Anda di halaman 1dari 37

Kolonisasi dan perlawanan bangsa Indonesia

A. Faktor-faktor Penyebab Lahirnya Kolonialisme dan Imperialisme dan Keebijakan


Tuki Ustmani
1. Faktor Utama
a. Gold (Kekayaan)
Keinginan bangsa Eropa untuk berdagang secara langsung dengan dunia Timur adalah
merengkuh kekayaan sebanyak banyaknya. Usaha mencari kekayaan ini semakin
tajam setelah di Eropa saat itu merebak semangat merkantilisme. Paham
merkantilisme adalah teori ekonomi yang menyatakan bahwa kesejahteraan suatu
negara ditentukan oleh banyaknya aset atau modal yang dimiliki serta besarnya
volume perdagangan suatu negara. Modal negara itu dapat berupa emas, perak, dan
komoditas lain yang dimiliki negara.
b. Gospel (Menyebarkan Agama)
Portugis dan Spanyol adalah negara yang dilandasi agama Katolik. Dengan mematuhi
seruan Paus sebagai pemimpin Katolik dunia agar menyebarkan iman Kristiani ke
wilayah jajahan, maka mereka merasa telah mengemban tugas sebagai orang Katolik
yang taat.
c. Glory (Kejayaan)
Di tempat-tempat yang baru didudukinya, bangsa Portugis selalu menancapkan
Padrao. Padrao adalah suatu batu prasasti besar yang bergambar lambang kerajaan
Portugis (sekarang Portugal). Selain sebagai simbol tercapainya perjanjian kerja
dengan penguasa lokal, Padrao dianggap sebagai simbol kejayaan bangsa Portugis.
2. Faktor-faktor Pendukung
a. Adanya penemuan baru dalam teknologi maritim, misalnya kompas, navigasi,
kartografi (pembuatan peta).
b. Adanya semangat dan idealisme pribadi. Sejak Galileo Galilei mengatakan bahwa
bumi itu bulat, mereka tertantang untuk membuktikan teori itu. Rasa penasaran dan
idealisme pribadi ini kemudian banyak ditulis oleh mereka sebagai kisah perjalanan.
3. Faktor Pemicu
Konstantinopel (Turki) merupakan tempat bertemunya pedagang Eropa dengan pedagang
dari dunia Timur. Dagangan yang dijual misalnya emas, perak, rempah-rempah,
tembikar, karpet, batu mulia, dan lain-lain. Mereka membeli barang-barang itu kemudian
dijual di Eropa dengan harga mahal. Dari sinilah mereka secara perlahan-lahan mengenal
kekayaan dari dunia Timur. Konstantinopel dikuasai oleh Sultan Mehmed II, penguasa
Ottoman.

Tahun 1453, Sultan Mehmed II melarang keras bangsa Barat berdagang di


Konstantinopel sehingga satu-satunya akses Eropa menikmati komoditas perdagangan
Asia tertutup. Untuk itu, mereka berusaha keras untuk menuju ke Asia dalam usaha
berdagang lewat jalan lain. Dalam perkembangannya, bangsa Barat, terutama bangsa
Portugis, merasa keuntungan akan bertambah besar bila berdagang secara langsung
dengan sumbernya dengan tidak melalui pedagang perantara di Konstantinopel. Mereka
ingin datang sendiri ke India, Cina, Indonesia, dan lain-lain. Untuk itulah bangsa-bangsa
Barat mulai melakukan penjelajahan ke dunia Timur.

B. Perlawanan Raja-raja Lokal menghadapi Bangsa Eropa


a. Perlawanan Terhadap Portugis
Portugis merupakan salah satu negara pelopor penjelajahan samudra. Pada awalnya
kedatangan Bangsa Portugis adalah untuk mencari tempat penghasil rempah-rempah.
Dari berbagai penjelajah Portugis, pada tahun 1511 Alfonso de Albuquerque berhasil
menguasai Malaka yang menjadi tempat penting bagi perdagangan rempah-rempah.
Penguasaan Portugis terhadap Malaka kemudian memunculkan berbagai perlawanan
rakyat Indonesia.
1. Perlawanan Rakyat Aceh Terhadap Portugis
Sejak kedatangan orang Portugis di Malaka pada tahun 1511, telah terjadi
persaingan yang berbuntut permusuhan antara Portugis dan Kesultanan Aceh yang
pada waktu itu diperintah oleh Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528). Sultan
menganggap bahwa orang Portugis merupakan saingan dalam politik, ekonomi, dan
penyebaran agama. Berikut latar belakang perlawanan rakyat Aceh terhadap
Portugis.
a. Adanya monopoli perdagangan oleh Portugis.
b. Pelarangan terhadap orang-orang Aceh untuk berdagang dan berlayar ke Laut
Merah.
c. Penangkapan kapal-kapal Aceh oleh Portugis. Oleh sebab itulah Kesultanan Aceh
tetap pada pendiriannya bahwa Portugis harus segera diusir dari Malaka. Tindakan
kapal-kapal Portugis telah mendorong munculnya perlawanan rakyat Aceh.
Sebagai persiapan, Aceh melakukan langkah-langkah antara lain sebagai berikut.
d. Melengkapi kapal-kapal dagang Aceh dengan persenjataan, meriam, dan prajurit.
e. Mendatangkan bantuan persenjataan, sejumlah tentara, dan beberapa ahli dari
Turki pada tahun 1567.
f. Mendatangkan bantuan persenjataan dari Kalikut dan Jepara.
Setelah berbagai bantuan berdatangan, Aceh segera melancarkan serangan
terhadap Portugis di Malaka. Portugis harus bertahan mati matian di
Formosa/Benteng. Portugis harus mengerahkan semua kekuatannya sehingga
serangan Aceh ini dapat digagalkan. Sebagai tindakan balasan, pada tahun 1569
Portugis balik menyerang Aceh, tetapi serangan Portugis di Aceh ini juga dapat
digagalkan oleh pasukan Aceh.
Sejak Kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636),
perjuangan mengusir Portugis mencapai puncaknya. Untuk mencapai tujuannya,
Sultan Iskandar Muda menempuh beberapa cara untuk melumpuhkan kekuatan
Portugis, seperti blokade perdagangan. Sultan Aceh melarang daerah-daerah yang
dikuasai Aceh menjual lada dan timah kepada Portugis. Cara ini dimaksudkan agar
kekuatan Portugis benar-benar lumpuh karena tidak memiliki barang yang harus
dijual di Eropa.
Upaya ini ternyata tidak berhasil sepenuhnya, karena raja-raja kecil yang merasa
membutuhkan uang secara sembunyi-sembunyi menjual barang dagangannya kepada
Portugis. Gagal dengan taktik blokade ekonomi, Sultan Iskandar Muda menyerang
kedudukan Portugis di Malaka pada tahun 1629. Seluruh kekuatan tentara Aceh
dikerahkan. Namun, upaya itu mengalami kegagalan. Pasukan Kesultanan Aceh
dapat dipukul mundur oleh pasukan Portugis. Faktor penyebab kegagalan serangan
Aceh terhadap Portugis di Malaka adalah sebagai berikut.
a. Tidak dipersiapkan dengan baik.
b. Perlengkapan senjata yang digunakan masih sederhana.
c. Terjadi konflik internal di kalangan pejabat Kerajaan Aceh.

2. Perlawanan Kerajaan Demak Terhadap Portugis


Dikuasainya Malaka pada tahun 1511 oleh orang-orang Portugis merupakan
ancaman tersendiri bagi Kerajaan Demak. Pada tahun 1512, Kerajaan Demak di bawah
pimpinan Pati Unus (Pangeran Sabrang Lor) dengan bantuan Kerajaan Aceh
menyerang Portugis di Malaka. Namun, serbuan Demak tersebut mengalami
kegagalan. Berikut ini penyebab kegagalan serangan Demak ke Portugis di Malaka.
a. Serangan tersebut tidak dilakukan dengan persiapan yang matang.
b. Jarak yang terlalu jauh.
c. Kalah persenjataan.
Penyerangan dilakukan sekali lagi bersama Aceh dan Kerajaan Johor, tetapi tetap
berhasil dipatahkan oleh Portugis. Perjuangan Kerajaan Demak terhadap orang-orang
Portugis tidak berhenti sampai di situ. Kerajaan Demak selalu menyerang dan
membinasakan setiap kapal dagang Portugis yang melewati jalur Laut Jawa. Oleh
sebab itulah kapal dagang Portugis yang membawa rempah-rempah dari Maluku
(Ambon) tidak melalui Laut Jawa, tetapi melalui Kalimantan Utara.
Upaya Demak untuk mengusir Portugis diwujudkan dengan ditaklukkannya
Kerajaan Pajajaran oleh Fatahilah pada tahun 1527. Penaklukkan Pajajaran ini
disebabkan Kerajaan Pajajaran mengadakan perjanjian perdagangan dengan Portugis,
sehingga Portugis diperbolehkan mendirikan benteng di Sunda Kelapa. Ketika
orang orang Portugis mendatangi Sunda Kelapa (sekarang Jakarta), terjadilah perang
antara Kerajaan Demak di bawah pimpinan Fatahilah dengan tentara Portugis.
Dalam peperangan itu, orang-orang Portugis berhasil dipukul mundur pada 22
Juni 1527. Kemudian, pelabuhan Sunda Kelapa diganti namanya oleh Fatahilah
menjadi Jayakarta yang berarti kejayaan yang sempurna.

3. Perlawanan Maluku Terhadap Portugis


Pada tahun 1512, bangsa Portugis berhasil menemukan kepulauan rempah-
rempah, Maluku. Saat itu, bangsa Portugis yang dipimpin oleh Antonio de Abreau
mendarat di Ternate. Kedatangan Portugis semula diterima dengan baik oleh rakyat
Ternate. Sultan Bayanull (1500-1521) mengizinkan Portugis mendirikan pos dagang
di Ternate.
Sultan dan rakyat Ternate berharap Portugis dapat menjadi pembeli tetap rempah-
rempah dengan harga tinggi. Portugis juga diharapkan dapat membantu Ternate
untuk mengalahkan Tidore yang menjadi saingan dalam perdagangan
rempah rempah di Maluku. Setelah mengetahui Ternate menjadi pusat utama
perdagangan rempah-rempah di Maluku, Portugis berniat memonopoli perdagangan
rempah-rempah di Ternate. Bahkan, Portugis ikut campur dalam urusan
pemerintahan di Ternate. Tindakan Portugis tersebut akhirnya memancing
kemarahan rakyat Ternate.
Pada masa pemerintahan Sultan Hairun (1534-1570), rakyat Ternate bangkit
melakukan perlawanan terhadap Portugis. Sultan Hairun mengobarkan perang
mengusir Portugis dari Ternate. Perlawanan itu telah mengancam kedudukan
Portugis di Maluku. Keberadaan Aceh dan Demak yang terus mengancam kedudukan
Portugis di Malaka telah menyebabkan Portugis di Maluku kesulitan mendapat
bantuan. Oleh karena itu, Gubernur Portugis di Maluku, Lopez de Mesquita,
mengajukan perundingan damai kepada Sultan Hairun. Selanjutnya, Lopez de
Mesquita mengundang Sultan Hairun ke Benteng Sao Paulo. Dengan cara tersebut,
Sultan Hairun berhasil ditangkap dan dibunuh oleh Lopez de Mesquita.
Peristiwa itu semakin memicu kemarahan rakyat. Bahkan, seluruh rakyat Maluku
dapat bersatu melawan Portugis. Di bawah kepemimpinan Sultan Baabullah (1570-
1583), rakyat menyerang pos-pos perdagangan dan pertahanan Portugis di Maluku.
Benteng Sao Paulo dikepung selama lima tahun. Strategi tersebut berhasil
mengalahkan Portugis. Pada tahun 1575, Portugis meninggalkan Maluku.
Setelah kepergian Portugis, Ternate berkembang menjadi kerajaan Islam terkuat
di Maluku. Sultan Baabullah berhasil membawa Ternate mencapai puncak kejayaan.
Wilayah kekuasaan Ternate membentang dari Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan
Sulawesi Timur di bagian barat hingga Kepulauan Marshall di bagian timur, dari
Filipina Selatan di bagian utara hingga Kepulauan Kai dan Nusa Tenggara di bagian
selatan.
Setiap wilayah atau daerah ditempatkan wakil sultan yang disebut sangaji. Sultan
Baabullah diberi gelar “Heer van twee en zeventig eilanden” atau “Penguasa atas 72”
pulau berpenghuni yang meliputi pulau-pulau di Nusantara bagian timur, Mindanao
Selatan, dan Kepulauan Marshall. Pulau-pulau tersebut semuanya berpenghuni dan
memiliki raja yang tunduk kepada Sultan Baabullah.

C. Berdirinya VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) Dan Hak Oktroi


1. Sejarah Lahirnya VOC
Keberhasilan Van Neck berlayar ke Indonesia pada tahun 1600 menjadikan
Belanda dalam dua tahun menjadi negara yang kaya rempah-rempah. Keuntungan
yang diperoleh berlipat-lipat sehingga banyak kongsi dagang dari Negeri Belanda dan
negara Eropa lain tergiur untuk datang ke Indonesia. Akan tetapi, banyaknya rempah-
rempah menjadikan penawaran melebihi permintaan sehingga harga rempah-rempah
jatuh.
Kenyataan ini diperparah dengan bersaingnya kongsi-kongsi dagang yang
berujung saling konflik. Melihat situasi seperti itu, banyak kalangan mengusulkan agar
dibentuk sebuah organisasi dagang sehingga tahun 1602 terbentuklah serikat dagang
untuk wilayah timur yang disebut VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Lidah
orang Indonesia menyebutnya Kompeni. Pemegang sahamnya adalah pedagang-
pedagang besar Belanda.
a. Tujuan berdirinya VOC
1) Menghindari persaingan tidak sehat antarkongsi dagang Belanda.
2) Memperkuat posisi Belanda menghadapi persaingan dagang dengan bangsa Eropa
lain.
3) Monopoli pedagang rempah-rempah di Indonesia.
4) Membantu pemerintah Belanda yang sedang berjuang melawan pendudukan
Spanyol.
b. Hak-hak istimewa (hak Oktroi) VOC VOC berkembang pesat karena pemerintah
Belanda (Hindia Belanda) memberi hak-hak istimewa (hak Oktroi), yakni:
1) Menjadi wakil sah pemerintah Belanda di Asia.
2) Melakukan monopoli perdagangan.
3) Mencetak dan mengedarkan mata uang sendiri.
4) Melakukan perjanjian dan perang dengan negara lain.
5) Memungut pajak.
6) Memiliki angkatan perang sendiri.
7) Menyelenggarakan pemerintahan sendiri.
Dengan wewenang seperti itu, perkumpulan dagang seperti VOC bertindak layaknya
seperti sebuah negara sehingga tidak heran jika dalam waktu lima tahun VOC
mempunyai 15 armada dan sangat berkuasa.

D. Kebijakan-Kebijakan VOC di Indonesia


1) Memberlakukan dua jenis pajak kepada rakyat. Pertama, pajak contingenten, yaitu
pajak hasil bumi yang langsung dibayarkan kepada VOC. Pajak ini diterapkan
terhadap jajahan langsung, misalnya Batavia. Kedua, pajak verplichete leverente, yaitu
penyerahan wajib hasil bumi dengan harga yang telah ditentukan VOC. Pajak ini
diterapkan terhadap daerah jajahan yang secara tidak langsung dikuasai, misalnya
Kerajaan Mataram Islam.
2) Menyingkirkan pedagang-pedagang lain, baik pedagang negara Eropa lain maupun
pedagang Jawa, Cina, Arab, dan Melayu. Hal ini dilakukan untuk monopoli rempah-
rempah.
3) Menentukan luas areal penanaman rempah-rempah. Kebijakan ini diterapkan di
Maluku.
4) Melakukan kebijakan ekstirpasi, yakni penebangan kelebihan jumlah tanaman rempah-
rempah agar harga tetap dipertahankan. Untuk melindungi kebijakan tersebut, Belanda
melakukan pelayaran Hongi, yakni pelayaran menggunakan perahu kecil (kora-kora)
untuk patroli terhadap penyelundupan rempah-rempah.
5) Mewajibkan kerajaan-kerajaan untuk menyerahkan upeti setiap tahun kepada VOC.
6) Mewajibkan rakyat menanam tanaman tertentu, misalnya kopi, dan hasilnya dijual
kepada VOC dengan harga yang sudah ditentukan oleh VOC.
Langkah-langkah VOC Dalam rangka mendukung kebijakan-kebijakan, VOC melakukan
dua hal sebagai berikut.
1) Menggunakan cara kekerasan
Bila ada raja atau sultan yang menolak berdagang dengan syarat-syarat yang telah
ditentukan VOC, maka raja tersebut ditangkap dan diasingkan ke daerah lain.
Selanjutnya, VOC mengangkat raja atau sultan baru yang menuruti kemauan VOC.
2) Taktik jitu devide et impera
Devide et impera secara harfiah artinya “pecah belah dan kuasai”. Salah satu
bentuknya adalah dengan mencampuri urusan dalam negeri setiap kerajaan. Caranya,
apabila ada konflik internal di suatu kerajaan atau dengan kerajaan lain, VOC akan
mendatangi salah satu kerajaan untuk menawarkan bantuan. Ketika tawaran bantuan
tersebut diterima, VOC akan membantu mengalahkan kerajaan lain dengan berbagai
syarat atau perjanjian. Isinya imbalan monopoli perdagangan atau mendapatkan
sebagian wilayah yang dikalahkan. Monopoli perdagangan adalah VOC
mengharuskan para petani menjual rempah-rempahnya kepada VOC dan tidak boleh
kepada kongsi dagang lain dengan harga yang sudah ditentukan sendiri oleh VOC.
Dengan cara itu, pada tahun 1669, VOC merupakan perusahaan dagang terkaya
sepanjang sejarah. VOC memiliki 150 kapal dagang, 40 kapal perang, 50.000 pekerja,
10.000 tentara, dan pembayaran deviden (sistem pembagian keuntungan) sebanyak
40%. Seorang filsuf dari Jerman yang bernama Karl Marx (1818-1883) menulis
dalam bukunya yang berjudul Das Salam Historia VOC merupakan perusahaan
internasional pertama di dunia. Anggota kongsi ini tidak hanya orang-orang Belanda,
tetapi juga ada orang Spanyol, Portugis, dan Inggris. Yang mengejutkan, mereka
kebanyakan merupakan bekas-bekas penjahat yang kemudian bergabung dengan
VOC sehingga tidak mengherankan bila VOC hancur akibat korupsi yang merajalela.
Das Capital menyebut VOC sebagai salah satu korporasi pertama dalam sejarah dunia
yang paling jahat dan rakus. Sejarawan Onghokham pernah mengatakan bahwa
kolonialisme di Jawa bukan dengan operasi militer, melainkan lebih banyak dengan
melakukan perjanjian dengan raja atau pangeran setempat. Jumlah tentara VOC dan
Hindia Belanda tidaklah terlalu besar, tetapi hanya kuat secara finansial.

E. Perlawanan Raja-Raja Lokal Terhadap VOC


Setelah VOC menancapkan pengaruhnya dengan tujuan menguasai kerajaan-kerajaan
dan melakukan monopoli perdagangan, banyak kerajaan lokal yang menentang dan
melakukan perlawanan. Berikut ini perlawanan perlawanan terhadap VOC.
1. Sultan Agung Hanyokrokusumo di Mataram (1628–1629) Kerajaan Mataram
mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo
(1613-1645). Daerah kekuasaannya meliputi hampir seluruh Pulau Jawa. Hanya Jawa
Barat yang belum masuk wilayah Mataram. Pada mulanya, hubungan antara Mataram
dengan VOC berjalan baik. Dibuktikan dengan diperbolehkannya VOC mendirikan
kantor dagang di wilayah Mataram tanpa membayar pajak. Namun, akhirnya VOC
menunjukkan sikap yang tidak baik, ingin memonopoli perdagangan di Jepara.
Tuntutan VOC tersebut ditolak oleh Bupati Kendal bernama Baurekso, yang
bertanggung jawab atas wilayah Jepara. Namun, penolakan itu tidak menyurutkan
keinginan VOC. Persekutuan dagang VOC tetap melaksanakan monopoli
perdagangannya. Hal ini membangkitkan kemarahan rakyat Mataram sehingga kantor
VOC diserang. Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen, membalasnya dengan
memerintahkan pasukannya untuk menembaki daerah Jepara. Menyikapi peristiwa
tersebut, Sultan Agung bertekad menyerang Kota Batavia. Penyerangan Sultan
Agung terhadap VOC di Kota Batavia dilakukan sebanyak dua kali.
Serangan pertama dilakukan tahun 1628. Pada pertengahan bulan Agustus 1628,
secara tiba-tiba armada Mataram muncul di perairan Kota Batavia. Mereka segera
menyerang benteng VOC. Berikut ini panglima-panglima Sultan Agung. a.
Tumenggung Baurekso. b. Tumenggung Sura Agul-agul. c. Kyai Dipati Manduro-
Rejo. d. Kyai Dipati Uposonto.
Dalam perlawanan tersebut, Tumenggung Baurekso gugur beserta putranya.
Pasukan Sultan Agung menggunakan taktik perang yang tinggi, antara lain dengan
membendung sungai Ciliwung, (seperti waktu penyerangan di Surabaya).
Namun, penyerangan kali ini mengalami kegagalan. Akhirnya, pasukan Sultan
Agung terpaksa mengundurkan diri. Meskipun gagal, tetapi tidak membuat Sultan
Agung dan pasukannya, para bangsawan serta rakyatnya patah semangat. Kemudian,
disusunlah strategi baru untuk persiapan serangan kedua.
Serangan kedua dilaksanakan pada tahun 1629 dengan perencanaan yang lebih
sempurna, antara lain sebagai berikut. a. Persenjataan dilengkapi dengan senjata api
dan meriam. b. Pasukan berkuda dan beberapa gajah. c. Persediaan makanan yang
cukup dan pengadaaan lumbung lumbung padi di Tegal dan Cirebon.
Serangan kedua ini berhasil menghancurkan Benteng Hollandia dan menewaskan
J.P. Coen sewaktu mempertahankan Benteng Meester Cornellis. Karena banyak
pasukan yang tewas, daerah itu dinamakan Rawa Bangke. Rupanya, VOC dapat
mengetahui tempat lumbung padi di Tegal dan Cirebon. Kemudian,
lumbung lumbung itu dibakar. Akhirnya, serangan kedua ini juga mengalami
kegagalan. Kedua serangan yang gagal ini tidak membuat Sultan Agung putus asa.
Dia telah memikirkan untuk serangan selanjutnya. Namun, sebelum rencananya
terwujud, Sultan Agung mangkat (1645). Kegagalan yang menyebabkan kekalahan
itu, antara lain sebagai berikut. a. Pasukan lelah karena jarak Mataram (sekarang
Yogyakarta) menuju Batavia (Jakarta) sangat jauh. b. Kekurangan persediaan
makanan (kelaparan). c. Kalah dalam persenjataan. d. Banyak yang meninggal akibat
penyakit malaria.
Setelah Sultan Agung mangkat (wafat) pada tahun 1645, kedudukan sultan
digantikan oleh putranya yang bergelar Sunan Amangkurat I. Sunan Amangkurat I
dalam menjalankan politik pemerintahannya melakukan kerja sama dengan VOC.
Pada tahun 1646 diadakan perjanjian bilateral antara Mataram dengan VOC. Isi
perjanjian itu sangat merugikan Mataram. Adapun isi perjanjian sebagai berikut. a.
Mataram mengakui kekuasaan VOC di Batavia dan VOC mengakui kekuasaan
Amangkurat I di Mataram. b. Apabila ada utusan Mataram yang akan bepergian ke
luar negeri akan diangkut oleh kapal-kapal VOC. c. Kapal-kapal Kesultanan Mataram
diperbolehkan melintasi Selat Malaka dengan seizin VOC. d. Mataram tidak
diperkenankan mengadakan hubungan dagang dengan Maluku. e. Apabila terjadi
peperangan, masing-masing tidak akan saling membantu musuh. Dengan
ditandatanganinya perjanjian ini, maka Mataram di bawah Amangkurat I mengakui
kedaulatan VOC.

2. Perlawanan Sultan Hasanuddin dari Makassar (1666 - 1667)


Pada abad ke-17 di Sulawesi Selatan telah muncul beberapa kerajaan kecil seperti
Gowa, Tallo, Sopeng, dan Bone. Di antara kerajaan itu yang paling kuat secara
ekonomi dan militer adalah kerajaan Gowa atau Makassar. Adapun kondisi yang
membuat Makassar menjadi kerajaan yang penting karena hal-hal berikut.
a. Letak Makassar yang sangat strategis dalam lalu lintas perdagangan, yakni
Malaka-Batavia-Maluku.
b. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis (1511) membuat saudagar-saudagar Arab,
India, dan Melayu berpindah ke Makassar.
c. Posisi Makassar sebagai pelabuhan transit yang berasal dari Kesultanan Banjar
(Banjarmasin).
mulanya, hubungan VOC dengan Makassar berjalan dengan baik. Posisi strategis
Makassar memperkuat hubungan tersebut. Setelah VOC menerapkan kebijakan
monopoli perdagangan di Goa, hubungan mereka menjadi retak. VOC ingin
menguasai perdagangan Malaka-Batavia-Maluku. Sebagai balasannya, Makassar
selalu menerobos monopoli VOC yang memicu ketegangan yang berujung pada
peperangan. Perang diawali dengan perampasan armada VOC di Maluku oleh
pasukan Hasanuddin. Tindakan ini memicu perang yang kemudian dikenal dengan
Perang Makassar (1666-1669). Dalam perang itu, VOC bersekutu dengan Aru Palaka,
Raja Bone yang sedang berseteru dengan Kerajaan Gowa. Karena kalah persenjataan,
maka Kesultanan Gowa dapat dikalahkan dan Sultan Hasanuddin tunduk pada
Perjanjian Bongaya (1667) yang sangat merugikan Kerajaan Gowa. Isi perjanjian itu
adalah:
a. Gowa harus mengakui monopoli perdagangan VOC.
b. Pedagang dari Barat kecuali VOC harus meninggalkan Gowa.
c. Gowa harus membayar kerugian perang.
d. VOC akan membangun banteng-benteng di Makassar.
e. Gowa harus mengakui kedaulatan Kesultanan Bone.
3. Untung Suropati di Jawa (1685 - 1706)
Suropati melawan VOC terjadi pada tahun 1685-1706. Nama lengkapnya adalah
Untung Surapati atau Untung Suropati. Ia adalah bekas seorang budak yang berasal
dari Bali. Setelah menjadi orang bebas, ia masuk dinas militer VOC. Karena
kecakapan dan kepribadiannya yang kuat, ia dapat mencapai pangkat letnan.
Kemudian, ia mendapat tugas mengadakan operasi militer di daerah Banten dan
Priangan. Dalam operasi itu, Suropati berhasil menangkap Pangeran Purbaya.
Pangeran Purbaya menyerahkan kerisnya kepada Untung Suropati. Namun secara
kesatria, Suropati mengembalikan keris itu kepada Pangeran Purbaya. Wakil
Suropati, seorang pembantu letnan bangsa Belanda bernama Kuffeler, tidak
menyetujui kebijakan Suropati itu.
Dengan sombong, ia menghina Suropati sebagai atasannya, karena Suropati
seorang pribumi. Maka, terjadilah perselisihan antara keduanya. Dalam perselisihan
itu, Kuffeler mati terbunuh. Sejak itulah Suropati keluar dari dinas tentara VOC,
kemudian mengadakan perlawanan di daerah Priangan.
Ketika VOC mengirimkan pasukan untuk menangkapnya, ia telah menyingkir ke
Kartasura. Kemudian, VOC mengirimkan pasukan ke Kartasura di bawah pimpinan
Kapten Tack. Dalam pertempuran di Kartasura, Kapten Tack dan sebagian besar anak
buahnya terbunuh oleh pasukan Surapati. Kemudian, Suropati dan anak buahnya
bergerak ke Jawa Timur dan mendirikan kerajaan kecil di Pasuruan. Sementara itu, di
Mataram terjadi pergantian takhta. Sunan Amangkurat II wafat pada tahun 1703. Ia
digantikan oleh putranya, Sunan Amangkurat III, yang juga terkenal dengan sebutan
Sunan Mas.
Dari tindakan-tindakannya, tampaklah bahwa Sunan Mas memihak perjuangan
Suropati. Oleh sebab itu, VOC mencalonkan Pangeran Puger sebagai raja baru.
Dengan dukungan VOC, Pangeran Puger dapat menggeser kedudukan Sunan Mas.
Setelah naik takhta, Pangeran Puger bergelar Paku Buwono I. Namun, ia harus
menandatangani perjanjian dengan VOC pada tahun 1705. Sementara itu, setelah
kedudukannya tergeser, Sunan Mas menggabungkan diri dengan Untung Suropati di
Jawa Timur. Pada tahun 1706, VOC mengirimkan tentara yang kuat ke Jawa Timur
untuk menyerang Suropati. Dengan gagah berani, Suropati memimpin perlawanan
terhadap VOC, tetapi ia gugur dalam pertempuran di Bangil.

3. Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682)


Pada tahun 1651 sampai dengan 1682, Banten diperintah oleh Pangeran Surya
dengan gelar Pangeran Ratu Ing Banten dan setelah kembali dari Mekah mendapat
gelar Sultan Abdulfatah atau lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa.
Sebelumnya, Banten diperintah oleh kakek dari Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu Sultan
Abdulmafakhir Mahmud Abdulkadir. Sultan Ageng Tirtayasa merupakan anak dari
Sultan Abul Ma’ali Ahmad.
Pada waktu itu Banten memiliki posisi yang strategis sebagai bandar perdagangan
internasional. Oleh karena itu, sejak semula Belanda ingin menguasai Banten, tetapi
tidak pernah berhasil. Akhirnya, VOC membangun bandar di Batavia pada tahun
1619. Hal ini menyebabkan timbulnya persaingan antara Banten dan Batavia untuk
memperebutkan posisi sebagai bandar perdagangan internasional. Oleh karena itu,
rakyat Banten sering melakukan serangan-serangan terhadap VOC.
Sultan Ageng Tirtayasa berusaha memulihkan posisi Banten sebagai bandar
perdagangan internasional sekaligus menandingi perkembangan perdagangan di
Batavia. Beberapa yang dilakukan Sultan Ageng Tirtayasa adalah sebagai berikut. a.
Mengundang para pedagang dari Eropa lain seperti Inggris, Prancis, Denmark, dan
Portugis. b. Mengembangkan hubungan dagang dengan negara-negara Asia seperti
Persia, Benggala, Siam, Tonkin, dan Cina.
VOC sangat tidak menyukai perkembangan di Banten. Oleh karena itu, untuk
melemahkan peran Banten sebagai bandar perdagangan, VOC sering melakukan
blokade, yaitu kapal-kapal dagang dari Maluku dilarang meneruskan perjalanan ke
Banten. Sebagai balasan, Sultan Ageng mengirimkan beberapa pasukannya untuk
mengganggu kapal-kapal dagang VOC dan membuat kekacauan di Batavia.
Dalam rangka memberi tekanan dan melemahkan kedudukan VOC, rakyat
Banten juga melakukan perusakan terhadap beberapa bibit tanaman milik VOC.
Akibatnya, hubungan Banten dengan Batavia semakin memburuk.
Untuk menghadapi tentara Banten, VOC terus memperkuat Kota Batavia dengan
mendirikan benteng-benteng pertahanan seperti Benteng Noorwijk dengan harapan
VOC mampu bertahan dari berbagai serangan dari luar. Sementara itu, untuk
kepentingan pertahanan, Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan untuk membangun
saluran irigasi yang membentang dari Sungai Untung Jawa sampai Pontang. Hal ini
bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian dan memudahkan transportasi
perang. Karena jasanya itulah, maka Sultan diberi gelar Tirtayasa (“tirta” artinya air).
Pada tahun 1671, Sultan Ageng mengangkat putra mahkota Abdul Nazar
Abdulkahar sebagai sultan pembantu yang kemudian lebih dikenal dengan nama
Sultan Haji. Sebagai raja pembantu, Sultan Haji bertanggung jawab pada urusan
dalam negeri, sedangkan Sultan Ageng beserta putranya yang lain, yakni Pangeran
Arya Purbaya, bertanggung jawab atas urusan luar negeri.
Pemisahan urusan pemerintahan ini tercium oleh perwakilan VOC di Banten,
yakni W. Caeff. Ia kemudian mendekati dan menghasut Sultan Haji agar urusan
pemerintahan di Banten tidak dipisah-pisahkan dan jangan sampai kekuasaan jatuh di
tangan Arya Purbayasa. Hingga akhirnya, Sultan Haji mencurigai ayahnya dan
saudaranya serta membuat persengkongkolan dengan VOC. Untuk merebut tanah
Kesultanan Banten, maka timbullah pertentangan yang begitu tajam antara Sultan
Haji dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Dalam persengkongkolan tersebut, VOC
sanggup membantu Sultan Haji untuk merebut Kesultanan Banten, tetapi dengan
empat syarat, yakni:
a. Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC.
b. Monopoli ada di Banten, dikuasai dan dipegang VOC.
c. Banten harus membayar 600.000 ringgit apabila mengingkari janji.
d. Pasukan Banten yang menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan segera
ditarik kembali.
Isi perjanjian tersebut disetujui oleh Sultan Haji. Pada tahun 1681, VOC dengan
atas nama Sultan Haji berhasil merebut Kesultanan Banten dan menguasai Istana
Surosawan. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian membangun istana yang baru dan
berpusat di Tirtayasa. Sultan Ageng pun berusaha merebut Banten kembali.
Pada tahun 1682, pasukan Sultan Ageng berhasil mengepung Istana Surosawan.
Kemudian, Sultan Haji meminta bantuan pasukan VOC di bawah pimpinan Francos
Tack. Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa dapat dipukul mundur dan terdesak hingga ke
Benteng Tirtayasa. Sultan Ageng Titayasa akhirnya meloloskan diri bersama
putranya, Pangeran Arya Purbaya, ke Hutan Lebak. Mereka masih melancarkan
serangan walaupun dengan bergerilya.
Tentara VOC terus mencari Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya yang
kemudian bergerak ke arah Bogor. Baru setelah melalui tipu muslihat, pada tahun
1683 Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap dan ditawan di Batavia sampai
meninggal pada tahun 1692.

F. Sebab-sebab Kehancuran VOC


Setelah berkuasa kurang dari 200 tahun, VOC tidak lagi dapat mempertahankan
hegemoni perdagangannya. Tahun 1799, VOC dibubarkan oleh Belanda. Sebab-sebab
VOC dibubarkan adalah sebagai berikut.
a. Faktor Internal
Persaingan dagang dan korupsi di semua tingkatan, menjadi penyebab hancurnya
VOC yaitu.
1) Menyunat keuntungan yang menjadi hak VOC.
2) Menyunat uang kas dan anggaran.
3) Menggelembungkan anggaran agar kelebihan masuk ke kantong sendiri.
4) Dalam mengangkat bupati melakukan pungutan liar.
5) Melakukan penyuapan untuk duduk di jabatan-jabatan 19 VOC.
6) Memaksa penduduk menyerahkan upeti.
7) Sengaja membiarkan pedagang liar beroperasi sehingga mendapatkan sumber
pungutan liar.
8) Memaksa rakyat menyerahkan hasil bumi lebih dari ketentuan.
9) Apabila menjadi karyawan VOC harus menyuap pejabat VOC.
10) Sebagai pejabat VOC berdagang rempah-rempah untuk dirinya sendiri, bukan atas
nama VOC.
11) Perdagangan gelap merajalela karena difasilitasi pejabat VOC yang korup karena
mereka mendapat setoran pungutan liar.
12) Anggaran penggajian pegawai semakin besar sedangkan penghasilan VOC semakin
menipis.
13) Biaya perang untuk menghadapi perlawanan raja/sultan sangat besar sehingga utang
VOC terus menumpuk. 1). Adanya persaingan dagang dari Eropa lain seperti
Inggris dan Prancis. 2). Pemasukan kecil serta utang menumpuk menyulitkan VOC
memberikan bagi hasil kepada pemegang saham VOC.

b. Faktor Eksternal
Belanda di Eropa dikuasai oleh Prancis tahun 1795 di bawah pimpinan Napoleon
Bonaparte yang kemudian mengganti namanya menjadi Republik Bataaf (1795-1806).
Perubahan politik ini memengaruhi VOC karena pemerintahan di bawah Napoleon
menyerukan “republikanisme-kebebasan kesetaraan”. Kebijakan VOC menurut
Napoleon bertentangan dengan kebebasan dan kesetaraan. Untuk itu, VOC harus
dibubarkan. VOC pun dibubarkan pada tahun 1799.

G. Kolonialisme Belanda di Indonesia


a. Indonesia Pasca-VOC
Ketika VOC dibubarkan pada tahun 1799, terjadi kekosongan kekuasaan di
Nusantara. Sementara itu, Inggris mengincar Nusantara untuk dikuasai. Saat itu antara
Belanda dengan Prancis menjadi sekutu di Eropa untuk menghadapi Inggris. Jawa
merupakan daerah koloni Belanda-Perancis yang belum dikuasai Inggris. Untuk itu,
Belanda-Prancis mengangkat seorang gubernur jenderal agar Inggris tidak bisa masuk
ke Jawa.
Tugas berat gubernur jenderal ini adalah menghadapi serangan Inggris secara
tiba-tiba. Dengan demikian, dalam kurun waktu 1806-1811, Nusantara menjadi
jajahan Prancis karena sekutu Belanda-Prancis dipimpin oleh Prancis walaupun
pejabat yang memerintah masih didominasi orang-orang Belanda. Adapun pejabat
tersebut adalah sebagai berikut.

1. Herman Willem Daendels (1808-1811)


Daendels memegang dua tugas, yaitu mempertahankan Pulau Jawa agar tidak
jatuh ke tangan Inggris dan memperbaiki tanah jajahan dari pengaruh korupsi. Untuk
itulah kekuasaan periode ini tidak semata-mata memperoleh keuntungan ekonomi,
tetapi mempertahankan hegemoni selama mungkin. Daendels menyadari bahwa sekutu
Prancis-Belanda tidak akan mampu menandingi kekuatan armada Inggris. Untuk itu,
Daendels menerapkan kebijakan sebagai berikut.
a. Membangun jalan raya dari Anyer (ujung barat Jawa) sampai Panarukan (ujung
timur Jawa) agar tentaranya dapat bergerak dengan cepat. Selain itu juga untuk
mengangkut kopi dari pedalaman Priangan ke Pelabuhan Cirebon. Dalam
pembangunan itu, Daendels menerapkan kebijakan menghidupkan lagi kerja wajib
(verplichte diensten) serta kebijakan wajib penyerahan hasil bumi (verplichte
leverantie).
b. Membangun benteng pertahanan, contohnya Benteng Lodewijk di Surabaya.
c. Membangun pangkalan angkatan laut di Merak dan Ujung Kulon.
d. Mendirikan pabrik senjata di Surabaya.
Daendels tidak menyukai raja-raja Jawa karena semangatnya yang anti feodalis.
Dia memang pengagum Napoleon Bonaparte yang menyebarkan paham
republikanisme, kebebasan, kesetaraan. Kebijakan yang antifeodal tampak pada
sikapnya terhadap Raja Solo dan Raja Yogyakarta, yakni:
a. Semua Raja Jawa harus mengakui Raja Belanda, junjungannya.
b. Mengangkat pejabat Belanda dengan sebutan minister.
c. Jika di VOC seorang residen Belanda ketika menghadap raja diperlakukan sama
seperti seorang bupati dengan duduk di lantai dan mempersembahkan sirih sebagai
tanda hormat kepada Raja 22 Jawa, maka minister tidak diperlakukan seperti itu.
Minister duduk sejajar dengan raja dan tidak perlu mempersembahkan sirih sebagai
tanda hormat.
d. Ketika minister datang ke keraton harus disambut raja.
e. Ketika bertemu di jalan dengan raja, minister tidak perlu turun dari kereta, tetapi
cukup membuka jendela.
Melihat tindakan Daendels seperti itu, Sultan Hamengkubuwono II membangkang
dan akhirnya Daendels menyerbu Yogyakarta lalu menurunkan Sultan
Hamengkubuwono II dan menggantikannya dengan Sultan Hamengkubuwono III yang
masih kecil.
Sikap yang kedua ialah terhadap Raja Banten. Daendels mengasingkan Raja
Banten karena menentang pembangunan jalan Anyer-Panarukan. Karena otoriter,
Daendels dipanggil ke Belanda. Ada dua versi sebab Daendels dipanggil, yakni
tenaganya diperlukan untuk memimpin tentara Prancis menghadapi Rusia atau
hubungannya yang buruk dengan raja-raja Jawa dikhawatirkan merugikan Belanda
jika Inggris menyerbu Jawa.

2. Jan Willem Janssen (1811-1811)


Pada masa Janssen menjabat (20 Februari sampai 18 September 1811), Inggris
menyerbu Jawa melalui darat dan laut sehingga Janssen menyerah di Tuntang (Jawa
Tengah) dengan membuat perjanjian Tuntang yang isinya sebagai berikut. a. Pulau
Jawa dan sekitarnya jatuh ke tangan Inggris. b. Tentara yang dahulu anak buah
Daendels menjadi tentara Inggris. c. Orang-orang Belanda dapat dipekerjakan oleh
Inggris. Dengan penjanjian Tuntang ini, berarti Nusantara jatuh ke tangan
pemerintahan Inggris.

H. Perlawanan Raja-raja Lokal terhadap Kolonialisme Belanda


Pascapembubaran VOC, perlawanan rakyat Indonesia terhadap kolonial Belanda
tidak surut, bahkan semakin luas. Dengan berbagai kelicikan dan tipu muslihat, pejabat
kolonial Belanda berhasil menangkap para pahlawan tersebut. Untuk lebih jelasnya,
berikut perlawanan terhadap Hindia Belanda
1. Sultan Hamengku Buwono II dan Raja Banten
Daendels tidak menyukai raja-raja Jawa karena semangatnya yang anti feodalis.
Dia memang pengagum Napoleon Bonaparte yang menyebarkan paham
republikanisme, kebebasan, kesetaraan. Kebijakan yang antifeodal tampak pada
sikapnya terhadap Raja Solo dan Raja Yogyakarta, yakni:
a. Semua Raja Jawa harus mengakui Raja Belanda, junjungannya.
b. Mengangkat pejabat Belanda dengan sebutan minister.
c. Jika di VOC seorang residen Belanda ketika menghadap raja diperlakukan sama
seperti seorang bupati dengan duduk di lantai dan mempersembahkan sirih sebagai
tanda hormat kepada Raja 22 Jawa, maka minister tidak diperlakukan seperti itu.
Minister duduk sejajar dengan raja dan tidak perlu mempersembahkan sirih sebagai
tanda hormat.
d. Ketika minister datang ke keraton harus disambut raja.
e. Ketika bertemu di jalan dengan raja, minister tidak perlu turun dari kereta, tetapi
cukup membuka jendela.
Melihat tindakan Daendels seperti itu, Sultan Hamengkubuwono II membangkang
dan akhirnya Daendels menyerbu Yogyakarta lalu menurunkan Sultan
Hamengkubuwono II dan menggantikannya dengan Sultan Hamengkubuwono III yang
masih kecil.
Sikap yang kedua ialah terhadap Raja Banten. Daendels mengasingkan Raja
Banten karena menentang pembangunan jalan Anyer-Panarukan. Karena otoriter,
Daendels dipanggil ke Belanda. Ada dua versi sebab Daendels dipanggil, yakni
tenaganya diperlukan untuk memimpin tentara Prancis menghadapi Rusia atau
hubungannya yang buruk dengan raja-raja Jawa dikhawatirkan merugikan Belanda
jika Inggris menyerbu Jawa

2. Perlawanan Kapitan Pattimura di Maluku (1817).


Menurut Konvensi London (1814), Kepulauan Maluku merupakan salah satu
wilayah kekuasaan Inggris yang harus diserahkan kepada Belanda. Pascapenyerahan,
pemerintah Belanda segera menunjuk Van Middelkoop sebagai gubernur di Kepulauan
Maluku.
Kembalinya Belanda ke Maluku menimbulkan kekecewaan sekaligus kemarahan
dari rakyat Maluku. Mengapa rakyat Maluku marah? Pertama, kolonial Belanda
diduga akan membebani rakyat dengan berbagai kewajiban yang memberatkan. Hal
yang serupa ini memang telah terjadi pada masa kekuasaan VOC. Kedua, rakyat takut
Belanda akan memonopoli perdagangan. Karena tidak ingin kembali menderita akibat
penguasaan Belanda, maka rakyat Maluku pun bersiap melakukan gerakan
perlawanan.
Pada 9 Mei 1817, rakyat Saparua mengangkat Thomas Matulessy sebagai
pemimpin gerakan perlawanan. Thomas Matulessy juga diberikan gelar Pattimura.
Pattimura dipilih karena dianggap mempunyai kecakapan bidang militer serta
kemampuan memimpin.
Kemampuan Pattimura atau Thomas Matulessy ini sudah tidak diragukan lagi. Ia
memiliki pengalaman yang cukup dalam memimpin pasukan militer. Pada masa
pemerintah Inggris di Maluku, Pattimura bekerja di dinas militer. Ia juga memiliki
pangkat terakhir sebagai mayor. Ketika dilaksanakan suatu pertemuan, para pejuang
Maluku bertekad untuk merebut Benteng Duurstede dan mengusir semua
penghuninya.
Aksi perlawanan untuk merebut Benteng Duurstede tersebut dimulai pada 15 Mei
1817. Kala itu, rakyat Maluku melakukan perlawanan terhadap pemerintah Hindia
Belanda, dimulai dari 56 perampasan perahu-perahu pos yang berada di Pelabuhan
Porto. Pascaperampasan tersebut, mereka mulai menyerang benteng. Pada saat itu,
banyak serdadu Belanda yang ditangkap dan dibunuh. Hal yang sama dialami juga
oleh Residen Porto, Van den Berg. Saat itu juga, Benteng Duurstede jatuh ke tangan
rakyat Maluku.
Gubernur Van Middelkoop terkejut mendengar kabar mengenai kejadian tersebut.
Ia lalu segera mengirimkan pasukan dari Ambon di bawah pimpinan Mayor Beetjes.
Pasukan ini didaratkan di Saparua pada 20 Mei 1817. Begitu pasukan Belanda
mendarat, rakyat Saparua dengan segera menyambutnya dengan serentetan tembakan.
Akibatnya, dengan terpaksa pasukan Beetjes memutar haluan dan membelokkannya ke
sebuah tikungan teluk yang terletak di sebelah kiri benteng.
Di tempat ini, lagi-lagi pasukan Beetjes kembali disambut dengan serangan yang
semakin gencar. Pasukan Beetjes pun menjadi kacau-balau. Sebaliknya, rakyat
Maluku semakin bersemangat dalam melakukan penyerangan terhadap Belanda.
Pasukan Belanda berusaha untuk mundur, tetapi pasukan Pattimura terus-menerus
mengejarnya. Di dalam pertempuran ini, Mayor Beetjes akhirnya tewas.
Sebagai pembalasan atas kekalahannya, Belanda lalu segera menempatkan kapal-
kapal perangnya di wilayah perairan Saparua. Serangan segera dilancarkan dengan
menembakkan meriam ke arah Duurstede yang dilakukan secara terus-menerus. Pada
2 Agustus 1817, pasukan Belanda berhasil menduduki Benteng Duurstede. Namun,
mereka gagal menangkap Pattimura. Oleh karena itu, Belanda segera melancarkan
politik adu domba.
Belanda mengumumkan kepada masyarakat tentang tawaran hadiah sebesar
1.000 gulden. Hadiah tersebut akan diberikan bagi siapa pun yang dapat
menginformasikan keberadaan Pattimura. Ternyata, jeratan yang dibuat Belanda ini
betul mengenai sasaran. Raja Boi adalah orang yang memberitahukan tempat
persembunyian Pattimura kepada pihak Belanda.
Setelah mengetahui lokasi persembunyian Pattimura, Belanda dengan segera
mengerahkan pasukannya. Ia membawa pasukan besar-besaran demi menangkap
Pattimura yang bersembunyi 57 di Bukit Boi. Pada 16 Desember 1918, Pattimura pun
dijatuhi dengan hukuman gantung di Benteng Nieuw Victoria di Kota Ambon.
Penangkapan Pattimura ini pun menjadi tanda berakhirnya perjuangan rakyat Maluku
terhadap Belanda.

3. Perlawanan Sultan Mahmud Badaruddin di Palembang (1817 - 1821)


Sultan Mahmud Badaruddin II lahir di Palembang pada tahun 1767. Ia adalah
pemimpin Kesultanan Palembang-Darussalam selama dua periode (1803-1813 dan
1818-1821) setelah masa pemerintahan ayahnya, Sultan Muhammad Bahauddin
(1776- 1803). Nama aslinya sebelum menjadi Sultan adalah Raden Hasan Pangeran
Ratu.
Sejak hasil tambang timah ditemukan di Bangka pada pertengahan abad ke-18,
Palembang menjadi incaran Inggris dan Belanda. Demi menjalin kontrak dagang,
bangsa Eropa berniat menguasai Palembang. Karena timbul persaingan antara Belanda
dan Inggris, maka Inggris melalui Raffles berusaha membujuk Sultan Mahmud
Badaruddin ll agar mengusir Belanda dari Palembang.
Sultan Mahmud menolak permintaan Raffles karena tidak ingin terlibat dalam
pertikaian Inggris dan Belanda. Namun, akhirnya terjalin kerja sama Inggris dan
Palembang dengan pihak Palembang lebih diuntungkan.
a. Peristiwa Loji Sungai Aur (1811).
Pada 14 September 1811, terjadi pembantaian di Loji Sungai Aur. Pihak
Belanda yang disalahkan atas pembataian tersebut. Namun, Belanda
beranggapan bahwa Inggris sengaja melakukannya agar Kesultanan
Palembang mengusir Belanda dari Palembang. Karena merasa terpojok,
Inggris di bawah pimpinan Raffles mengadakan perundingan dengan Sultan
Mahmud Badaruddin II dan berharap mendapatkan jatah Pulau Bangka yang
saat itu masuk wilayah Kesultanan Palembang. Pulau tersebut juga merupakan
penghasil timah yang diperebutkan Belanda dan Inggris. Namun, permintaan
Inggris jelas ditolak oleh Sultan Mahmud Badaruddin II.
b. Penyerbuan Inggris ke Palembang tahun 1812.
Hubungan Sultan Mahmud Badaruddin II dengan Raffles cukup baik
sebelum takluknya Belanda dari Inggris. Namun, pada 12 Maret 1812, Inggris
mengirim ekspedisi militer di bawah pimpinan Gillespie ke Palembang dan
memerangi Palembang dengan alasan menghukum Sultan Mahmud
Badaruddin atas penolakannya menyerahkan wilayah Pulau Bangka.
Dalam pertempuran itu, Inggris berhasil menduduki Palembang. Sultan
Mahmud Badaruddin pun menyingkir ke Muara Rawas di hulu Sungai Musi.
Pada 1811, Inggris mengalahkan Belanda dan memaksa Belanda
menandatangani Perjanjian Tuntang yang isinya sebagai berikut. 1)
Pemerintah Belanda menyerahkan Indonesia kepada Inggris di Kalkuta
(India). 2) Semua tentara Belanda menjadi tawanan perang Inggris. 3) Orang
Belanda dapat dipekerjakan dalam pemerintahan Inggris.
Dengan demikian, Palembang jatuh ke tangan Inggris. Setelah menguasai
Palembang, Inggris mengangkat Pangeran Adipati yang merupakan adik
kandung Sultan Mahmud Badaruddin ll sebagai Sultan Palembang setelah
menandatangani perjanjian dengan syarat-syarat yang menguntungkan
Inggris.
Inggris mengambil alih Pulau Bangka dan mengganti namanya menjadi
Duke of York’s Island dan menempatkan Meares sebagai residennya.
Sementara itu, Sultan Mahmud Badaruddin yang melarikan diri ke Muara
Rawas mulai menghimpun kekuatan dan mendirikan kubu di Muara Rawas
untuk menghadapi serangan dari Meares yang ingin menangkapnya.
Pada 28 Agustus 1812, terjadi pertempuran di Buay Langu yang
menyebabkan Meares tertembak dan tewas setelah dibawa ke Mentok.
Kedudukan residen kemudian diambil alih oleh Mayor Robinson. Dalam
upaya menangkap Sultan Mahmud Badaruddin, Mayor Robinson mengadakan
perundingan damai dengan Sultan Mahmud Badaruddin. Melalui serangkaian
perundingan, Sultan Mahmud Badaruddin kembali ke Palembang dan naik
takhta pada Juli 1813 sebelum kembali dilengserkan pada Agustus 1813.
Sementara itu, Mayor Robinson ditahan dan dipecat oleh Raffles karena
mandat yang diberikan tidak dijalankan dengan baik. Perlawanan Sultan
Mahmud Badaruddin bersama rakyat yang menggunakan stategi perang
bergerilya dengan ketangkasan dan kecerdasannya serta pemahaman terhadap
medan perang akhirnya mampu memaksa Inggris untuk mundur dan kalah.
Inggris pun mengakui kedaulatan Palembang sebagai kesultanan.
Konflik Sultan Mahmud Badaruddin ll dengan Belanda dimulai sejak
ditandatangani Perjanjian London antara Belanda dan Inggris yang membuat
Inggris menyerahkan daerah koloni di Nusantara, termasuk Palembang,
kepada Belanda. Serah terima dilakukan dua tahun kemudian, tepatnya pada
19 Agustus 1816 oleh Jhon Fendall sebagai pengganti Raffles.
Setelah serah terima kekuasaan, Belanda mengangkat Herman Warner
Muntinghe sebagai komisaris di Palembang. Tindakan pertama yang
dilakukannya adalah mendamaikan kedua sultan, Sultan Mahmud Badaruddin
II dan Husin Diauddin. Tindakannya berhasil. Sultan Mahmud Badaruddin II
berhasil naik takhta kembali pada 7 Juni 1818. Sementara itu, Husin Diauddin
yang pernah bersekutu dengan Inggris berhasil dibujuk oleh Muntinghe ke
Batavia sebelum akhirnya dibuang ke Cianjur.
Mutinghe melakukan penjajahan ke pedalaman wilayah Kesultanan
Palembang dengan alasan untuk inventarisasi wilayah, karena pada dasarnya
hanya untuk menguji kesetiaan Sultan Mahmud Badaruddin ll dan karena
ketidakpercayaan Mutinghe kepada Sultan Mahmud Badaruddin ll. Akan
tetapi, di daerah Muara Rawas, Mutinghe dan pasukannya diserang oleh
pengikut Sultan Mahmud Badaruddin ll.
Setelah kembali, Mutinghe bermaksud memaksa Kesultanan Palembang
agar menyerahkan putra mahkota sebagai jaminan agar Kesultanan Palembang
selalu setia terhadap pemerintah Belanda. Namun, sampai habis batas
penyerahannya, Kesultanan Palembang tidak menyerahkan putra mahkota dan
Sultan Mahmud Badaruddin menyerang Belanda yang didasari oleh sikap
Belanda yang terlalu mencampuri urusan kesultanan dan mengekang
kesultanan agar tunduk kepada Belanda. Sikap inilah yang menyebabkan
Sultan Mahmud Badaruddin dan Kesultanan Palembang beserta rakyat
menyatakan perang terhadap Belanda.
c. Perang Palembang I (1819)
Pertempuran Belanda melawan Kesultanan Palembang pecah pada 12 Juni
1819. Perlawanan itu dikenal dengan Pertempuran Menteng yang merupakan
pertempuran terdahsyat karena banyak korban berjatuhan dari pihak Belanda.
Pertempuran terus berlanjut, akan tetapi karena kuatnya pertahanan
Palembang yang sulit ditembus dan banyaknya korban di pihak Belanda,
maka Belanda memutuskan kembali ke Batavia dengan membawa kekalahan.
d. Perang Palembang II (1819)
Sekembalinya ke Batavia dan memberitahukan keadaaan peperangan ke
pemerintah di Batavia, Gubernur Jenderal Belanda saat itu, Van der Capellen,
mengadakan perundingan dengan Laksamana Constantijn Johan Wolterbeek
dan Mayjend. Hendrik Markus de Kock yang membahas tentang Kesultanan
Palembang yang sangat sulit ditaklukkan oleh Belanda. Akhirnya, diputuskan
untuk kembali menyerang Palembang.
Oleh karena itu, Belanda mengirimkan ekspedisi ke Palembang dengan
kekuatan penuh dengan tujuan menggulingkan Sultan Mahmud Badaruddin ll
dan menguasai Palembang secara penuh, serta mengganti Sultan Mahmud
Badaruddin dengan Pangeran Jayadiningrat yang didukung oleh Belanda.
Sebab, Belanda beranggapan bahwa selama Sultan Mahmud Badaruddin
masih berkuasa, maka Palembang tidak akan pernah bisa dikuasai seluruhnya
dan itu berarti Belanda tidak bisa menjangkau jalur perdagangan di Pulau
Bangka yang menjadi wilayah dari Kesultanan Palembang.
Kabar bahwa Belanda mengirimkan pasukan ekspedisi ke Palembang telah
didengar oleh Sultan Mahmud Badaruddin ll. Karena ia telah mengira akan
ada serangan balik, maka ia mempersiapkan pertahanan yang tangguh di
beberapa tempat di Sungai Musi sebelum masuk ke Palembang dengan dibuat
benteng-benteng pertahanan yang dikomandani oleh keluarga sultan.
Pada 21 Oktober 1819, pecah pertempuran di Sungai Musi antara Belanda
yang dipimpin oleh Wolterbeek dengan Kesultanan Palembang yang dipimpin
sendiri oleh Sultan Mahmud Badaruddin. Terjadi tembak-menembak meriam
di kedua belah pihak hingga Wolterbeek menghentikan pertempuran dan
memutuskan kembali ke Batavia.
e. Perang Palembang III (1821)
Setelah pertempuran pada 21 Oktober 1819, Sultan Mahmud Badaruddin
ll mengangkat anaknya, Pangeran Ratu, menjadi sultan di Kesultanan
Palembang dengan gelar Ahmad Najamuddin lll. Hal ini dilakukan karena
Sultan Mahmud Badaruddin ll hanya ingin terfokus untuk melawan Belanda
dan mengusirnya dari Tanah Palembang dan tidak diganggu oleh urusan
Kesultanan Palembang.
Namun, persiapan benteng dan pertahanan Sultan Mahmud Badaruddin ll
di Sungai Musi sudah diketahui oleh Belanda melalui mata-matanya yang
ternyata adalah dari kalangan bangsawan dan orang Arab di Palembang. Hal
ini menyebabkan Belanda mempersiapkan pasukan yang besar dalam rangka
menghadapi Kesultanan Palembang.
Pada 16 Mei 1821, Belanda di bawah pimpinan De Kock memasuki
sungai Musi dan pertempuran baru terjadi pada 11- 20 Juni 1821. Belanda
kembali mengalami kekalahan, akan tetapi hal ini tidak menyurutkan
semangat Belanda. Belanda kembali menyusun strategi dalam menghadapi
Kesultanan Palembang. Hingga akhirnya pada 24 Juni 1821, yang pada saat
itu bertepatan dengan bulan Ramadan, Belanda menyerang Palembang pada
dini hari.
Terjadilah pertempuran hebat antara pemerintah Belanda dengan rakyat
Palembang. Akibat serangan fajar tersebut, Palembang dapat dilumpuhkan,
tetapi belum dapat dikuasai sepenuhnya. Baru pada 25 Juni 1821, Palembang
jatuh ke tangan Belanda. Maka, resmilah kolonialisme Belanda di Palembang.
Setelah melakukan perlawanan dan menderita kekalahan akibat serangan
tiba-tiba dari Belanda, Palembang pun dapat dikuasai oleh Belanda.
Sementara itu, Sultan Mahmud Badaruddin ll dan keluarganya menjadi
tawanan Belanda. Pada 13 Juli 1821, Sultan Mahmud Badaruddin dan
keluarganya dikirim ke Batavia sebelum dipindahkan ke Ternate pada 26
September 1821 sampai Sultan Mahmud Badaruddin ll meninggal di Ternate
pada 26 September 1852.
Sebagian keluarga sultan yang tidak tertangkap mengasingkan diri ke
Marga Sembilan sambil melanjutkan perlawanan atas Belanda waluapun tidak
sehebat Sultan Mahmud Badaruddin ll. Karena banyaknya perlawanan
Kesultanan Palembang kepada Belanda, maka Belanda membekukan
Kesultanan Palembang.

4. Perlawanan I Gusti Ketut Jelantik di Bali (1846 - 1849)


I Gusti Ketut Jelantik adalah putra dari I Gusti Nyoman Jelantik Raya. Ia
diangkat sebagai patih di Kerajaan Buleleng pada tahun 1828 dan meninggal pada
tahun 1849. I Gusti Ketut Jelantik dikenal luas karena keberaniannya dalam melawan
penjajah Belanda pada saat itu. Sikap dan tindakannya dinilai berani karena menolak
tuntutan Belanda dalam sebuah perundingan yang menuntut agar Kerajaan Buleleng
mengganti kerugian kapal yang dirusak dan mengakui kedaulatan pemerintah Hindia
Belanda. Pada saat perundingan itu, pihak Belanda diwakili oleh JPT Mayor
Komisaris Hindia Belanda, sedangkan Kerajaan Buleleng diwakili oleh Raja
Buleleng, I Gusti Ngurah Mada Karangasem, dan Patih Agung, I Gusti Ketut
Jelantik.
I Gusti Ketut Jelantik marah besar dengan tuntutan pihak Belanda agar
kerajaannya tunduk kepada kolonial Belanda. Oleh sebab itu, ia berucap, “Tidak bisa
menguasai negeri orang lain hanya dengan sehelai kertas saja, tapi harus diselesaikan
di atas ujung keris. Selama saya hidup, kerajaan ini tidak akan pernah mengakui
kedaulatan Belanda.”
Belanda terus mencoba mencari celah untuk melawan I Gusti Ketut Jelantik, salah
satunya dengan memanfaatkan Raja Klungkung. Dalam pertemuan yang berlangsung
pada 12 Mei 1845, Belanda menuntut agar Buleleng mengganti rugi kapal dan
menghapuskan hak “tawan karang”, yakni merampas perahu yang terdampar di
kawasan Buleleng. I Gusti Ketut Jelantik marah dengan tuntutan Belanda itu, bahkan
ia menghunuskan sebilah keris pada kertas perjanjian.
Pada 27 Juni 1846, Belanda melakukan serangan ke Kerajaan Buleleng.
Akhirnya, Kerajaan Buleleng jatuh ke tangan Belanda pada 29 Juni 1846. Kemudian,
Rraja Buleleng dan Patih I Gusti Ketut Jelantik mundur ke Desa Jagaraga untuk
menyusun kekuatan. Patih I Gusti Ketut Jelantik adalah seseorang yang ahli strategi
perang dan menjadi sosok yang disegani oleh raja-raja lain karena sikapnya yang
teguh pendirian. Hal ini ditunjukkan ketika mempertahankan Desa Jagaraga, Patih I
Gusti Ketut Jelantik terus memperkuat pasukannya dan mendapat bantuan dari
kerajaan lain seperti Klungkung, Karangasem, Badung, dan Mengwi.
Pada 6-8 Juni 1848, pihak Belanda melakukan serangan kedua dengan
mendaratkan pasukannya di Sangsit. Bali yang dipimpin oleh I Gusti Ketut Jelantik
mengerahkan pasukan Benteng Jagaraga yang merupakan benteng terkuat bila
dibandingkan dengan empat benteng lainnya. Sedangkan pihak Belanda dipimpin
oleh Jendral Van Der Wijck. Namun, pihak Belanda gagal menembus benteng yang
dipimpin oleh I Gusti Ketut Jelantik dan hanya mampu merebut satu benteng saja,
yakni benteng sebelah timur Sangsit yang berada dekat Bungkulan.
Adanya kekalahan ini semakin mengangkat semangat raja-raja lainnya untuk
semakin mengerahkan kekuatan dalam melawan Belanda. Pasukan Patih Jelantik ini
menggegerkan parlemen Belanda yang kemudian melancarkan serangan besar-
besaran yang dipimpin oleh Jendral Michiels pada 31 Maret 1849. Belanda
menyerang Bali dengan menembakkan meriam-meriamnya.
Pada 7 April 1849, Raja Buleleng dan Patih Jelantik bersama 12 ribu prajurit
berhadapan dengan Jendral Michiels. Karena kalah persenjataan, Bali terdesak dan
mundur sampai Pegunungan Batur Kintamani. Jagaraga akhirnya jatuh ke tangan
Belanda pada 16 April 1849. I Gusti Ketut Jelantik gugur pada serangan di
Karangasem oleh Belanda yang didatangkan dari Lombok dan menyerang hingga ke
Pegunungan Bale Punduk. Gugurnya I Gusti Ketut Jelantik membuat perlawanan
raja-raja Bali mulai mengalami kemunduran. Daerah Bali dapat dengan mudah
dikuasai. Hanya tersisa Bali Selatan yang masih melakukan perlawanan.

5. Perlawanan Pangeran Antasari di Kalimantan (1859 - 1862)


Pangeran Antasari lahir pada tahun 1797 di Banjar. Ayahnya bernama Pangeran
Masohut (Mas’ud). Ayahnya merupakan anak dari Pangeran Amir yang merupakan
anak dari Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang gagal naik takhta pada tahun
1785. Ibunya bernama Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman. Semasa muda, Pangeran
Antasari mempunyai nama Gusti Inu Kartapati. Pangeran Antasari memiliki tiga
putra dan delapan putri. Ia memiliki saudara perempuan yang bernama Ratu Antasari
yang menikah dengan Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam, tetapi meninggal
setelah melahirkan calon pewaris Kesultanan Banjar yang diberi nama Rakhmatillah,
yang juga meninggal semasa masih bayi.
Penjajahan kolonial Belanda ketika menduduki wilayah Kalimantan tepatnya
berada di Banjar. Strategi yang mereka jalankan dikenal dengan nama politik divide
et impera, yang berarti membagi, memecah belah, dan menguasai atau yang dikenal
dengan istilah “politik adu domba”. Hal tersebut bertujuan untuk menguasai kerajaan
di Banjar. Pada tahun 1859, Sultan Tamjid diangkat menjadi Sultan Kerajaan Banjar,
padahal yang berhak naik takhta adalah Pangeran Hidayat. Sultan Tamjid tidak
disukai oleh rakyat karena terlalu memihak kepada Belanda. Belanda sengaja
memberikan dukungannya kepada Sultan Tamjid. Hal ini menunjukkan campur
tangan Belanda sudah sangat meresahkan, bahkan dalam pengangkatan seorang
sultan pun merekalah yang menentukan.
Sebagai salah seorang keturunan Raja Banjarmasin yang dibesarkan di luar istana,
Pangeran Antasari merasa prihatin dengan situasi tersebut. Walaupun ia keluarga
Sultan Banjar, tetapi tidak pernah hidup dalam lingkungan istana. Karena dibesarkan
di tengah-tengah rakyat biasa, Antasari menjadi dekat dengan rakyat, mengenal
perasaan, dan mengetahui penderitaan mereka. Pada waktu itu, kekuasaan kolonial
Belanda sedang berusaha untuk melemahkan Kerajaan Banjar.
Belanda mengadu domba golongan-golongan yang ada di dalam istana sehingga
mereka terpecah-pecah dan bermusuhan. Maka, Antasari pun berinisiatif untuk
mengusir penjajah dari Kerajaan Banjar tanpa kompromi. Pangeran Antasari
berusaha membela hak Pangeran Hidayat, lalu bersekutu dengan kepala-kepala
daerah Hulu Sungai, Martapura, Barito, Pleihari, Kahayan, Kapuas, dan daerah lain.
Mereka semuanya bertekad untuk mengangkat senjata mengusir Belanda dari
Kerajaan Banjar. Sikap anti terhadap Belanda muncul akibat pergantian kekuasaan di
istana yang menimbulkan keresahan di antara rakyat.
Pada 25 April 1859, Perang Banjar terjadi saat Pangeran Antasari beserta dengan
sekitar 6.000 pasukan menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron.
Berawal dari peperangan tersebut, peperangan demi peperangan terjadi di seluruh
wilayah Kerajaan Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari yang dibantu dengan
para panglima dan pasukannya. Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di
Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tabalong, Tanah Laut, dan Sungai Barito
sampai ke Puruk Cahu.
Pertempuran yang terjadi antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan
Belanda berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang mendapat
bantuan dari Batavia menang dalam persenjataan sehingga berhasil membuat mundur
pasukan Khalifatul Mukminin dan memindahkan pusat benteng pertahanannya di
Muara Teweh.
Pangeran Antasari berhasil mengerahkan tenaga rakyat dan mengobarkan
semangat mereka sehingga Belanda menghadapi kesulitan. Karena hebatnya
perlawanan, maka Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, tetapi ia
tetap pada pendiriannya. Ini dijelaskan dalam surat yang ditulisnya untuk Letnan
Kolonel Gustave Verspijk di Banjarmasin tanggal 20 Juli 1861, “... dengan tegas
kami terangkan kepada tuan: kami tidak setuju terhadap usul minta ampun dan kami
berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan) ”
Pada 14 Maret 1862, Pangeran Antasari diangkat sebagai pimpinan pemerintahan
tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar
Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin di hadapan para kepala suku Dayak
dan adipati penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas, dan Kahayan, yaitu Tumenggung
Surapati/Tumengung Yang Pati Jaya Raja. Pangeran Antasari juga merupakan
pemimpin Suku Bakumpai, Kutai, Maanya, Murung, Ngaju, Pasir, Siang, Sihong,
dan beberapa suku yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang Sungai
Barito.
Sebagai salah satu pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai sepupu
dari pewaris Kesultanan Banjar, untuk mengukuhkan kedudukannya sebagai
pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Banjar bagian utara (Muara Teweh dan
sekitarnya), maka pada 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadan 1278 Hijriah,
dimulai dengan seruan, “Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah.” Seluruh rakyat
Banjar mengangkat Pangeran Antasari menjadi Panembahan Amiruddin Khalifatul
Mukminini, yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang, dan pemuka agama
tertinggi.
Dalam keadaan sangat terjepit, Pangeran Hidayat akhirnya menyerah kepada
Belanda. Kepala-kepala daerah lain pun banyak pula yang menyerah. Pangeran
Antasari tetap melanjutkan perjuangan. Baginya, pantang untuk berdamai dengan
Belanda, apalagi menyerah. Ia terus melanjutkan perjuangannya dengan berperang di
kawasan Kalimantan Selatan dan Tengah. Pada Oktober 1862, suatu serangan besar-
besaran telah direncanakan.
Pasukan telah disiapkan, wabah penyakit cacar menyerang dan melemahkan
pasukan ini beserta Antasari juga terkena wabah tersebut. Pangeran Antasari
meninggal dunia pada 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok,
Sampirang. Perjuangannya dilanjutkan oleh putranya yang bernama Muhammad
Seman.

6. Perlawanan Teuku Umar di Aceh (1873-1899)


Teuku Umar dilahirkan di Meulaboh, Aceh Barat, pada tahun 1854. Ia anak
seorang uleebalang (hulubalang) bernama Teuku Achmad Mahmud dari
perkawinannya dengan adik perempuan Raja Meulaboh. Umar mempunyai dua orang
saudara perempuan dan tiga saudara laki-laki.
Nenek moyang Umar adalah Datuk Makhudum Sati yang berasal dari
Minangkabau. Dia merupakan keturunan dari Laksamana Muda Nanta yang
merupakan perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar
Muda di Pariaman. Salah seorang keturunan Datuk Makhudum Sati pernah berjasa
terhadap Sultan Aceh, yang pada waktu itu terancam oleh seorang Panglima Sagi
yang ingin merebut kekuasaannya. Berkat jasanya tersebut, orang itu diangkat
menjadi Uleebalang VI Mukim dengan gelar Teuku Nan Ranceh. Teuku Nan Ranceh
mempunyai dua orang putra, yaitu Teuku Nanta Setia dan Teuku Ahmad Mahmud.
Sepeninggal Teuku Nan Ranceh, Teuku Nanta Setia menggantikan kedudukan
ayahnya sebagai Uleebalang VI Mukim. la mempunyai anak perempuan bernama Cut
Nyak Dhien.
Teuku Umar dari kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, pemberani, dan kadang
suka berkelahi dengan teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat yang keras dan
pantang menyerah dalam menghadapi segala persoalan. Teuku Umar tidak pernah
mendapatkan pendidikan formal. Meski demikian, ia mampu menjadi seorang
pemimpin yang kuat, cerdas, dan pemberani.
Ketika Perang Aceh meletus pada 1873, Teuku Umar ikut serta berjuang bersama
pejuang-pejuang Aceh lainnya. Ketika itu, umurnya baru menginjak 19 tahun.
Mulanya ia berjuang di kampungnya sendiri, kemudian dilanjutkan ke Aceh Barat.
Pada umur yang masih muda ini, Teuku Umar sudah diangkat sebagai keuchik
gampong (kepala desa) di daerah Daya Meulaboh.
Pada usia 20 tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang
Glumpang. Untuk meningkatkan derajat dirinya, Teuku Umar kemudian menikah
lagi dengan Nyak Malighai, putri dari Panglima Sagi XXV Mukim. Pada tahun 1880,
Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dhien, putri pamannya, Teuku Nanta Setia.
Suami Cut Nya Dien, yaitu Teuku Ibrahim Lamnga meninggal dunia pada Juni 1878
dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Keduanya kemudian berjuang
bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda.
Teuku Umar kemudian mencari strategi untuk mendapatkan senjata dari pihak
Belanda. Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek Belanda. Belanda
berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Gubernur Van Teijn pada
saat itu juga bermaksud memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati
rakyat Aceh.
Teuku Umar kemudian masuk dinas militer. Ketika bergabung dengan Belanda,
Teuku Umar menundukkan pos-pos pertahanan Aceh. Hal tersebut dilakukan Teuku
Umar secara pura-pura untuk mengelabuhi Belanda agar Teuku Umar diberi peran
yang lebih besar. Taktik tersebut berhasil. Sebagai kompensasi atas keberhasilannya
itu, permintaan Teuku Umar untuk menambah 17 orang panglima dan 120 orang
prajurit, termasuk seorang Pang Laot (Panglima Laut) sebagai tangan kanannya,
dikabulkan.
Tahun 1884, Kapal Inggris “Nicero” terdampar. Kapten dan awak kapalnya
disandera oleh Raja Teunom. Raja Teunom menuntut tebusan senilai 10 ribu dolar
tunai. Oleh pemerintah kolonial Belanda, Teuku Umar ditugaskan untuk
membebaskan kapal tersebut, karena kejadian tersebut telah mengakibatkan
ketegangan antara Inggris dengan Belanda.
Teuku Umar menyatakan bahwa merebut kembali Kapal “Nicero” merupakan
pekerjaan yang berat. Sebab, tentara Raja Teunom sangat kuat, sehingga Inggris
sendiri tidak dapat merebutnya kembali. Namun, ia sanggup merebut kembali asal
diberi logistik dan senjata yang banyak sehingga dapat bertahan dalam jangka waktu
74 yang lama. Dengan perbekalan perang yang cukup banyak, Teuku Umar
berangkat dengan Kapal “Bengkulen” ke Aceh Barat dengan membawa 32 orang
tentara Belanda dan beberapa panglimanya.
Tidak lama, Belanda dikejutkan berita yang menyatakan bahwa semua tentara
Belanda yang ikut dibunuh di tengah laut. Seluruh senjata dan perlengkapan perang
lainnya dirampas. Sejak itu, Teuku Umar kembali memihak pejuang Aceh untuk
melawan Belanda. Teuku Umar juga menyarankan Raja Teunom agar tidak
mengurangi tuntutannya.
Teuku Umar membagikan senjata hasil rampasan kepada tentara Aceh dan
memimpin kembali perlawanan rakyat. Teuku Umar juga berhasil merebut kembali
daerah 6 Mukim dari tangan Belanda. Nanta Setia, Cut Nyak Dhien, dan Teuku
Umar kembali ke daerah 6 Mukim dan tinggal di Lampisang, Aceh Besar, yang juga
menjadi markas tentara Aceh.
Dua tahun setelah insiden Nicero, pada 15 Juni 1886 merapatlah ke Bandar
Rigaih Kapal “Hok Canton” yang dinakhodai pelaut Denmark bernama Kapten
Hansen, dengan maksud menukarkan senjata dengan lada. Hansen bermaksud
menjebak Umar untuk naik ke kapalnya, menculiknya, dan membawa lari lada yang
bakal dimuat ke Pelabuhan Ulee Lheu dan diserahkan kepada Belanda yang telah
menjanjikan imbalan sebesar $ 25 ribu untuk kepala Teuku Umar.
Umar curiga dengan syarat yang diajukan Hansen dan mengirim utusan. Hansen
berkeras Umar harus datang sendiri. Teuku Umar lalu mengatur siasat. Pagi dini hari,
salah seorang panglima bersama 40 orang prajuritnya menyusup ke kapal. Hansen
tidak tahu kalau dirinya sudah dikepung. Paginya, Teuku Umar datang dan menuntut
pelunasan lada sebanyak $ 5 ribu. Namun, Hansen ingkar janji dan memerintahkan
anak buahnya menangkap Umar.
Teuku Umar sudah siap dan memberi isyarat kepada anak buahnya. Hansen
berhasil dilumpuhkan dan tertembak ketika berusaha melarikan diri. Nyonya Hansen
dan John Fay ditahan sebagai sandera, sedangkan awak kapal dilepas. Belanda sangat
marah karena rencananya gagal. Perang pun berlanjut. Pada tahun 1891, Teungku
Chik Di Tiro dan Teuku Panglima Polem VIII Raja Kuala (ayah dari Teuku Panglima
Polem IX Muhammad Daud) gugur dalam pertempuran. Belanda sebenarnya pun
sangat kesulitan karena biaya perang terlalu besar dan lama.
Teuku Umar sendiri merasa perang ini sangat menyengsarakan rakyat. Rakyat
tidak bisa bekerja sebagaimana biasanya, petani tidak dapat lagi mengerjakan sawah
ladangnya. Teuku Umar pun mengubah taktik dengan cara menyerahkan diri kembali
kepada Belanda. September 1893, Teuku Umar menyerahkan diri kepada Gubernur
Deykerhooff di Kutaraja bersama 13 orang panglima bawahannya setelah mendapat
jaminan keselamatan dan pengampunan. Teuku Umar dihadiahi gelar “Teuku Johan
Pahlawan Panglima Besar Nederland”.
Istrinya, Cut Nyak Dhien, sempat bingung, malu, dan marah atas keputusan
suaminya itu. Umar suka menghindar apabila terjadi percekcokan. Teuku Umar
menunjukkan kesetiaannya kepada Belanda dengan sangat meyakinkan. Setiap
pejabat yang datang ke rumahnya selalu disambut dengan menyenangkan. Ia selalu
memenuhi setiap panggilan dari gubernur Belanda di Kutaraja dan memberikan
laporan yang memuaskan sehingga ia mendapat kepercayaan yang besar dari
gubernur Belanda.
Kepercayaan itu dimanfaatkan dengan baik demi kepentingan perjuangan rakyat
Aceh selanjutnya. Sebagai contoh, dalam peperangan, Teuku Umar hanya melakukan
perang pura-pura dan hanya memerangi Uleebalang yang memeras rakyat (misalnya
Teuku Mat Amin). Pasukannya disebarkan bukan untuk mengejar musuh, melainkan
untuk menghubungi para pemimpin pejuang Aceh dan menyampaikan pesan rahasia.
Pada suatu hari di Lampisang, Teuku Umar mengadakan pertemuan rahasia yang
dihadiri para pemimpin pejuang Aceh untuk membicarakan rencana Teuku Umar
untuk kembali memihak Aceh dengan membawa lari semua senjata dan
perlengkapan perang milik Belanda yang dikuasainya. Cut Nyak Dhien pun sadar
bahwa selama ini suaminya telah bersandiwara di hadapan Belanda untuk
mendapatkan keuntungan demi perjuangan Aceh. Bahkan, gaji yang diberikan
Belanda secara diam-diam dikirim kepada para pemimpin pejuang untuk membiayai
perjuangan. Pada 30 Maret 1896, Teuku Umar keluar dari dinas militer Belanda
dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500
kilogram amunisi, dan uang 18.000 dolar.
Berita larinya Teuku Umar menggemparkan pemerintah kolonial Belanda.
Gubernur Deykerhooff dipecat dan digantikan oleh Jenderal Vetter. Tentara baru
segera didatangkan dari Pulau Jawa. Vetter mengajukan ultimatum kepada Umar
untuk menyerahkan kembali semua senjata kepada Belanda. Umar tidak mau
memenuhi tuntutan itu. Maka, pada 26 April 1896, Teuku Johan Pahlawan dipecat
sebagai Uleebalang Leupung dan Panglima Perang Besar Gubernemen Hindia
Belanda.
Teuku Umar mengajak uleebalang-uleebalang yang lain untuk memerangi
Belanda. Seluruh komando perang Aceh mulai tahun 1896 berada di bawah pimpinan
Teuku Umar. la dibantu oleh istrinya, Cut Nyak Dhien, dan Panglima Pang Laot serta
mendapat dukungan dari Teuku Panglima Polem Muhammad Daud. Pertama kali
dalam sejarah Perang Aceh, tentara Aceh dipegang oleh satu komando.
Pada Februari 1898, Teuku Umar tiba di wilayah VII Mukim Pidie bersama
seluruh kekuatan pasukannya lalu bergabung dengan Panglima Polem. Pada 1 April
1898, Teuku Panglima Polem bersama Teuku Umar dan para Uleebalang serta para
ulama terkemuka lainnya menyatakan sumpah setianya kepada Raja Aceh Sultan
Muhammad Daud Syah. Pada Februari 1899, Jenderal Van Heutsz mendapat laporan
dari mata-matanya mengenai kedatangan Teuku Umar di Meulaboh dan segera
menempatkan sejumlah pasukan yang cukup kuat di perbatasan Meulaboh. Malam
menjelang 11 Februari 1899, Teuku Umar bersama pasukannya tiba di pinggiran
Kota Meulaboh. Pasukan Aceh terkejut ketika pasukan Van Heutsz mencegat. Posisi
pasukan Umar tidak menguntungkan dan tidak mungkin mundur. Satu-satunya jalan
untuk menyelamatkan pasukannya adalah bertempur.
Dalam pertempuran itu, Teuku Umar gugur terkena peluru musuh yang
menembus dadanya. Jenazahnya dimakamkan di Mesjid Kampung Mugo di Hulu
Sungai Meulaboh. Mendengar berita kematian suaminya, Cut Nyak Dhien sangat
bersedih. Namun, itu bukan berarti perjuangan telah berakhir. Dengan gugurnya
suaminya tersebut, Cut Nyak Dhien bertekad untuk meneruskan perjuangan rakyat
Aceh melawan Belanda. Ia pun mengambil alih pimpinan perlawanan pejuang Aceh.
7. Perlawanan Sisingamangaraja (1878 - 1907)
Sisingamangaraja XII (lahir di Bakara, 18 Februari 1845, meninggal di Dairi, 17
Juni 1907 pada umur 62 tahun) adalah seorang raja di Negeri Toba, Sumatra Utara
dan pejuang yang berperang melawan Belanda. Sebelumnya, ia dimakamkan di
Tarutung Tapanuli Utara, lalu dipindahkan ke Soposurung, Balige pada tahun 1953.
Nama kecil Sisingamangaraja XII adalah Patuan Bosar, yang kemudian digelari
Ompu Pulo Batu. Ia juga dikenal dengan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu. Ia naik
takhta pada tahun 1876 untuk menggantikan ayahnya, Sisingamangaraja XI yang
bernama Ompu Sohahuaon. Selain itu, ia juga disebut juga sebagai Raja Imam.
Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di Negeri Toba bersamaan
dengan dimulainya open door policy (politik pintu terbuka) Belanda dalam
mengamankan modal asing yang beroperasi di Hindia Belanda. Ia tidak mau
menandatangani Korte Verklaring (perjanjian pendek) di Sumatra, terutama
Kesultanan Aceh dan Toba karena kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan
negara-negara Eropa lainnya. Di sisi lain, Belanda sendiri berusaha untuk
menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut. Politik yang berbeda ini
mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang
berkepanjangan hingga puluhan tahun.
Sisingamangaraja adalah keturunan seorang pejabat yang ditunjuk oleh Raja
Pagaruyung yang sangat berkuasa ketika itu, yang datang berkeliling Sumatra Utara
untuk menempatkan pejabat-pejabatnya. Dalam sepucuk surat kepada Marsden
bertahun 1820, Raffles menulis bahwa para pemimpin Batak menjelaskan kepadanya
mengenai Sisingamangaraja yang merupakan keturunan Minangkabau dan bahwa di
Silindung terdapat sebuah arca batu berbentuk manusia sangat kuno yang diduga
dibawa dari Pagaruyung. Sampai awal abad ke-20, Sisingamangaraja masih
mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin Minangkabau melalui
perantaraan Tuanku Barus yang bertugas menyampaikannya kepada pemimpin
Pagaruyung.
Tahun 1877, para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan
kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII.
Kemudian, pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat untuk tidak hanya
menyerang markas Sisingamangaraja XII di Bakara, tetapi sekaligus menaklukkan
seluruh Toba.
Pada 6 Februari 1878, pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman
penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian, beserta penginjil Nommensen dan
Simoneit sebagai penerjemah, pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk
menyusun benteng pertahanan. Namun, kehadiran tentara kolonial ini telah
memprovokasi Sisingamangaraja XII yang kemudian mengumumkan pulas (perang)
pada 16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai
dilakukan.
Pada 14 Maret 1878, datang Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang
dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari Sibolga. Pada 1 Mei
1878, Bakkara, pusat pemerintahan Sisingamangaraja diserang pasukan kolonial dan
pada 3 Mei 1878, seluruh Bakkara dapat ditaklukkan. Namun, Sisingamangaraja XII
beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi.
Sementara para raja yang tertinggal di Bakara dipaksa Belanda untuk bersumpah
setia dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia
Belanda.
Walaupun Bakara telah ditaklukkan, Sisingamangaraja XII terus melakukan
perlawanan secara gerilya. Namun, sampai akhir Desember 1878, beberapa kawasan
seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, serta Gurgur juga dapat
ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belanda. Di antara tahun 1883-1884,
Sisingamangaraja XII berhasil melakukan konsolidasi pasukannya. Kemudian,
bersama pasukan bantuan dari Aceh, secara ofensif menyerang kedudukan Belanda,
di antaranya Uluan dan Balige pada Mei 1883 serta Tangga Batu pada tahun 1884.
Sisingamangaraja XII meninggal pada 17 Juni 1907 dalam sebuah pertempuran
dengan Belanda di pinggir Bukit Lae Sibulbulen, di suatu desa yang bernama Si
Ennem Kodn, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang
sekarang. Sebuah peluru menembus dadanya akibat tembakan pasukan Belanda yang
dipimpin Kapten Hans Christoffel. Menjelang napas terakhir, ia tetap berucap, “Ahu
(aku) … Sisingamangaraja.”
Turut gugur pada waktu itu dua putranya, Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta
putrinya, Lopian. Sementara itu, keluarganya yang tersisa ditawan di Tarutung.
Sisingamangaraja XII sendiri kemudian dikebumikan Belanda secara militer pada 22
Juni 1907 di Silindung setelah sebelumnya mayatnya diarak dan dipertontonkan
kepada masyarakat Toba. Makamnya kemudian dipindahkan ke Makam Pahlawan
Nasional di Soposurung, Balige sejak 14 Juni 1953.

I. Konflik Inggris Dengan Belanda Memperebutkan Pulau Jawa


Pada bulan Mei 1811 Daendels dipanggil Kaisar Napoleon untuk kembali ke
Belanda. Kedatangan gubernur jenderal yang baru pengganti Daendels membawa
angin segar bagi raja-raja Jawa. Karakter gubernur jenderal yang baru ini berbanding
terbalik dengan Daendels sehingga cepat mendapatkan simpati di lingkungan yang
dipimpinnya. Jan Willem Janssens memang mempunyai karakter yang jujur,
kebapakan, dan sabar.
Janssens memerintah sejak tanggal 6 Mei 1811 dan tidak lagi memusatkan
perhatian kepada raja-raja Jawa tetapi pada mempersiapkan strategi dan infrastruktur
pertahanan Jawa dalam rangka menghadapi invansi pasukan Inggris yang sudah
semakin dekat.
Karena hubungan yang baik dengan raja-raja Jawa Janssens meminta bantuan militer
kepada raja-raja Jawa, termasuk juga Kesultanan Yogyakarta. Selain bantuan militer
Janssens tidak meminta bantuan dalam bentuk apa pun. Sikap Janssens ini
dipertahankan sampai ia menandatangani Kapitulasi Tuntang pada 18 September
1811 dan menyerahkan wilayah koloni Jawa kepada Inggris.
Untuk menghadapi Belanda di Jawa, Inggris sudah bersiap di Malaka dengan
kekuatan 12.000 serdadu terlatih yang didatangkan langsung dari resimen-resimen
garis depan, batalion-batalion Sepoy Benggala dan pasukan artileri berkuda dari
Madras.
Inggris di bawah komando Raffles berkirim surat kepada raja-raja Jawa yang
isinya Inggris siap membantu mereka untuk mengakhiri segala sesuatu yang
berkaitan antara raja-raja Jawa dengan rezim Perancis-Belanda. Bukan itu saja,
Raffles juga berkirim surat kepada Sultan Sepuh dan berjanji akan memulihkan
martabatnya dan mengembalikan kekuasaannya sebagai raja. Para raja Jawa itu juga
diminta membatalkan atau tidak membuat perjanjian apa pun dengan rezim Belanda
dan menunggu saja kedatangan Inggris. Dengan janji Raffles itu seakan-akan Inggris
berbeda dengan Belanda yang kejam dan serakah. Dengan adanya surat itu pupus
sudah harapan Rezim Belanda di bawah kekuasaan Janssens untuk meminta bantuan
raja-raja Jawa, walaupun hanya berupa tentara untuk melawan Inggris.
Untuk menghadapi tentara Inggris, rezim Belanda menyiapkan 17.774 tentara
warisan Daendels. Tentara sejumlah itu merupakan jerih payah Daendels untuk
mengorganisasi pertahanan militer yang semula hanya berjumlah 7.000 tentara. Pada
3 Agustus 1811 tentara Inggris yang dipimpin oleh Kolonel (kelak Mayor Jenderal
Sir) Samuel Gibbs melakukan pendaratan besar-besaran. Sejumlah kapal dikerahkan
untuk menggempur rezim Belanda di Jawa. Ada 81 kapal baik kapal angkut maupun
kapal perang mendarat di pantai Batavia, di Cilincing, dan pada 8 Agustus 1811 Kota
Tua (Batavia) berhasil direbut Raffles.
Janssens berusaha mempertahankan kekuasaannya bersama dengan tentaranya di
Meester Cornelis (sekarang Jatinegara), akan tetapi gelombang tentara Inggris yang
dahsyat tidak dapat dibendung Janssens. Dalam pertempuran itu, tentara Belanda
dibuat berantakan sehingga 50 persen serdadu Eropa dan Ambon tewas. Tentara
bantuan dari Jawa dan Madura juga 80 persen tewas.
Pertempuran tidak seimbang itu kelak diabadikan di daerah sekitar Jatinegara
sebagai nama daerah Rawabangke atau Rawaangke tempat di mana para korban
pertempuran mati di rawa-rawa secara bertumpuk-tumpuk.
Meester Cornelis (Jatinegara) jatuh pada 26 Agustus 1811 dan mengakibatkan
500 serdadu korban tewas di pihak Inggris. Janssens kemudian memindahkan pusat
pertahanan dan pemerintahan ke Semarang. Di sana ia menyusun lagi kekuatan
militernya. Tetapi karena ia sudah banyak kehilangan tentara di Meester Cornelis
(Jatinegara), maka gempuran Inggris yang mendaratkan pasukannya pada 12
September 1811 sebanyak 1.600 yang dikomandani Kolonel Samuel Gibbs membuat
Janssens tidak berdaya.
Akhirnya, empat hari setelah pendaratan tentara Inggris di Semarang, tepatnya di
Jatingaleh dekat Srondol di daratan tinggi Semarang, Janssens dan sekutu-sekutu
Jawanya (prajurit Kesunanan dan Mangkunegaran) dapat dikalahkan dengan telak,
karena sebagian besar dari tentara campuran itu melarikan diri. Tapi Janssens tidak
begitu mudah menyerah. Ia mundur ke Salatiga untuk kembali menyusun kekuatan
kembali. Ketika tentara Inggris mendarat di Semarang Pangeran Notokusumo dan
putranya disuruh Raffles pergi ke Surabaya dan berada di sana.
Tentara Inggris yang beringas itu terus merangsek ke depan menghancurkan sisa-
sisa tentara Belanda. Akhirnya pada 18 September 1811 di atas Jembatan Kali
Tuntang Janssens dengan terpaksa menandatangani surat pernyataan menyerah. Isi
perjanjian Tuntang yaitu:
1. Jawa dan semua pangkalannya (Madura, Palembang, Makassar, dan Sunda Kecil)
diserahkan kepada Inggris.
2. Militer-militer Belanda menjadi tawanan Inggris.
3. Pegawai-pegawai sipil yang ingin bekerja, dapat bekerja terus dalam pemerintahan
Inggris. Engelhard tetap menjadi minister walaupun dia orang Belanda.
Setelah Janssens menyerah, pemerintahan Raffles mengambil kebijakan bahwa
semua pejabat sipil dalam pemerintahan Prancis-Belanda diizinkan untuk terus
bekerja demi melayani pemerintahan yang baru, yakni Inggris. Dari orang-orang
inilah agaknya Raffles mendapatkan informasi bahwa Sultan Sepuh adalah raja Jawa
yang suka membangkang terhadap kekuasaan asing di Jawa. Sementara itu para
pejabat militer yang menjadi tawanan perang dan dikirim ke Benggala. Sejak saat itu,
rezim Inggris menancapkan hegemoninya di tanah Jawa di bawah komando Raffles.

J. Geger Sepoy (1812)


Sultan Hamengku Buwono II atau dikenal dengan Sultan Sepuh memang tokoh
yang tidak mengenal kompromi dengan pihak asing yang bertujuan menginjak-injak
harga diri dan martabat kesultanan Yogyakarta. Untuk itulah dia berkali kali turun
tanhta. Mengikuti pergolakan dan perang di Eropa maka pihak asing di tanah Jawa
pada akhir tahun 1700-an dan awal tahun 1800-an berkutat pada tiga negara yaitu
Perancis, Belanda dan Inggris.
Sultan Sepuh diturunkan dari takhtanya pertama kali pada tahun 1810 pada saat
Daendels sebagai wakil Perancis dan gubernur jenderal yang berkuasa. Penyebabnya
adalah Sultan Sepuh tidak mau tunduk pada aturan Daendels yang ingin menjadikan
Kesultanan Yogyakarta sebagai bawahannya. Sultan Sepuh tetap memegang tradisi,
budaya dan adat istiadat keraton yang akan diubah Dendels menjadi keraton yang
berhaluan liberalisme misalnya tempat duduk raja harus sejajar dengan residen
Yogyakarta atau sejajar dengan tempat duduk gubernur jenderal di Batavia. Karena
Sultan Sepuh menentang maka Daendels mengirim tentara sebanyak 3.200 tentara
untuk menggempur Yogyakarta. Akhirnya Sultan sepuh bersedia diturunkan dari
takhtanya dari pada banyak korban di pihak rakyat.
Kesultanan kemudian diserahkan kepada Putra Mahkota sebagai “Pangeran Wali”
yaitu Pangeran Surojo. Tetapi saat itu walaupun Sultan Sepuh turun takhta tetap
diperbolehkan di keraton sehingga segala keputusan keraton masih dikendalikan oleh
Sultan Sepuh. Ketika Inggris datang ke tanah Jawa merebut Jawa dari tangan
kekuasaan Perancis-Belanda maka Sultan Sepuh naik takhta lagi menggantikan Putra
mahkota.
Ketika Inggris menguasai Jawa dan Sultan Sepuh naik takhta kembali, Sultan
Sepuh juga tidak mau tunduk kepada aturan yang diberlakukan oleh Inggris di bawah
Raffles. Tempat duduk Sultan Sepuh harus lebih tinggi dari residen Inggris di
Yogyakarta dan tempat duduk Raffles sendiri apabila mereka bertemu dalam sebuah
perundingan. Cara meninggikan tempat duduk itu dengan mengganjal kursi dengan
kursi kecil di bawahnya sehingga tampak lebih tinggi. Hal itu kemudian membuat
Raffles memutuskan menurunkan Sultan sepuh dan diganti dengan Putra mahkota
yang naik takhta.
Akhirnya Raffles mengultimatum Sultan Sepuh dengan membawa tentara Sepoy
dan Inggris agar Sultan Sepuh turun takhta dan kedudukan raja digantikan Putra
Mahkota. Apabila tidak turun takhta maka keraton Yogyakarta akan diserang Inggris.
Karena Sultan Sepuh tidak menuruti perintah Inggris maka pada tanggal 18, 19 dan
20 Juni 1812 Keraton Yogyakarta diserang tentara Sepoy dan Inggris yang berjumlah
1200 tentara. Serangan itu disebut Geger Sepoy karena tentara Inggris membawa
prajurit Sepoy dari India sebagai tentara bayaran.
Setelah Keraton Yogyakarta kalah dalam penyerbuan, Sultan Sepuh ditangkap
dan diputuskan dibuang ke Pulau Penang (sekarang wilayah Malaysia). Sedangkan
harta milik keraton Yogyakarta dijarah habis oleh tentara Sepoy dan tentara Inggris.
Harta itu berupa uang, emas, berlian, keris dan lain sebagainya. Tidak itu saja
Kekayaan intelektual milik keraton Yogyakarta baik berupa manuskrip, arsip
keraton, gamelan juga turut dirampas oleh tentara Inggris dan Sepoy.
Raffles kemudian mengangkat Pangeran Surojo sebagai Putra Mahkota naik
takhta menjadi Sultan Hamengku Buwono III dan sejak itu Kesultanan Yogyakarta
menjadi kekuasaan Inggris hingga Inggris pergi dari tanah Jawa karena hasil
perjanjian London yang mengharuskan Inggris pergi dari Jawa dan diganti dengan
kolonial Belanda menguasai Indonesia.

K. Perlawanan Tuanku Imam Bonjol di Minangkabau (1821-1838)


Muhammad Shahab atau lebih dikenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol adalah
seorang ulama dan pemimpin yang memiliki peran penting dalam melawan Belanda
ketika Perang Padri yang terjadi pada 1803-1838. Imam Bonjol lahir di Bonjol,
Pasaman, Sumatra Barat pada 1772. Ia merupakan anak dari pasangan Bayanuddin
dan Hamatun. Ayahnya adalah seorang alim ulama dari Sungai Rimbang, Suliki.
Sebagai anak seorang alim ulama, Imam Bonjol dididik dan dibesarkan secara
Islami.
Sejak 1800 hingga 1802, Imam Bonjol menimba dan mendalami ilmu-ilmu agama
Islam di Aceh. Usai menuntaskan masa pendidikannya, ia pun mendapat gelar Malin
Basa, yakni gelar untuk tokoh yang dianggap besar atau mulia. Ia adalah sosok yang
ingin menegakkan kebenaran. Perjalanan Tuanku Imam Bonjol dalam menegakkan
kebenaran terbagi dalam beberapa periode sebagai berikut.
a. Periode 1803-1821.
Ketika itu kaum Padri, yang di dalamnya juga termasuk Imam Bonjol, hendak
membersihkan dan memurnikan ajaran Islam yang cukup banyak
diselewengkan. Kala itu, kalangan ulama di Kerajaan Pagaruyung
menghendaki Islam yang berpegang teguh pada Alquran serta sunah-sunah
Rasulullah SAW. Dalam proses perundingan dengan kaum adat, tidak
didapatkan sebuah kesepakatan yang dirasa adil untuk kedua belah pihak.
Seiring dengan macetnya perundingan, kondisi pun kian bergejolak hingga
akhirnya kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang
Pagaruyung pada 1815. Pertempuran pun pecah di Koto Tangah, dekat Batu
Sangkar.
b. Periode 1821-1825.
Pada Februari 1821, kaum adat yang tengah digempur menjalin kerja sama
dengan Hindia Belanda untuk membantunya melawan kaum Padri. Sebagai
imbalannya, Hindia Belanda mendapatkan hak akses dan penguasaan atas
wilayah Darek (pedalaman Minangkabau). Salah satu tokoh yang menghadiri
perjanjian dengan Hindia Belanda kala itu adalah Sultan Tangkal Alam
Bagagar, anggota keluarga dinasti Kerajaan Pagaruyung. Meskipun dibantu
oleh kekuatan dan pasukan kolonial dalam peperangan, kaum Padri tetap sulit
ditaklukkan. Oleh karena itu, Hindia Belanda melalui Gubernur Jenderal
Johannes van den Bosch mengajak pemimpin kaum Padri, yang kala itu telah
diamanahkan kepada Imam Bonjol, untuk berdamai. Tanda dari perjanjian
damai tersebut adalah dengan menerbitkan maklumat Perjanjian Masang pada
1824.
c. Periode 1825-1830.
Pada tahun 1825, di Pulau Jawa sedang terjadi Perang Diponegoro. Belanda
menghadapi kesulitan. Mereka harus mengerahkan kekuatan militernya ke
Pulau Jawa. Oleh karena itu, Belanda bermaksud mengadakan perjanjian
damai dengan Imam Bonjol. Pada 29 Oktober 1825, Belanda berhasil
mengadakan perjanjian damai dengan kaum Padri yang terkenal dengan
sebutan Perjanjian Padang. Isi perjanjian tersebut adalah kedua belah pihak
sepakat mengadakan gencatan senjata. Setelah perjanjian itu, selama empat
tahun Tanah Minangkabau aman, tidak ada peperangan antara kaum Padri
dengan Belanda.
d. Periode 1830-1838.
Perang Diponegoro selesai pada tahun 1830, pasukan Belanda dialihkan
untuk menyerang Imam Bonjol. Pada pertengahan tahun 1832, Belanda
mengirimkan pasukannya ke Sumatra Barat. Benteng Padri berhasil direbut
Belanda. Namun, pada tahun 1833, benteng itu dapat direbut kembali oleh
pasukan Imam Bonjol dari tangan Belanda. Belanda terus berusaha
menundukkan Iman Bonjol. Kemudian, Belanda menggunakan siasat
benteng. Pasukan Belanda dipimpin Jenderal Michiels. Ketika itu, kaum Padri
sudah bersatu dengan kaum adat untuk bersama-sama melawan Belanda.
Pada tahun 1833, kondisi peperangan pun berubah. Kaum adat akhirnya
bergabung dan bahu-membahu dengan kaum Padri melawan pasukan
kolonial. Bersatunya kaum adat dan Padri ini dimulai dengan adanya
kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah.
Dari sana lahirlah sebuah konsensus adat basandi syarak, yakni adat
berdasarkan agama. Bergabungnya kaum adat dan kaum Padri tentu semakin
menyulitkan pasukan Hindia Belanda. Kendati sempat melakukan
penyerangan bertubi-tubi dan mengepung benteng kaum Padri di Bonjol pada
Maret hingga Agustus 1837, hal tersebut tak mampu menundukkan
perlawanan kaum Padri. Hindia Belanda bahkan tiga kali mengganti
komandan perangnya untuk menaklukkan benteng kaum Padri tersebut.
Sadar bahwa taktik dan strategi perangnya kalah oleh kaum Padri,
pemerintah Hindia Belanda pun mengambil jalan pintas. Pada tahun 1837,
mereka mengundang Imam Bonjol sebagai pemimpin kaum Padri ke Palupuh
untuk kembali merundingkan perdamaian. Berbeda dengan sebelumnya, kali
ini Hindia Belanda memanfaatkan momen perundingan untuk menjerat Imam
Bonjol. Sesampainya di Palupuh, Imam Bonjol ditangkap. Tak hanya
ditangkap, pemimpin kaum Padri itu pun diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat.
Perjalanan pengasingan Imam Bonjol tak berhenti di sana. Dia sempat
dibuang ke Ambon. Pengasingannya terhenti di Lotak, Minahasa, dekat
Manado, Sulawesi Selatan. Di tempat pengasingannya yang terakhir itu Imam
Bonjol mengembuskan napas terakhirnya pada 8 November 1864. Setelah
Imam Bonjol tertangkap, akhirnya seluruh Sumatra Barat jatuh ke tangan
Belanda. Itu berarti, seluruh perlawanan dari kaum Padri berhasil dipatahkan
oleh Belanda.

L. Perlawanan Pangeran Diponegoro di Jawa (1825-1830)


Belanda di Surakarta dan Yogyakarta semakin bertambah pengaruhnya pada
permulaan abad ke-19. Khususnya di Yogyakarta, campur tangan Belanda telah
menjadikan kekecewaan di kalangan kerabat keraton yang kemudian menjadikan
perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.
Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwano III, seorang raja Mataram di
Yogyakarta. Ia Lahir pada 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa
ampeyan (selir, istri non permaisuri) bernama R.A. Mangkarawati yang berasal dari
Pacitan. Sultan Hamengkubuwano III menghendaki Pangeran
DiponegoroPerlawanan Pangeran Diponegoro di Jawa (1825-1830) Belanda di
Surakarta dan Yogyakarta semakin bertambah pengaruhnya pada permulaan abad ke-
19.
Khususnya di Yogyakarta, campur tangan Belanda telah menjadikan
kekecewaan di kalangan kerabat keraton yang kemudian menjadikan perlawanan di
bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Diponegoro adalah putra sulung
Hamengkubuwano III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Ia Lahir pada 11
November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir, istri non
permaisuri) bernama R.A. Mangkarawati yang berasal dari Pacitan. Sultan
Hamengkubuwano III menghendaki Pangeran Diponegoro menjadi raja karena selain
berstatus putra tertua, ia juga cakap, ahli agama, dan dianggap mampu melaksanakan
cita-cita leluhurnya.
Bahkan, Inggris menyarankan kepada Sultan Hamengkubuwano III untuk
mengangkat Diponegoro menjadi putra mahkota. Namun, Diponegoro tidak mau
dengan alasan bukan putra dari permaisuri (garwa padmi). Pangeran Diponegoro
bernama kecil Raden Mas Mustahar, lalu diubah namanya oleh Hamengkubuwono
III tahun 1805 menjadi Bendoro Raden Mas Ontowiryo.
Sebab-sebab perlawanan Diponegoro, antara lain sebagai berikut.
a. Adanya kekecewaan dan kebencian kerabat istana terhadap tindakan Belanda
yang makin intensif mencampuri urusan keraton melalui Patih Danurejo (kaki
tangan Belanda).
b. Adanya kebencian dari rakyat pada umumnya dan para petani pada khususnya
karena tekanan pajak yang sangat memberatkan.
c. Adanya kekecewaan di kalangan para bangsawan, karena hak haknya banyak
yang dikurangi.
d. Sebagai alasannya, secara khusus ialah adanya pembuatan jalan oleh Belanda yang
melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo.
Pertempuran pertama meletus pada 20 Juli 1825 di Tegalrejo. Setelah
pertempuran di Tegalrejo, Pangeran Diponegoro dan pasukannya menyingkir ke
Dekso. Di kawasan Plered, pasukan Diponegoro dipimpin oleh Kertapengalasan
yang memiliki kemampuan yang cukup kuat.
Kabar mengenai pecahnya perang melawan Belanda segera meluas ke banyak
daerah. Dengan dikumandangkannya perang sabil, di Surakarta oleh Kiai Mojo, di
Kedu oleh Kiai Hasan Besari, dan di daerah-daerah lain, maka pada pertempuran
tahun 1825- 1826 pasukan Belanda banyak terpukul dan terdesak.
Melihat kenyatan ini, kemudian Belanda menggunakan usaha dan tipu daya
untuk mematahkan perlawanan, antara lain sebagai berikut. a. Siasat benteng stelsel
yang dilakukan oleh Jenderal de Kock mulai tahun 1827. 67 b. Siasat bujukan agar
perlawanan menjadi reda. c. Siasat dukungan hadiah sebesar 20.000 ringgit kepada
siapa saja yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro. d. Siasat tipu muslihat, yaitu
usul berunding dengan Pangeran Diponegoro dan akhirnya ditangkap.
Dengan banyak sekali tipu daya, akhirnya satu per satu pemimpin perlawanan
tertangkap dan menyerah, antara lain Pangeran Suryamataram dan Ario
Prangwadono (tertangkap pada 19 Januari 1827), Pangeran Serang serta Notoprodjo
(menyerah pada 21 Juni 1827), Pangeran Mangkubumi (menyerah pada 27
September 1829), dan Alibasah Sentot Prawirodirdjo (menyerah pada 24 Oktober
1829). Semua itu merupakan pukulan yang berat bagi Pangeran Diponegoro.
Melihat situasi yang demikian, pihak Belanda ingin menyelesaikan perang
secara cepat. Jenderal de Kock melaksanakan tipu muslihat dengan mengajak
berunding Pangeran Diponegoro. De Kock berjanji, apabila perundingan gagal, maka
Diponegoro diperbolehkan kembali ke pertahanan.
Atas dasar komitmen tersebut, Diponegoro mau berunding di rumah Residen
Kedu, Magelang, pada 28 Maret 1830. Namun, De Kock ingkar janji sehingga
Pangeran Diponegoro ditangkap saat perundingan mengalami kegagalan. Pangeran
Diponegoro kemudian dibawa ke Batavia, dipindahkan ke Manado, dan pada tahun
1834 dipindahkan ke Makassar sampai wafatnya pada 8 Januari 1855.

M. Tanam Paksa Dan Politik Pintu Terbuka


Pada masa Van den Bosch (1830-1870) sebagai gubernur jenderal yang baru
diberi tugas menyelamatkan keuangan Negeri Belanda. Untuk tugas itu, Van den
Bosch menerapkan kebijakan sebagai berikut. Bosch menghapus sistem sewa tanah
peninggalan Raffles dan menggantinya dengan sistem yang disebut cultuurstelsel.
Secara harfiah, cultuurstelsel berarti sistem budaya. Oleh bangsa Indonesia, sistem
itu disebut Tanam Paksa atau TP, karena dalam praktiknya rakyat dipaksa menanam
tanaman ekspor seperti kopi, tarum (nila), tebu, tembakau, kayu manis, dan kapas.
Kebijakan tanam paksa adalah sebagai berikut. 1) Mewajibkan setiap desa
menyisakan 20 persen tanah untuk ditanami kopi, tebu, dan nila. Hasilnya dijual
kepada pemerintah dengan harga yang sudah ditentukan. Tanah yang digunakan
untuk tanam paksa bebas dari pajak. 2) Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian
wajib mengerjakan tanah pertanian milik pemerintah selama 66 hari. 3) Waktu
mengerjakan tanaman tidak boleh melebihi waktu tanam padi, yakni tiga bulan. 4)
Kelebihan hasil produksi akan dikembalikan kepada rakyat. 5) Kerugian tanaman
akibat bencana alam atau serangan hama sehingga gagal panen akan ditanggung oleh
pemerintah. 6) Pengawasan dalam penggarapan tanam paksa dilakukan oleh para
kepala desa.
Dalam pelaksanaannya, ternyata tanam paksa berbeda jauh dari konsep awalnya,
yaitu sebagai berikut. 1) Tanah milik petani digunakan seluruhnya untuk tanam
paksa. 2) Tanah yang digunakan tanam pajak tetap dikenakan pajak. 3) Warga yang
tidak mempunyai tanah tetap bekerja di tanah pertanian pemerintahan selama satu
tahun penuh.
Bagi pemerintah Hindia Belanda, sistem TP berhasil dengan luar biasa. Kas
Belanda menjadi surplus sehingga Bosch dipuja-puja sebagai tokoh yang
memakmurkan dan menyejahterakan Negeri Belanda. Atas “jasanya” itu, Bosch
diberi gelar bangsawan de Graaf. Gelar ini diberikan untuk orang-orang yang berjasa
kepada negara. Namun demikian, Sistem TP banyak mendapat kritik dari berbagai
pihak, termasuk orang-orang Belanda sendiri karena dianggap lebih kejam dari
zaman VOC.
Salah satu pengkritik yang paling keras adalah Eduard Douwes Dekker.
Kritiknya ditulis dalam sebuah buku (novel) berjudul Max Havelaar dengan
menggunakan nama samaran Multatuli. Isi buku (novel) itu menjelaskan kisah petani
yang menderita karena kebijakan sewenang-wenang Belanda dan bertentangan
dengan moral Eropa saat itu yang menjunjung tinggi semangat Revolusi Perancis:
kesamaan, kebebasan, dan persaudaraan. Sistem TP kemudian dihapus pada tahun
1870 setelah dikeluarkan Undang-undang Agraria dan Undang-undang Gula.
Tujuan dikeluarkan Undang-undang Agraria adalah sebagai berikut. 1)
Melindungi hak milik petani dari penguasa dan modal asing. Hal ini reaksi dari
pemerintah Belanda yang mengambil alih tanah rakyat dalam TP. 2) Pemodal asing
dapat menyewa tanah rakyat seperti halnya di Inggris, Amerika, Jepang, dan Cina. 3)
Membuka kesempatan rakyat untuk bekerja menjadi buruh perkebunan.
Sementara itu, Undang-undang Gula memberi kesempatan kepada para pengusaha
gula untuk mengambil alih pabrik gula milik pemerintah Belanda. Penerapan kedua
undang-undang itu melatarbelakangi para pengusaha swasta untuk menanamkan
modalnya di Indonesia sehingga era liberalisasi ekonomi dimulai di Indonesia.
Politik Pintu Terbuka (1870-1900) 28 Tahun 1850, partai liberal di Belanda
memenangkan pemilu sehingga partai ini menjalankan pemerintahan. Perkembangan
liberalisme di Belanda dipicu oleh semangat Revolusi Perancis dan revolusi industri
Inggris. Dampak dari kemenangan partai liberal adalah diterapkannya sistem
ekonomi liberal, termasuk di negeri jajahan (Indonesia). Karena tergantung kepada
modal individu dan swasta untuk menggerakkan perekonomian, maka sistem ini
disebut sistem kapitalisme.
1) Penerapan Sistem Pintu Terbuka.
Di Indonesia, sistem ekonomi liberal diwujudkan dalam bentuk kebijakan
pintu terbuka. Hal tersebut sesuai dengan maksud utama kebijakan ini, yaitu
membuka ruang (pintu) seluas-luasnya bagi swasta untuk melakukan kegiatan
ekonomi. Kebijakan ini berhasil menarik minat banyak pengusaha, baik dari
asing maupun dari etnis Tionghoa untuk menanamkan modalnya secara besar-
besaran. Tidak hanya dalam bidang perkebunan, tetapi juga pertambangan.
Berikut ini contoh perkebunan milik swasta asing yang ada di Indonesia. 1.
Perkebunan tembakau di Deli (Sumatra Utara), Kedu, Klaten, dan lain-lain. 2.
Perkebunan tebu di Cirebon dan Semarang. 3. Perkebunan kina di Jawa Barat.
4. Perkebunan karet di Palembang dan Sumatra Timur. 5. Perkebunan kelapa
sawit di Sumatra Utara. 6. Perkebunan teh di Jawa Barat. 7. Bersamaan
dengan itu, para pengusaha juga mendirikan pabrik teh, tembakau, gula,
rokok, dan pabrik cokelat. Sementara itu, pertambangan berkembang di
Sumatra, Jawa, dan Kalimantan. Batubara di Sumatra Barat dan Selatan,
sedangkan timah di Pulau Bangka.
2) Dampak Kebijakan Pintu Terbuka.
dampak dari Kebijakan Pintu terbuka? Bagi Belanda dan penguasa asing
berdampak pada peningkatan kesejahteraan mereka, sedangkan bagi rakyat
berdampak pada kesengsaraan dan penderitaan. Kebijakan ini menjadi tempat
29 eksploitasi baru yang tidak berbeda dengan TP. Eksploitasi tersebut adalah
eksploitasi manusia dan eksploitasi agraria.
1. Eksploitasi Manusia.
Eksploitasi manusia ialah pengerahan tenaga manusia yang diwarnai tipu
daya dan paksaan, ketidakadilan, serta kesewenang-wenangan yang
mereka alami di perkebunan. Contohnya adanya hukuman cambuk
terhadap para kuli yang melakukan pelanggaran selama bekerja di
perkebunan tembakau di Deli, Sumatra. Bagi yang melarikan diri
mendapat hukuman denda, disekap, kerja tanpa upah, bahkan dibunuh.
Kebijakan ini juga ditandai dengan pengiriman secara besar-besaran dan
secara paksa tenaga kerja dari Jawa untuk dipekerjakan di
perkebunan perkebunan Belanda di tanah jajahannya yang lain seperti di
Suriname dan Guyana. Sekitar tahun 1890-an, orang Jawa dari Jawa
Tengah dan Jawa Timur yang dikirim ke Suriname mencapai 32.965
orang. Setelah kemerdekaan, mereka hanya sebagian kecil yang kembali
ke Indonesia. Perhitungan tahun 1972 sebanyak 57.688 keturunan Jawa
berada di Suriname dan pada tahun 2004 berjumlah 71.879.
2. Eksploitasi Agraria.
Eksploitasi agraria tampak dalam bentuk penggunaan lahan-lahan
produktif yang sedang dikerjakan rakyat maupun lahan-lahan kosong yang
masih berupa hutan untuk dijadikan perkebunan serta areal pertambangan.
Pemanfaatan lahan produktif umumnya di Jawa, sedangkan perkebunan di
Sumatra, dengan menggunakan lahan-lahan yang masih kosong. Ada
beberapa dampak negatif dari kebijakan pintu terbuka bagi masyarakat
Jawa, yakni sebagai berikut. 3. Para priayi dan birokrat kesultanan
menyewakan tanah lungguhnya kepada para pengusaha perkebunan
swasta asing karena lebih menguntungkan daripada disewakan kepada
para petani penggarap. 4. Di lahan-lahan perkebunan tenaga kerjanya dari
rakyat 30 Jawa dan sistem pengupahannya tidak adil karena sangat murah.
5. Sebagian dari rakyat Jawa dikirim ke Suriname untuk bekerja di
perkebunan Belanda. 6. Para bupati di 18 wilayah keresidenan di Jawa
ikut menyewakan sebagian tanahnya kepada pengusaha perkebunan asing
dan memaksa rakyat di 18 keresidenan tersebut bekerja diperkebunan-
perkebunan tersebut. 7. Reaksi Terhadap Kebijakan Pintu Terbuka.
Kebijakan tersebut sebagai tempat untuk mengeksploitasi rakyat sehingga
Belanda semakin makmur. Hal ini membuat kaum humanis bersuara
lantang. Sudah berabad-abad rakyat menderita demi kemakmuran Belanda
sehingga sudah sepantasnya Belanda membalas budi dengan memajukan
bangsa Indonesia, bukannya menyengsarakannya. Itulah gagasan dasar
yang mendorong lahirnya politik etis. Salah satu penggagas munculnya
politik etis adalah Van Deventer. Menurutnya, pemerintah Belanda harus
melakukan sesuatu demi kesejahteraan kaum pribumi.

N. Politik Etis
Kebijakan politik etis menyangkut dua bidang, yakni politik dan ekonomi. Dalam
bidang politik adalah diberlakukannya kebijakan desentralisasi, yaitu memberikan
ruang, peran, serta Salam Historia Dari orang-orang Belanda ternyata ada yang
peduli terhadap penderitaan rakyat, yakni Eduard Douwes Dekker (Multatuli). Dialah
yang menghentikan praktek jahat Tanam Paksa karena karya novelnya yang berjudul
“Akulah yang Menderita” atau Max Havelaar. Sikap kritis terhadap pemerintah
Belanda rupanya menurun pada cucunya yang bernama Ernest Francois Eugene
Dekker alias Ernest Douwes Dekker (Danudirja Setyabudi), pendiri Indische Partij
yang tergabung dalam kelompok tiga serangkai bersama Ki Hadjar Dewantara dan
Cipto Mangunkusuma. kesempatan bagi orang-orang Indonesia untuk memikirkan
nasib dan masa depannya sendiri dengan melibatkan mereka di dewan-dewan lokal,
yaitu sebuah dewan rakyat (masuk dalam pemerintahan) yang dikenal dengan
Volksraad (Dewan Rakyat). Dewan ini semacam Dewan Perwakilan Rakyat. Melalui
dewan ini, aspirasi rakyat disalurkan melalui wakil-wakilnya yang duduk di dewan
ini.
1) Rencana Politik Etis.
Dalam bidang ekonomi diberlakukan Trias van Deventer, yaitu: 1. Irigasi
(pengairan) yaitu membangun dan memperbaiki pengairan dan bendungan
untuk keperluan pertanian. 2. Migrasi yaitu mengajak rakyat untuk
bertransmigrasi sehingga terjadi keseimbangan jumlah penduduk. 3. Edukasi
yaitu menyelenggarakan pendidikan dengan memperluas bidang pengajaran
dan pendidikan.
2) Penyimpangan Politik Etis.
Sekilas gagasan van Deventer sangat mulia, tetapi pada kenyataanya tidak
seindah gagasannya. Penyimpangan tersebut antara lain sebagai berikut. 1.
Irigasi. Perairan hanya dialirkan kepada tanah-tanah perkebunan swasta,
bukan tanah-tanah pertanian rakyat. 2. Migrasi. Rakyat yang diberangkatkan
ke luar Pulau Jawa ternyata hanya untuk bekerja di perkebunan milik
pengusaha Belanda dan asing. Rakyat yang ikut program ini dijadikan kuli
kontrak seperti di Lampung dan Sumatra Utara. Karena tidak sesuai dengan
tujuan awal, banyak rakyat melarikan diri dan kembali ke daerah asal. Bagi
yang melarikan diri dan tertangkap akan diberi hukuman dan dikembalikan
untuk bekerja lagi. 3. Edukasi. Pengajaran hanya untuk anak-anak pegawai
negeri, bangsawan, dan orang-orang mampu dengan bahasa Belanda
sebagai bahasa pengantar. Rakyat biasa hanya diberi pelajaran membaca,
menulis, dan berhitung sampai kelas 2 dengan pengantar bahasa Melayu.
Politik etis dalam bidang pengajaran juga tidak mengakomodasi orang
asing seperti Cina dan Arab. Untuk itu, orang Cina mendirikan pendidikan
Tiong Hoa Hak Tong dan Arab mendirikan madrasah. Pelaksanaan
pendidikan yang tidak merata mendorong munculnya sekolah
nonpemerintah seperti Taman Siswa, Perguruan Muhammadiyah, dan
pendidikan kaum perempuan yang digagas
R.A. Kartini.
3) Dampak Politik Etis.
Terlepas dari segala penyimpangan, ternyata politik etis membawa efek
positif bagi pendidikan di Indonesia. Salah satu orang dari kelompok etis
yang bernama Mr. Abendanon (sahabat R.A. Kartini) berjasa mendirikan
sekolah- sekolah, baik untuk priayi maupun rakyat biasa. Kian terbukanya
sekolah- sekolah untuk pribumi menjadikan pemuda Indonesia berilmu,
tetapi juga berwawasan luas dan sadar politik sehingga lahirlah Dr.
Wahidin Sudirohusodo, Dr. Sutomo, sampai pada tokoh sentral seperti Ir.
Sukarno.

Anda mungkin juga menyukai