DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2
1
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BHAKTI HUSADA MULIA
MADIUN
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT. Karena dengan rahmat dan hidayah
serta karunianya, sehingga masih diberi kesempatan untuk bekerja menyelesaikan makalah kami
yang berjudul “Asuhan Keperawatan Korban Pemerkosaan” makalah ini merupakan salah satu
tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa.
Tidak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada dosen pengajar kami, dan teman-
teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari
bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun
materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak
kami harapkan.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................... 2
DAFTAR ISI........................................................................................................................ 3
2
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................... 4
A. LATAR BELAKANG............................................................................... 4
B. RUMUSAN MASALAH.......................................................................... 5
C. TUJUAN.................................................................................................. 5
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 34
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini, semakin banyak kasus pelecehan seksual dan perkosaan yang menimpa
anak-anak dan remaja. Kasus pelecehan seksual dan perkosaan sebagian besar menimpa
anak-anak dan remaja putri. Kasus pelecehan seksual dan perkosaan dimulai dari anak-
anak yang masih di bawah umur (Anonim, 2006), pelecehan seks di sekolah (Anonim,
2006), bahkan kepala sekolah yang seharusnya memberi contoh pada murid-muridnya
melakukan pelecehan seksual kepada siswi-siswinya (Anonim,2007), walikota melakukan
pelecehan seksual (Anonim,2006).
3
Pelecehan seksual pada dasarnya adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki
muatan seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan
tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga meimbulkan akibat negative,
seperti : rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri, kehilangan
kesucian, dan sebagainya, pada diri orang yang menjadi korban (Supardi, S & Sadarjoen,
2006)
Walaupun sebagian besar korban pelecehan seksual dan perkosaan adalah wanita,
akan tetapi dalam beberapa kasus, laki-laki juga dapat menjadi korban pelecehan seksual
yang umumnya dilakukan oleh laki-laki juga. Pada sebagian besar kasus perkosaan
dilakukan oleh orang sudah sangat dikenal korban, misalnya teman dekat, kekasih,
saudara, ayah (tiri maupun kandung), guru, pemuka agama, atasan, dan sebagainya.
Sedangkan sebagian kasus lainnya, perkosaan dilakukan oleh orang-orang yang baru
dikenal dan semula nampak sebagai orang baik yang menawarkan bantuan, misalnya teman
dekat, kekasih, saudara, ayah (tiri maupun kandung), guru, pemuka agama, atasan, dan
sebagainya. Sedangkan sebagian kasus lainnya, perkosaan dilakukan oleh orang-oarang
yang baru dikenal dan semula nampak sebagai orang baik-baik yang menawarkan bantuan,
misalnya mengantarkan korban ke suatu tempat.
Menurut Sadarjoen dalam tulisannya yang dimut dalam sebuah sits internet,
pelecehan seksual yang terjadi pada anak, memang tidak sederhana dampak psikologisnya.
Anak akan diliputi perasaan dendam, marah, penuh kebencian yang tadinya ditujukan
kepada orang yang melecehkannya dan kemudian menyebar kepada obyek-obyek atau
orang-orang lain(Supardi, S & Sadarjoen,2006).
Pelecehan seksual dan perkosaan dapat menimbulkn efek trauma yang mendalam
pada para korbannya. Korban pelecehan seksual dan perkosaan juga dapat mengalami
gangguan stress akibat pengalaman traumatis yang telah dialaminya. Gangguan stress yang
dialami korban pelecehan seksual dan perkosaan seringkali disebut Gangguan Stres Pasca
Trauma (Post Traumatic Stress Disorder (PSTD)).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian Pemerkosaan
2. Gangguan Stress Pasca Trauma
3. Tanda Dan Gejala
4. Batasan Karakteristik
5. Permasalahan
6. Pengobatan
7. Beban Psikologis Dan Kesehatan
4
8. Asuhan Keperawatan Korban Pemerkosaan
C. TUJUAN
1. Mengetahui Pengertian Pemerkosaan
2. Mengetahui Gangguan Stress Pasca Trauma
3. Mengetahui Tanda Dan Gejala
4. Mengetahui Batasan Karakteristik
5. Mengetahui Permasalahan
6. Mengetahui Pengobatan
7. Mengetahui Beban Psikologis Dan Kesehatan
8. Mengetahui Asuhan Keperawatan Korban Pemerkosaan
BAB II
5
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Perkosaan (rape) merupakan bagian dari tindakan kekerasan (violence), sedangkan
kekerasan dapat berupa kekerasan secara fisik, mental, emosional dan hal-hal yang sangat
menakutkan pada korban. Perkosaan adalah suatu penetrasi penembusan penis ke vagina
perempuan yang tidak dikehendaki, tanpa persetujuan dan tindakan itu diikuti dengan
pemaksaan baik fisik maupun mental.
Pengertian pemerkosaan berdasarkan Pasal 381 RUU KUHP :
1. Seorang laki-laki dengan perempuan bersetubuh, bertentangan dengan kehendaknya,
tanpa persetubuhan atau dengan persetubuhan yang dicapai melalui ancaman atau
percaya ia suaminya atau wanita dibawah 14 tahun dianggap perkosaan.
2. Dalam keadaan ayat (1), memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut
perempuan, benda bukan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan.
Kalimat korban perkosaan menurut arti leksikal dan gramatikal adalah suatu
kejadian, perbuatan jahat, atau akibat suatu kejadian, atau perbuatan jahat. Perkosaan
adalah menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi,
merogol. (Mensikbud,2010 : 525, 757 )
6
Sedangkan Hikmat mengatakan bahwa PTSD adalah sebuah kondisi yang muncul
setelah pengalaman luar biasa yang mencekam, mengerikan, dan mengancam jiwa
seseorang seperti bencana alam, kecelakaan hebat, sexual abuse (kekerasan seksual), atau
perang (Hikmat, 2006).
D. Batasan Karakteristik
1. Fase akut
a. Respon somatic
1) Peka rangsangan gastrointestinal (mual, muntah, anoreksia)
2) Ketidaknyamanan genitourinarius (nyeri, pruritus)
7
3) Ketegangan otot-otot rangka (spasme, nyeri)
b. Respon psikologis
1) Menyangkal
2) Syok emosional
3) Marah
4) Takut akan mengalami kesepian, atau pemerkosaan akan kembali
5) Rasa bersalah
6) Panic melihat pemerkosa atau dengan penyerangan
c. Respon seksual
1) Tidak percaya pada laki-laki
2) Perubahan dalam perilaku seksual
8
diri sendiri, dan merasa bahwa peristiea yang dialaminya adalah merupakan
kesalahannya, walaupun semua itu tidak benar.
4. Membunuh pikiran dan perasaan
Kadang-kadang orang yang depresi berat merasa bahwa kehidupnnya sudah tidak
berharga. Hasil penelitian menjelaskan bahwa 50% korban kejahatan mempunyai
pikiran untuk bunuh diri. Jika anda dan orang yang terdekat dengan anda mempunyai
pemikiran untuk bunuh diri setelah mengalami peristiwa traumatic, segeralah mencari
pertolongan dan berkonsultasi dengan para professional.
9
sudah meninggal). Walaupun gejala ini menakutkan dan meyerupai halusinasi dan
khayalan, gejala tersebut seringkali bersifat sementara dan hilang dengan sendirinya.
Usia Korban Akibat yang normal Resiko ketika sedang stress Saat perlu ditangani
oleh tenaga
profesional
1-5 tahun Menghisap jempol, Menangis tidak terkontrol Keinginan menyendiri
mengompol, kurang secara berlebihan
dapat mengontrol diri
Tidak mengenal Gemetaran karena Tidak ada respon
waktu. Ingin ketakutan, tidak bisa terhadap perhatian
menunjukkan bergerak khusus
kemandirian
Takut gelap atau Berlarian ketakutan tanpa
binatang, sehingga arah
merasa terteror di
malam hari
Tidak mau lepas dari Terlalu ketakutan dan tidak
pegangan orang tua mau ditinggal sendirian
Rasa ingin tahu, Perilaku agresif (kembali
eksploratif menghisap jari atau
mengompol lagi)
Tidak dapat menahan Amat sensitive dengan suara
kencing maupun dan cuaca
menahan kencing
maupun buang air
besar
Kesulitan bicara Bingung, panik
Perubahan selera Sulit makan
makan
5-11 tahun Rasa gelisah, Perilaku regresif yang jelas
10
ketakutan terlihat (menjadi lebih
kekanak-kanakan)
Mengeluh Gangguan tidur
Senang menempel Ketakutan akan cuaca
kepada orang tua atau
yang dianggap dekat
Pertanyaan yang Pusing, mual, timbul
agresif masalah penglihatan dan
pendengaran
Berkompetisi dengan Kekuatan yang tidak
sebayanya / beralasan
saudaranya untuk
mencari perhatian
orang tua / guru
Menghindar atau Menolak untuk masuk
malas ke sekolah sekolah, tidak bisa
konsentrasi, dan senang
berkelahi
Mimpi buruk, dan Tidak dapat beraktivitas
takut gelap dengan baik
Menyendiri dari
kawan-kawan
Hilang minat /
konsentrasi di sekolah
Remaja awal Gangguan tidur Menarik diri, menyendiri Disorientasi dan lupa
(11-14 tahun) terhadap sesuatu
Tidak ada nafsu makan Depresi, kesedihan, dan Depresi berat dan
membahayakan bunuh diri tidak mau ketemu
orang
Menjadi pemberontak Perilaku agresif Memakai obat-obat
di rumah atau tidak terlarang
mau mengerjakan
tugasnya
Permasalahan Depresi Tidak bisa merawat
kesehatan (kulit, dirinya (makan,
buang air besar, pegal- minum, mandi)
11
pegal, pusing)
Remaja Masalah psikosomatis Bingung
(14-18 tahun)
(gatal, sulit buang air
besar, asma)
Pusing/perasaan Menarik diri dan menyendiri Halusinasi, ketakutan
tertekan akan membunuh diri
sendiri atau orang lain
Gangguan selera Perilaku antisosial (mencuri, Tidak dapat
makan dan tidur agresif, dan mencari memutuskan hal-hal
perhatian dengan yang paling mudah
bertingkah) sekalipun
Mulai mengidentifikasi Menarik diri dan tidur terlalu Terlalu terobsesi/
diri dengan kawan pulas atau ketakutan di dikuasai oleh satu
sebaya, ingin waktu malam pikiran
menyendiri dengan
menghindar dari acara
keluarga
Protes, apatis Depresi
Perilaku yang tidak
bertanggung jawab
Tidak bisa
berkonsentrasi
G. Pengobatan
Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan korban pemerkosaan, yaitu
dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi.
1. Farmakoterapi
Mulai terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang sudah dikenal.
Terapi dengan anti depresiva pada gangguan stress pasca traumatik ini masih
kontroversial. Obat yang biasa digunakan adalah benzodiazepin, litium, camcolit dan
zat pemblok beta — seperti propranolol, klonidin, dan karbamazepin. Obat tersebut
biasanya diresepkan sebagai obat yang sudah diberikan sejak lama dan kini dilanjutkan
12
sesuai yang diprogramkan, dengan kekecualian, yaitu benzodiazepin — contoh,
estazolam 0,5 — 1 mg per os, Oksanazepam10-30 mg per os, Diazepam (valium) 5
— 10 mg per os, Klonazepam 0,25 — 0,5 mg per os, atau Lorazepam 1- 2 mg per os
atau IM — juga dapat digunakan dalam UGD atau kamar praktek terhadap ansietas
yang gawat dan agitasi yang timbul bersama gangguan stres pasca traumatik tersebut
(Kaplan et al, 1997).
2. Psikoterapi
a. Anxiety Management
Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk
membantu mengatasi gejala korban pemerkosaan dengan lebih baik melalui :
b. Relaxation Training
Yaitu belajar untuk mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan
merelaksasikan kelompok otot-otot utama.
c. Breathing retraining
Yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan-lahan, santai dan menghindari
bernafas dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan
reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala.
13
ketakutan yang tidak realistik dalam kehidupan sehari-hari. Terapi ini dapat
berjalan dengan dua cara :
i. Exposure in the imagination
Terapis bertanya kepada penderita untuk mengulang-ulang cerita secara detail
kenangan-kenangan traumatis sampai mereka tidak mengalami hambatan untuk
menceritakannya.
j. Exposure in reality
Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin
dihindari karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misalnya : kembali ke
rumah setelah terjadi perampokan di rumah). Ketakutan itu akan bertambah kuat
jika kita berusaha untuk mengingat situasi tersebut dibanding berusaha untuk
melupakannya. Pengulangan situasi yang disertai penyadaran yang berulang-ulang
akan membantu kita menyadari bahwa situasi lampau yang menakutkan tidak lagi
berbahaya dan kita dapat mengatasinya (Anonim, 2005).
k. Play therapy
Terapi bermain digunakan untuk menerapi anak-anak dengan trauma. Terapis
menggunakan permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara
langsung. Hal ini dapat membantu anak-anak untuk lebih merasa nyaman dalam
berproses dengan pengalaman traumatiknya (Anonim, 2005).
l. Support Group Therapy
Seluruh peserta dalam Support Group Therapy merupakan korban perkosaan, yang
mempunyai pengalaman serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa
bumi) dimana dalam proses terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman
traumatis mereka, kemdian mereka saling memberi penguatan satu sama lain
(Swalm, 2005).
m. Terapi Bicara
Sejumlah studi penelitian membuktikan bahwa terapi berupa saling berbagi cerita
mengenai trauma mampu memperbaiki kondisi kejiwaan penderita. Dengan berbagi
pengalaman, korban bisa memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang
dipendamnya selama ini. Bertukar cerita dengan sesama penderita membuat
mereka merasa senasib, bahkan merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi
ini memicu seseorang untuk bangkit dari trauma yang dideritanya dan melawan
kecemasan (Anonim, 2005).
14
H. Beban Psikologis dan Kesehatan Korban Pemerkosaan
Kondisi, dampak, dan tantangan yang dihadapi tiap korban pemerkosaan berbeda satu
sama lain. Merasa takut, cemas, panik, shock, atau bersalah adalah hal yang wajar. Luka
yang mereka rasakan dapat menetap dan berdampak hingga seumur hidup. Banyak korban
yang merasa kehilangan kepercayaan diri dan kendali atas hidup mereka sendiri. Hal ini
juga dapat membuat mereka kesulitan mengungkapkan yang terjadi pada diri mereka,
meski cerita mereka sangat dibutuhkan untuk menindak pelaku. Berbagai perasaan yang
campur aduk dan situasi rumit tersebut akan membawa dampak bagi kesehatan dan
psikologis mereka.
1. Beban Psikologis
Tindak pemerkosaan pasti mendatangkan trauma bagi yang mengalaminya. Respons
tiap orang terhadap pemerkosaan yang menimpanya pasti berbeda dengan munculnya
berbagai perasaan yang menjadi satu dan bahkan dapat baru terlihat lama setelah
peristiwa tersebut terjadi. Berikut ini adalah beberapa perubahan psikologis yang
umumnya dialami korban.
a. Menyalahkan diri sendiri
Sikap menyalahkan diri sendiri adalah kondisi yang paling umum dialami korban
pemerkosaan. Sikap inilah yang paling menghambat proses penyembuhan.
Korban pemerkosaan dapat berisiko menyalahkan diri sendiri karena dua hal:
15
dengan gangguan lain, seperti pola makan, kecemasan, depresi, mengonsumsi
minuman keras dan obat-obatan terlarang, serta gangguan mental lain. Kondisi
ini dapat diatasi dengan terapi perilaku kognitif dalam melakukan reka ulang
proses penyusunan fakta dan logika dalam pikiran.
b. Bunuh diri
Kondisi stres pascatrauma membuat korban pemerkosaan lebih berisiko untuk
memutuskan bunuh diri. Tindakan ini terutama dipicu oleh rasa malu dan merasa
tidak berharga.
c. Kriminalisasi korban pemerkosaan
Pada budaya dan kelompok masyarakat tertentu, korban pemerkosaan dapat
menjadi korban untuk kedua kalinya karena dianggap telah berdosa dan tidak layak
hidup. Mereka diasingkan dari masyarakat, tidak diperbolehkan menikah, atau
diceraikan (jika telah menikah). Dalam kelompok masyarakat lain, kriminalisasi
pun dapat terjadi ketika korban disalahkan karena dianggap perilaku atau cara
berpakaiannya yang menjadi penyebab diperkosa.
Selain itu, korban berisiko mengalami hal-hal lain seperti depresi, merasa seakan-
akan peristiwa tersebut terulang terus-menerus, sering merasa cemas dan panik,
mengalami gangguan tidur dan sering bermimpi buruk, sering menangis,
menyendiri, menghindari pertemuan dengan orang lain, atau sebaliknya tidak mau
ditinggal sendiri. Ada kalanya mereka menarik diri dan menjadi pendiam, atau
justru menjadi pemarah.
2. Efek terhadap Fisik Korban
Selain luka psikologis, korban pemerkosaan membawa luka pada tubuhnya. Sebagian
mungkin terlihat, namun sebagian lagi barangkali baru dapat dideteksi beberapa waktu
kemudian.
Sementara secara fisik mereka dapat terlihat mengalami perubahan pola makan atau
gangguan pola makan. Tubuh mereka bisa terlihat tidak terawat, berat badan turun,
dan luka pada tubuh seperti memar atau cedera pada vagina.
Berikut beberapa kondisi yang umum terjadi pada korban pemerkosaan:
a. Penyakit menular seksual (PMS)
16
Penetrasi vagina yang dipaksakan membuat terjadinya luka yang membuat virus
dapat masuk melalui mukosa vagina. Kondisi ini lebih rawan terjadi pada anak atau
remaja yang lapisan mukosa vaginanya belum terbentuk dengan kuat.
Meski belum ada tanda-tanda yang terasa, namun korban pemerkosaan sebaiknya
memeriksakan diri untuk mendeteksi kemungkinan terkena penyakit menular
seksual. Infeksi seperti HIV (virus yang menyebabkan AIDS) dapat ditangani
dengan post-exposure prophylaxis (PEP), yaitu perawatan profilaksis setelah tubuh
terpapar penyakit. Namun perawatan ini harus dilakukan sesegera mungkin.
b. Penyakit lain
Kehamilan adalah salah satu kondisi dan konsekuensi terberat yang mungkin terjadi
pada korban pemerkosaan. Belum berhasil menyembuhkan diri sendiri, mereka
harus dihadapkan pada kenyataan adanya kehidupan lain di dalam tubuhnya yang
sebenarnya tidak mereka harapkan. Kondisi psikologis wanita yang buruk dapat
membuat bayi berisiko tinggi mengalami kondisi kelainan atau lahir prematur.
17
Dampak fisik mungkin dapat sembuh dalam waktu lebih singkat. Namun dampak
psikologis dapat membekas lebih lama. Peran keluarga, kerabat, dokter, dan terapis
akan menjadi kunci dari kesembuhan dan ketenangan bagi mereka yang menjadi
korban pemerkosaan.
I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Menurut Doenges et.al (2007) pengkajian anak yang mengalami penganiayaan
seksual (sexual abuse) antara lain :
1. Aktivitas atau istirahat : Masalah tidur (misalnya tidak dapat tidur atau tidur
berlebihan, mimpi buruk, berjalan saat tidur, tidur di tempat yang asing, keletihan.
2. Integritas ego
a. Pencapaian diri negatif, menyalahkan diri sendiri/meminta ampun karena
tindakannya terhadap orang tua.
b. Harga diri rendah (pelaku/korban penganiayaan seksual yang selamat)
c. Perasaan bersalah, marah, takut dan malu, putus asa dan atau tidak berdaya
d. Minimisasi atau penyangkalan signifikasi perilaku (mekanisme pertahanan yang
paling dominan/menonjol)
e. Penghindaran atau takut pada orang, tempat, objek tertentu, sikap menunduk,
takut (terutama jika ada pelaku)
f. Melaporkan faktor stres (misalnya keluarga tidak bekerja, perubahan finansial,
pola hidup, perselisihan dalam pernikahan)
g. Permusuhan terhadap/objek/tidak percaya pada orang lain
3. Eliminasi
a. Enuresisi, enkopresis.
b. Infeksi saluran kemih yang berulang.
c. Perubahan tonus sfingter.
4. Makan dan minum : Muntah sering, perubahan selera makan (anoreksia), makan
berlebihan, perubahan berat badan, kegagalan memperoleh berat badan yang
sesuai .
5. Higiene
a. Mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan kondisi cuaca (penganiayaan
seksual) atau tidak adekuat memberi perlindungan.
18
b. Mandi berlebihan/ansietas (penganiayaan seksual), penampilan kotor/tidak
terpelihara.
6. Neurosensori
a. Perilaku ekstrem (tingkah laku sangat agresif/menuntut), sangat amuk atau
pasivitas dan menarik diri, perilaku tidak sesuai dengan usia
b. Status mental : memori tidak sadar, periode amnesia, lap[oran adanya
pengingatan kembali. Pikiran tidak terorganisasi, kesulitan
konsentrasi/membuat keputusan. Afek tidak sesuai, mungkin sangat waspada,
cemas dan depresi.
c. Perubahan alam perasaan, kepribadian ganda, cinta, kebaikan dan penyesalan
yang dalam setelah penganiayaan seksual terjadi.
d. Kecemburuan patologis, pengendalian impuls yang buruk, ketrampilan koping
terbatas, kurang empati terhadap orang lain.
e. Membantung. Menghisap jempol atau perilaku kebiasaan lain : gelisah (korban
selamat).
f. Manifestasi psikiatrik (misal : fenomena disosiatif meliputi kepribadian ganda
(penganiayaan seksual), gangguan kepribadian ambang (koeban inses dewasa)
g. Adanya defisit neurologis/kerusakaan SSP tanpa tanda-tanda cedera eksternal
2. Nyeri atau ketidaknyamanan
a. Bergantung pada cedera/bentuk penganiayaan seksual
b. Berbagai keluhan somatik (misalnya nyeri perut, nyeri panggul kronis, spastik
kolon, sakit kepala)
3. Keamanan
a. Memar, tanda bekas gigitan, bilur pada kulit, terbakar (tersiran air panas,
rokok) ada bagian botak di kepala, laserasi, perdarahan yang tidak wajar,
ruam/gatal di area genital, fisura anal, goresan kulit, hemoroid, jaringan
parut, perubahan tonus sfingter.
b. Cedera berulang, riwayat bermacam kecelakaan, fraktur/ cedera internal.
c. Perilaku mencederai diri sendiri (bunuh diri), keterlibatan dalam aktivitas
dengan risiko tinggi
d. Kurangnya pengawasan sesuai usia, tidak ada perhatian yang dapat
menghindari bahaya di dalam rumah
4. Seksualitas
a. Perubahan kewaspadaan/aktivitas seksual, meliputi masturbasi kompulsif,
permainan seks dewasa sebelum waktunya, kecenderungan mengulang atau
melakukan kembali pengalaman inses. Kecurigaan yang berlebihan tentang
seks, secara seksual menganiaya anak lain.
b. Perdarahan vagina , laserasi himen linier, bagian mukosa berlendir.
c. Adanya PMS, vaginitis, kutil genital atau kehamilan (terutama pada anak).
19
5. Interaksi sosial
Menarik diri dari rumah, pola interaksi dalam keluarga secara verbal kurang
responsif, peningkatan penggunaan perintah langsung dan pernyataan kritik,
penurunan penghargaan atau pengakuan verbal, merasa rendah diri. Pencapaian
prestasi di sekolah rendah atau prestasi di sekolah menurun.
2. Intervensi Keperawatan
a. Harga diri rendah situasional
Tujuan dan Kriteria Hasil
NOC
Body Image, disiturbed
Coping, ineffective
Personal identity, disturbed
Health behavior, risk
Self esteem situasional, low
Kriteria Hasil :
Adaptasi terhadap ketunadayaan fisik : respon adaptif klien terhadap
tantangan fungsional penting akibat ketunadayaan fisik
Resolusi berduka : penyesuaian dengan kehilangan aktual atau kehilangan
yang akan terjadi
Penyesuaian psikososial : perubahan hidup : respon psikososial adaptiv
individu terhadap perubahan bermakna dalam hidup
Menunjukkan Penilaian pribadi tentang harga diri
Mengungkapkan penerimaan diri
Komunikasi terbuka
Mengatakan optimisme tentang masa depan
Menggunakan strategi koping efektif
Intervensi Keperawatan
NIC
20
Dukung pasien untuk menerima tantangan baru
Kaji alasan-alasan untuk mengkritik atau menyalahkan diri sendiri
Kolaborasi dengan sumber-sumber lain (petugas dinas social, perawat
spesialis klinis, dan layanan keagamaan)
Counseling
21
Ketersediaan dan peningkatakan pemberian aktual bantuan yang andal dari
orang lain
Mengungkapkan penurunan perasaan atau pengalaman diasingkan
Intervensi Keperawatan
NIC
Socialization enhacement
Peran Perawat
22
d. Anda tidak bersalah. Anda adalah koban. Ini bukan kesalahan anda. Apapun
keputusan yang anda buat pada saat pengorbanan adalah hak seseorang karena
anda hidup.
Korban yang telah diperkosa secara seksual takut terhadap kehidupannya dan
harus diyakinkan kembali keamanannya. Ia mungkin juga sangat ragu-ragu
dengan dirinya dan menyalahkan diri sendiri, dan penyataan-pernyataan ini
membangkitkan rasa percaya secara bertahap dan memvalidasi harga diri.
3. Jelaskan setiap prosedur pengkajian yang akan dilakukan dan mengapa.
Pastikan bahwa pengumpulan data dilakukan dalam perawatan, cara tidak
menghakimi, untuk menurunkan ketakutan atau ansietas dan untuk
meningkatkan rasa percaya.
4. Pastikan bahwa pasien memiliki privasi yang adekuat untuk semua intervensi-
intervensi segera pasca-krisis. Cobakan sedikit mungkin orang yang memberikan
perawatan segera atau mengumpulkan bukti segera. Pasien pasca-trauma sangat
rentan. Penambahan orang dalam lingkungannya meningkatkan perasaan rentan
ini dan bertindak meningkatkan ansietas.
5. Dorong pasien untuk menghitung jumlah serangan. Dengarkan, tapi tidak
menyelidiki. Mendengarkan dengan tidak menghakimi memberikan kesempatan
untuk katarsis bahwa pasien perlu memulai pemulihan. Jumlah yang rinci
mungkin dibutuhkan untuk tindak lanjut secara legal, dan seorang klinisi
sebagai pembela pasien, dapat menolong untuk mengurangi trauma dari
pengumpulan bukti.
6. Diskusikan dengan pasien siapa yang dapat dihubungi untuk memberikan
dukungan atau bantuan. Berikan informasi tentang rujukan setelah perawatan.
Karena ansietas berat dan rasa takut, pasien mungkin membutuhkan bantuan
dari orang lain selama periode segera pasca-krisis. Berikan informasi rujukan
tertulis untuk referensi selanjutnya (mis., psikoterapis, klinik kesehatan jiwa,
kelompok pembela masyarakat.
7. Discharge Planning
Hasil yang diharapkan dari pemberian asuhan keperawatan pada anak
dengan penganiayaan seksual (sexual abuse) antara lain:
a. Anak tidak mengalami ansietas panik lagi.
b. Anak mendemonstrasikan derajat percaya kepada perawat primer.
c. Anak menerima perhatian dengan segera terhadap cedera fisiknya.
d. Anak memulai perilaku yang konsisten terhadap respons berduka.
e. Anak mendapatkan perhatian segera untuk cedera fisiknya jika ada.
23
f. Anak menyatakan secara verbal jaminan keamanannya dengan segera.
g. Anak mendiskusikan situasi kehidupannya dengan perawat primer.
h. Anak mampu menyatakan secara verbal pilihan —pilihan yang tersedia
untuk dirinya yang dari hal ini ia menerima bantuan.
i. Anak mendemosntrasikan rasa percaya kepada perawat utama melalui
mendiskusikan perlakuan penganiayaan melalui penggunaan terapi bermain.
j. Anak mendemonstrasikan suatu penurunan dalam perilaku agresif.
24
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ketika seseorang mengalami kekerasan atau pelecehan secara seksual baik itu secara fisik
maupun psikologis, maka kejadian tersebut dapat menimbulkan suatu trauma yang sangat
mendalam dalam diri seseorang tersebut terutama pada anak-anak dan remaja. Dan kejadian
traumatis tersebut dapat mengakibatkan gangguan secara mental, yaitu Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD). Tingkatan gangguan stress pasca trauma berbeda-beda bergantung pada
seberapa parah kejadian tersebut mempengaruhi kondisi psikologis dari korban.
Untuk menyembuhkan gangguan stress pasca trauma pada korban kekerasan atau
pelecehan seksual diperlukan bantuan baik secara medis maupun psikologis, agar korban tidak
merasa tertekan lagi dan bisa hidup secara normal kembali seperti sebelum kejadian trauma. Dan
pendampingan itu sendiri juga harus dengan metode-metode yang benar sehingga dalam menjalani
penyembuhan atau terapi korban tidak mengalami tekanan-tekanan baru yang diakibatkan dari
proses pendampingan itu sendiri.
25
DAFTAR PUSTAKA
Kusumawati dan Hartono . 2010 . Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Jakarta : Salemba Medika
Keliat Budi Ana. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa edisi I. Jakarta : EGC
Nita Fitria. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan untuk 7 Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat. Jakarta:
Salemba Medika.
26
27