Kedatangan orang-orang Eropa pertama di kawasan Asia Tenggara pada awal abad XVI
kadang-kadang dipandang sebagai titik penentu yang paling penting dalam sejarah kawasan
ini. Pada abad XV bangsa Portugis merupakan salah satu bangsa yang mencapai kemajuan-
kemajuan di bidang teknologi. Bangsa Portugis telah dapat membuat kapal-kapal yang lebih
layak dan canggih di bandingkan dengan kapal-kapal sebelumnya memungkinkan mereka
melakukan sebuah pelayaran dan melebarkan kekuasaaan ke seberang lautan. Dengan alasan
untuk menguasai impor rempah-rempah di kawasan Eropa, bangsa Portugis mencari daerah
kawasan penghasil rempah-rempah terbaik. Rempah-rempah di kawasan Eropa merupakan
kebutuhan dan juga cita rasa. Selama musim dingin di Eropa, tidak ada salah satu cara pun
yang dapat di jalankan untuk mempertahankan agar semua hewan-hewan ternak dapat tetap
hidup. Kerena itu banyak hewan ternak yang disembelih dan dagingnya kemudian harus di
awetkan. Untuk itulah diperlukan sekali banyak garam dan rempah-rempah.
Cengkih dari Indonesia Timur adalah yang paling berharga. Indonesia juga menghasilkan
lada, buah pala, dan bunga pala. Kekayaan alam Indonesia yang begitu melimpah termasuk
dalam tanaman rempah-rempah menjadi alasan Portugis ingin menguasai daerah Indonesia
sekaligus menguasai pasaran Eropa.
Alfonso de Albuquerque merupakan panglima angkatan laut terbesar pada masa itu. Pada
tahun 1503 Albuquerque berangkat menuju India, dan pada tahun 1510, dia menaklukan Goa
di Pantai Barat yang kemudian menjadi pangkalan tetap Portugis. Pada waktu itu telah
dibangun pangkalan-pangkalan di tempat-tempat yang agak ke barat, yaitu di Ormuzdan
Sokotra. Rencananya ialah untuk mendominasi perdagangan laut di Asia dengan cara
membangun pangkalan tetap di tempat-tempat krusial yang dapat digunakan untuk
mengarahkan teknologi militer Portugis yang tinggi. Pada tahun 1510, setelah mengalami
banyak pertempuran, penderitaan, dan kekacauan internal, tampaknya Portugis hampir
mencapai tujuannya. Sasaran yang paling penting adalah menyerang ujung timur
perdagangan Asia di Maluku.
Setelah mendengar laporan-laporan pertama dari para pedagang Asia mengenai kekayaan
Malaka yang sangat besar, Raja Portugis mengutus Diogo Lopez de Sequiera untuk menekan
Malaka, menjalin hubungan persahabatan dengan penguasanya, dan menetap disana sebagai
wakil Portugis di sebelah timur India. Tugas Sequiera tersebut tidak mungkin terlaksana
seluruhnya saat dia tiba di Maluku pada tahun 1509. Pada mulanya dia disambut dengan baik
oleh Sultan Mahmud Syah (1488-1528), tetapi kemudian komunitas dagang internasional
yang ada di kota itu meyakinkan Mahmud bahwa Portugis merupakan ancaman besar
baginya. Akhirnya, Sultan Mahmud melawan Sequiera, menawan beberapa orang anak
buahnya, dan membunuh beberapa yang lain. Ia juga mencoba menyerang empat kapal
Portugis, tetapi keempat kapal tersebut berhasil berlayar ke laut lepas. Seperti yang telah
terjadi di tempat-tempat yang lebih ke barat, tampak jelas bahwa penaklukan adalah satu-
satunya cara yang tersedia bagi Portugis untuk memperkokoh diri.
Gambar: Alfonso de Albuquerque
Pada bulan April 1511, Albuquerque melakukan pelayaran dari Goa menuju Malaka dengan
kekuatan kira-kira 1200 orang dan 17 buah kapal. Peperangan pecah segera setelah
kedatangannya dan berlangsung terus secara sporadis sepanjang bulan Juli hingga awal
Agustus. Pihak Malaka terhambat oleh pertikaian antara Sultan Mahmud dan putranya,
Sultan Ahmad yang baru saja diserahi kekuasaan atas negara namun dibunuh atas perintah
ayahnya.
Malaka akhirnya berhasil ditaklukan oleh Portugis. Albuquerque menetap di Malaka sampai
bulan November 1511, dan selama itu dia mempersiapkan pertahanan Malaka untuk menahan
setiap serangan balasan orang-orang Melayu. Dia juga memerintahkan kapal-kapal yang
pertama untuk mencari Kepulauan Rempah. Sesudah itu dia berangkat ke India dengan kapal
besar, dia berhasil meloloskan diri ketika kapal itu karam di lepas pantai Sumatera beserta
semua barang rampasan yang dijarah di Malaka.
Setelah satu kapal layar lagi tenggelam, sisa armada itu tiba di Ternate pada tahun itu juga.
Dengan susah payah, ekspedisi pertama itu tiba di Ternate dan berhasil mengadakan
hubungan dengan Sultan Aby Lais. Sultan Ternate itu berjanji akan menyediakan cengkeh
bagi Portugis setiap tahun dengan syarat dibangunnya sebuah benteng di pulau Ternate.
Hubungan dagang yang tetap dirintis oleh Antonio de Abrito. Hubungannya dengan Sultan
Ternate yang masih anak-anak, Kacili Abu Hayat, dan pengasuhnya yaitu Kacili Darwis
berlangsung sangat baik. Pihak Ternate tanpa ragu mengizinkan De Brito membangun
benteng pertama Portugis di Pulau Ternate (Sao Joao Bautista atau Nossa Seighora de
Rossario) pada tahun 1522. Penduduk Ternate menggunakan istilah Kastela untuk benteng
itu, bahkan kemudian benteng itu lebih dikenal dengan nama benteng Gamalama. Sejak tahun
1522 hingga tahun 1570 terjalin suatu hubungan dagang (cengkih) antara Portugis dan
Ternate.
Portugis yang sedang menguasai Malaka, terbukti bahwa mereka tidak menguasai
perdagangan Asia yang berpusat disana. Portugis tidak pernah dapat mencukupi
kebutuhannya sendiri dan sangat tergantung kepada para pemasok bahan makanan dari Asia
seperti halnya para penguasa Melayu sebelum mereka di Malaka. Mereka kekurangan dana
dan sumber daya manusia. Organisasi mereka ditandai dengan perintah-perintah yang saling
tumpang tindih dan membingungkan, ketidakefisienan, dan korupsi. Bahkan gubernur-
gubernur mereka di Malaka turut berdagang demi keuntungan pribadi di pelabuhan Malaya,
Johor, pajak dan harga barang-barangnya lebih rendah, dan hal tersebut telah merusak
monopoli yang seharusnya mereka jaga. Para pedagang Asia mengalihkan sebagian besar
perdagangan mereka ke pelabuhan-pelabuhan lain dan menghindari monopoli Portugis yang
mudah.
Begitu cepat Portugis tidak lagi menjadi suatu kekuatan yang revolusioner. Keunggulan
teknologi mereka yang terdiri atas teknik-teknik pelayaran dan militer berhasil dipelajari
dengan cepat oleh saingan-saingan mereka dari Indonesia. Seperti meriam Portugis yang
dengan cepat berhasil direbut oleh orang-orang Indonesia. Portugis menjadi suatu bagian dari
jaringan konflik di selat Malaka, dimana Johor dan Aceh berlomba-lomba untuk saling
mengalahkan Portugis agar bisa menguasai Malaka.
Kota Malaka mulai sekarat sebagai pelabuhan dagang selama berada dibawah cengkeraman
Portugis. Mereka tidak pernah berhasil memonopoli perdagangan Asia. Portugis hanya
mempunyai sedikit pengaruh terhadap kebudayaan orang-orang Indonesia yang tinggal di
nusantara bagian barat, dan segera menjadi bagian yang aneh di dalam lingkungan Indonesia.
Portugis telah mengacaukan secara mendasar organisasi sistem perdagangan Asia. Tidak ada
lagi satu pelabuhan pusat dimana kekayaan Asia dapat saling dipertukarkan, tidak ada lagi
negara Malaya yang menjaga ketertiban selat Malaka dan membuatnya aman bagi lalu lintas
perdagangan. Sebaliknya komunitas dagang telah menyebar ke beberapa pelabuhan dan
pertempuran sengit meletus di Selat.
Segera setelah Malaka ditaklukan, dikirimlah misi penyelidikan yang pertama ke arah timur
dibawah pimpinan Francisco Serrao. Pada tahun 1512, kapalnya mengalami kerusakan, tetapi
dia berhasil mencapai Hitu (Ambon sebelah utara). Disana dia mempertunjukkan
keterampilan perang melawan suatu pasukan penyerang yang membuat dirinya disukai oleh
penguasa setempat. Hal ini mendorong kedua penguasa setempat yang bersaing (Ternate dan
Tidore) untuk menjajaki kemungkinan memperoleh bantuan Portugis. Portugis disambut baik
di daerah itu karena mereka juga dapat membawa bahan pangan dan membeli rempah-
rempah. Akan tetapi perdagangan Asia segera bangkit kembali, sehingga Portugis tidak
pernah dapat melakukan suatu monopoli yang efektif dalam perdagangan rempah-rempah.
Sultan Ternate, Abu Lais (1522) membujuk orang Portugis untuk mendukungnya dan pada
tahun 1522, mereka mulai membangun sebuah benteng disana. Sultan Mansur dari Tidore
mengambil keuntungan dari kedatangan sisa-sisa ekspedisi pelayaran keliling dunia Magellan
di tahun 1521 untuk membentuk suatu persekutuan dengan bangsa Spanyol yang tidak
memberikan banyak hasil dalam periode ini.
Hubungan Ternate dan Portugis berubah menjadi tegang karena upaya yang lemah Portugis
melakukan kristenisasi dan karena perilaku orang-orang Portugis yang tidak sopan. Pada
tahun 1535, orang-orang Portugis di Ternate menurunkan Raja Tabariji (1523-1535) dari
singgasananya dan mengirimnya ke Goa yang dikuasai Portugis. Disana dia masuk Kristen
dan memakai nama Dom Manuel, dan setelah dinyatakan tidak terbukti melakukan hal-hal
yang dituduhkan kepadanya, dia dikirim kembali ke Ternate untuk menduduki singgasananya
lagi. Akan tetapi dalam perjalanannya dia wafat di Malaka pada tahun 1545. Namun sebelum
wafat, dia menyerahkan Pulau Ambon kepada orang Portugis yang menjadi ayah baptisnya,
Jordao de Freitas.
Akhirnya orang-orang Portugis yang membunuh Sultan Ternate, Hairun (1535-1570) pada
tahun 1570, diusir dari Ternate pada tahun 1575 setelah terjadi pengepungan selama 5 tahun.
Mereka kemudian pindah ke Tidore dan membangun benteng baru pada tahun 1578. Akan
tetapi Ambon-lah yang kemudian menjadi pusat utama kegiatan-kegiatan Portugis di Maluku
sesudah itu. Ternate sementara itu menjadi sebuah negara yang gigih menganut Islam dan
anti Portugis dibawah pemerintahan Sultan Baabullah (1570-1583) dan putranya Sultan Said
ad-Din Berkat Syah (1584-1606).
Pada waktu itu juga Portugis terlibat perang di Solor. Pada tahun 1562, para pendeta Dominik
membangun benteng dari batang kelapa disana. Pada tahun berikutnnya dibakar para
penyerang beragama Islam dari Jawa. Namun orang-orang Dominik tetap bertahan dan segera
membangun ulang benteng dari bahan yang lebih kuat dan mulai melakukan kristenisasi pada
penduduk lokal.
Pada tahun sesudahnya, muncul serangan-serangan dari Jawa. Masyarakat Solor sendiri pun
tidak secara keseluruhan senang terhadap orang-orang Portugis dan agama mereka, sehingga
seringkali muncul perlawanan. Pada tahun 1598-1599, pemberontakan besar-besaran dari
orang Solor memaksa pihak Portugis mengirimkan sebuah armada yang terdiri dari 90 kapal
untuk menundukkan para pemberontak itu. Namun Portugis tetap menduduki benteng-
benteng mereka di Solor sampai diusir oleh Belanda pada tahun 1613 dan setelah itu Portugis
melakukan pendudukan kembali pada tahun 1636.
Diantara para petualang Portugis tersebut ada seorang Eropa yang tugasnya memprakarsai
suatu perubahan yang tetap di Indonesia Timur. Orang ini bernama Francis Xavier (1506-
1552) dan Santo Ignaius Loyola yang mendirikan orde Jesuit. Pada tahun 1546-1547, Xavier
bekerja di tengah-tengah orang Ambon, Ternate, dan Moro untuk meletakkan dasar-dasar
bagi suatu misi yang tetap disana. Pada tahun 1560-an terdapat sekitar 10.000 orang katolik
di wilayah itu dan pada tahun 1590-an terdapat 50.000-an orang. Orang-orang Dominik juga
cukup sukses mengkristenkan Solor. Pada tahun 1590-an orang-orang Portugis dan penduduk
lokal yang beragama Kristen di sana diperkirakan mencapai 25.000 orang.
Dari Sungai Tagus yang bermuara ke Samudra Atlantik itulah armada Portugis mengarungi Samudra
Atlantik, yang mungkin memakan waktu sebulan hingga tiga bulan, melewati Tanjung Harapan
Afrika, menuju Selat Malaka. Dari sini penjelajahan dilanjutkan ke Kepulauan Maluku untuk mencari
rempah-rempah, komoditas yang setara emas kala itu.
”Pada abad 16 saat petualangan itu dimulai biasanya para pelaut negeri Katolik itu diberkati oleh
pastor dan raja sebelum berlayar melalui Sungai Tagus,” kata Teresa. Biara St Jeronimus atau Biara
Dos Jeronimos dalam bahasa Portugis itu didirikan oleh Raja Manuel pada tahun 1502 di tempat saat
Vasco da Gama memulai petualangan ke timur.
Museum Maritim atau orang Portugis menyebut Museu de Marinha itu didirikan oleh Raja Luis pada
22 Juli 1863 untuk menghormati sejarah maritim Portugis.
Selain patung di taman, lukisan Afonso de Albuquerque juga menjadi koleksi museum itu. Di bawah
lukisan itu tertulis, ”Gubernur India 1509-1515. Peletak dasar Kerajaan Portugis di India yang
berbasis di Ormuz, Goa, dan Malaka. Pionir kebijakan kekuatan laut sebagai kekuatan sentral
kerajaan”. Berbagai barang perdagangan Portugis juga dipamerkan di museum itu, bahkan gundukan
lada atau merica.
Ada sejumlah motivasi mengapa Kerajaan Portugis memulai petualangan ke timur. Ahli sejarah dan
arkeologi Islam Uka Tjandrasasmita dalam buku Indonesia-Portugal: Five Hundred Years of Historical
Relationship (Cepesa, 2002), mengutip sejumlah ahli sejarah, menyebutkan tidak hanya ada satu
motivasi Kerajaan Portugis datang ke Asia. Ekspansi itu mungkin dapat diringkas dalam tiga kata
bahasa Portugis, yakni feitoria, fortaleza, dan igreja. Arti harfiahnya adalah emas, kejayaan, dan
gereja atau perdagangan, dominasi militer, dan penyebaran agama Katolik.
Menurut Uka, Albuquerque, Gubernur Portugis Kedua dari Estado da India, Kerajaan Portugis di Asia,
merupakan arsitek utama ekspansi Portugis ke Asia. Dari Goa, ia memimpin langsung ekspedisi ke
Malaka dan tiba di sana awal Juli 1511 membawa 15 kapal besar dan kecil serta 600 tentara. Ia dan
pasukannya mengalahkan Malaka 10 Agustus 1511. Sejak itu Portugis menguasai perdagangan
rempah-rempah dari Asia ke Eropa. Setelah menguasai Malaka, ekspedisi Portugis yang dipimpin
Antonio de Abreu mencapai Maluku, pusat rempah-rempah.
Pada tahun 1512 juga Afonso de Albuquerque mengirim Antonio Albreu dan Franscisco Serrao untuk
memimpin armadanya mencari jalan ke tempat asal rempah-rempah di Maluku. Sepanjang
perjalanan, mereka singgah di Madura, Bali, dan Lombok. Dengan menggunakan nakhoda-nakhoda
Jawa, armada itu tiba di Kepulauan Banda, terus menuju Maluku Utara hingga tiba di Ternate.
Kehadiran Portugis di perairan dan kepulauan Indonesia itu telah meninggalkan jejak-jejak sejarah
yang sampai hari ini masih dipertahankan oleh komunitas lokal di Nusantara, khususnya flores, Solor
dan Maluku, di Jakarta Kampong Tugu yang terletak di bagian Utara Jakarta, antara Kali Cakung,
pantai Cilincing dan tanah Marunda.
Bangsa Eropa pertama yang menemukan Maluku adalah Portugis, pada tahun 1512. Pada waktu itu
2 armada Portugis, masing-masing dibawah pimpinan Anthony d'Abreu dan Fransisco Serau,
mendarat di Kepulauan Banda dan Kepulauan Penyu. Setelah mereka menjalin persahabatan dengan
penduduk dan raja-raja setempat - seperti dengan Kerajaan Ternate di pulau Ternate, Portugis diberi
izin untuk mendirikan benteng di Pikaoli, begitupula Negeri Hitu lama, dan Mamala di Pulau
Ambon.Namun hubungan dagang rempah-rempah ini tidak berlangsung lama, karena Portugis
menerapkan sistem monopoli sekaligus melakukan penyebaran agama Kristen. Salah seorang
misionaris terkenal adalah Francis Xavier. Tiba di Ambon 14 Pebruari 1546, kemudian melanjutkan
perjalanan ke Ternate, tiba pada tahun 1547, dan tanpa kenal lelah melakukan kunjungan ke pulau-
pulau di Kepulauan Maluku untuk melakukan penyebaran agama. Persahabatan Portugis dan
Ternate berakhir pada tahun 1570. Peperangan dengan Sultan Babullah selama 5 tahun (1570-1575),
membuat Portugis harus angkat kaki dari Ternate dan terusir ke Tidore dan Ambon.
Perlawanan rakyat Maluku terhadap Portugis, dimanfaatkan Belanda untuk menjejakkan kakinya di
Maluku. Pada tahun 1605, Belanda berhasil memaksa Portugis untuk menyerahkan pertahanannya
di Ambon kepada Steven van der Hagen dan di Tidore kepada Cornelisz Sebastiansz. Demikian pula
benteng Inggris di Kambelo, Pulau Seram, dihancurkan oleh Belanda. Sejak saat itu Belanda berhasil
menguasai sebagian besar wilayah Maluku. Kedudukan Belanda di Maluku semakin kuat dengan
berdirinya VOC pada tahun 1602, dan sejak saat itu Belanda menjadi penguasa tunggal di Maluku. Di
bawah kepemimpinan Jan Pieterszoon Coen, Kepala Operasional VOC, perdagangan cengkih di
Maluku sepunuh di bawah kendali VOC selama hampir 350 tahun. Untuk keperluan ini VOC tidak
segan-segan mengusir pesaingnya; Portugis, Spanyol, dan Inggris. Bahkan puluhan ribu orang
Maluku menjadi korban kebrutalan VOC.
kemudian mereka membangun benteng di Ternate tahun 1511, kemudian tahun 1512 membangun
Benteng di Amurang Sulawesi Utara. Portugis kalah perang dengan Spanyol maka daerah Sulawesi
utara diserahkan dalam kekuasaan Spanyol (1560 hingga 1660). Kerajaan Portugis kemudian
dipersatukan dengan Kerajaan Spanyol. (Baca buku :Sejarah Kolonial Portugis di Indonesia, oleh
David DS Lumoindong). Abad 17 datang armada dagang VOC (Belanda) yang kemudian berhasil
mengusir Portugis dari Ternate, sehingga kemudian Portugis mundur dan menguasai Timor timur
(sejak 1515).
Kolonialisme dan Imperialisme mulai merebak di Indonesia sekitar abad ke-15, yaitu diawali dengan
pendaratan bangsa Portugis di Malaka dan bangsa Belanda yang dipimpin Cornellis de Houtman
pada tahun 1596, untuk mencari sumber rempah-rempah dan berdagang.
Pada tahun 1533, Sultan Ternate menyerukan kepada seluruh rakyat Maluku untuk mengusir
Portugis di Maluku. Pada tahun 1570, rakyat Ternate yang dipimpin oleh Sultan Hairun dapat
kembali melakukan perlawanan terhadap bangsa Portugis, namun dapat diperdaya oleh Portugis
hingga akhirnya tewas terbunuh di dalam Benteng Duurstede. Selanjutnya dipimpin oleh Sultan
Baabullah pada tahun 1574. Portugis diusir yang kemudian bermukim di Pulau Timor.
Kolonisasi Spanyol
Ferdinand Magelhaens (kadang juga ditulis Ferdinan) Magelan. Karena tokoh inilah, yang memimpin
armada yang pertama kali mengelilingi dunia dan membuktikan bahwa bumi bulat, saat itu itu
dikenal oleh orang Eropa bumi datar. Dimulainya Kolonisasi berabad-abad oleh Spanyol bersama
bangsa Eropa lain, terutama Portugis,Inggris dan Belanda.
Dari Spanyol ke Samudra Pasifik itulah armada Portugis mengarungi Samudra Pasifik, melewati
Tanjung Harapan Afrika, menuju Selat Malaka. Dari sini penjelajahan dilanjutkan ke Kepulauan
Maluku untuk mencari rempah-rempah, komoditas yang setara emas kala itu.
”Pada abad 16 saat petualangan itu dimulai biasanya para pelaut negeri Katolik itu diberkati oleh
pastor dan raja sebelum berlayar melalui samudera.
Pada tanggal 20 September 1519, San Antonio, Concepción, Victoria, dan Santiago yang terbesar
hingga yang terkecil mengikuti kapal induk Magelhaens, Trinidad, kapal terbesar kedua, seraya
mereka berlayar menuju Amerika Selatan. Pada tanggal 13 Desember, mereka mencapai Brasil, dan
sambil menatap Pāo de Açúcar, atau Pegunungan Sugarloaf, yang mengesankan, mereka memasuki
teluk Rio de Janeiro yang indah untuk perbaikan dan mengisi perbekalan. Kemudian mereka
melanjutkan ke selatan ke tempat yang sekarang adalah Argentina, senantiasa mencari-cari el paso,
jalur yang sulit ditemukan yang menuju ke samudera lain. Sementara itu, udara semakin dingin dan
gunung es mulai tampak. Akhirnya, pada tanggal 31 Maret 1520, Magelhaens memutuskan untuk
melewatkan musim salju di pelabuhan San Julián yang dingin.
Pelayaran tersebut kini telah memakan waktu enam kali lebih lama daripada pelayaran Columbus
mengarungi Samudra Atlantik yang pertama kali dan belum terlihat satu selat pun! Semangat juang
mereka mulai sedingin cuaca di San Julián, dan pria-pria, termasuk beberapa kapten serta perwira,
merasa putus asa dan ingin pulang saja. Tidaklah mengherankan bila terjadi pemberontakan.
Namun, berkat tindakan yang cepat dan tegas di pihak Magelhaens, hal itu digagalkan dan dua
pemimpin pemberontak tersebut tewas.
Kehadiran kapal asing di pelabuhan pastilah menarik perhatian penduduk lokal yang kuat dan
berbadan besar. Merasa seperti orang kerdil dibandingkan dengan raksasa-raksasa ini, para
pengunjung tersebut menyebut daratan itu Patagonia dari kata Spanyol yang berarti "kaki besar"
hingga hari ini. Mereka juga mengamati 'serigala laut sebesar anak lembu, serta angsa berwarna
hitam dan putih yang berenang di bawah air, makan ikan, dan memiliki paruh seperti gagak'. Tentu
saja tidak lain tidak bukan adalah anjing laut dan pinguin!
Daerah lintang kutub cenderung mengalami badai yang ganas secara tiba-tiba, dan sebelum musim
dingin berakhir, armada itu mengalami korban pertamnya—Santiago yang kecil. Namun, untunglah
para awaknya dapat diselamatkan dari kapal yang karam itu. Setelah itu, keempat kapal yang masih
bertahan, bagaikan ngengat kecil bersayap yang terpukul di tengah arus laut yang membeku dan tak
kunjung reda, berjuang sekuat tenaga menuju ke selatan ke perairan yang semakin dingin hingga
tanggal 21 Oktober. Berlayar di bawah guyuran air hujan yang membeku, semua mata terpaku pada
sebuah celah di sebelah barat. El paso? Ya! Akhirnya, mereka berbalik dan memasuki selat yang
belakangan dikenal sebagai Selat Magelhaens! Namun, bahkan momen kemenangan ini ternoda. San
Antonio dengan sengaja menghilang di tengah jaringan rumit selat itu dan kembali ke Spanyol.
Ketiga kapal yang masih bertahan, diimpit oleh teluk yang sempit di antara tebing-tebing berselimut
salju, dengan gigih berlayar melewati selat yang berkelok-kelok itu. Merek mengamati begitu
banyaknya api di sebelah selatan, kemungkinan dari perkemahan orang Indian, jadi mereka
menyebut daratan itu Tierra del Fuego, “Tanah Api”.
Tiba di Pilipina Magelhaens mengajak para penduduk lokal dan pimpinan mereka untuk memeluk
agama Katolik. Tetapi semangatnya juga menjadi bencana, dimana kemudian ia terlibat dalam
pertikaian antarsuku. Hanya dengan dibantu kekuatan 60 pria, ia menyerang sekitar 1.500 penduduk
pribumi, dengan keyakinan bahwa meskipun harus melawan senapan busur, senapan kuno, namun
Tuhan akan menjamin kemenangannya. Akan tetapi yang terjadi adalah Sebaliknya, ia dan sejumlah
bawahannya tewas. Magelhaens pada saat itu berusia sekitar 41 tahun. Pigafetta yang setia
meratap, 'Mereka membunuh cerminan, penerang, penghibur, dan penuntun sejati kita'. Beberapa
hari kemudian, sekitar 27 perwira yang hanya menyaksikan dari kapal mereka, dibunuh oleh para
kepala suku yang sebelumnya bersahabat.
Dikarenakan jumlah awak kapal yang tersisa hanya sedikit, sehingga tidak mungkin untuk berlayar
menggunakan tiga kapal, mereka kemudian menenggelamkan Concepción dan berlayar dengan dua
kapal yang masih tersisa, Trinidad dan Victoria ke tujuan terakhir mereka, yaitu kepulauan Rempah.
Setelah ke 2 kapal tersebut diisi penuh dengan rempah-rempah, kemudian kedua kapal itu kembali
berlayar secara terpisah. Akan tetapi salah satu dari ke 2 kapal tersebut,Trinidad tertangkap oleh
Portugis dan kemudian awak kapalnya dipenjarakan.
Namun, Victoria, di bawah komando mantan pemberontak Juan Sebastián de Elcano, luput. Sambil
menghindari semua pelabuhan kecuali satu, mereka mengambil risiko melewati rute Portugal
mengelilingi Tanjung Harapan. Namun, tanpa berhenti untuk mengisi perbekalan merupakan strategi
yang mahal. Sewaktu mereka akhirnya mencapai Spanyol pada tanggal 6 September 1522 tiga tahun
sejak keberangkatan mereka—hanya 18 pria yang sakit dan tidak berdaya yang bertahan hidup.
Meskipun demikian, tidak dapat dibantah bahwa merekalah orang pertama yang berlayar
mengelilingi bumi. Juan Sebastián de Elcano pun menjadi pahlawan. Sungguh suatu hal yang
menakjubkan, muatan rempah Victoria seberat 26 ton menutup ongkos seluruh ekspedisi!
Ketika satu kapal yang selamat, Victoria, kembali ke pelabuhan setelah menyelesaikan perjalanan
mengelilingi dunia yang pertama kali, hanya 18 orang laki-laki dari 237 laki-laki yang berada di kapal
pada awal keberangkatan. Di antara yang selamat, terdapat dua orang Itali, Antonio Pigafetta dan
Martino de Judicibus. Martino de Judicibus (bahasa Spanyol: Martín de Judicibus) adalan orang dari
Genoa yang bertindak sebagai Kepala Pelayan. Ia bekerja dengan Ferdinand Magellan pada
perjalanan historisnya untuk menemukan rute barat ke Kepulauan Rempah-rempah Indonesia.
Sejarah perjalanannya diabadikan dalam pendaftaran nominatif pada Archivo General de Indias di
Seville, Spanyol. Nama keluarga ini disebut dengan patronimik Latin yang tepat, yakni: "de
Judicibus". Pada awalnya ia ditugaskan pada Caravel Concepción, satu dari lima armada Spanyol
milik Magellan. Martino de Judicibus memulai ekspedisi ini dengan gelar kapten. (baca selengkapnya
dalam buku "Sejarah Kolonial Spanyol di Indonesia" oleh David DS Lumoindong.
Sebelum menguasai kepulauan Filipina pada 1543, Spanyol menjadikan pulau Manado Tua sebagai
tempat persinggahan untuk memperoleh air tawar. Dari pulau tersebut kapal-kapal Spanyol
memasuki daratan Sulawesi-Utara melalui sungai Tondano. Hubungan musafir Spanyol dengan
penduduk pedalaman terjalin melalui barter ekonomi bermula di Uwuran (sekarang kota Amurang)
ditepi sungai Rano I Apo. Perdagangan barter berupa beras, damar, madu dan hasil hutan lainnya
dengan ikan dan garam.
Gudang Kopi Manado dan Minahasa menjadi penting bagi Spanyol, karena kesuburan tanahnya dan
digunakan Spanyol untuk penanaman kofi yang berasal dari Amerika-Selatan untuk dipasarkan ke
daratan Cina. Untuk itu di- bangun Manado sebagai menjadi pusat niaga bagi pedagang Cina yang
memasarkan kofi kedaratan Cina. Nama Manado dicantumkan dalam peta dunia oleh ahli peta
dunia, Nicolas_Desliens‚ pada 1541. Manado juga menjadi daya tarik masyarakat Cina oleh kofi
sebagai komoditi ekspor masyarakat pedalaman Manado dan Minahasa. Para pedagang Cina
merintis pengembangan gudang kofi (kini seputar Pasar 45) yang kemudian menjadi daerah pecinan
dan pemukiman. Para pendatang dari daratan Cina berbaur dan berasimilasi dengan masyarakat
pedalaman hingga terbentuk masyarakat pluralistik di Manado dan Minahasa bersama turunan
Spanyol, Portugis dan Belanda.
Kemunculan nama Manado di Sulawesi Utara dengan berbagai kegiatan niaga yang dilakukan
Spanyol menjadi daya tarik Portugis sejak memapankan posisinya di Ternate . Untuk itu Portugis
melakukan pendekatan mengirim misi Katholik ke tanah Manado dan Minahasa pada 1563 dan
mengembangkan agama dan pendidikan Katholik. Lomba Adu Pengaruh di Laut Sulawesi
Antara Minahasa dengan Ternate ada dua pulau kecil bernama Mayu dan Tafure. Kemudian kedua
pulau tadi dijadikan pelabuhan transit oleh pelaut Minahasa. Waktu itu terjadi persaingan Portugis
dan Spanyol dimana Spanyol merebut kedua pulau tersebut. Pandey asal Tombulu yang menjadi raja
di pulau itu lari dengan armada perahunya kembali ke Minahasa, tapi karena musim angin barat lalu
terdampar di Gorontalo. Anak lelaki Pandey bernama Potangka melanjutkan perjalanan dan tiba di
Ratahan. Di Ratahan, dia diangkat menjadi panglima perang karena dia ahli menembak meriam dan
senapan Portugis untuk melawan penyerang dari Mongondouw di wilayah itu. Tahun 1563 diwilayah
Ratahan dikenal orang Ternate dengan nama “Watasina” karena ketika diserang armada Kora-kora
Ternate untuk menhalau Spanyol dari wilayah itu (buku “De Katholieken en hare Missie” tulisan A.J.
Van Aernsbergen). Tahun 1570 Portugis dan Spanyol bersekongkol membunuh raja Ternate sehinga
membuat keributan besar di Ternate. Ketika itu banyak pedagang Islam Ternate dan Tidore lari ke
Ratahan. Serangan bajak laut meningkat di Ratahan melalui Bentenan, bajak laut menggunakan
budak-budak sebagai pendayung. Para budak tawanan bajak laut lari ke Ratahan ketika malam hari
armada perahu bajak laut dirusak prajurit Ratahan – Pasan. Kesimpulan sementara yang dapat kita
ambil dari kumpulan cerita ini adalah Penduduk asli wilayah ini adalah Touwuntu di wilayah dataran
rendah sampai tepi pantai Toulumawak di pegunungan, mereka adalah keturunan Opok Soputan
abad ke-tujuh. Nama Opo' Soputan ini muncul lagi sebagai kepala walak wilayah itu abad 16 dengan
kepala walak kakak beradik Raliu dan Potangkuman. Penduduk wilayah ini abad 16 berasal dari
penduduk asli dan para pendatang dari Tombulu, Tompakewa (Tontemboan), Tonsea, Ternate dan
tawanan bajak laut mungkin dari Sangihe.
Tahun 1643 pecah perang Minaesa Serikat melawan kerajaan Spanyol. dalam suatu peperangan di
Tompaso, pasukan spanyol dibantu pasukan Raja Loloda Mokoagouw II dipukul kalah, mundur oleh
gabungan pasukan serikat Minaesa, dikejar hingga dipantai tapi
Tahun 1694 dalam suatu peperangan di Tompaso, pasukan Raja Loloda Mokoagouw II dipukul kalah,
mundur oleh gabungan pasukan serikat Minahasa, dikejar hingga ke pantai tapi dicegah dan
ditengahi oleh Residen V.O.C. Herman Jansz Steynkuler. Pada tahun 1694 bulan September tanggal
21, diadakanlah kesepakatan damai, dan ditetapkan perbatasan Minahasa adalah sungai Poigar.
Pasukan Serikat Minaesa yang berasal dari Tompaso menduduki Tompaso Baru, Rumoong menetap
di Rumoong Bawah, Kawangkoan mendiami Kawangkoan bawah, dan lain sebagainya.
Pada pasa pemerintahan kolonial Belanda maka daerah ini semula masih otonom tetapi lama
kelamaan kelamaan kekuasaan para raja dikurangi dengan diangkatnya raja menjadi pejabat
pemerintahan Belanda, sehingga raja tinggal menjadi pejabat wilayah setingkat 'camat'.
Minahasa memegang peranan sebagai lumbung beras bagi Spanyol ketika melakukan usaha
penguasaan total terhadap Filipina.
Pada tahun 1550 Spanyol telah mendirikan benteng di Wenang dengan cara menipu Kepala Walak
Lolong Lasut menggunakan kulit sapi dari Benggala India yang dibawa Portugis ke Minahasa. Tanah
seluas kulit sapi yang dimaksud spanyol adalah tanah seluas tali yang dibuat dari kulit sapi itu.
Spanyol kemudian menggunakan orang Mongodouw untuk menduduki benteng Portugis di Amurang
pada tahun 1550-an sehingga akhirnya Spanyol dapat menduduki Minahasa. Dan Dotu Kepala Walak
(Kepala Negara) Lolong Lasut punya anak buah Tonaas Wuri' Muda.
Nama Kema dikaitkan dengan pembangunan pangkalan militer Spanyol ketika Bartholomeo de Soisa
mendarat pada 1651 dan mendirikan pelabuhan di daerah yang disebutnya ‘La Quimas.’ Penduduk
setempat mengenal daerah ini dengan nama ‘Maadon’ atau juga ‘Kawuudan.’ Letak benteng Spanyol
berada di muara sungai Kema, yang disebut oleh Belanda, "Spanyaardsgat, " atau Liang Spanyol.
Dr. J.G.F. Riedel menyebutkan bahwa armada Spanyol sudah mendarat di Kema tepat 100 tahun
sebelumnya.Kema berkembang sebagai ibu negeri Pakasaan Tonsea sejak era pemerintahan
Xaverius Dotulong, setelah taranak-taranak Tonsea mulai meninggalkan negeri tua, yakni Tonsea Ure
dan mendirikan perkampungan- perkampungan baru. Surat Xaverius Dotulong pada 3 Februrari
1770 kepada Gubernur VOC di Ternate mengungkapkan bahwa ayahnya, I. Runtukahu Lumanauw
tinggal di Kema dan merintis pembangunan kota ini. Hal ini diperkuat oleh para Ukung di Manado
yang mengklaim sebagai turunan dotu Bogi, putera sulung dari beberapa dotu bersaudara seperti
juga dikemukakan Gubernur Ternate dalam surat balasannya kepada Xaverius Dotulong pada 1
November 1772.
menyerupai Kerang besar. Sedangkan dalam kata Tonsea disebut ‘Tonseka,’ karena berada di
wilayah Pakasaan Tonsea.
Hendrik Berton dalam memori 3 Agustus 1767, melukiskan Kema selain sebagai pelabuhan untuk
musim angin Barat, juga menjadi ibu negeri Tonsea. Hal ini terjadi akibat pertentangan antara
Manado dengan Kema oleh sengketa sarang burung di pulau Lembeh. Pihak ukung-ukung di Manado
menuntut hak sama dalam bagi hasil dengan ukung-ukung Kema. Waktu itu Ukung Tua Kema adalah
Xaverius Dotulong.
Portugis dan Spanyol merupakan tumpuan kekuatan gereja Katholik Roma memperluas wilayah yang
dilakukan kesultanan Ottoman di Mediterania pada abad ke-XV. Selain itu Portugis dan Spanyol juga
tempat pengungsian pengusaha dan tenaga-tenaga terampil asal Konstantinopel ketika dikuasai
kesultanan Ottoman dari Turki pada 1453. Pemukiman tersebut menyertakan alih pengetahuan
ekonomi dan maritim di Eropa Selatan. Sejak itupun Portugis dan Spanyol menjadi adikuasa di Eropa.
Alih pengetahuan diperoleh dari pendatang asal Konstantinopel yang memungkinkan bagi kedua
negeri Hispanik itu melakukan perluasan wilayah-wilayah baru diluar daratan Eropa dan
Mediterania. Sasaran utama adalah Asia-Timur dan Asia-Tenggara. Mulanya perluasan wilayah
antara kedua negeri terbagi dalam perjanjian Tordisalles, tahun 1492. Portugis kearah Timur
sedangkan Spanyol ke Barat. Masa itu belum ada gambaran bahwa bumi itu bulat. Baru disadari
ketika kapal-kapal layar kedua belah pihak bertemu di perairan Laut Sulawesi. Kenyataan ini juga
menjadi penyebab terjadi proses reformasi gereja, karena tidak semua yang menjadi "fatwa" gereja
adalah Undang-Undang, hingga citra kekuasaan Paus sebagai penguasa dan wakil Tuhan di bumi dan
sistem pemerintahan absolut theokratis ambruk. Keruntuhan ini terjadi dengan munculnya gereja
Protestan rintisan Martin Luther dan Calvin di Eropa yang kemudian menyebar pula ke berbagai
koloni Eropa di Asia, Afrika dan Amerika.
Dari kesepakatan Tordisalles itu, Portugis menelusuri dari pesisir pantai Afrika dan samudera Hindia.
Sedangkan Spanyol menelusuri Samudera Atlantik, benua Amerika Selatan dan melayari samudera
Pasifik. Pertemuan terjadi ketika kapal-kapal Spanyol pimpinan Ferdinand Maggelan menelusuri
Pasifik dan tiba di pulau Kawio, gugusan kepulauan Sangir dan Talaud di Laut Sulawesi pada 1521.
Untuk mencegah persaingan di perairan Laut Sulawesi dan Maluku Utara, kedua belah pihak
memperbarui jalur lintas melalui perjanjian Saragosa pada tahun 1529. Perjanjian tersebut membagi
wilayah dengan melakukan batas garis tujuhbelas derajat lintang timur di perairan Maluku Utara.
Namun dalam perjanjian tersebut,
Spanyol merasa dirugikan karena tidak meraih lintas niaga dengan gugusan kepulauan penghasil
rempah-rempah. Untuk itu mengirimkan ekspedisi menuju Pasifik Barat pada 1542. Pada bulan
Februari tahun itu lima kapal Spanyol dengan 370 awak kapal pimpinan Ruy Lopez de Villalobos
menuju gugusan Pasifik Barat dari Mexico . Tujuannya untuk melakukan perluasan wilayah dan
sekaligus memperoleh konsesi perdagangan rempah-rempah di Maluku Utara.
Dari pelayaran ini Villalobos mendarat digugusan kepulauan Utara disebut Filipina, di ambil dari
nama putera Raja Carlos V, yakni Pangeran Philip, ahli waris kerajaan Spanyol. Sekalipun Filipina
tidak menghasilkan rempah-rempah, tetapi kedatangan Spanyol digugusan kepulauan tersebut
menimbulkan protes keras dari Portugis. Alasannya karena gugusan kepulauan itu berada di bagian
Barat, di lingkungan wilayahnya. Walau mengkonsentrasikan perhatiannya di Amerika-Tengah,
Spanyol tetap menghendaki konsesi niaga rempah-rempah Maluku-Utara yang juga ingin didominasi
Portugis. Tetapi Spanyol terdesak oleh Portugis hingga harus mundur ke Filipina. Akibatnya Spanyol
kehilangan pengaruh di Sulawesi Utara yang sebelumnya menjadi kantong ekonomi dan menjalin
hubungan dengan masyarakat Minahasa.
Kesemuanya di tanam pada setiap wilayah yang dikuasai untuk persediaan logistik makanan awak
kapal dan ratusan pendayung.
Sejak itu budaya makan "pidis" yang di ramu dengan berbagai bumbu masak yang diperkenalkan
pelaut Spanyol menyebar pesat dan menjadi kegemaran masyarakat Minahasa.
Ada pula yang menarik dari peninggalan kuliner Spanyol, yakni budaya Panada. Kue ini juga asal dari
penduduk Amerika-Latin yang di bawa oleh Spanyol melalui lintasan Pasifik. Bedanya, adonan
panada, di isi dengan daging sapi ataupun domba, sedangkan panada khas Minahasa di isi dengan
ikan.
Kota Kema merupakan pemukiman orang Spanyol, dimulai dari kalangan "pendayung" yang
menetap dan tidak ingin kembali ke negeri leluhur mereka. Mereka menikahi perempuan-
perempuan penduduk setempat dan hidup turun-temurun. Kema kemudian juga dikenal para
musafir Jerman, Belanda dan Inggris. Mereka ini pun berbaur dan berasimilasi dengan penduduk
setempat, sehingga di Kema terbentuk masyarakat pluralistik dan memperkaya Minahasa dengan
budaya majemuk dan hidup berdampingan harmonis. Itulah sebabnya hingga masyarakat Minahasa
tidak canggung dan mudah bergaul menghadapi orang-orang Barat.
Sebagai akibatnya kegiatan hubungan ekonomi diseputar Laut Sulawesi secara langsung dengan
dunia luar praktis terlantar. Karena penyaluran semua komoditi diseluruh gugusan nusantara melulu
diatur oleh Batavia yang mengendalikan semua jaringan tata-niaga dibawah kebijakan satu pintu.
Penekanan ini membawa derita berkepanjangan bagi kegiatan usaha penduduk pedalaman
Minahasa.