Anda di halaman 1dari 27

ASUHAN KEPERAWATAN KORBAN PEMERKOSAAN

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 2

1. AMRIK MAYA J (201702002)


2. ANISTYA ESTI W (201702003)
3. ILHAM ANDIKA (201702019)
4. KRISTINA VERA (201702024)
5. NANING NOVIANA (201702032 )
6. SEFTIN DIANA P (201702039)
7. SHAVIRA MUTIA (201702040)
8. SOFA HIDAYATI (201702041)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

1
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BHAKTI HUSADA MULIA

MADIUN

2019

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT. Karena dengan rahmat dan hidayah
serta karunianya, sehingga masih diberi kesempatan untuk bekerja menyelesaikan makalah kami
yang berjudul “Asuhan Keperawatan Korban Pemerkosaan” makalah ini merupakan salah satu
tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa.

Tidak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada dosen pengajar kami, dan teman-
teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari
bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun
materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak
kami harapkan.

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................... 2
DAFTAR ISI........................................................................................................................ 3

2
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................... 4
A. LATAR BELAKANG............................................................................... 4
B. RUMUSAN MASALAH.......................................................................... 5
C. TUJUAN.................................................................................................. 5

BAB II ANALISIS TEORI........................................................................................ 7


A. DEFINISI................................................................................................. 7
B. GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA............................................ 7
C. TANDA DAN GEJALA........................................................................... 8
D. BATASAN KARAKTERISTIK............................................................... 9
E. PERMASALAHAN................................................................................. 11
F. PENGOBATAN........................................................................................ 17
G. BEBAN PSIKOLOGIS DAN KESEHATAN.......................................... 20
H. ASUHAN KEPERAWATAN KORBAN PEMERKOSAAN…………........... 24

BAB III PENUTUP.................................................................................................... 33


A. KESIMPULAN....................................................................................... 33
B. SARAN..................................................................................................... 33

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini, semakin banyak kasus pelecehan seksual dan perkosaan yang menimpa
anak-anak dan remaja. Kasus pelecehan seksual dan perkosaan sebagian besar menimpa
anak-anak dan remaja putri. Kasus pelecehan seksual dan perkosaan dimulai dari anak-
anak yang masih di bawah umur (Anonim, 2006), pelecehan seks di sekolah (Anonim,
2006), bahkan kepala sekolah yang seharusnya memberi contoh pada murid-muridnya
melakukan pelecehan seksual kepada siswi-siswinya (Anonim,2007), walikota melakukan
pelecehan seksual (Anonim,2006).

3
Pelecehan seksual pada dasarnya adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki
muatan seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan
tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga meimbulkan akibat negative,
seperti : rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri, kehilangan
kesucian, dan sebagainya, pada diri orang yang menjadi korban (Supardi, S & Sadarjoen,
2006)
Walaupun sebagian besar korban pelecehan seksual dan perkosaan adalah wanita,
akan tetapi dalam beberapa kasus, laki-laki juga dapat menjadi korban pelecehan seksual
yang umumnya dilakukan oleh laki-laki juga. Pada sebagian besar kasus perkosaan
dilakukan oleh orang sudah sangat dikenal korban, misalnya teman dekat, kekasih,
saudara, ayah (tiri maupun kandung), guru, pemuka agama, atasan, dan sebagainya.
Sedangkan sebagian kasus lainnya, perkosaan dilakukan oleh orang-orang yang baru
dikenal dan semula nampak sebagai orang baik yang menawarkan bantuan, misalnya teman
dekat, kekasih, saudara, ayah (tiri maupun kandung), guru, pemuka agama, atasan, dan
sebagainya. Sedangkan sebagian kasus lainnya, perkosaan dilakukan oleh orang-oarang
yang baru dikenal dan semula nampak sebagai orang baik-baik yang menawarkan bantuan,
misalnya mengantarkan korban ke suatu tempat.
Menurut Sadarjoen dalam tulisannya yang dimut dalam sebuah sits internet,
pelecehan seksual yang terjadi pada anak, memang tidak sederhana dampak psikologisnya.
Anak akan diliputi perasaan dendam, marah, penuh kebencian yang tadinya ditujukan
kepada orang yang melecehkannya dan kemudian menyebar kepada obyek-obyek atau
orang-orang lain(Supardi, S & Sadarjoen,2006).
Pelecehan seksual dan perkosaan dapat menimbulkn efek trauma yang mendalam
pada para korbannya. Korban pelecehan seksual dan perkosaan juga dapat mengalami
gangguan stress akibat pengalaman traumatis yang telah dialaminya. Gangguan stress yang
dialami korban pelecehan seksual dan perkosaan seringkali disebut Gangguan Stres Pasca
Trauma (Post Traumatic Stress Disorder (PSTD)).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian Pemerkosaan
2. Gangguan Stress Pasca Trauma
3. Tanda Dan Gejala
4. Batasan Karakteristik
5. Permasalahan
6. Pengobatan
7. Beban Psikologis Dan Kesehatan

4
8. Asuhan Keperawatan Korban Pemerkosaan

C. TUJUAN
1. Mengetahui Pengertian Pemerkosaan
2. Mengetahui Gangguan Stress Pasca Trauma
3. Mengetahui Tanda Dan Gejala
4. Mengetahui Batasan Karakteristik
5. Mengetahui Permasalahan
6. Mengetahui Pengobatan
7. Mengetahui Beban Psikologis Dan Kesehatan
8. Mengetahui Asuhan Keperawatan Korban Pemerkosaan

BAB II

5
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Perkosaan (rape) merupakan bagian dari tindakan kekerasan (violence), sedangkan
kekerasan dapat berupa kekerasan secara fisik, mental, emosional dan hal-hal yang sangat
menakutkan pada korban. Perkosaan adalah suatu penetrasi penembusan penis ke vagina
perempuan yang tidak dikehendaki, tanpa persetujuan dan tindakan itu diikuti dengan
pemaksaan baik fisik maupun mental.
Pengertian pemerkosaan berdasarkan Pasal 381 RUU KUHP :
1. Seorang laki-laki dengan perempuan bersetubuh, bertentangan dengan kehendaknya,
tanpa persetubuhan atau dengan persetubuhan yang dicapai melalui ancaman atau
percaya ia suaminya atau wanita dibawah 14 tahun dianggap perkosaan.
2. Dalam keadaan ayat (1), memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut
perempuan, benda bukan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan.
Kalimat korban perkosaan menurut arti leksikal dan gramatikal adalah suatu
kejadian, perbuatan jahat, atau akibat suatu kejadian, atau perbuatan jahat. Perkosaan
adalah menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi,
merogol. (Mensikbud,2010 : 525, 757 )

B. Gangguan Stres Pasca Trauma


Seseorang psikiater di Jakarta yang bernama W. Roen menyatakan trauma berarti
cidera, kerusakan jaringan, luka atau shock. Sementara trauma psikis, dalam Psikologi
diartikan sebagai kecemasan hebat dan mendadak akibat suatu peristiwa dilingkungan
seseorang yang melampaui batas kemampuannya untuk bertahan, mengatasi atau
menghindari (Roan, W, 2003). Gangguan stress pasca trauma (Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD)) merupakan suatu sindrom kecemasan, labilitas autonomic,
ketidaktentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih itu setelah
stress fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa (Kaplan et al,
1997). Menurut National Intitute of Mental Health (NIMH), definisi PTSD adalah
gangguan berupa kecemasan yang bisa timbul setelah seseorang mengalami suatu peristiwa
yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa yang menimbulkan trauma ini
bisa berupa serangan kekerasan, bencana alam yang menimpa manusia, kecelakaan atau
perang (Anonim, 2005).

6
Sedangkan Hikmat mengatakan bahwa PTSD adalah sebuah kondisi yang muncul
setelah pengalaman luar biasa yang mencekam, mengerikan, dan mengancam jiwa
seseorang seperti bencana alam, kecelakaan hebat, sexual abuse (kekerasan seksual), atau
perang (Hikmat, 2006).

C. Tanda dan Gejala


1. Terdapat stressor yang berat dan jelas (kekerasan, perkosaan), yang akan menimbulkan
gejala penderitaan yang berarti bagi hamper setiap orang.
2. Penghayatan yang berulang-ulang dari trauma itu yang dibuktikan oleh terdapatnya
paling sedikit satu dari hal berikut :
a. Ingatan berulang dan menonjol tentang peristiwa itu
b. Mimpi-mimpi berulang dari peristiwa itu
c. Timbulnya secara tiba-tiba perilaku atau perasaan seolah-olah peristiwa traumatic
itu sedang timbul kembali, karena berkaitan dengan suatu gagasan atau
stimulus/rangsangan lingkungan
3. Penumpukan respon terhadap atau berkurangnya hubungan dengan luar (“psychic
numbing” atau “anesthesia emotional”) yang dimulai beberapa waktu sesudah trauma,
dan dinyatakan paling sedikit satu dari hal beriku :
a. Berkurangnya secara jelas minat terhadap satu atau lebih aktivitas yang cukup
berarti
b. Perasaan terlepas atau tersaing dari orang lain
c. Efek (alam perasaan) yang menyempit (constricted affect) atau efek depresi
(murung, sedih, putus asa)
4. Paling sedikit ada dua dari gejala-gejala berikut ini yang tidak ada sebelum trauma
terjadi, yaitu :
a. Kewaspadaan atau reaksi terkejut yang berlebihan
b. Gangguan tidur (disertai mimpi-mimpi yang menggelisahkan)
c. Perasaan bersalah karena lolos dari bahaya maut, sedangkan orang lain tidak, atau
merasa bersalah tentang perbuatan yang dilakukannya agar tetap hidup
d. Hendaya (impairment) daya ingat atau kesukaran konsentrasi
e. Penghindaran diri dari aktivitas yang membangkitkan ingatan tentang peristiwa
traumatic itu
f. Peningkatan gejala-gejala apabila dihadapkan pada peristiwa yang menyimbolkan
atau menyerupai peristiwa traumatic itu.

D. Batasan Karakteristik
1. Fase akut
a. Respon somatic
1) Peka rangsangan gastrointestinal (mual, muntah, anoreksia)
2) Ketidaknyamanan genitourinarius (nyeri, pruritus)

7
3) Ketegangan otot-otot rangka (spasme, nyeri)
b. Respon psikologis
1) Menyangkal
2) Syok emosional
3) Marah
4) Takut akan mengalami kesepian, atau pemerkosaan akan kembali
5) Rasa bersalah
6) Panic melihat pemerkosa atau dengan penyerangan
c. Respon seksual
1) Tidak percaya pada laki-laki
2) Perubahan dalam perilaku seksual

2. Fase jangka panjang


Setiap respons pada fase akut dapat berlanjut jika tidak pernah terjadi resolusi
a. Respon psikologis
1) Fobia
2) Mimpi buruk atau gangguan tidur
3) Ansietas
4) Depresi

E. Permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan korban pemerkosaan


1. Panic attack (serangan panik)
Anak / remaja yang mempunyai pengalaman trauma dapat mengalami serangan
panic ketika dihadapkan / menghadapi sesuatu yang meningatkan mereka pada
trauma. Serangan panik meliputi perasaan yang kuat atas ketakutan atau perasaan
tidak nyaman yang menyertai gejala fisik maupun psikologis. Gejala fisik meliputi
jantung berdebar-debar, berkeringat, gemetar, sesak nafas, sakit dada, sakit perut,
pusing, merasa kedinginan, badan panas, mati rasa.
2. Perilaku menghindar
Menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan penderita pada kejadian traumatis.
Kadang-kadang penderita mengaitkan semua kejadian dalam seluruh kehidupannya
setiap hari dengan kejadian trauma, padahal kondisi kehidupan sekarang jauh dari
kondisi trauma yang pernah dialaminya. Hal ini seringkali menjadi lebih parah
sehingga penderita menjadi takut untuk keluar rumah dan harus ditemani oleh orang
lain jika harus keluar rumah.
3. Depresi
Banyak orang menjadi depresi setelah mengalami pengalaman trauma dan menjadi
tidak tertarik dengan hal-hal yang disenanginya sebelum peristiwa traima. Mereka
mengembangkan perasaan-perasaan yang tidak benar, perasaan bersalah, menyalahkan

8
diri sendiri, dan merasa bahwa peristiea yang dialaminya adalah merupakan
kesalahannya, walaupun semua itu tidak benar.
4. Membunuh pikiran dan perasaan
Kadang-kadang orang yang depresi berat merasa bahwa kehidupnnya sudah tidak
berharga. Hasil penelitian menjelaskan bahwa 50% korban kejahatan mempunyai
pikiran untuk bunuh diri. Jika anda dan orang yang terdekat dengan anda mempunyai
pemikiran untuk bunuh diri setelah mengalami peristiwa traumatic, segeralah mencari
pertolongan dan berkonsultasi dengan para professional.

5. Merasa disisihkan dan sendiri


Perlunya dukungan dari lingkungan sosialnya tetapi mereka seringkali merasa
sendiri dan terpisah. Karena perasaan mereka tersebut, penderita kesulitan untuk
berhubungan dengan orang lain dan mendapatkan pertolongan. Penderita susah untuk
percaya bahwa orang lain dapat memahami apa yang telah dia alami.
6. Merasa tidak percaya dan dikhianati
Setelah mengalami pengalaman yang menyedihkan, penderita mungkin kehilangan
kepercayaan dengan orang lain dan merasa dikhianati atau ditipu oleh dunia, nasib
atau oleh Tuhan.
7. Mudah marah
Marah dan mudah tersinggung adalah reaksi yang umum diantara penderita
trauma. Tentu saja kita dapat salah kapan saja, khusunya ketika penderita merasa
tersakiti, marah adalah suatu reaksi yang wajar dan dapat dibenarkan. Bagaimana,
kemarahan yang berlebihan dapat mempengaruhi proses penyembuhan dan
menghambat penderita untuk berinteraksi dengan orang lain di rumah dan di tempat
terapi.
8. Gangguan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari
Beberapa gangguan yang terkait dengan fungsi sosial dan gangguan di sekolah
dalam jangka waktu yang lama setelah trauma. Seorang korban kejahatan mungkin
menjadi sangat takut untuk tinggal sendirian. Penderita mungkin kehilangan
kemampuannya dalam berkonsentrasi dan melakukan tugasnya di sekolah. Bantuan
perawatan pada penderita sangat penting agar permasalahan tidak berkembang lebih
lanjut.
9. Persepsi dan kepercayaan yang aneh
Adakalanya seseorang yang telah mengalami trauma yang menjengkelkan,
seringkali untuk sementara dapat mengembangkan ide atau persepsi yang aneh
(misalnya: percaya bahwa dia bisa berkomunikasi atau melihat orang-orang yang

9
sudah meninggal). Walaupun gejala ini menakutkan dan meyerupai halusinasi dan
khayalan, gejala tersebut seringkali bersifat sementara dan hilang dengan sendirinya.

F. Kemungkinan perilaku anak-anak dan remaja yang mengalami trauma :

Usia Korban Akibat yang normal Resiko ketika sedang stress Saat perlu ditangani
oleh tenaga
profesional
1-5 tahun Menghisap jempol, Menangis tidak terkontrol Keinginan menyendiri
mengompol, kurang secara berlebihan
dapat mengontrol diri
Tidak mengenal Gemetaran karena Tidak ada respon
waktu. Ingin ketakutan, tidak bisa terhadap perhatian
menunjukkan bergerak khusus
kemandirian
Takut gelap atau Berlarian ketakutan tanpa
binatang, sehingga arah
merasa terteror di
malam hari
Tidak mau lepas dari Terlalu ketakutan dan tidak
pegangan orang tua mau ditinggal sendirian
Rasa ingin tahu, Perilaku agresif (kembali
eksploratif menghisap jari atau
mengompol lagi)
Tidak dapat menahan Amat sensitive dengan suara
kencing maupun dan cuaca
menahan kencing
maupun buang air
besar
Kesulitan bicara Bingung, panik
Perubahan selera Sulit makan
makan
5-11 tahun Rasa gelisah, Perilaku regresif yang jelas

10
ketakutan terlihat (menjadi lebih
kekanak-kanakan)
Mengeluh Gangguan tidur
Senang menempel Ketakutan akan cuaca
kepada orang tua atau
yang dianggap dekat
Pertanyaan yang Pusing, mual, timbul
agresif masalah penglihatan dan
pendengaran
Berkompetisi dengan Kekuatan yang tidak
sebayanya / beralasan
saudaranya untuk
mencari perhatian
orang tua / guru
Menghindar atau Menolak untuk masuk
malas ke sekolah sekolah, tidak bisa
konsentrasi, dan senang
berkelahi
Mimpi buruk, dan Tidak dapat beraktivitas
takut gelap dengan baik
Menyendiri dari
kawan-kawan
Hilang minat /
konsentrasi di sekolah
Remaja awal Gangguan tidur Menarik diri, menyendiri Disorientasi dan lupa
(11-14 tahun) terhadap sesuatu
Tidak ada nafsu makan Depresi, kesedihan, dan Depresi berat dan
membahayakan bunuh diri tidak mau ketemu
orang
Menjadi pemberontak Perilaku agresif Memakai obat-obat
di rumah atau tidak terlarang
mau mengerjakan
tugasnya
Permasalahan Depresi Tidak bisa merawat
kesehatan (kulit, dirinya (makan,
buang air besar, pegal- minum, mandi)

11
pegal, pusing)
Remaja Masalah psikosomatis Bingung
(14-18 tahun)
(gatal, sulit buang air
besar, asma)
Pusing/perasaan Menarik diri dan menyendiri Halusinasi, ketakutan
tertekan akan membunuh diri
sendiri atau orang lain
Gangguan selera Perilaku antisosial (mencuri, Tidak dapat
makan dan tidur agresif, dan mencari memutuskan hal-hal
perhatian dengan yang paling mudah
bertingkah) sekalipun
Mulai mengidentifikasi Menarik diri dan tidur terlalu Terlalu terobsesi/
diri dengan kawan pulas atau ketakutan di dikuasai oleh satu
sebaya, ingin waktu malam pikiran
menyendiri dengan
menghindar dari acara
keluarga
Protes, apatis Depresi
Perilaku yang tidak
bertanggung jawab
Tidak bisa
berkonsentrasi

G. Pengobatan
Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan korban pemerkosaan, yaitu
dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi.
1. Farmakoterapi
Mulai terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang sudah dikenal.
Terapi dengan anti depresiva pada gangguan stress pasca traumatik ini masih
kontroversial. Obat yang biasa digunakan adalah benzodiazepin, litium, camcolit dan
zat pemblok beta — seperti propranolol, klonidin, dan karbamazepin. Obat tersebut
biasanya diresepkan sebagai obat yang sudah diberikan sejak lama dan kini dilanjutkan

12
sesuai yang diprogramkan, dengan kekecualian, yaitu benzodiazepin — contoh,
estazolam 0,5 — 1 mg per os, Oksanazepam10-30 mg per os, Diazepam (valium) 5
— 10 mg per os, Klonazepam 0,25 — 0,5 mg per os, atau Lorazepam 1- 2 mg per os
atau IM — juga dapat digunakan dalam UGD atau kamar praktek terhadap ansietas
yang gawat dan agitasi yang timbul bersama gangguan stres pasca traumatik tersebut
(Kaplan et al, 1997).
2. Psikoterapi
a. Anxiety Management
Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk
membantu mengatasi gejala korban pemerkosaan dengan lebih baik melalui :
b. Relaxation Training
Yaitu belajar untuk mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan
merelaksasikan kelompok otot-otot utama.
c. Breathing retraining
Yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan-lahan, santai dan menghindari
bernafas dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan
reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala.

d. Positive thinking dan self-talk


Yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran
positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat stress (stresor).
e. Assertiveness Training
Yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa
menyalahkan atau menyakiti orang lain.
f. Thought Stopping
Yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal
yang membuat kita stress (Anonim, 2005).
g. Cognitive therapy
Terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang
mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan-kegiatan kita. Misalnya seorang
korban kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati-hati. Tujuan
kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional,
mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran
tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu
mencapai emosi yang lebih seimbang (Anonim, 2005).
h. Exposure therapy
Pada exposure terapi, terapis membantu menghadapi situasi yang khusus, orang
lain, obyek, memori atau emosi yang mengingatkan pada trauma dan menimbulkan

13
ketakutan yang tidak realistik dalam kehidupan sehari-hari. Terapi ini dapat
berjalan dengan dua cara :
i. Exposure in the imagination
Terapis bertanya kepada penderita untuk mengulang-ulang cerita secara detail
kenangan-kenangan traumatis sampai mereka tidak mengalami hambatan untuk
menceritakannya.
j. Exposure in reality
Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin
dihindari karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misalnya : kembali ke
rumah setelah terjadi perampokan di rumah). Ketakutan itu akan bertambah kuat
jika kita berusaha untuk mengingat situasi tersebut dibanding berusaha untuk
melupakannya. Pengulangan situasi yang disertai penyadaran yang berulang-ulang
akan membantu kita menyadari bahwa situasi lampau yang menakutkan tidak lagi
berbahaya dan kita dapat mengatasinya (Anonim, 2005).
k. Play therapy
Terapi bermain digunakan untuk menerapi anak-anak dengan trauma. Terapis
menggunakan permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara
langsung. Hal ini dapat membantu anak-anak untuk lebih merasa nyaman dalam
berproses dengan pengalaman traumatiknya (Anonim, 2005).
l. Support Group Therapy
Seluruh peserta dalam Support Group Therapy merupakan korban perkosaan, yang
mempunyai pengalaman serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa
bumi) dimana dalam proses terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman
traumatis mereka, kemdian mereka saling memberi penguatan satu sama lain
(Swalm, 2005).
m. Terapi Bicara
Sejumlah studi penelitian membuktikan bahwa terapi berupa saling berbagi cerita
mengenai trauma mampu memperbaiki kondisi kejiwaan penderita. Dengan berbagi
pengalaman, korban bisa memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang
dipendamnya selama ini. Bertukar cerita dengan sesama penderita membuat
mereka merasa senasib, bahkan merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi
ini memicu seseorang untuk bangkit dari trauma yang dideritanya dan melawan
kecemasan (Anonim, 2005).

14
H. Beban Psikologis dan Kesehatan Korban Pemerkosaan
Kondisi, dampak, dan tantangan yang dihadapi tiap korban pemerkosaan berbeda satu
sama lain. Merasa takut, cemas, panik, shock, atau bersalah adalah hal yang wajar. Luka
yang mereka rasakan dapat menetap dan berdampak hingga seumur hidup. Banyak korban
yang merasa kehilangan kepercayaan diri dan kendali atas hidup mereka sendiri. Hal ini
juga dapat membuat mereka kesulitan mengungkapkan yang terjadi pada diri mereka,
meski cerita mereka sangat dibutuhkan untuk menindak pelaku. Berbagai perasaan yang
campur aduk dan situasi rumit tersebut akan membawa dampak bagi kesehatan dan
psikologis mereka.

1. Beban Psikologis
Tindak pemerkosaan pasti mendatangkan trauma bagi yang mengalaminya. Respons
tiap orang terhadap pemerkosaan yang menimpanya pasti berbeda dengan munculnya
berbagai perasaan yang menjadi satu dan bahkan dapat baru terlihat lama setelah
peristiwa tersebut terjadi. Berikut ini adalah beberapa perubahan psikologis yang
umumnya dialami korban.
a. Menyalahkan diri sendiri

Sikap menyalahkan diri sendiri adalah kondisi yang paling umum dialami korban
pemerkosaan. Sikap inilah yang paling menghambat proses penyembuhan.

Korban pemerkosaan dapat berisiko menyalahkan diri sendiri karena dua hal:

1) Menyalahkan diri karena perilaku. Mereka menganggap ada yang salah


dalam tindakan mereka sehingga akhirnya mengalami tindakan
pemerkosaan. Mereka akan terus merasa untuk seharusnya berperilaku
berbeda sehingga tidak diperkosa.
2) Menyalahkan diri karena merasa ada sesuatu yang salah di dalam diri
mereka sendiri sehingga mereka pantas mendapatkan perlakuan kasar.
Sayangnya orang-orang terdekat, seperti pasangan, belum tentu dapat
mendukung pulihnya kondisi pasien. Sebagian kerabat korban mungkin merasa
tidak dapat menerima kenyataan atau justru menyalahkan sehingga korban
makin berada dalam posisi yang sulit.
Kebanyakan korban pemerkosaan juga tidak dapat dengan mudah diyakinkan
bahwa ini bukanlah salah mereka. Rasa malu ini kemudian berhubungan erat

15
dengan gangguan lain, seperti pola makan, kecemasan, depresi, mengonsumsi
minuman keras dan obat-obatan terlarang, serta gangguan mental lain. Kondisi
ini dapat diatasi dengan terapi perilaku kognitif dalam melakukan reka ulang
proses penyusunan fakta dan logika dalam pikiran.

b. Bunuh diri
Kondisi stres pascatrauma membuat korban pemerkosaan lebih berisiko untuk
memutuskan bunuh diri. Tindakan ini terutama dipicu oleh rasa malu dan merasa
tidak berharga.
c. Kriminalisasi korban pemerkosaan
Pada budaya dan kelompok masyarakat tertentu, korban pemerkosaan dapat
menjadi korban untuk kedua kalinya karena dianggap telah berdosa dan tidak layak
hidup. Mereka diasingkan dari masyarakat, tidak diperbolehkan menikah, atau
diceraikan (jika telah menikah). Dalam kelompok masyarakat lain, kriminalisasi
pun dapat terjadi ketika korban disalahkan karena dianggap perilaku atau cara
berpakaiannya yang menjadi penyebab diperkosa.
Selain itu, korban berisiko mengalami hal-hal lain seperti depresi, merasa seakan-
akan peristiwa tersebut terulang terus-menerus, sering merasa cemas dan panik,
mengalami gangguan tidur dan sering bermimpi buruk, sering menangis,
menyendiri, menghindari pertemuan dengan orang lain, atau sebaliknya tidak mau
ditinggal sendiri. Ada kalanya mereka menarik diri dan menjadi pendiam, atau
justru menjadi pemarah.
2. Efek terhadap Fisik Korban
Selain luka psikologis, korban pemerkosaan membawa luka pada tubuhnya. Sebagian
mungkin terlihat, namun sebagian lagi barangkali baru dapat dideteksi beberapa waktu
kemudian.
Sementara secara fisik mereka dapat terlihat mengalami perubahan pola makan atau
gangguan pola makan. Tubuh mereka bisa terlihat tidak terawat, berat badan turun,
dan luka pada tubuh seperti memar atau cedera pada vagina.
Berikut beberapa kondisi yang umum terjadi pada korban pemerkosaan:
a. Penyakit menular seksual (PMS)

16
Penetrasi vagina yang dipaksakan membuat terjadinya luka yang membuat virus
dapat masuk melalui mukosa vagina. Kondisi ini lebih rawan terjadi pada anak atau
remaja yang lapisan mukosa vaginanya belum terbentuk dengan kuat.

Meski belum ada tanda-tanda yang terasa, namun korban pemerkosaan sebaiknya
memeriksakan diri untuk mendeteksi kemungkinan terkena penyakit menular
seksual. Infeksi seperti HIV (virus yang menyebabkan AIDS) dapat ditangani
dengan post-exposure prophylaxis (PEP), yaitu perawatan profilaksis setelah tubuh
terpapar penyakit. Namun perawatan ini harus dilakukan sesegera mungkin.

b. Penyakit lain

Selain penyakit menular seksual, korban perkosaan umumnya menderita


konsekuensi yang berpengaruh pada kesehatan mereka:

 Peradangan pada vagina atau vaginitis.

 Infeksi atau pendarahan pada vagina atau anus.

 Gangguan hasrat seksual hipoaktif (hypoactive sexual desire disorder/HSDD):


keengganan esktrem untuk berhubungan seksual atau justru menghindari
semua atau hampir semua kontak seksual.

 Nyeri saat berhubungan seksual, disebut juga dyspareunia.

 Vaginismus: kondisi yang memengaruhi kemampuan wanita untuk merespons


penetrasi ke vagina akibat otot vagina yang berkontraksi di luar kontrol.

 Infeksi kantong kemih.

 Nyeri panggul kronis.

c. Kehamilan yang tidak diinginkan

Kehamilan adalah salah satu kondisi dan konsekuensi terberat yang mungkin terjadi
pada korban pemerkosaan. Belum berhasil menyembuhkan diri sendiri, mereka
harus dihadapkan pada kenyataan adanya kehidupan lain di dalam tubuhnya yang
sebenarnya tidak mereka harapkan. Kondisi psikologis wanita yang buruk dapat
membuat bayi berisiko tinggi mengalami kondisi kelainan atau lahir prematur.

17
Dampak fisik mungkin dapat sembuh dalam waktu lebih singkat. Namun dampak
psikologis dapat membekas lebih lama. Peran keluarga, kerabat, dokter, dan terapis
akan menjadi kunci dari kesembuhan dan ketenangan bagi mereka yang menjadi
korban pemerkosaan.

I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Menurut Doenges et.al (2007) pengkajian anak yang mengalami penganiayaan
seksual (sexual abuse) antara lain :
1. Aktivitas atau istirahat : Masalah tidur (misalnya tidak dapat tidur atau tidur
berlebihan, mimpi buruk, berjalan saat tidur, tidur di tempat yang asing, keletihan.
2. Integritas ego
a. Pencapaian diri negatif, menyalahkan diri sendiri/meminta ampun karena
tindakannya terhadap orang tua.
b. Harga diri rendah (pelaku/korban penganiayaan seksual yang selamat)
c. Perasaan bersalah, marah, takut dan malu, putus asa dan atau tidak berdaya
d. Minimisasi atau penyangkalan signifikasi perilaku (mekanisme pertahanan yang
paling dominan/menonjol)
e. Penghindaran atau takut pada orang, tempat, objek tertentu, sikap menunduk,
takut (terutama jika ada pelaku)
f. Melaporkan faktor stres (misalnya keluarga tidak bekerja, perubahan finansial,
pola hidup, perselisihan dalam pernikahan)
g. Permusuhan terhadap/objek/tidak percaya pada orang lain
3. Eliminasi
a. Enuresisi, enkopresis.
b. Infeksi saluran kemih yang berulang.
c. Perubahan tonus sfingter.
4. Makan dan minum : Muntah sering, perubahan selera makan (anoreksia), makan
berlebihan, perubahan berat badan, kegagalan memperoleh berat badan yang
sesuai .
5. Higiene
a. Mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan kondisi cuaca (penganiayaan
seksual) atau tidak adekuat memberi perlindungan.

18
b. Mandi berlebihan/ansietas (penganiayaan seksual), penampilan kotor/tidak
terpelihara.
6. Neurosensori
a. Perilaku ekstrem (tingkah laku sangat agresif/menuntut), sangat amuk atau
pasivitas dan menarik diri, perilaku tidak sesuai dengan usia
b. Status mental : memori tidak sadar, periode amnesia, lap[oran adanya
pengingatan kembali. Pikiran tidak terorganisasi, kesulitan
konsentrasi/membuat keputusan. Afek tidak sesuai, mungkin sangat waspada,
cemas dan depresi.
c. Perubahan alam perasaan, kepribadian ganda, cinta, kebaikan dan penyesalan
yang dalam setelah penganiayaan seksual terjadi.
d. Kecemburuan patologis, pengendalian impuls yang buruk, ketrampilan koping
terbatas, kurang empati terhadap orang lain.
e. Membantung. Menghisap jempol atau perilaku kebiasaan lain : gelisah (korban
selamat).
f. Manifestasi psikiatrik (misal : fenomena disosiatif meliputi kepribadian ganda
(penganiayaan seksual), gangguan kepribadian ambang (koeban inses dewasa)
g. Adanya defisit neurologis/kerusakaan SSP tanpa tanda-tanda cedera eksternal
2. Nyeri atau ketidaknyamanan
a. Bergantung pada cedera/bentuk penganiayaan seksual
b. Berbagai keluhan somatik (misalnya nyeri perut, nyeri panggul kronis, spastik
kolon, sakit kepala)
3. Keamanan
a. Memar, tanda bekas gigitan, bilur pada kulit, terbakar (tersiran air panas,
rokok) ada bagian botak di kepala, laserasi, perdarahan yang tidak wajar,
ruam/gatal di area genital, fisura anal, goresan kulit, hemoroid, jaringan
parut, perubahan tonus sfingter.
b. Cedera berulang, riwayat bermacam kecelakaan, fraktur/ cedera internal.
c. Perilaku mencederai diri sendiri (bunuh diri), keterlibatan dalam aktivitas
dengan risiko tinggi
d. Kurangnya pengawasan sesuai usia, tidak ada perhatian yang dapat
menghindari bahaya di dalam rumah
4. Seksualitas
a. Perubahan kewaspadaan/aktivitas seksual, meliputi masturbasi kompulsif,
permainan seks dewasa sebelum waktunya, kecenderungan mengulang atau
melakukan kembali pengalaman inses. Kecurigaan yang berlebihan tentang
seks, secara seksual menganiaya anak lain.
b. Perdarahan vagina , laserasi himen linier, bagian mukosa berlendir.
c. Adanya PMS, vaginitis, kutil genital atau kehamilan (terutama pada anak).

19
5. Interaksi sosial
Menarik diri dari rumah, pola interaksi dalam keluarga secara verbal kurang
responsif, peningkatan penggunaan perintah langsung dan pernyataan kritik,
penurunan penghargaan atau pengakuan verbal, merasa rendah diri. Pencapaian
prestasi di sekolah rendah atau prestasi di sekolah menurun.

2. Intervensi Keperawatan
a. Harga diri rendah situasional
Tujuan dan Kriteria Hasil
NOC
 Body Image, disiturbed
 Coping, ineffective
 Personal identity, disturbed
 Health behavior, risk
 Self esteem situasional, low
Kriteria Hasil :
 Adaptasi terhadap ketunadayaan fisik : respon adaptif klien terhadap
tantangan fungsional penting akibat ketunadayaan fisik
 Resolusi berduka : penyesuaian dengan kehilangan aktual atau kehilangan
yang akan terjadi
 Penyesuaian psikososial : perubahan hidup : respon psikososial adaptiv
individu terhadap perubahan bermakna dalam hidup
 Menunjukkan Penilaian pribadi tentang harga diri
 Mengungkapkan penerimaan diri
 Komunikasi terbuka
 Mengatakan optimisme tentang masa depan
 Menggunakan strategi koping efektif
Intervensi Keperawatan

NIC

Self Esteem Enhancement

 Tunjukan rasa percaya diri terhadap kemampuan pasien untuk mengatasi


situasi
 Dorong pasien mengidentifikasi kekuatan dirinya
 Ajarkan keterampilan perilaku yang positif melalui bermain peran, model
peran, diskusi
 Dukung peningkatan tanggung jawab diri, jika diperlukan
 Buat statement positif terhadap pasien
 Monitor frekuensi komunikasi verbal pasien yang negative

20
 Dukung pasien untuk menerima tantangan baru
 Kaji alasan-alasan untuk mengkritik atau menyalahkan diri sendiri
 Kolaborasi dengan sumber-sumber lain (petugas dinas social, perawat
spesialis klinis, dan layanan keagamaan)

Counseling

 Menggunakan proses pertolongan interakftif yang berfokus pada kebutuhan,


masalah, atau perasaan pasien dan orang terdekat untuk meningkatkan atau
mendukung koping pemecahan masalah
Coping Enhancement

Body Image enhancement

b. Gangguan isolasi social (menarik diri)


NOC
 Social interaction skills
 Stress level
 Sosial support
 Post-Trauma Syndrome
Kriteria Hasil

 Iklim sosial keluarga : lingkungan yang mendukung yang bercirikan hubungan


dan tujuan anggota keluarga
 Partisipasi waktu luang : menggunakan aktivitas yang menarik, menyenangkan,
dan menenangkan untuk meningkat kesejahteraan
 Keseimbangan pada perasaan : mampu menyesuaikan terhadap emosi sebagai
respon terhadap keadaan tertentu
 Keparahan kesepian : mengendalikan keparahan respon emosi, sosial atau
eksistensi terhadap isolasi.
 Penyesuaian yang tepat terhadap tekanan emosi sebagai respon terhadap
keadaan tertentu
 Tingkat persepsi positif tentang status kesehatan dan status hidup individu
 Partisipasi dalam bermain, penggunaan aktivitas oleh anak usia 1-11 tahun
untuk meningkatkan kesenangan, hiburan, dan perkembangan
 Meningkatkan hubungan yang efektif dalam perilaku pribadi, Interaksi sosial
dengan orang, kelompok, atau organisasi

21
 Ketersediaan dan peningkatakan pemberian aktual bantuan yang andal dari
orang lain
 Mengungkapkan penurunan perasaan atau pengalaman diasingkan
Intervensi Keperawatan

NIC

Socialization enhacement

 Fasilitasi dukungan kepada pasien oleh keluarga, teman dan komunitas


 Dukung hubungan dengan orang lain yang mempunyai minat dan tujuan yang
sama
 Dorong melakukan aktivitas sosial dan komunitas
 Berikan uji pembatasan interpersonal
 Berikan umpan balik tentang peningkatan dalam perawatan dan penampilan
diri atau aktivitas lain
 Hadapkan pasien pada hambatan penilaian, jika memungkinkan
 Dukung pasien untuk mengubah lingkungan seperti pergi jalan-jalan dan
bioskop
 Fasilitasi pasien yang mempunyai penurunan sensory seperti penggunaan
kacamata dan alat pendengaran
 Fasilitasi pasien untuk berpartisipasi dalam diskusi dengan group kecil
 Membantu pasien mengembangkan atau meningkatkan keterampilan sosial
interpersonal
 Kurangi stigma isolasi dengan menghormati martabat pasien
 Gali kekuatan dan kelemahan pasien dalam berinteraksi sosial
c. Gangguan alam perasaan depresi
TUM: klien tidak berisiko mencederai diri
TUK:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
2. Klien dapat menggunakan koping adaptif
3. Klien terlindungi dari perilaku mencederai diri
4. Klien dapat meningkatkan harga diri
5. Klien dapat menggunakan dukungan sosial

Peran Perawat

1. Pentingnya mengkomunikasikan empat ucapan berikut ini pada korban


perkosaan :
a. Saya prihatin hal ini terjadi padamu
b. Anda aman disini
c. Saya senang anda hidup

22
d. Anda tidak bersalah. Anda adalah koban. Ini bukan kesalahan anda. Apapun
keputusan yang anda buat pada saat pengorbanan adalah hak seseorang karena
anda hidup.
Korban yang telah diperkosa secara seksual takut terhadap kehidupannya dan
harus diyakinkan kembali keamanannya. Ia mungkin juga sangat ragu-ragu
dengan dirinya dan menyalahkan diri sendiri, dan penyataan-pernyataan ini
membangkitkan rasa percaya secara bertahap dan memvalidasi harga diri.
3. Jelaskan setiap prosedur pengkajian yang akan dilakukan dan mengapa.
Pastikan bahwa pengumpulan data dilakukan dalam perawatan, cara tidak
menghakimi, untuk menurunkan ketakutan atau ansietas dan untuk
meningkatkan rasa percaya.
4. Pastikan bahwa pasien memiliki privasi yang adekuat untuk semua intervensi-
intervensi segera pasca-krisis. Cobakan sedikit mungkin orang yang memberikan
perawatan segera atau mengumpulkan bukti segera. Pasien pasca-trauma sangat
rentan. Penambahan orang dalam lingkungannya meningkatkan perasaan rentan
ini dan bertindak meningkatkan ansietas.
5. Dorong pasien untuk menghitung jumlah serangan. Dengarkan, tapi tidak
menyelidiki. Mendengarkan dengan tidak menghakimi memberikan kesempatan
untuk katarsis bahwa pasien perlu memulai pemulihan. Jumlah yang rinci
mungkin dibutuhkan untuk tindak lanjut secara legal, dan seorang klinisi
sebagai pembela pasien, dapat menolong untuk mengurangi trauma dari
pengumpulan bukti.
6. Diskusikan dengan pasien siapa yang dapat dihubungi untuk memberikan
dukungan atau bantuan. Berikan informasi tentang rujukan setelah perawatan.
Karena ansietas berat dan rasa takut, pasien mungkin membutuhkan bantuan
dari orang lain selama periode segera pasca-krisis. Berikan informasi rujukan
tertulis untuk referensi selanjutnya (mis., psikoterapis, klinik kesehatan jiwa,
kelompok pembela masyarakat.
7. Discharge Planning
Hasil yang diharapkan dari pemberian asuhan keperawatan pada anak
dengan penganiayaan seksual (sexual abuse) antara lain:
a. Anak tidak mengalami ansietas panik lagi.
b. Anak mendemonstrasikan derajat percaya kepada perawat primer.
c. Anak menerima perhatian dengan segera terhadap cedera fisiknya.
d. Anak memulai perilaku yang konsisten terhadap respons berduka.
e. Anak mendapatkan perhatian segera untuk cedera fisiknya jika ada.

23
f. Anak menyatakan secara verbal jaminan keamanannya dengan segera.
g. Anak mendiskusikan situasi kehidupannya dengan perawat primer.
h. Anak mampu menyatakan secara verbal pilihan —pilihan yang tersedia
untuk dirinya yang dari hal ini ia menerima bantuan.
i. Anak mendemosntrasikan rasa percaya kepada perawat utama melalui
mendiskusikan perlakuan penganiayaan melalui penggunaan terapi bermain.
j. Anak mendemonstrasikan suatu penurunan dalam perilaku agresif.

24
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Ketika seseorang mengalami kekerasan atau pelecehan secara seksual baik itu secara fisik
maupun psikologis, maka kejadian tersebut dapat menimbulkan suatu trauma yang sangat
mendalam dalam diri seseorang tersebut terutama pada anak-anak dan remaja. Dan kejadian
traumatis tersebut dapat mengakibatkan gangguan secara mental, yaitu Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD). Tingkatan gangguan stress pasca trauma berbeda-beda bergantung pada
seberapa parah kejadian tersebut mempengaruhi kondisi psikologis dari korban.

Untuk menyembuhkan gangguan stress pasca trauma pada korban kekerasan atau
pelecehan seksual diperlukan bantuan baik secara medis maupun psikologis, agar korban tidak
merasa tertekan lagi dan bisa hidup secara normal kembali seperti sebelum kejadian trauma. Dan
pendampingan itu sendiri juga harus dengan metode-metode yang benar sehingga dalam menjalani
penyembuhan atau terapi korban tidak mengalami tekanan-tekanan baru yang diakibatkan dari
proses pendampingan itu sendiri.

25
DAFTAR PUSTAKA

Antonim.2008. AskepHalusinasi. Dimuatdalam http://augusfarly.wordpress.com/2008/08/21/as


kep-halusinasi/. (Diakses : 8 Agustus 2012)

Anonim.2009. AskepdenganHalusinasi. Dimuatdalam http://aggregator.perawat.web.id [Diaks


es : 15 Oktober 2011]

Anonim. 2008. Halusinasi . Dimuat dalam. http://harnawatiaj.wordpress.com/ [Diakses : 15


Oktober 2011]

Kusumawati dan Hartono . 2010 . Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Jakarta : Salemba Medika

Stuart dan Sundeen . 2005 . Buku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC .

Keliat Budi Ana. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa edisi I. Jakarta : EGC

Nita Fitria. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan untuk 7 Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat. Jakarta:
Salemba Medika.

Rasmun, (2001). Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan


Keluarga. Konsep, Teori, Asuhan Keperawatan dan Analisa Proses Interaksi (API). Jakarta :
fajar Interpratama.

Yosep , iyus. 2011. Keperawatan Jiwa. Bandung : PT. Refika Aditama

26
27

Anda mungkin juga menyukai