Anda di halaman 1dari 3

Esai 2

Fadiah Sabila F -1706973155

‘Tidak Semua Laki-laki’


Wacana merupakan satuan yang lebih besar dari sebuah kalimat membentuk sebuah
perbincangan didalamnya, tersirat sebuah makna melalui ide atau gagasan dari hasil
dialektika dengan seorang penutur dan halayak yang dilandasi sebuah aturan tertentu. Segala
perbincangan, ujaran, pernyataan yang dilontarkan kepada halayak akan menimbulkan
dampak kepada masyarakat, terutama jika seorang penutur memilki kekuasaan dalam lingkup
sosial disekitarnya (Foucault, 1977). Berdasarkan pernyataan Foucault mengenai wacana
dapat disimpulkan bahwa sebuah narasi, argumen yang membentuk wacana tertentu dapat
memberikan dampak kepada masyarakat. Tulisan saya kali ini akan membahas mengenai
wacana yang hadir dalam lingkup kehidupan kita berkaitan dengan tubuh berdasarkan issu
jender dan seksualitas. Ada beragam wacana yang hadir di masyarakat berkaitan dengan issu
jender dan seksualitas yang tentunya dapat memberi dampak kepada kehidupan sosial setiap
individu. Seperti wacana ‘Not all men’ atau ‘Tidak semua laki-laki’.

Pertama, saya ingin menjelaskan mengenai perbedaan konsep jender dan seksualitas
untuk memahami persoalan ‘tidak semu laki-laki’. Jender dan Seksualitas adalah dua konsep
yang berbeda. Jender merupakan konstruksi sosial yang menentukan bagaimana seseorang
harus bersikap dan membentuk suatu pola yang dinamakan ‘Gender Arrangement’ atau
‘Pengaturan Jender’ (Connell, 2002). Pengaturan tersebut membentuk stereotip atas peran
seseorag dan stratifikasi atas kekuasaan, hak dan presties. Berbeda dengan konsep Jender,
ketika membicarakan Seksualitas tidak hanya sebatas mengidentifikasi penis dan vagina lalu
menetapkan dua seksualitas laki-laki dan perempuan atau heteroseksual tetapi berada pada
tatanan biologis, dilihat melalui genital atau alat kelamin, kromosom (gen X.Y), Hormon
(esterogen), seks sekunder, gonad (testis, ovarium) yang menjadi spektrum lalu,
menghadirkan istilah interseksual (Sterling, 2000).

Dengan kata lain, jender dan seksualitas adalah sebuah konsep yang berbeda. Kettika
kita membicarakan persoalan jender kita berbicara mengenai ketidaksetaraan jender dan
ketika membicarakan persoalan seksualitas kita berbicara mengenai pelecehan atau kekerasan
seksual. Berangkat dari kapampanye internasional ’16 Days of Activism Against Gender
Based Violence’ pada tanggal 25 November sampai dengan 10 Desember 2019, kampanye
tersebut fokus kepada issu kekerasan berbasis jender kususnya terhadap perempuan dan anak
perempuan. Kampanye ini diadakan setiap tahun sejak 1991 atas inisiasi ‘Women’s Global
Leadership Institute’ dari universitas Rutgers. Berkaitan dengan hal ini setiap kali kita
membicarakan tentang kesetaraan jender, feminisme, kekerasan atau pelecehan seksual tidak
jarang saya menemukan argumen ‘Not all men’ atau ‘tidak semua laki-laki’. Dilansir dalam
time.com penarasian atau argumen ‘Not all men’ menjadi argumen favorit para laki-laki.
Narasi ‘tidak semua laki-laki’ ini seperti ingin memberikan sebuah pengumuman bahwa tidak
semua laki-laki itu patriarki, seksis, suka mengobjektifikasi perempuan, melecehkan atau
melakukan kekerasan terhadap perempuan.

Wacana ‘tidak semua laki-laki’ seperti menjadi perlawanan balik oleh laki-laki
mengenai peristiwa kekerasa atau pelecehan seksual yang terjdi pada kaum perempuan.
Perlawanan mengani kekuasaan mereka sebagai laki-laki yang berkuasa. Lughod dalam
tulisanya ‘The Romance of Resistance: Tracing Transformations of Power Throught Bedouin
Women,’ mengutip Foucault mengenai analisis kekuasaan dan perlawanan, yakni ‘di mana
ada kekuasaan, disitu ada perlawanan’ ini berdasarkan proyeknya yang disebut sebagai
revolusi seksual. Kekuasaan bagi Foucault tidak hanya bekerja secara negatif, seperti
menindas,menyangkal, dan membatasi, tetapi juga bekerja secara positif, menghasilkan
kesenangan, sistem pengetahuan, dan wacana. Kemudian ia menambahkan pendapat pesimis
orang tentang pernyataan sebelumnya tentang kekuasaan dengan menambahkan bahwa
perlawanan tidak pernah berada dalam posisi eksterioritas dalam kaitannya dengan
kekuasaan.

Jika perempuan dalam gerakan perlawananya seperti kapmpanye ’16 Days of


Activism Against Gender Based Violence’, menyurakan tentang kekerasan seksual
khususnya yang terjadi pada perempuan dan anak perempuan. Sebagian laki-laki masih
merasa terganggu dengan gerakan tersebut, memaksak perempuan untuk memberikan ruang
dan gerakan yang tidak menggangu laki-laki, dibuktikan dengan adanya wacana ‘tidak semua
laki-laki’ ini. Pada kenyataannya ketika perempuan membicarakan tentang peristiwa
kekerasan seksual mereka tidak mengatakan bahwa semua laki-laki pasti melakukan hal yang
sama. Terlebih lagi argumen atau wacana yang dikemukakan tentang ‘tidak semua laki-laki’
tidak memberikan klarifikasi apapun tentang peristiwa kekerasan atau pelecehan seksual yang
terjadi. Pernyataan’ tidak semua laki-laki’ juga tidak mengembangkan diksusi apapu dan
sudah berada diluar topik permasalahan.
Namun, menurut saya argumen atau penarasian wacana ‘tidak semua laki-laki’ ini
problematik. Pertama, menurut saya narasi tersebut sudah merupakan bentuk interupsi
terhadap perempuan ketika sedang berbagi tentang permasalahanya menganai tindak
kekersaan atau pelecehan seksual. Kedua, saya melihat bahwa argumen atau narasi ‘tidak
semua laki-laki’ seperti menggeser fokus pembicaraan, seharusnya kita fokus kepada fakta
bahwa sampai saat ini perempuan masih menjadi korban pelecehan atau kekerasan seksual
yang dilakukan oleh laki-laki. Namun, argumen ini seolah ingin menjaga gambaran baik
tentang laki-laki dan menempatkan perempuan seolah menggeneralisir semua laki-laki pasti
seksis, suka mengobjektifikasi perempuan, melecehkan atau melakukan kekerasan terhadap
perempuan. Contoh, ketika kita merespon cetita pengalaman peremuan tentag pelecehan atau
kekerasan seksual, dibanding kita mengatakan ‘tidak semua laki-laki melakukan hal yang
sama’ atau ‘kamu belum tentu akan bertemu dengan laki-laki yang seperti itu lagi, kan tidak
semua laki-laki seperti itu’. Seharusnya kita memfalidasi kejadia yang dialami oleh seorang
perempuan dan memfalidatis atas apa yang ia rasakan dari kejadian itu.

Referensi

Connel, R.W. Gender. Cambridge: Polity Press. Bab 1, hlm. 1-11.

Foucault, M. 1977. Discipline and punish: The birth of the prison, .Alan Sheridan. New

York: Vintage, 1979, 3-31.

Fausto-Sterling, A. 2000. ‘The Five Sexes Revisited’, The Sciences (July/August): 18-23.

Lughod, L.A. The Romace of Resistence: Tracing Transformation of power Thought Bedouin

Women, American Ethnologist, Vol. 17, No. 1, 1990, 41-55.

“Not All Men: A Brife History of Every Dude’s Favorite Argument”, Time.com, 28 April,

2014. Dapat diakses dalam: https://time.com/79357/not-all-men-a-brief-history-of-every-

dudes-favorite-argument/

Anda mungkin juga menyukai