Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hingga hari ini, perempuan di berbagai belahan dunia masih rentan menjadi objek kekerasan,
baik karena faktor budaya, relasi kuasa, maupun politik. Data PBB menyebutkan, sebanyak 35
persen perempuan di dunia ini pernah mengalami kekerasan fisik maupun seksual. Kemudian
ada 750 juta perempuan dipaksa menikah di usia dini. Lalu ada 200-an juta perempuan yang
disunat organ genitalianya. Kemudian lagi, 71 persen kasus perdagangan manusia adalah
korban perempuan. Tiga dari empat diantara mereka pernah mengalami eksploitasi seksual.
Di Indonesia, berdasarkan catatan Komnas Perempuan, sepanjang 2016 terjadi 259.150 kasus
kekerasan terhadap perempuan. Sebagian besar terjadi di ranah personal, terutama dalam
rumah tangga dan relasi/orang dekat (pacar, dll).

Sahabat perempuan dan anak, fenomena kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
terhadap kaum perempuan di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Menyikapi hal
tersebut pemerintah terus berupaya menangani kasus KDRT yang tingkat terjadinya sangat
tinggi di Indonesia, salah satunya dengan melakukan Survei Pengalaman Hidup Perempuan
Nasional (SPHPN) Tahun 2016 untuk mengetahui apa saja bentuk-bentuk kekerasan dalam
rumah tangga serta apa saja faktor penyebab tingginya kasus kekerasan dalam rumah tangga
yang menimpa kaum perempuan, khususnya dalam kekerasan fisik dan seksual, untuk
mencari jalan keluar dalam menangani masalah tersebut.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, yang


diperingati tiap tanggal 25 November, punya sejarah panjang dan heroik.

Seperti apa sejarahnya dan seberapa penting untuk diperingati hari ini, silahkan simak 5 fakta
berikut:

Penghormatan untuk Mirabal Bersaudara

Pemilihan tanggal 25 November sebagai Hari Internasional Penghapusan Kekerasan Terhadap


Perempuan dimaksudkan untuk menghormati pengorbanan tiga bersaudara, yaitu Minerva,
Maria dan Patria, yang dibunuh oleh rezim diktator Dominika pada 25 November 1960.

Ketiga perempuan bersaudara ini, yang sering disebut “Mirabal Bersaudara”, sangat aktif
menentang kediktatoran Jenderal Rafael Trujillo. Tidak hanya dengan pamplet, tetapi turut
mengorganisir perlawanan bawah tanah. Mereka memakai nama sandi Las Mariposas, yang
berarti kupu-kupu.

Rezim Trujillo gerah dengan perlawanan ini. Para aktivis ditangkapi, termasuk tiga bersaudara
dan suaminya. Namun, karena tekanan internasional, tiga bersaudaran dibebaskan. Tetapi
tidak dengan suami-suami mereka.

Akhirnya, pada 25 November 1960, dalam perjalanan pulang usai menjenguk suami di
penjara, tiga bersaudara menumpang jeep di tengah malam. Di tengah jalan, jeep mereka
dihadang pasukan loyalis Trujillo. Tiga bersaudara diseret keluar, lalu dihajar hingga tewas.
Mayatnya dimasukkan ke dalam Jeep, lalu didorong masuk jurang, seolah-olah kecelakaan
tunggal.
Tetapi tindakan busuk rezim Trujillo itu terendus juga oleh rakyatnya. Kemarahan rakyat
meledak. Tahun 1961, Trujillo tewas dibunuh. Dan tak lama setelah itu, Mirabal bersaudara
mulai diangkat sebagai ikon perjuangan demokrasi dan feminis di Amerika latin.

Digagas Pertama di Amerika Latin

Tahun 1981, gerakan feminis di Amerika latin dan Karibia mulai menggelar pertemuan dua
tahunan untuk membahas gerakan perempuan di kawasan itu.

Pertemuan tahun itu berlangsung di Bogota, Kolombia. Kelompok feminis yang hadir terbelah
dua, antara yang bernuansa LSM dan gerakan politik radikal.

Yang menarik, kendati polarisasi itu sulit didamaikan, tetapi kedua kubu sepakat untuk
menjadikan tanggal 25 November, hari terbunuhnya Mirabal bersaudara, sebagai hari aksi
massa menentang kekerasan terhadap perempuan.

Diakui dan Ditetapkan PBB

Pada Desember 1999, tepatnya 17 Desember 1999, ketika PBB dipimpin oleh Kofi Annan,
tanggal 25 November ditetapkan sebagai Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan
Terhadap Perempuan.

Tetapi, pada 2008, Sekjend PBB Ban Ki-Moon menamai 25 November sebagai “Orange Day”.
Kampanyenya disebut “Bersatu Mengakhiri Kekerasan Terhadap Perempuan” atau “UNiTE to
End Violence against Women”.

Berlangsung selama 16 Hari

Untuk memaksimalkan kampanye penghapusan kekerasan terhadap perempuan ini,


termasuk pentingnya penyadaran dan aksi konkretnya, maka kampanye Hari Internasional
untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan berlangsung selama 16 hari, yakni dari
25 November sampai 10 Desember.

Nah, dalam 16 hari itu, ada beberapa hari penting, seperti 1 Desember (Hari AIDS sedunia), 2
Desember (Hari Internasional untuk Penghapusan Perbudakan), 3 Desember (Hari
Internasional bagi Penyandang Cacat), 5 Desember (Hari Internasional bagi Sukarelawan), 6
Desember (Hari Tidak Ada Toleransi bagi Kekerasan terhadap Perempuan), dan 10 Desember
(Hari HAM Sedunia).

B. HKATP

HAKTP yang berlangsung lebih dari dua minggu ini memberi kesempatan pada kita semua
untuk melakukan berbagai hal penting dalam upaya membangun strategi memberikan
pemahaman soal kekerasan berbasis gender, khususnya yang dialami oleh perempuan.
Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan setiap
tahunnya. Peringatan ini digagas pertama kali kali digagas oleh Women’s Global Leadership
Institute tahun 1991 yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership.

Lalu mengapa kekerasan perempuan dapat terjadi? Bagaimana awal mula perempuan
mendapatkan kekerasan hingga saat ini? Dr. Lidwina Inge N. SH. M.Si, Dosen Hukum,
Masyarakat dan Pembangunan FH UI, menjelaskan awal mula terjadi kekerasa pada
perempuan ialah konstruksi nilai dan budaya yang diketahui oleh masyarakat itu cenderung
untuk lebih banyak meletakan kelompok tertentu pada situasi relasi kuasa yang tidak
seimbang.

“Nah situasi relasi kuasa yang tidak seimbang ini mengapa tercipta? Kalau beberapa
penjelasan itu terkait dengan soal akses. Karena akses sumber daya yang terbatas. Tapi
sebetulnya kalau kita merujuk ke dalam konteks perkembangan manusia, sejarah manusia
yang ada di bumi ini sebetulnya awalnya pembagian kerja, kemudian juga soal akses ini tidak
segregrasi demikian. Kalau boleh dikatakan dalam beberapa temuan arkeologis sebetulnya
perempuan dan laki-laki punya tanggung jawab yang sama,” paparnya dalam acara ‘See The
Unseen, di Universitas Indonesia, Depok, Selasa (26/11).
Inge, sapaan akrab Lidwina menambahkan perempuan punya kapasitas terkait dengan
kemampuannya untuk meneruskan keturunan, mengandung, melahirkan, namun pada waktu
itu belum ada penjelasan ilmiah tentang proses mengandung dan melahirkan. Kemudian
banyak orang berpikir, jika sampai perempuan tidak sesuai kodratnya berbahaya. Kenapa?
karena penerus keturunan ini akan terganggu prosesnya

Dari sanalah, mulai ada aturan-aturan yang sedapat mungkin menempatkan perempuan pada
situasi tertentu sebagai kelompok yang harus dijaga. inilah asal mula mengapa di dalam
pengaturan soal perlindungan hak perempuan ada pendekatan yang sifatnya protektif.
Karena dianggap bahwa situasi yang dialami perempuan itu harus berada dalam suatu bentuk
perlindungan.

Sayangnya hal ini dibaca sebagai suatu hal yang merupakan kelemahan. Sehingga kemudian
perempuan dianggap sebagai properti, perempuan adalah objek. Ketika perempuan
menjadi maka semua hal boleh dilakukan terhadap perempuan.

“Dapatkan dibanyangkan misalnya dalam sebuah relasi, hubungan, kalau hubungan itu belum
melibatkan emosi, belum melibatkan perasaan, maka kemungkinan hubungan itu menjadi
besar. Tetapi ketika hubungan itu menjadi lebih intens, maka kemudian nilainya bergeser,
relasinya juga bergeser dan kemudian yang terjadi adalah teman-teman akan mendapati
bahwa mulai berlaku aturan-aturan tertentu yang sebetulnya itu bukan disepakati bersama
mungkin saja,” ucapnya.

Pada saat itulah kita mulai melakukan apa yang disebut sebagai on/off terhadap siapa?
Terhadap perempuan. Jika misalnya pasanganmu yang bakal dikontrol oleh grupnya. Gimana
caranya “kok elu biarin sih, cewek elu pergi malem-malem, kok elu biarin sih elu dilawan sama
cewek elu, kok elu biarin sih cewek elu ip-nya lebih tinggi dan sebagainya”. Itulah yang
disentuh adalah soal degnitif, sebetulnya nilai diri kita sebagai manusia bukan disitu.

“Terkait dengan kemudian mengapa soal kekerasan ini kemudian menjadi begitu lekat di
masyarakat terutama di masyarakat Indonesia karena sekali lagi nilai itu terus menerus di
lestarikan. Bagaimana caranya? dengan berbagai hal. Teman-teman mungkin sudah beberapa
bulan yang lalu teman-teman mendapat posting poster-poster yang menampakan bahwa
kami tidak perlu gender, kami tidak perlu feminisme, saya katakan sekarang, kalo teman-
teman tidak perlu gender, maka kemungkinan kita ini apa? Siapakah kita? kita tidak bisa
melepaskan diri kita dari jenis kelamin kita dari gender kita. Jenis kelamin terbeli, gender di
konsumsi, tetapi yang bisa kita lakukan adalah merubah konstruksi itu sehingga kemudian
tidak menempatkan kita lagi di dalam lingkungan yang tidak seimbang,” ujarnya.

C. Bentuk-Bentuk Kekerasan Pada Perempuan

Hasil SPHPN 2016 mengungkapkan beberapa jenis kekerasan yang dialami perempuan
berumur 15-64 tahun baik oleh pasangan maupun bukan pasangan dalam periode 12 bulan
terakhr maupun semasa hidup. Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami perempuan
diantaranya yaitu kekerasan fisik, meliputi tindakan memukul, menampar, menendang,
mendorong, mencengkram dengan keras pada tubuh pasangan dan serangkaian tindakan fisik
lainnya. 18,3% perempuan yang sudah menikah dengan jenjang usia 15-64 tahun telah
mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual. Kekerasan fisik mendominasi kasus KDRT pada
perempuan yaitu sebesar 12,3% dibandingkan kekerasan seksual sebesar 10,6% (SPHPN,
2016).

Kekerasan emosional atau psikologis, bentuknya meliputi tindakan mengancam, memanggil


dengan sebutan yang tidak pantas dan mempermalukan pasangan, menjelek-jelekan dan
lainnya. Sebanyak 1 dari 5 perempuan yang sudah menikah pernah mengalami kekerasan
emosional yakni sebesar 20,5%.

Sedangkan untuk kekerasan ekonomi, dapat berupa meminta pasangan untuk mencukupi
segala keperluan hidupnya seperti memanfaatkan atau menguras harta pasangan. Sebanyak
1 dari 4 perempuan juga mengalami kekerasan ekonomi atau sebesar 24.5%. Semakin tinggi
tingkat kesejahteraan masyarakat maka tingkat kekerasan yg dialami perempuan semakin
rendah.
Bentuk kekerasan lainnya yaitu kekerasan seksual seperti memeluk, mencium, meraba hingga
memaksa untuk melakukan hubungan seksual dibawah ancaman. Angka kekerasan seksual
dalam KDRT pada perempuan yaitu sebesar 10,6%.

Kekerasan selanjutnya yaitu pembatasan aktivitas oleh pasangan, kekerasan ini banyak
menghantui perempuan dalam kehidupan rumah tangganya, seperti pasangan yang terlalu
posesif, terlalu mengekang, sering menaruh curiga, selalu mengatur apapun yang dilakukan,
hingga mudah marah dan suka mengancam. Kekerasan ini merupakan jenis kekerasan yang
paling sering dialami perempuan yang sudah menikah, hingga mencapai 42,3%.

Berdasarkan data jumlah bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi pada perempuan diatas
dapat disimpulkan bahwa kekerasan yang paling sering dialami kaum perempuan, yaitu
pembatasan aktivitas, disusul oleh kekerasan ekonomi, kemudian kekerasan
emosional/psikis, lalu kekerasan fisik dan terakhir kekerasan seksual.

D. Faktor-Faktor Penyebab KDRT

Sahabat, tahukah anda apa saja faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya KDRT
khususnya secara fisik dan seksual terhadap perempuan oleh pasangannya? Berdasarkan
hasil SPHPN Tahun 2016 mengungkapkan terdapat 4 (empat) faktor penyebab terjadinya
kekerasan fisik dan/atau seksual terhadap perempuan yang dilakukan oleh pasangan yaitu
faktor individu, faktor pasangan, faktor sosial budaya, dan faktor ekonomi.

Faktor individu perempuan, jika dilihat dari bentuk pengesahan perkawinan, seperti melalui
kawin siri, secara agama, adat, kontrak, atau lainnya perempuan yang menikah secara siri,
kontrak, dan lainnya berpotensi 1,42 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau
seksual dibandingkan perempuan yang menikah secara resmi diakui negara melalui catatan
sipil atau KUA.

Selain itu, faktor seringnya bertengkar dengan suami, perempuan dengan faktor ini beresiko
3,95 kali lebih tinggi mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual, dibandingkan yang jarang
bertengkar dengan suami/pasangan. Perempuan yang sering menyerang suami/pasangan
terlebih dahulu juga beresiko 6 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual
dibandingkan yang tidak pernah menyerang suami/pasangan lebih dahulu.

Faktor pasangan, perempuan yang suaminya memiliki pasangan lain beresiko 1,34 kali lebih
besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan perempuan yang suaminya
tidak mempunyai istri/pasangan lain. Begitu juga dengan perempuan yang suaminya
berselingkuh dengan perempuan lain cenderung mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual
2,48 kali lebih besar dibandingkan yang tidak berselingkuh.

Disamping itu, ada pula perempuan yang memiliki suami menggangur beresiko 1,36 kali lebih
besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang pasangannya
bekerja/tidak menganggur. Faktor suami yang pernah minum miras, perempuan dengan
kondisi suami tersebut cenderung 1,56 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau
seksual dibandingkan yang suaminya tidak pernah minum miras. Begitu juga dengan
perempuan yang memiliki suami suka mabuk minimal seminggu sekali, beresiko 2,25 kali lebih
besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang tidak pernah mabuk.

Perempuan dengan suami pengguna narkotika beresiko mengalami kekerasan fisik dan/atau
seksual 2 kali lebih besar dibandingkan yang tidak pernah menggunakan narkotika.
Perempuan yang memiliki suami pengguna narkotika tercatat 45,1% mengalami kekerasan
fisik, 35,6% mengalami kekerasan seksual, 54,7% mengalami kekerasan fisikdan/seksual,
59,3% mengalami kekerasan ekonomi, 61,3% mengalami kekerasan emosional/psikis, dan
yang paling tinggi yaitu 74,8% mengalami kekerasan pembatasan aktivitas. Selain itu faktor
suami yang pernah berkelahi fisik dengan orang lain, perempuan dengan suami kondisi ini
beresiko 1,87 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang
tidak pernah berkelahi fisik.

Faktor ekonomi, perempuan yang berasal dari rumahtangga dengan tingkat kesejahteraan
yang semakin rendah cenderung memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami kekerasan
fisik dan/atau seksual oleh pasangan. Perempuan yang berasal dari rumahtangga pada
kelompok 25% termiskin memiliki risiko 1,4 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik
dan/atau seksual oleh pasangan dibandingkan kelompok 25% terkaya. Aspek ekonomi
merupakan aspek yang lebih dominan menjadi faktor kekerasan pada perempuan
dibandingkan dengan aspek pendidikan. Hal ini paling tidak diindikasikan oleh pekerjaan
pelaku yang sebagian besar adalah buruh, dimana kita tahu bahwa tingkat upah buruh di
Indonesia masih tergolong rendah dan hal ini berdampak pada tingkat kesejahteraan
rumahtangga.

Faktor sosial budaya, seperti timbulnya rasa khawatir akan bahaya kejahatan yang
mengancam. Perempuan yang selalu dibayangi kekhawatiran ini memiliki risiko 1,68 kali lebih
besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan, dibandingkan mereka yang
tidak merasa khawatir. Perempuan yang tinggal di daerah perkotaan memiliki risiko 1,2 kali
lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dibandingkan mereka
yang tinggal di daerah perdesaan

E. Bentuk Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan

Dari sekian banyak faktor yang memicu terjadinya KDRT, perlu kita pahami bahwa pentingnya
konsep kesetaraan dalam keluarga adalah kunci dalam menghentikan tindak KDRT. Dalam
keluarga terbagi peran-peran yang dijalankan oleh laki-laki dan perempuan dimana peranan
ini menentukan berbagai pengambilan keputusan, serta nilai-nilai luhur termasuk nilai
kesetaraan dan keadilan gender yang ditanamkan. Nilai-nilai ini semestinya bisa
dikomunikasikan di awal pembentukan keluarga yakni pada jenjang pernikahan. Perlu adanya
komitmen yang kuat yang terbangun baik dalam pribadi laki-laki maupun perempuan, untuk
mengemban semua konsekuensi yang hadir ketika formasi keluarga telah terbentuk.
Komitmen yang telah terbentuk tersebut diharapkan mampu membangun komunikasi dua
arah di antara suami dan istri yang berimplikasi pada keutuhan keluarga, sehingga kasus KDRT
pun dapat tereliminasi.

Perlu kita pahami bersama bahwa, hubungan suami istri, bukanlah hubungan “ Atasan dengan
Bawahan” atau “Majikan dan Buruh” ataupun “Orang Nomor satu dan orang belakang”,
namun merupakan hubungan pribadi-pribadi yang “demokratis”, pribadi-pribadi yang
menyatu kedalam satu wadah kesatuan yang utuh yang dilandasi oleh saling membutuhkan,
saling melindungi, saling melengkapi dan saling menyayangi satu dengan yang lain untuk
sama-sama bertanggungjawab di lingkungan masyarakat dan dihadapan Tuhan Yang Maha
Esa.

Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen


PPPA) sebenarnya telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga guna menyikapi maraknya fenomena KDRT
yang terjadi di masyarakat. Pemerintah menilai setiap warga negara berhak mendapatkan
rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan. Setiap warga negara, termasuk
perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar
dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang
merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.

Menyikapi tingginya kasus KDRT di Indonesia, Kemen PPPA menginisiasi berbagai program,
diantaranya rumah tangga tangguh. Kemen PPPA menyasar target edukasi pada pasangan-
pasangan yang sedang mempersiapkan pernikahan (pra nikah) untuk mencegah tindakan
kekerasan yang akhirnya berujung perceraian. Rumah tangga tangguh diharapkan dapat
melahirkan anak-anak yang berkualitas sebagai generasi penerus bangsa, dibutuhkan
kerjasama semua pihak untuk mendukung program keluarga tangguh, meningkatkan
pendidikan, pengetahuan, dan mengubah pola pikir pasangan yang akan menikah tentang
konsep keluarga harmonis. Kemen PPPA juga akan melakukan edukasi sejak dini kepada anak-
anak sekolah, terutama remaja puteri sebagai persiapan untuk menjalani kehidupan
pernikahan dan rumah tangganya kelak.

Pelibatan pihak ketiga dalam proses mediasi ketika terjadi permasalahan diperlukan, jika tidak
bisa ditangani, segera laporkan ke Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan
dan Anak (UPTD PPA) atau ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak
(P2TP2A) atau ke Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) Polres setempat. Jangan
menunggu hingga kasusnya terlalu fatal sehingga sulit untuk diselesaikan. Catatkan
pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) agar bisa dilindungi oleh negara berdasarkan
peraturan dan perundang-undangan yang berlaku
Wanita memang lebih rentan terhadap kekerasan. Maka sebelum Anda menjadi korban
kekerasan dari kekasih atau orang lain sebaiknya kenali dulu empat bentuk kekerasan fisik
serta hukuman yang berlaku di Indonesia.

Kekerasan sendiri dibagi menjadi tiga kelompok, kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Ketua
Sub Komisi Pemulihan Komnas Perempuan, Sri Nurherwati menjelaskan, kebijakan
pemerintah mengenai kekerasan ialah zero tolerance yang berarti kekerasan sekecil apa pun
tetap termasuk kekerasan. Hukum itu sudah berlaku sejak tahun 1995-an.

Untuk kekerasan terhadap perempuan mengacu pada deklarasi PBB sebagai dasar hukum
internasional, UU PKDRT, Trafficking, serta Undang-Undang perlindungan anak. Sedangkan
hukum dalam KUHP hanya menyangkut kekerasan fisik saja.

"Hukum kekerasan dari KUHP itu kan hanya kekerasan fisik saja, itu juga dibedakan antara
ringan, berat, dan sampai matinya orang ada degedrasinya," jelas Nurherwati saat
diwawancarai oleh wolipop di kantor Komnas Perempuan, Jalan Latuharhary 4B, Jakarta
Pusat, Selasa (29/1/2013).

Oleh karena itu, sebelum menjadi korban dari para pria yang tak bertanggung jawab, yuk
kenali empat bentuk kekerasan fisik dan hukumannya.
Kekerasan Ringan

Yang termasuk kekerasan ringan berarti tidak membuat seseorang terhambat melakukan
aktivitasnya, seperti mencubit atau memukul yang tidak menimbulkan pasangan cedera.
"Kalau dicubit biru dia masih bisa (beraktivitas) itu masuk ringan," ujar Nurherwati.

Hukuman untuk kekerasan fisik ringan paling lama tiga bulan penjara dan denda sebanyak-
banyaknya Rp 4.500,-. Hal ini tercantum dalam pasal 352 KUHP.

Kekerasan Sedang

Kekerasan sedang adalah jika kekerasan fisik menyebabkan seseorang masuk rumah sakit tapi
tidak membuat dia cacat itu termasuk sedang. "Kalau yang sedang itu sakit tapi terus butuh
perawatan khusus," papar wanita lulusan Hukum dari Universitas Padjajaran.
Hukum yang berlaku untuk kekerasan sedang paling lama lima tahun penjara. Terdapat dalam
pasal 351 KUHP.

Kekerasan Berat

Kekerasan berat merupakan kekerasan yang bisa membuat pasangan cacat fisik. Nurherwati
mencontohkan, bila seorang penjahit dicubit sampai tangannya bengkak sehingga tak bisa
menggunakan tangan lagi untuk menjahit tergolong kekerasan berat.

"Meskipun dia ibu rumah tangga dan tak bisa menjalankan fungsinya sebagai ibu rumah
tangga masuk ke berat," ujarnya. Hukumannya penjara paling lama sepuluh tahun.

Kekerasan yang Sebabkan Kematian

Kekerasan fisik yang menyebabkan seseorang meninggal dapat diancam penjara paling lama
15 tahun. Hal ini disebutkan dalam KUHP pasal 355.
BAB III
PENUTUP
Saran
Untuk mengatasi/mengurangi terjadinya tindakan kekerasan dalan rumah tangga (KDRT)
terhadap perempuan diharapkan peran dari berbagai pihak, antara lain peran dari pemerintah
untuk mensosialisasikan pada masyarakat bahwa tindakan KDRT merupakan tindakan tidak
dibenarkan dan dapat diberikan sanksi hukuman serta peran dari media massa dan media cetak
juga berpengaruh besar untuk dapat mencegah/mengurangi tindak KDRT tersebut dengan
memberikan suatu pemberitaan yang bisa merubah pola budaya yang selama ini ada ditengah
masyarakat. Dalam memberikan perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan dalam
rumah tangga diharapkan bukan hanya tugas para aparat penegak hukum, tapi diperlukan juga
peran dari berbagai pihak seperti tokoh masyarakat, keluarga korban, lembaga sosial dan lain
sebagainya sehingga dapat segera menyelamatkan/mengurangi korban kekerasan dalam.
HUKUM PERLINDUNGAN ANAK DAN PEREMPUAN
FAKTOR PENYEBAB KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

HALSEN JAYA BRITIKA


2016207014

UNIVERSITAS MUHAMADIYAH JAKARTA

Anda mungkin juga menyukai