Pertama, saya ingin menjelaskan mengenai perbedaan konsep jender dan seksualitas
untuk memahami persoalan ‘tidak semu laki-laki’. Jender dan Seksualitas adalah dua konsep
yang berbeda. Jender merupakan konstruksi sosial yang menentukan bagaimana seseorang
harus bersikap dan membentuk suatu pola yang dinamakan ‘Gender Arrangement’ atau
‘Pengaturan Jender’ (Connell, 2002). Pengaturan tersebut membentuk stereotip atas peran
seseorag dan stratifikasi atas kekuasaan, hak dan presties. Berbeda dengan konsep Jender,
ketika membicarakan Seksualitas tidak hanya sebatas mengidentifikasi penis dan vagina lalu
menetapkan dua seksualitas laki-laki dan perempuan atau heteroseksual tetapi berada pada
tatanan biologis, dilihat melalui genital atau alat kelamin, kromosom (gen X.Y), Hormon
(esterogen), seks sekunder, gonad (testis, ovarium) yang menjadi spektrum lalu,
menghadirkan istilah interseksual (Sterling, 2000).
Dengan kata lain, jender dan seksualitas adalah sebuah konsep yang berbeda. Kettika
kita membicarakan persoalan jender kita berbicara mengenai ketidaksetaraan jender dan
ketika membicarakan persoalan seksualitas kita berbicara mengenai pelecehan atau kekerasan
seksual. Berangkat dari kapampanye internasional ’16 Days of Activism Against Gender
Based Violence’ pada tanggal 25 November sampai dengan 10 Desember 2019, kampanye
tersebut fokus kepada issu kekerasan berbasis jender kususnya terhadap perempuan dan anak
perempuan. Kampanye ini diadakan setiap tahun sejak 1991 atas inisiasi ‘Women’s Global
Leadership Institute’ dari universitas Rutgers. Berkaitan dengan hal ini setiap kali kita
membicarakan tentang kesetaraan jender, feminisme, kekerasan atau pelecehan seksual tidak
jarang saya menemukan argumen ‘Not all men’ atau ‘tidak semua laki-laki’. Dilansir dalam
time.com penarasian atau argumen ‘Not all men’ menjadi argumen favorit para laki-laki.
Narasi ‘tidak semua laki-laki’ ini seperti ingin memberikan sebuah pengumuman bahwa tidak
semua laki-laki itu patriarki, seksis, suka mengobjektifikasi perempuan, melecehkan atau
melakukan kekerasan terhadap perempuan.
Wacana ‘tidak semua laki-laki’ seperti menjadi perlawanan balik oleh laki-laki
mengenai peristiwa kekerasa atau pelecehan seksual yang terjdi pada kaum perempuan.
Perlawanan mengani kekuasaan mereka sebagai laki-laki yang berkuasa. Lughod dalam
tulisanya ‘The Romance of Resistance: Tracing Transformations of Power Throught Bedouin
Women,’ mengutip Foucault mengenai analisis kekuasaan dan perlawanan, yakni ‘di mana
ada kekuasaan, disitu ada perlawanan’ ini berdasarkan proyeknya yang disebut sebagai
revolusi seksual. Kekuasaan bagi Foucault tidak hanya bekerja secara negatif, seperti
menindas,menyangkal, dan membatasi, tetapi juga bekerja secara positif, menghasilkan
kesenangan, sistem pengetahuan, dan wacana. Kemudian ia menambahkan pendapat pesimis
orang tentang pernyataan sebelumnya tentang kekuasaan dengan menambahkan bahwa
perlawanan tidak pernah berada dalam posisi eksterioritas dalam kaitannya dengan
kekuasaan.
Referensi
Foucault, M. 1977. Discipline and punish: The birth of the prison, .Alan Sheridan. New
Fausto-Sterling, A. 2000. ‘The Five Sexes Revisited’, The Sciences (July/August): 18-23.
Lughod, L.A. The Romace of Resistence: Tracing Transformation of power Thought Bedouin
“Not All Men: A Brife History of Every Dude’s Favorite Argument”, Time.com, 28 April,
dudes-favorite-argument/