Anda di halaman 1dari 7

Sejarah Soppeng

SEJARAH TERBENTUKNYA KERAJAAN SOPPENG


Soppeng adalah sebuah kota kecil dimana dalam buku-buku lontara terdapat catatan
tentang raja-raja yang pernah memerintah sampai berahirnya status daerah Swapraja, satu hal
menarik sekali dalam lontara tersebut bahwa jauh sebelum terbentuknya kerajaan Soppeng, telah
ada kekuasaan yang mengatur daerah Soppeng, yaitu sebuah pemerintahan berbentuk demokrasi
karena berdasar atas kesepakatan 60 pemuka masyarakat, namun saat itu Soppeng masih
merupakan daerah yang terpecah-pecah sebagai suatu kerajaan-kerajaan kecil.
Hal ini dapat dilihat dari jumlah Arung, Sulewatang, dan Paddanreng serta Pabbicara
yang mempunyai kekuasaan tersendiri. Setelah kerajaan Soppeng terbentuk yang dikoordinir
oleh Lili-lili yang kemudian disebut Distrikvdi Zaman Pemerintahan Belanda.
Literatur yang ditulis tentang sejarah Soppeng masih sangat sedikit. Sebagaimana tentang
daerah-daerah di Limae Ajattappareng, juga Mandar dan Toraja, Soppeng hanyalah daerah
“kecil” dan mungkin “kurang signifikan” untuk diperebutkan oleh dominasi dua kekuatan di
Sulawesi Selatan yakni Luwu dan Siang sebelum abad ke-16. Namun demikian, seperti
disebutkan oleh sebuah kronik Soppeng, dulunya Soppeng bersama Wajo, sangat bergantung
kepada kerajaan Luwu.
Seiring menguatnya kekuatan persekutuan Goa-Tallo di Makassar untuk
mengimbanginya, Bone sempat mengajak Wajo dan Soppeng membentuk persekutuan
Tellumpocco pada perjanjian Timurung tahun 1582.
Akan tetapi, masuknya Islam di Sulawesi Selatan di paruh akhir abad ke-16, ditandai
dengan masuknya Karaeng Tallo I Mallingkang yang lebih dikenal sebagai Karaeng Matoaya
serta penguasa Goa I Manga’rangi yang kemudian bergelar Sultan Alauddin, telah merubah peta
politik di Sulawesi Selatan.
Untuk sementara, kekuatan Bugis Makassar menjadi satu kekuatan baru untuk melawan
orang kafir ketika Soppeng dan Sidenreng memeluk Islam tahun 1609, Wajo 1610 dan akhirnya
Bone pada tahun 1611.
Perkembangan berikutnya sepanjang abad ke-17, menempatkan Soppeng pada beberapa
perubahan keputusan politik ketika persaingan Bone dan Goa semakin menguat. Jauh sebelum
perjanjian Timurung yang melahirkan persekutuan Tellumpocco, sebenarnya Soppeng sudah
berada di pihak kerajaan Goa dan terikat dengan perjanjian Lamogo antara Goa dan Soppeng.
Persekutuan Tellumpocco sendiri lahir atas “restu” Goa. Namun, ketika terjadi gejolak
politik antara Bugis dan Makassar disebabkan oleh gerakan yang dipelopori oleh Arung Palakka
dari Bone, Soppeng sempat terpecah dua ketika Datu Soppeng, Arung Mampu, dan Arung Bila
bersekutu dengan Bone pada tahun 1660 sementara sebagian besar bangsawan Soppeng yang
lain menolak perjanjian di atas rakit di Atappang itu.
Sebagaimana sejarah Sulawesi Selatan pada umumnya, proses terbentuknya komunitas
masyarakat di Soppeng juga menyerupai daerah-daerah lainnya.
Dimulai dari masa sianre balei tauwe sampai masa tomanurung, Lontara Soppeng juga
memulai catatannya dengan cara sama, bahwa komunitas “resmi” orang Soppeng adalah ketika
Matoa Ujung, Matoa Botto dan Matoa Bila bersama ketua persekutuan lainnya melantik
tomanurung sebagai raja.
Menurut kronik ini, daerah Soppeng sebenarnya adalah daerah urban. Penduduk asli yang
mendiami daerah ini semula berasal dari dua tempat, Sewo dan Gattareng. Kedua kelompok ini
meninggalkan daerahnya masing-masing dan hidup berdampingan di Soppeng, kelompok yang
datang dari daerah Sewo disebut orang Soppeng Riaja, dan kelompok yang berasal dari
Gattareng disebut orang Soppeng Rilau.
Mereka kemudian dipimpin oleh kepala-kepala persekutuan di kedua daerah masing-
masing yang jumlahnya enam puluh orang pada waktu itu.
Belakangan, muncul seorang tomanurung di Sekkannyilli (wilayah Soppeng Riaja). Ketua-ketua
persekutuan Soppeng Riaja dan Soppeng Rilau kemudian sepakat untuk mengangkat tomanurung
tersebut sebagai raja. Sayangnya, ManurungngE ri Sekkannyili “menolak” penunjukan tersebut
kecuali dengan tiga syarat:
1. tidak dikhianati,
2. tidak disekutukan, dan
3. mengangkat sepupu sekalinya yang juga tomanurung di Libureng (wilayah Soppeng
Rilau) sebagai raja di Soppeng Rilau.
Dan begitulah, wilayah Soppeng pertama kali dipimpin oleh dua raja “kembar” tomanurung
melalui pembagian wilayah kekuasaan.
Selanjutnya, setelah kematian kedua raja ini, keturunan merekalah berdua yang silih berganti
melanjutkan pemerintahan dengan menggabungkan wilayah Soppeng Riaja dan Soppeng Rilau
ke dalam satu wilayah kekuasaan yang kemudian disebut Soppeng saja.
Rumah Adat Soppeng
Kawasan Rumah Adat Sao Mario Soppeng, Sulawesi Selatan (Sulsel) dibangun dengan gaya
arsitektur sejumlah suku di Pulau Sulawesi hingga di Sumatera. Rumah adat Sulawesi Selatan
jejak peninggalan tokoh Bugis almarhum Prof Andi Mustari Pida yang sukses di tanah
perantauan Minangkabau, Padang, Sumatera Barat.
Rumah Adat Sao Mario terletak di Kelurahan Manorang Salo, Kecamatan Marioriawa,
berjarak sekitar 30 Km dari Kota Watansoppeng. Di kompleks Rumah Adat Sao Mario ini,
terdapat berbagai jenis rumah adat yang bergaya arsitektur Bugis, Makassar, Mandar, Toraja,
hingga Minangkabau dan Batak.
Rumah adat ini diketahui dibangun pada Desember 1989 oleh Prof Mustari. Tokoh Bugis
yang pernah menjadi Rektor Universitas Eka Sakti Padang (UNES) Sumatera Barat, hingga tutup
usia di usia 72 tahun pada 2018 silam.
Semasa hidupnya Prof Mustari dikenal sebagai tokoh adat yang berhasil mendirikan
universitas di tanah rantau Kota Padang. Di kota itu, ia sangat ditokohkan masyarakat Padang.
Prof Mustari sempat mendapat gelar Datuk Rajo Nan Sakti (Tanah Minang), Mangaraja
Tuongku Mulasontang Siregar (Batak) dan Ketua Forum Pembaruan Kebangsaan Seluruh Etnis
Sumatera Barat (Sumbar). Sosoknya sangat dikenal peduli dalam mempertahankan nilai adat dan
kebudayaan.
Pengelola Rumah Adat Sao Mario Andi Mappasessu menjelaskan, ide pembangunan rumah
adat itu muncul saat Prof Mustari tengah ke Amerika Serikat mengikuti konferensi guru besar
yang mewakili Indonesia. Saat itu Prof Mustari menyempatkan diri ke San Fransisco.
Di tempat itu Prof Mustari takjub ada kompleks China Town dengan kultur yang kuat bahkan
menjadi komunitas Asia terbesar di Amerika. Namun itu turut mengganggu pikirannya karena
justru orang Bugis tak ia temukan membangun kultur yang serupa di sana.
"Makanya saat itu Prof Mustari berpikir kalau saya pulang akan membangun tempat
perkampungan orang Sulawesi. Begitu dia katakan waktu pertama kali ingin membangun ini Sao
Mario," kata Mappasessu kepada detik Sulsel.
Dia menyebutkan, kata 'Sao' diambil dari bahasa pengganti rumah orang dulu, sedangkan
'Mario' dari kata masagena atau senang. Rumah Adat Sao Mario kini dikenal dengan kawasan
yang diisi sejumlah rumah adat dari berbagai suku.
"Paling dikenal dengan nama Bola Seratue karena rumah ini memiliki tiang 100. Rumah ini
terbuat dari kayu ulin dan kayu sepu. Ornamen dinding tergantung pada karakter setiap etnis.
Kalau rumah adat Bugis gambar naga ornamennya," tambahnya.
Dia mengaku Rumah Adat Sao Mario dulunya memiliki atapnya sire atau atap kayu dari
bahan. Namun Prof Mustari mengganti atapnya pada tahun 2016.
Atapnya dari bahan seng yang dibeli khusus dari Jerman. Pertimbangannya karena atap itu
dianggap sebagai bahan paling berkualitas di dunia yang lentur kaya karet.
Budayawan Soppeng itu menambahkan, pembukaan lahan pembangunan rumah adat itu
menggunakan uang pribadi Prof Mustari. Rumah adat Sao Mario dibangun tanpa bantuan
pemerintah saat itu, saking pedulinya Prof Mustari dengan budaya di tanah kelahiran sendiri.
Rumah adat Sao Mario kini cagar budaya. Salah satu ikon di Soppeng yang terletak di
perbatasan Sidrap yang menjadi salah satu alternatif destinasi wisata.

Foto: Rumah Adat Sao Mario Kabupaten Soppeng, Sulsel.


Rumah Adat Sao Mario Jadi Museum dan Tetap Aktual
Luas wilayah Sao Mario dibangun di atas lahan kurang lebih 12 hektare. Di kawasan itu ada
lahan pribadi Prof Mustari yang di dalamnya terdapat kebun, dan ada sawah 4 hektare, dan
selebihnya lokasi bangunan rumah adat.
Rumah Adat Sao Mario berfungsi sebagai museum dengan koleksi berbagai jenis barang
antik yang bernilai tinggi. Asalnya dari berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri, seperti
kursi, meja, tempat tidur, senjata tajam dan berbagai jenis batu permata.
Upacara Pernikahan adat bugis Soppeng
Dalam upacara perkawinan adat masyarakat Bugis Soppeng yang disebut
”Appabottingeng ri Tana Ugi” terdiri atas beberapa tahap kegiatan. Kegiatan-kegiatan tersebut
merupakan rangkaian yang berurutan yang tidak boleh saling tukar menukar, kegiatan ini hanya
dilakukan pada masyarakat Bugis Soppeng yang betul-betul masih memelihara adat istiadat.Pada
masyarakat Bugis Soppeng sekarang ini masih kental dengan kegiatan tersebut, karena hal itu
merupakan hal yang sewajarnya dilaksanakan karena mengandung nilai-nilai yang sarat akan
makna, diantaranya agar kedua mempelai dapat membina hubungan yang harmonis dan abadi,
dan hubungan antar dua keluarga tidak retak.
Kegiatan – kegiatan tersebut meliputi :
1. Mattiro (menjadi tamu)
Merupakan suatu proses dalam penyelenggaraan perkawinan. Mattiro artinya melihat dan
memantau dari jauh atau Mabbaja laleng (membuka jalan). Maksudnya calon mempelai laki-
laki melihat calon mempelai perempuan dengan cara bertamu dirumah calon mempelai
perempuan, apabila dianggap layak, maka akan dilakukan langkah selanjutnya.
2. Mapessek-pessek (mencari informasi)
Saat sekarang ini, tidak terlalu banyak melakukan mapessek-pessek karena mayoritas
calon telah ditentukan oleh orang tua mempelai laki-laki yang sudah betul-betul dikenal.
Ataupun calon mempelai perempuan telah dikenal akrab oleh calon mempelai laki-laki.
3. Mammanuk-manuk (mencari calon)
Biasanya orang yang datang mammanuk-manuk adalah orang yang datang mapessek-
pessek supaya lebih mudah menghubungkan pembicaraan yang pertama dan kedua.
Berdasarkan pembicaraan antara pammanuk-manuk dengan orang tua si perempuan, maka
orang tua tersebut berjanji akan memberi tahukan kepada keluarga dari pihak laki-laki untuk
datang kembali sesuai dengan waktu yang ditentukan. Jika kemudian terjadi kesepakatan
maka ditentukanlah waktu madduta Mallino (duta resmi)
4. Madduta mallino
Mallino artinya terang-terangan mengatakan suatu yang tersembunyi. Jadi Duta Mallino
adalah utusan resmi keluarga laki-laki kerumah perempuan untuk menyampaikan amanat
secara terang-terangan apa yang telah dirintis sebelumnya pada waktu mappesek-pesek dan
mammanuk-manuk.
Pada acara ini pihak keluarga perempuan mengundang pihak keluarga terdekatnya serta
orang-orang yang dianggap bisa mempertimbangkan hal lamaran pada waktu pelamaran.
Setelah rombongan To Madduta (utusan) datang, kemudian dijemput dan dipersilahkan
duduk pada tempat yang telah disediakan. Dimulailah pembicaraan antara To Madduta
dengan To Riaddutai, kemudian pihak perempuan pertama mengangkat bicara,lalu pihak
pria menguitarakan maksud kedatangannya.
Apa bila pihak perempuan menerima maka akan mengatakan ”Komakkoitu adatta, srokni
tangmgaka, nakkutananga tokki” yang artinya bila demiokian tekad tuan, kembalilah tuan,
pelajarilah saya dan saya pelajari tuan, atau dengan kata lain pihak perempuan menerima,
maka dilanjutkan dengan pembicaraan selanjutnya yaitu Mappasiarekkeng.
5. Mappasiarekkeng
Mappasiarekkeng artinya mengikat dengan kuat. Biasa juga disebut dengan Mappettuada
maksudnya kedua belah pihak bersama-sama mengikat janji yang kuat atas kesepakatan
pembicaraan yang dirintis sebelumnya.Dalam acara ini akan dirundingkan dan diputuskan
segala sesuatu yang bertalian dengan upacara perkawinan, antara lain :
a. Tanra esso (penentuan hari)
b. Balanca (Uang belanja)/ doi menre (uang naik)
c. Sompa (emas kawin) dan lain-lain
Setelah acara peneguhan Pappettuada selesai, maka para hadirin disuguhi hidangan yang terdiri
dari kue-kue adat Bugis yang pad umumnya manis-manis agar hidup calon pengantin selalu
manis (senang) dikemudian hari.
Tarian Adat Bugis Soppeng
1. Tarian Padduppa Bosara

Tarian pertama ini menggambarkan tentang penyambutan tamu dari suku bugis. Dengan
gerakannya yang enak dilihat, tarian ini senantiasa menghidangkan bosara. Tarian ini
biasanya digunakan dalam beberapa acara.
Seperti acara penyambutan tamu kerajaan, pesta adat istiadat sampai pesta pernikahan.
Bosara yang digunakan dalam tarian ini merupakan piring khas dari suku bugis yang terbuat
dari besi dan ditutupi dengan kobokan besar yang dibalut kain.
2. Tarian Pakarena

Pakarena yang berarti main, tarian ini berasal dari Sulawesi Selatan. Tarian ini biasanya
dipertunjukkan di istana kerajaan, tapi seiring perkembangannya, tarian ini lebih banyak
digunakan di kalangan masyarakat.
Tarian ini menggambarkan perempuan yang lembut, sopan, setia, patuh dan hormat pada
suaminya. Oleh karena itu, tarian ini memberikan kesan yang lembut. Bahkan tarian ini
sepenuhnya diiringi dengan gerakan yang lembut.

Anda mungkin juga menyukai