Anda di halaman 1dari 8

Representasi Kepahlawanan Sultan Agung

Dalam Film Sultan Agung : Tahta, Perjuangan , dan Cinta


Yusuf Maulana

Pada era milenial saat ini, film sejarah yang diangkat dari peristiwa nyata menjadi hal
yang membosankan jika hanya divisualisasikan dokumenter seperti kisah sejarah biasanya.
Terutama bagi kisah sejarah yang mengangkat sejarah klasik atau peristiwa sejarah yang
hanya dikemas berdasarkan rekaman video lama dan dubbing. Hal ini dikarenakan kisah
sejarah tidak lepas dari standar kepustakaan yang dijadikan rujukan pada dokumenter atau
film tersebut. Sehingga hal tersebut bisa membuat framing penonton tidak bermacam –
macam dan didukung semakin tidak menarik dengan tanpa ada alur yang jelas.
Semakin berkembangnya zaman, cerita sejarah yang difilmkan kebanyakan
mengangkat sejarah kolosal dimana identik pada sejarah kuno dengan peperangan besar -
besaran. Hal tersebut juga didukung dengan bumbu – bumbu cerita yang mendukung kisah
sejarah tersebut tidak sekedar “Peristiwa nyata” namun juga bisa diterima dan dekat dengan
akal rasional masyarakat. Film yang bisa menjadi contoh sejarah kolosal terbaik ialah
Gladiator, Pearl Harbour, dan lain –lain. Kisah sejarah yang difilmkan ini digunakan sebagai
media komunikasi massa, yaitu representasi dari kehidupan masyarakat.
Sejarah memang menarik untuk diangkat menjadi film. Film menjadi media terbesar
ruang seni guna memberikan semacam propaganda pada suatu hal yang menyangkut
kehidupan berbangsa dan bernegara serta khalayak umum untuk memberikan dampak
psikologis. Dalam dunia perfilman Indonesia yang sekarang, kian hari memberikan grafik
positif yang signifikan.. Film dapat menggambarkan berbagai dimensi-dimensi kehidupan
masyarakat, tak terkecuali penggambaran sosok pahlawan Indonesia.
Bagi bangsa Indonesia, kisah sejarah seperti “ikan di lautan” dimana kisah sejarah itu
ada banyak hingga tak terhitung jumlahnya. Sehingga guna menyebarkan “pesan baik”
berdasarkan sejarah yang dimiliki bangsa ini, maka para penggiat film mendobrak rasa
nasionalisme rakyat Indonesia dengan menyuguhkan film sejarah kolosal. Salah satu film
yang praktikan angkat ialah film Sultan Agung : Tahta, Perjuangan, Cinta. Sultan Agung
disutradarai oleh Hanung Bramantyo, dan dirilis pada tanggal 23 Agustus 2018. Film
bergenre drama kolosal ini tetap menjadi sumber pembelajaran walaupun tidak sepenuhnya
bisa menjadi rujukan sejarah karena mengalami pengembangan cerita untuk dijadikan sebuah
film. Dalam film ini, Hanung mengangkat tokoh Sultan Agung yang digambarkan sebagai
sosok yang ambisius dan kejam dalam literatur Belanda, salah satunya karena keputusannya
menyerang Batavia.
Tidak semua yang bergelar bangsawan ingin memiliki kekuasaan. Namun, setelah
ayahnya Panembahan Hanyokrowati wafat, Raden Mas Rangsang yang masih belia menjadi
orang nomor satu dan diberi gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma. Sehingga, ia menjadi raja
ketiga Mataram. Bukan perkara mudah baginya untuk menggantikan peran sang ayah,
terlebih saat itu ia masih remaja.
Masih muda, mengorbankan cinta sejatinya hingga diragukan kepemimpinannya
adalah gambaran dari Raden Mas Rangsang. Beranjak dewasa dan kian matang,
permasalahan Raden Mas Rangsang semakin bertambah. Permasalahan utama yang memicu
pergolakan batin serta mengalami konflik yang sangat berat dalam masa kepemimpinanya
ialah untuk menjaga Mataram. Menajag Mataram dari Belanda, ketika VOC  yang dipimpin
Jan Pieterszoon Coen mulai mengadu domba dan memecah belah para adipati di tanah Jawa.
Maka dari itu, raja harus menyatukannya lagi dibawah panji Mataram. Di sisi lain, dalam film
ini Hanung dan kru memberikan bumbu – bumbu konflik dan percintaan guna membuatnya
semakin klimaks. Dimana hati Sultan Agung tak lepas dari pergolakan. Ia harus
mengorbankan cinta sejatinya kepada Lembayung dengan menikahi perempuan ningrat yang
bukan pilihannya. Tentu bukan perkara gampang bagi Sultan Agung untuk menerima
perempuan ningrat tersebut di hatinya. 
Beberapa pengkhianatan pun terjadi, baik dari dalam pemerintahan Mataram maupun
dari sisi luar pemerintahan tersebut. Raden Mas Ransang yang kini bergelar Sultah Agung
pun murka. Kemarahan Sultan Agung kepada VOC memuncak ketika ia mengetahui bahwa
VOC tidak memenuhi perjanjian dagang dengan Mataram dengan membangun kantor dagang
di Batavia. Sultan Agung lantas mengibarkan Perang Batavia sampai meninggalnya Coen dan
runtuhnya benteng VOC.
Dalam perjuangan ini, ia juga harus menghadapi berbagai pengkhianatan. Menjelang
akhir hidupnya, Sultan Agung menghidupkan kembali padepokan tempatnya belajar,
melestarikan tradisi dan karya-karya budaya Mataram. Kelahi  adalah pilihan Sultan Agung.
Ia tidak peduli harus menyebrang ribuan kilometer ke tanah Sunda dan Batavia hanya untuk
menghancurkan VOC yang mulai merusak kehidupan masyarakatnya. “Mukti utowo Mati!”
merupakan kalimat yang menjadi kunci dalam Sultan Agung mengambil pilihan sulit untuk
menjaga pemerintahaan Kerajaan Mataram.
Isi dari cerita dan pesan yang tersirat dalam film ini layak untuk dijadikan subjek
penelitian. Terdapat banyak amanat-amanat berupa hal positif yang dapat dipelajari dan
ditiru, khususnya bagi remaja masa kini. Setiap adegannya, memiliki nilai edukasi, sosial,
persuasi serta pesan moral yang dikemas dengan cara yang menarik berdasarkan realita sosial
yang ada. Pada film Sultan Agung banyak adegan serta dialog dalam scene yang
menggambarkan sebuah perilaku bagaimana kepemimpinan Sultan Agung.
Tabel 1.Adegan Pada Scene Penting dalam Film Sultan Agung

Visual Audio
Sultan Agung dan para adipati sedang
Scene 1 berunding untuk melakukan perlawanan
kepada VOC setelah VOC melakukan
tindakan yang tidak sesuai dengan
perundingan yang telah dijanjikan. Para
adipati juga memberikan sudut pandang
dengan rencana yang berbeda-beda
Adipati : “Sinuwun, harus segera
memberikan titah.”
Namun, terdapat satu adipati yang
menentang cara Sultan Agung. Tetapi,
Sultan Agung tetap pada pendirianya.
Sultan Agung: “Kita tetap melakukan
perlawanan ke Batavia.”

Sultan Agung, para pasukan kerajaan dan


Scene 2 rakyat berkumpul siap dan semangat untuk
melakukan perlawanan terhadap VOC.

Sultan Agung : “Dengan menyebut asma


Gusti kang Maha Agung, aku titahkan
kalian semua untuk menuju Batavia.”

Visual Audio

Scene 3 Pada adegan ini, Sultan Agung saat kecil


(Raden Mas Rangsang) yang berada di
Padepokan dan sangat mengamalkan
kebudayaan Jawa.

Sultan Agung : “Ngapunten, Kang”

Adegan pada scene 1 menunjukan situasi dan kondisi dimana Sultan Agung dan para
adipati sedang berunding untuk melakukan perlawanan kepada VOC setelah VOC melakukan
tindakan yang tidak sesuai dengan perundingan yang telah dijanjikan. Para adipati juga
memberikan sudut pandang dengan rencana yang berbeda tetapi ada satu adipati yang
menentang cara Sultan Agung. Sultan Agung dikenal dengan tindakannya yang heroik dan
membenci penjajah karena ia tidak ingin Mataram menjadi budak. Sehingga, ia berusaha
melakukan perlawanan kelahi untuk menyerang VOC terlebih dahulu. Nilai kepahlawanan
yang diambil, walaupun ia memiliki berbagai sudut pandang dari adipati ia tetap tegas dengan
keputusan yang dimilikinya dan berusaha konsisten dengan prinsip yang dianutnya. Sultan
Agung ialah orang yang berpribadian kuat karena ia menolak mentah-mentah ajakan
kerjasama VOC.
Adegan pada scene 2 tersebut terlihat bahwa para pasukan kerajaan dan rakyat
berkumpul siap dan semangat untuk melakukan perlawanan terhadap VOC. Nilai
kepahlawanan yang diambil dari dua gambar ini ialah nilai patriotis dari Sultan Agung yang
sangat mencintai negerinya serta kerajaannya sehingga ia sangat tegas terhadap prinsip anti
penjajahannya. Membuat ia juga tegas untuk tetap melakukan perlawanan kepada VOC
supaya kerajaan dan negerinya di masa depan tidak mengalami keterpurukan serta menjadi
budak penjajah karena Sultan Agung memiliki wawasan dan pemikiran yang luas jauh
kedepan. Nilai yang dianut oleh Sultan Agung juga berhasil merasuki setiap jiwa rakyatnya
untuk tetap berjuang mempertahankan Mataram walaupun resikonya sangat besar. Nilai yang
lain ialah, Sultan Agung berani mengambil resiko walaupun ia sudah mengerti apa saja
dampak-dampak yang ditimbulkan. Begitu pula rakyatnya juga berani mengambil resiko
untuk mengikuti perlawanan tersebut yang mereka tidak mengerti hasilnya seperti apa.
Sebagaimana prinsip yang dimiliki Sultan Agung “Mukti utowo Mati!” (Menang atau Mati!)
Adegan pada scene 3 merupakan potongan scene disaat Sultan Agung masa muda
yaitu Raden Mas Rangsang sedang berada di Padepokan Jejeran. Dilihat dari latar belakang
dirinya saat kecil, maka Sultan Agung dikenal tidak hanya menjadi Raja Jawa saja. Tetapi ia
juga seorang figur yang saleh, ulama besar, dan filsuf. Hal tersebut terjadi karena saat kecil
Sultan Agung tumbuh dan berkembang di suatu padepokan, dari situ ia mendapatkan
pelajaran agama serta budaya. Sehingga, selain ia menjalankan pemerintahan, ia juga
membangun peradaban islam di tanah Jawa dan juga menyebarluaskan kebudayaan jawa.
Dalam filmnya juga diceritakan masa-masa menuju berakhirnya Sultan Agung turun
tahta dan dimana masa setelah Mataram mengalami peperangan yang luar biasa, ia
membangun dan menghidupkan kembali padepokan dan mengajarkan pelajaran budaya serta
agama kepada anak-anak yang tinggal disekitar padepokan. Nilai kepahlawanan yang dapat
dipetik ialah, sebagai seorang pemimpin tidak hanya fokus dalam suatu sistem atau suatu
jalan pemerintahan tetapi juga harus menitikberatkan pada perkembangan rakyat disekitarnya
dengan ajaran-ajaran guna memberikan pelajaran yang terbaik. Serta nilai tidak melupakan
dan cinta pada kebudayaan ini yang membuat Sultan Agung memiliki poin plus untuk
menjadi seorang pemimpin.
Konsep representasi dalam media tidak sekedar mereproduksi atau menampilkan
kembali sesuatu fakta kepada khalayak, tetapi melalui beragam konsepnya representasi
menghadirkan makna tertentu kepada kita. Konsep representasi Stuart Hall dengan
pendekatan konstruksionisnya memandang bahwa makna dibuat oleh pembuatnya sehingga
menghasilkan makna yang dikehendaki. Makna tersebut digunakan untuk merepresentasikan
konsep tertentu dalam masyarakat. Walaupun demikian, masyarakat dapat menentukan
maknanya sendiri berdasarkan budaya dan sistem representasi yang mereka miliki. (Hall,
1997:25)
Konsep representasi menurut Stuart Hall ada tiga antara lain, pertama, pendekatan
reflektif. Pendekatan ini menyebutkan bahwa bahasa yang dikemukakan pada film memiliki
makna tersendiri yang dapat merefleksikan makna yang sebenarnya dari segala sesuatu yang
ada di dunia. Makna tersebut didapat dari ide manusia, Dalam pendekatan reflektif, sebuah
makna bergantung kepada sebuah objek, orang, ide, media film, objek pada film tersebut atau
peristiwa di dalam dunia nyata.
Pendekatan yang kedua ialah pendekatan intensional. Pendekatan tersebut
menyatakan bahwa kita menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan sesuatu sesuai
dengan cara pandang kita terhadap sesuatu itu. Pendekatan makna yang kedua dalam
representasi mendebat kasus sebaliknya. Pendekatan ini mengatakan bahwa sang pembicara,
penulis siapapun yang mengungkapkan pengertiannya yang unik ke dalam dunia melalui
bahasa. Unik yang dimaksud bisa dijabarkan sebagai suatu bahasa yang berbeda dari
kehidupan masyarakat biasanya. Sehingga, menjadi ciri khas tersendiri pada film tersebut.
Terakhir, pendekatan konstruktivis. Pendekatan ini mengungkapkan bahwa pembicara
dan penulis, memilih dan menetapkan makna dalam pesan atau karya (benda-benda) yang
dibuatnya. Tetapi, bukan dunia material (benda-benda) hasil karya seni dan sebagainya yang
meninggalkan makna tetapi manusialah yang meletakkan makna.
Pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya
dalam membela kebenaran, atau pejuang yang gagah berani.  Kepahlawanan adalah tindakan
seorang pahlawan,yaitu suatu sikap yang dimiliki seseorang dan menunjukan jiwa atau sifat
keberanian,keperkasaan,kegagahan,dan kerelaan untuk berkorban dalam membela kebenaran
dan keadilan.
Dengan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes yang memusatkan perhatian
pada tanda (sign), peneliti mencoba menganalisis dan menjawab pertanyaan bagaimana nilai
kepahlawanan yang direpresentasikan dalam film Sultan Agung, bagaimanakah posisi subjek
dan objek merepresentasikan nilai kepahlawanan dalam film Sultan Agung. Semiotika adalah
ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsinya tanda, dan produksi makna.
Semiotika memandang komunikasi sebagai proses pemberian makna melalui tanda yaitu
bagaimana tanda mewakili objek, ide, situasi, dan sebagainya yang berada diluar diri
individu. Semiotika digunakan dalam topik-topik tentang pesan, media, budaya dan
masyarakat (Sobur, 2006:70).
Film ini banyak memberi serta mengungkap nilai-nilai kepahlawanan yang di miliki
oleh Sultan Agung seperti nilai kerja keras, berpegang teguh pada prinsip, rasa hormat,
tanggung jawab, adil, amanah yang ditujukan bagi generasi muda masa kini agar selalu
semangat menggapai cita-cita kehidupan yang lebih baik demi bangsa dan negara. Film ini
diangkat dari biografi kehidupan Sultan Agung sebagai Raja Mataran yang terkenal dengan
kesuksesannya walaupun arogan. Film Sultan Agung menggambarkan bagaimana nilai
kepahlawanan yang dipresentasikan oleh sosok tokoh Sultan Agung yang menjadi pemeran
utama dalam cerita. Pada hasil mengenai nilai kepahlawnaan yang terkandung dalam film
Sultan Agung, peneliti membagi menjadi 3 bagian yaitu hubungan pemimpin dengan dirinya
sendiri, hubungan pemimpin dengan rakyatnya dan bagaimana cara menyelesaikan setiap
konflik dan pengambilan keputusan.
Dalam penelitian representasi nilai kepahlawanan dalam film Sultan Agung ini
terdapat kaitannya dengan teori yang dikemukakan oleh Roland Barthes, dengan
menggunakan teori Roland Barthes tersebut dapat menemukan bagaimana nilai
kepahlawanan dipresentasikan pada tokoh Sultan Agung. Peneliti mengandalkan analisis
semiotika dengan menggunakan penganalisisan makna denotasi, konotasi dan nilai sejarah
yang terdapat dalam film Sultan Agung, dalam menemukan makna yang terkandung dan
tersembunyi dalam sebuah tanda pada sebuah film.
Berdasarkan pembahasan yang merupakan analisa dari peneliti melalui elemen
representasi nilai kepahlawanan yang dianalisis melalui unit analisis Semiotika Roland
Barthes, maka ditemukan hasil bahwa makna denotasi, konotasi dan nilai sejarah dalam film
Sultan Agung. Sultan agung lebih dominan menunjukkan nilai kepahlawanan yang berpegang
prinsip pada diri sendiri yaitu berani mengambil resiko. Pada tahun 1614, saat VOC
mengirim duta untuk mengajak Sultan Agung bekerja sama, beliau menolaknya mentah-
mentah. Sifat berani mengambil resiko, tegas terhadap keputusan dan konsisten pada prinsip
seperti inilah yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin negara sejati. Keinginan dan
semangat tinggi. Perang besar di benteng Holandia dan pasukan Mataram mengalami
kehancuran karena kurang perbekalan. Serangan tersebut menunjukkan rasa keinginan yang
kuat dan semangat yang tinggi untuk memajukan negara. Pantang menyerah, walaupun
kembali mengalami kekalahan, serangan kedua ini berhasil membendung dan mengotori
Sungai Ciliwung sehingga mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera di Batavia. Hal
ini memberikan pelajaran bahwa semangat pantang menyerah dari seorang pemimpin pasti
akan membawa hasil. Sikap adil, Sultan Agung sangat membenci pemberontakkan. Bahkan
pada sepupunya sendiri, Adipati Pragola. Beliau tidak segan-segan mengirim algojo untuk
menghukum pemberontak. Beliau tidak pandang bulu dalam mengadili siapapun yang
bersalah. Sikap adil dan tidak pandang bulu ini harus dimiliki oleh pemimpin negara.
Berdasarkan hasil pembahasan tersebut, maka dijabarkan bahwa pesan moral dalam
film Sultan Agung dapat dibagi menjadi tiga yaitu : nilai kepahlawanan hubungan pemimpin
dengan dirinya, nilai kepahlawanan hubungan pemimpin dengan rakyatnya, nilai
kepahlawanan hubungan pemimpin dengan cara penyelesaian konflik dan memutuskan
sesuatu. dimana Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar dengan
berbagai perjuangan yang beliau lakukan. 
DAFTAR PUSTAKA
Sobur, A. (2006). Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosadakarya.
Hall, Stuart. 1997. Representation : Cultural Representation and Signifying Practises.
London : Sage
Sumarno, Marselli. 1996. Dasar-Dasar Apresiasi Film. Jakarta : PT. Grasindo

Profil
Yusuf Maulana, merupakan mahasiswa program
studi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Yogyakarta. Lahir di Bantul 10 Mei
1998 sedang menempuh mata kuliah Apresiasi Film dan
TV dengan dosen pengampu Fajar Junaidi, M. Si.
Menjadi anggota aktif di Kelompok Studi Mahasiswa
(KSM) AVIKOM yang bergerak dibidang audio visual.

Anda mungkin juga menyukai