Anda di halaman 1dari 9

"TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KULTURAL DI KABUPATEN

BONE (STUDI KASUS KEBANGSAWANAN DI DESA ULUBALANG)"

Jumardi

(Program Studi Pendidikan Sosiologi, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan


Universitas Muhammadiyah Makassar)

ABSTRAK
Jumardi. 2016. Tinjauan Tentang Kekuasaan Kultural di Kabupaten Bone (Studi
Kasus Kebangsawanan di Desa Ulubalang). Skripsi. Jurusan Pendidikan Sosiologi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.
Pembimbing I Saiful Saleh dan Pembimbing II Muhammad Akhir.
Masalah utama dalam penelitian ini adalah peneliti ingin mengungkapkan
sistem penetapan status kekuasan kultural kebangsawanan yang ada pada Desa
Ulubalang Kec.Salomekko Kabupaten Bone disebabkan karena pada zaman
sekarang banyak yang memiliki gelar kebangsawanan yang sudah kurang sesuai
dengan penetapan pada beberapa tahun sebelummnya. Jenis penelitian ini adalah
penelitian sosial budaya yang bertujuan untuk mengetahui bentuk penetapan
status kekuasaan kebangsawanan di Desa Ulubalang Kabupaten Bone. Penelitian
ini mengacu pada kekuasaan kebangsawanan yang ada pada Desa Ulubalang.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, dokumentasi, dan
wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa dalam penentuan status
kekuasaan kebangsawanan desa Ulubalang Kabupaten Bone itu terdiri atas dua
yaitu secara tertutup dan terbuka. Adapun status kebangsawanan yang
penetapannya secara tertutup adalah status kekuasaan pada Arung, Datu, dan
Andi/Petta. Sedangkan untuk status kebangsawanan yang penetapannya secara
terbuka adalah Puang dikarenakan ini adalah merupakan sapaan penghormatan
kepada seseorang yang lebih tua.

Kata Kunci: Status, Kekuasaan, Kultural, dan Kebangsawanan

PENDAHULUAN
Kekuasaan adalah usaha (kemampuan) seseorang atau suatu sekelompok
manusia dalam suatu negara untuk mempengaruhi, mengendalikan, serta
menguasai orang lain atau kelompok lainnya, baik secara langsung maupun tidak
langsung dengan cara memberi perintah agar mau menuruti dan taat terhadap
semua keinginan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu dengan
mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia. Menurut OSSIP K.
FLECHTHEIM, kekuasaan sosial adalah keseluruhan dari kemampuan, hubungan
– hubungan dan proses – proses yang menghasilkan ketaatan dari pihak lain untuk
tujuan – tujuan yang ditetapkan pemegang kekuasaan. Kekuasaan kultural adalah
kekuasaan dari hasil karya, rasa, dan karsa manusia yang menjadikan seseorang
secara tidak sadar perilakunya secara perlahan-lahan akan berubah.
Kebangsawanan atau stratifikasi sosial lapisan atas dalam perjalanan
sejarah Sulawesi Selatan ditemukan adanya dua sumber. Yang pertama, lapisan
bangsawan yang berdasar pada sejarah keturunan leluhurnya menurut takaran adat
istiadat, hal mana lapisan ini mulai dikenal sejak kedatangan Tomanurung, dan
keturunan langsung Tomanurung inilah yang merupakan sebuah lapisan tersendiri
yang disebut bangsawan. Yang kedua adalah faktor kondisi dan keadaan yang
dipaksakan artinya menduduki lapisan sebagai bangsawan karena kedudukan yang
diberikan oleh Belanda sebagai penjajah yang menguasai kebijakan politik.
Di daerah Bone terjadi kekacauan selama tujuh generasi, yang kemudian
muncul seorang To Manurung yang dikenal Manurung ri Matajang. Tujuh raja-
raja kecil melantik Marunung ri Matajang sebagai raja mereka dengan nama
Arumpone dan mereka menjadi dengan legislatif yang dikenal dengan istilah ade
pitue. Manurung ri Matajang dikenal juga nama mata Silompoe. Hal menarik dari
indonesia saat ini terdiri dari berbagai etnis dan suku bangsa yang telah
mengadopsi sistem polotik pemerintahan demokrasi yang berasal dari kebanyakan
negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat. Model demokrasi seperti ini
merupakan wujud dari ide “Trias Politica” yang di kemukakan oleh Motesqueui
dan Jhon Locke dimana pembagian kekuasaan negara sampai pemerintah tingkat
daerah terbagi kedalam 3 lembaga negara.
Besarnya kewenangan di tingkat daerah didukung oleh perubahan sistem
polotik di tingkat lokal. Hal ini ditandai dengan konsep Chek And Balances
kekuatan polotik lokal antar legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Peran dan fungsi
pemerintah daerah menjadi lebih besar dibandingkan pada masa orde baru. Tidak
hanya terlihat sisi politik dalam aspek formalitasnya sebagai bagian tatanan
negara saat ini, tetapi penting untuk sisi-sisi lainnya seperti tatanan nilai-nilai,
status sosial (dalam sistem kekerabatan dan stratifikasi) perilaku dan budaya yang
sejalan dan bertautan dengan aspek politik orang bugis Bone.
Menurut Fahmid, dkk (2012: 181) Penduduk pedesaan pada etnis Bugis
dan Makassar (terutama bagi mereka yang tinggal di pedesaan pedalaman yang
masih memegang tradisi), berkeyakinan bahwa para karaeng, puang atau matoa
adalah mereka yang memiliki ornamen yang disebut kalompoang atau gaukang.
Gaukang atau kalompoang ini adalah karaeng yang sebenarnya karena memiliki
tanah, sedang seorang karaeng tidak lain hanya pengganti atau penjaga gaukang.
Oleh karena itu, ia berhak memanfaatkan apa yang dimiliki oleh gaukang. Antara
benda gaukang dan kedudukan seseorang karaeng tidak dapat dipisahkan, kedua-
duanyamerupakan kesatuan. Di mana disimpan gaukang, di situ pula karaeng
bertempat tinggal. Bahkan, tempat ditemukannya gaukang ini dikaitkan pula
dengan awal munculnya pemukiman pertama yang cocok untuk manusia. Dari
uraian di atas maka peneliti ingin melakukan penelitian tentang "Tinjauan tentang
Kekuasaan Kultural di Kabupaten Bone (Studi Kasus Kebangsawanan di Desa
Ulu Balang)"

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah penelitian
kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Ulubalang Kecamatan Salomekko
Kabupaten Bone karena lokasi ini sangat tepat untuk mendapatkan data yang
diinginkan peneliti. Untuk tambahan pengumpulan data maka peneliti memilih
lokasi penelitian yang kedua, yaitu: kantor perpustakaan arsip daerah kabupaten
bone. Populasi dalam penelitian ini adalah elemen masyarakat yang berada di
Desa Ulubalang, Kecamatan Salomekko, Kabupaten Bone. Pengambilan sampel
menggunakan teknik simple random sampling (pengambilan sampel secara acak
sederhana). Fokus atau titik perhatian dalam penelitian ini adalah “kekuasaan
kultural (studi kasus kebangsawanan) kabupaten bone”. Instrumen dalam
penelitian kualitatif ini adalah peneliti itu sendiri. Dimana peneliti dapat
mengetahui secara langsung melalui proses melihat dan merasakan makna-makna
tersembunyi yang dimunculkan oleh subjek penelitian. Sugiyono (2013: 222)
menyatakan bahwa peneliti kualitatif sebagai Human Instrument, berfungsi
menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan
pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan
membuat kesimpulan atas temuanya.
Data adalah penunjang yang sangat penting dalam sebuah penelitian.
Semakin banyak data yang diperoleh maka semakin bagus pula hasil akhir dari
suatu penelitian. Data primer adalah sumber data yang diperoleh secara langsung
dari sumber asli atau pihak pertama, sedangkan data sekunder adalah sumber data
yang diperoleh peneliti dari sumber yang sudah ada. Jenis data yang digunakan
dalam penilitian ini adalah jenis data primer. Dalam penelitian ini menggunakan
beberapa cara dalam pengumpulan data yaitu: Observasi langsung, wawancara,
baik secara formal maupun informal, dokumentasi berupa gambar dan juga foto.
Untuk menganalisis data, penelitian ini menggunakan analisis data model
interaktif Milles dan Huberman yaitu terdapat tiga proses yang berlangsung secara
interaktif. Pertama, reduksi data. Kedua, penyajian data. Ketiga menarik
kesimpulan/verifikasi, proses penarikan kesimpulan awal belum masih kuat,
terbuka dan skeptik. Untuk menguji keabsahan data dalam penelitian kualitatif
dapat digunakan uji kredibilitas. Menurut Sugiyono (2013: 270) untuk menguji
kredibilitas suatu penelitian kualitatif dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu:
perpanjangan pengamatan, meningkatkan ketekunan, triangulasi, analisis kasus
negatif, menggunakan bahan referensi, mengadakan membercheck.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Status kekuasaan dalam tatanan kultural merupakan perjuangan untuk
memperoleh sebuah kekuasaan dilihat dari budaya politik sosial, dalam tatanan
sosial tersebut terkandung hubungan timbal balik antara status dan peran yang
menunjuk pada suatu keteraturan perilaku. melihat dari kekuasaan pada kerajaan
bone dan budaya tergantung pada mitos raja. di hamper seluruh kerajaan-kerajaan
besar yang ada di Sulawesi selatan, salah satunya adalah kerajaan bone masih
kental dengan tatanan kultural dalam mitos yang ada di daerah bone, salah satu
yang di percayai adalah raja pertama yaitu To Manurung, berarti orang yang turun
dari langit, dalam kajian sejarah mempercayai bahwa To Manurung sebagai
legitimasi dari kekuasaanya.
Arung merupakan mereka yang memakai gelar arung biasanya di
hubungkan dengan jabatannya dengan pemerintahan, misalnya Arungpone, Arung
palakka, artinya di samping sebagai mangkau (raja), juga iya raja di palakka.
Selain itu juga mereka di sebut arung dikarenakan kebangsawanannya, dan juga
keturunan Arung lili/palili yang tidak memiliki hubungan darah dengan raja bone.
Hal ini dikemukakan oleh; Andi. palesangi S.Sos, M.M. (15 september 2016)
selaku data informan sebagai beriku; “Secara garis besar gelar Arung itu adalah
pemberian nama kepada pembantu raja membidangi pengadilan di setiap tempat
yang ada di bone tersebut, yang kononya terbagi di tujuh tempat itu.Dalam
pernyataan di atas yang dikemukakan oleh informan, Arung merupakan seseorang
yang di tunjuk raja yang dapat menyelesaikan suatu masalah di tujuh tempat
tersebut, melihat di berbagai daerah yang khususnya berada pada desa-desa
sekarang sudah beralih dalam pemerintahan yang modern, sebelum kemerdekaan
yang kita ketahui bahwa dalam peperangan melawan penjajah raja kemudian
membentuk anggota adat, anggota adat merupakan jabatan turun temurun yang di
wariskan kepada putra putrinya yang di anggap mampu membidangi pekerjaan
untuk kepentingan raja dan rakyat banyak.
Namun demikian, peperangan antara melawan penjajah ini masih belum
berakhir begitu saja meskipun anggota adat telah di bentuk, adapun penjajah yang
datang di sulawesi selatan yaitu, orang dulu mengatakan belanda atau VOC yang
ingin merebut atau menguasai rempah-rempah yang ada di indonesia khususnya
di Sulawesi Selatan. hal ini di kemuakan oleh salah satu informan yaitu Andi
Jamaluddin Pt gesso (16 septembr 2016) sebagai berikut:“Kedatangan Belanda
atau VOC yang menguasai di Sulawesi pada saat itu dengan maksud dan tujuan
menginginkan rempa-rempa, namun taktit dari belanda mereka adakan
perkawinan silang di antaranya Bone, Soppeng, Gowa, Luwu. Hal ini dapat kita
ketahui bahwa belanda datang di Indonesia khususnya di Sulawesi selatan hanya
menginginkan sumber daya alam yang dikelola oleh raja atau rakyat pada saat itu.
melihat dari perkembangan perkawinan silang merupakan pengwajantahan dari
arung tersebut. lebih dari beberapa tahun ribu silam keturunan arung pun terbagi
dari beberapa daerah yang ada di kabupaten namun di salomekko pada khususnya
dikenal dengan datu salomekko pancaitana pemberian gelar arung ini pun sebagai
pembeda dengan masyarakat biasa yang masih sedarah dengan datu sebelumnya.
hal ini dikemukakan oleh salah satu informan Andi herman S.Sos, (17 september
2016) sebagai berikut: “Gelar kebangsawanan di bugis memiliki nilai-nilai yang
positif khusunya di bugis .karna gelar sepertu itulah kita dapat membedakan
stratafikasi sosial masyarakat baik kelompok maupun indiviu.”
Datu merupakan gelar kebangsawanan yang di berikan kepada seseorang
yang di anggap berpengaruh di salah satu derah tersebut, dalam hal ini kesetaraan
datu pada masa lalu dengan masa sekarang adalah camat. di antara beberapa gelar
yang ada di bone datulah yang merupakan kebangsawanan tertinggi di bawa
kepemimpinan raja pada saat itu. di salomekko pada khususnya dikenal dengan
datu salomekko pancaitana, yang memerintah di kedatuan salomekko,
mempelajari history itu kemudian menjelaskan bahwa pemerintahan merupakan
tanggung jawab yang harus di jalankan, akan tetapi usia merupakan batasan
seorang datu dalam ke pemimpinanya, setelah datu salomekko memerintah di
kedatuan salomekko maka beliau mengamanatkan kemanakanya ang bernama
andi Koneng untuk menggantikan kedudukan sebagai Datu Salomekko. yang di
dampingi oleh suaminya Andi Palesangi Arung Mare yang di angkat pilah
menjadi Arung Tibojong sebagai Ade Pitu’e di kerajaan bone .dalam waktu tak
lama lagi .Andi Koneng datu salomekko berpulang kerahmattullah ,maka adiknya
Andi Pia .menggantikannya sebagai permaisuri di kadaulatan salomekko dan
itulah merupakan nenek langsung dari DR.H ANDI FASHAR MAHDIN
PADJALANGI,MSI .sebagai tokoh atau bupati bone yang menjabat sampai saat
ini.
Dalam hal ini kejayaan datu salomekko .di dampingi oleh laskar
mengibarkan delapan buah bendera yang berwarna kuning. yang berati delapan
pulah desah, yang bersatu padu dukun kebesaran kecamatan salomekko. adalah
laskar pabbarani(pemberani) pasukan elit. yang gagah berani siap mempertarukan
nyawa sampai titik darah terakhir demi mempertahankan kedaulatan salomekko.
Hingga pada akhirnya di bawalah Lellu Panggadereng adalah datu salomekko
.yang di dampingi oleh suaminya Arung Tibojong .yang berasal dari kerajaan
bone yang di apit para panggapi yang membawa perlengkpan atau peratang
berupa puan dan carana di mana datu berada dan di tempattakan sesuai dengan
kedudukannya selama tidak melanggar norma- norma yang berlaku.Hal ini di
kemukakan oleh Andi muharram Petta mala (19 september 2016) sebagai data
informan sebagai berikut: Sekarang masyaraka di bone. baik di kecamatan
maupun di pedesaan masih kental yang namanya Ade panggadereng misalkan ada
acara lokal, seperti acara perkawina, mabbarasanji., disitu kita bisah melih bahwa
adat itu masih kental ,dari segi pakaian dan tempat kue( bossara. berupa baju
bodo atau jas tutup) untuk melambangkan nilai –nilai adat tradisional yang lokal
untuk persembahan kedatuan. Dari penjelasan diatas dapat kita ketahui bersama
bahwa ke datuan di salomekko itu sangat sakral bagi manyarakat lokal .Hingga
pada saat itu para kepala desa (wanua) yang menjabat saat itu.bersama istri yang
menjabat saat itu. menggunakan pakaian jas tertutup, dan songko to bone serta
waju pocong(baju bodo) dan sarung cura lebba (sarung sabbe) demi mendukung
kedaulatan dan menjalankan pemerintahan di salomekko. sampai dengan di
polosok desa-desa Hingga saat itupulah para rumpun keluarga saoraja,mereka
yang terdiri para andi-andi ,anak dara dan pakkalolona salomekko yang
menggunakan baju adat yang berwarna merah dan hijau .demi menghargai para
bangsawan yang menjabat pada saat itu, berdasarkan ade panggadereng (aturan –
aturan) yang sudah di tetapkan.
Andi/Petta adalah pengantar dari sifat atau julukan dari pemimpi-
pemimpin tersebut salah satunya, petta malampee gemmenna “yang panjang
rambutnya” sedangkan kata PUANG konotasinya secara esensi bahwa pemimpin
adalah pengejawatan atau perpanjangan tangan tuhan. sementara ANDI gelaran
yang baku kepada para kepemimpinan sejak era pemerintahannya A.
mappanyukki yang masih ter kontrofesi diera globalisasi ini. sampai sekarang
keturunan andi masih kental dikalangan masyarakat. Berdasarkan yang
dikemukkakan oleh Andi muharram Petta mala (21 september 2016) sebagai
data informan sebagai berikut: "gelaran "Andi" pertama kali digunakan oleh Raja
Bone ke-30 dan ke-32 La Mappanyukki, beliau adalah Putra Raja Gowa dan Putri
Raja Bone. Gelar itu disematkan di depan nama beliau pada Tahun 1930 atas
Pengaruh Belanda. Gelar Andi tersebut bertujuan untuk menandakan Bangsawan-
bangsawan yang berada dipihak Belanda, dan ketika melihat berbagai keuntungan
dan kemudahan yang diperoleh bagi Bangsawan yang memakai gelar "Andi"
didepan namanya, akhirnya setahun kemudian secara serentak seluruh Raja-Raja
yang berada di Sulawesi Selatan menggunakan Gelar tersebut didepan namanya
masing-masing". Pendapat diatas juga berkaitan dengan Gelar Andi, menurut
Susan Millar dalam bukunya 'Bugis Weddings' (telah diterbitkan oleh Ininnawa
berjudul (Perkahwinan Bugis) disinggung bagaimana proses lahirnya gelaran
Andi itu. Memang, seperti yang disinggung di atas, saat itu Kerajaan Belanda
pada tahun 1910-1920 an ingin memperbaiki hubungan dengan para bangsawan
Bugis dengan membebaskan keturunan bangsawan dari kerja paksa. Saat itu
muncul masalah bagaimana menentukan seorang berdarah bangsawan atau tidak.
Akibatnya, berbondong-bondonglah warga mendatangi raja dan merundingkan
diri mereka untuk diakui sebagai bangsawan, kerana kerumitan proses itu maka
dibuatlah sebuah gelar baru untuk menentukan kebangsawanan seseorang dengan
darjat yang lebih rendah. di pakailah kata Andi untuk menunjukkan
kebangsawanan seseorang dalam bentuk sijil (mungkin sejenis sijil-sijil yang
menunjukkan bahawa yang bersangkutan telah lulus dalam kursus montir mobil
atau sejenisnya).
Penggunaan Andi saat itu juga pelbagai di setiap kerajaan. Soppeng
misalnya hanya menetapkan bahwa gelaran Andi adalah bangsawan pada derajat
keturunan ketiga, sementara Wajo dan Bone hingga keturunan ketujuh. Gelar
kebangsawanan lain, mengikut kepada kerajaan atau panggaderen di bawahnya,
seperti Sulewatang, Arung, Petta, dan lain-lain. Jadi gelaran itu mengikut terhadap
jawatan yang didudukinya. Sementara untuk keturunannya yang membuktikan
sebagai keturunan bangsawan, di Makassar dipanggil Karaeng. sedang di Bugis
dipanggil Puang, dan di Luwu dipanggil Opu. Adapun gelar Andi, pertama-tama
yang menggunakannya adalah Andi Mattalatta untuk membezakan antara pelajar
dari turunan bangsawan dan rakyat biasa. Dan gelar Andi inilah yang diikuti oleh
turunan bangsawan Luwu, dan Makassar. Jadi di zaman Andi Mattalattalah gelar
ini muncul. Gelar "Andi" baru ada setelah era Kerajaan Kolonial Belanda (PKB).
Setelah 1905, Sulawesi Selatan benar-benar ditakluk Belanda dan terjadi
kekosongan kepemimpinan tempatan. Tahun 1920-1930an PKB mencanangkan
membentuk Zelf Beestuur (Kerajaan Pribumi / swapraja) yang dibawahi oleh
Controleur (Pejabat Belanda) untuk Onder Afdeling. Namun yang menjadi soalan
adalah, jika memang Andi diidentikan dengan Belanda, mengapa pejuang
kemerdekaan (Datu Luwu Andi Jemma, Arumpone, Andi Mappanyukki, Ranreng
Tuwa Wajo Andi Ninnong) tetap memakai gelar Andi didepan namanya
sementara mereka justru menolak dijajah? tapi juga harus diakui bahwa ada juga
yang berinisial Andi yang tunduk patuh pada PKB. Nah ini yang kita harus bijak
menilai antara gelaran dan pilihan personal terhadap kemerdekaan / penjajahan.
Gelar kata ANDI/PETTA biasanya cara penyebutannya khusus ataukah
pribadi. dalam menyikapinya hal seperti ini yang mendapat gelar penghargaan
seperti ini mempunyai tanggung jawab yang sangat positif karna tanggung
jawabnya luar bisa, harus memiliki jiwa sosial yang tinggi. beribawa ,dan
memperbaiki tali persaudarran . dalam bahasa bugis nya wija appadecengeng.
Hal di atas searah yang di kemukakan oleh salah satu informan yakni M. Arsyad,
S.Sos., M.Si. ( 22 september 2016) mengatakan bahwa: "Sebagian orang
berpendapat bahwa gelar kebangsawanan atau garis keturunan diberikan kepada
seseorang harus murni darah keturunanannya disebabkan karena gelar seperti itu
dia memiliki sifat "Wija Appadecengang" yang membantu dalam menyelesaikan
problematika kehidupan setiap orang disekitarnya dalam hal ini berjasa"
Di beberapa tempat di daerah Bugis atau di Bone, misalnya di daerah
Lappa Riaja, orang yang boleh dipanggil "Puang" hanyalah orang yang memiliki
garis keturunan Arung (dalam bahasa Bugis dikenal dengan istilah Maddara
Takku'). Berbeda halnya dengan di kampungku, khususnya di Desa Nusa,
panggilan "Puang" menjadi sebuah sapaan penghormatan bagi orang yang sudah
tua, sudah menikah atau yang lebih tua dari kita. Sedangkan untuk orang- orang
yang notabene keturunan Arung, biasanya di panggil "Andi" bagi yang belum
dewasa atau yang masih remaja atau yang belum menikah. Sedangkan setlah
dewasa atau setelah menikah atau setelah tua, sapaan yang dianggap paling sopan
adalah sapaan "Petta", tidak dengan sapaan "Puang". Bahkan, terkadang orang
dianggap tidak sopan jika menyapa seorang "Petta" dengan sapaan "Puang". Inilah
salah satu keunikan di kampungku yang mungkin jika orang luar datang mereka
akan terheran-heran dan menganggap bahwa di situ terdapat banyak sekali
keturunan arung, padahal sapaan "Puang" di kampungku itu hanyalah sebuah
ekspresi kesopanan masyarakat bagi orang yang dianggap lebih tua atau lebih
bijaksana, bukan berdasarkan keturunan.
Arti "Puang" sendiri dalam bahasa bugis memiliki 2 (dua) makna, yaitu; 1)
Ketika kata "Puang" itu diarahkan kepada Sang Khaliq, maka kata "Puang" berarti
Tuhan, biasanya orang menyebut "Puang Allah Ta'ala", 2) Jika kata "Puang" itu
diarahkan kepada Makhluk maka kata "Puang" berarti Tuan, merupakan sapaan
penghormatan kepada seseorang yang dianggap lebih tua ataupun sudah tua.
Berdasarkan yang dikemukakan informan oleh Andirman R. Rapi A. Pallemai (24
september 2016) bahwa: "Sebenarnya puang itu adalah sapaan penghormatan
kepada seseorang yang dianggap lebih tua atau dituakan. Puang itu bukan bererti
kita harus punya garis keturunan sehingga diberi sapaan puang" Dari penjelasan
informan di atas, maka kita dapat mengetahui bahwa puang adalah sapaan
penghormatan yang diberikan kepada orang yang lebih tua dari kita. Ini berarti
bahwa untuk kata puang di desa Ulubalang itu ditetapkan secara terbuka dalam
hal ini sifanya umum. Puang ini berbeda halnya denga kata Arung, Datu, dan
Andi.

SIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian pada bab IV, maka peneliti
dapat menyimpulkan bahwa dalam penentuan status kekuasaan kebangsawanan
desa Ulubalang Kabupaten Bone itu terdiri atas dua yaitu:
1. Status kebangsawanan yang penetapannya secara tertutup adalah status
kekuasaan pada Arung, Datu, dan Andi/Petta.
2. Status kebangsawanan yang penetapannya secara terbuka adalah Puang
dikarenakan ini adalah merupakan sapaan penghormatan kepada seseorang
yang lebih tua. atau memiliki harta dan intelektualitas.
Adapun saran kami sebagai peneliti adalah:
1. Untuk masyarakat pada umumnya, saya selaku peneliti mengharapkan kepada
masyarakat supaya bentuk penetapan status kekuasaan kebangsawan ini
diusahakan supaya tetap dimurnikan sehingga tidak menimbulkan perdebatan
dimasyarakat tentang penetapan tersebut.
2. Untuk peneluti selanjutnya, saya berharap kepada peneliti selanjutnya supaya
memperhatikan informan dengan baik sebelum melalukan wawancara
sehingga informasi yang diperoleh valid.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah. 2001. Kontruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Adib, Muhammad. Agen dan Struktur dalam Pandangan Pierre Bourdien .
Jurnal Biokultur VOL 1. Nom 2 Juli Desember 2012.
Ahimsa, Heddy Shiri. 2007. Patron dan Lien di Sulawesi Selatan Sebuah Kajian
Fungsional –Struktural. Yogyakarta: Kapel press.
Adimihadrja, dkk. (2008). Dinamika Budaya Local. Bandung: Pusat Kajian
LBPB.
Amaluddin, M. 1987. Kemiskinan dan Polarisasi Sosial. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.
Antlov, Hans. 2002 Negara dalam Desa; Patronase Kepemimpinan Local (Teri)
Lappera .Yogyakarta: Pustaka Utama;
Barker, Chris. 2008. Cultural Studies. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Dwipayana, AaGn. 2002. Bangsawan dan Kuasa; Kembalinya Para Ningrat di
Dua Kota. Yogyakarta: IRE pree.
Fahmid, I.M. dkk. 2012. Pasang Surut Polarisasi Elit di dalam Etnis Bugis dan
Makassar, Jurnal Sosiologi Pedesaan, Vol. 06, No. 02:179-188.
Hamid, Abu. 2007. Sejarah Bone. Bone: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Bone.
Haryanto, D. & G Edwi Nugroho. 2011. Pengantar Sosiologi Dasar. Jakarta:
Prestasi Pustakarya.
Henslin. J.M. 2007. Sosiologi Edisi 6 Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Horton, P.B. & Chester L. Hunt. 1992. Sosiologi Jilid II. Jakarta: Erlangga.
Ismail, M., dkk. 2013. Pengantar Sosiologi. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press.
Leibo, J. 1995. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta: Andi Offset.
Liliwen, Alo. 2006. Makna Budaya dan Komunikasi Antar Budaya LKIS.
Narwoko, J.D. & Bagong Suyanto. 2004. Sosiologi Teks Pengantar Dan
Terapan Edisi Ketiga. Jakarta: Kencana.
Rudiansjah, Tony. 2009 Kekuasaan, Sejarah dan Sebuah Tindakan; Kajian
Tentang Lanskap Budaya. Jakarta: PT Raja Grafindo Pesada;
Said, M.M. 2007. Birokrasi di Negara Birokratis. Malang: UMM Press
Soekanto, S. 1992. Memperkenalkan Sosiologi. Jakarta: Rajawali
Storey, John. 2006. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta: Jala
Sutra.
Sugihen, B.T. 1997. Sosiologi Pedesaan. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Surbakti, R. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia.
Susanto, A.S. 1983. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Bina Aksara.
Syani, A. 2012. Sosiologi Sistematika, Teori, dan Terapan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Yani, Ahmad .2006. Perilaku Polotik Orang Bugis dalam Dinamika Politik
Local Makalah Disampaikan dalam Acara Pelucuran Buku Christian
Pelras “Manusia Bugis Makassar.

Anda mungkin juga menyukai