Portugis (1527-1570)
Setelah berhasil menangkis serangan Demak, Portugis memenuhi undangan dari penguasa
Pajajaran yang ingin melakukan kerjasama. Kerajaan Pajajaran memilih bersekutu dengan
Portugis karena merasa terancam dengan kekuatan Islam di pesisir Pulau Jawa, yaitu Banten,
Cirebon, dan Demak. Dalam perjanjian di antara dua pihak itu, disebutkan bahwa Portugis
diizinkan untuk membangun loji di Sunda Kelapa. Kesultanan Demak menganggap
kerjasama itu sebagai ancaman, dan segera melancarkan serangan di bawah pimpinan
Fatahillah. Pada 1527, pasukan gabungan Demak, Cirebon, dan Banten diberangkatkan untuk
membendung pengaruh Portugis di Sunda Kelapa. Akhirnya, pada 22 Juni 1527, Sunda
Kelapa berhasil direbut oleh Fatahilllah, yang kemudian mengubah namanya menjadi
Jayakarta. Peristiwa itu menandai akhir perlawanan Demak terhadap Portugis. Referensi: El
Jauquene, F Taufiq. (2020). DEMAK BINTORO: Kerajaan Islam Pertama di Jawa dari
Kejayaan hingga Keruntuhan.