Anda di halaman 1dari 3

Review “Kekuasaan Sejarah dan Tindakan” dalam Tony Rudya nsjah

Fadiah Sabila Fawzi – 1706973155

Penulis membahas mengenai kelompok sosial yang ada di dalam bekas wilayah
kesultanan Wolio, Sulawesi Tenggara untuk memahami hubungan antara historisitas
(kesejarahan atau kesadaran sejarah) dengan tindakan sosial. Terdapat emapat kelompok
kaomu dan walaka merupakan kelas penguasa, sedangkan papara adalah rakyat biasa atau
orang kebanyakan, dan batua adalah kelompok para budak yang akan dilihat berbagai
dinamika relasi sosial diantara kelompok-kelompok itu dan penulis berpendapat bahwa
kekuasaan, dengan demikian, dilihat sebagai sesuatu yang terus menerus muncul, atau
bersifat constitutive, dari berbagai tindakan para pelakunya. Pendekatan historis menjadi
penting ketika kita melihat perubahan status dari budak menjadi orang biasa (papara) terjadi
saat kesultanan Wolio secara langsung menjadi bagian dari sistem pemerintahan kolonial
Belanda pada tahun 1906. Kesultanan Wolio merupakan suatu entitas mistis yang memiliki
kemampuan untuk memasukkan pelbagai hal ke dalam dirinya sebagai suatu kesatuan yang
utuh. Oleh karena itu, Kesultanan Wolio dapat dilihat sebagai incorporation, yang memiliki
kemampuan bisa menginkorporasikan pelbagai hal ke dalam satu kesatuan yang utuh

Pada upacara pengangkatan Sultan yang baru di Wolio, terdapat glorifikasi diri sultan
melalui hal-hal yang bersifat mistis. Pelbagai hal yang mistis dalam upacara tersebut bukam
suatu kebetulan, melainkan dirancang untuk mencapai tujuan tertentu. Pertama, sultan yang
dicalonkan harus lolos proses penyaringan yang disebut afalia (difirasatkan kebaikan atau
keburukannya) melalui petunjuk yang didapat dalam penggunaan kitab suci Al-Qur’an.
Kedua, saat upacara pemutaran payung kemuliaan di atas kepala calon sultan terpilih di
dalam Masjid Agung Keraton. Perspektif semiotik Charles S. Pierce berkenaan dengan
pemaknaan dengan tiga cara dapat dilihat dalam pembahasan orang Buton. Cara pertama
melalui index, yang mendasarkan pemaknaanya melalui kontak langsung yang pernah
terwujud. Cara kedua melaui ‘pointing’ atau icon yang berdasarkan pada kemiripan.
Sedangkan cara yang ketiga adalah sebagai simbol yang berdasarkan atas pertalian kultural-
historis khusus tertentu.

Bukan hanya physical body sultan yang kemudian diubah dalam upacara menjadi
spiritual body atau mystical body, tetapi physical body sultan juga ditransformasikan menjadi
territorial body, dan kesemua proses transformasi terwujud sultan itu berlangsung di dalam
upacara pengangkatan dan pelantikan sultan. Upacara dalam hal ini merupakan suatu hajatan
yang memerlukan banyak biaya dan tenaga dan meruapakan suatu “gawe besar” bersama.
Adat menempati posisis teratas. Adat merupakan sesuatu yang sangat berharga dan harus
“dibesarkan”, “dirawat”, dan “dijaga” dengan hati-hati. Seperti telah dijabarkan dalam buku
ini, Pau merupakan keberdaulatan diri, sultan selalu dikaitkan dengan adat, dimana
adat merupakan keberdaulatan diri
Pada bab 5 dan 6 buku ini menjelaskan mengenai adat, identitas, dan kekuasaan. Adat
istiadat pada dasarnya terdiri dari segala “kearifan” masyarakat yang bermanfaat untuk
kelangsungan hidup suatu masyarakat. Hakikat sebenarnya dari sultan adalah
mengejawantahkan esensi dari adat dalam rangka keberlangsungan kehidupan masyarakatnya.
Sultan bersifat melingkupi segalanya, karena adat melingkupi segalanya. Adat, atau sara
dalam bahasa Wolio, merupakan hal yang utama dan harus dijaga dan adat adalah kehidupan
itu sendiri. Siolimbona yang bertugas menjaga sara. Sultan boleh berganti, namun sara harus
kekal sifatnya. Dalam tradisi Wolio sara merupakan sesuatu yang rahasia. Hanya siolimbona
yang diperbolehkan mengetahui ketentuan dan kandungan sara. Sultan sebagai wujud
konkret dari adat harus mendapat dukungan kekuatan gaib untuk keberlangsungan kehidupan
mereka. Selain itu membutuhkan mekanisme lain dengan cara mentransformasikan diri
sultan yang tadinya merupakan satu entitas yang bersifat mistis menjadi satu entitas yang
bersifat legal. Hal ini didasarkan pada ajaran wahdat al wujud dari tasawuf, yang di Buton
kemudian dijadikan semacam konstitusi dari kesultanan, yang dikenal dengan Sarana Wolio
yang di dalamnya terkandung ajaran Murtabat Tujuh (tujuh tingkatan dari keberadaan).

Sultan di dalam kesultanan Wolio di tanggapi sebagai perwujudan konkret dari Allah
SWT, dianggap sebagai ketentuan yang datang dari Ilahi untuk mengatur kehidupan manusia,
dan dianggap sebagai ‘alam barzah’, yang menjadi penghubung antara kehidupan manusia di
dunia fana dengan alam akhirat yzang kekal. Kesultanan dalam melanggengkan kekuasaan
tidak hanya meminta dukungan para elite masyarakat, tetapi juga menciptakan jaringan mata-
mata dengan cara menikahi dua belas gadis pilihan dari masing-masing daerah untuk
memantau siapa saja yang loyal dan yang melawan terhadap kesultanan. Manusia harus
berpikir dalam kerangka kebudayaan tertentu dengan menyesuaikan, memodifikasi,
dan mentransformasi apa yang ada dalam kebudayaannya agar sesuai dengan
kepentingannya saat itu. Sultan pada masa dahulu dapat menghapuskan hak seseorang
untuk menduduki jabatan adat sampai pada keturunannya, menentukan seseorang menjadi
budak, atau hukum penggal kepala. Pada masa kini amanat ‘hidup’ yang ada pada pemimpin
tetap diakui, tetapi terjadi pergeseran penafsiran, dimana pemimpin pada masa kini harus
menampilkan kualitas diri yang membangkitkan semangat hidup bagi rakyatnya, terutama
harus bisa memberikan kehidupan bagi rakyatnya. Pergeseran penekanan ajaran adat ini dapat
dikatakan merupakan transformasi di dalam kontinuitas dan kontiunitas di dalam transformasi
dari kebudayaan Wolio.
Identitas diri suatu masyarakat sebenarnya tidak hanya merupakan konfigurasi
dinamika berbagai bentuk dan kekuatan internal yang berasal dari kebudayaan masyarakat itu
sendiri, melainkan juga hasil konstruksi yang menginkorporasikan pelbagai elemen budaya
masyarakat lainnya, yang saling berinteraksi baik di dalam jaringan relasi sosial ranah lokal
maupun semesta sosial-budaya yang lebih luas. Identitas diri Wolio merupakan suatu
konstruksi yang bersifat politis yang mempertimbangkan kepentingan dan posisi diri ditengah
berbagai unsur dan elemen yang beroperasi baik di dalam ranah lokal maupun regional
menjadi sangat penting peranannya. Keberdaulatan dan kekuasaan di dalam semesta budaya
Wolio dikonseptualisasikan sebagai suatu proses akumulasi daripada proses penaklukan atau
penggantian. Batasan identitas etnis merupakan konstruksi politis yang tidak dapat dibatasi ke
dalam satu klasifikasi bersifat spasial dan temporal yang alami seperti yang digambarkan
Barth. Identitas bersifat cair, dapat dialektikan secara internal dan eksternal, merupakan
inkorporasi dari apa yang ada di sekeliling individu tersebut. Identitas adalah proses artikulasi,
memosisikan diri, peluang, dan identifikasi. Identitas harus ada perwujudan konkret dalam
bentuk tindakan dan diakui dalam relasi sosial.

Anda mungkin juga menyukai