D14
Vol. 2
ISSN : 1858 - 2559
Vol. 2
ISSN : 1858 - 2559
(toddo), yang memungkinkannya untuk menegakkan harkat dan martabat manusia sesuai
dengan kodratnya. Dengan demikian ia tidak
diombang-ambingkan oleh segala macam emosi, nafsu dan perasaan dangkal. Jadi, pengembangan sikap itu membuat kepribadian manusia
menjadi lebih kuat, lebih otonom dan lebih
mampu untuk menjalankan tanggung jawabnya.
Dalam Lontara Latoa ditekankan bahwa
bawaan hati yang baik menimbulkan perbuatan
yang baik pula, yang sekaligus menciptakan
ketertiban dalam masyarakat. Dalam memperlakukan diri sebagai manusia, bawaan hati
memegang peranan yang amat penting.
Bawaan hati yang baik mewujudkan kata dan
perbuatan yang benar yang sekaligus dapat
menimbulkan kewibawaan dan apa yang
diucapkan akan tepat pada sasarannya:
Makkedatopi
Arung
Bila,
eppa
tanrana
tomadeceng kalawing ati, seuani, passui ada
napatuju, maduanna, matuoi ada nasitinaja,
matellunna duppai ada napasau, maeppana,
moloi ada napadapi (Lontara Pappaseng
Toriolota: 164).
(Berkata pula Arung Bila, ada empat tanda orang
baik bawaan hatinya. Pertama, mengucapkan
kata yang benar. Kedua, menyebutkan kata yang
sewajarnya. Ketiga, menjawab dengan kata yang
berwibawa. Keempat, melaksanakan kata dan
mencapai sasarannya.)
yang
Baik
(good
D15
D16
Vol. 2
ISSN : 1858 - 2559
Demokrasi sebagai bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara terungkap dalam
sastra Bugis sebagai berikut.
Rusa taro arung, tenrusa taro ade,
Rusa taro ade, tenrusa taro anang,
Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega.
(Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat,
Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum
Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan
orang banyak)
Vol. 2
ISSN : 1858 - 2559
D17
D18
Vol. 2
ISSN : 1858 - 2559
3. Raja Bone yang bernama La Ica dibunuh oleh orang Bone karena kekejamannya.
4. Raja Bone yang bernama La Ulio Bote
(Sigendut) meninggal diamuk di kampung Utterung, karena dianggap berbuat
sewenang-wenang kepada rakyat.
5. Ketika Toangkone Ranreng Bettempola
pada abad XV dibuktikan menculik wanita yang bernama We Neba untuk diserahkan kepada temannya Opu Rajeng
dari Luwu, maka ia dijatuhi pidana
dipecat dengan tidak hormat lalu diusir
untuk seumur hidup.
6. La Temmasonge putra raja Bone La Patau Matanna Tikka pada tahun 1710 dipidana ripaoppangi tana (diusir keluar
Bone dan dibuang ke Buton) karena
membunuh Arung Tiboyong, seorang
anggota dewan pemangku adat Bone.
Raja Luwu menyingkirkan putrinya (yang
terserang penyakit kulit yang menular) dari istina
karena atas permintaan rakyat.
Motivasi berprestasi (Reso)
Dalam hal motivasi berprestasi, terungkap
dalam ungkapan Bugis dengan istilah reso
(usaha keras). Untuk mencapai prestasi reso
merupakan syarat utama. Hal ini menunjukkan
bahwa dalam perjuangan untuk mencapai suatu
keberhasilan, seseorang haruslah pantang menyerah; ia harus tampil sebagai pemenang.
Ungkapan Lontarak berikut mengisyaratkan
betapa pentingnya melakukan gerak cepat agar
orang lain tidak mendahului kita dalam
bertindak:
Vol. 2
ISSN : 1858 - 2559
Selain
pentingnya
menghargai
waktu/kesempatan,
pentingnya
seseorang
menghindari perbuatan memetik keuntungan
dari hasil jerih payah orang lain, tergambar
dalam ungkapan berikut.
D19
dengan konsep sipadepu-repu (saling memelihara). Sebaliknya, orang yang tidak mempedulikan kesulitan sanak keluarganya, tetangganya, atau orang lain sekali pun disebut bette
perru. Dalam kehidupan sehari-hari, manifestasi
kesehatian dan kerukunan itu disebutkan dalam
sebuah ungkapan Bugis:
tejjali tettappere , banna mase-mase.
D20
Vol. 2
ISSN : 1858 - 2559
demi
Kepatutan (Mappasitinaja)
Mappasitinaja berasal dari kata sitinaja yang
berarti pantas, wajar atau patut. Mappasitinaja
berarti berkata atau berbuat patut atau memperlakukan seseorang secara wajar. Definisi kewajaran diungkapkan oleh cendekiawan Luwu sebagaimana dikutip oleh Ambo Enre (1992)
sebagai berikut.
Ri pariajanngi ri ajannge, ri parialaui alaue, ri
parimanianngi maniannge, ri pariasei ri asee, ri
pariawai ri awae.
(Ditempatkan di Barat yang di Barat, ditempatkan
di Timur yang di Timur, ditempatkan di Selatan
yang di Selatan, ditempatkan di atas yang di
atas, ditempatkan di bawah yang di bawah.)
Vol. 2
ISSN : 1858 - 2559
D21
http://lib.ugm.ac.id/data/pubdata/sofiane
/budayabirokrasi.pdf. Diakses tanggal
30 Juli 2007.
Hakim, Zainuddin. 2007. Reaktulisasi Peran
Sastra Daerah dalam Pewarisan NilaiNilai Budaya. Makalah disajikan dalam
Kongres I Bahasa-Bahasa Daerah
Sulawesi Selatan, Makassar, 22-25 Juli.
Kayam, U. 1988. Memahami Roman Indonesia
Modern sebagai Pencerminan dan
Ekspresi Masyarakat dan Budaya
Indonesia: Suatu Refleksi. Dalam Esten,
Mursal (Ed.) 1988. Menjelang Teori
Kritik Susastra Indonesia yang Relevan
(hlm. 118-131). Bandung: Penerbit
Angkasa.
Mattulada. 1995. La Toa: Satu Lukisan Analistis
terhadao Antropologi Politik Orang
Bugis. Ujung Pandang: Sanuddin
University Press.
Nashir, Haedar. 2003. Menggali Kearifan
Menghalau Kerakusan (Online).
(http://www.republika.co.id/koran_detail.
asp?id=116166&kat_id=49&kat_id1=&k
at_id2= diakses tanggal 30 Juli 2007).
Pelras, Christian. 1996. The Bugis. London:
Bleckwell.
Rahim, A. Rahman. 1985. Nilai-Nilai Utama
Kebudayaan Bugis. Ujung Pandang:
Lephas UNHAS.
Said, Mashadi. 2003. Toddo Puli Temmalara:
Jendela dengan Kaca yang Bening
tentang Manusia Luwu. Makalah
disajikan dalam Seminar Internasional
dan Pestival Galigo, Masamba 10-14
Desember.
. 2002. Peran Sastra dalam
Pemahaman
Antar-Budaya.
Jurnal
Sastra & Bahasa, No. 1.
. 1998. Konsep Jati Diri Manusia
Bugis dalam Lontarak: Sebuah Telaah
D22
Vol. 2
ISSN : 1858 - 2559