Anda di halaman 1dari 5

Kampanye Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan,

Akankah Menyolusi Masalah Perempuan?

Setiap 25 November diperingati sebagai 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP).


Kampanye HAKtP ini akan berlangsung mulai 25 November hingga 10 Desember 2023.
Peringatan 16 HAKtP 2023 mengusung tema “UNITE! Invest to prevent violence against women
and girls”. Tema ini mengajak pemerintah dan masyarakat luas untuk lebih peduli sekaligus ikut
berperan serta dalam upaya menghapus kekerasan terhadap perempuan.

Sementara itu di tengah kampanye dunia; 16 hari peringatan anti kekerasan terhadap perempuan,
justru terjadi kekerasan dan genoside besar-besaran terhadap anak-anak dan perempuan di Gaza.
Empat badan PBB menyampaikan keprihatinannya atas besarnya korban tewas kelompok
perempuan dan anak-anak di Palestina. Menurut data Kementerian Kesehatan Palestina, 2.326
wanita dan 3.760 anak-anak telah terbunuh di jalur Gaza, mewakili 67% dari seluruh korban jiwa,
sementara ribuan lainnya terluka.
Akankah peringatan ini dapat menyolusi kekerasan terhadap perempuan yang tingkat kasusnya
masih sangat tinggi?

Cukupkah 16 Hari?

Kampanye 16 hari disebut-sebut selaras dengan peringatan hari-hari lainnya secara global.
Mengutip dari laman Komnas Perempuan, daftar kampanye 16 HAKtP adalah sebagai berikut :

25 November: Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan


29 November: Hari Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM)
1 Desember: Hari AIDS Sedunia
2 Desember: Hari Penghapusan Perbudakan Internasional
3 Desember: Hari Penyandang Disabilitas Internasional
5 Desember: Hari Sukarelawan Internasional
6 Desember: Hari Tidak Ada Toleransi bagi Kekerasan terhadap Perempuan
9 Desember: Hari Pembela HAM Sedunia 10 Desember: Hari HAM Internasional.

Dari banyaknya hari peringatan anti kekerasan terhadap perempuan, sejatinya menunjukkan sistem
sekuler kapitalisme gagal melindungi dan mencegah perempuan dari kekerasan. Apa alasannya?

Pertama, dibentuknya peringatan 16 hari dengan berbagai momen di atas telah mengindikasikan
bahwa kapitalisme tidak memiliki format baku dalam melakukan tindakan promotif, preventif, dan
kuratif dalam mencegah kekerasan pada perempuan. Banyaknya peringatan hari secara simbolis
menandakan bahwa banyak masalah yang tidak tuntas dengan penerapan sistem kapitalisme
sekuler.

Kedua, sejak 32 tahun lalu kampanye ini diaruskan, kekerasan pada perempuan cenderung
meningkat. Berdasarkan data pada sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak
(PPA), sepanjang 2023 terdapat 11.116 kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia dengan 4.277
kasus terhadap perempuan usia dewasa dan 6.745 kasus terhadap anak.

Pada 2022, angka kekerasan jauh lebih tinggi daripada 2021, yakni dari 27.593 kasus dari 25.210
kasus kekerasan. Di sisi lain, berdasarkan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan), tercatat kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 457.895 kasus pada
2022. (Goodstats, 19-6-2023).
Bagaimana dengan kasus kekerasan yang menimpa perempuan di Bengkulu ? Direktur Yayasan
PUPA, Susi Handayani, mengungkapkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP) dan
anak (KTA) masih cukup tinggi. Sepanjang 2023 penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan
terhitung sebanyak 62 kasus dan kekerasan terhadap anak 68 kasus.
Yayasan PUPA sendiri telah mendampingi 23 korban kekerasan terhadap perempuan (KTP) dan 3
korban kekerasan terhadap anak (KTA). Kasus-kasus tersebut mencakup berbagai bentuk
kekerasan, termasuk perkosaan, pencabulan, kekerasan fisik, dan kasus lainnya.
Kemudian UPTD PPA Provinsi Bengkulu telah menangani 28 kasus KTP dan 1 kasus KTA,
disambut UPTD PPA Kota Bengkulu menangani 9 kasus KTP dan 45 KTA. Demikian dengan
PKHB (Program Keluarga Harapan Bersama) yang telah mendampingi penanganan 2 kasus KTA.
LKSA (Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak) Aisyiyah yang mendampingi 5 kasus penanganan
anak di antaranya mengalami kasus kekerasan seksual (2 kasus perkosaan yang dilakukan orang
yang masih berhubungan darah (inces) dan 3 lainnya adalah perkosaan. Sedangkan GAK (Gerakan
Anti Kekerasan) menangani 2 kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) anak dari 13
kasus yang melapor.
Sepanjang penanganannya, PUPA mengungkap terdapat kasus kekerasan seksual pada anak yang
terjadi namun sebagian besar korban pada tahun 2023 belum menggunakan UU TPKS. Alasan yang
dikemukakan adalah adanya UU Perlindungan Anak yang dianggap sudah cukup untuk melindungi
hak korban di bawah umur.
Susi juga menyayangkan kurangnya pemahaman dan implementasi UU TPKS di kalangan Aparat
Penegak Hukum (APH), yang mana menurut pengakuannya APH masih kurang informasi tentang
UU tersebut. Hal ini mengakibatkan belum optimalnya penerapan UU TPKS dalam memastikan
hak-hak korban kekerasan seksual.
Situasi yang semakin memprihatinkan terlihat di UPTD PPA Kota Bengkulu, yang saat ini hanya
memiliki Kepala UPTD tanpa staf. Kepala UPTD PPA yang akan memasuki masa pensiun di awal
tahun 2024 menambah urgensi penambahan personel untuk menjaga kuantitas dan kualitas layanan,
terutama di tengah meningkatnya kasus KTP dan KTA.
PUPA merekomendasikan penguatan UPTD PPA, membangun sinergi dengan lembaga layanan
masyarakat, dan menekankan pentingnya pemahaman dan implementasi UU TPKS dalam upaya
pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Lebih lanjut, pendamping korban kekerasan,
terutama perempuan pembela HAM (PPHAM), juga perlu mendapatkan perlindungan dan
pemenuhan hak ekonomi serta sosialnya untuk memastikan kualitas pendampingan yang optimal.
Dari apa yang diupayakan oleh berbagai LSM perempuan, ormas dan gerakan solidaritas atau
kampanye semisal tidak akan bisa menuntaskan persoalan kekerasan terhadap perempuan sebab
masalah kekerasan terhadap perempuan tidak bisa dilihat kasus per kasus. Ada faktor utama yang
memicu penyebab kekerasan pada perempuan selalu muncul dengan beragam kasus. Semuanya
bermula dari diterapkannya sistem sekuler kapitalisme yang memandang perempuan sebagai
komoditas yang mendatangkan keuntungan.

Adapun jargon anti kekerasan yang didengungkan oleh aktivis gender yang bergerak atas anama
LSM perempuan, sesungguhnya hanyalah upaya mereka untuk menyerukan kebebasan perempuan
atas nama pemberdayaan ekonomi perempuan. Tak aneh solusi yang mereka tawarkan justru akan
menambah masalah baru dengan hilangnya fungsi strategis perempuan sebagai pendidik generasi.
Perempuan diaruskan untuk beramai-ramai keluar rumah sebagai tulang punggung keluarga demi
mendapatkan materi. Keberhasilan perempuan dalam memperoleh materi dianggap sebagai solusi
untuk menurunkan eksploitasi terhadap perempuan karena alasan perempuan sudah berdaya secara
ekonomi.

Sementara itu dalam kasus Gaza, kegagalan tersebut karena diamnya dunia akibat sikap hipokritas
dalam memandang kekerasan terhadap perempuan Gaza. Bahkan sampai hari ini tidak terdengar
suara pembelaan dari aktivis perempuan manapun terhadap nasib perempuan Gaza. Nyatalah
bahwa kapitalisme yang mereka emban sesungguhnya menghilangkan rasa kemanusiaan berganti
dengan kepentingan materi di balik jargon pembelaan yang semuanya semu.
Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI Fadli Zon menyoroti sikap hipokritas
(munafik/standar ganda) negara-negara di dunia, khususnya yang tergabung dalam negara G20
dalam memandang konflik yang terjadi di Ukraina-Rusia dan Palestina-Israel. Mereka mengatakan
apa yang terjadi di Ukraina itu adalah pembelaan terhadap tanah airnya sementara apa yang terjadi
di Palestina, mereka mengatakan itu adalah teroris.

Biang Masalah Kekerasan

Menurut beberapa ahli, ada banyak faktor yang memicu terjadinya kekerasan terhadap. Di
antaranya kemiskinan, budaya patriarki yang katanya mendiskriminasi perempuan, perselingkuhan,
nikah dini, dan rendahnya kesadaran hukum.

Jika kita membahas faktor pemicunya adalah kemiskinan, hal ini tidak bisa terlepas dari aspek-
aspek pendorong kemiskinan itu sendiri. Misalnya, sulitnya para suami mencari nafkah dalam
sistem saat ini. Sebaliknya, perempuan lebih banyak menjadi tulang punggung karena pekerjaan
untuk perempuan lebih banyak tersedia ketimbang laki-laki.

Walhasil, jika laki-laki dan perempuan saling bertukar posisi dan peran yang tidak sesuai fitrahnya,
keharmonisan rumah tangga pun akan terganggu. Hal ini akan memicu KDRT, perselingkuhan,
hingga perceraian. Ini baru satu aspek, tetapi merembetnya sudah ke mana-mana.

Belum lagi jika bicara tentang pemicu lainnya, seperti pernikahan dini. Nikah dini lebih banyak
terjadi pada remaja yang hamil di luar nikah. Akhirnya, mereka menjadi orang tua muda yang labil,
tidak cukup cakap dalam ilmu rumah tangga, finansial terganggu, dan ujungnya terjadilah kekerasan
pada pasutri muda hingga pembunuhan. Faktor gaya hidup liberal sekuler turut berperan dalam
merusak generasi muda. Kasus pelecehan seksual, perzinaan, dan aborsi adalah di antara kasus yang
marak terjadi di kalangan anak muda.

Sistem kehidupan sekuler kapitalisme sangat tampak pada gaya hidup sekuler liberal. Kebebasan
berperilaku atau berekspresi membuat kaum perempuan menjadi objek kekerasan, baik verbal
maupun seksual. Dalam pandangan Barat, bentuk eksploitasi hanya berlaku pada kasus eksploitasi
seksual secara ilegal, seperti pemerkosaan, pedofilia, atau sejenisnya. Namun, pada kasus perzinaan
yang lebih didasari suka sama suka malah tidak disebut sebagai eksploitasi dan kemaksiatan,
padahal keduanya sama-sama wajib ditentang dan dilarang.

Memang tiada asap tanpa api. Tidak akan ada kekerasan tanpa ada penyebabnya. Kekerasan fisik
ataupun kekerasan seksual yang menimpa perempuan bukan semata salah laki-laki yang tidak
mampu menjaga nafsu ataupun salah perempuan yang tidak pandai jaga diri, melainkan lebih
kepada sistem kehidupan sekuler kapitalisme yang menjadikan keduanya hidup tanpa aturan jelas.
Serba bebas dan bablas.

Bahkan, perempuan menjadi komoditas sensual yang hanya dilihat dari bentuk dan rupa fisiknya.
Perempuan juga kerap menjadi bumper ekonomi kapitalisme sehingga perannya sebagai ibu
pendidik generasi berkurang banyak. Alhasil, anak-anak pun tumbuh tanpa bimbingan dan didikan
optimal dari kedua orang tuanya.

Selain itu, hilangnya kontrol masyarakat mencegah kekerasan, perilaku individualistis masyarakat,
lemahnya sistem pendidikan dan penegakan hukum yang tidak memberi efek jera. Semua itu terjadi
sebagai konsekuensi logis diterapkannya sistem sekuler kapitalisme.

Begitu pun dengan budaya patriarki, sebenarnya juga bukan menjadi faktor pemicu kekerasan pada
perempuan. Kacamata Islam dan kapitalisme sangat berbeda secara diametral dalam memandang
perempuan.

Islam Memuliakan Perempuan

Dalam pandangan Islam, perempuan adalah sosok yang wajib terlindungi dan mulia. Untuk itulah
Allah Taala memberikan segenap aturan terperinci terkait kedudukan, hak, dan kewajiban laki-laki
dan perempuan secara proporsional dan berkeadilan.

Pertama, perempuan wajib terjaga dan terjamin. Adapun larangan-larangan yang berlaku semata-
mata untuk menjaga perempuan dari kehinaan. Bagi Islam, perempuan itu bagai permata; berharga
dan mulia. Penghargaan dan kemuliaan itu terwujud dalam pengaturan hak dan kewajiban bagi
perempuan.

Di hadapan Allah, laki-laki dan perempuan sama, yaitu mereka adalah hamba Allah yang wajib taat
kepada-Nya. Sebagai manusia dan hamba, ketakwaanlah yang menjadi barometer ketinggian derajat
seseorang, baik laki-laki maupun perempuan. Alhasil, seorang laki-laki tidak dibenarkan
mengeklaim dirinya memiliki derajat lebih tinggi dibanding perempuan, terkecuali ia
mengunggulinya dalam segi ketakwaan.

Jadi, tidak ada siapa pun yang mengungguli siapa pun, kecuali atas dasar ketakwaannya di sisi
Allah Swt., sebagaimana firman Allah, “Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-
laki maupun wanita, sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan
mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.” (QS An-Nisa [4]: 124).

Jika ada perbedaan peran dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan, hal ini bukan karena
budaya patriarki, diskriminasi, ataupun pengekangan. Namun, ini adalah wujud harmonisasi dan
sinergi antara laki-laki dan perempuan dalam memainkan peran masing-masing sesuai fitrah yang
Allah tetapkan.

Kedua, Islam memiliki sistem sosial masyarakat yang khas, yakni pergaulan Islam yang meliputi
berbagai kewajiban bagi perempuan agar senantiasa terjaga dan terlindungi. Di antaranya adalah
kewajiban menutup aurat dan pakaian yang syar’i (jilbab dan kerudung); kewajiban menjaga
kemaluan bagi laki-laki dan perempuan; larangan khalwat, tabaruj, dan ikhtilat; kebolehan interaksi
laki-laki dan perempuan hanya dalam perkara muamalah yang dibenarkan syariat Islam; larangan
berzina, dll.
Ketiga, peran negara dalam mencegah serta menangani rusaknya pergaulan antara laki-laki dan
perempuan. Negara akan menutup rapat pintu-pintu yang memicu naluri jinsiyah seperti konten-
konten porno, atau tayangan yang membangkitkan naluri seksual.

Jika masih ada pelanggaran, negara akan melakukan penindakan secara adil dengan menegakkan
sistem sanksi tegas kepada pelaku kejahatan seksual atau tindak kekerasan kriminal lainnya. Seperti
hukuman bagi pezina dengan dicambuk 100 kali bagi pezina ghairu muhsan. Jika sudah menikah,
dirajam sampai mati, hukuman mati bagi pelaku homo, dan sebagainya. Dengan penerapan Islam
secara kafah, laki-laki maupun perempuan akan terjaga dan terlindungi.

Khatimah

Demikianlah gambaran sistem Islam kaffah dalam menyolusi masalah kekerasan terhadap
perempuan. Tatkala kita paham bahwa akar masalah kekerasan pada perempuan adalah sistem,
maka solusinya ya harus mengganti sistem rusak dengan sistem yang lebih baik, yakni sistem Islam
dalam naungan Khilafah. Kalau bukan Khilafah, dengan apa perempuan akan mulia dan
kehormatannya bisa terjaga?

Bahan Bacaan :
https://muslimahnews.net/2023/11/28/25050/
https://www.rri.go.id/bengkulu/daerah/472554/yayasan-pupa-inisiasi-peringatan-16-hari-anti-
kekerasan-terhadap-perempuan-di-bengkulu

Anda mungkin juga menyukai