Anda di halaman 1dari 4

Pra-IWD : Memahami Pengalaman Perempuan

Oleh : Cashew

Prolog

“PEREMPUAN”

Saat mendengar kata perempuan, apa yang terlintas dalam benakmu? Tidak perlu berpikir
keras, sebutkan saja hal yang langsung terlintas di kepalamu, oke sepertinya aku bisa sedikit
menebak, mungkin ini yang secara otomatis muncul ketika mendengar kata perempuan, “jenis
kelamin”, “cantik”, “ibu”, “makhluk hidup dengan karaktersitik biologis berbeda dengan laki-laki”
atau mungkin jawaban lain (?). Dari sekian banyak pemikiran “otomatis” yang terlintas mengenai
perempuan, adakah darimu yang mengasosiasikan kata perempuan dengan “penindasan”
“perjuangan” “masalah” “berdaya” “perlawanan”. Ah, aku yakin tidak. Kalau pun ada mungkin 1
banding 20 dari orang yang membaca paper ini (emang yang baca sebanyak itu? wkwk). Loh
memang apa hubungannya kata perempuan dengan kata-kata di atas? Sebelum mengenal
feminisme juga aku berpikir bahwa kata perempuan sama sekali tidak ada kaitannya dengan kata-
kata itu. Setelah mengenal feminisme sejak satu tahun lalu, semuanya berubah. Kata perempuan
jadi lekat dengan “penindasan” dan “perjuangan”.

Barangkali kita familiar dengan kata perempuan atau sosok perempuan, tapi apakah kita telah
memahami pengalaman perempuan dengan baik?

Pengantar Singkat dalam Membaca Pengalaman Perempuan

Saat sedang menulis paper ini aku iseng memasukan kata “perempuan” ke mesin pencarian, lalu
beberapa judul berita muncul,

“5 Hal Yang Disukai Laki-Laki Dari Wanita”

“Bocah Menjadi Korban Kekerasan Seksual”

“Viral, Perempuan Menikah Beda 18 Tahun”

Sengaja aku tidak memasukkan kata pencarian yang spesifik, ya namanya juga iseng kan
haha. Tapi dari judul berita yang muncul ini sedikit menggambarkan realitas yang terjadi hari ini,
yakni perempuan masih hidup untuk memenuhi standar patriarkal di masyarakat, patriarki dalam
pengertian sederhananya adalah “menjalani kehidupan dari sudut pandang lelaki, hidup untuk
memenuhi apa yang menurut lelaki baik”. Selain itu judul berita diatas juga memunculkan sedikit
bentuk penindasan yaitu kekerasan seksual. Ya selain masih mengikuti hidup dengan standar
patriarki, penindasan terhadap perempuan juga belum berhenti.

Ketika membayangkan “penindasan” terhadap perempuan? Apa yang muncul dalam


benakmu? (aduh aku memang selalu ingin tahu apa yang terlintas di pikiran orang). Dalam beberapa
kesempatan diskusi dengan kawan-kawan, saat mendengar kata penindasan, mereka cenderung
mengidentikkan antara penindasan dengan kekerasan. Kekerasan memang bagian dari penindasan
tapi hanya satu dari sekian banyak. Nah pemahaman yang tidak utuh mengenai konsep penindasan
membuat (banyak) perempuan tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya mengalami penindasan.
Bahkan selama ini konstruk gender yang ada membuat kita justru menormalisasi penindasan,
menganggap penindasan yang kita alami sebagai wujud “keutuhan sebagai perempuan”, jleb.
Dalam upaya memahami pengalaman perempuan dengan baik, ada beberapa pemahaman
pengantar yang kita perlukan. Pertama, mengenai sistem gender dan seks (jenis kelamin). Ada
definisi menarik dari Gayle Rubin mengenai sistem gender :

“Suatu rangkaian pengaturan yang digunakan oleh masyarakat untuk mentransformasi


seksualitas biologis menjadi produk kegiatan manusia.”

Masyarakat patriarkal menggunakan fakta tertentu mengenai fisiologi perempuan dan laki-
laki (kromosom, anatomi, hormon) sebagai dasar untuk membangun serangkaian identitas dan
perilaku “maskulin” dan “feminine” yang berlaku untuk memberdayakan laki-laki dan melemahkan
perempuan. Pembentukkan konstruk gender telah terjadi sejak lama bahkan diinternalisasi,
disosialisasikan melalui institusi keluarga, pendidikan, bahkan negara. Sehingga kita kerap berpikir
bahwa serangkaian sikap, sifat yang melekat pada jenis kelamin merupakan sesuatu yang sifatnya
kodrati dan menyalahinya seakan melanggar ketentuan Tuhan.

Konstruk gender melahirkan banyak bentuk ketidakadilan baik bagi laki-laki dan khususnya
bagi perempuan. Konstruk gender berdampak pada aspek politik, budaya, ekonomi perempuan.
Selama ini kita hidup dengan konstruk gender, coba renungkan sedetik (udah?), oke contoh yang
sepertinya dekat dan mudah dipahami adalah anggapan bahwa kodrat wanita adalah mengurusi
tugas domestik, bagi kamu yang berada di keluarga dengan kedua orang tua yang bekerja apakah
kamu pernah melihat perbedaan aktivitas antara ibu dan ayahmu setelah pulang kerja? Biasanya
setelah pulang kerja ayah berisitirahat, ibu merapikan rumah, menyiapkan makan, mengurus anak.
Fenomena ini disebut beban ganda. Padahal kalau dipikirkan tugas domestik bukan sesuatu yang
bersifat kodrati, siapapun busa melakukannya. Ini tentu bukan salah individu, ini masalah sistem
tidak adil yang terus menerus direproduksi.

Dalam upaya melawan ketimpangan akibat konstruk gender ini pertama-pertama kita perlu
memahami bahwa seluruh konstruk yang melekat pada jenis kelamin bukanlah takdir ataupun
alamiah. Perempuan tidak ditakdirkan menjadi pasif, lelaki tidak ditakdirkan menjadi aktif begitupun
sebaliknya. Kemudian kita perlu memahami setiap orang dapat mengembangkan kombinasi apapun
dari sifat feminine dan maskulin yang paling baik untuk merefleksikan kepribadian masing-masing
individu.

Selain pemahaman mengenai konstruk gender, pemahaman lain untuk membaca


“pengalaman” perempuan adalah memahami kapitalisme. Iya sistem ekonomi ini juga berkontribusi
besar dalam melanggengkan penindasan terhadap perempuan. Ketimpangan gender yang terjadi
dilanggengkan oleh kapitalis untuk mendaptkan perempuan sebagai pekerja upah murah. Tidak
berhenti disitu, fungsi reproduksi perempuan juga dimanfaatkan untuk menghasilkan tenaga kerja
produktif. Konstruk gender mengenai perempuan dan tugas domestic telah menguntungkan
kapitalis dalam waktu yang lama

Konstruk gender, budaya patriarki, dan kapitalisme menghasilkan beragam bentuk


penindasan terhadap perempuan. Ada beberapa bentuk umum yang terjadi seperti streotipe,
subordinasi, marjinalisasi, kekerasan, dan beban ganda. Bentuk penindasan ini terus muncul dari
waktu ke waktu dalam konteks kehidupan perempuan.

IWD : Cerita Tentang Melawan Opresi Terhadap Perempuan

Sejarah mengenai International Womens Day barangkali terus menerus diulang setiap
tahunnya. Tapi cerita ini aku rasa perlu diulang minimal satu tahun sekali saat mendekati hari
peringatannya. Sebab melalui fakta sejarah ini kita dapat membaca pola tentang bagaimana
perempuan bergerak dalam melawan opresi yang dialaminya.

Pada 8 Maret 1907 telah terjadi aksi demonstrasi yang melibatkan lebih dari 15 ribu
perempuan buruh pabrik tekstil di New York. Tepat dua tahun kemudian, digelar unjuk rasa besar-
besaran oleh Socialist Party of America (SPA) atau Partai Sosialis Amerika di New York pada 8
Maret 1909. Kaum buruh perempuan yang digalang partai ini menuntut hak berpendapat dan
berpolitik. Gerakan ini dimotori Theresa Malkiel, aktivis perempuan kelahiran Rusia, tepatnya
Ukraina yang merupakan buruh pabrik garmen di New York sejak berusia 17 tahun.
Aksi di New York ini memicu gerakan-gerakan serupa di beberapa negara Eropa pada 19
Maret 1909 dengan tujuan sama, yakni memperjuangkan hak pilih untuk kaum perempuan. Aksi-aksi
ini melibatkan lebih dari satu juta orang dari seluruh dunia. Pada bulan yang sama, terjadi kebakaran
di New York yang menewaskan 146 orang buruh perempuan. Musibah ini sontak menjadi sorotan,
termasuk kondisi dan perlakuan buruk yang dialami kaum buruh wanita kala itu. Hal ini semakin
menguatkan tekad bahwa kaum perempuan sedunia harus bergerak bersama demi kesetaraan.
Tanggal 26 dan 27 Agustus 1910, diselenggarakan International Socialist Women's
Conferences atau Konferensi Perempuan Sosialis Internasional di Kopenhagen, Denmark, yang
dihadiri perwakilan dari puluhan negara di dunia. Sebelumnya, perhelatan serupa juga pernah dihelat
di Stuttgart, Jerman, pada 17 Agustus 1907. Di Kopenhagen, sosialis Jerman bernama Luise Zietz
mengusulkan agar Hari Perempuan Sedunia segera dikukuhkan.

Kondisi Dan Perjuangan Perempuan Hari Ini

Bagaimana kondisi perempuan hari ini? Apakah di tengah dunia yang modern ini kita telah
lepas dari segala bentuk penindasan? Jawabannya tentu saja kamu sudah tahu kan? Jelas belum.
Bentuk-bentuk opresi jelas sulit dihapuskan meski bukan berarti tidak ada kemajuan dalam
pemerolehan hak perempuan. Misalnya saja dalam sektor ekonomi, permasalahan upah buruh
perempuan masih menjadi masalah yang tidak terselesaikan hingga kini, belum lagi masalah hak
pekerja perempuan yang tidak diakomodir dengan baik. Dalam sector kultural dan udaya, narasi
merendahkan perempuan dan pemikiran bahwa perempuan adalah objek seks masih banyak terjadi,
kombinasi antara pemikiran ini dengan ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki perempuan
membuat perempuan lebih rentan menjadi korban kekerasan, salahsatunya kekerasan seksual. Lalu
apalagi? Ah banyak sekali.

Pada bulan-bulan awal mempelajari feminisme, aku kerap merasa “kewalahan” dalam artian
aku merasa penindasan terhadap perempuan ini terjadi di semua sektor serta sangat sistematis
seakan opresi ini sudah mapan dan sulit digubris. Sebagai yang masih baru, aku berupaya mencari
jawaban tentang apa yang harus ku lakukan untuk menghadapi penindasan yang mapan ini?
Kemudian banyak yang menjawab “berjuang dalam kolektif, jangan berjuang sendiri, membangun
kesadaran dan kekuatan baru.” Iya pola gerak berkolektif ini sama seperti yang terjadi saat 8 Maret
1907. Dari sejarah IWD kita memahami bahwa kesadaran kolektif perempuan akan penindasan
maupun kelas dapat melahirkan kekuatan besar untuk mengguncang sistem yang sudah mapan.
Kesadaran ini yang akan mendorong kita membentuk strategi yang mapan dalam melawan
penindasan.

Epilog
Jika ini pertama kalinya kamu bergabung dalam diskusi yang membahas isu perempuan,
mungkin respon pertama yang muncul di kepala mu setelah mendengar cerita penindasan ini adalah
“oh emang iya ya?” “kayanya aku ga mengalami/melakukan itu”. Itu respon yang menurutku wajar,
dan juga merupakan tanda bahwa kamu perlu mendalami lebih mengenai pengalaman atau
membaca kondisi sekitar dengan lebih mendalam. Kesadaran akan penindasan akan mengantarkan
kita pada suatu kekuatan yang mendorong diri untuk bergerak. Kesadaran akan penindasan akan
mendorong kita untuk memutus rantai ketidakadilan. Semoga sedikitnya apa yang kita bahas hari ini
bisa mendorong kesadaran yang baru. Sekian.

Anda mungkin juga menyukai