Anda di halaman 1dari 25

Hasil survei Kepustakaan dan Seminar

  BAB I PENDAHULUAN

  1.1.      Latar Belakang

 Kehadiran pemerintahan dan keberadaan pemerintahan adalah sesuatu yang urgen bagi proses
kehidupan masyarakat. Sejarah telah membuktikan bahwa masyarakat, sekecil apapun
kelompoknya, bahkan sebagai individu sekalipun membutuhkan pelayanan pemerintah.

Secara historis eksistensi pemerintahan daerah telah dikenal sejak masa pemerintahan kerajaan-
kerajaan dahulu, sampai pada system pemerintahan yang diberlakukan oleh pemerintah penjajah,
baik kolonialisme Belanda maupun Jepang.

Setelah disepakatinya azas atau prinsip dan tujuan serta arah perjuangan Indonesia Merdeka
sebagaimana yang tertuang dalam naskah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dalam
pelaksanaannya diperlukan perangkat pemerintahan di daerah, karena disadari bahwa tidak semua
urusan pemerintahan dapat dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat.

Pelaksanaan Otonomi Daerah sebagai komitmen politik merupakan amanah konstitusi untuk
menerapkan keadilan ekonomi disegala bidang bagi seluruh warga Negara. Melalui wewenang dan
tanggung jawab kepada daerah untuk memanfaatkan seluruh potensi yang dimiliki masing-masing
sehingga dapat diharapkan mempercepat proses pemerataan pembangunan serta meningkatkan
daya saing masing-masing daerah.
Kemampuan dan prestasi suatu daerah pada dasarnya merupakan cermin dan akumulasi ataupun
kompetensi rata-rata aparatur dan keterlibatan masyarakat dalam berperan serta, merumuskan,
melaksanakan serta mengevaluasi program-program pembangunan bagi kemajuan dan kemandirian
daerah.

Keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah pada suatu daerah akan banyak ditentukan oleh
kemampuan pemerintah daerah di dalam menterjemahkan kewenangan dan tangggung jawab
otonomi daerah serta usaha mengoptimalkan pemanfaatan semua potensi sumber daya yang ada.

Salah satu potensi sumber daya daerah adalah Sumber Daya Manusia (SDM) dan SDM ini apabila
dibina di kembangkan dengan baik melalui pelatihan-pelatihan yang kontinyu serta berorientasi
pada lapangan kerja dapat menghasilkan Sumber Daya Manusia yang potensial, produktif bagi
daerah tersebut.

Sumber daya manusia potensial dan produktif tersebut akan membantu pemerintah daerah dalam
keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah, dengan memahami secara utuh kondisi daerah
tersebut, sejak lahirnya daerah itu sampai proses pelaksanaan pembangunannya dan kemampuan
mengatasi semua persoalan otonomi di daerah.

Sejarah kelahiran suatu daerah patut diketahui secara utuh, sebab kondisi suatu daerah sangat
berbeda dan perbedaan itu dilandasi dengan adanya etnis, suku, Agama, serta kebudayaan daerah
tersebut.

Memahami proses kejadian-kejadian masa lampau suatu daerah maka kita akan pula memahami
dan mendapat wawasan tentang daerah tersebut sehingga apabila kita mengambil suatu kebijakan
pembangunan, kita tidak terjebak pada persoalan-persoalan etnis, suku, Agama dan kebudayaan
daerah tersebut.
Kebudayaan sebagaimana diketahui meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, penanda suatu
masyarakat, dan berfungsi untuk menata dan mengatur kehidupan secara menyeluruh. Dalam
perkembangannya, kebudayaan mengikuti dinamika dan kemajuan masyarakat pendukungnya.
Oleh karena itu Sejarah dan kebudayaan patut diketahui secara utuh pula, sebab pada satu sisi
sejarah dan kebudayaan merupakan basis kehidupan di daerah dan harus dihormati   para
pengambil kebijakan, di sisi lain kita juga memberi tempat kepada aspek-aspek yang baik dari
kebudayaan daerah lain dan kebudayaan modern yang datang dari belahan dunia Barat, sambil
memilah dan memilih aspek-aspek kebudayaan yang baik dan yang tidak baik.

Kerajaan Banggai terbentuk dari proses sejarah yang panjang, oleh karena itu dalam memahami
kronologisnya dibutuhkan suatu keuletan, ke sabaran dan ke tabahan pengkajiannya di dasari
profesionalisme yang proporsional.

Kabupaten Banggai terbentuk berdasarkan Undang-Undang R.I. Nomor 29 Tahun 1929 Tanggal 04
Juli 1959 Tentang Pembentukan Kabupaten Dati II di Sulawesi.

Luas wilayah Kabupaten Banggai sesuai Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959, tangal 04 Juli 1959
Tentang Pembentukan Daerah Tingkat  II di Sulawesi, adalah 12.877,16 Km2, dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2000 tentang
Pembentukan Kabupaten Boul, Morowali dan Banggai Kepulauan, maka luas Kabupaten Banggai
berkurang menjadi 9.672,70 Km2,  demikian pula dengan batas-batasnya mengalami perubahan.

Dengan kondisi tersebut, kemudian timbul suatu pertanyaan, apakah benar bahwa ada hubungan
sejarah masa lalu antara kerajaan Banggai dengan Kabupaten Banggai? Apakah benar luas wilayah
dan batas-batas kerajaan Banggai juga merupakan luas wilayah dan batas-batas Kabupaten
Banggai? dan adakah hubungan timbal balik antara kerajaan Banggai dan Kabupaten Banggai?
Bagaimana proses terjadinya Kabupaten Banggai? pertanyaan – pertanyaan tersebut dibuktikan
dengan fakta sejarah yang benar dan jujur. Oleh karena itu, Yayasan LP3M Insan Cita bekerjasama
dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banggai melakukan survey, menyusun,
menulis serta men-seminarkan hasil-hasil penulisan sejarah Kabupaten Banggai, kemudian
digandakan dalam bentuk sebuah buku yang baku.

1.2.      Tujuan penulisan

1. Memberikan Informasi dan wawasan luas kepada masyarakat sehingga dapat


berperan aktif dalam pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Banggai;
2. Memberikan pemahaman dan wawasan yang luas kepada pengambil kebijakan
daerah ini sehingga dapat mengatasi segala persoalan-persoalan kemasyarakatan
kini dan masa mendatang;
3. Memberikan jawaban Sejarah Kabupaten Banggai berdasarkan fakta dan Analisis
sejarah yang benar, jujur, berdasarkan bukti empirik dari berbagai sumber
Kepustakaan yang ada;
4. Sebagai sumbangsi terhadap Bangsa dan Negara Indonesia, khususnya
Kabupaten Banggai, agar kelak dikemudian hari generasi pelanjut tidak dibutakan
sejarah dan kebudayaan daerahnya.
Sedangkan kegunaan dalam penulisan Buku Sejarah Kabupaten Banggai ini adalah memberikan
kesadaran waktu bagi se seorang untuk senantiasa berupaya mengukir sejarah kehidupannya
dengan sebaik-baiknya.

1.3.      Perumusan Masalah 
Masalah timbul karena adanya tantangan, adanya kesangsian ataupun kebingungan kita terhadap
suatu hal atau fenomena, adanya kemenduaan arti (ambiquity), adanya halangan dan rintangan,
adanya celah (gap) baik antara kegiatan atau antar-fenomena, baik yang telah ada ataupun yang
akan ada.

Permasalahan yang timbul adalah, “adakah hubungan antara kerajaan Banggai dan terbentuknya
Kabupaten Banggai?

1.4.      Metode Penulisan

Metode penulisan yang dimaksud adalah suatu cara studi yang dilakukan dengan hati-hati, teliti
dan sempurna terhadap Sejarah dan Kebudayaan Kabupaten Banggai, sehingga dapat dirumuskan
dalam sebuah laporan studi berupa buku.

Studi yang dilakukan melalui pendekatan dan wawancara kepada para tokoh-tokoh masyarakat
yang tau persis tentang sejarah dan kebudayaan Kabupaten Banggai , melalui studi Perpustakaan
Nasional, LIPI di Jakarta, Manado, Palu dan Luwuk.

Metode yang dilakukan dalam penulisan buku adalah ‘Metode Survei”, yaitu penyelidikan yang
diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-
keterangan secara faktual tentang bukti sejarah masa lampau, sedangkan teknik yang digunakan
adalah “wawancara” langsung dengan nara sumber.

Wawancara tersebut merupakan suatu cara pengumpulan data dengan menanyakan langsung
kepada informan saksi hidup dan atau mengetahui persis tentang sejarah dan kebudayaan
Kabupaten Banggai di masa lampau, cara ini disebut pengumpulan data primer. Sedangkan data-
data sekunder melalui studi kepustakaan, Badan Pusat Statistik (BPS), serta data-data yang belum
dibakukan atau masih tercecer yang berada diintansi di daerah ini.

1.5.      Analisa :

Analisa dan penafsiran data dilakukan dengan pendekatan analisa hubungan timbal balik. Dalam
hubungan timbal balik, kita tidak tahu yang mana sebab dan yang mana akibat. Misalnya, sejarah
Kerajaan Banggai dapat mempengaruhi sejarah Kabupaten Banggai, atau sebaliknya.

1.6.      Sistematika Penulisan

Sistematikan penulisan Buku Sejarah Kabupaten Banggai, dimulai : Bab I Pendahuluan yang
memuat pembahasan latar belakang masalah, tujuan penulisan buku, perumusan masalah dan
metode penulisan dan analisa serta sistematika penulisan buku.

Bab II Landasan Teori yang memuat pembahasan teori-teori tentang Sejarah, dan tentang
Kabudayaan, sebagai landasan teori dalam analisa sejarah Kabupaten Banggai.

Bab III Sejarah Kabupaten Banggai yang memuat pembahasan,  sejarah Kerajaan Banggai,
Pemerintahan Hindia Belanda dan Jepang,  Perjuangan rakyat Banggai dan Gerakan Merah Putih,
Badan Perjuangan Otonomi Daerah (BPOD), Daerah Swatantra Tingkat II (DASTING) Kabupaten
Banggai, Daerah Tingkat II Banggai Tahun 1964 s/d 1995, dan Daerah Kabupaten Banggai Tahun
1996 s/d 2011 serta Visi dan Misi Bupati Banggai 2011-2016.

Bab IV Sejarah Kabupaten Banggai :  Fakta dan Analisis yang mengungkap fakta sejarah
berdasarkan analisa ilmiah.
Bab V adalah bab penutup dari seluruh rangkaian pembahasan Buku Sejarah Kabupaten Banggai.

BAB II   LANDASAN TEORI

2.1. Teori Tentang Sejarah

Kata sejarah berasal dari bahasa Arab syajaratun yang berarti pohon. Kata ini kemudian
mengalami perkembangan arti menjadi akar, keturunan, asal usul, riwayat dan silsilah. Kata
sejarah diserap ke dalam Bahasa Melayu pada abad ke-13. Akan tetapi, di dalam bahasa Arab
sendiri ilmu yang mempelajari kisah-kisah pada masa lalu disebut tarikh.

Dalam bahasa Inggris, kata sejarah dikenal dengan sebutan history, yang berasal dari bahasa
Yunani istoria, berarti ilmu. Dalam perkembangannya, kata istoria diperuntukkan bagi
pengkajian terhadap segala sesuatu mengenai manusia secara kronologis. Dalam bahasa Jerman,
kata sejarah disebut dengan geschichte, yang berarti sesuatu yang telah terjadi.

Sejarah sebagai peristiwa atau realitas, karena peristiwa atau kejadian sejarah itu benar-benar


ada dan terjadi, kemudian peristiwa atau kejadain itu dianggap sebagai kenyataan sejarah.

Sejarah sebagai kisah, dalam pengertian ini, sejarah dipandang sebagai kisah dari peristiwa-
peristiwa masa lampau. Dalam bentuk kisah sejarah inilah peristiwa masa lalu di hadirkan kembali
sebagai data sejarah.

Sejarah sebagai Ilmu mempunyai cici empiris yang berarti pengalaman manusia. Pengalaman


tersebut direkam dalam dokumen dan peninggalan-peninggalan sejarah lainnya. Sumber-sumber
sejarah tersebut kemudian diteliti para sejarawan untuk menemukan fakta. Setelah itu fakta-
fakta tersebut diiterpretasikan dan dilakukan penulisan sejarah.

Herodotus (484-425 SM) mengatakan “Sejarah tidak berkembang ke  arah depan dengan tujuan
pasti, melainkan bergerak seperti garis lingkaran yang tinggi rendahnya diakibatkan oleh keadaan
manusia.” Beliau di kenal sebagai sejarawan pertama dunia berkebangsaan Yunani, dan mendapat
gelar The Father of History atau bapak ilmu sejarah.

Ibn Khaldun (1332-1406), pakar sejarah Islam pada zamannya dalam bukunya terkenal
“Mukaddimah”, mengatakan “sejarah adalah catatan tentang masyarakat umat manusia atau
peradaban dunia dan tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada watak masyarakat itu.”

W.J.S. Poerwadarminta (1987), dalam bukunya “Kamus umum Bahasa Indonesia” mengatakan,
‘Sejarah adalah Kesusastraan lama, silsilah, asal-usul; Kejadian dan peristiwa yang benar-benar
terjadi pada masa lampau; Dan Ilmu Pengetahuan, cerita perjalanan tentang kejadian dan
peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampu.”

R.Moh.Ali (1989), dalam bukunya berjudul “Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia,” mengatakan


bahwa Sejarah adalah “Sejumlah perubahan-perubahan, kejadian-kejadian dan peristiwa-
peristiwa dalam kenyataan sekitar kita; Cerita tentang perubahan-perubahan, kejadian-kejadia,
dan peristiwa-peristiwa yang merupakan realitas tersebut; dan sebagai  Ilmu yang bertugas
menyelidiki perubahan-perubahan, kejadian-kejadian dan peristiwa yang merupakan realitas
tersebut.

Dari batasan teori sejarah tersebut diatas yang di sampaikan pakar ilmu Sejarah Dunia dan
Nasional, maka dapat di simpulkan bahwa secara umum pengertian Sejarah adalah pertama,
Peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau dalam kehidupan manusia sebagai
makhluk sosial; kedua, Sejarah adalah cerita, kisah atau cacatan tentang peristiwa-peristiwa yang
terjadi pada masa lampau yang disusun berdasarkan peninggalan-peninggalan atau sumber-sumber
sejarah; dan ketiga Sejarah sebagai Ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang benar-benar
terjadi pada masa lampau.

Kronologi dalam sejarah berarti sesuai dengan urutan waktu. peristiwa sejarah akan selalu
berlangsung sesuai dengan urutan waktu, sehingga peristiwa-peristiwa sejarah tidak terjadi secara
melompat-lompat urutan waktunya, atau bahkan berubah urutan waktunya(anakronis). Peristiwa-
peristiwa sejarah yang diceritakan dan disusun berdasarkan urutan kejadian tanpa memberi
penjelasan tentang hubungan sebab akibat antara peristiwa tersebut disebut kronik.

Periodisasi adalah pembagian atau pembabakan peristiwa-peristiwa masa lampau yang sangat


panjang menjadi beberapa zaman. Dalam kenyataan sejarah yang sebenarnya tidak dikenal adanya
periodisasi sejarah. Penyusunan periodisasi dalam penulisan sejarah bertujuan untuk
mempermudah dalam mempelajari sejarah. Dalam menyusun periode-periode sejarah tersebut
harus disusun secara kronologis.

2.2. Teori Tentang Kebudayaan

Kebudayaan sebagaimana diketahui meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, penanda suatu
masyarakat, dan berfungsi untuk menata dan mengatur kehidupan secara menyeluruh. Dalam
perkembangannya, kebudayaan mengikuti dinamika dan kemanjuan masyarakat pendukungnya.
Oleh karena itu para pendiri Republik ini semenjak awal telah menghadapi dua tantangan sejarah
dan kebudayaan yang tidak mudah. Pada satu sisi mereka harus menghormati sejarah dari tradisi
lokal yang dalam banyak hal telah menjadi basis kehidupan masyarakat, pada sisi lain, mereka
harus member tempat kepada aspek-aspek yang baik dari kebudayaan modern yang datang dari
belahan dunia Barat, sambil memilah dan memilih aspek-aspek kebudayaan yang kurang sesuai
dengan visi dan persepsi bangsa Indonesia tentang kehidupan.

Menurut Horton dan Hunt, Masyarakat adalah “suatu organisasi manusia yang saling berhubungan
satu sama lain, sedangkan Kebudayaan adalah system norma dan nilai yang terorganisasi yang
menjadi pegangan manyarakat tersebut.” (terjemahan 1987:59). Mereka juga mengatakan bahwa
lembaga adalah suatu system norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh
masyarakat di pandang penting.

Pada umumnya masyarakat terintegrasikan berdasarkan faktor-kaktor dasar tertentu. Salah satu
faktor dasar tersebut adalah adanya nilai-nilai tertentu, yang dianut oleh bahagian terbesar warga
masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu ada kemungkinan, bahwa suatu masyarakat dapat
berubah apabila nilai-nilainya dirubah. (Rahardjo, Sosiologi Pedesaan,1999).

J.B.A.F. Mayor Polak (1996), mengatakan bahwa “antara kebudayaan dan struktur dalam suatu
masyarakat terjadi keadaan saling mendukung dan membenarkan. Ini berarti bahwa apabila
terjadi perubahan dalam kebudayaan juga akan diikuti oleh perubahan dalam struktur.

BAB III  SEJARAH KABUPATEN BANGGAI

  
      2.1. Sejarah Kerajaan Banggai

 Sejarawan Bangsa Cina bernama Chu Ku fei (1178 M) dalam bukunya berjudul  Ling-wai, menulis


bahwa kerajaan Banggai merupakan kerajaan kecil yang masuk dalam sebelas wilayah Kerajaan
Kediri (Panjalu, 1041 M), dengan nama Ping ye = Banggai, meliputi kerajaan kecilpertama,  Pai
Hua yuan = Pacitan, kedua Me tung = Medang, ketiga Ta pen = Tumapel, keempat Jung ya lu =
Hujung Galu, kelima Ta kang = Sumba, keenam Huang ma chu = Irian Barat daya, ketujuh Ma li =
Bali, kedelapan Khu lun = Gurun Lombok, kesembilan Ti wu = Timor, kesepuluh Ping ye = Banggai
dan kesebelas Wa nu ku = Maluku.

Sewaktu keprabuhan Majapahit Berjaya, Kerajaan Banggai termasuk wilayahnya yang berstatus
otonomi secara luas, sebagaimana Kerajaan Majapahit pernah menyebut bahwa kerajaan Banggai
merupakan wilayah kekuasaanya, yang diungkapkan dalam sebuah tulisan oleh seorang Pujangga 
Kerajaan Majapahit Mpu Prapanca (1365), dalam bukunya yang terkenal “Negara Kertagama.”

Dalam buku Negara Kertagama, Mpu Prapanca berucap dalam bentuk syair nomor 14 bait ke 5
yang berbunyi, “ Ikang Saka Nusa-Nusa Mangkasara, Buntu, Benggawi, Kunir, Galiyao murang ling
Salaya, Sumba, Solor, Munar, Muah Tikang I Wandan  Ambawa athawa Maloko, Wiwanum ri Seran
I Timur Mukadi Ningageka Nusatutur. “  (Mangkasar= Makassar, Buntun = Buton, Benggawi =
Banggai, Kunir = Pulau Kunyit, Salaya= selayar, Ambawa= Ambon, dan Maloko= Maluku).

Pernyataan Che ku Fei dan Mpu Prapanca tersebut diatas, penulis ketemukan melalui buku


sejarah pertama Franscois Valentijn (1726); yang berjudul Oud en Nieeuw Oose Indien, 1726, buku
pertamanya tentang Hindia Timur yang baru dan yang lama, serta Buku Muhammad Yamin, Gajah
Mada (1985).

Untuk membuktikan siapa yang pertama kali menulis dan menginjakkan kakinya di Pulau Banggai,
maka di bawah ini penulis kutip bukunya Franscoi Valentijn (1729 : 566),

yang mengungkap sejarah Pulau Sulawesi, dalam teks asli sebagai berikut :

Franscois Valentijn, Oud en Nieuw Oose Indien,

(1726:566),

De Portugezen waren de eerste Europeanen die Sulawesi bezochten. De Portugese historicus


Tome Pires introduceerde de naam Celebes. Tussen 1512 en 1515 werkte hij aan het Suma
Oriental, een omvangrijk boekwerk over Oost-Azië. Hierin vermeldt hij dat Celebes, Banggai en
Siau de Molukken voorzagen van voedsel en goud. Met Celebes werd aanvankelijk alleen het
uiteinde van de noordelijke arm van het eiland aangeduid. Door de vele verraderlijke
koraalbanken -of misschien ook wel vanwege het grote aantal piraten in de omgeving- noemden
de Portugezen het gebied Punta de Celebres, ofwel beruchte kaap. Een Indonesisch volkssprookje
heeft een andere verklaring voor de naam voor het eiland. De Portugese kapitein die als eerste
voet aan wal zette wilde erachter komen welk eiland hij ontdekt had. De smid die hij op het
strand trof begreep niets van de vraag en gaf als antwoord Sele Besi; ik smeed ijzer. De naam van
het eiland kan ook afgeleid zijn van het Buginese ‘selihe’ (stroming) of van ‘si lebih’ (met
meerdere eilanden). De oudste kaart waarop de naam Celebes voorkomt is gemaakt door
kapiteins van de Ferdinand Magaelhaes-vloot die rond 1524 langs de noordkust van het eiland
voer. De huidige naam voor het eiland, Sulawesi, werd in de 30-er jaren van de vorige eeuw door
jonge nationalisten van Zuid-Celebes geproclameerd.

 Franscois Valentijn,   Hindia Timur yang Baru dan yang


lama  (1726:556);

“Portugis orang Eropa pertama mengunjungi Sulawesi. Tome Pires sejarawan Portugis


memperkenalkan Sulawesi nama. Antara 1512 dan 1515 ia bekerja di Suma Oriental, sebuah buku
yang komprehensif di Asia Timur. Di sini ia menyebutkan bahwa Sulawesi dan Banggai Siau
Maluku untuk memotong makanan dan emas. Sulawesi awalnya dengan hanya ujung lengan utara
pulau yang ditunjukkan. Karena karang banyak pengkhianat atau mungkin karena sejumlah besar
bajak laut di daerah tersebut, Portugis disebut area Punta de Celebres atau jubah terkenal.
Sebuah cerita rakyat bahasa Indonesia memiliki penjelasan lain untuk nama untuk pulau itu.
Kapten Portugis yang pertama kali menginjakkan kaki ingin mengetahui pulau telah ditemukan.
Smith, yang dia bertemu di pantai tidak memahami pertanyaan dan memberikan jawaban Sele
Besi, aku menempa besi. Nama pulau juga bisa berasal dari Bugis ‘selihe “(aliran) atau’ si Lebih
‘(beberapa pulau). Peta awal menunjukkan nama Celebes terjadi dibuat oleh master dari
Ferdinand Magaelhaes armada sekitar 1524 di sepanjang Pantai Utara pakan. Nama saat ini untuk
pulau, Sulawesi, berada di 30-an abad lalu oleh nasionalis muda dari Sulawesi Selatan
diproklamasikan.”

Dari pernyataan Valentijn (1726) tersebut dapat dipahami bahwa sejarawan Bangsa PortugisTome
Pires yang menemukan pertama nama Pulau Sulawesi dan Banggai Siau Maluku pada tahun 1512-
1515. Peta pulau Celebes pertama kali dibuat oleh Ferdinand Magaelhaes sekitar 1524.

P.A. Tiele (1532), dalam JJ. Doermier (1945), pernah menulis dalam bukunya De Europeers in Den
maleischen Archipel, di sana disebutkan, bahwa pada tahun 1532. Laksamana Andres De
Urdanette bangsa Spanyol merupakan sekutu (kawan) dari Sultan Jailolo, pernah mengunjungi
wilayah sebelah Timur Pulau Sulawesi (Banggai). Andres de Urdanette merupakan orang barat
pertama yang menginjakan kaki di Banggai. Sedang orang Portugis yang pertama kali datang ke
Banggai bernama Hernando Biautemente tahun 1596.

Untuk lebih memahami sejarah Kerajaan Banggai, penulis memulai dari terbentuknya kerajaan-
kerajaan di wilayah darat Banggai,  pulau Gapi (Peling), pulau  Banggai, kemudian
mengembangkannya menjadi sebuah kerajaan yang dikenal dengan nama “Kerajaan Banggai,”
dengan wilayah sampai ke Tg. Api dan Pulau Togong, sebelah desa rata, Banggai darat, dengan
pendapat Francois Falentijn, Prof.Dr.WEL Weck, O.H. Goehdart, E.Gobee, Albert C.Kruyt, yang
disadur JJ. Dormeire, sebagaimana di bawah ini.

Menurut Dormier (1945:18), Tompotika di Bualemo, sekitar tahun 1490 sampai tahun 1580 an 
pernah menjadi kerajaan besar,   yang didiami suatu bangsa primitif kutu nu tano, rajanya
bernama Lologani, gugur dalam pertempuran dengan sultan Ternate, dengan bantuan tentara
Tobelo dan Gorontalo, sebagian rakyat Tompotika mengusingkan diri ke wilayah-wilayah
pedalaman dan pesisir selatan.

Suku asli Loinang Barat (Tompotika,Bualemo) masih lebih murni keturunannya dan selalu
disebut kutu nu tano (madi, asli loinang), dibandingkan dengan suku asli yang berada di Loinang
Timur (Lingketeng, Tambunan, Baloa) yang sudah masuk asimilasi dari imigran lainnya.

Suatu petunjuk ke kerajaan Boalemo selanjutnya dapat ditemukan dalam sosok Lipuadino.
Menurut legenda, Lologani raja Tompotika, gugur dalam peperangan, tetapi setelah tanahnya
dihancurkan, saudara perempuannya, Mapaang yang menyebabkan peperangan itu, menempatkan
dirinya di bawah perlindungan raja Banggai; ia diberi daerah Lampa sebagai tempat tinggal
beserta para pengikutnya, tidak jauh dari tempat kedudukan raja Banggai. Putra  Mapaang atau
mungkin keponakannya, putra Lologani, yang juga selamat, diberi kedudukan yang istimewah oleh
raja Banggai; ia mendapat Lolantang di Peling Barat sebagai daerah kekuasaannya; ia menerima
gelar Lipuadino. Di kemudian hari, daerah kekuasaan Lipuadino meluas baik ke Peling mapun ke
vaste wal; di Peling, karena Kadupang setelah kalah perang, secara sukarela menempatkan diri di
bawah kekuasaannya, di vaste wal, karena Lipuadino dalam salah satu perjalanannya ke sana,
menemukan dua kelompok orang di dekat ke-bosanyoa-an Mangkiin Piala yang belum mempunyai
penguasa, maka ia mengangkat dirinya sebagai penguasa sehingga mereka selanjutnya menjadi
wajib upetih kepadanya, kedua kelompok itu KELEKE dan Lo’nsom. (1720-1887).

Doermier mengatakan (1945:20), bahwa di Lingketeng  ada seorang yang bergelar Daka’nyo Inetes,
yang mengaku berasal dari turunan- raja-raja Bualemo. Orang-orang mengatakan bahwa kakak
beradik  Mangamben merupakan Bapak leluhur Bosanyo di Kintom, di peseser Selatan,
sedangkan Tongkoi bapak leluhur Bosanyo Lingketeng di daerah pegunungan.

Pokouhan (Pakowa maksudnya), merupakan kelompok mandiri yang ketiga, yang kepalanya,
Daka’nyo, juga berasal langsung dari putra Lologani (Lakauta atau Selena); dalam cerita yang
beredar di sini, maka basanyo Kintom adalah saudara perempuan bapak leluhur mereka; bapak
leluhur itu yang bermukin dipegunungan.

Mendono, juga terjadi dari suatu percampuran suatu kelompok imigram, yaitu raja – raja dari
Bualemo, yang dalam pelariannya dari pantai selatan ke arah pedalaman, menemukan suatu
kelompok asli, kutu no tano, keturunannya Bosanyo mianu Tutui.

E.Gobee (1928; 442,443), dalam bukunya berjudul Een Loinangsch Verhaal (cerita-cerita dari suku
Loinang), mengatakan bahwa “pada tahun sekitar 1417 persekutuan Loinang Timur sudah
terbentuk dan membentuk sebuah kerajaan dengan nama Tompotika, raja pertama bernama La
Logani, kedua adiknya perempuan ratu  Mapaang,  wilayah kerajaan ini meliputi pegunungan yang
meraka namakan Tompotika ” (Tumpu potinggi mianu kita = Tuhan meninggikan derajat
manusia). Keturunan raja La Logani disebut Miannu BALAYAN, yang tersebar dari Pegunungan
Tompotika, gunung pinuntunuan, gunung kau totolu,  atau oleh penulis barat di kenal dengan
suku La Inang Barat. Sedangkan anak-anak La Logani, Mangamben, Lakauta,  menulusuri
Pegunungan Tompotika mengembangkan kerajaan Tompotika dan sampailah di desa Bulakan dan
Lingketeng, serta Tambunan, Boloa, Pakohan, Kintom, Mendono, Tangkain, Lontio. Anaknya Sula,
Maiyaya dan Moitom mengembangkan wilayah kekuasaan ke Balantak, Lamala, Masama dan
Bualemo, sedangkan adiknya Mapaang yang menikah di Lolantang mendapat anak Mangamben,
menjadi pemimpim di Keleke, Mangkin Piala, Luwok, dengan gelar mianu tutui (yang benar, 
yang nyata).

Lanjutnya Doermier (1945:20), Kerajaan Motindok merupakan ke-triesaan dengan Bola dan Lowa,
dikatakan ketiga bagian itu dikuasai oleh seorang raja Ali Asine, adik perempuannyaAminah, dan
adik laki-laki Lohat (kembali satu ikatan keluarga antar kerajaan). Waktu pendiri kerajaan Banggai
yang sekarang (Mumbu doi jawa) dalam perjalanan penaklukannya tiba di Motindok, ia menikahi
putri raja Ali Asine, Nuru Sapa (dalam versi Banggai putri ini adalah istri Mumbu doi jawa
berbangsa Ternate), serta mengangkat putra dari saudara laki-laki Nuru Sapa,Sasong Baluwangi,
menjadi basanyo pertama atas Batui, putra ini bernama Ama, bahasa yang di pakai adalah Mbaha,
penyimpangan dari bahasa Saluan dan bahasa Wana (1525-1680).

Dari pernyataan Dormier yang menyadur pendapat Francois Falentijn, Prof.Weck, E.Gobee,
O.H.Goedhart, dan Albert C.Kruyt, bahwa kerajaan-kerajaan  di Banggai darat dan Banggai luat
sudah terbentuk.  Kerajaan-kerajaan tersebut adalah, Liputomundo, Kadupang dan Sisipan, serta
Bongganan di wilayah Gapi  (Peling), Dodung dan Tano Bonunungan,  Monsongan di wilayah pulau
Banggai, Kemudian Tompotika dan Motindok di wilayah Banggai darat. Kerajaan-kerajaan tersebut
belum dikuasai sultan Ternate dan berbentuk otonom.

Kerajaan-kerajaan di Banggai Laut dan Banggai darat yang di sebutkan diatas, pada Tahun 1465
s/d 1580 masing-masing di pimpin oleh Liputomundo  raja Tahani,   Kadupang raja Gahani, 
Bongganan raja Bembengkan,  Sisipan Adi Kalut Pokalut (selalu menggaruk-garuk badan), raja
Dodung Adi Moute (putih) di Banggai, raja Tano Bonunungan Adi Lambal-Pololambai (Adi Ambar,
batu ambar dari laut) di Banggai, raja La Logani Tompotika Bualemo dan raja Ali Aseni Motindok,
di Batoei, Banggai darat, ungkap Doermier (1945).

Albert C. Cruyt (1931), dalam bukunya De Vorsten van Banggai (raja-raja Banggai), mengatakan,
“Kerajaan Banggai lahir dari kerajaan Bongganan,”  fakta dan hipotesis Kruyt di amini oleh
J.J.Doermier (1945), dengan menambahkan pada saat kerajaan Bongganan di serang raja Gowa,
Ternate, rajanya lari ke pulau Banggai, dan menjadi raja disana dengan nama Adi Kalut Pokalut,
legenda mengatakan Bongganan dihancurkan oleh Goereezen, Ternate dan Jawa, demikian
Doermier dalam Albert C.Kruyt (Catatan Untuk Bangga-,Gapi, op.cit.,511,516,679).

Francois Valentijn (1726:80), dalam buku berjudul, Oud en Nieuw Oost Indien (Hindia Timur yang
baru dan lama, jilid I-b,1726: 80), mengatakan “Banggai ini dan pulau-pulau lain di sekitarnya,
pada tahun 1580 berada di bawah pemerintahan raja Babu, di kuasai Ternate.” Yang dimaksud
raja Babu adalah Sultan Baab-ullah (1570-1583).

Albert C.Kruyt (1931),  dalam bukunya De Vorsten van Banggai (Raja-raja Banggai, 1931: 518,521),
mengatakan bahwa “ Mumbu doi Jawa memasukkan agama Islam ke Banggai, menata sebuah
pemerintahan, menaklukkan pulau Peling dan wilayah daratan Sulawesi Timur, dari Balantak
sampai Kendari,” demikian Kruyt.

Menarik disimak, kata Doermier, Franscois Valintejn, E.Gobbe, bahwa sebelum kerajaan Banggai
di satukan oleh Adi Cokro, raja-raja tersebut sudah Islam, dan telah membentuk pemahaman
agama mereka (Islam) yang sempurna, itu berlangsung di bawah tahun 1500, dengan bukti
kuburan Lipuadino dan Syekh Sa’ban di Lolantang.

Pengembangan ajaran Islam itu sudah ada di kerajaan Tompotika, Motindok, Sisipan, Kadupang,
Bongganan, Buuko, Monsongan, Doduung, Tano Bonunungan yang dibawah oleh Lipuadino dan
Syekh Sa’ban dari Lolantang, setelah kerajaan Banggai, penyebaran ajaran ini dilakukan oleh
murid-muridnya yang setia yang masih bergelar Imam-imam, ungkap Doermier.

Setelah Sultan Ternate Babb Ullah (1570-1585) dan Adi Cokro menguasai kerajaan Tompotika dan
Motindok, maka terbentuklah KERAJAAN BANGGAI (1575) yang wilayahnya dari Tg. Api, Tompotika,
Motindok sampai Pulau Togon, serta wilayah Pulau Sonit La  Bobo, selanjutnya aras kesepakatan
dan usulan para Adi di Banggai da para Tomundo di Peling, Sultan Ternate Baab Ullah nelantik Adi
Cokro sebagai raja Banggai partama (1575-1590).

Raja ke I kerajaan Banggai Adi Cokro menikah pertama dengan putri  raja Motindok Ali Aseni,Nuru
Sapa melahirkan anak pertama Abu Kasim, kemudian  Adi Cokro menikah kedua dengan putri
bangsawan (Kastela) Portugis di Ternate bernama Kastilia melahirkan anak keduaMandapar, dan 
Adi Cokro menikah ketiga dengan putri Bokan melahirkan anak perempuan ketiga  Putri
Saleh, ungkap Dormier.

Mohammad Yamin dalam bukunya Gajah Mada (1985), mengatakan “Adi Cokro (Adi Soko), adalah
bangsawan kerajaan Demak (Jawa Tengah) keponakan Dipati Yunus (1525), dengan nama
aslinya Raden Cokro, pernah bersama-sama pamanya Dipati Yunus menyerang Pati Udara
Madjapahit. Pamannya mengirim Raden Cokro ke Ternate untuk membantu Sultan Ternate
mengembangkan Islam serta memperkuat pasukan armada Kesultanan Ternate (1530).”

Adi Cokro (Adi Soko) dimasa akhir pemerintahannya masih kembali  ke kerajaan Demak (1885),
karena situasi kondisi kerajaan yang menghadapi kehancuran, kejatuhan kerajaan Demak, ia
berangkat bersama dengan istri yang ketiga asal Bokan beserta anaknya putri Saleh yang masih
kecil, dengan waktu yang cukup lama, sehingga raja Adi Cokro jatuh sakit dan meninggal di
Demak, Jawa-Tengah, beliau mendapat gelar Adi Cokro (Adi Soko) Mumbu doi Jawa (Tuanku
raja Cokro Meninggal di tanah Jawa).
Sebelum meninggal, anak pertamanya Abukasim pernah menyusul ayahnya ke Jawa dan bertemu
dengan ayahnya kemudian mengajak ayahnya kembali ke Banggai, namun di tolaknya dan raja Adi
Cokro berucap kalau “Abukasim tidak mau jadi raja Banggai, datanglah ke Ternate jemput adikmu
bernama Mandapar, ajaklah adikmu ke Banggai, serta beri dia kepercayaan untuk memimpin
kerajaan Banggai, untuk mengenal adikmu, pakailah gelang ini, yang satunya di pakai adikmu
Mandapar, dan kalau pulang ke Banggai adikmu putri Saleh di bawah serta, serta bawalah dua
pasang burung ini (maleo, mamuha) peliharalah di Banggai dengan baik”.(Sumber, hasil penelitian
Prof.Dr. W.E.L. Weck dan Franscois Valentijn, dalam bukunya berjudul, De Europeers in den
Maleischen Archipel, B.K.I, Laiden, 1881).

Setelah Adi Cokro (Adi Soko) Mumbui doi Jawa meninggal, pemerintahan kerajaan Banggai
dipimpin oleh raja Banggai ke II  Pokoalas Doi Tano; ke III Pokoalas Doi Ndalangon; ke IV; ke V
Mumbu Tetelengan; ke VI Mumbu Dinadaat Doi Batang; ke VII Mumbu Dinadat Doi Taipa;  ke VIII
Mumbu Dinadat; ke IX Mumbu Ai Binggi; ke X Abukasim; ke XI Mumbu Doi Taipa;   serta ke XII
Mumbu Doi pangkelo, raja-raja tersebut sebagai pelaksana pemerintahan simbolis disebabkan Adi
Cokro (Adi Soko) meninggalkan pemerintahan kerajaan cukup lama ke tanah Jawa, tidak kembali
ke Banggai sampai akhir hayatnya.

 Pada Tahun 1600 Mandapaar dilantik sebagai raja ke XIII Kerajaan Banggai oleh Sultan Ternate
Said Uddin Barkat (berkuasa 1583-1606) di Ternate, raja Mandapar adalah putra dari Raja Adi
Cokro (Adi Soko) Mumbui doi Jawa ibunya berkebangsaan Portugis, Kastilia.

Tahun 1602 Belanda datang ke Indonesia dan mendirikan Vereeniging Oast Indische


Compagnie(VOC) yang merupakan Kongsi Dagang Belanda untuk perdagangan di Hindia Timur
(Indonesia). Berikut ini disampaikan dokumen sejarah yang dikumpulkan Dormier dari berbagai
sumber, kontrak antara VOC Belanda dengan raja Banggai.

Francois Valentijn (1880:456), dalam bukunya mengatakan bahwa sejak tahun 1683 orang sudah
mulai berbicara  tentang Banggai, karena Ternate dianggap sebagai leenheffer(penerima
pinjaman) pada perusahaan Hindia Belanda, karena Banggai merupakan daerah takluknya, maka
kerajaan ini dijadikan jaminan atau borok kepada VOC Belanda.

laut, hukum tua atau sangaji, kecuali setelah mendapat ijin dari Compagnie, bersama-sama


dengan sultan Ternate  (art.15);  berikut, bahwa pada kemangkiran dan kematian, atau juga
karena tingkah laku jahat serta pemecatan oleh E.Comp, seorang raja baru harus dipilih dengan
cara musyawarah bersama antara Gubernur dan sultan Ternate, beserta para bobato Banggai
(art.16); raja Banggai setiap tahun harus memberi homagium (penghormatan) kepada sultan
Ternate dan dengan demikian mengirim pemberian atau pajak, sebagaimana yang menjadi
kebiasaan dan pantas (art.26).

Setelah raja Mandapaar meninggal (1630) di Lonas, Lompio Pulau Banggai, kemudian  digantikan
putranya bernama Molen Mumbui doi Kintel atau Kintom (1630-1650) sebagai raja ke XIV
kerajaan Banggai, ibundanya putri Banggai. Pada saat raja ke XIV Banggai ini memimpin, wilayah
kerajaan Banggai dikuasai Kerajaan Goa, Sultan Alauddin (1592-1639).

Meninggal raja Mumbu doi Kintel atau Kintom,  digantikan raja Pau Saudagar Makassar-Goa
Mumbu doi Benteng (1650-1749), sebagai raja ke XV kerajaan Banggai, adik tiri Mumbu doi
Kintom, ibundanya keturunan suku Bugis.

Pada tahun 1637 kerajaan Gowa di bawah  Sultan Malikussaid masih menguasai kerajaan Banggai,
berakhir sampai dengan perjanjian Bongaya (1667), dan sejak tahun 1675 kerajaan Banggai
dikuasai kembali oleh sultan Ternate Mandarsyah  (1648-1675) yang sangat berpihak kepada
pemerintahan Belanda.
Perjanjian Bongaya (Het Bongaisch Verdraag), ditandatangani pada tanggal 16 November 1667,
atas inisiatif dan prakarsa pemerintah Belanda yang dipimpin oleh Cornelis Speelman. Perjanjian
ini berisi antara lain, kerajaan Goa harus melepaskan seluruh haknya terhadap pulau Banggai dan
pulau Gapi (Peling), perjanjian ini di tandatangini oleh raja Goa Sultan Hasanuddin, raja Bone
Arung Palakka, raja Soppeng Arung Billa dan Sultan Ternate Mandarsyah.

Raja Banggai ke XV ini meninggal, digantikan raja Mbulang Mumbu doi Balantak (1749-
1765),sebagai raja kerajaan Banggai ke XVI, putra raja Molen Mumbu doi Kintom, dilantik oleh
Sultan Ternate Sibori di Ternate.

Pada saat Sultan Hasanuddin dikenal sebagai raja yang sengit melawan Belanda. Bentuk
perjuangan yang dilakukan Hasanuddin ternyata memberikan pengaruh tersendiri bagi Raja
Banggai , yakni Raja Mbulang dengan gelar Mumbu Doi Balantak, hingga Mbulang memberontak
terhadap VOC Belanda dan  Sultan Ternate.

Sebenarnya Mbulang Doi Balantak menolak untuk berkongsi dengan VOC lantaran monopoli dagang
yang terapkan Belanda hanya menguntungkan Belanda sementara rakyatnya di posisi merugi. Tapi
apa hendak dikata, karena desakan Sultan Ternate yang menjadikan Kerajaan Banggai sebagai
bagian dari taklukannya, dengan terpaksa Mbulang Doi Balantak tidak dapat menghindar dari
perjanjian yang dibuat VOC  Belanda.

Raja ke XVII ini wafat digantikan oleh raja Kabudo Mumbu doi Mendono (1765-1789), sebagai
raja Banggai ke XVIII, putra raja Pau Saudagar mumbu doi Benteng. Raja ini meninggal digantikan
raja Banggai ke XIX raja Abu Kasim Mumbu doi Bacan (1789-1793) putra dari raja Mbulang Mumbu
doi Balantak.

Tahun 1741 tepatnya tanggal 9 November perjanjian antara VOC dengan Mbulang Doi Balantak
diperbarui oleh Raja Abu Kasim yang bergelar Mumbu Doi Bacan. Meski perjanjian telah
diperbaharui oleh Abu Kasim, tetapi secara sembunyi – sembunyi Abu Kasim menjalin perjanjian
kerjasama baru dengan Raja Bungku. Itu dilakukan Abu Kasim dengan target ingin melepaskan diri
dari Kerajaan Ternate. Langkah yang ditempuh Abu Kasim ini dilakukan karena melihat beban yang
dipikul oleh rakyat Banggai sudah sangat berat karena selalu dirugikan oleh VOC. Tahu raja Abu
Kasim menjalin kerjasama dengan Raja Bungku, akhirnya VOC jadi berang (marah). Abu Kasim
lantas ditangkap dan dibuang ke Pulau Bacan (Maluku Utara), hingga akhirnya meninggal
disana. (JJ.Dormier, Catatan Untuk Banggai-Gapi, 1945).

Setelah raja Abu Kasim wafat di gantikan raja Banggai ke XX kerajaan Banggai raja Mumbu doi
Padongko (1793-1798). Putra raja Mumbu doi Mendono.

Setelah raja Padongko wafat di gantikan putra sulungnya  raja  Mandaria Mumbu doi Dinadat atau
Mumbu Darah Putih (1798-1808), sebagai raja kerajaan Banggai ke XXI. Setelah raja  Mandaria
wafat digantikan raja Banggai ke XXII raja Atondeng Mumbu doi Galela  (1808), adik raja
Mandaria. Raja Atondeng pernah berusaha melepaskan diri dari kesultanan Ternate, tetapi
usahanya gagal karena tentara  sultan Ternate yang di kenal dengan pasukan Tobelo, menyerang 
balik raja Atondeng, dan raja Atondeng di buang ke Galela, sehingga dinamakan “raja Atondeng
Mumbu doi Galela” maksudnya,  tuanku raja Atondeng meninggal di tanah Galela.

Setelah raja Atondeng meninggal, digantikan raja Banggai ke XXIII  raja Agama Mumbu doi
Bugis (1808-1815), cicit dari Mumbu doi Balantak. Raja Agama pernah melawan kekuasaan Sultan
Ternate, tetapi tidak dapat membendung serangan tentara Sultan Ternate, Tobelo, kemudian raja
Agama meninggalkan Banggai atas pertimbangan, raja Agama sendiri, Kapitan Togian Laparege,
dan Bosanyo Tatu Yasin (Mata Mea) Mendono, diatur keberangkatan raja ke Sultan Bone, melalui
Buton, dengan di kawal oleh Punggawa Uwa Labia dengan perahunya 5 ton, alkisah, sampailah ke
tujuan, Bone dan diterima dengan baik oleh Sultan Bone, raja Agama tidak kembali lagi ke Banggai
sampai akhir hayatnya,  sehingga beliau mendapat gelar “raja Agama Mumbui doi Bugis” (Tuanku
raja Agama meninggal di tanah Bugis).  Keturunan terakhir dari raja Agama yang memegang
pemerintahan kerajaan Banggai antara lain, adalahmayor ngopa Djakaria Nurdin Agama.

Setelah raja Agama wafat digantikan raja kerajaan Banggai ke XXIV raja Laota Mumbu doi
Tinambak (1815-1847), cicit dari Mumbu doi Balantak.

Raja Laota mengalami hal serupa, karena melakukan perlawanan dengan kesultanan Ternate,
tentara Tobelo menyerang  raja tersebut, raja Lauta di buang ke Tanebak, Halmahera.

Setelah meninggal raja Laota kemudian digantikan raja Banggai ke XXVI raja Tadja Mumbu doi
Sau (1852-1856), adik kandung raja Laota, cicit dari raja Mumbu doi Balantak.

Meninggal raja Tadja digantikan raja Tatu Tonga Mumbu doi Jere sebagai raja ke XXVII (1856-
1858) , putra raja Mandaria.

Setelah raja Tatu Tanga meninggal digantikan raja Banggai ke XXVIII raja Soak Mumbu doi
Banggai (1858-1870), cucu raja Laota. Meninggal raja Soak digantikan raja Banggai ke XXVIII
rajaNurdin Mumbu doi Labusama (1872-1880), putra raja Tatu Tonga.

Wafat raja Nurdin digantikan raja kerajaan Banggai ke XXIX  raja H. Abdul Azis (1882-1900), putra
raja Soak. raja H.Abdul Azis meninggal saat menunaikan ibadah Haji di Mekkah, kemudian di
gantikan raja kerajaan Banggai ke XXX raja H. Abdurrahman (1901-1922), cucu raja Atondeng.
Raja Abdurrahman pada tahun 1922 menunaikan ibadah Haji ke tanah suci Mekkah, dan ikut
bersama-sama dengan raja Abdurrahman adalah keponakannya Syoekuran Aminuddin Amir yang
masih berumur 20 tahun, raja Abdurrahman kemudian wafat dalam perjalanan dari Mekkah ke
Indonesia, atas kesepakatan Basalo Sangkap, kerajaan Banggai di pimpin oleh Jogugu Hanapi
(1925), dan dilanjutkan oleh Jogugu Zakaria Uda’a (1929).

Pengangkatan raja-raja di kerajaan Banggai sejak raja pertama Banggai Adi Cokro (Adi Soko),  dan
raja Mandapar dilantik oleh Sultan Ternate, sedangkan raja Mumbui Doi Kintom, raja Mbulang
Mumbu Doi Balantak dan raja Pau Saudagar Mumbu Doi Makassar dilantik oleh Sultan Goa,
Makassar, kemudian raja Banggai selanjutnya sampai raja Banggai ke XXX H.Abdurrahman di lantik
di Ternate oleh Sultan Ternate,

Pelantikan raja Banggai ke XXXI, raja ke XXXII maupun raja ke XXXIII di lakukan oleh Basalo
Sangkap atas persetujuan Komisi Empat di Banggai, karena pada Tahun 1908 diterbitkanStaadblad
(Lembaran Negara Hindia Belanda) Nomor 367 yang mengatur tentang beberapa kerajaan dari
lingkungan Ternate yang memisahkan diri dari kerajaan Ternate, antara lain kerajaan Banggai.

Kekuasaan Ternate atas Banggai berakhir pada tanggal 1 April 1908, dengan Kontrak
suppletoirtanggal 23 Maret 1907 Sultan ternate menyerahkan Banggai, Bungku dan Mori Kepada
Pemerintahan dan kontrak ini berlaku mulai 1 April 1908. Dengan demikian raja
BanggaiAbdurrahman menjalankan Korte Verklering sebagai penguasa Banggai.  (Sumber :
Dormier, dalam Valentijn, Kruyt, Vorsten, Goedhart, De Clerck, Hand.S.G.).

Wafat raja H.Abdurrahman digantikan raja kerajaan Banggai ke XXXI raja H. Awaluddin (1929-
1940), putra raja H.Abd. Azis. Setelah meninggal raja  H.Awaluddin (10 Mei 1940), digantikan raja
kerajaan Banggai ke XXXII raja Nurdin Daud  (12 Mei 1940 – 05 Februari 1941), cicit raja Nurdin
Mumbu doi Labasuma, berkuasa hanya sembilan bulan dan kemudian di sekolahkan ke Makassar,
pemerintahan dijalankan oleh yogugu Zakarian Uda’a (05 Februari 1941), kemudian pada tanggal 1
Maret 1941, Basalo Sangkap mengangkat dan melantik raja Banggai ke XXXIIIH.Syoekuran
Aminuddin Amir (1941-1959), cicit raja Agama Mumbu doi Bugis, keponakan raja H.Abdurrahman.
Sebelum menjabat raja Banggai, tahun 1926 Syoekuran Aminuddin Amir diangkat menjadi  “Hatibi
Banginsa” di Banggai, jabatan syara’ di kerajaan Banggai, tahun 1929 Syoekuran Aminuddin Amir
menjabat sebagai mayor ngopa merangkap Kepala Distrik Tangkian yang berkedudukan di Bunta,
tahun 1940 diangkat menjadi Kepala Hadat di Lambangan merangkap Kepala Distrik Bawahan
Lambangan dan Bualemo.

Pengangkatan dan pelantikan raja Banggai ke XXXI dan raja ke XXXII , serta raja Banggai ke XXXIII
di laksanakan di Banggai yang dilakukan oleh Basalo Sangkap (Empat Pembesar), yaitu basalo
Doodung, basalo  Tano Banunungan, basalo Monsoongan dan basalo Gong-gong. Basalo Sangkap
inilah yang mengangkat, melantik dan memberhentikan raja, dengan persetujuanKomisi Empat,
yaitu jogugu (pemerintahan di Banggai Kepulauan) berkedudukan di Banggai,hukum
tua (pemerintahan di pulau peling) berkedudukan di Salakan, Kapitan Laut(pemerintahan di
pantai selatan Banggai darat) berkedudukan di Luwuk, dan mayor ngopa(pemerintahan di pantai
utara Banggai darat) berkedudukan di Bunta. Komisi Empat pemerintahan kerajaan Banggai
berlaku efektif pada raja ke XXXI H.Awaluddin.

Ketika raja Banggai ke XXXI H.Awaluddin wafat, proses pergantiannya dilakukan oleh Basalo
Sangkap, atas persetujuan Komisi Empat mengangkat raja ke XXXII Nurdin Daud, cucu raja Nurdin
Mumbu doi Labusana,  keponakan Kapitan Daud, anak dari jogugu Abuhajim.  Nurdin Daud saat itu
baru berumur 10 tahun. Ia hanya dapat melaksanakan pemerintahan kerajaan selama kurang lebih
9 (Sembilan) bulan, diberhentikan oleh Basalo Sangkap atas persetujuan Komisi Empat. Pengganti 
Nurdin Daud untuk melaksanakan pemerintahan kerajaan sementara di angkat Jogugu Zakaria
Uda’a (05 Februari 1941), dan pada Tanggal 1 Maret 1941 Basalo Sangkap atas persetujuan Komisi
Empat mengangkat raja Banggai ke XXXIII H. Syoekuran Aminuddin Amir menjadi Raja Banggai
terakhir kerajaan Banggai (1960).

Wilayah Kerajaan Banggai, sebelah Barat berbatasan dengan Tanjung Api (perjanjian raja La Riau
Tojo tanggal 11 Desember 1887), sebelah Selatan berbatasan dengan Togong Teong, di darat.
Pada tanggal 25 Mei 1897, terjadi perubahan dengan adanya perjanjian Residen Manado dengan
raja Tojo, batas wilayah bagian Timur kerajaan Tojo dibatasi oleh sungai Balingara, dekat tanjung
api. (C.Bosscher & BA.Mathjisen,1854).

C.Bosscher & BA. Mathjisen dalam buku mereka berjudul Schetsen van de Rijken van Tooboekoe
en Banggai op de Oostkust van Celebes (Sketsa tentang kerajaan-kerajaan Tombuku dan Banggai
di Pantai Timur, 1854, hal.90),  mengatakan “bahwa Tanjung Api merupakan batas sebelah barat
dan Togong Teong merupakan batas sebelah selatan.

Dan pergeseran tapal batas wilayah kerajaan Banggai dengan wilayah kerajaan Tojo baru
dilakukan tahun 1919 oleh raja ke XXX kerajaan Banggai  raja H. Abdurrahman, disaksikan oleh
hukum tua Idris, imam Djamaka, miantu Abdul Rajak, dari unsur pemerintah Hindia Belanda di
Luwuk, yakni Kapten Rijman.

Pada tanggal 28 Juni 1909, telah terjadi perjanjian antara kesultanan Ternate dengan kerajaan
Banggai, mengenai batas wilayah, dikatakan bahwa pulau Salauwe dan Tim paus masuk Banggai,
sedangkan pulau Masoni tetap berada di bawah Ternate, melalui aparatnya di Taliabu, perjanjian
ini disyahkan pada tanggal 22 Pebruari 1910. Namun, pada tahun 1913 Raja Banggai Abdurrahman
tidak mau mengakui hak Ternate melalui aparatnya di Taliabu, terhadap pulau Sonit.

Falsafah kerajaan Banggai “Hadat Bersendih Syara’ dan Syara’ Bersendi Hadat.” Menandakan
budaya rakyat Banggai yang sopan santun, berbudi luhur, ramah tama, dan bersahaja.

Struktur kebudayaan Banggai, Saluan, dan Balantak masih mempunyai perbedaan dalam
pelaksanaan, namun falsafahnya sudah komit dan tidak dipersolkan lagi, sebab falsafah ini telah
dibentuk dan dibangun oleh leluhur dan sangat relevan dengan nilai-nilai agama.
Kultur Banggai, Saluan dan Balantak secara konsepsi nilai dan strukturnya tetap utuh, namun
dalam perkembangan individu masyarakatnya mengalami pergeseran nilai, akibat masuknya
budaya asing yang bertentangan dengan nilai-nilai hakiki dari falsafah tersebut.

Dengan berakhirnya kekuasaan kerajaan Banggai, maka status administrasi Pemerintahan sejak
tahun 1959 kerajaan Banggai berubah secara nyata dari kerajaan, Swapraja yang disebut Kepala
Pemerintahan Negeri (KPN) Luwuk menjadi Daerah Swatantra Tingkat II (DASTING II) Banggai, yang
saat ini di kenal dengan nama Kabupaten Banggai, berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun
1959, tanggal 04 Juli 1959.

2.2.      Pemerintah Kolonial Belanda Dan Jepang :

 Pada saat kerajaan Banggai dipimpin raja ke XXX raja H.Abdurrahman, bangsa Belanda masuk ke
wilayah kerajaan Banggai (1906), setelah melakukan perlawanan dengan rakyat kerajaan Banggai
bangsa Belanda kemudian menguasai seluruh wilayah kerajaan Banggai (1908), dan pada tahun
1908 kerajaan Banggai lepas dari kesultanan Ternate dan di bawah kekuasaan bangsa Belanda, hal
tersebut di tandai dengan bersedianya raja Banggai H.Abdurrahman pada tanggal 1 April 1908
menandatangani Korte Verklaring (Pelakat Pendek) dengan pemerintah Hindia Belanda Kapten
A.R. Cherissen di Banggai yang kemudian mendapat status wilayah sebagai Zelfbestuurrende
lansdchappen (daerah-daerah yang mempunyai pemerintahan sendiri), yang antara lain isinya,
“kerajaan Banggai untuk mengakui kekuasaan Belanda terhadap dirinya dan berjanji akan menaati
segenap peraturan yang akan di tetapkan oleh Belanda.”

Pada tahun 1908 Hindia Belanda di Pulau Sulawesi mengeluarkan Staatblad Nomor 367, yang isinya
“Pemerintah kolonial Belanda mengatur pemerintahan untuk wilayah Sulawesi Tengah bagian
Barat, dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan Gubernur Provinsi Celebes dan bawahannya yang
berkedudukan di Makassar. Sulawesi Tengah bagian Tengah, termasuk Teluk Tomini, dimasukkan
ke dalam wilayah kekuasaan pemerintah Residen Sulawesi Utara yang berkedudukan di Manado,
dan Sulawesi Tengah bagian Timur, termasuk Telok Tolo, dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan
Residen Sulawesi Timur yang berkedudukan di Bau-Bau, dan kerajaan Banggai masuk di wilayah ini
dengan status wilayah Onder AfdelingBanggai.”

Pada Tahun 1924 Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Staatblad Nomor 365, yang isinya
daerah kekuasaan Sulawesi Tengah di pusatkan pemerintahannya, yaitu masuk wilayah kekuasaan
Keresidenan Manado dan berkedudukan di Manado. Keresidenan Manado terbagi dua wilayah
Afdeling, pertama Afdeling Donggala, berkedudukan di Donggala, dengan wilayah-wilayah
kekuasaan Onderafdeling Donggala, Onderafdeling Palu, dan Onderafdeling Toli-Toli, dan
kedua Afdeling Poso berkedudukan di Poso, dengan wilayah-wilayah kekuasaan Onderafdeling
Poso, Onderafdeling Parigi, Onderafdeling Kolonodale, dan Onderafdeling Banggai.

Onderafdeling Banggai berkedudukan di Luwuk, terdiri dari Landschap Luwuk berkedudukan di


Luwuk, dan Landschap Banggai Kepulauan berkedudukan di Banggai.

Kekuasaan pemerintah Hindia Belanda di wilayah kerajaan Banggai dengan nama Onderafdeling,
pertama di pimpin oleh Kapten A.R. Cherissen (1908-1911) di Luwuk, kemudian kedua di pimpin
oleh kapten Van Beek (1911-1918) dan ke-tiga dipimpin oleh kapten J.F.H.I. Goslings (1918-1933),
ke-empat dipimpin oleh kapten Paulissen (1933-1935) dan ke-lima dipimpimn oleh kapten J.J.
Doermeier (1935-1937) serta ke-enam kapten Wolrabbe (1937-1942) sebagai Kontroleur di
Luwuk. JJ.Doermier salah satu kontroleur yang aktif dan produktif dalam meneliti masyarakat
Banggai, sehingga mendapat gelar Doktor bidang hukum adat Banggai di Rijks
Universitiet (Universitas Kerajaan) di Leiden, Nederland, dengan promotornya Prof.Dr.V.E.Korn.

2.3  Perlawanan Rakyat Terhadap Kolonialisme Dan


      Gerakan Merah Putih                          

Rakyat Indonesia, khusunya rakyat Banggai  bangkit melawan penindasan bangsa Belanda dengan
mendirikan perkumpulan, organisasi dagang, maupun organisasi pendidikan serta organisasi
politik, organisasi pemuda, rakyat juga melakukan perlawan, baik itu berbentuk perang gerilya
ataupun dalam bentuk perang agitasi.

Hasil wawancara penulis dengan tokoh masyarakat dan adat Luwok (2011) di Pegunung “W”
tepatnya di desa Keles, Pahosan, Lumpoknya, dan desa Tontoan serta Tandos pernah ada wilayah
persekutuan, bernama “Keleke” (1785-1840), dipimpin oleh se orang dengan gelar“mianu tutui
bosanyo Mabulang”. Menurut keterangan sumber yang dapat dipercaya bahwatutui Mabulang
adalah anak dari Mapaang, adik raja Tompotika Lalogani yang sudah berada di Lampa, Banggai dan
diberikan kekuasaan sampai di Lolantang, dan diberikan gelar Lipuadino, karena menikah dengan
salah satu anak Lipuadino di Lolantang, sebelum mianu tutuiMabulalang tiba dan menetap di
Keleke, persekutuan ini telah terbentuk di pimpin oleh DAKA’NYO KELEKE SALU (p), sekitar tahun
1765, yang kemudian di kawini oleh Bosanyo Mabulang.

Mianu Tutui MABULANG menikah dengan Daka’nyo Keleke Salu (1805), melahirkan anak-


anaknya, Djanggo puteh, Ahmad, Kailo, Tambulang, Mabuhain, Dahlan, Sinukun, Muh.Enot,
Makmur, Puha (p), Sulu (p), Kasumba (p), Tatu, anak-anaknya ini kemudian membentuk
keturunan di Mangkian Piala (1875), dan setelah itu membangunan keturunan di Luwok (1905),
kawin mengawin dengan Datu Adam, Mang, Mile, Lalusu, Djibran, Larekeng, H.Thalib, H.Tjatjo,
H.Kasim, Dg.Matorang, dan lain sebagainya. Kepala Desa pertama Luwok H.Kailo (sumber :
Moh.Syafrin Abdullah & Arsad Himran, serta Muhrim Abd.Gani, Luwuk, 2012).

Kepala wilayah Tandos, Keles, Tombang, Tontouwan dan Pinampong di sebut TONGGON. Warga
keturunan Tandos melebarkan wilayahnya menjadi pemukiman baru yang kemudian disebut
Kilongan, Kamumu, Bayou dan Lumpoknya, wilayah ini merupakan kekuasaan dari Keleke.

Tandos merupakan bagian dari wilayah Keleke, pada zamannya pernah ada se orang pahlawan
yang berjuang melawan serangan pasukan Tobelo, yaitu Talenga Tandos bernama BANGGI, asal-
usulnya dari Kamumu bergelar Mian Matangkas atau julukan populernya Loinang Matangkas,
keturunan dari Lingketeng. Di Tandos dan Boyou pernah ada seorang ahli perang dengan senjata
sumpit, yaitu bernama KANDEPO dan BAUSUN, mereka sangat disegani tentara Tobelo, karena
senjata perangnya dapat menghancurkan tentara musuh.

Di Kilongan juga terdapat se orang pahlawan yang disebut Talenga BONGON, yang pernah
menghancurkan sebuah armada Tobelo tanpa tersisakan, dan perahu musuh terkubur di lautan.
Siasat perangnya sebagai berikut, ketika pasukan musu mendekati pantai, Talenga Bongon
menyimpan alat perangnya yang bernama SONDI didalam pasir – sehingga terlihat oleh musuh tidak
bersenjata, tetapi Talenga Bongon mondar-mandir disekitar senjatanya yang tertimbun pasir, dan
setelah musu mendarat, ia mengambil senjatanya Sondi, merusak perahu secara total, dan
melayani musunya satu persatu,  musu itu tidak ada yang lolos dan terkubur di situ, inilah asal-
usul nama lokasi Lamunan yang terletak di desa Biak.

Sebeleh Wilayah Mangkian Piala, terdapat wilayah perkampungan yang membuat sejarah
tersendiri di Luwok, yaitu Kompo (1895), warga persekutuannya menyebar membangun
perkampungan baru Simpoung dan Jole (1905), dengan keturunannya antara lain, DAYANUN (kai
Dayanun), pada tahun 1831 menikah dengan putri Daka’nyo Keleke, IKI (kelek Iki), saudara kembar
dari DAUD (kai Daud). Setelah Bosanyo Mabulang meninggal, istrinya Daka’nyo Keleke SULA,
menikah dengan putra bangsawan Bone Dg. PONIK (1810), melahirkan anak kembar DAUD & IKI.
Sedangkan DAUD (kai Daud) pada tahun 1827 menikah dengan saudara Tirinya di Keleke SULU
(anak Bosanyo Mabulang), keturunan kai Dayanun dan kai Daud menikah  lagi dengan keturunan
Ahmad, Datu Adam, Sinukun, Mang, Djalumang, Noho, Gani, Bujang, Agama, Lasandang, Lasadam,
Masulili, H.Nasir, Zaman, Matorang, Bullah,  Sandagang, Hanapi, Unok, Saidah, Abusama, Suni,
Hipan, Budahu, di Dongkalan, Soho, Lambangan, Pagimana, Balantak, Lamala, Nambo, Mendono,
Kintom dan Batui, Nonong serta Kayoa (Sumber : Moh. Syafrin Abdullah, Batui-Soho, 2012).

Penyebaran agama Islam di wilayah Keleke, sudah dimulai ketika Bosanyo Keleke berkuasa di
pedalaman Gunung “W”  Pa Hosan, Keles, Tontoan, Tandos, Lumpoknya, dan Pinampong yang di
bawah oleh guru agama, imam dari  Lolantang (1767), ungkap Moh. Syafrin Abdullah.

Masih keterangan Moh.Syafrin Abdullah, Kehidupan masyarakat Keleke dalam wilayah Dua Belas
Kabasalonan Lolantang mempunyai makna yang luar biasa, sampai saat ini Alhamdulillah,
pertentangan antar sesam etnis maupun etnis lain yang ada di Keleke hampir dikatakan jarang
terjadi, kalaupun itu ada, para leluhur, orang tua, Bosanyo Keleke segera menyelesaikan dengan
baik secara kekeluargaan.

Ibu Kota Keleke Pahosan kemudian dipindahkan serta dikembangkan ke arah pemukiman di tepi
pantai Luwok, kampung Asam Jawa (asrama Kodim), dan berubah namanya menjadi Asam Jawa
(1890), pelabuhannya bernama Luwok, (kentaraan di bungin). Setelah bangsa Belanda masuk ke
wilayah kerajaan Banggai (1908), kemudian membuat tangsi asrama Belanda, perkampungan
Asama Jawa yang berupa rumah tolo dipindahkan kearah pegunungan W dengan cara “ di Soho
Sohongi “ (dipercepat), sehingga nama ini menjadi nama perkampungan SOHO (1901), dengan
pelabuhannya Luwok, artinya teluk, dan setelah berdatangan para saudagar dari Belanda, Cina
serta Arab, sehingga peyebutan nama pelabuhan Luwok menjadi Luwuk, sampai saat ini.

Pembangunan perkantoran oleh bangsa Belanda di mulai dengan perumahan Kontruleur Belanda,
penjara Belanda, rumah dokter, rumah sakit, kantor pemerintah Hindia Belanda, kantor pos dan
sekolah rakyat model Belanda dan pesanggrahan serta permandian konteraan (1910-1919), di
lokasi wilayah Soho, Luwok.

Setelah perkempungan Keleke berpindah dari Keles,  ke kampung Asam jawa (asrama Kodim),
pemerintahan kampung asam jawa dipimpin oleh Bosanyo  MABUHAIAN (1895-1910), anakmianu
tutui Keleke Mabulang.  Bosanyo Keleke Mabuhaian mempunyai anak dua orang yang laki-laki
bernama HAMOS yang menikah di Jole dengan Putri kai Dayanun (tidak mempunyai keturunan) dan
yang perempuan bernama HALIANG menikah dengan Sirajuddin Datu Adam, dengan keturunannya
menyebar ke Kilongan, Dongkalan, dan Bantanyan.

Batas wilayah Keleke, sebelah Barat terdapat lokasi yang bernama Pepelon-Subuhon, inilah
wilayah talenga Poma (1887), yang berhadapan dengan pasukan Tobelo. Cerita tentang talenga
Poma menghadapi Tobelo, dengan di awali membunuh seluruh anak-anak dan istrinya, dengan satu
alasannya, apabila ia mati berhadapan dengan pasukan Tobelo, anak-anak dan istrinya sama-sama
menghadapi maut, alkisah dalam pertempuran itu, talenga Poma dapat menghancurkan pasukan
Tobelo, peristiwa ini terjadi di Pepelon-Subuhon (lapangan Persibal, sekarang).

Sebelah Timur terdapat tangsi-tangsi Belanda (asam jawa, Kodim), sebelah Utara dengan sungai
Keleke yang berubah menjadi sungai Soho, sebelah Selatan berbatasan dengan pohon Dongkalan-
Kolopisok, Supak, Mangkio.

Wilayah Kolopisok (sekarang pertokoan Cina), dahulunya merupakan pertokoan pribumi sebelum
orang-orang cina masuk dan membeli (pinjam/pakai) lokasi tokoh mereka seperti antara lain milik
H.Mohammad Noer, pertokoan milik H.Sirajuddin Datu Adam, milik Kalia Makmur,   milik Sinukun
(1905). Setelah pemerintahan Belanda masuk di Luwok (1908), secara perlahan-lahan bangsa Cina
dan Arab masuk ke wilayah pertokoan tersebut sampai sekarang ini.

Masuknya suku Gorontalo di pasisir pantai kampung asam jawa, maka terbentuklah kampung
Bungin (nama bungin adalah mata air bersih kecil di kenteraan, tempat mandi  mianu Keleke,
sekarang dekat Masjid Bungin),   kemudian dengan masuknya suku Buton, Raha, Manui di Mangkio,
maka terbentuk kampung yang kemudian dikenal dengan nama kampung Baru.

Tahun 1925, di perkampungan Soho, Dongkalan, Jole dan Simpoung membentuk pemerintahan
Luwok yang dipimpin oleh Bosanyo Kalia Ma’mur, Bosanyo Sinukun, kemudian dilanjutkan oleh
Bosanyo Ipung Mang, dan Bosanyo Lamala Lalusu, serta Bosanyo Abdullah H.Kasim (1950).

Kepala Kampung Soho Pertama TOANSI Pauh (1926-1963), pada masa pemerintahannya, Kampung
Soho dimekarkan menjadi Kampung  Kilongan, selanjutnya pemerintahan kampung Soho dipimpin
oleh Dake Anahan (1964-1978), pada masa pemerintahan Dake Anahan, Soho di mekarkan menjadi
Kampung Bungin dan Kampung Baru dengan menyerahkan asset wilayah kepada warga Gorontalo
yang diwakili oleh Tumbingo, teme Bakari, teme Ali, teme Taha, teme Ruga dan teme Aisari
(J.Hubu), sedangkan  warga Buton, Raha serta Manui di kampung Baru di wakili oleh La Ode Hanja,
ayah kandung M.Sarpah.

Keturunan yang di bangun di Luwuk dimulai dari perkawinan silang antara Soho – Dongkalan – Jole
dan Simpoung, kemudian antar etnis, suku Bugis, Makassar, Mandar, Manado, Tondano, Gorontalo,
Kaili, Jawa, Raha, Arab, Pakistan, Cina, Turki, yang melahirkan keturunan-keturunan Ahmad,
Makmur, Enot, Sinukun, Mang, Djalumang, Datu Adam, Lalusu, Mile, Larekeng, H. Moh. Noer, Dg.
Adele, H.Kasim, H.Tjatjo, H. Thalib, H.Nasir, H.Dahlan, H.Hanapi, Dg.Matorang, Gani, Mokoagow,
Panrelly, Manoppo, Pedju, Labohari, Latepoh, Djibran, Al Bakar, Al Hasni, A Sagaf, Al Habsyih,
Himran, Basrewan, Delwarkhan, Pauh, Anahan, Sibay, Rajab, Dja’far, Katili, Kindangen,
Pamolango, Lagandjah, Lalu Sarfah, Lengkas, Masang, Aimang, Marsonji, Mabing, Tumbingo, Teme
Bakari, Teme Juli, Teme Aisa, Dg.Manrappi, Dg.Sangkala Bundu, Dg.Tenri, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, dalam perjalanan sejarah kerajaan Banggai di wilayah Keleke, Kampung Asam
Jawa, dan Soho telah berkuasa serta menjalankan pemerintahan sesuai zamannya, masing-masing,
raja Banggai, Controleur Belanda, Ken Kanrikan Jepang, Kepala Pemerintahan Negeri Banggai, dan
Kepala Kewedanaan, serta Bupati pertama Daerah Swatantra Tingkat II Banggai Bidin. (Sumber :
Buku Catatan Syafrien Moh.Saleh, Luwuk 1994).

Desa Baloa, terkenal se orang pejuang melawan penjajah Pemerintahan Hindia Belanda ketika
melakukan ekspedisi militer ke desa Baloa tahun 1908, yaitu Djanggo Pute, demikian pula di desa
Doda terkenal se orang pejuang bernama Djanggo item atau Tumai Matubu, dan  di desa
Tambunan terdapat se orang pejuang melawan penjajah Belanda yaitu Gulungunsing. Ketiga
pemimpin pejuang suku loinang ini sepakat untuk berperang dengan penjajah Hindia Belanda
sampai tetes darah penghabisan.

Di wilayah Lamala, Balantak , terkenal se orang pejuang melawan penjajah Belanda, beliau
adalah Laginda (keturunan raja Tompotika La Logani, dari desa Kalibambang, di atas desa
Bombanon dari rumpun Lo’on. Perlawanan Laginda terhadap penjajah Belanda terjadi sekitar
tahun 1905-1911. Laginda dengan pasukannya melawan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda di
Luwuk sampai ke Lamala dan Balantak, yang dipimpin Kapten A.R. Cherissen. Laginda dalam
perjuangannya di bantu oleh anak buahnya  yang setia mengusir penjajah, seperti Salawan,
Banaan dan Aiyo, mereka mendirikan kubu-kubu pertahanan di sekitar pegunungan Sobol. Selain
itu pula, Laginda dan pejuangnya memusatkan pertahanan di Batubiring, Balantak dan di
Masama. (sumber : Nasir Ali, SH. dan Rahmat Djalil,  2012  serta sumber lainnya).

Setelah selesai Sholat Idhul Adha Tahun 1933 di Kampung Pala, Pagimana, para tokoh Agama,
Pemuda dan wanita menaikkan Bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia raya. 
Peristiwa bersejarah ini di pimpin langsung oleh tokoh pemuda Yusuf Monoarfa dan Agulu
Lagonah.  Kemudian para wanita yang turut dalam peristiwa bersejarah ini adalah Koyang
Masulili, Siti Thana dan Dio Ukiki.
Panitia Penyelenggara rapat umum “Openluh” dengan susunannya sebagai berikut, Penasihat S.A.
Amir (anggota PSII), T.D. Zaman (anggota Muhammadiyah), Abdau Masulili (anggota
Muhammadiyah), Ketua pelaksana Basyir Maksum (guru Muhammadiyah), Wakil ketua T.S.
Bullah (ketua PSII Pagimana), Sekretaris I Agulu Lagonah (anggota PSII), Sekretaris II M.
Topo(anggota Muhammadiyah), Pembantu urusan Pemuda/Pandu Jusuf Monoarfa (anggota
PSII),pembantu M.A. Makarao (anggota Muhammadiyah), S.P. Makarao (anggota Muhammadiyah),
dan A. Thaha (anggota Muhammadiyah).

Peristiwa bersejarah Tahun 1933 di Kampung Pala Pagimana di kenal dengan Rapat Akbar atau
“Openluh”, sedangkan orasi yang di baca berjudul ”Persatuan Bangsa Menuju Indonesia Merdeka”
yang di kumandangkan trio singa podium Koyang Masulili, Siti Angongo dan Doi Ukiki. Akibat
perbuatan menaikkan bendera Merah-Putih, para pejuang di Pagimana di kejar-kejar Pemerintah
Hindia Belanda di bawah pimpinan Kapten Paulissen.

Agulu Lagonah dan Jusuf Monoarfa diadili oleh pemerintah Hindia Belanda dengan penjara, Agulu
Lagonah 4 bulan penjara, dan Jusuf Monoarfa 6 bulan penjara, sedangkan panitia lainnya hanya di
hukum denda oleh pengadilan Belanda di Luwuk, ungkap Ulyas Makarao.

Keberanian patriotis dan revolusioner pemuda di Pagimana serta Bunta tidak terlepas dari motivasi
yang diberikan oleh leluhurnya seperti kita kenal kemampuan yang keras dan berani dari Djanggo
Pute, Djanggo Item dan Gulungungsing yang menolak kehadiran kolonialis Belanda di bumi
Loinang. Di samping itu, keberanian patriotis dan revolusi pemuda di Pagimana dan Bunta, juga
karena hadirnya utusan pemuda dari Yogyakarta Ustadz Basir Maksum (Muhammadiyah), H.
Abdullah Siraiz (NU), dari Kediri, Jawa-Timur dan Karel Panamon(PSII) dari Manado, ungkap cucu
Kapitan Baharuddin Lasadam, Azikin Lasadam pada penulis 8 Januari 2012 di Luwuk, serta Yasir
Masulili cucu Kapitan Arnol Masulili pada penulis 10 Januari 2012 di Luwuk.

Karena dianggap dalang peristiwa Openluh, ustadz Basir Maksum dan H.Abdullah Siraiz langsung di
pulangkan ke tanah Jawa dan dilarang kembali ke Banggai. Sedangkan Karel Panamon yang
dianggap sebagai motor pergerakan dan sebagai penanggungjawab pengibaran bendera Merah
putih Pagimana dijatuhi hukuman 5 tahun dimasukkan ke penjara Luwuk, kemudian di pindahkan
ke penjara Landraad Poso, selanjutnya di pindahkan lagi ke penjara Glodok
Jakarta.  (sumber : Azikin Lasadam,dan Yasir Masulili, 2012 di Luwuk serta berbagai sumber
lainnya).

Setelah Jepang mengumumkan perang terhadap Sekutu tanggal 8 Desember 1941, Pemerintah
Hindia Belanda di Luwuk membentuk Vernielings Corp (VC), pasukan penghancur, yaitu merusak
obyek-obyek strategis yang ada hubungannya dengan strategi militer, seperti jembatan, dan
sebagainya.

Gerakan Merah Putih yang dilakukan pejuang Pagimana tersebut diatas, membuat tokoh-tokoh
pergerakan Merah Putih di Bunta segera bergerak di bawah pimpinan H.Sunusi Mangantjo, S.
Kardiat dan Karim Porogi. Di  Kintom terbentuk pula Gerakan Merah Putih yang dipimpin oleh Baso
Sahida, H.Mansyur Buhang, Sepellu Hatta dan Marhaba Marasai. Di Batui Gerakan Merah Putih
dipimin oleh H.Badaru Salam, H.Petta Siri, H.Daeng Marappe, H. Abdul Razak dan Moh. Judo.

Di Luwuk gerakan Merah Putih dipimpin oleh dr. Sutarjo, A.G. Mambu, Linggi Hasyim, Maladjo
Ahmad, Ipung Mang, Sumang Iba, Dg. Makka, Taher Latepo. Di Lamala Gerakan Merah Putih di
pimpin oleh Abdul Kahar Manassai, dan di Balantak Geraka Merah Putih dipimpin oleh Salim
Hambali serta M. Driwasito.  (sumber :  Azikin Lasadam 2012 , serta berbagai sumber lainnya).

Pada hari Jumat 11 Februari 1942, setelah selesai Sholat jum’at, dan makan siang, bertempat di
rumah H.Abdau Masulili kampung Pala Pagimana, diadakan doa keselamatan untuk merestui
keberangkatan Gerakan Pasukan Merah Putih menuju kota Luwuk. Dalam pertemuan tersebut
terpilih 12 orang anggota pasukan dibawah Komandan I  Ince Umar Dahlan dan Komandan II  A.R.
Lanasir, dengan anggota-anggota Jusuf Monoarfa, Dadi Nisilu, Ahmadi Tapo, Mambu Masulili, Sune
Nako, Kadir, Go Weng Sui, The Tiong Lam, Sho Lip Pia dan Shio Kie Liem. (sumber : Azikin
Lasadam, dan Yasir masulili, Cucu Kapitan Aenold Masulili).

Di Poh, Pasukan gerakan Merah Putih bertambah anggota yaitu The Tiong Theng, setelah sampai di
Salodik pasukan Gerakan Merah Putih bertambah lagi yaitu  dua orang yaitu, Daeng Makka dan
Jonggulemba, kata  Azikin Lasadam dan Yasir Masulili.

Hari Sabtu 12 Februari 1942 pasukan Gerakan Merah Putih tiba di desa Biak pukul 02.00 malam,
pasukan ini bertambah anggota lagi yaitu Daud Gela. Jam 03.00 malam pasukan Gerakan Merah
Putih tibak di Km 1 (wilayah desa Soho, sekarang Kel. Bungin), pasukan di bagi tiga kelompok,
kelompok pertama dimpimpin A.R. Lanasir dan Daeng Makka menghubungi kawan-kawan dalam
Kota Luwuk, kelompok kedua Jusuf Monoarfa menghubungi dr.R.Sutarjo dan A.G. Mambu,
kemudian kelompok ketiga Ince Umar Dahlan melaksanakan penangkapan terhadap seluruh
pegawai Pemerintahan Hindia Belanda, ungkap Nurdin Abd. Rahim pada penulis.

Sasaran utama pasukan gerakan Merah Putih adalah merebut Stasiun Radio (samping gedung
Nasional sekarang), dan merebut kapal Stoon Sceep (SS) Kapal Uap Urania di pelabuhan Luwuk,
dan mereka berhasil melumpuhkan kemudian menguasainya. Sasaran berikutnya adalah
mengepung rumah dinas kontroleur F. Wolrabbe, (sekarang rumah tersebut sebagai kantor Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Kab.Banggai), ternyata F.Wolrabbe tidak ada di rumahnya, ia sedang
ke pelabuhan Luwuk menuju ke Kolonodale, namun dijegat pasukan Gerakan Merah Putih dan
memerintahkan anak buahnya yang masih setia untuk menyerah angkat tangan di bawah
kekuasaan pasukan gerakan Merah Putih.

Pada hari Minggu, 13 Februari 1942 sekitar pukul 10.00 witeng dilaksanakan serah terima jabatan
antara pemerintahan Hindia Belanda Banggai dengan pasukan Gerakan Merah Putih yang di wakili
dr. Sutarjo Notoprawiro, merangkap Kepala Keamanan, bertempat di Kantor kontroleur Luwuk
(sekarang Kantor Mapolres Banggai) dan  seluruh anggota kontroleur kapten F. Wolrabbe Hindia
Belanda resmi di tangkap kemudian dimasukkan dalam tahanan penjara di Luwuk.

Pada hari Minggu, 13 Februari 1942 jam 11.00 di Markas Gerakan Merah Putih Luwuk bekas 
kantor kontroleur Belanda (sekarang Kantor Mapolres Banggai), Bendera Merah Putih Berkibar di
Kota Luwuk, dan Lagu Indonesia Raya berkumandang di seluruh pelosok wilayah kerajaan
Banggai.(Sumber : Azikin Lasadam 2012, serta berbagai sumber lainnya).

Pasukan Gerakan Merah Putih dibawah komandan Ince Umar Dahlan dan kawan-kawan, pada hari
Minggu 13 Februari 1942 melanjutkan perjuangan ke Kintom dan Batui, mereka disambut dengan
heroik sebagai pejuang pergerakan Merah Putih, setelah itu mereka kembali ke Pagimana tgl 15
Februari 1942. 

Pada hari Rabu, 16 Februari 1942, di Luwuk di bentuk Pemerintahan Nasional dengan nama
“Komite 12”, dengan susunan sebagai berikut : Kepala Pemerintahan, Ketua “Komite 12” 
H.Syukuran Aminuddin Amir (raja Banggai), Wakil Kepala Pemerintahan T.S. Bullah, Sekretaris dan
Bagian Perhubungan Jusuf Monoarfa, Bagian Keuangan dan Perbekalan Sulaeman Amir, Bagian
Pertahanan/Keamanan dan Kesehatan dr. R.Sutarjo Notoprawiro, Bagian Urusan Umum Agulu
Lagonah dan A.G. Mambu, Bagian Penerangan dan Propoganda S. Kardiat, Bagian Pengajaran dan
Pendidikan A.G. Makadada dan N. Pedju, Bagian Perekonomian S.H. Bunai, dan Ipung Mang.
(Sumber : Azikin Lasadam, 2012, serta berbagai sumber lainnya).

Pada tanggal 18 Februari 1942, tahanan-tahanan kolonial Belanda di Luwuk kemudian di bawah ke
Gorontalo dengan  KM. SS. Urania dikawal oleh dr.R.Sutarjo Notoprawiro bersama pasukan gerakan
Merah Putih di bawah pimpinan Agulu Lagonah dan Ahmad Fulelkhan, tahanan yang di bawah
adalah kontroluer F.Wolrabbe, pendeta Feunekkes, dan pendeta D.J. Baars, bersama-sama dengan
keluarga mereka. Sedangkan tahanan pegawai pemerintahan Hindia Belanda warga Negara
Indonesia adalah K.J. Rorimpandey, bekas Kepala Resort Tomini Bocht di Lobu, Jaksa A.Lalong,
dan Sapulette bekas Bestur Asisten, serta W.J. Lantang bekas pengurus Yayasan Kopra (Copra
fonds).

Jepang mendarat di Luwuk pada tanggal 15 Mei 1942 di pimpin komandan Miyamoto. Setelah itu,


pada tanggal 17 Mei 1942, pemerintah Jepang mengambil alih pemerintahan nasional Komite-12,
dengan alasan politis bahwa bangsa Indonesia belum dapat mempertahankan dirinya sendiri jika
ada serangan dari luar, jika pemerintahan Indonesia sudah mampu dan sanggup berdiri sendiri
maka barulah kepada mereka di serahkan kembali kekuasaan. Jepang tetap mengakui
pemerintahan kerajaan Banggai, dan membubarkan pemerintahan nasional Komite-12.

Pemerintahan Jepang membuat pemerintahan sendiri di wilayah kerajaan Banggai, dengan


komposisi Kepala Polisi (Kaisatsuco) di jabat oleh bangsa Jepang Sabuto Kiyosi, wakilnya dari
warga Negara Indonesia yang pernah bekerja pada pemerintahan Belanda dan pernah di tangkap
pasukan gerakan Merah Putih yaitu A.W. Lantang  dan pembantunya bekas komandan Gerakan
Merah Putih Ince Umar Dahlan.

A.W. Lantang melakukan perbuatan balas dendam terhadap pasukan gerakan Merah Putih yang
pada saat pemerintahan Belanda menangkap dan memenjarahkannya, ia membuat agitasi, fitnah
terhadap anggota pasukan gerakan Merah Putih, maka terjadilah penangkapan besar-besar
terhadap anggota gerakan merah putih, dan di kirim ke militer Jepang di Manado dengan alasan
melawan pemerintahan Jepang.

Susunan pemerintahan di Sulawesi Tengah dari atas ke bawah, adalah sebagai berikut, Ken
Kanrikan, masing-masing terdapat di Toli-Toli bernama Imagi, di Donggala bernama Yoshida, dan
di Poso bersama Nakamura. Bunken Kanrikan, masing-masing  terdapat di Donggala, Palu, Parigi
dan Luwuk. Suco, yaitu raja, raja S.A. Amir berpangkat Suco Banggai di Luwuk, Gunco,  yaitu
Kepala Distrik, dan Sonco  yaitu Kepala Desa.

Di zaman pemerintahan Jepang (1942-1945), terjadi kerja paksa yang sangat memilukan bagi
rakyat Banggai, seperti yang terjadi di pulau peling, rakyat dipaksa bekerja mengupas mika untuk
kepentingan perang, demikian pula di Balantak dipaksa rakyat membuat lubang di perut gunung
yang di pasangi radar, walhasil daerah ini dijadikan sasaran bom pesawat sekutu.

Setelah Jepang menyerah tanpa syarat pada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945, maka
Pemerintah Pusat, Soekarno dan Hatta, atas nama Bangsa Indonesia memproklamirkan
Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, hari Jum’at, jam 10.00 pagi
wib. bertempat di gedung Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Lagu Indonesia Raya di
kumandangkan ke seluruh pelosok Nusantara melalui RRI. dan bendera Merah Putih berkibar
diangkasa raya.

Proklamasi Kemerdekan Republik Indonesia, menggemah ke seluruh pelosok tanah air, termasuk
wilayah Banggai. di Kota Luwuk, kemudian dilakukan penggalangan kekuatan bekas jumpo Jepang
seperti, Ince Umar Dahlan, Nasir Lahay, Joseph Siwy, dan J.J. Tular, yang berkekuatan kurang
lebih satu kompi bermakas di asrama polisi Soho, pada tanggal 19 Agustus 1945 melakukan
penangkapan satu peleton angkatan darat Jepang pelarian dari Halmahera lengkap dengan senjata
mitraliur.

Di Bunta pada tanggal 27 September 1942, bertempat gedung Sekolah Islamiyah, di adakan
pertemun mantan pejuang Gerakan Merah Putih untuk merapatkan barisan kembali
mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dari serangan bangsa sekutu, yang tidak ikhlas
rakyat Indonesia Merdeka, hadir dalam pertemuan tersebut antara lain, A.R. Lanasir, H.Sunusi
Mangantjo, Abdul Latief Mangintung dan Joseph Siwy.

Dalam buku A.R. Lanasir berjudul “Catatan Perjuangan dan Pergerakan di Luwuk,” sebagaimana
yang dilansir H.S. Padeatu (2005: 150), mengatakan Pada tanggal 3 November 1945 pagi, kapal
perang NICA (Netherland Indies Civil Administration), yaitu administrasi sipil dari Hindia Belanda,
masuk pelabuhan Luwuk, dipimpin Mayor Wilson, bangsa Australia, dengan membawa pasukan
angkatan darat dan angkatan laut Australia. Pagi itu pula mayor Wilson komamndan NICA di Luwuk
berpidato yang isinya pertama, Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada tanggal
15 Agustus 1945, kedua Pemerintahan sekarang kembali kepada Pemerintah Hindi Belanda, ketiga
Kekuasaan tertinggi dikembalikan kepada Pemerintahan Swapraja, dan keempat Tentara sekutu
telah menerima laporan-laporan mengenai keganasan sebagian besar polisi Jepang.

Sementara itu, Pemerintah Pusat RI. telah mengangkat Gubernur Sulawesi pertama Dr.G.S.S.J.
Ratulangi, yang berkedudukan di Makassar. Situasi di wilayah Sulawesi masih belum stabil dengan
masuknya tentara NICA  Belanda.

Keadaan  Kota Luwuk semakin gawat, di satu sisi raja Banggai S.A. Amir masih tunduk dan patuh
pada pemerintahan NICA Belanda dengan diberi kekuasaan sebagai swapraja Banggai, di sisi lain,
para pejuang mantan Gerakan Merah Putih memaksa agar raja Banggai tetap patuh dan tunduk
pada isi Proklamasi Kemerdekan RI dan hasil pertemuan raja-raja Sulawers di rumah raja
Arumpone Jongaya, Makassar. A.L. Lanasir tokoh Gerakan Merah Butih telah beberapa kali
melakukan pertemuan dengan raja Banggai, namun belum menemukan titik terang bagaimana
melepaskan diri dari NICA Belanda di Banggai yang dipimpin HPB. Felix.

A.L. Lanasir kemudian kembali lagi ke Pagimana dan Bunta menyampaikan sikap raja Banggai,
kemudian diputuskan untuk  berkoordinasi dengan forum perjuangan  kemerdekan Republik
Indonesia di Luwuk yang masih setia pada cita-cita proklamasi RI, akhirnya A.L. Lanasir kembali
lagi ke Luwuk dan bertemu dengan Djakaria Nurdin Agama, untuk melakukan demonstrasi di kota
Luwuk, sebagai upaya menyadarkan rakyat Banggai tetap setia pada proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia, dan mengusir penjajah NICA Belanda. Demonstrasi tersebut pada tanggal 27
Novermber 1945, setelah itu dilanjutkan rapat tertutup membahas strategi  perjuangan mengusir
tentara NICA Belanda di wilayah Banggai.

Perjuangan para tokoh Gerakan Merah Putih untuk mempertahankan proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesi tetap berjuang  sampai ke pelosok wilayah di Banggai, Pemerintahan NICA
Belanda di Luwuk di bawah pimpinan HPB Letwiller melihat Gerakan Merah Putih sangat
berbahaya, maka kemudian dilakukan penangkapan besar-besaran  kepada para pejuang dan tokoh
Gerakan Merah Putih Luwuk Banggai. Mereka yang di tangkap adalah T.S. Boellah, Jusuf
Monoarfah, A.R. Lanasir, Agulu Lagonah, Go Weng Sui, S. Kirdiat, H.Sunusi Mangantjo, A.G.
Mambu, Ince Umar Dahlan, dr.R.Sutarjo Notoprawiro, R.G. Makadada, B. Worotikan, Salmin
Djibran, dan Abd. R. Al Idrus serta Ahmad Fulelkhan. Mereka di vonis tanggal 29 September 1947
di Pengadilan Negeri Militer Belanda Manado, oleh Residen Manado Dr.H.H. Horison. Dalam
penjara, mereka di siksa, sehingga sampai ada meninggal seperti alm. Sa’dan Kirdiat meninggal
dunia di RSU Dadi  Makassar.

Pada tahun 1949 komandan NICA Belanda di Luwuk diganti dari HPB Letwiller kepada HPB
Langendonk, dan pimpinan  NICA Belanda ini sebagai penguasa terakhir NICA Belanda di daerah
Luwuk Banggai, menjelang pemulihan kedaulatan pada bulan Desember 1949.

Hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda 23 Agustus – 2 November 1949, memutuskan
memulihkan Kedaulatan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949 dan terbentuknya Negara
Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan Konstitusi RIS tahun 1949. Sejalan dengan KMB, para
tahanan politis dan militer dibebaskan dari penjara NICA Belanda di seluruh wilayah RIS.,
termasuk tahanan-tahanan yang berasal dari Luwuk Banggai, yang dibebaskan pada tanggal 2 Mei
1950. Dan pada tanggal 15 Mei 1950 rombongan bekas tahanan politik dari Luwuk Banggai yang
terdiri dari T.S.Bullah, Jusuf Monoarfa, A.R.Lanasir,H.Sunusi Mangantjo serta Ahmad Fulelkhan
meninggalkan Makassar  dengan MS (Motor Scheep) Bagan menuju Luwuk. (Sumber : Badan
Perpustakaan, Dokumentasi & Kearsipan Prov.Sulteng, Palu).

 2.4.      Badan Perjuangan Daerah Otonomi (BPDO)

Tahun 1923 di Luwuk, terbentuk Partai Syarikat Islam Indonesia (PSSI), yang dipimpin oleh Bosanyo
Kalia Makmur, Maladjo Ahmad, N.Pedju, Abdullah H.Kasim, Jan Posumah dan Usman Hamid. Di
Pagimana PSII dipimpin oleh Jusuf Monoarfa, T.S. Bullah, Agulu Lagonah. Di Bunta dipimpinan oleh
S. Kardiat. Balantak dipimpin oleh Salim Hambali. Pada Tahun 1948, PSII Kabupaten Banggai
dipimpin oleh Atjo Dg. Matorang, Djakaria N.Agama, Man Djibran, A.Jakobos, Jan Posuma, Sadjo
Dg. Matorang, dan Abd. Madjid Mang. (sumber:  Drs.Nurdin.Abd.Rahim, 2012 mantan Camat
Batui, Kepala Kes. Bang limas, Nakertrans & Ka.BKD Banggai).

Pada tahun 1932 telah berdiri Organisasi Muhammadiyah Luwuk, dengan tokohnya antara lain,
H.Muhammad Noer, Bosanyo Ipung Mang, Sirajuddin Datu Adam, dan H.Thalib. Di Pagimana
Muhammadiyah di pimpin oleh Abdau Masulili, M.Tapoh, M.A. Makarao, S.P. Makarao, di Bunta di
pimpin oleh S.Bunai, dan Sanusi Mangantjo.

Pada Tahun 1936, terbentuk Dewan Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Banggai, dengan
Ketuanya Ahmad Mile, wakil ketua Al Hasni, Sekretaris Abd. Azis Sinukun dan wakil Sekretaris
Djeng Djalumang, yang dibentuk oleh PB NU Jakarta  Habib Idrus Al Bakar di rumah Habib Awad Al
Bakar.

Pada tanggal 17 Agustus 1950 terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan
Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, wilayah NKRI dari sabang sampai marauke, dan
semua Staatblad yang menjadi dasar pembentukan Negara-negara bagian dan satuan-satuan
kenegaraan, dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. (sumber : Perpustakaan, Arsip dan
Dokumentasi Nasional.  Provnsi Sulteng).

Pemerintah RI. mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Republik Indonesia Serikat (RIS)
Nomor 21 Tahun 1950, ditetapkan tanggal 14 Agustus 1950, diumumkan tanggal 16 Agustus 1950,
mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1950, tentang wilayah asal Daerah Sulawesi Selatan, daerah
Minahasa, daerah Sangihe & Talaud, daerah Sulawesi Utara, daerah Sulawesi Tengah Negara
Indonesia Timur (NIT), kedudukan Pemerintahan di Makassar dan Manado.

Tahun 1960  Propinsi Sulawesi Selatan menjadi Provinsi Sulawesi Selatan Tenggara ibu kota di
Makasar dan Provinsi Sulawesi Utara Tengah ibu kota di Manado.

Gubernur Provinsi Sulawesi Sam Ratulangi (1954-1949), Gubernur Sulawesi Utara & Tengah Arnold
Achmad Baramuli (23 Naret 1960-15 Juli 1962) dan H. J. Tumbelaka (15 Juli 1962-19 Maret 1965).

Pada tanggal 17 Juni 1950 di bentuk rapat pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI) Luwuk
Banggai di Pagimana di ketuai Suleman Masulili. Dan kemudian pada tanggal 28 September 1950
tokoh-tokoh KNI Pagimana datang ke Luwuk atas prakarsa Letnan Taroreh dari Kesatuan Sulawesi
Utara dan Maluku (SUMU) untuk menyampaikan hasil rapat di Pagimana.

Pada tanggal 1 dan 2 Oktober 1950 dimulailah pertemuan bertempat di rumahnya H. Thalib(depan
Masjid raya Mutahidah) Luwuk, antara tokoh-tokoh KNI Pagimana Sulaeman Masulili, AR. Lanasir,
Jusuf Monoarfa, T.S.Bullah, A. Lagonah, M.A. Makarao dengan tokoh-tokoh politik di Luwuk,
Ahmad Mile, Aco Dg.Matorang, Abd. Azis Sinukun, S.Datu Adam, M. Ahmad,  Abd.Azis Larekeng,
Djeng Djalumang, Ena Musa, dan tuan rumah H.Thalib, serta Letnan Taroreh. Hasil pertemuan,
belum menemukan kata sepakat tentang wadah perjuangan untuk melahirkan wilayah daerah
otonom serta penentuan Ibu Kota Kabupaten, tokoh politik KNI Pagimana menghendaki Ibu Kota di
Pagimana, sedangkan tokoh politik Luwuk menghendaki Ibu Kota di Luwuk. (sumber: Ulyas
Makarao Luwuk).

Pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS), mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33


Tahun 1950, tentang pembagian wilayah Sulawesi Tengah menjadi 2 (dua) Kabupaten, yaitu
Kabupaten Poso dan Kabupaten Donggala. Kabupaten Poso wilayahnya meliputi bekas swapraja
Banggai, dan Kepala Swapraja Banggai raja S.A. Amir. Anggota-anggota Dewan Di Poso mewakili
Swapraja Banggai adalah Ahmad Mile (NU), Abd. Azis Sinukun (NU), Jusuf Monoarfah (PSII), Atjo
Dg. Matorang (PSII), S.P. Makarao (Masyumi), unsur wanita ibu Gela, (wanita muslimat NU), dan
unsur buruh Go Wen Sie.

Pada tanggal 23 Juli 1955, di Asrama Luwuk Banggai Makassar terjadi pertemuan, dan terbentuk
sebuah Organisasi Kerukunan Pelajar (OKP) Luwuk Banggai yang dipimpin oleh Abd. Azis Larekeng,
salah satu keputusan dari rapat tersebut yang sangat mendesak adalah ‘”menyampaikan aspirasi
politik kepada partai politik dan tokoh masyarakat di Luwuk agar secepatnya memperjuangkan
terbentuknya Kabupaten Banggai menjadi Daerah Tingkat II Banggai.” (sumber : Kesbanglinmas
Kab. Banggai, 2012).

Pada tanggal 7 Pebruari 1956, atas prakarsa Pemerintah Swapraja Banggai membentuk wadah
organisasi yang di beri nama “Badan Perjuangan Daerah Otonom” (BPDO), yang terdiri dari tokoh
politik dan pemerintah swapraja Banggai, masing-masing adalah Djakaria N.Agama, Ahmad Mile,
M.H.Wauranagai, A.Momor, Aco Dg. Matorang, Abd.Azis Sinukun, Abd. Azis Larekeng, AL. Lanasir,
Agulu Lagonah, Usman Hamid, T.S.Bullah, H.Thalib, Abd. Razak Datu Adam, Djeng Djalumang, Jan
Posuma, B. Salam, Sulaeman Amir, S.P.Makarao, dan Ena Musa. Di Jakarta dipimpin oleh Djadil
Abdullah, Faraouk Zaman, serta Abd.Kahar Dangka. (sumber :  Kesbanglinmas Kab. Banggai, 2012,
dan Drs.Nurdin Abd.Rahim serta Muhrim Abdul Gani di Luwuk, 2012 ).

Salah satu keputusan rapat BPDO adalah, memperjuangkan terbentuknya Daerah Tingkat II
Banggai, dan mengutus delegasi ke Poso, Makassar  dan  Jakarta, dengan pertimbangan bahwa
agar daerah Swapraja Banggai berdasarkan staadblad 14377 ad V sub 3 yang merupakan wilayah
Afdeling Poso, dibentuk dan dimekarkan menjadi “Daerah Swatantra Tingkat II Banggai,”  atau
DASTING II.

Pada Tanggal 5 Maret 1957, Pemerintah Swapraja Banggai mengeluarkan pernyataan yang isinya
sebagai berikut, pertama Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah, maka atas kemauan sendiri, sudi menerima bilamana status Swapraja
Banggai dialihkan menjadi status Daerah Tingkat II, kedua Pada saat terbentuknya Daerah Tingkat
II nanti, semua pegawai Swapraja Banggai harus dijamin dan dijadikan Pegawai Daerah,
dan ketiga Hak milik Swapraja Banggai menjadi hak milik Daerah Tingkat II nanti. Pernyataan ini
ditandatangani raja Banggai S.A. Amir, Mayor ngofa Djakaria N.Agama, jogugu Uda’a, hukum tua
H.A. Hamid, dan kapitan S.Amir, disaksikan oleh Residen Koordinator Sulawesi Tengah H.D.
Manoppo dan Pd. Daerah Poso Dj. Lapasere.

Pemerintah Pusat telah mengeluarkan Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nomor 


1 Tahun 1945, junto Undang-Undang Nomor : 22 Tahun 1948, junto Undang-undang Nomor 44
Tahun 1950 junto Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957.

Pada tanggal 23 September 1956, delegasi BPDO Banggai berangkat ke Poso menghadap
pemerintahan di Poso, ke Makassar bertemu dengan Gubernur Sulawesi Andi Pangeran Petta Rani
dan di lanjutkan ke Jakarta, menemui Menteri Dalam Negeri RI, Mr.Sunaryo masing-masing
dipimpin oleh Djakaria Nurdin Agama (ketua/penasihat wakil swapraja Banggai), M.H. Wauranagai
(ketua/penasihat wakil Parkindo),  Ahmad Mile (anggota wakil dari NU), Aco Dg.Matorang (Anggota
wakil PSII), A. Momor (anggota wakil dari PKI) dan B.Salam (anggota wakil dari Masyumi). Karena
B.Salam berangkat naik haji, setibanya di Makassar diganti oleh Abd. Azis Larekeng,  dengan
tujuan menyampaikan hasil rapat BPDO tanggal 7 Pebruari 1956 tentang pembentukan wilayah
DASWATI II Kabupaten Banggai.

Alhamdulillah, upaya dari delegasi Badan Perjuangan Daerah Otonom  (BPDO) ke Poso, Makassar
dan Jakarta membuahkan hasil, dengan keluarnya Undang-Undang Nomor : 29 Tahun 1959,
tanggal 04 Juli 1959, Tentang   Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi, dan pada tanggal
16 Juli 1959 keluarlah pula Keputusan Menteri PUOD RI  Nomor : U.P. 7/9/6-1042Tentang
Pengangkatan Bupati DASTING II Banggai pertama BIDIN, dengan Ibu Kota di Luwuk.

Serah terima jabatan antara Kepala Swapraja Banggai S.A. Amir dengan Bupati Daswati II Bidin
dilaksanakan pada tanggal 12 Desember 1959, di Luwuk dengan Berita Acara Serah terima
jabatan ditandatangani  oleh kapitan Sulaiman Amir (wakil dari pemerintahan swapraja, kepala
Pemerintahan Negeri S.A. Amir berhalangan hadir) dan Bupati Daswati  II Banggai Bidin, dengan
disaksikan oleh Residen Koordinator Sulawesi Tengah R.M. Kusno Dhayupoyo. Dengan demikian,
secara juridis formal Kabupaten Banggai lahir pada tanggal 04 Juli 1959,berdasarkan UU Nomor
29 Tahun 1959 (Lembaran Negara Nomor 74 Tahun 1959, Tambahan Lembaran Negara Nomor
1822).

2.5   Daerah Swatantra Tingkat II Banggai (Daswati II) 

       Tahun 1959 – 1963

Daerah Swatanta Tingkat II Banggai lahir pada tanggal 04 Juli 1959, berdasarkan Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 1959 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi, Lembaran Negara
Nomor 74 Tahun 1959, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1822 Tahun 1959, dan mulai berlaku (di
undangkan) tanggal 04 Juli 1959.

Bupati Daswati II Banggai Bidin diangkat berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor: U.P. 7/9/6-1042 tanggal 16 Juli 1959 Tentang Pengangkatan Bupati DASTING II Banggai 
BIDIN, dan serah terima jabatan dengan Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) Banggai tanggal 12
Desember 1959 di Luwuk.

Secara efektif administrasi pemerintahan Bupati Pertama DASTING II Banggai BIDIN, baru bekerja
pada tanggal 8 Juli 1960. Dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
37 tanggal 13 Desember 1960, DASTING II Banggai masuk dalam wilayah Propinsi Sulawesi Utara-
Tengah.

Dalam melaksanakan tugasnya, Bupati pertama Bidin dibantu oleh Sekretaris Wilayah Daerah
(Sekwilda) Swatantra Tingkat II Banggai pertama C.K. Tumakaka.

Tahun 1960, dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 47 tanggal 13


Desember 1960 (lembaran Negara Nomor 151) terbentuk Propinsi Sulawesi Utara Tengah, dengan
Ibu Kota Manado, Gubernurnya A.A. Baramuli dan terakhir F. Tumbelaka.

Wilayah DASTING II Banggai berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
Sulawesi Utara-Tengah Nomor Pem/1/1961, tanggal 4 Pebruari 1961, meliputi 2 (dua)
Kewedanaan, yaitu pertama Kewedanaan Banggai berkedudukan di Luwuk, terdiri dari
Kecamatan Luwuk ( Distrik Luwuk, Kintom, Batui, Lamala dan Balantak), Kecamatan Pagimana
berkedudukan di Pagimana (Distrik  Pagimana, Distrik Bunta); kedua, Kewedanaan Banggai Laut,
berkedudukan di Banggai, terdiri dari Kecamatan Banggai, terdiri dari Distrik Banggai, Distrik
Lo.Bangkurung, Distrik Totikum, dan Kecamatan Kepulauan Peling berkedudukan di Salakan terdiri
dari Distrik Tinangkung, Distrik Bulagi, Distrik Buko, Distrik Liang.

Luas wilayah DASTING II Banggai berdasarkan Undang-Undang RI. Nomor 29 Tahun 1959 (Lembaran
Negara Nomor 74 Tahun 1959, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1822), seluas 12.877,16 Km2.
Dengan batas-batasnya, sebelah Timur berbatasan dengan Laut Maluku, Sebelah Barat berbatasan
dengan Daswati II Poso, sebelah Utara dengan Teluk Tomini dan sebelah Selatan dengan Teluk
Tolo.

Kepala Kewedanaan Banggai di Luwuk dijabat oleh H. S.A. Amir (1960) mantan raja Banggai, dan
pada tahun 1960-1982 H.S.A. Amir diangkat menjadi Anggota MPRS utusan Daerah Sulawesi
Tengah, kemudian Kepala Kewedanaan Banggai di jabat oleh H. Suleman Amir (1960)
berkedudukan di Banggai, mantan Kapitan Laut kerajaan Banggai. Dan tahun 1965 pensiun sebagai
Ahli Tata Praja Tkt.I Gol III/b pada Kantor BKDH Tk.II Banggai.

Bupati pertama DASTING II Banggai Bidin dalam kegiatan pemerintahannya, lebih memfokuskan
pada penataan organisasi  Pemerintahan Daerah, terutama sekali menyusun Tata Pemerintahan
Daerah, mencari tenaga-tenaga ahli dan para guru untuk meningkatkan sumber daya pendidikan
di  DASTING II Banggai.

Bupati Bidin berkantor pertama kali pada bekas kantor swapraja Banggai (sekarang menjadi
Kantor Dinas Kebudayaan & Pariwisata Kab.Banggai), seluruh pegawai Swapraja Banggai diangkat
Bupati pertama Bidin sebagai pegawai DASTING II Banggai. Aset-aset perkantoran Swapraja
Banggai di jadikan pusat pemerintahan DASWATI II Banggai oleh Bupati Bidin, yang terletak di
wilayah Soho, Luwuk.

Pada Tahun 1962 Bupati pertama Bidin membentuk “Yayasan Pendidikan Tompotika


Luwuk”,Ketua Pembina Yayasan Bupati Banggai, dengan Ketua pelaksana harian Djeng Djalumang,
Wakil Ketua Jan Posumah,  Sekretari J.D. Lasiki, wakil Sekretaris Jan Walalangi. Tugas yayasan ini
antara lain, mengirim sekolah tenaga-tenaga guru ke Manado, Makassar, Gorontalo dan ke Jawa,
untuk meningkatkan kualitas guru, mencari tenaga-tenaga guru di Manado dan Makassar,
mendirikan Sekola Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) serta Sekolah Menengah Atas
(SMA).

Guru-guru yang didatangkan dari Makassar antara lain, F. Patandung, F. Faliling, R.Tambing,
Mahyuddin Djudde, Djabar Maita, La Ode Madjid dan lain sebagainya, mereka disekolahkan dan
kemudian diangkat menjadi Pegawai Daerah.  Sedangkan sekolah yang dibangun dalam masa
pemerintahan Bupati Pertama Bidin seperti Sekolah Dasar (SD) Negeri I Luwuk, Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Negeri I Luwuk dan Sekolah Menegah Atas (SMA) Negeri I Luwuk, yang sebelumnya
sekolah ini sudah ada pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

Yayasan Koperasi Kopra (YKK) merupakan yayasan yang terbentuk pada pemerintahan Bupati
Bidin, hasil utama kopra di jual ke Surabaya, keuntungannya dibangun Koperasi Unit Desa (KUD) di
masing-masing distrik (kecamatan), dan sampai sekarang bentuk kantor serta gudang KUD masih
ada tetapi tidak terawat lagi……………………….

Selanjutnya  dalam buku sejarah Kab.Banggai oleh HARIANTO DJALUMANG.SE

Anda mungkin juga menyukai