Anda di halaman 1dari 28

Kerajaan Mori merupakan suatu kerajaan yang terdapat di wilayahSulawesi Tengah dan

diperintah pada suatu masa oleh seorang raja yang dikenal dengan sebutan ‘Mokole Marunduh’
(Datu’ri tana Mokole Marunduh) yang memimpin perlawanan terhadap Belanda

[1] . Menurut suatu naskah pembentukanNegara Indonesia Timur (NIT) kerajaan Mori termasuk
dalam resort afdeling Poso dan Donggala yang membentuk Daerah Sulawesi Tengah

[2] .Moriadalah sebuah suku di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, Indonesia. Wilayah
otoritas suku ini adalah wilayah Kabupaten Morowali bagian utara. Beberapa nama kota dan
kelurahan di wilayah suku mori adalah Kolonodale, Tomata, Ensa, Tompira, danlain-lain.

Agama asli suku ini adalah Kristen Protestan. Suku Mori mengikuti kebiasaan orang Eropa
(sebagai penyebar agama Kristen) untuk mempunyai nama keluarga atau lebih dikenal sebagai
marga atau fam.
Berikut beberapa marga suku mori :Mbatono Kale’e Marunduh Saripah Tagoe, Tampake

Kerajaan Tanah Mori dan Peperangan Raja Mori (Raja Marunduh) melawantentara
BelandaSumber : Biro Infokom – Propinsi Sulawesi Tengah ( http://infokom-sulteng.go.id/ )

Dahulu kala, jauh sebelum Belanda masuk ke Tanah Mori, Tanah Mori terdiri dari berpuluh-
puluh suku bangsa atau suku kecil yang tidak mempunyai raja tertentu. Tiap-tiap suku itu
mempunyai Mokole tersendiri dan tiap-tiap Mokole tidak mautakluk satu sama lain (Mokole
ialah organisasi pemerintahan dari satu suku yang dipimpin atau dikepalai oleh seorang kepala
suku yang bergelar “Mokolempalui”.

Dari sekian banyak suku-suku di tanah Mori itu, ada beberapa suku yang dianggap besar
pengaruhnya dan luas wilayahnya, yakni: Suku Moleta bagian Mori atas, Suku Petasia dan Suku
Lembo bagian Mori bawah, Suku Murungkuni, Suku Tovatu, dan Suku Musimbatu. Oleh karena
tidak ada raja yang mampu mempersatukan suku-suku atau Mokole-mokole itu, maka sering
terjadi kekacauan dan selalu timbul peperangan antara satu Mokole dengan Mokole yang lain.

Oleh sebab itu, beberapa Mokole yang besar di Tanah Mori itu mengadakan musyawarah untuk
mencari dan menentukan seorang raja sebagai Raja Tanah Mori, agar dapat mempersatukan
suku-suku di Tanah Mori itu.
Setelah ada permufakatan dari beberapa Mokole yang besar itu maka ditulislah dua orang
Penghulu (Penghulu disebut dengan gelar Mokolempalili) yangbernama: Tande Rumba-rumba
dan Rarahake, untuk menghadap Datuk Palopo, guna menyampaikan dan membicarakan
maksud-maksud tersebut di atas, serta mengadakan musyawarah bersama Datuk Palopo pada
suatu saat yangd imufakati bersama oleh para Mokolempalili.

Pada suatu ketika, diadakanlah suatu pertemuan antara Mokolempalili-mokolempalili dengan


Datuk Palopo. Dan sebagai hasil musyawarah, Datuk Palopo mengatakan, “Baiklah, ambillah
saudara-saudara saya, Sungkawang dengan saudaranya yang bertempat tinggal di Desa Sokoiye,
dekat danau Matane dan Pilewiti. Kemudian bawalah mereka ke negeri kamu di Tanah Mori”
Ketika mereka sedang dalam perjalanan melewati siran tanah atau tanah perbatasan antara
Palopo dan Tanah Mori, mereka mendengar suara burung berbunyi, “Meiki meiko, meiko –
meiki”. Bunyi burung itu diartikan oleh mereka bahwa tanah Meiki (nama sebuah desa) ini baik
ditempati oleh seorang Mokolempalili. Oleh sebab itu, maka saudara dari Sungkawawo
Sungkawang, ditempatkan di Tanah Meiki untuk menjadi “Karua” (Karua ialah gelar sebagai
Mokolempalili).
Sedangkan Sungkawawo dan Pilewiti masih meneruskan perjalanan sampai di Tanah Mata
Wundula; karena telah dimufakati oleh para Mokolempalili bahwa Sungkawawo dijadikan raja
Mori, yang berkedudukan di Tanah Mata Wundula.
Selanjutnya, Pilewiti meneruskan perjalanan. Karena demikian lama menempuh perjalanan yang
begitu jauh, maka Pilewiti merasa sangat lelah lalu berhenti pada suatu tempat dan
berkata,”Yaku tojomo”, artinya, “Saya sudah lelah”. Oleh karena itu, maka tanah tempat
perhentian Pilewiti dinamakan Tanah Tojo dan Pilewiti lah yang menjadi raja di Tanah Tojo.
(Berdasarkan cerita Raja Pileweti sebagai Raja Tanah Tojo, maka tanah pesisir Timur dari
Kabupaten Poso menjadi satu kecamatan yang dinamakan Kecamatan Tojo). Semula Tanah Tojo
itu menjadi termasuk wilayah Kerajaan Tanah Mori danse belumnya menjadi bagian wilayah
Kerajaan Luwu di bawah perintah Datuk Palopo.
Setelah tanah Mori mempunyai seorang raja tertentu maka diaturlah pembagian wilayah
pemerintahan tiap-tiap Mokole, yang dikepalai oleh Cara Mokolempalili, sehingga dengan
mudah pula diatur penyelesaian Upeti atau Pajak kepada Raja Mori dan lain-lain. Dengan
demikian maka tiap Mokolempalili pada setiap tahun membawa Upeti kepada Raja
Sungkawawo. Dari beberapa Mokolempalili, antara lain Mokolempalili dari Moleo’a membawa
upeti kepada raja berupa satu bungkus beras putih yang dibungkus dengan pelepah pinang yang
dalam bahasa mereka disebut “bungkusi” dan satu bungkus kecil atau satu botol saguer pahit
yang disebut dalam bahasa Mori “Tutubaru’. Demikianlah berlaku setiap tahunnya. Pada waktu
itu kehidupan rakyat Moriaman dan tentram di bawah pemerintahan Raja induk Mori
Sungkawawo.
Kemudian dengan memperhatikan kehidupan rakyat yang semakin meningkat dan urusan-urusan
atau kepentingan rakyat yang semakin banyak, terutama urusan keamanan, maka raja melantik
seorang yang bergelar Bonto yang tugasnya sebagai penghubung antara raja dengan para
Mokolempalili di TanahMori.
Setelah Raja Mori yang bernama Sungkawawo mangkat, maka ia diganti kanputra Raja
Sungkawawo yang bernama MARUNDUH.

Di dalam istana raja ada dua orang kepercayaan Raja yang bernama Tanki dan Tapo, sebagai
pembantu Raja dalam urusan-urusan pribadi Raja dengan tiap-tiap Mokole, yang biasanya diutus
ke Mokole di Tanah Mori. Tetapi lama kelamaan, kedua orang kepercayaan Raja itu banyak
melakukan perbuatan yang melanggar hukum di Desa Meleoa’, sehingga banyak rakyat
keberatan dengan Mokolempalili Meleoa’ yang tinggal di Desa Endemburate. Maka
Mokolempalili di Moleoa’ memutuskan bahwa Tanki dan Tapo harus dibunuh.
Putusan pembunuhan Tanki dan Tapo telah dilaksanakan. Dengan kematian dua orang tersebut,
maka terjadilah perselisihan besar antara Raja dengan Mokolempalili Moleoa’ selama 8
(delapan) tahun sampai menjelang datangnya Belanda di Tanah Mori.

Dalam masa perselisihan besar antara Raja Mori Marunduh dengan Mokolempalili itu, maka
pernah terjadi peristiwa perebutan kekuasaan Raja Marunduh oleh salah satu Mokolempalili
yang dipimpin oleh seorang wanita cantik yang bernama Moleono bersama dengan beberapa
orang Mokolempalilipengikut. Moleono adalah satu Mokolempalili yang cukup berwibawa
dalamlingkungan beberapa Mokolempalili lainnya di Tanah Mori.Moleono yang didukung oleh
beberapa Mokolempalili sebagai pengikutnya,senantiasa berusaha menjatuhkan Marunduh
sebagai Raja Mori.
Pada suatu saat, Moleono bersama pengikut-pengikutnya menggunakan kesempatan dengan cara
membujuk beberapa Mokolempalili serta rakyatPetasia, supaya jangan lagi tunduk kepada Raja
Marunduh, melainkan harustunduk dan mengikuti Moleono yang bertekad menjadi Raja Mori.
Beberapa Mokolempalili telah menyetujui keinginan Moleono dan mengikuti keinginan
Moleono untuk menggantikan Marunduh sebagai raja Mori.
Pada suatu saat, Moleono mulai mengatur siasat dengan memerintahkan kepada beberapa
Mokolempalili, agar lesung-lesung tempat menumbuk padi kepunyaan RajaMarunduh diisi
dengan kotoran kerbau. Beberapa Mokolempalili dengan segera melaksanakan perintah
Moleono,sehingga hampir semua lesung kepunyaan Raja Marunduh berisi kotorankerbau. Tetapi
pada saat itu Raja Marunduh belum berbuat apa-apa, selainmengatur siasat bersama beberapa
Mokolempalili pendukungnya. Terlebihdahulu Raja Marunduh berusaha memperkuat benteng
pada istananya denganbantuan beberapa Mokolempalili yang tetap setia.
Maksud Raja Marunduh untuk memperkuat benteng istananya itu, adalah untuk memperkuat
pertahanannya untuk menghadapi perlawanan akan dilakukan olehMoleono dengan pengikut-
pengikutnya.
Di samping melancarkan propaganda, Moleono adalah wanita cantik yangmemiliki banyak ilmu
gaib yang membuat ia berwibawa di kalangan rakyat dalamlingkungan beberapa Mokolempalili.
Kegiatan propaganda dan siasat-siasat serta usaha-usaha dari pihak Moleono, sebagian dapat
dikatakan berhasil antara lain dengan banyaknya rakyat dalamlingkungan beberapa
Mokolempalfli telah membawa upeti kepada Moleono. Rupanya semakin bertambah banyak
rakyat yang takluk kepada Moleono. Dengan menggunakan kekuatan ilmu gaib serta dengan
kecakapan dankelihaiannya, Moleono dapat membingungkan orang lain dengan cara
menipupandangan mereka, sehingga dengan mudah orang-orang menjadi teperdayadan merasa
takut kepada Moleono.Sekali peristiwa, Moleono menunjukkan kelihaiannya, yakni memasukan
beberapa ekor kucing ke dalam sebuah keranjang besar, lalu digantungnyabeberapa keranjang
yang berisi beberapa ekor kucing itu di atas loteng rumah.Selain itu, ditangkapnya kunang-
kunang banyak-banyak, lalu ditampungnyapada suatu kelambu yang sangat tipis, agar orang-
orang yang melihat diwaktumalam bisa terheran.
Dengan bunyi kucing-kucing dalam keranjang besar yangdigantung di loteng, ditambah pula
dengan cahaya kunang-kunang dalamkelambu di waktu malam, maka rakyat yang masih primitif
pada zaman dahulukala itu, menjadi teperdaya bercampur takut, sehingga mereka mengakui
bahwaMoleono patut disembah sebagai raja. Moleono dengan rambutnya yang sangat paniang
itu, selalu berdaya upaya agar para Mokolempalili pengikut Raja Marunduh menjadi terpikat dan
teperdaya,
sehingga dengan mudah dikuasai agar dengan mudah pula Moleonomenjalankan siasatnya untuk
membunuh Raja Marunduh. Dan jika berhasil, maka Moleonolah yang akan menggantikannya.
Tetapi Moleono belummengetahui bahwa masih banyak Mokolempalili yang tidak setuju jika
Moleonomenjadi Raja Mori, karena masih banyak Mokolempalili yang memihak Marunduh
sehingga Marunduh merasa lebih kuat daripada Moleono.
Suatu ketika, ada seorang pemuda yang gagah perkasa, bernama Titi yangberasal dari Mokole
Moleoa’.Titi adalah pendukung utama Marunduh; Titi berusaha mempertahankan danmembela
Raja Marunduh dari serangan dan tipu daya Moleono yang hendak menggulingkan Marunduh
sebagai Raja Mori. Oleh karena itu Titi berdaya upaya-sampai berhasil membunuh Moleono.
Suatuketika, Titi mengetahui Moleono, wanita cantik itu, jatuh cinta kepadanya. Titiberpikir dan
memperhitungkan, bahwa kalau benar Moleono mencintai Titi, makaTiti akan mudah
menggunakan kesempatan untuk memikat dan menjalankansiasat hingga berhasil membunuh
Moleono. Suatu ketika, sebelum Titi pergi menemui Moleono, terlebih dahulu Titi pergimenemui
Raja Marunduh untuk mempelajari situasi dan hal ihwal pihak Moleonobersama pengikut-
pengikutnya, serta untuk mengatur siasat.Dalam pembicaraun bersama Raja Marunduh, Titi
berkata bahwa ia akanberangkat dengan membawa seorang temannya yang berjiwa kesatria
bernamaTondolabu; dengan membawa senjata atau senapan yang dinamakanBanggobeno dan
untuk menguji kekuatan Moleono, ia akan meletuskan senapanBanggobene itu satu kali, dan
kalau benar bahwa Moleono adalah dewa, makasenjata itu setelah meletus akan menjadi hancur;
tetapi kalau senjata itu tidakhancur, maka berarti Moleono bukan seorang dewa dan Titi akan
pergimembunuh Moleono.
Titi seorang pemuda yang gagah perkasa, dihadapan Raja Marunduh telahmenunjukkan sikap
yang bersemangat dan jiwa yang berani meneruskan tekadserta daya juang pantang mundur
menghadapi kekuatan Moleono bersamapengikut-pengikutnya. Sebejum berangkat, Titi terlebih
dahulu mempersiapkandiri bersama temannya Tondolabu. Titi menguji senjatanya dengan
mencobameletuskan satu kali, ternyata senjata Banggobene itu tetap seperti biasa.
Laluberangkatlah Titi dengan Tondolabu menuju tempat di mana Moleono beradabersama
pengikut-pengikutnya.Tatkala Titi bersama Tondolabu telah sampai di dekat rumah Moleono,
Titidengan segera memerintahkan kepada Tondolabu supaya dengan cepat naik keloteng rumah
Moleono untuk membunuh kucing-kucing dalam keranjang yangtergantun di loteng dan
melepaskan semua kunang-kunang yang terkurungdalam kelambu, sedangkan Titi sendiri
langsung masuk menemui Moleono. Setibanya dalam rumah Moleono, Titi disambut dan
diterima oleh Moleonodengan ramah sekali, karena Moleono memang jatuh cinta kepada
pemuda Titi.
Sebagaimana adat kebiasaan dalam menyambut tamu, pertama-tama tamudisambut dengan
suguhan sirih dalam dulang kecil. Sementara makan sirih,kesempatan ini dipergunakan oleh Titi,
dengan cepat dan dengan cekatan Titilangsung memegang kuat-kuat rambut Moleono yang
panjang itu, laludipancungnya Moleono hingga tidak berdaya. Dan pada saat itu juga kucing-
kucing dan kunang-kunang telah dilepaskan serta dibunuh Tondolabu.
Seketika itu juga, Titi bersama temannya, Tandolabu, segera pergi kembali keistana Raja, Mori,
Marunduh. Setelah Titi bersama Tondolabu tiba denganselamat di tempat istana Raja Mori,
Marunduh, mereka dengan segera pergimengeluarkan semua kotoran kerbau yang berada dalam
lesung-lesungkepunyaan Raja Marunduh, sampai bersih lesung-lesung itu
sebagaimanakeadaannya semula.Dengan demikian,
Titi berhasil menggagalkan usaha Moleono kekuasaan RajaMori Marunduh, sehingga kekuasaan
Marunduh sebagai Raja Mori, tetap dengan utuhnya.
Peperangan raja Mori Marunduh Melawan Tentara Kompeni Belanda.
Beberapasaat kemudian, Kompeni Belanda telah masuk ke daerah Poso dan menjelajahiwilayah
Daerah Poso sampai di wilayah Tanah Mori.Pada suatu ketika, datanglah ke Tanah Mori Tuan
Nayoan bersama-samadengan dua regu tentara Kompeni Belanda yang dipimpin oleh seorang
Letnansebagai Komandan, yang bertolak dari Poso. Rombongan Tuan Nayoanbersama Letnan
Belanda itu, setelah tiba di salah satu tempat Mokelempalili diTanah Mori, maka mereka
mengajak seorang Mokolempalili bernama PapaLantiuna untuk mengadakan pertemuan dengan
Raja Mori, Marunduh, yang berkedudukan di wilayah Tanah Mori Bawah yang disebut Petasia,
yakni desa Mata Fundula.
Dalam pertemuan itu, Tuan Nayoan mengingatkan supaya Marunduh dan para Mokolempalili
jangan mengadakan perlawanan terhadap Kompeni Belanda, karena Belanda tidak bermaksud
membunuh orang, tetapi akan memberikan perlindungan kepada rakyat demi kelangsungan
hidup mereka dan karena itu, janganlah takut kepada Kompeni Belanda.
Tuan Nayoan mengajak Papa Lantiuna dan tampaknya Mokolempalili Milea’menuruti dan
menyetujui maksud Tuan Nayoan bersama Kompeni Belandauntuk membicarakan hal
perdamaian dengan Raja Mori, Marunduh. Setelah mereka bertemu, semula nampaknya Raja
Marunduh agak takut karena merasa ragu akan maksud mereka. Tetapi Tuan Nayoan dan Papa
Lantiuna menjelaskan maksud mereka kepada raja Mori sehingga Raja Marunduh akhirnya dapat
memahami tanpa rasa takut lagi. Di samping itu Tuan Nayoan bersama Tentara Kompeni
Belanda yang dipimpin oleh Tuan Letnan, ingin sekali melihat Permaisuri Raja Marunduh,
karena selama tujuh hari mereka tinggal di Mata Fundula tidak pernah melihat Permaisuri Raja
Marunduh. Sehingga TuanNayoan dan Tuan Letnan meminta kepada Raja Marunduh memanggil
permaisurinya.
Ketika Permaisuri Raja yang bernama Jelaina, keluar dan bertemu dengan Tuan Nayoan bersama
Tuan Letnan, mereka saling berkenalan dan bedabat tangan. Raja Mori, tatkala melihat
permaisurinya berjabatan tangan dengan Tuan Letnan. dan Tuan Nayoan nampak merasa tidak
senang. Raja Mori memang merasa tidak senang melihat permaisurinya dipegang-pegang orang
pada saat berjabatan tangan, kecuali hanya sekedar berjabatan tangan saja. Di samping itu raja
Mori merasa curiga dan ragu, karena mungkin kesempatan berjabatan tangan itu mereka gunakan
sebagai siasat dengan maksud-maksud lain. Mungkin memancing perasaan Raja atau mungkin
pula sebagai siasat untuk melemahkan sifat keras dari Raja Mori terhadap mereka melalui
permaisuri.
Karena Permaisuri telah berkenalan dengan mereka sehingga Permaisuri dapat mempengaruhi
Raja Marunduh agar Raja Marunduh tidak menentang tentara Kompeni Belanda. Itulah sebabnya
Raja Marunduh semakin merasa tidak senang bilamana berjumpa dengan Tentara Kompeni
Belanda; dan pula sebabnya, sehingga Raja Marunduh tidak bersedia melanjutkan pertemuan
dengan Tuan Nayoan Tuan Letnan yang bermaksud mengadakan perdamaian.
Dengan begitu berarti Raja Marunduh tidak bersedia mengadakan perdamaian dengan Tentara
Kompeni Belanda.
Dalam usaha mengatasi keadaan yang gawat itu, segera Raja Marunduh mengadakan rapat
dengan beberapa Mokolempalili yang kuat. Dalam hal iniPapa Lantiuna, termasuk kelompok
Mokolempalili Moleoa Keputusan rapatdengan tegas dinyatakan oleh Raja Marunduh, “Bahwa
Tentara Kompeni Belanda harus dibunuh sampai habis dari tanah Mori”. Keputusan
RajaMarunduh yang demikian tegas itu disetujui oleh para Mokolempalili.
Dalam usaha pelaksanaan perlawanan terhadap Tentara Kompeni Belanda, maka Raja Mori
Marunduh bersama para Mokolempalili yang kuat, mulaimengatur posisi. Beberapa
Mokolempalili memperhatikan bahwa sebagianTentara Kompeni Belanda masih ada di Mata
Fundula dan sebagian lagi kembalike Moleoa. Beberapa saat kemudian, Raja Marunduh
memerintahkan PapaLantiuna supaya tentara Kompeni Belanda yang menuju ke Moleoa
harusdibunuh. Dan Tentara Belanda yang tinggal di Mata fundula, Raja Marunduh yang akan
membunuhnya.
Selanjutnya Raja Marunduh memerintahkan kepada para Mokolempalili, bahwa perlawanan
harus dilaksanakan dengan serentak, pada hari yang sama, baik yang ada di Mata Fundula, di
Moleoa serta yang ada di Petasia. Akan tetapi sebelum Tentara Kompeni Belanda kembali ke
Moleoa, maka Papa Lantiuna bersama pengikutnya seorang juru bahasa laki-laki bernama
Maradi terlebih dahulu pergi ke Kanta, tanpa melalui jalan ke jurusan Moleoa’.
Papa Lantiuna bersama pengikut-pengikutnya tinggal di Kanta selama beberapa hari.
KemudianTuan Letnan bersama tentaranya menyusul ke Moleoa sedangkan Tuan Nayoantelah
kembali ke Poso.
Tetapi rombongan Papa Lantiuna merasa tidak senang tinggal di Kanta, sehingga dalam waktu
dekat mereka mencari tempat lain yang lebih baik. Mereka pergi ke Ranoitole dekat desa
Korontaduha, yang kira-kira tiga kilometer jaraknya dari desa Tomata. Di sanalah mereka
membuat asrama dan di sanalah Papa Lantiuna mengatur posisi perlawanan untuk melaksanakan
perintah RajaMarunduh akan melakukan pembunuhan terhadap tentara Kompeni Belanda. Papa
Lantiuna bersama pengikutnya mengatur posisi perlawanan terhadap Tentara Belanda bertempat
di Ranoitole, sebagai berikut:

1.Papa Lantiuna memerintahkan kepada Rakyat, terutama pengikutnya,supaya mengumpulkan


semua senjata pedang di suatu tempat tertentu.

2.Supaya semua orang kuat tiap Mokolempalili terutama yang ada diMoleoa, segera berkumpul
pada satu tempat di Ranoitole untukmendengarkan perintah-perintah selanjutnya.
3.Supaya tiap pasukan, harus ada satu sampai dua orang yang terkuatsebagai pengawal dengan
membawa senjata pedang tajam.

4.Di samping rakyat sibuk membersihkan perkampungan mereka, supaya makanan harus diatur
dengan sebaik-baiknya serta memotong babi sebagai persediaan makanan tersebut mereka
selama mengadakan perlawanan di Ranoitole.

Beberapa saat kemudian, Papa Lantiuna pergi mematamatai keadaan Tentara Belanda; ternyata
Tentara Belanda dalam keadaan lengah dan tidak mempunyai persangkaan apa-apa pada rakyat
Mori .Papa Lantiuna dengan segera mempergunakan kesempatan itu untuk mempersiapkan
pasukannya lengkap dengan senjata, kemudian menyatakan komando serentak menyerang
sekaligus membunuh Tentara Kompeni Belanda sampai habis semuanya. Pada saat
berlangsungnya serangan perlawanan terhadap Tentara Kompeni Belanda, juru bahasa yang
bernama Maradi melarikan diri sehingga ditangkap dan kemudian ditawan oleh Belanda di dekat
Londi wilayah Kolonadale. Juru bahasa yang bernama Maradi itu tidak dibunuh oleh Tentara
Belanda.

Kira-kira sebulan kemudian, Tentara Belanda datang ke Kolonadale untuk melakukan serangan
pembalasan memerangi Raja Marunduh yang gigih mengadakan perlawanan di Fulanderi
(Fulanderi terletak kira-kira sepululi kilometer jauhnyadari Desa Kolaka di wilayah Kolonadale
yang dinamakan Tanah Mori Bawah, yang sekarang dinamakan Kecamatan Petasia).
Pada pertempuran di Fulanderi, banyak Tentara Kompeni Belanda yang tewas,sedangkan Raja
Mori Marunduh sendiri selamat.Menurut cerita beberapa orang tua yang sekarang masih hidup
dan berada diKecamatan Mori Atas, bahwa Raja Marunduh mempunyai kura-kura emas
yangkecil sebagai azimatnya.

Akhirnya Tentara Kompeni Belanda mengetahui rahasia kura-kura emas sebagaiazimat Raja
Marunduh itu, maka Tentara Belanda mencari akal bagaimanacaranya untuk dapat mengalahkan
Raja Marunduh.Pada suatu ketika, Tentara Belanda menemukan alat dan cara yang
dapatmengalahkan kekuatan azimat Raja Marunduh Tentara Belanda mempersiapkanpeluru
emas sebanyak-banyaknya serta mempersiapkan beberapa pasukankhusus pembawa senjata yang
berisi peluru emas yang dikerahkan untukmenyerang dan menembak Raja Marundub. Dalam
waktu yang singkat, tepatpertahanan Raja Marunduh pada salah satu bukit di Fulanderi telah
dapatdiketahui dengan jelas oleh Tentara Belanda. Perlu dengan segera diatur pengepungan dan
pasukan khusus dengan senjata berpeluru emas langsungdikerahkan menuju tempat pertahanan
Raja Marunduh. Pada saat pasukankhusus Tentara Belanda melihat dengan jelas Raja Marunduh
di tempatpertahanannya, maka pasukan khusus segera menggempur dan menembaklangsung
Raja Marunduh.
Akhirnya Raja Marunduh pun telah tewas karenasasaran peluru emas. Di Fulanderi itulah,
tempat Raja Marundub tewas denganseorang kemenakannya yang bernama Lafolio.Setelah Raja
Marunduh tewas, maka datanglah ke Fulanderi, Tuan Nayoanbersama-sama dengan Tuan Letnan
Tentara Belanda mencari Papa Lantiuna diTobumpada, karena di situlah tempat Papa Lantiuna
melarikan diri sewaktuTentara Belanda menggempur Fulanderi; yang berarti Papa Lantiuna tidak
turutserta mengikuti Raja Marunduh pada tempat pertahanan Raja Marunduh diFulanderi, pada
saat penggempuran terakhir dari Tentara Belanda.Sebelum Tuan Letnan menemukan Papa
Lantiuna, maka terlebih dahulu TuanNayoan menemui Papa Lantiuna, dengan maksud
memberitahukan tentang apa-apa yang harus dikerjakan kalau Tuan Letnan Tentara Belanda
telahmenemukan Papa Lantiuna di Tobumpada.Tatkala Tuan Letnan Tentara Belanda telah tiba
diTobumpada, maka PapaLantiuna dengan cepat menyambut dan memeluk kaki Tuan Letnan
serayamencium ujung sepatu Tuan Letnan dengan ucapan minta ampun.Kemudian tibalah
saatnya Papa Lantiuna diperiksa oleh Tuan Letnan yangdidampingi oleh Tuan Nayoan. Pada saat
dilakukan pemeriksaan, maka TuanLetnan mengajukan beberapa pertanyaan, sebagai
berikut1.Apa sebabnya engkau membunuh tentara Belanda?2.Apakah engkau mampu
mengumpulkan tulang betulang Tentara Belandayang telah dibunuh itu?3.Apakah engkau
mampu mengumpulkan semua senjata Tentara Belandayang telah terbunuh itu?Kemudian Papa
Lantiuna menjawab sebagai berikut.

1.Saya membunuh Tentara Belanda atas perintah Raja Marunduh. KarenaMarunduh maka saya
sendiri yang akan dibunuh.

2.Saya sanggup mengumpulkan semua tulang belulang Tentara Belandayang telah terbunuh.
3.Saya mengaku, bahwa saya sanggup mengumpulkan semua senjataTentara Belanda yang telah
terbunuh itu.

Dengan jawaban dari Papa Lantiuna itu, maka Tuan Letnan berkata, ‘Hiduplahengkau!”. Dan
pada saat itu juga, Papa Lantiuna telah menunjukkankesanggupan atau kemampuannya dalam
memenuhi perintah Tuan LetnanTentara Belanda.Papa Lantiuna adalah salah seorang
Mokolempalili di Tanah Mori yang besar pengaruh dan wibawanya dalam lingkungan rakyat di
Tanah Mori. Oleh karenaitu orang-orang atau sebagian besar rakyat di Tanah Mori, taat
melaksanakanperintah-perintah dari Papa Lantiuna unluk mengumpulkan tulang belulang
sertamengembalikan senjata-senjata tentara Belanda yang telah tewas itu.Selanjutnya Tuan
Letnan memerintahkan kepada Papa Lantiuna agar tiap orangsebagai penanggung yang kuat,
harus membayar dua rupiah setengah sebagaidenda. Kemudian Tuan Letnan memerintahkan pula
kepada Papa Lantiuna agar segera diatur rakyat dari tiap-tiap suku di Tanah Mori untuk
membuka kembaliperkampungan-perkampungan, dimulai dari Kolonadale dan seterusnya
dalamlingkungan Tanah Mori.Selanjutnya Tuan Letnan memerintahkan lagi kepada Papa
Lantiuna agar tulangbelulang atau tengkorak Tentara Belanda yang telah tewas dalam
pertempuran,segera dibawa oleh rakyat Suku Mori yang akan membuka perkampungan
diKolonadale dan menguburkannya kembali di Kolonadale.Sampai sekarang ini, kuburan tulang
belulang dan tengkorak Tentara Belandaserta merta orang-orang suku Mori yang telah tewas
dalam pertempuran, masihada tetap terpelihara dengan baik di Kolonadale.Selain itu Papa
Lantiuna mendapat perintah lagi agar rakyat Mori melaksanakanpembuatan jalan dan pembukaan
perkampungan secara teratur serta mengatur perpindahan penduduk dari tiap-tiap suku di Tanah
Mori itu ke kampung-kampung atau desa-desa yang baru dibuka juga supaya rakyat hidup
membukapersawahan untuk menjamin kelangsungan hidup mereka bersama keluarganya.Papa
Lantiuna berhasil melaksanakan dan membuktikan kemampuannyasebagai seorang pemimpin,
seorang Mokolempalili yang sangat besar pengaruhdan wibawanya dalam lingkungan rakyat di
seluruh wilayah Tanah Mori.Mengenai pengantaran perpindahan penduduk dari tiap-tiap suku di
Tanah Mori,Papa Lantiuna mengatumya sebagai berikut:

1.Suku Moleoa’ yang tinggal di gunung-gunung seperti dari Sungke Lembadipindahkan pada
tanah rata di Desa atau Kampung Kasingoli danKorokonta

2.Suku dari Tavaangoli dipindahkan pada desa atau Kampung TanahSumpu dan di Korolemo

3.Suku dari Desa Lemborori dipindahkan di desa Tepaku

4.Suku dari Desa Tanjongkuni dipindahkan di Desa Londi

5.Suku dari Salemboi dipindahkan di Desa Taendeh

6.Suku dari Desa Wana dipindahkan di Desa Ensah

7.Suku dari Ndointobu dipindahkan di Desa Kolaka

8.Suku dari Desa Endemborate dipindahkan di Desa Tomata (Tomatasebagai tempat kedudukan
ibu kota wilayah Kecamatan Tanah Mori Atassekarang ini)

9.Suku-suku lainnya diperintahkan mencari dan mengatur tempatperkampungan masing-masing


yang mereka senangi keadaan alamnya.

Dengan perpindahan Suku-suku di Tanah Mori sebagai mana disebut diatas,maka terbentuklah
organisasi Pemerintahan Kesatuan Desa dari suku-sukutersebut, menjadi satu nama suku, yaitu
Suku Mori dan satu nama kesatuandaerah, yakni Tanah Mori.Perlu diketahui, bahwa Tanah Mori
adalah daerah yang terluas wilayahnyadalam lingkungan Kabupaten Poso, yang sekarang ini
terbagi menjadi tigawilayah Kabupaten, yakni:

1.Wilayah Kecamatan Mori Atas, ibu kota Tomata

2.Wilayah Kecamatan Petasia, ibu kota Kolonadale

3.Wilayah Kecainatan Lembo, ibu kotanya Beteleme; yang dikenal puladengan nama
sebelumnya: Tanah Mori Bawah
Cerita Istana Raja Mori,dll

1. Istana Mori, Morowali, Sulawesi Tengah

Istana Raja Mori terletak di atas bukit kurang lebih 25 m dari permukaan laut dengan
luas lokasi 960 m2. Istana ini terdiri dari bangunan induk dan anak bangunan dibangun
diatas pendasi beton ukuran tinggi maksimum 1,17 m dan minimum 1,08 m dari muka
tanah.Secara administrasi rumah bekas Istana Raja Mori ini terletak di desa Kolonedale
Kecamatan Petasia Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah.
Dari kajian-kajian yang bersumber dari peninggalan leluhur yang didukung dengan
kepustakaan yang ada, diketahui bahwa Kerajaan Wita Mori adalah kerajaan
persemakmuran yang terdiri dari gabungan Kerajaan-Kerajaan/Wilayah Otonom yang
mempunyai pimpinan sendiri-sendiri. Walaupun demikian, bahasa, adat istiadat serta
silsilah Raja-Raja/Pemimpin yang pernah menduduki jabatan dapatlah diketahui bahwa
mereka berasal dari satu keturunan ratusan tahun yang silam. Ikatan kekeluargaan ini
yang merupakan pengikat solidaritas yang mendorong lahirnya kerajaan persemakmuran
untuk membangun secara bersama-sama kesejahteraan dan pertahanan secara terpadu
dalam menghadapi perang antar suku (Mengayau) dan menghalau ekspansi Kolonial
Belanda yang mulai mencampuri urusan perdagangan di Teluk Tomori (Peristiwa Towi,
1948).

Dari beberapa kajian pula, baik yang berbau mitologi maupun cerita-cerita rakyat (folk
tale), kisah Sawerigading yang turun temurun di kalangan tua-tua Wita Mori, dapatlah
dikatakan bahwa Kerajaan Wita Mori merupakan pengembangan dari Kerajaan Luwu.
Hal ini dipertegas lagi dengan adanya Upeti yang harus dikirimkan setiap tahun kepada
Datu Luwu dari beberapa kerajaan Sulawesi Tengah bagian timur, antara lain Kerajaan
Bungku, Mori dan Banggai. Saat itu, Kerajaan Wita Mori dipimpin oleh seorang Ratu
bernama Wedange yang dibantu oleh Karua/Tadulako bernama Kello dan berkedudukan
di Wawontuko (Puncak Tongkat). Pada waktu itu Raja Mori Wedange tidak mau
menghadiri panggilan Datu Luwu untuk bertemu di Uluanso sehubungan dengan
keterlambatan pembayaran upeti dan hanya menyampaikan pesan lewat Karua Kello
bahwa “saya lebih baik memilih mati”. Sejak saat itu, Kerajaan Luwu mulai menyerang
Kerajaan Mori yang dalam pertempuran sengit berhasil menaklukkan serta menawan
Raja Wedange dan keluarganya serta Karua Kello di Palopo.

Sejak saat itu Kerajaan Wita Mori mengalami kekosongan Pemimpin dalam menghadapi
serangan Pengayau sampai dengan tampilnya seorang tokoh legendaris, seorang Tadulako
dengan gelar Tandu Rumba-Rumba bernama Rorahako. Rorahako mengumpulkan para
Tadulako dari setiap anak suku di Wita Mori untuk menghadap Datu Luwu dan memohon
agar Raja Wedange dibebaskan agar dapat kembali memimpin Kerajaan Wita Mori.
Permohonan itu direstui oleh Datu Luwu. Namun, Wedange yang pada saat itu telah
lanjut usia menunjuk anaknya Pangeran Anamba untuk menjadi Raja dengan syarat
Kerajaan Wita Mori tidak lagi berkedudukan di Wawontuko, akan tetapi di suatu tempat
yang lebih jauh ke pedalaman yaitu satu tempat yang bernama Pa’antoule (Petasia).

Walaupun hanya kerajaan kecil namun tercatat pula sejarah yang mengisahkan tentang
peperangan kerajaan ini melawan Kolonial Belanda. Perang melawan pemerintah Hindia
Belanda pertama kali terjadi pada tahun 1856 yang dikenal dengan Perang Mori Pertama
(Perang Ensaondau) yang dipimpin oleh Raja Tosaleko yang pada saat itu telah mulai
dapat menghimpun kekuatan setelah beberapa kali melakukan pembenahan dari struktur
pemerintahan sebelumnya yang dianggap kurang memuaskan dalam mengurus kegiatan
pemerintahan serta pertahanan keamanan kerajaan. Dalam perang Ensaondau tersebut,
Belanda berhasil merebut dan mengibarkan benderanya di Benteng Ensaondau. Pasukan
Belanda berhasil menduduki Tompira dan Benteng Ensaondau, membakar permukiman
di Patongoa dan Wawontuko. Namun, ekspedisi pasukan Belanda ini dianggap kurang
memuaskan karena telah banyak menelan korban dari pasukan militer serta
mengeluarkan anggaran yang sangat besar, dan nyatanya Kerajaan Mori tetap berjaya
menjadi satu kerajaan merdeka dan berdaulat penuh.

Perang besar lainnya, yaitu Perang Mori Kedua (Perang Wulanderi) yang dipimpin
oleh Raja Marunduh (Datu ri Tana) pada bulan Agustus 1907. Perang ini berakhir dengan
kematian Raja Marunduh Datu ri Tana setelah mendapat serangan dari pasukan Marsose
di Benteng Wulanderi. Kematian Raja Mori ini menimbulkan duka yang teramat dalam
bagi rakyat Mori. Hal ini menjadi titik terlemah bagi perjuangan rakyat Mori dalam
mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya. Rakyat Mori dirundung duka dan
berkabung sehingga sangat sulit untuk kembali membangkitkan semangat untuk
meneruskan perlawanan. Pada akhirnya atas kesepakatan bersama para Mokole dan
Tadulako, seluruh daerah pertahanan mengibarkan bendera putih sebagai tanda
pernyataan menyerah. Dengan demikian pasukan ekspedisi Belanda menyataka bahwa
seluruh wilayah Kerajaan Mori telah berhasil ditaklukkan dan dikuasai pada 20 Agustus
1907.

Berdasarkan rekomendasi Bupati Poso Nomor 012/0152/DP tanggal 27 Mei 1997 tentang
pemberian wewenang sepenuhnya Situs Istana Raja Mori kepada DEPDIKBUD. Surat
pernyataan putera ahli waris Awolu Marunduh dengan ikhlas menyerahkan Istana Raja
Mori ke Pemda Poso tanggal 5 September 1997.

2. Istana Banggai, Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah

Kerajaan Banggai klasik telah ada dan dikenal sekitar abad ke 13 M dengan nama
Benggawi, di era kejayaan Kerajaan Mojopahit dibawah pimpinan Prabu Hayam Wuruk
(1351-1389), dimana kerajaan Banggai saat itu telah menjadi bagian dari kerajaan
Mojopahit, sebagaimana disebut pada seuntai syair dalam buku Nagara kertagama karya
Mpu Prapanca. Dalam struktur Kerajaan Banggai klasik menurut Dr.Alb.C.Kruyt dalam
studinya De Vorsten van Banggai, Kerajaan Banggai kala itu dipimpin oleh seorang raja
yang bergelar Adi yang tinggal di Linggabutun yang terletak digunung Bolukan (sekarang
Padang Laya) dan empat orang yang merupakan suatu dewan penasehat bagi Adi dan
diberi gelar Tomundo Sangkap yang masing-masing mempunyai kekuasaan
tertentu.Mereka inilah sejatinya pendiri Kerajaan Banggai. Secara berturut-turut disebut
empat orang Adi yang memerintah sebelum Adi Lambal Polambal memerintah. Adi
Lambal Polambal menjadi raja terakhir fase Kerajaan Banggai klasik. Selama ia
memerintah sering terjadi perselisihan antar saudara di antara empat raja kecil (tomundo
Sangkap) yang merupakan dewan penasehat bagi Adi, yang sukar untuk didamaikan oleh
Adi Lambal Polambal.

Pada masa pemerintahan Adi Lambal Polambal inilah muncul seorang bangsawan dari
tanah Jawa yang merupakan panglima perang Sultan Baabullah dari Kerajaan Ternate
bernama Adi Cokro alias Adi Soko. Adi Cokro kemudian hadir sebagai sosok pembawa
kedamaian atas gejolak internal Kerajaan Banggai, sehingga karena kebijaksanaannya,
Adi Lambal dan keempat tomundo tersebut menawarkan pemerintahan kepadanya.
Karena identitasnya sebagai sebagai seorang panglima perang Kesultanan Ternate inilah
yang kemudian melegitimasi kerajaan Banggai sebagai bagian dari taklukan Kesultanan
Ternate, meskipun Adi Cokro hadir tidak dengan cara konfrontasi militer melainkan
menjalankan misi penyebaran agama islam. Adi Cokro kemudian naik tahta menjadi raja
Banggai dengan gelar Mbumbu, sejak itulah gelar adi menghilang digantikan dengan
mbumbu.

Masa Adi Cokro memimpin disinalah menjadi fase awal peradaban Kerajaan Banggai
moderen, ia kemudian dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banggai moderen setelah beliau
sukses memperluas wilayah Kerajaan Banggai (klasik) yang sebelumnya hanya meliputi
wilayah Pulau Banggai saja menjadi kerajaan utama (primus inter pares) dari beberapa
kerajaan yang ada dengan menundukan kerajaan – kerajaan di Pulau Peling seperti
Kerajaan Tokolong (Buko), Lipu Babasal (Bulagi), Sisipan, Liputomundo, Kadupang dan
Kerajaan Bongganan, hingga sampai ke jazirah timur daratan Sulawesi dengan
menaklukan Kerajaan Tompotika, Bola, Lowa, dan Kerajaan Gori-gori yang kemudian
disebut wilayah Banggai darat (sekarang Kab.Banggai). Ia kemudian mengatur
pemerintahan atas daerah-daerah kekuasaannya serta membawa masuk agama islam di
seluruh wilayah kekuasaan kerajaan Banggai. Pulau Banggai tetap dijadikan pusat
pemerintahannya, sementara itu Adi yang terakhir yaitu Adi Lambal Polambal diangkat
kembali sebagai pelaksana pemerintahannya dengan memberi kepadanya jabatan Jogugu,
sedangkan dewan penasehat, yaitu keempat raja (tomundo) kecil juga mendapat gelar
kehormatan Pau Basal / Basalo yang lebih rendah dari tomundo.

Sebutan Pau Basal yang dalam bahasa berarti “anak besar” dianggap sebagai satu gelar
kehormatan, karena membentuk suatu hubungan antara bapak-anak antara Mbumbu
dengan keempat Pau Basal itu, daerah kekuasaan mereka ditentukan kembali dari gunung
Bolukan dimana sang raja membangun sebuah istana untuk salah seorang istrinya. Tetapi
dalam pembagian daerah itu diatur sedemikian rupa sama seperti para bapak leluhurnya,
yakni para Tomundo. Keempat Pau Basal sangat dihormati oleh Mbumbu dan para
penerusnya, mereka merupakan suatu dewan penasehat, yang pengaruhnya sama luasnya
dengan kekuasaan Mbumbu.

Karena suatu hal, Adi Cokro kembali ke tanah Jawa, akibatnya kerajaan Banggai mulai
mengalami kekacauan dan kevakuman pemerintahan yang cukup panjang. Dalam
desertase Banggaische Adatrecht oleh Dr.JJ.Dormeier disebutkan bahwa pasca Adi
Cokro, ada delapan orang Mbumbu berturut-turut yang memerintah Kerajaan Banggai.
Tiga diantaranya tercatat sebagai Mbumbu dinaadat atau raja yang dibunuh. Krisis
panjang ini baru berarkhir setelah putera Adi Cokro, Maulana Prins Mandapar
memerintah. Setelah ayahnya, Mandapar kemudian dianggap sebagai Raja Banggai
pertama dan yang terbesar, ia kembali menegakkan kekuasaannya di seluruh wilayah
kekuasaan Kerajaan Banggai, mulai dari Pulau Sonit sampai ke Balingara dan dari Rata
sampai ke Teluk Tomini serta mendirikan suatu pemerintahan pusat di Banggai.
Adapun mengenai status dan posisi Syukuran Aminudin Amir dalam sejarah Kerajaan
Banggai bukanlah Tomundo yang terlegitimasi secara utuh dan sah oleh tata aturan
hukum formil kerajaan Banggai, melainkan hanya sekedar sebagai Pelaksana tugas harian
Tomundo Banggai tatkala Tomundo Banggai Nurdin Daud yang yang baru berusia 12
tahun dikukuhkan oleh Basalo Sangkap pada tahun 1939 pasca mangkatnya Tomundo
Awaludin sebagai tomundo Banggai ke 19. Namun karena mengingat usia raja Nurdin
Daud yang terlalu belia untuk melaksanakan tugas kerajaan maka ditunjuklah S.A.Amir
yang saat itu menjabat sebagai Mayor Ngofa sebagai pelaksana tugas (Plt). Namun
kemudian amanat itu dibajak dengan mengukuhkan diri sebagai Tomundo yang legal
meskipun tanpa restu dan tidak melalui pengukuhan oleh Basalo Sangkap sebagaimana
ketentuan konstitusi kerajaan Banggai.

Belum cukup sampai disitu pada tahun 1941 rekayasa sejarah Kerajaan Banggai itupun
dimulai, setelah mengukuhkan dirinya sebagai Tomundo. Mengingat posisinya di dalam
keraton kerajaan Banggai di Banggai yang tanpa legitimasi konstitusional sehingga tidak
mendapat pengakuan dari Dewan Basalo Sangkap kala itu, maka atas dukungan
kerjasamanya dengan Belanda yang berada di Luwuk, S.A. Amir kemudian dengan
berani memindahkan ibu kota kerajaan Banggai ke Luwuk meskipun tanpa izin dan restu
dari raja muda Nurdin Daud dan Dewan Penasehat Basalo Sangkap. Ia kemudian
menyebut dan menamakan suatu tempat yang berlokasi di dalam kota Luwuk dengan
nama Keraton. Rekayasa ini seakan-akan bahwa kerajaan Banggai benar-benar telah
mempunyai bangunan keraton sendiri di kota Luwuk sebagai pusat pemerintahan
kerajaan Banggai yang baru.

Akhir periode Batomundoan Banggai atau Kerajaan Banggai adalah ketika terjadi
peralihan status wilayah Banggai dari sistem swapraja Banggai menjadi daerah tingkat II
(Dati II) Banggai.

3. Istana Datu Luwu, Palopo, Sulawesi Selatan

Istana yang berlokasi di tengah Kota Palopo ini merupakan pusat Kerajaan Luwu. Istana
ini dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda sekitar tahun 1920-an di atas tanah bekas
“Saoraja” (Istana sebelumnya yang terbuat dari kayu dan konon bertiang 88 buah) yang
diratakan dengan tanah oleh Pemerintah Belanda.

Bangunan permanen ini dibangun dengan arsitektur Eropa oleh Pemerintah Kolonial
Belanda dengan maksud untuk mengambil hati Penguasa Kerajaan Luwu. Namun oleh
kebanyakan bangsawan Luwu, tindakan ini dianggap sebagai cara untuk menghilangkan
jejak sejarah Kerajaan Luwu sebagai Kerajaan yang dihormati dan disegani kerajaan-
kerajaan lain di jazirah Sulawesi secara khusus dan Nusantara secara umum.

Istana Luwu menjadi pusat pengendalian wilayah Kesultanan Luwu yang luas oleh
Penguasa Kerajaan yang bergelar Datu dan atau Pajung (Di Kerajaan Luwu terdapat 2
strata Penguasa/Raja yaitu Datu, kemudian di tingkat lebih tinggi Pajung). Di dekat Istana
Luwu terdapat Masjid Jami yang usianya sangat tua dan keseluruhan dindingnya terbuat
oleh batu yang disusun.

4. Saoraja Petta Ponggawae, Bone, Sulawesi Selatan


Sejarah mencatat bahwa Bone merupakan salah satu kerajaan besar di Nusantara pada
masa lalu. Kerajaan ini didirikan oleh Manurungnge Ri Matajang pada tahun 1330
dengan gelar Mata Silompo’e.

Kerajaan Bone mencapai puncak kejayaannya pada pertengahan abad ke-17 di masa
pemerintahan Latenritatta Towappatunru Daeng Serang Datu Mario Riwawo Aru
Palakka Malampee Gemmekna Petta Torisompae Matinroeri Bontoala.

5. Saoraja Mallangga, Wajo, Sulawesi Selatan

Wajo merupakan salah satu daerah yang pernah dipimpin oleh kerajaan. Berbagai tradisi
kerajaan pun masih dipertahankan hingga kini. Salah satunya adalah pencucian benda
pusaka peninggalan kerajaan. Benda pusaka peninggalan kerajaan tersebut disimpan di
Saoraja atau rumah raja (istana). Salah satu Saoraja yang dijadikan museum di
kabupaten berjuluk Bumi Lamaddukelleng ini, yakni Saoraja Mallangga museum
simettengpola.

Arsitektur Saoraja Mallangga cukup unik, bangunan berlantai dua ini merupakan
perpaduan bangunan rumah khas bugis atau rumah panggung dengan bangunan khas
Belanda. Saoraja ini dibangun sekitar tahun 1930, pada era kerajaan Ranreng Bettengpola
ke-26, Datu Makkaraka yang juga dikenal sebagai ahli lontara.
Pembangunannya membutuhkan waktu sekitar 2 tahun lebih. Sebagai bangunan
peninggalan sejarah, Saoraja Mallangga kemudian diusulkan menjadi museum pada
tahun 1993, dan diresmikan oleh Gubernur Sulsel, HM Amin Syam sebagai museum pada
tahun 2004.
Bangunan ini memiliki filosofi yang menggambarkan kedekatan seorang raja dengan
rakyatnya. Hal itu dibuktikan dengan tidak diperkenankannya ada pagar pembatas
bangunan ini, tidak boleh menampilkan kemegahan atau terlalu besar, dan tidak boleh
tinggi serta pintu harus selalu terbuka lebar. Bentuk bangunannya pun secara umum
masih dipertahankan seperti pada awal didirikannya, hanya bagian atapnya yang telah 7
kali diganti.
Saat ini, Saoraja tersebut dihuni oleh salah seorang putra Datu Makkaraka, yakni H Datu
Sangkuru yang bergelar Ranreng Bettengpola ke-27 bersama beberapa orang anaknya.
Salah seorang putri Datu Sangkuru yang juga staf di Disporabudpar Wajo, Andi Cidda
Minasa mengatakan, alasan awal Saoraja ini dijadikan museum karena khawatir
peninggalan sejarah arung bettengpola musnah, sehingga Saoraja ini dijadikan museum
untuk melestarikan barang-barang peninggalan kerajaan terdahulu.
Kini di Museum ini sering pula dimanfaatkan sebagai tempat untuk pagelaran seni
tradisional Wajo, seperti Massure yaitu seni yang bercerita dalam bahasa bugis lontara
dan diiringi musik tradisional.
Berbagai barang-barang peninggalan Arung Bettengpola yang dipajang di museum ini,
seperti peralatan upacara adat, peralatan dapur, keramik antik, Serta berbagai jenis keris
dan tombak.

6. Saoraja La Pinceng, Barru, Sulawesi Selatan

Saoraja La Pinceng merupakan salah satu rumah atau istana peninggalan kerajaan
Balusu. Istana ini menjadi salah satu saksi perjuangan Kerajaan Balusu melawan
penjajahan Belanda.

Awal mula kerajaan Balusu diperintah keturunan raja-raja Gowa. Namun ketika rakyat
Balusu sudah tidak sudi lagi diperintah keturunan raja-raja Gowa, maka ketua adat
kerajaan Balusu memohon kepada kerajaan Soppeng (Datu Soppeng). Permohonan ini
untuk memberikan atau memperkenankan keturunan Datu Soppeng untuk menjadi raja
Balusu. Namun semua anak laki-laki Datu Soppeng sudah memangku jabatan, maka
diutuslah anak perempuannya, Tenri Kaware untuk menjadi Ratu Balusu.

Setelah Tenri Kaware memerintah kerajaan Balusu beberapa tahun, kemudian digantikan
oleh puteranya, Andi Muhammad Saleh. Dalam masa pemerintahan Andi Muhammad
Saleh, kerajaan Balusu dalam keadaan aman dan sentosa. Selain itu, kehidupan rakyat
penuh kesehjahteraan dan hasil pertanian melimpah ruah. Raja ini terkenal sangat saleh
dan berani, sehingga kemudian digelar dengan nama Andi Muhammad Saleh Daeng
Parani Arung Balusu.

Atas jasa-jasanya dalam mempertahankan kerajaan Soppeng dari kehancuran atas


serangan yang dilancarkan gabungan kerajaan Wajo dan Sidenreng (Musu Belo atau
Perang Belo), dia diberi gelar ‘Petta Sulle Datue’. Gelar ini juga memberikan kesempatan
kepada Andi Muhammad Saleh untuk menggantikan Datu Soppeng jika berhalangan dan
diserahi tugas dan tanggung jawab sebagai panglima perang di bagian barat kerajaan
Soppeng. Dalam masa pemerintahannya, Andi Muhammad Saleh memindahkan pusat
kerajaan dari Balusu ke Lapasu dan markas pertahanannya di Bulu Dua. Di Bulu Dua ini
didirikan Saoraja Lamacan yang terkenal penuh dengan ukiran.

Saoraja La Pinceng sendiri dibuat pada tahun 1895 terletak di Dusun Lapasu atau Bulu
Dua Kabupaten Barru. Ukuran Ale Bola atau bangunan rumah induk berukuran kurang
lebih 23,50 x 11 meter. Jumlah tiang Saoraja La Pinceng sebanyak 35 buah dengan
panjang sekitar 6,50 meter, dan lebar sekitar 5,50 meter. Selain itu, juga terdapat sembilan
buah tiang dengan ukuran 3 x 3 meter. Selain itu, di dalam lokasi Saoraja La Pinceng
terdapat pula beberapa bangunan antara lain, rumah jaga, panggung pementasan, kamar
mandi dan sumur. Luas lokasi secara keseluruhan sekitar 4.000 meter persegi.

7. Istana Balla Lompoa, Gowa, Sulawesi Selatan


Istana Tamalate dan Balla Lompoa adalah sisa-sisa Istana Kerajaan Gowa yang sekarang
berfungsi sebagai museum. Di dalamnya terdapat berbagai harta pusaka peninggalan
Kerajaan Gowa pada zaman keemasannya. Istana Tamalate dan Balla Lompoa terletak
bersebelahan dalam satu kompleks di Sungguminasa, Gowa. Jarak lokasi ini sekitar 15
kilometer sebelah selatan pusat Kota Makassar.
Bangunan ini sama-sama berbentuk rumah panggung. Warnanya coklat tua, seluruhnya
terbuat dari kayu ulin atau kayu besi. Tampak jelas usia bangunan ini tak lagi muda. Luas
komplek adalah 1 hektare dan dikelilingi tembok tinggi.
Bangunan Istana Tamalate yang lebih besar dari Balla Lompoa adalah istana pertama
Kerajaan Gowa sebelum kota raja dipindahkan ke dalam Benteng Somba Opu. Tapi
Istana Tamalate yang sekarang berdiri di kompleks tersebut sebenarnya bukan bangunan
istana yang asli karena yang asli sudah punah terkubur masa.

Istana replika ini dibangun pada saat Syahrul Yasin Limpo menjadi Bupati Gowa tahun
1980-an. Bahan dan ukurannya disesuaikan dengan aslinya berdasarkan kajian terhadap
sejumlah naskah Makassar kuno (lontara) yang menceritakan tentang Istana Tamalate.
Sementara Balla Lompoa adalah istana asli Kerajaan Gowa yang didirikan pada masa
pemerintahan Raja Gowa ke-31, I Mangngi-mangngi Daeng Matutu, pada tahun 1936.
Balla Lompoa dalam bahasa Makassar berarti rumah besar atau rumah kebesaran. Fungsi
Balla Lompoa adalah museum yang menyimpan simbol-simbol kerajaan, seperti mahkota,
senjata, payung raja, pakaian, bendera kebesaran, serta barang-barang lainnya termasuk
sejumlah naskah lontara.
Bangunan istana merupakan gabungan dari bangunan-bangunan utama dan pendukung
yang saling terhubung. Bangunan dihubungkan dengan sebuah tangga setinggi lebih dari
dua meter. Bagian depan bangunan adalah teras, lalu masuk ke ruang utama, dan ruang-
ruang lainnya seperti kamar tidur yang pernah digunakan oleh raja.

8. Istana Malige, Baubau, Sulawesi Tenggara

Istana Sultan Buton (disebut Kamali atau Malige) meskipun didirikan hanya dengan saling
mengait, tanpa tali pengikat ataupun paku, dapat berdiri dengan kokoh dan megah di atas
sandi yang menjadi landasan dasarnya. Rumah adat Buton atau Buton merupakan
bangunan di atas tiang, dan seluruhnya dari bahan kayu. Bangunannya terdiri dari empat
tingkat atau empat lantai.
Ruang lantai pertama lebih luas dari lantai kedua. Sedangkan lantai keempat lebih besar
dari lantai ketiga, jadi makin ke atas makin kecil atau sempit ruangannya, tapi di lantai
keempat sedikit lebih melebar. Seluruh bangunan tanpa memakai paku dalam
pembuatannya, melainkan memakai pasak atau paku kayu. Tiang-tiang depan terdiri dari
5 buah yang berjajar ke belakang sampai delapan deret, hingga jumlah seluruhnya adalah
40 buah tiang.

Pada bangunan Malige terdapat 2 macam hiasan, yaitu ukiran naga yang terdapat di atas
bubungan rumah, serta ukiran buah nenas yang tergantung pada papan lis atap, dan di
bawah kamar-kamar sisi depan. Adapun kedua hiasan tersebut mengandung makna yang
sangat dalam, yakni ukiran naga merupakan lambang kebesaran kerajaan Buton.
Sedangkan ukiran buah nenas, dalam tangkai nenas itu hanya tumbuh sebuah nenas saja,
melambangkan bahwa hanya ada satu Sultan di dalam kerajaan Buton. Bunga nenas
bermahkota, berarti bahwa yang berhak untuk dipayungi dengan payung kerajaan hanya
Sultan Buton saja. Nenas merupakan buah berbiji, tetapi bibit nenas tidak tumbuh dari
bibit itu, melainkan dari rumpunya timbul tunas baru. Ini berarti bahwa kesultanan
Buton bukan sebagai pusaka anak beranak yang dapat diwariskan kepada anaknya
sendiri. Falsafah nenas ini dilambangkan sebagai kesultanan Buton, dan Malige Buton
mirip rongga manusia,,,,
Diposkan oleh Idhank Vieya di 00.55
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Tidak ada komentar:

Poskan Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda


Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Makam Datu ABBAS

Foto Tanggal 05-10-2014 Lokasi Desa Wasah Hilir Kec. Simpur

APA YANG ANDA CARI

JAM BLOGGER KITA


Calendar Bersama
ARSIP BERSAMA
 ▼ 2014 (28)
o ► September 2014 (6)
o ► Mei 2014 (5)
o ▼ April 2014 (8)
 ► Apr 22 (6)
▼ Apr 21 (2)
 Cerita Istana Raja Mori,dll
 Cerita Syekh Muhammad Thaib
o ► Maret 2014 (4)
o ► Februari 2014 (5)

 ► 2013 (75)

Laman
 Beranda
 KISAH AMUK HANTARUKUNG

Cerita dan Legenda Rakyat


 LEGENDA MALIN KUNDANG

Legenda Malin Kundang : Pada suatu waktu, hiduplah sebuah keluarga nelayan di pesisir
pantai wilayah Sumatra. Keluarga tersebut terdiri da...

 LEGENDA BATU GANTUNG

Pada jaman dahulu kala di sebuah desa kecil di tepi Danau Toba hiduplah sepasang suami
– i stri dengan seorang anak perempuannya yan...

KISAH SUKU BUGIS

Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah
didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun...

 KISAH MALIN KUNDANG

Pada zaman dahulu hiduplah seorang janda yang bernama Mande Rubayah. Mande
Rubayah mempunyai seorang putra bernama Malin Kundang. Mereka...

 LEGENDA SANGKURIANG

Sangkuriang adalah legenda yang berasal dari Tanah Sunda. Legenda tersebut berkisah
tentang terciptanya danau Bandung, Gunung Tangkuban Pa...

 MENGENAL GURU H. IJAI

Syaikhuna al-Alim al-Allamah Muhammad Zaini bin al-Arif billah Abdul Ghani bin
Abdul Manaf bin Muhammad Seman bin Muhammad Sa'ad...

 PAHLAWAN PATTIMURA

Pattimura lahir pada tanggal 8 Juni 1783 dari ayah Frans Matulesi dengan Ibu Fransina
Silahoi. Munurut M. Sapidja ( penulis buku sejarah p...

 KISAH DATU SUBAN RANTAU

Datu suban sering disebut juga datu sya'iban ibnu zakaria zulkifli dgn ibunda bernama
maisyarah, beliau hidup dikampung muning t...

 KISAH DATU BANUA LIMA


Sakitar abad ke-5 M berdiri sebuah kerajaan yang merupakan kerajaan permulaan di
Kalimantan Selatan, jauh sebelum berdirinya Kerajaa...

 PANGERAN ANTASARI

Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Banjar, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan
Selatan, 1797 atau 1809 – meninggal di Bayan Bego...

BERITA TERBARU
liputan6.com Google Microsoft
Mendagri: KPU Siap Selenggarakan Pilkada Serentak
Liputan 6 Liputan6.com
Menurut Mendagri Tjahjo Kumolo, persiapan utama KPU untuk menggelar pilkada serentak
adalah dalam hal infrastruktur. Liputan6.com, Jakarta - Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu) tentang Pilkada Nomor 1 Tahun 2014 ...
325.000 File Berbahaya Intai Pengguna PC
Tekno Liputan6.com
Liputan6.com, Jakarta - Sepanjang tahun 2014, setiap harinya tim Peneliti Anti-Malware dari
Kaspersky Lab memproses 325.000 file baru yang berbahaya. Terpaut sebanyak 10.000 file per
hari jika dibandingkan dengan tahun 2013 dan lebih banyak ...
10 Alasan yang Bisa Bikin Bale Tinggalkan Madrid
Bola Liputan6.com
Liputan6.com, Madrid - Rumor Gareth Bale hengkang dari Real Madrid makin kencang
bergulir. Hal ini tidak lepas dari kabar retaknya hubungan bintang timnas Wales itu dengan
"bintang utama Madrid" Cristiano Ronaldo. Friksi diantara keduanya tampak ...
Sony Wakwaw Tolak Tawaran Main Layar Lebar
Showbiz Liputan6.com
Liputan6.com, Jakarta Nama Sony Wakwaw melambung berkat sinetron Emak Ijah Pengen ke
Mekkah (EIPM). Ia pun kebanjiran job untuk bermain dalam layar lebar. Sayangnya, hingga kini
tak satupun ajakan bermain film ditolaknya. Menurut Sawiyah, ibu ...
didukung oleh

Pertapaan Pengeran Suryanata

Lokasi Candi Agung Amuntai

MASJID SU'ADA
Masjid Baangkat Ds. Wasah Hilir

BATU BARANAK

MASJID BANUA HALAT

Makam Datu ABBAS

Foto Tanggal 05-10-2014 Lokasi Desa Wasah Hilir Kec. Simpur


Kubah H. Yahya bin Affan

Foto Thn 2010 Lokasi Desa Halayung Kec. Simpur, HSS

Rumah Pejuang Kandangan

Makam Sultan Suriansyah

Lokasi Pulau Kuin Banjarmasin

Makam Syech M. Nafis

Datu Nafis Kalua


Makam Guru H. Ijai

Makam Datu Kalampayan

Makam H. Surgi Mufti

Makam Bukhari, dkk


Makam Syarifah Badrun

Makam Habib Hamid (Basirih)

Makam Habib Ali Abu Bakar

Makam Datu Bero

Makam Datu ABulung


Makam Sykeh Aminullah

Makam Datu Janggut Martapura

Makam Syekh Yusuf


Makam Syekh Salman

MAKAM DATU NURAYA

Makam H. Abd. Gani Waringin

Makam Datu Ismail


Makam Datu Sanggul

Makam Abd. Majid bin Abdullah

Makam Datu Harung

Makam Datu Ahmad


Makam Datu Kalampayan

Makam Habib Umar bin Mustafa

Makam Syarif Ali

Makam Habib Ahmad


Makam H. Abdullah

Makam Syekh Zainal Ilmi

Makam Datu Ahmad bin Muhammad

Makam H. Herman bin Hasyim


Makam Datu Amin

Makam Sayyid Abu Bakar

Mengenai Saya

Lihat profil lengkapku

Cerita Rakyat Dari Sulawesi Tengah

“LANDUSA”
Dahulu kala tinggalah seorang pria tinngi besar di dalam gua di atas bukit,tinngginya berkisar
100 m namanya adalah Landusa.Di lembah bukit itu juga ada beberapa desa yang saling
bermusuhan,namun meraka tidak bermusuhan dengan Landusa.Pada suatu saat di pagi yang
cerah Landusa duduk-duduk bersandar pada sebuah batu besar sebelum pergi berburu Rusa ia
dari kejauhan dia melihat seorang gadis manis dan elok parasnya yang sedang mencuci
pakaian,Landusa jatuh cinta pada gadis itu.Dia terus melihat gadis itu sampai ia selesai mencuci
pakaianya dan pulang,Landusa memperhatikan baik-baik ke desa mana gadis itu pergi sampai
akhirnya gadis itu sampai dan Landusa pun tahu.Gadis itu tinggal sebatang kara.Semalaman
Landusa susah tidur karna memeikirkan gadis desa itu dan pada malam itu ia berterkad bahwa
besok pagi ia akan pergi mencari gadis itu untuk melamarnya menjadi istrinya.Keesokan paginya
Landusa berangkat menuruni bukit,baru melewati batas wilayah desa hentakan kakinya sudah di
rasakan warga seperti gempa bumi.Warga berlarian dan berteriak “ada raksasa…!!!”,warga heran
dan bertanya-tanya apa yang membuat Landusa datang ke desa.Sesampainya di desa Landusa
berkata “jangan takut,aku datang kemari dengan masksud baik”,saat itu ia melihat gadis itu dan
sambil menunjuk ke arah gadis itu ia berkata “aku datang untuk melamar gadis itu menjadi
istriku”.Dengan mempertimbangkan keselamatan warga desa,gadis itu menerima lamaran
Landusa.Landusa kembali ke bukit,dan besoknya ia pergi ke desa untuk melaksanakan proses
pernikahan.Pernikahan berjalan lancar dan meriah,malam itu ia tidur di desa.Pada dini hari desa
itu di serang oleh desa lain,karena mereka tahu bahwa desa itu baru saja melaksanakan pesta
namun mereka tidak tahu bahwa pengantin prianya adalah Landusa.Warga terkejut namun dalam
sekejap musuh habis di tumpas Landusa,berita itu cepat tersebar ke seluruh wilayah lembah bukit
tersebut.Setelah beberapa tahun menikah Landusa dan istrinya belum dikaruniai anak,sehinnga
sempat terpikir olehnya bahwa apa gunanya ia bekerja keras banting tulang kalau bukan untuk
keturunanya dan tidak ada yang melanjutkannya.Landusa pergi ke bukit,dia merenung di sana
dan sambil melihat seluruh desa-desa yang ada di lembah bukit itu terpikir olehnya untuk
menyatukan seluruh wilayah itu.Landusa bermalam di bukit itu,besok paginya ia kembali ke desa
dan menyampaikan gagasannya itu kepada seluruh tua-tua desa dan mereka semua setuju.Maka
di bentuklah sebuah pasukan yang akan maju bersama Landusa,dengan di pimpin Landusa
pasukan itu mulai bergerak.Saat akan menyebrangi sungai,musuh telah memetuskan jembatan
sungai itu.Tapi Landusa hanya membentangkan kakinya dan tentaranya berjalan di atas kakinya
untuk menyebrangi sungai,setelah tentara itu selesai Landusa melangkahi sungai itu dan sampai
di seberang.Mereka lalu mengepung desa itu dan menyerangnya dan desa itu berhasil di
taklukan,lalu pasukan itu bergerak untuk menyerang desa lain.Dalam sehari Landusa dan
pasukanya berhasil menaklukan lima desa,sehingga kabar itu di dengar oleh seluruh mahluk
yang tinggal di lembah bukit itu.Besoknya pasukan itu bergerak dan mengepung sebuah desa,dan
tanpa perlawanan desa itu menyerah.Hingga dalam seminggu semua desa datang
mempersembahkan korban,lalu mereka semua sepakat untuk mengangkat Landusa sebagai
pemimpin mereka lalu menobatkannya.Setahun berlalu Landusa menjadi penguasa negeri itu,di
bawah pimpinannya wilayah itu aman sehingga warga bebas bertani dan mencapai puncak
kejayaan.Landusa tetep tinggal di bukit dan seminggu sekali ia mengunjungi isterinya,ia datang
pagi dan kembali besok paginya lagi.Hari itu adalah hari di mana ia mengunjungi isterinya
namunkarena jenuh,Landusa pergi kie bukit,di sana ia merenung sambil bersandar pada sebuah
batu besar.Dia memandang ke seluruh lembah itu dan bangga karena cita-citanya sudah
tercapai,seluruh wilayah itu sudah bersatu.Di tiup angin sepoi-sepoi akhirnya Landusa
tertidur.Bug…!!! Landusa tersentak karena kakinya di gigit Kaki Seribu,tubuhnya rebah ke tanah
dan batu besar tempat bersandarnya itu juga rebah hingga menimpa kepalanya.Karena Landusa
tak sempat menghindar atau menahan batu itu ia pun tewas.Isteri Landusa menjadi heran
mengapa suaminya tidak pulang hingga sore hari,dan ia memutuskan untuk pergi ke bukit
ditemani beberapa orang.Dari kejauhan mereka melihat Landusa yang terkapar di tanah dengan
batu di atas kepalanya,mereka segera berlari dan mendapati Landusa sudah tidak bernyawa
lagi.Seketika itu juga suasana beruba menjadi kelam,mereka semua menangis,isteri Ladusa
berteriak meraung-raung.Beberapa orang kembali ke desa memberitakan kabar duka cita
kematian Landusa dan yang lainnya menemani isteri Landusa,berita duka itu cepat sampai
keseluruh wilayah itu.Keesokan harinya semua warga berbondong-bondong pergi ke
bukit,karena tubuh Landusa begitu besar dan jenasahnya sudah bermalam warga tidak mampu
mengebumikan mayat Landusa sehingga warga bergotong royong menimbunnya.Sore itu
pemakaman selesai hingga tempat itu menjadi bukit yang tinggi dan di namai Landusa,dan
wilayah di lembah bukit itu Tanah Mori.

Dari Tanah Mori,Kab. Morowali,Sul-


Teng
Diposkan oleh Johannes di 06.33
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Tidak ada komentar:

Poskan Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda


Langganan: Poskan Komentar (Atom)

powered by

Pengikut
Arsip Blog
 ► 2014 (3)

 ▼ 2011 (3)
o ▼ November (2)
 Cerita Rakyat Dari Sulawesi Tengah
 ARTIKEL BERPIKIR
o ► Oktober (1)

Laman
 Beranda

Mengenai Saya

Johannes
Palu, Sul-Teng, Indonesia
Putra Mori Asli
Lihat profil lengkapku
Template Picture Window. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai