Anda di halaman 1dari 9

Kapitalisme dalam Melanggengkan Kekerasan Seksual

Putri Kartika Ayu


Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin
Tema : Kapitalisme dan Gender
putrikartikaay@gmail.com / 082191771694

Kekerasan seksual menjadi hal darurat yang idealnya harus ditanggapi dengan
bijak namun pada realitanya hanya dipandang sebagai hal yang sangat amat parsial. Pada
tahun 2022, Komnas Perempuan menerbitkan CATAHU, yang memuat gambaran umum
tentang dinamika jumlah, keragaman, bentuk dan wilayah, serta hambatan struktural,
budaya dan hukum untuk memerangi kekerasan yang terjadi.1 Dalam datanya,
digambarkan adanya peningkatan signifikan 50% Kekerasan Berbasis Gender Online
terhadap perempuan yaitu 338.496 kasus pada 2021 (dari 226.062 kasus pada 2020).
disebutkan bahwa kekerasan seksual secara konsisten masih menjadi kasus terbanyak
kedua yang dilaporkan dan menjadi jenis kekerasan yang sangat mendominasi, juga
merekam isu terkait munculnya kasus ini dan menyoroti pelaku dalam pengaduannya.
Selain CATAHU yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan, CATAHU Komite Anti
Kekerasan Seksual Universitas Hasanuddin merupakan rekam jejak dari status perguruan
tinggi gawat kekerasan seksual. Mengutip data yang dirilis Seruan Perempuan, komite
menemukan total 48 responden mengalami pelecehan dan kekerasan seksual di 10
universitas di Makassar.

Melihat data di atas, kesadaran akan kekerasan seksual menjadi hal yang urgent
yang harus difikirkan bagaimana pengawalan yang baik dan benar dalam menghadapinya.
Urgensi pengawalan kasus kekerasan kekerasan seksual saat ini benar-benar hanya
dipandang parsial sebagai salah satu isu yang tidak jauh begitu penting di banding isu
lainnya. Padahal, urgensi dalam pengawalan isu kekerasan seksual memiliki banyak
variable yang perlu dipertimbangkan, bahwa jika tidak dikawal dengan sedemikian rupa,
kekerasan seksual ini akan memberikan berbagai dampak negatif yang akan

1
Komnas Perempuan, 2022. https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/peringatan-hari-
perempuan-internasional-2022-dan-peluncuran-catatan-tahunan-tentang-kekerasan-berbasis-gender-
terhadap-perempuan
mempengaruhi banyak aspek baik kepada korban maupun eksternal dari korban tersebut.
Dampak yang paling menonjol dari langgengnya kekerasan seksual adalah penurunan
kualitas pendidikan (terlebih pada kasus yang terjadi di ranah perguruan tinggi). Dampak
yang begitu nyata seiring eskalasi kasus kekerasan seksual adalah stigma negatif yang
terus terbentuk tentang perempuan sebagai penggoda, pihak yang dikontrol
seksualitasnya.2 Selain itu dampak ynag paling utama menurut saya adalah adanya
ketidakadilan dalam sistem sosial, politik serta hukum.

Namun, sebelum sampai pada ranah pengawalan, baik nya mengetahui


kompleksitas bentuk kekerasan yang kemudian mendukung terjadinya kekerasan seksual
hingga eskalasi kasusnya diberbagai ranah, terkhusus pada ranah perguruan tinggi.

Kekerasan Seksual dalam Tipologi Kekerasan John Galtung

D Dalam sejarahnya, kekerasan seksual mengalami banyak perkembangan


definsi. Awal mula dalam perkembangannya, kekerasan seksual hanya dimaknai sebagai
bentuk pemerkosaan saja, dimana jika terjadi serangan yang mengarah pada ranah seksual
dari seseorang dan tanpa adanya kesepakatan (instrumen utama dalam mengidentifikasi
apakah terjadi atau tidaknya kekerasan seksual ini) juga paksaan seiring adanya kekerasan
fisik hingga ancaman.

John Galtung memperluas definisi dari kekerasan yang tidak melulu tentang
kekerasan fisik atau kekerasan langsung, melainkan dapat terealisasi dalam kekerasan
tak-langsung atau kekerasan struktural. John Galtung mengatakan bahwa pada dasarnya
kekerasan terbagi menjadi tiga bentuk yaitu kekerasan langsung, struktural dan kultural.

Peristiwa yang terjadi secara kasat mata yang kemudian diadukan kepada pihak
pihak seperti Komnas Perempuan, maupun Komite Anti Kekerasan Seksual Unhas
merupakan bentuk konkrit dari kekerasan langsung. Kekerasan jenis ini sudah jelas
menyerang fisik dan psikis korban yang juga secara langsung. Kekerasan strukturl adalah
kekerasan yang tidak terlihat tapi memiliki dampak yang nyata, semisal kemiskinan.
Landasan utama terjadinya kekerasan struktural adanya sistem sosial yang timpang.

2
Faiztra dalam tulisannya “Kekerasan seksual: tidak diabaikan sekaligus tidak dilihat secara parsial”.
https://komiteantikekerasanseksualuh.wordpress.com/2021/11/14/kekerasan-seksual-tidak-diabaikan-
sekaligus-tidak-dilihat-secara-parsial/
Secara substansial, selalu ada celah dimana masih ada ketidakberpihakan (khususnya
perempuan yang dominan menjadi korban).

Kekerasan kultural ini adalah sesuatu yang meligitimasi dan seolah menormalkan
terjadinya kekerasan stukrtural yang umumnya berbentuk kekerasan seksual. Dalam
konteks kekerasan kultural, beberapa budaya dilanggengkan dalam bentuk produk-
produk kebudayaan dengan tujuan untuk mentransformasi nilai-nilai moral dan ideologis.
Hal ini menyebabkan lahirnya argumentasi terkait kekerasan dimana kekerasan tersebut
menjadi hal yang normal, wajar, atau bahkan alamiah terjadi hingga dibutuhkan untuk
hadir untuk satu dan lain hal alasan tertentu. Maka sudah tidak salah jika produk budaya
menjadi peran utama dalam penggerak praktik kekerasan itu, dimana cara kerja nya ialah
membuat kenyataan menjadi kabur hingga kita melihatnya sebagai sesuatu yang tidak
begitu salah atau hadirnya alasan alasan yang kemudian mengaburkan realitas yang
terjadi.

Dengan penjelasan diatas, jelas bahwa tiga bentuk kekerasan tadi (langsung,
struktural, dan kultural) tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ketiganya harus dilihat
sebagai satu kesatuan untuk merumuskan sebuah pengertian bagaimana kekerasan dapat
terjadi di dalam masyarakat, hingga apa solusi yang dibutuhkan dalam
penanggulangannya.3

Jika dilihat dari satu sisi, John Galtung juga mempertegas bahwa setiap kekerasan
yang terjadi selalu ada hal-hal yang melegitimasi langgengnya hal-hal tersebut terjadi di
tataran sosial masyarakat, dimanapun itu. Kompleksitas yang mendukung terjadinya 3
bentuk kekerasan tadi adalah adanya budaya yang melegitimasi langgengnya praktik
kekerasan diranah masyarakat hingga perguruan tinggi, serta adanya sistem yang eksis
yang melanggengkan budaya tersebut. Agama, pengetahuan empiris hingga formal,
bahasa yang dibungkus dalam sebuah narasi yang dianggap sebagai sebuah seni, bahkan
hingga ideologi khusus adalah produk-produk nyata dari budaya yang dilanggengkan
tersebut.

Selain itu produk-produk yang dibungkus sedemikian rupa hingga menjadi


produk budaya juga sebenarnya menjadi hal utama yang melegitimasi hadirnya tindakan

3
Wijaya Herlambang, “ Kekerasan Budaya Pasca 1965”, hlm. 37
agresi dan eksploitasi (dalam hal ini seksisme dll). Kekerasan budaya bekerja dengan
berbagai bentuk aspek, salah satunya adalah membuatnya menjadi kabur sehingga yang
dilihat adalah kekerasan yang tidak terlalu keji atau sebuah tindak kekerasan yang masih
dapat diterima, umumnya terjadi karena adanya pembelaan pembelaan pelaku yang
bersembunyi di balik relasi kuasa.
Budaya Patriarki sebagai Sistem Kapitalisme

Memaknai produk-produk budaya satu persatu untuk sampai pada ranah bahwa
benar, budaya hanya menjadi tunggangan dalam membuat kaburnya realitas yang terjadi
dibalik relasi kuasa yang kuat pada pelaku. Galtung menjelaskan bagaimana produk-
produk budaya seperti budaya patriarki, bahasa, agama, seni dan pengetahuan dapat
digunakan untuk melegitimasi praktik kekerasan baik yang dilakukan secara langsung
(fisik) maupun struktural (sistem sosial).4

Patriarki membuat dikotomi antara publik dan privat, produktif dan reproduktif,
dan yang paling utama adalah membentuk relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan
perempuan. Patriarki sebagai institusionalisasi dominasi laki-laki dalam struktur vertikal,
dengan korelasi sangat tinggi antara posisi dan gender yang dilegitimasi oleh kebudayaan,
dan sering muncul sebagai kekerasan langsung dengan laki-laki sebagai subyek dan
perempuan sebagai obyek (Galtung, 1996: 40).

Ideologi atau budaya patriarki tidak serta merta hadir begitu saja, eksistensinya di
dukung oleh adanya sistem timpang yang melanggengkan hadirnya budaya patriarki
tersebut, dan sistem yang dimaksud itu adalah sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme
yang memiliki sifat dasar yang sangat patriarkal tidak akan bisa melindungi
keberlangsungan hidup pihak yang rentan.5 Sifat dasar tersebut termanifestasikan dalam
sebuah sirkulasi yang ikut timpang. Sirkulasi tersebut merupakan sirkulasi kapital.

Dalam sirkulasi kapital, terbentuk sebuah akumulasi keuntungan tanpa batas yang
kemudian turut melegitimasi kekerasan itu terjadi. Dalam praktiknya, akumulasi kapital
selalu berusaha mencapai profit atau keuntungan yang tiada henti sehingga dapat

4
Wijaya Herlambang, “ Kekerasan Budaya Pasca 1965”, hlm. 35
5
Faiztra dalam tulisannya “Kekerasan seksual: tidak diabaikan sekaligus tidak dilihat secara parsial”.
https://komiteantikekerasanseksualuh.wordpress.com/2021/11/14/kekerasan-seksual-tidak-diabaikan-
sekaligus-tidak-dilihat-secara-parsial/
mendukung keberlangsungan akumulasi kapital dalam segala ranah. Untuk memahami
lebih lanjut bagaimana budaya patriarki bekerja dalam melegitimasi kekerasan yang
terjadi melalui sirkulasi kapital, bagaimana segala sistem yang ada memiliki keterkaitan
satu sama lain.

Ada dua corak yang sangat mendukung jalannya sirkulasi ini, yaitu produksi
dan reproduksi. Corak produksi merupakan segala bentuk aktivitas yang orientasinya
mengarah pada pembuatan produk-produk. Sedangkan pada corak reproduksi, lebih
luas dibahas bahwa produksi tidak akan bertahan jika tidak ada reproduksi dalam
sepanjang praktinya. Lebih jauh terkait reproduksi, Altusser membagi reproduksi
kedalam 2 bagian, reproduksi alat-alat produksi dan reproduksi tenaga kerja.
Memaknai reproduksi alat-alat produksi, perawatan dari alat reproduksi.

Reproduksi tenaga kerja menjadi pembahasan utama bagaimana budaya


patriarki dapat terlanggengkan. Dalam reproduksi tenaga kerja, terdapat dua bagian
penting yang harus dipahami, yaitu reproduksi subsistensi dan reproduksi ketundukan.
Reproduksi sistem yang terjadi dalam reproduksi subsitensi berbiacara terkait
pemenuhan kebutuhan diri melalui upah. Hanya upah yang dapat merepresentasikan
bagian dari reproduksi subsitensi tersebut, bagaimana melakukan pemulihan diri
(sebagai bagian dari tenaga kerja). Reproduksi ketundukan dalam reproduksi sistem,
singkatnya penanaman nilai atau ideologi dengan penggunaan aparatus yang ada.

Demi melanggengkan reproduksi sistem ini, sistem kapitalisme membutuhkan


dukungan negara yang termanifestasikan dengan wujud aparatus ideologis dan aparatus
represif. Aparatus ideologis inilah yang kemudian disuntikkan ke berbagai instansi
yang mendukung keberlangsungan hidup kapital, tidak terkecuali perguruan tinggi baik
negri maupun swasta. Sedangkan aparatus represif lebih mengarah ke aparatus negara
yang menjadi oknum yang membantu melanggengkan jalannya aparatus ideologis
dalam sebuah instansi, yang dimana reproduksi ketundukan akan lebih jauh berjalan
lancar dengan terus mengintimidasi kaum yang rentan.

Melalui makna tersebut, eratnya hubungan produksi dan reproduksi dalam


reproduksi sistem ini lah yang kemudian melegitimasi keberlangsungan sirkulasi
kapital yang jelas melahirkan sebuah budaya patriarki dalam sistem kapitalisme.
Seperti yang sudah dijelaskan di awal bahwa sistem kapitalisme yang memiliki sifat
dasar yang sangat patriarkal tidak akan bisa melindungi keberlangsungan hidup pihak
yang rentan, maka dengan terus berlangsungnya sistem kapitalisme dalam tatanan
masyarakat, terlebih dalam ranah perguruan tinggi, ruang-ruang pelanggengan
kekerasan struktural akan terus tersedia.

Mengapa kemudian? Sebab dalam sistem kapital, kekerasan stuktural didukung


dengan hal-hal yang menghalangi formasi dan mobilitas dalam penganggulangannya.
Penetrasi, segmentasi, marginalisasi, dan fragmentasi, sebagai bagian dari eksploitasi
merupakan komponen penguat dalam struktur yang berfungsi menghalangi formasi dan
mobilitas untuk berjuang melawan eksploitasi terhadap kaum rentan. Bentuk kekerasan
yang kemudian mendominasi pada kekerasan struktural tersebut adalah kekerasan
seksual. Per 2022, dari 7.469 kasus kekerasan seksual yang terjadi, 79,1% korban nya
adalah perempuan,8 jelas bahwa perempuan menjadi pihak yang paling dirugikan atas
adanya kekerasan seksual yang terjadi. Hal ini pula yang jelas menggambarkan bahwa
selalu ada celah dalam ketidakadilan atau ketidak berpihakan kepada kaum perempuan.

Aturan, Sarana dan Pra Sarana penganggulangan Kekerasan Seksual dalam


Lingkup Perguruan Tinggi

Lalu, bagaimana seharusnya instansi yang melanggengkan aparatus ideologis


terus berjalan ini, terkhusus perguruan tinggi dalam menanggulangi hal-hal yang tidak
berperikemanusiaan ini, yang notabenenya lahir karena hasil dari relasi kuasa yang
terlaku menitikberatkan ketimpangan gender dalam praktiknya? Solusi awalnya adalah
dengan menghilangkan kekerasan tersebut. Namun dalam menghilangkan kekerasan
tersebut, perlu adanya strategi awal yang dibentuk. Menciptakan aturan sarana serta pra
sarana dalam menanggulanginya adalah strategi awal yang dapat dilakukan dalam
instansi-instansi tersebut khususnya dalam perguruan tinggi. Pertanyaan terakhir, aturan,
sarana serta pra-sarana apa yang dapat dibangun untuk penanggulangan tersebut?

Sebagai langkah awal, Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 dapat menjadi
acuan aturan dalam tataran kampus. Pengawalan Peraturan khusus terkait penanganan
kasus kekerasan seksual di dalam lingkup perguruan tinggi bukanlah bentuk glorifikasi
isu tertentu, sebab urgensi pengawalan kasus kekerasan seksual dalam lingkup kampus
atas beberapa hal, beberapa diantaranya yaitu, beberapa aturan yang berlaku tidak
mengakomodir perkembangan bentuk-bentuk kekerasan seksual yang bentukannya
semakin variatif, payung hukum kekerasan seksual secara nasional hingga saat ini masih
terperangkap dalam polemik yang tarik ulur, serta pengawalan ini adalah salah satu
bentuk penuntutan terhadap tanggung jawab negara dalam menjamin kebutuhan
fundamental di ruang pendidikan.9

Selanjutnya dibentuknya komunitas atau semacamnya yang memiliki concern


yang khusus terkait kekrasan seksual adalah langkah yang tepat dalam solusi terkait
sarana dan pra sarana. Melalui komunitas (atau semacamnya) wacana terkait kekerasan
seksual dalam dimasifkan sedemikian rupa. Selain itu, seiring terbentuknya komunitas
tersebut maka terbentuknya pula wadah pembentukan ideologi yang akan membenarkan
ideologi timpang penyebab kekerasan seksual. Contoh konkrit saat ini adalah Komas
Perempuan, lebih jauh kedalam ranah perguruan tinggi adalah seperti Komite Anti
Kekerasan Seksual yang hadir di Universitas Hasanuddin.

Namun, aturan, sarana dan pra sarana merupakan strategi jangka pendek yang
dapat menanjadi penaggulangan kekerasan seksual. Perubahan struktur masyarakat
adalah kunci utama dalam penanggulangan masalah kekerasan seksual. Perubahan
sturktural ini mampu merubah pola pikir masyarakat luas terkait relasi kuasa dan gender
terhadap ketimpangan yang terjadi, yang dapat menjadi pra-kondisi yang memungkinkan
perubahan struktural masyakat pun terwujudkan.
Daftar Pustaka

Faiztra. 2021. Kekerasan Seksual: Tidak Diabaikan sekaligus Tidak Dilihat secara
Parsial. (Online,
https://komiteantikekerasanseksualuh.wordpress.com/2021/11/14/kekerasan-
seksual-tidak-diabaikan-sekaligus-tidak-dilihat-secara-parsial/ , Diakses pada
tanggal 07 Mei 2022)

Komas Perempuan. 2022. CATAHU 2021: Perempuan Dalam Himpitan Pandemi:


Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak Dan
Keterbatasan Penanganan Di Tengah Covid-19. (Online,
https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/peringatan-hari-perempuan-
internasional-2022-dan-peluncuran-catatan-tahunan-tentang-kekerasan-berbasis-
gender-terhadap-perempuan , Diakses pada tanggal 07 Mei 2022)

Kemen PPPA. 2022. Data Kekerasan Seksual di Indonesia. (Online,


https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan , Diakses pada tanggal 06 Mei 2022)

Rahardjo, M. (2000). Kekerasan dan Kekuasaan dalam Praksis Berbahasa: Memahami


Kekerasan dalam Perspektif Galtung. El-HARAKAH (TERAKREDITASI), 2(2), 3-
10.

Izzati, F. F. (2019). AKUMULASI KAPITAL DAN PERAMPASAN OTONOMI ATAS


TUBUH PEREMPUAN. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 263-270.

Sudiono, L. 2021. Hukum dan Kekerasan Seksual: Apa yang Diperjuangkan?. (Online,
indoprogress.com-Hukum dan Kekerasan Seksual Apa yang Diperjuangkan.pdf ,
Diakses pada 06 Mei 2022)

Herlambang, W. (2014). Kekerasan budaya pasca 1965: bagaimana Orde Baru


melegitimasi anti-komunisme melalui sastra dan film. Tangerang Selatan: CV.
Marjin Kiri.

Althusser, L. (2015). Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara (Catatan-catatan


Investigasi). IndoPROGRESS.
Bukti Plagiarisme

Anda mungkin juga menyukai