Anda di halaman 1dari 9

Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil)

Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007

KEARIFAN LOKAL DALAM SASTRA


BUGIS KLASIK 1
Mashadi Said
Fakultas Sastra, Universitas Gunadarma,
Jakarta
Jalan Margonda Raya No. 100 Depok
mashadi@staff.gunadarma.ac.id
PENDAHULUAN
Kearifan lokal, atau dalam bahasa asing sering
juga dikonsepsikan sebagai kebijaksanaan
setempat local wisdom atau pengetahuan
setempat local knowledge atau kecerdasan
setempat local genious, merupakan pandangan
hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi
kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menjawab
berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan
mereka. Kearifan lokal di berbagai daerah di seluruh Nusantara merupakan kekayaan budaya
yang perlu diangkat kepermukaan sebagai bentuk jati diri bangsa. Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata, Jero Wacik, dalam sambutannya
pada Simposium Internasional IX Pernaskahan
Nusantara di Baubau, tanggal 5 Agustus 2005
mengatakan, kearifan lokal yang terdapat di berbagai daerah di Nusantara, seharusnya diangkat
dan dihargai sebagai salah satu acuan nilai dan
norma untuk mengatasi berbagai persoalan
yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.
Kearifan budaya adalah energi potensial
dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat
untuk hidup di atas nilai yang membawa kelangsungan hidup yang berperadaban; hidup damai;
hidup rukun; hidup bermoral; hidup saling asih,
asah, dan asuh; hidup dalam keragaman; hidup
penuh maaf dan pengertian;. hidup toleran dan
jembar hati; hidup harmoni dengan lingkungan;
hidup dengan orientasi nilai yang membawa
pada pencerahan; hidup untuk menyelesaikan
persoalan berdasarkan mozaik nalar kolektif
sendiri. Kearifan seperti itu tumbuh dari dalam
lubuk hati masyarakat sendiri. Itulah bagian terdalam dari kearifan kultur lokal (Nashir, 2003).
Kayam (1998) mengemukakan bahwa
kebudayaan adalah hasil upaya yang terusmenerus dari manusia dalam ikatan masyarakat
dalam menciptakan prasarana dan sarana yang
diperlukan untuk menjawab tantangan kehidupannya. Dari segi kognitif, kebudayaan tidak
hanya mencakup hal-hal yang telah dan sedang
dilakukan atau diciptakan manusia, melainkan
juga hal-hal yang masih merupakan cita-cita

D14

Vol. 2
ISSN : 1858 - 2559

atau yang masih harus diwujudkan, termasuk


norma, pandangan hidup atau sistem nilai. Citacita itu dapat diwujudkan melalui proses demokratisasi kebudayaan dan proses selektif terkontrol, yaitu suatu proses yang memiliki substansi
kebebasan dan otonomi sekaligus terkontrol
dengan nilai rujukan yang fundamental dan telah
teruji dalam perjalanan zaman.
Fokus utama sajian ini adalah kearifan
lokal dalam sastra Bugis klasik. Sastra Bugis
klasik meliputi Sure Galigo, Lontarak, Paseng
/Pappaseng Toriolota/Ungkapan, dan Elong
/syair. Sastra Bugis klasik, seperti Galigo (yang
dikenal sebagai epik terpanjang di dunia), Lontarak, Paseng (pesan), dan syair mengandung
kearifan masih sangat relevan dengan perkembangan zaman. Kearifan lokal yang menjadi
fokus utama meliputi bawaan hati yang baik,
konsep pemerintahan yang baik (good
governance), demokrasi, motivasi berprestasi, kesetiakawanan sosial, kepatutan, dan
penegakan hukum. Kearifan itu memiliki kedudukan yang kuat dalam kepustakaan Bugis dan
masih sesuai dengan perkembangan zaman.
Bawaan Hati yang Baik (Ati Mapaccing)
Dalam bahasa Bugis, ati mapaccing (bawaan
hati yang baik) berarti nia madeceng (niat baik),
nawa-nawa madeceng (niat atau pikiran yang
baik) sebagai lawan dari kata nia maja (niat
jahat), nawa-nawa masala (niat atau pikiran
bengkok). Dalam berbagai konteks, kata
bawaan hati, niat atau itikad baik juga berarti
ikhlas, baik hati, bersih hati atau angan-angan
dan pikiran yang baik.
Tindakan bawaan hati yang baik dari
seseorang dimulai dari suatu niat atau itikad
baik (nia mapaccing), yaitu suatu niat yang baik
dan ikhlas untuk melakukan sesuatu demi
tegaknya harkat dan martabat manusia. Bawaan
hati yang baik mengandung tiga makna, yaitu a)
menyucikan hati, b) bermaksud lurus, dan c)
mengatur emosi. Pertama, manusia menyucikan
dan memurnikan hatinya dari segala nafsu
kotor, dengki, iri hati, dan kepalsuan. Niat suci
atau bawaan hati yang baik diasosiasikan
dengan tameng (pagar) yang dapat menjaga
manusia dari serangan sifat tercela. Ia bagai
permata bercahaya yang dapat menerangi dan
menjadi hiasan yang sangat berharga. Ia bagai
air jernih yang belum tercemar oleh noda atau
polusi. Segala macam hal yang dapat menodai
kesucian itu harus dihindarkan dari hati,
sehingga baik perkataan maupun perbuatan
dapat terkendali dengan baik. Dalam Lontara
disebutkan:

Kearifan Lokal dalam Sastra


Said

Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil)


Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007

Dua kuala sappo, unganna panasae, belo


kanukue (Lontara Pappaseng Toriolota: 164).
(Dua kujadikan pagar, bunga nangka, hiasan
kuku.)

Dalam bahasa Bugis, bunga nangka


disebut lempu yang berasosiasi dengan kata
jujur, sedangkan hiasan kuku dalam bahasa
Bugis disebut pacci yang kalau ditulis dalam
aksara Lontara dapat dibaca paccing yang
berarti suci atau bersih. Bagi manusia Bugis,
segala macam perbuatan harus dimulai dengan
niat suci karena tanpa niat suci (baik), tindakan
manusia tidak mendapatkan ridha dari Tuhan
Yang Maha Kuasa. Seseorang yang mempunyai
bawaan hati yang baik tidak akan pernah goyah
dalam pendiriannya yang benar karena penilaiannya jernih. Demikian pula, ia sanggup melihat
kewajiban dan tanggung jawabnya dengan lebih
tepat.
Kedua, manusia sanggup untuk mengejar apa yang memang direncanakannya, tanpa
dibelokkan ke kiri dan ke kanan. Lontara
menyebutkan:
Atutuiwi
anngolona
atimmu;
aja
muammanasaianngi ri jae padammu rupa tau
nasaba mattentui iko matti nareweki jana apa
riturungenngi ritu gau madecennge riati majae
nadesa nariturungeng ati madecennge ri gau
majae. Naiya tau maja kaleng atie lettu rimonri
jana (Lontara Pappaseng Toriolota: 164).
(Jagalah arah hatimu; jangan menghajatkan yang
buruk kepada sesamamu manusia, sebab pasti
engkau kelak akan menerima akibatnya, karena
perbuatan baik terpengaruh oleh perbuatan
buruk. Orang yang beritikad buruk akibatnya
akan sampai pada keturunannya keburukan itu.)

Kutipan Lontara di atas menitikberatkan


pentingnya seorang individu untuk memelihara
arah hatinya. Manusia dituntut untuk selalu berniat baik kepada sesama. Memelihara hati untuk
selalu berhati bersih kepada sesama manusia
akan menuntun individu tersebut memetik buah
kebaikan. Sebaliknya, individu yang berhati kotor, yaitu menghendaki keburukan terhadap sesama manusia, justru akan menerima akibat
buruknya. Karena itu, tidak ada alasan bagi
seorang individu untuk memikirkan hal-hal buruk
terhadap sesama manusia. Dengan kata lain,
agar setiap individu dapat memetik keberuntungan atau keberhasilan dalam hidup sesuai
dengan cita-citanya, ia terlebih dahulu harus
memelihara hatinya dari penyimpangan. Jika
menginginkan orang berbuat baik kepadanya,
,ia harus terlebih dahulu berniat dan berbuat
baik kepada orang tersebut.
Ketiga, manusia tidak membiarkan
dirinya digerakkan oleh nafsu, emosi, perasaan,
kecondongan, melainkan diatur suatu pedoman

Kearifan Lokal dalam Sastra


Said

Vol. 2
ISSN : 1858 - 2559

(toddo), yang memungkinkannya untuk menegakkan harkat dan martabat manusia sesuai
dengan kodratnya. Dengan demikian ia tidak
diombang-ambingkan oleh segala macam emosi, nafsu dan perasaan dangkal. Jadi, pengembangan sikap itu membuat kepribadian manusia
menjadi lebih kuat, lebih otonom dan lebih
mampu untuk menjalankan tanggung jawabnya.
Dalam Lontara Latoa ditekankan bahwa
bawaan hati yang baik menimbulkan perbuatan
yang baik pula, yang sekaligus menciptakan
ketertiban dalam masyarakat. Dalam memperlakukan diri sebagai manusia, bawaan hati
memegang peranan yang amat penting.
Bawaan hati yang baik mewujudkan kata dan
perbuatan yang benar yang sekaligus dapat
menimbulkan kewibawaan dan apa yang
diucapkan akan tepat pada sasarannya:
Makkedatopi
Arung
Bila,
eppa
tanrana
tomadeceng kalawing ati, seuani, passui ada
napatuju, maduanna, matuoi ada nasitinaja,
matellunna duppai ada napasau, maeppana,
moloi ada napadapi (Lontara Pappaseng
Toriolota: 164).
(Berkata pula Arung Bila, ada empat tanda orang
baik bawaan hatinya. Pertama, mengucapkan
kata yang benar. Kedua, menyebutkan kata yang
sewajarnya. Ketiga, menjawab dengan kata yang
berwibawa. Keempat, melaksanakan kata dan
mencapai sasarannya.)

Di samping bawaan hati yang baik


sebagai motor pendorong dalam manifestasi
perbuatan manusia dalam dunia realitas, terdapat lagi suatu hal dalam diri manusia yang
harus dipelihara, yaitu pikiran. Bagi manusia
Bugis, hati dan pikiran yang baik merupakan
syarat untuk menghasilkan kebaikan dalam
kehidupan.
Konsep Pemerintahan
governance)

yang

Baik

(good

Istilah good governance tak bisa dilepaskan dari


konteks perbincangan mengenai politik dan
paradigma pembangunan yang berkembang di
dunia. Bila dilacak agak teliti, penggunaan istilah
ini belum lebih dari dua dekade. Diduga, good
governance pertama kali diperkenalkan sekitar
tahun 1991 dalam sebuah resolusi The Council
of the European Community yang membahas
Hak Asasi Manusia, Demokrasi, dan Pembangunan. Di dalam resolusi itu disebutkan, diperlukan empat prasyarat lain untuk dapat mewujudkan Pembangunan yang berkelanjutan, yaitu
mendorong penghormatan atas hak asasi manusia, mempromosikan nilai demokrasi, mereduksi
budget pengeluaran militer yang berlebihan dan
mewujudkan good governance. Sejak saat itu,

D15

Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil)


Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007

good governance mulai diperbincangkan dan


diakomodasi dalam berbagai konvensi dan
resolusi yang berkaitan dengan pembangunan,
baik dalam perbincangan pembangunan di
UNDP maupun di Lome Convention, bantuan
pembangunan yang bersifat multilateral dan
bilateral.
Istilah good governanc telah diterjemahkan menjadi penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tatapemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan
pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab
(LAN), dan ada juga yang mengartikan secara
sempit sebagai pemerintahan yang bersih
(Effendi, 2005).
Dalam kepustakaan Bugis, untuk terwujudnya permerintahan yang baik, seorang
pemimpin dituntut memiliki 4 kualitas yang tak
terpisahkan antara satu dengan lainnya. Keempat kualitas itu terungkap dalam ungkapan
Bugis:
Maccai na Malempu;
Waraniwi na Magetteng
(Cendekia lagi Jujur,
Berani lagi Teguh dalam Pendirian.)

Bila ungkapan di atas diurai maka ada


empat karakteristik seorang pemimpin yang diangap dapat memimpin suatu negeri, yaitu: cendekia, jujur, berani, dan teguh dalam pendirian.
Ungkapan itu bermakna bahwa kepandaian saja
tidak cukup. Kepandaian haruslah disertai
dengan kejujuran, karena banyak orang pandai
menggunakan
kepandaiannya
membodohi
orang lain. Karerna itu, kepandaian haruslah
disertai dengan kejujuran. Selanjutnya, keberanian saja tidak cukup. Keberanian haruslah
disertai dengan keteguhan dalam pendirian.
Orang yang berani tetapi tidak cendekia dan
teguh dalam pendirian dapat terjerumus dalam
kenekadan.
Syarat terselenggaranya pemerintahan
negeri dengan baik terungkap dalam Lontarak
bahwa pemimpin negeri haruslah:
1. Jujur terhadap Dewata Seuwae (Tuhan
YME) dan sesamanya manusia.
2. Takut kepada Dewata Seuwae (Tuhan
YME) dan menghormati rakyatnya dan
orang asing serta tidak membedabedakan rakyatnya.
3. Mampu
memperjuangkan
kebaikan
negerinya
agar
berkembang
biak
rakyatnya, dan mampu menjamin tidak
terjadinya perselisihan antara pejabat
kerajaan dan rakyat.
4. Mampu
menjamin
kesejahteraan
rakyatnya.

D16

Vol. 2
ISSN : 1858 - 2559

5. Berani dan tegas, tidak gentar hatinya


mendapat berita buruk (kritikan) dan
berita baik (tidak mudah terbuai oleh
sanjungan).
6. Mampu
mempersatukan
rakyatnya
beserta para pejabat kerajaan.
7. Berwibawa terhadap para pejabat dan
pembantu-pembantunya.
8. Jujur dalam segala keputusannya
(Lontara Sukkuna Wajo dalam Abidin,
1983: 163).
Kemudian, IMangadacina Daeng Sitaba
Karaeng Pattingalloang membuat pesan yang
isinya
bahwa
ada
lima
sebab
yang
menyebabkan negeri itu rusak, yaitu:
1. Kalau raja yang memerintah tidak mau
diperingati.
2. Kalau tidak ada cendekiawan dalam
suatu negara besar.
3. Kalau para hakim dan para pejabat
kerajaan makan sogok.
4. Kalau terlampau banyak kejadiankejadian besar dalam suatu negara.
5. Kalau raja tidak menyayangi rakyatnya
(Lontara Sukkuna Wajo dalam Abidin,
1983: 166).
Demokrasi (Amaradekangeng)
Kata amaradekangeng berasal dari kata
maradeka yang berarti merdeka atau bebas.
Pengertian tentang kemerdekaan ditegaskan
dalam Lontarak sebagai berikut.
Niaa riasennge maradeka, tellumi pannessai:
seuani,
tenrilawai
ri
olona.
Maduanna,
tenriangkai riada-adanna. Matellunna, tenri
atteanngi lao ma-niang, lao manorang, lao orai,
lao alau, lao ri ase, lao ri awa (Lontarak Sukkuna
Wajo: 249; 82).
(Yang disebut merdeka (bebas) hanya tiga hal
yang menentukannya: pertama, tidak dihalangi
kehendaknya;
kedua,
tidak
dilarang
mengeluarkan pendapat; ketiga tidak dilarang ke
Selatan, ke Utara, Ke Barat, ke Timur, ke atas
dan ke bawah. Itulah hak-hak kebebasan.)

Demokrasi sebagai bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara terungkap dalam
sastra Bugis sebagai berikut.
Rusa taro arung, tenrusa taro ade,
Rusa taro ade, tenrusa taro anang,
Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega.
(Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat,
Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum
Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan
orang banyak)

Kearifan Lokal dalam Sastra


Said

Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil)


Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007

Dalam ungkapan itu, jelas tergambar


bahwa kedudukan rakyat amat besar dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Rakyat berarti segala-galanya bagi negara. Raja
atau penguasa hanyalah merupakan segelintir
manusia yang diberi kepercayaan untuk mengurus administrasi, keamanaan, dan pelaksanaan
pemerintahan negara (Said, 1998). Konsep di
atas sejalan dengan konsep demokrasi yang dianut saat ini yang mana kedaulatan ada di tangan rakyat. Kata "demokrasi" berasal dari dua
kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga
dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat,
atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Dari kutipan itu, jelas tergambar bahwa
kekuatan berada di tangan rakyat, bukan di
tangan raja. Jika hal ini dihubungkan dengan
teori demokrasi Rousseau tentang volonte generale atau kehenak umum dan volonte de tous
atau kehendak khusus, jelas tergambar bahwa
teori Rousseau berkesesuaian dengan sistem
pemerintahan yang dikembangkan di Tanah
Bugis yaitu apabila dua kepentingan (antara
penguasa dan rakyat) bertabrakan, kepentingan
yang harus dimenangkan adalah kepentingan
rakyat (umum).
Dalam menjalankan pemerintahan, raja
selalu berusaha untuk bertindak secara ekstra
hati-hati. Sesuatu yang akan dibebankan kepada rakyat haruslah terlebih dahulu dipertimbangkan. Artinya, acuan utama dari setiap
tindakan adalah rakyat. Hal tersebut tertuang
dalam Getteng Bicara (undang-undang) sebagai
berikut.
Takaranku kupakai menakar, timbanganku
kupakai menimbang, yang rendah saya
tempatkan di bawah, yang tengah saya
tempatkan di tengah, yang tinggi saya tempatkan
di atas (Lontarak Sukkuna Wajo: 249; 82).

Ketetapan hukum yang tergambar


dalam getteng bicara di tanah Bugis menunjukkan bahwa raja tidak akan memutuskan suatu
kebijakan bila raja itu sendiri tidak merasa
nyaman. Raja menjadikan dirinya sebagai
ukuran dan selalu berusaha berbuat sepatutnya.
Dari argumentasi itu, jelas tergambar
bahwa negara adalah sepenuhnya milik rakyat
dan bukan milik raja. Raja tidak dapat berbuat
sekehendak hatinya kepada negara yang
menjadi milik dari rakyat itu. Raja sama sekali
tidak dapat membuat peraturan dengan
seenaknya, terutama menyangkut kepentingan
dirinya atau keluarganya. Semua peraturan
yang akan ditetapkan oleh raja harus melalui
persetujuan dari kalangan wakil rakyat yang

Kearifan Lokal dalam Sastra


Said

Vol. 2
ISSN : 1858 - 2559

telah mendapatkan kepercayaan dari rakyat.


Jika raja melanggar ketentuan itu, berarti raja
telah melanggar kedaulatan rakyat.
Adat menjamin hak dan protes rakyat
dengan lima cara sebagai berikut.
1. Mannganro ri ade, memohon petisi atau
mengajukan permohonan kepada raja
untuk mengadakan suatu pertemuan tentang hal-hal yang mengganggu, seperti
kemarau panjang karena dimungkinkan
sebagai akibat kesalahan pemerintah.
2. Mapputane, menyampaikan keberatan
atau protes atas perintah yang memberatkan rakyat dengan menghadap raja.
Jika itu menyangkut kelompok, maka mereka diwakili oleh kelompok kaumnya untuk menghadap raja, tetapi jika perseorangan, langsung menghadap raja.
3. Mallimpo-ade, protes yang mendesak
adat karena perbuatan sewenangwenang raja, dan karena usaha melalui
mapputane gagal. Orang banyak, tetapi
tanpa perlengkapan senjata mengadakan
pertemuan dengan para pejabat negara
dan tidak meninggalkan tempat itu
kecuali permasalahannya selesai.
4. Mabbarata, protes keras rakyat atau
kaum terhadap raja, karena secara prinsipial masyarakat merasa telah diperlakukan tidak sesuai dengan panngadereng oleh raja, keluarga raja, atau
pejabat kerajaan. Masyarakat atau kaum
berkumpul di balai pertemuan (baruga)
dan mendesak agar masalahnya segera
ditangani. Kalau tidak, rakyat atau kaum
bisa mengamuk yang bisa berakibat
sangat fatal pada keadaan negara.
5. Mallekke dapureng, tindakan protes
rakyat dengan berpindah ke negeri lain.
Hal ini dilakukan karena sudah tidak
mampu melihat kesewenang-wenangan
di dalam negerinya dan protes lain tidak
ampuh. Mereka berkata: Kamilah yang
memecat raja atau adat, karena kami
sekarang
melepaskan
diri
dari
kekuasaannya (Mattulada, 1985)
Hak koreksi rakyat terhadap perbuatan
sewenang-wenang pemimpin negara, merupakan bukti bahwa kehidupan bernegara manusia
Bugis menekankan unsur demokrasi.
Penegakan Hukum
Bagi manusia Bugis, menegakkan hukum
terhadap
suatu
pelanggaran
merupakan
kewajiban. Dalam konsep Siri (malu, harga diri)
terungkap bahwa manusia Bugis yang berbuat

D17

Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil)


Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007

semaunya dan tidak lagi mempedulikan aturan


adat (etika panngadereng atau peradaban)
dianggap sebagai manusia yang tidak
mempunyai harga diri.
Siri atau harga diri merupakan landasan
bagi pemimpin untuk senantiasa menegakkan
hukum tanpa pilih kasih. Pemimpin yang tidak
mampu
menegakkan
hukum
dianggap
pemimpin lembek atau banci. Seseorang yang
tidak mempunyai Siri diumpamakan sebagai
bangkai yang berjalan. Dalam ungkapan Bugis
disebutkan: Siri emmi to riaseng tau (Hanya
karena Siri-lah kita dinamakan manusia). Itulah
sebabnya mengapa para orang tua Bugis
menjadikan Siri sebagai hal yang amat penting
dalam nasihat-nasihat, sebagaimana dituturkan
oleh Muhammad Said sebagai berikut.
Taro-taroi alemu siri
Narekko de sirimu inrekko siri (Hasil wawancara
dengan Muhammad Said, 1995).
(Perlengkapilah dirimu dengan siri,
Kalau tidak ada siri-mu, pinjamlah siri.)

Dalam dunia realitas, sering dijumpai


seorang manusia Bugis mengorbankan sanak
keluarga yang paling dicintainya demi mempertahankan harga diri dan martabatnya di tengah
masyarakat. Dalam sejarah disebutkan bahwa di
Sidenreng Rappang pada abad XVI, La Pagala
Nene Mallomo, seorang hakim (pabbicara), dan
murid dari La Taddampare, menjatuhkan pidana
mati terhadap putranya sendiri yang amat
dicintainya karena telah terbukti mengambil luku
orang lain tanpa seizin dengan pemiliknya.
Tentu saja kejadian itu telah mencoreng muka
ayahnya sendiri yang dikenal sebagai hakim
yang jujur. Ketika ditanya mengapa ia
memidana mati putranya sendiri dan apakah dia
menilai sepotong kayu sama dengan jiwa
seorang manusia, beliau menjawab:
Adee temmakeana temmakke eppo
Hukum tidak mengenal anak dan tidak
mengenal cucu.

Pidana mati itu dilakukan semata-mata


untuk mempertahankan harga dirinya sebagai
hakim yang jujur di tengah-tengah masyarakatnya. Sekiranya ia memberikan pengampunan
kepada putranya sendiri, tentulah ia akan
menanggung malu yang sangat dalam karena
akan dicibir oleh masyarakat sekitarnya, dan
wibawanya sebagai hakim yang jujur akan
hilang seketika. Bagi masyarakat Bugis, falsafah
taro ada taro gau (satunya kata dengan
perbuatan) adalah suatu keharusan. Manusia
yang tidak bisa menyerasikan antara perkataan
dan perbuatannya akan mendapat gelar sebagai
manusia munafik (munape), suatu gelar yang
sangat dihindari oleh manusia Bugis.

D18

Vol. 2
ISSN : 1858 - 2559

Adat yang telah merupakan jiwa dan


semangat manusia Bugis berlaku umum dalam
kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
Adat atau panngadereng tidak mengenal
kedudukan, kelas sosial, derajat kepangkatan,
status sosial ekonomi, dan lain-lain, dalam
menjatuhkan sanksi atau hukuman adat
terhadap manusia yang telah melakukan
pelanggaran. Dari mana pun asal manusia itu,
apakah dia seorang raja, putra mahkota, orang
kaya, bangsawan, sama sekali tidak mempunyai
hak istimewa dalam kehidupan panngadereng
masyarakat Bugis. Kedudukan kelompok elite
dan masyarakat biasa diperlakukan sama dalam
kehidupan masyarakat. Faktor inilah yang telah
menempatkan adat pada tempat yang teratas
dalam diri manusia Bugis: Adetemmakiana,
temmakieppo (adat tidak mengenal anak dan
tidak mengenal cucu).
Data
tentang
bagaimana
adat
diperlakukan
kepada
semua
kelompok
masyarakat, berikut beberapa data historis yang
dicatat oleh Abidin sebagai berikut.
1. Pada waktu Lamanussa Toakkarangeng
menjadi Datu Soppeng, orang Soppeng
pernah hampir kelaparan karena kemarau panjang. Beliau menyelidiki penyebab bencana kelaparan itu, tetapi tak ada
seorang pejabat kerajaan pun yang melakukan perbuatan sewenang-wenang.
Setelah beliau merenung, beliau mengingat bahwa beliau pernah memungut
suatu barang di sawah seorang penduduk dan disimpannya di rumahnya sendiri. Perbuatan beliau inilah yang menurutnya menyebabkan mala petaka itu,
pikir beliau. Beliau mengambil keputusan
untuk menjatuhkan hukuman kepada
dirinya sendiri karena tidak ada orang
pun yang berani menjatuhkan hukuman
kepada diri sang Datu. Hukuman yang
dijatuhkan kepada dirinya sendiri adalah
berupa denda, yaitu beliau memotong
kerbau dan dagingnya dibagikan kepada
rakyat. Di hadapan rakyatnya, beliau
menyatakan diri bersalah karena telah
memungut suatu barang dari sawah
seseorang dan menyimpannya sendiri.
Beliau mengumumkan barang tersebut di
tengah pesta tudang sipulung (duduk
bersama), tetapi tak seorang pun yang
mengaku telah kehilangan sesuatu.
2. Ketika La Pabbelle putra Arung Matoa
Wajo yang X La Pakoko Topabbele
memperkosa wanita di kampung Totinco,
ia dijatuhi hukuman mati oleh ayahnya
sendiri.

Kearifan Lokal dalam Sastra


Said

Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil)


Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007

3. Raja Bone yang bernama La Ica dibunuh oleh orang Bone karena kekejamannya.
4. Raja Bone yang bernama La Ulio Bote
(Sigendut) meninggal diamuk di kampung Utterung, karena dianggap berbuat
sewenang-wenang kepada rakyat.
5. Ketika Toangkone Ranreng Bettempola
pada abad XV dibuktikan menculik wanita yang bernama We Neba untuk diserahkan kepada temannya Opu Rajeng
dari Luwu, maka ia dijatuhi pidana
dipecat dengan tidak hormat lalu diusir
untuk seumur hidup.
6. La Temmasonge putra raja Bone La Patau Matanna Tikka pada tahun 1710 dipidana ripaoppangi tana (diusir keluar
Bone dan dibuang ke Buton) karena
membunuh Arung Tiboyong, seorang
anggota dewan pemangku adat Bone.
Raja Luwu menyingkirkan putrinya (yang
terserang penyakit kulit yang menular) dari istina
karena atas permintaan rakyat.
Motivasi berprestasi (Reso)
Dalam hal motivasi berprestasi, terungkap
dalam ungkapan Bugis dengan istilah reso
(usaha keras). Untuk mencapai prestasi reso
merupakan syarat utama. Hal ini menunjukkan
bahwa dalam perjuangan untuk mencapai suatu
keberhasilan, seseorang haruslah pantang menyerah; ia harus tampil sebagai pemenang.
Ungkapan Lontarak berikut mengisyaratkan
betapa pentingnya melakukan gerak cepat agar
orang lain tidak mendahului kita dalam
bertindak:

Vol. 2
ISSN : 1858 - 2559

Resopa natinulu, natemmanginngi malomo


naletei pammase Dewata Seuwaee (Lontara
Sukkuna Wajo: 463).
(Hanya dengan kerja keras dan ketekunan,
sering menjadi titian rahmat Ilahi.)

Ungkapan itu memberi pelajaran bahwa


untuk memperoleh keberhasilan, seseorang
tidak hanya berdoa, tetapi harus bekerja keras
dan tekun.
Ambo Enre (1992) mengutip sebuah
ungkapan pesan Bugis bagi perantau sebelum
meninggalkan kampung halaman sebagai
berikut.
Akkellu peppeko mulao,
abulu rompeko murewe.
(Bergundul licinlah engkau pergi,
berbulu suaklah engkau kembali).

Pesan itu diperuntukkan kepada para


perantau agar terdorong bekerja keras di negeri
rantauannya. Serta mempunyai tekad yang kuat
untuk tidak kembali ke kampung halamannya
sebelum berhasil.
Dalam kaitannya dengan usaha, waktu
atau kesempatan merupakan salah satu faktor
penentu dalam meraih kemenangan (Tang,
2007). Hal ini ditegaskan dalam ungkapan
Bugis disebutkan:
Onroko mammatu-matu napole marakkae naia
makkalu
(Tinggallah engkau bermalas-malas hingga kelak
datang yang gesit lalu menguasai)

Selain
pentingnya
menghargai
waktu/kesempatan,
pentingnya
seseorang
menghindari perbuatan memetik keuntungan
dari hasil jerih payah orang lain, tergambar
dalam ungkapan berikut.

Aja mumaelo ribetta makkalla ri cappa


alletennge (Lontarak Pappaseng Toriolota: 56).
(Janganlah mau didahului menginjakkan kaki di
ujung titian.)

Temmasiri kajompie, tania ttaro rampingeng, naia


makkalu.
(Tak malu nian si Buncis, bukan ia menyimpan
penyanggah, ia yang memanjat)

Ungkapan di atas memberi pelajaran


bahwa dalam hidup ini terdapat persaingan yang
cukup ketat dan untuk memenangkan persaingan itu, semua kemampuan yang ada harus
dimanfaatkan. Titian yang hanya dapat dilalui
oleh seorang saja dan siapa yang terdahulu
menginjakkan kaki pada titian itu, berarti dialah
yang berhak meniti terlebih dahulu. Ini berarti
bahwa bertindak cepat dengan penuh keberanian, walaupun mengandung risiko besar
merupakan syarat mutlak untuk menjadi pemenang. Namun demikian, tidak ada keberuntungan besar tanpa perbuatan besar dan tidak
ada perbuatan besar tanpa risiko yang besar.
Dalam sebuah ungkapan Lontarak ditekankan:

Ungkapan itu menganjurkan bahwa untuk


mewujudkan kehidupan yang lebih baik,
seseorang dituntut bekerja keras, tidak
menyandarkan harapannya kepada orang lain.

Kearifan Lokal dalam Sastra


Said

Kesetiakawanan Sosial (assimellereng)


Konsep assimellereng mengandung makna
kesehatian, kerukunan, kesatupaduan antara
satu anggota keluarga dengan anggota keluarga
lain, antara seorang sahabat dengan sahabat
yang lain. Memiliki rasa kekeluargaan yang
tinggi, setia kawan, cepat merasakan penderitaan orang lain, tidak tega membiarkan saudaranya berada dalam keadaan menderita, dan
cepat mengambil tindakan penyelamatan atas
musibah yang menimpa seseorang, dikenal

D19

Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil)


Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007

dengan konsep sipadepu-repu (saling memelihara). Sebaliknya, orang yang tidak mempedulikan kesulitan sanak keluarganya, tetangganya, atau orang lain sekali pun disebut bette
perru. Dalam kehidupan sehari-hari, manifestasi
kesehatian dan kerukunan itu disebutkan dalam
sebuah ungkapan Bugis:
tejjali tettappere , banna mase-mase.

Ungkapan tersebut biasanya diucapkan ketika


seorang tuan rumah kedatangan tamu.
Maksunya adalah kami tidak mempunyai apaapa untuk kami suguhkan kepada tuan. Kami
tidak mempunyai permadani atau sofa yang
empuk untuk tuan duduki. Yang kami miliki
adalah kasih sayang.
Lontarak sangat menganjurkan manusia
memiliki perasaan kemanusiaan yang tinggi,
rela berkorban menghormati hak kemanusiaan
seseorang, demi kesetiakawanan atau solidaritas antara sesama manusia, berusaha membantu orang, suka menolong orang menderita,
berkorban demi meringankan penderitaan dan
kepedihan orang lain dan berusaha pula untuk
membagi kepedihan itu ke dalam dirinya. Dalam
Lontarak disebutkan:
Iya padecengi assiajingeng:
- Sianrasa-rasannge nasiammase-maseie;
- sipakario-rio;
- Tessicirinnaiannge ri sitinajae;
- Sipakainge ri gau patujue;
- Siaddappengeng pulanae (Lontarak Andi
Pabbarangi, Warta: 30).
(Yang memperbaiki hubungan kekeluargaan
yaitu:
- Sependeritaan dan kasih-mengasihi;
- Gembira menggembirakan;
- Rela merelakan harta benda dalam batas-batas
yang wajar;
- Ingat memperingati dalam hal-hal yang benar;
- Selalu memaafkan.)

Dorongan perasaan solidaritas untuk


membela, menegakkan, memperjuangkan harkat kemanusiaan orang lain atau perasaan
senasib sepenanggungan di antara keluarga,
kerabat, dan masyarakat dilukiskan dalam
ungkapan Lontarak sebagai berikut:
Eppai rupanna padecengi asseajingeng:
- Sialurusennge siamaseng masseajing.
- Siadampengeng pulanae masseajing.
- Tessicirinnaiannge warangparang masseajing,
ri sesena gau sitinajae.
- Sipakainge pulannae masseajing ri sesena
gau patujue sibawa winru madeceng (Lontarak
Andi Makkaraka Ranreng Betempola, Warta:30).
(Empat hal yang mengeratkan hubungan
kekeluargaan:
- Senantiasa kasih mengasihi sekeluarga.
- Maaf memaafkan sekeluarga.
- Rela merelakan sebagian harta benda
sekeluarga

D20

Vol. 2
ISSN : 1858 - 2559

dalam batas-batas yang layak.


Ingat memperingati sekeluarga
kebenaran
dan tujuan yang baik.)

demi

Kepatutan (Mappasitinaja)
Mappasitinaja berasal dari kata sitinaja yang
berarti pantas, wajar atau patut. Mappasitinaja
berarti berkata atau berbuat patut atau memperlakukan seseorang secara wajar. Definisi kewajaran diungkapkan oleh cendekiawan Luwu sebagaimana dikutip oleh Ambo Enre (1992)
sebagai berikut.
Ri pariajanngi ri ajannge, ri parialaui alaue, ri
parimanianngi maniannge, ri pariasei ri asee, ri
pariawai ri awae.
(Ditempatkan di Barat yang di Barat, ditempatkan
di Timur yang di Timur, ditempatkan di Selatan
yang di Selatan, ditempatkan di atas yang di
atas, ditempatkan di bawah yang di bawah.)

Dari ungkapan itu, tergambar bahwa


seseorang dikatakan bertindak patut atau wajar
bila ia mampu menempatkan sesuatu pada
tempatnya. Seseorang yang bertindak wajar
berarti ia mampu menempatkan dirinya sesuai
dengan kedudukannya. Ia tidak menyerakahi
hak orang lain, melainkan memahami hak-haknya sendiri. Di samping itu, ia pula dapat memperlakukan orang lain pada tempatnya. Ia sadar
bahwa orang lain mempunyai hak yang patut
dihormati.
Perbuatan wajar atau patut, dalam
bahasa Bugis biasa juga disebut mappasikoa.
Seorang yang berbuat wajar dalam arti mappasikoa berarti ia merasa cukup atas sesuatu yang
dimilikinya. Ia bertindak sederhana. Dicontohkan
oleh Rahim (1985), tentang sikap wajar Puang
Rimaggalatung. Puang Rimaggalatung pernah
berkali-kali menolak tawaran rakyat Wajo untuk
diangkat menjadi Arung Matoa Wajo atas kematian Batara Wajo III yang bernama La Pateddungi Tosamallangi. Bukannya beliau tidak
mampu memangku jabatan yang ditawarkan
kepadanya, tetapi ia sadar bahwa jabatan itu
sungguh sulit untuk diembannya. Namun,
karena Adat (para wakil rakyat) dan rakyat Wajo
sendiri merasa bahwa beliau pantas memimpin
mereka, akhirnya tawaran itu diterima.
Aja muangoai onrong, aja to muacinnai tanre
tudangeng, detu mullei padecengi tana.
Risappapo muompo, ri jellopo muompo, ri
jellopo muakkengau (Warta: 83).
(Jangan serakahi kedudukan, jangan pula terlalu
menginginkan kedudukan tinggi, jangan sampai
kamu tidak mampu memperbaiki negeri. Bila
dicari barulah kamu muncul, bila ditunjuk barulah
kamu mengia.)

Kearifan Lokal dalam Sastra


Said

Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil)


Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007

Ungkapan lain yang menganjurkan


manusia berbuat wajar adalah sebagai berikut.
Duampuangenngi ritu gau sisappa nasilolongeng,
gau madecennge enrennge sitinajae. Iapa ritu
namadeceng
narekko
silolongenngi
duampuangennge. Naia lolongenna ritu:
a. narekko ripabbiasai aleta mangkau madeceng,
mauni engkamuna maperri ri pogaumuiritu.
b. Pakatunai alemu ri sitinajae
c. Saroko mase ri sitinajqe
d. Moloi roppo-roppo narewe
e. Moloi laleng namatike nasanresenngi ri Dewata
Seuwaee
f. Akkareso patuju (Lontarak Pappaseng Toriolota:
90).
(Dua hal saling mencari lalu bersua, yakni
perbuatan baik dan yang pantas. Barulah baik
bila keduanya berpadu. Cara memadukannya
ialah:
a. Membiasakan diri berbuat baik meskipun sulit
dilakukan.
b. Rendahkanlah dirimu sepantasnya.
c. Ambillah hati orang sepantasnya
d. Menghadapi semak-semak ia surut langkah
e. Melalui jalan ia berhati-hati dan menyandarkan
diri kepada Tuhan
f. Berusahalah dengan benar.)

Sebaliknya, lawan dari kata patut adalah


berlebihan dan serakah. Watak serakah diawali
keinginan untuk menang sendiri. Keinginan
untuk menang sendiri dapat menghasilkan pertentangan dan menutup kemungkinan untuk
mendapatkan restu dari pihak lain. Manusia
yang berbuat serakah, justru akan menghancurkan dirinya sendiri karena orang lain akan
menjauhinya. Dan apabila hati manusia dipenuhi
sifat serakah, maka tiada lagi kebaikan yang
bisa diharapkan dari manusia itu. Dalam
Lontarak disebutkan:
Cecceng ponna cannga tenngana sapu ripale
cappana (Warta: 78).
(Serakah
awalnya,
menang
sendiri
pertengahannya,
kehilangan
sama
sekali
akhirnya.)

Jadi, Lontarak amat menekankan


pentingnya manusia berbuat secara wajar,
seperti dapat disimak dalam ungkapan:
Aja mugaukenngi padammu tau ri gau
tessitinajae
(Jangan engkau melakukan sesuatu yang tidak
patut terhadap sesamamu manusia)

Selanjutnya, Lontarak memperingatkan bahwa


sifat serakah atau tamak, sewenang-wenang,
curang, perbuatan tega atau tidak menaruh
belas kasihan kepada orang lain dapat menghancurkan nilai kepatutan dan dapat menim-

Kearifan Lokal dalam Sastra


Said

Vol. 2
ISSN : 1858 - 2559

bulkan kerusakan dalam negara.


Pertama,
keserahan atau ketamakan, menghilangkan
rasa malu sehingga mengambil hak orang lain
bukan lagi hal yang tabu. Karena, orang yang
bersifat serakah atau tamak tidak pernah
merasa cukup sehingga apa yang dimiliki selalu
dianggap kurang. Kedua, kekerasan akan
menyebabkan melenyapkan kasih sayang di
dalam negeri. Artinya, rakyat kecil harus
mendapat perlindungan demi tegaknya suatu
negara, tetapi kalau pihak yang berkuasa
berbuat sewenang-wenang (hanya unjuk
kekuatan) berarti kasih sayangnya kepada masyarakat akan hilang yang sekaligus memperlemah kedaulatan rakyat. Ketiga, kecurangan
akan memutuskan hubungan keluarga. Artinya,
orang yang curang tidak pernah merasa puas
atas haknya sendiri. Ia selalu berpikir untuk
memiliki hak orang lain. Orang seperti itu, akan
menemukan kesulitan dalam hidupnya karena
tidak ada orang yang akan mempercayainya.
Keempat, perbuatan tega terhadap sesama
manusia, melenyapkan kebenaran di dalam
negeri. Artinya, para pejabat negeri dituntut
untuk berbuat adil kepada rakyatnya. Berbuat
tidak adil berarti kebenaran dilecehkan dan bila
kebenaran dilecehkan berarti kehancuran bagi
negeri. Karena itu, agar negara selamat dan
berhasil, para pemimpin haruslah berbekal
kejujuran disertai dengan kepatutan.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan
bahwa kearifan lokal dalam kepustakaan Bugis
masih sangat relevan dengan perkembangan
zaman. Karena itu, kearifan lokal sebagai jati
diri bangsa perlu direvitalisasi, khususnya bagi
generasi muda dalam percaturan global saat
dan di masa datang. Dengan demikian, identitas
sebagai bangsa baik secara fisik maupun non
fisik akan tetap terjaga.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman H. 2007. Pelestarian Kearifan
Lokal Melalui Pewarisan Bahasa Bugis.
Makalah disajikan dalam Kongres I
Bahasa-Bahasa
Daerah
Sulawesi
Selatan, Makassar, 22-25 Juli.
Ambo Enre, Fachruddin. 1992. Beberapa Nilai
Sosial Budaya dalam Ungkapan dan
Sastra Bugis. Pidato Pengukuhan Guru
Besar. (dalam urnal PINISI, Vol. 1).
FPBS IKIP Ujung Pandang.
Effendi, Sofian. 2005. Membangun Budaya
Birokrasi Untuk Good Governance.
(Online).

D21

Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil)


Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007

http://lib.ugm.ac.id/data/pubdata/sofiane
/budayabirokrasi.pdf. Diakses tanggal
30 Juli 2007.
Hakim, Zainuddin. 2007. Reaktulisasi Peran
Sastra Daerah dalam Pewarisan NilaiNilai Budaya. Makalah disajikan dalam
Kongres I Bahasa-Bahasa Daerah
Sulawesi Selatan, Makassar, 22-25 Juli.
Kayam, U. 1988. Memahami Roman Indonesia
Modern sebagai Pencerminan dan
Ekspresi Masyarakat dan Budaya
Indonesia: Suatu Refleksi. Dalam Esten,
Mursal (Ed.) 1988. Menjelang Teori
Kritik Susastra Indonesia yang Relevan
(hlm. 118-131). Bandung: Penerbit
Angkasa.
Mattulada. 1995. La Toa: Satu Lukisan Analistis
terhadao Antropologi Politik Orang
Bugis. Ujung Pandang: Sanuddin
University Press.
Nashir, Haedar. 2003. Menggali Kearifan
Menghalau Kerakusan (Online).
(http://www.republika.co.id/koran_detail.
asp?id=116166&kat_id=49&kat_id1=&k
at_id2= diakses tanggal 30 Juli 2007).
Pelras, Christian. 1996. The Bugis. London:
Bleckwell.
Rahim, A. Rahman. 1985. Nilai-Nilai Utama
Kebudayaan Bugis. Ujung Pandang:
Lephas UNHAS.
Said, Mashadi. 2003. Toddo Puli Temmalara:
Jendela dengan Kaca yang Bening
tentang Manusia Luwu. Makalah
disajikan dalam Seminar Internasional
dan Pestival Galigo, Masamba 10-14
Desember.
. 2002. Peran Sastra dalam
Pemahaman
Antar-Budaya.
Jurnal
Sastra & Bahasa, No. 1.
. 1998. Konsep Jati Diri Manusia
Bugis dalam Lontarak: Sebuah Telaah

D22

Vol. 2
ISSN : 1858 - 2559

Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup


Bugis. Disertasi Belum diterbitkan.
Malang: Program Pascasarjana IKIP
Malang.
. 1998. Konsep Kepimpinan
Bugis-Makassar. Majalah Kebudayaan .
Sewang H. Ahmad. 2007. Pelestarian Kearifan
Lokal Melalui Pewarisan Bahasa Bugis.
Makalah disajikan dalam Kongres I
Bahasa-Bahasa
Daerah
Sulawesi
Selatan, Makassar, 22-25 Juli.
Sutarto, Ayu. 2007. Bahasa, Sastra, dan
Kebudayaan Daerah di Tengah Proses
Homogenisasi
Budaya.
Makalah
disajikan dalam Kongres I BahasaBahasa Daerah Sulawesi Selatan,
Makassar, 22-25 Juli.
Wacik, Jero. 2005. Kearifan Lokal Seharusnya
Dapat
Atasi
Persoalan
Bangsa.
(Online).
(http://www.kompas.com/gayahidup/new
s/0508/05/184117.htm. Diakses tanggal
30 Juli 2007).
Wahid, Sugira. 2007. Pengungkapan dan
Pemantapan Jati Diri dan Kearifan
Lokal. Makalah disajikan dalam Kongres
I Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi
Selatan, Makassar, 22-25 Juli.
Tang, H. Mahmud. 2007. Nilai-Nilai Luhur dalam
Sastra
Daerah
yang
Mendasari
Keterjaminan
Sosial
Tradisional.
Makalah disajikan dalam Kongres I
Bahasa-Bahasa
Daerah
Sulawesi
Selatan, Makassar, 22-25 Juli.
Tang, Muh. Rapi. 2007. Reso sebagai Roh
Kehidupan Manusia Bugis: Budaya dari
Mental dan Fisik, Sebuah Refleksi dar
Lontarak. Makalah disajikan dalam
Kongres I Bahasa-Bahasa Daerah
Sulawesi Selatan, Makassar, 22-25 Juli.

Kearifan Lokal dalam Sastra


Said

Anda mungkin juga menyukai