Anda di halaman 1dari 9

Kekerasan Terhadap Perempuan: Studi Kasus pada Proses Resolusi Konflik Indonesia-

GAM

Disusun oleh:
Sigit Suryo Nugroho
1006764220
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional

Tugas Makalah Akhir
Mata Kuliah Gender dalam Hubungan Internasional
Program Studi S1 Reguler Ilmu Hubungan Internasional
Semester Ganjil 2013/2014

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Konflik antara militer Indonesia dan militia Gerakan Aceh Merdeka merupakan salah
satu contoh kasus konflik bersenjata yang terjadi di Indonesia. Pada tahun 2005, lahirnya
Memorandum of Understanding Helsinki membawa resolusi konflik antara Indonesia dan
GAM. Salah satu poin dari MoU tersebut adalah diberikannya otonomi khusus pada Aceh
melalui pengawasan Human Rights Watch.
1

Pada tahun 2005, laporan yang berjudul Gender-Based Violence in Aceh, Indonesia
dari UNFPA menjelaskan beberapa poin dimana terdapat kekerasan langsung maupun tidak
langsung yang terjadi pada perempuan Aceh. Laporan tersebut mencatat kekerasan terhadap
perempuan yang terjadi pada masa konflik Indonesia-GAM, serta pasca bencana tsunami
2004. Tahun 2010, UNDP mengeluarkan laporan berjudul Provincial Human Development
Report Aceh 2010. Pada laporan tersebut, masih banyak terdapat kasus terkait dengan
kekerasan serta diskriminasi terkait jender.
2. Tujuan Penulisan
Makalah ini akan membahas bagaimana paradigma feminisme melihat kekerasan
yang terjadi pada perempuan Aceh pasca konflik Indonesia-GAM. Tujuan dari tulisan ini
adalah melihat bentuk-bentuk kekerasan pada perempuan dan mengetahui bagaimana kritik
feminisme memandang bentuk-bentuk kekerasan tersebut.
3. Pertanyaan Permasalahan
Pertanyaan untuk membahas permasalahan dalam makalah ini dapat dirumuskan
sebagai berikut: Bagaimana kritik feminisme memandang bentuk-bentuk kekerasan
pada perempuan di Aceh pasca konflik Indonesia-GAM?
4. Kerangka Konsep
Konsepsi Galtung mengenai kekerasan
Kajian mengenai konflik dan perdamaian merupakan tema luas dalam ilmu Hubungan
Internasional. Salah satu konsep yang dibahas dalam kajian tersebut adalah konsep mengenai

1

kekerasan. Kekerasan (violence), menurut Johan Galtung, adalah kondisi dimana keadaan
fisik dan mental seseorang dipengaruhi sehingga realisasi aktual dari kedua kondisi tersebut
tidak dapat direalisasikan sesuai dengan potensial yang dimiliki.
2
Berdasarkan konsepsi
tersebut dapat diturunkan dua tipe kekerasan: pertama, kekerasan personal sebagai perilaku
yang secara langsung mempengaruhi keadaan fisik atau mental seseorang; dan kedua,
kekerasan struktural yang tidak secara langsung namun mempengaruhi keadaan fisik atau
mental seseorang secara sistemik.
Galtung kemudian menambahkan sebuah kondisi lainnya yang turut berperan pada
terjadinya kekerasan personal/langsung dan kekerasan struktural/tidak langsung. Kondisi
tersebut disebut sebagai cultural violence.
3

Kritik Feminisme terhadap Realisme
Realisme memandang bahwa aktor individu, seperti wanita, tidak berpengaruh besar
pada politik internasional, sedangkan para feminis melihat bahwa pandangan realisme yang
ada dalam ilmu hubungan internasional cenderung maskulin
4
.Adanya opresi, subordinasi,
penindasan, dan marjinalisasi yang didasari oleh perbedaan jender tersebut membawa fitur-
fitur tertentu dalam hubungan internasional. Dunia politik internasional yang ada pada saat
ini disebabkan oleh dominasi pemikiran-pemikiran dalam Ilmu Hubungan Internasional yang
maskulin. Kritik tersebut didasari oleh pemikiran dominan, dalam hal ini paradigma realisme
yang pertama kali muncul. Realisme yang dibangun oleh E.H. Carr berdasar pada realpolitik,
bahwa sistem internasional dibangun pada dasar anarki, dan negara, sebagai aktor
internasional memiliki sifat rasional dan mengejar kepentingannya masing-masing.
5. Alur Pemikiran
Makalah ini disusun dengan melakukan ketegorisasi bentuk kekerasan yang dialami
oleh perempuan Aceh pasca konflik Indonesia-GAM pada data-data yang telah diperoleh.
Kategorisasi tersebut kemudian dapat memfokuskan analisis penulis dengan menggunakan
perspektif feminisme.


2
Galtung, Johan. "Violence, Peace, and Peace Research" Journal of Peace Research, Vol. 6, No. 3 (1969), pp.
167-191
3
Galtung, Johan. "Cultural Violence," Journal of Peace Research, Vol. 27, No. 3 (Aug., 1990), pp. 291-305
4
J. Ann Tickner, Man, the State, and War: Gendered Perspectives on National Security dalam Gender in
International Relations: Feminist Perspectives on Achieving Global Security (New York: Columbia University
Press, 1992, halaman 25.
BAB II
ISI
1. Kategorisasi Kekerasan
Kategorisasi kekerasan ini ditujukan untuk memfokuskan analisis kritik feminisme
terhadap bentuk-bentuk kekerasan berbasiskan jender yang dialami oleh perempuan di Aceh.
Kekerasan berbasiskan jender merupakan terminologi yang digunakan untuk menjelaskan
segala bentuk tindakan menyakiti seseorang yang dihasilkan oleh tidak seimbangnya
hubungan relasi kuasa antara peran pria dan wanita. Dewasa ini, terdapat kajian yang
membahas kekerasan berbasis jender pada kondisi pasca konflik serta mengikutsertakan
program dan kebijakan untuk mencegah terjadinya hal tersebut.
Penulis membagi bentuk kekerasan berbasiskan jender menjadi tiga kategori:
kekerasan langsung, kekerasan tidak langsung/struktural, dan kekerasan kultural. Kategori
kekerasan langsung / personal meliputi kekerasan yang secara langsung mempengaruhi
kondisi somatik dan mental seseorang. Dua tabel di bawah ini merangkum bagaimana
tindakan-tindakan kekerasan langsung yang terjadi pada perempuan di Aceh.
Tabel 1. Kekerasan Terhadap Perempuan Aceh yang berkaitan dengan Konflik Indonesia-GAM 1989-1998.
5

Setting Konflik Jenis kekerasan berbasis jender
setting Deskripsi
Daerah Operasi Militer
dan gerakan separatis
Pemerkosaan
Pelecehan seksual
Penyiksaan seksual
Perbudakan seksual oleh
militer
Kekerasan antarindividu
Pengungsian di Aceh Konflik dan kekerasan di
kamp pengungsian yang
dikuasai oleh penduduk sipil
bersenjata
Konflik antara pengungsi dan
komunitas lokal di sekitar
area pengungsian
Pemerkosaan
Pelecehan seksual
Trafficking pada anak-anak
dan perempuan
Kekerasan yang dilakukan
oleh komunitas setempat





5
National Commission on the Elimination of Violence against Women (Komnas Perempuan), 2002 dikutip dari
Laporan UNPFA hlm. 9
Tabel 2. Laporan mengenai tindak kekerasan terhadap perempuan Aceh 1998-2000.
6

Jenis Kekerasan Jumlah
Korban
Pelaku Tempat kejadian perkara
Penembakan 56 Personil keamanan
militia
tidak diketahui
ruang publik
rumah korban
kamp pengungsian
Penculikan 8 tidak diketahui ruang publik
ladang korban
Pembunuhan 7 tidak diketahui ruang publik
rumah korban
Penyiksaan 26 personil keamanan
kelompok tidak diketahui
pelajar
markas keamanan
kamp pengungsi
sekolah
rumah korban
Kekerasan seksual
(pemerkosaan dan
pelecehan)
20 pria bertopeng, menggenakan
seragam militer
personil keamanan
rakyat sipil
tidak diketahui
rumah korban
Kekerasan dalam
rumah tangga
9 suami
ayah
saudara laki-laki tiri
istri pertama
rumah korban
Pelecehan 40 kelompok pemuda ruang publik
Masjid
Rumah korban

Kekerasan tidak langsung atau kekerasan struktural dapat dijelaskan sebagai suatu
tindakan yang menyebabkan perempuan Aceh tidak dapat memaksimalkan aktualisasi
keadaan mental dan fisiknya karena hambatan-hambatan yang berasal dari struktur sistem.
Hal ini berarti keadaan dimana perempuan Aceh tersebut terletak secara struktural, baik
dalam masyarakat, politik, maupun ekonomi.
For societies in which patriarchy is the foundation of social, political and economic systems, as is
the case in Aceh, acts of gender-based violence are often tolerated and, in some cases, condoned.
Survivors of gender-based violence are often stigmatized. For example, in Aceh, rape victims were
often labelled as women who failed to uphold the values of the community.
7


Penggalan paragraf di atas menggambarkan kurang lebih menggambarkan bahwa
kuatnya sistem patriarki yang menjadi landasan sistem sosial, politik, dan ekonomi menjadi
alasan utama terjadinya kekerasan tidak langsung pada perempuan di Aceh. Perlu diingat
bahwa konflik yang terjadi di Aceh antara TNI dan GAM serta keputusan politik
menempatkan Aceh dibawah Daerah Operasi Militer dapat dikategorikan sebagai kekerasan

6
Ibid hlm. 10
7
UNFPA, Gender-Based Violence in Aceh, Indonesia: A Case Study, October 2005.
struktural. Adanya konflik bersenjata yang terjadi dalam wilayah sehari-hari perempuan
Aceh, Operasi Militer yang membutuhkan atau minimal mengharuskan adanya peran dari
masyarakat, serta situasi yang tidak kondusif dalam kehidupan sehari-hari menimbulkan
penghalang bagi perempuan Aceh untuk melakukan aktualisasi potensi baik secara mental
maupun fisik. Penggalan paragraf berikut menggambarkan bentuk faktual yang diakibatkan
perang,

During armed conflicts, when lawlessness, warring factions and military occupation contribute to
a culture of violence, acts of gender-based violence frequently increase. Sexual violence is often
perpetrated as a strategy of war, whether as a form of ethnic cleansing or as a means of
humiliating communities and a culture. In some cases, women are abducted into rebel groups to
be sexual slaves, porters and even combatants. Some women voluntarily join rebel militias as a
means of protecting themselves and their families as well as to avenge the deaths of their loved
ones.
8


Di samping itu, Perang menyebabkan keluarnya kelompok masyarakat dari wilayahnya, atau
pengungsi. Pengungsi perang sering kali bertempat di wilayah yang asing baginya serta
mengalami kesulitan untuk mengakses kebutuhan sehari-harinya. Paragraf di bawah ini
menggambarkan bagaimana pengalaman perempuan dalam pengungsian pada konflik Aceh,

in refugee and internally displaced settings, women are often left widowed and become
responsible for meeting their families needs for safety and survival. The lack of access to health
services,economic resources and education only exacerbates womens problems in these settings.
Furthermore, within displaced camp settings, women are vulnerable to sexual and domestic
violence perpetrated by their husbands, by other refugees and by the outside community.
9


Penulis ingin menambahkan bahwa kekerasan personal dan struktural dapat
berlangsung secara bersamaan. Di samping dua kategori tersebut, terdapat satu kategori lain
yang disebut dengan kekerasan kultural. Kekerasan kultural berkaitan dengan suatu nilai
dan norma yang dianut, dipercayai dalam membenarkan atau setidaknya dapat menerima
suatu tindakan kekerasan, baik personal maupun struktural.
10
Nilai dan norma tersebut
melegitimasi suatu bentuk kekerasan seiring dengan manifestasinya di dalam beberapa hal.
Galtung menyebutkan enam contoh manifestasi kekerasan kultural: Agama, Ideologi, bahasa,
kesenian, ilmu pengetahuan empiris dan ilmu pengetahuan formal.
Pada kasus kekerasan berbasiskan jender di Aceh, penulis menemukan bahwa
terdapat dua kumpulan nilai dan norma yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan kultural.
Penulis berargumen bahwa dua set nilai dan norma tersebut adalah agama Islam
fundamentalis dan patriarki. Aceh sebagai daerah otonom yang diberikan wewenang untuk

8
ibid
9
ibid
10
Galtung, 1990, 292
mengatur pemerintahan dan hukum di wilayahnya menganut hukum Syariah.
11
Hukum
Syariah., hukum Islam, menjadi dasar norma yang berlaku pada masyarakat di Aceh. Dari
hukum Syariah ini diturunkan bentuk-bentuk peraturan yang berkenaan dengan keberadaaan
perempuan pada masyarakat. Peraturan seperti penggunaan hijab, dan yang ada belakangan
ini, larangan bagi perempuan untuk mengendarai sepeda motor misalnya, merupakan bentuk
turunan dari Hukum Syariah yang berlaku.
Tidak hanya sistem hukum Islam, Aceh juga menerapkan adanya personil penegak
hukum tersebut di luar badan Polri dan TNI. Penegak hukum ini memiliki hak untuk
menghukum perempuan yang berlaku tidak sesuai dengan hukum Syariah, sebagai contoh
melakukan kekerasan baik fisik maupun mental pada perempuan tersebut. Pada akhirnya
kekerasan kultural tidak dapat dianggap benar, maupun salah, setidaknya Galtung tidak
menyebutkan keduanya.

2. Analisis Kritik Feminisme
Penulis kemudian masuk ke bagian analisis kritik feminisme pada tiga jenis kekerasan
yang dialami oleh perempuan di Aceh. Penulis meminjam kritik feminisme pada tiga
paradigma yang berbeda untuk menjawab tantangan yang ada pada ketiga bentuk kekerasan
tersebut: kritik terhadap realisme, liberalisme, dan multikulturalisme.
Feminisme memandang bahwa kekerasan personal atau kekerasan langsung yang
terjadi pada wanita di Aceh merupakan hasil dari lalainya negara untuk melindungi
perempuan Aceh. Asumsi realisme bahwa negara merupakan aktor tunggal yang rasional
dalam hubungan internasional sering didengungkan.
12
Kegagalan negara untuk melindungi
individu-individu seperti perempuan dalam konflik bersenjata merupakan bukti bahwa negara
tidak seperti yang dibayangkan, dapat memberikan keamanan bagi rakyatnya. Negara dinilai
terlalu maskulin, sehingga kepentingan untuk memberikan keamanan pada individu
rakyatnya diabaikan.
13

Awal dari terjadinya kekerasan struktural pada perempuan adalah tidak terwakilinya
suara-suara perempuan dalam membentuk struktur sistem yang ada. Hal tersebut dibuktikan
dari tidak adanya keterlibatan perempuan dalam politik atau tidak diikutsertakan yang
disebabkan oleh faktor-faktor pendukung kekerasan struktural. Perempuan Aceh yang

11
UNFPA, hlm. 7
12
Waltz, K. (1979). Theory of international relations. Reading, Mass.: Addison-Webley, 111-114
13
Op. Cit, Tickner hlm. 25
tergabung dalam beberapa organisasi masyarakat, seperti Serikat Inong Aceh, Pulih
Foundation, Solidaritas Perempuan Aceh, tergabung dalam konggres perempuan Aceh. Di
samping fakta bahwa konggres tersebut turut menghasilkan pemikiran-pemikiran perempuan
Aceh, tidak ada perempuan Aceh sama sekali yang tergabung dalam negosiasi perdamaian
tahun 2005.
Kategori kekerasan ketiga, kekerasan kultural berbeda dengan dua kategori
sebelumnya. Kekerasan kultural lebih berada di tingkat budaya, simbol, yang dianut suatu
masyarakat. Susan Moller Okin mengambil ide-ide dari Will Kymlicka bahwa terdapat hal-
hal yang bisa dan tidak bisa dipisahkan antara budaya suatu masyakat dengan hak-hak
individual.
14
Masyarakat adat memiliki caranya sendiri mempertahankan identitas-
identitasnya
Pada kasus kekerasan kultural terhadap perempuan di Aceh, kritik feminisme tidak
dapat menggambarkan mana yang salah dan mana yang benar. Di satu sisi, perempuan
memiliki hak asasi individual yang harus diperjuangkan. Di sisi lain, terdapat sebuah budaya
dan norma agama yang membentuk masyarakat. Namun demikian, terdapat garis batas yang
jelas ketika bentuk budaya tersebut dimanfaatkan dengan tidak semestinya oleh individu-
individu lain melalui kekerasan kultural. Legitimasi penggunaan kekerasan, baik langsung
maupun tidak langsung seharusnya diatur menurut norma-norma yang berlaku.

14
Okin, Susan Moller. Is multiculturalism bad for women?. Princeton University Press, 1999. Hlm. 21
BAB III
PENUTUP
Tulisan ini telah membahas bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi pada perempuan di
Aceh pasca konflik bersenjata TNI-GAM yang berakhir pada tahun 2005. Temuan-temuan
mengenai bentuk kekerasan personal, struktural, dan kultural yang dilakukan baik oleh aktor
individu, kelompok bersenjata, negara, hingga budaya atau agama membentuk sebuah
lingkaran kekerasan yang terus berjalan. Feminisme percaya bahwa bentuk kekerasan
tersebut dihasilkan oleh sistem patriarki pada tatanan sosial, budaya, politik dan ekonomi.
Secara umum feminisme percaya bahwa bentuk-bentuk kekerasan berbasis jender tersebut
memanfaatkan lemahnya relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki. Pada kasus Aceh, relasi
kuasa tersebut terlihat baik di tingkat pemerintahan dan masyarakat, yang di dalamnya
terdapat unsur sipil dan militer, serta budaya dan agama, yang di dalamnya hukum Syariah
dengan penegak hukum yang diberi wewenang untuk melakukan kekerasan.
Sebagai penutup, Johan Galtung pada tulisannya tahun 1969 mengatakan bahwa
terdapat dua kondisi perdamaian: perdamaian negatif, kondisi ketiadaan konflik, dan
perdamaian positif, kondisi ketiadaan konflik yang terus dijaga keberlangsungannya.
15
Pada
kajian kekerasan berbasiskan jender, penulis berkesimpulan bahwa feminist perlu mengambil
bagian dalam proses perdamaian suatu konflik. Feminist yang mengedepankan unsur-unsur
perdamaian, penolakan akan kekerasan, dan pembangunan yang berlanjut, perlu turut serta
dalam proses perdamaian. Sehingga, perdamaian tidak hanya dianggap sebagai stabilitas
sistem yang sifatnya sementara.

15
Galtung, Johan. 1969. Hlm. 185

Anda mungkin juga menyukai