Anda di halaman 1dari 8

PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP KAUM

DISABILITAS
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah PKn
Dosen pengampu:
Asep Dahlyana, S.Pd., M.Pd.

Oleh:
Kelompok 9
Biologi C 2019
Hilma Durotul Fatimah (1909893)
Rizky Nadhif Nandana (1900163)
Ruth Meiraning Tyas (1906314)

PROGRAM STUDI BIOLOGI


DEPARTEMEN PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat memandang kaum disabilitas sebagai kaum yang
hanya mengganggu masyarakat saja. Masyarakat seharusnya mengerti apa
itu disabilitas. Menurut KBBI, disabilitas adalah keadaan yag merusak
atau membatasi kemampuan mental dan fisik seseorang. Sedangkan
menurut UU nomor 8 Tahun 2016, Penyandang Disabilitas adalah setiap
orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental,dan/atau
sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan
lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi
secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan
kesamaan hak.
Masyarakat menurut KBBI adalah sejumlah manusia dalam arti
seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap
sama. Sedangkan menurut J.L. Gillin dan J.P. Gillin masyarakat adalah
kelompok manusia yang terbesar yang mempunyai kebiasaan, tradisi,
sikap dan perasaan persatuan yang sama.
Penelitian ini mengacu pada penelitian berjudul “Konstruksi Sosial
Penyandang Disabilitas Terhadap Penggunaan Angkutan Umum di
Kabupaten Sidoarjo” oleh Muhammad Rizki. Perbedaan penelitian kami
dengan penelitian sebelumnya ialah fokus kami kepada bagaiman
masyarakat memandang kaum disabilitas. Sehingga lahirlah penelitian
berjudul “Pandangan Masyarakat Terhadap Kaum Disabilitas”.
B. Rumusan Masalah
1) Bagaimana pandangan masyarakat terhadap kaum disabilitas?
2) Bagaimana cara pandang yang seharusnya kepada kaum disabilitas?
C. Tujuan Penelitian
1) Mengeksplorasi cara pandang masyarakat terhadap kaum disabilitas.
2) Mendeskripsikan cara pandang yang sebaiknya dimiliki oleh
masayarakat terhadap kaum disabiltas
D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan
metode penelitian yang bersifat deskriptif dan menggunakan analisis.
Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah fasilitas pendidikan,
peserta didik, serta faktor penentu kondisi kesejahteraan masyarakat.
Adapun langkah-langkah penelitiannya adalah sebagai berikut:
1) Mengumpulkan sumber-sumber bacaan yang berkaitan dengan
bahasan materi.
2) Mengklasifikasikan data.
3) Menganalisis data.
4) Menyimpulkan pembahasan.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Penyandang Disabilitas
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia penyandang
diartikan dengan orang yang menyandang (menderita) sesuatu.
Sedangkan disabilitas yang berarti cacat atau ketidakmampuan
(KBBI, 2008). Istilah disabilitas berasal dari bahasa inggris
dengan asal kata different ability, yang bermakna manusia
memiliki kemampuan yang berbeda. Istilah tersebut digunakan
sebagai pengganti istilah penyandang cacat yang mempunyai nilai
rasa negatif dan terkesan diskriminatif. Istilah disabilitas
didasarkan pada realita bahwa setiap manusia diciptakan berbeda.
Sehingga yang ada sebenarnya hanyalah sebuah perbedaan bukan
kecacatan maupun keabnormalan (Rahayu, dkk, 2013).
Dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2016 Tentang Penyandang Disabilitas disebutkan bahwa
“Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami
keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam
jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan
dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi
secara penuh dan efektif dengan warga Negara lainnya
berdasarkan kesamaan hak.
Disabilitas adalah istilah yang meliputi gangguan,
keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Gangguan
adalah sebuah masalah pada fungsi tubuh atau strukturnya; suatu
pembatasan kegiatan adalah kesulitan yang dihadapi oleh individu
dalam melaksanakan tugas atau tindakan, sedangkan pembatasan
partisipasi merupakan masalah yang dialami oleh individu dalam
keterlibatan dalam situasi kehidupan. Jadi disabilitas adalah
sebuah fenomena kompleks, yang mencerminkan interaksi antara
ciri dari tubuh seseorang dan ciri dari masyarakat tempat dia
tinggal (Oliver, 1990).
Difabel merupakan kependekan dari “differently abled”
(perbedaan kemampuan) merupakan tema baru yang di gagas
untuk menggantikan istilah “penyandang cacat”. Dimunculkan
terutama oleh aktifis-aktifis NGO dan banyak di gunakan oleh
organisasi-organisasi dan gerakan difabel di seputar wilayah
Yogyakarta dan Jawa Tengah. Sampai saat ini penggunaan istilah
difabel masih dalam perdebatan baik di dkalangan aktifis dan
organisasi difabel sendiri dan juga antara organisasi difabel dengan
pemerintah (Departemen Sosial dan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, dikontraskan misalnya dengan istilah “penyandang
disabilitas”. Istilah difabel juga baru muncul di Indonesia, dalam
konteks internasional “people with disabilities” lebih banyak
digunakan (Ro’fah, 2010).
Secara garis besar, jenis-jenis disabilitas terdiri dari:
1) Disabilitas Fisik
2) Disabilitas Mental
3) Disabilitas Ganda (penderita cacat lebih dari satu kecacatan)
Mereka yang menyandang mental disabilitas ringan atau
moderat tetap diharapkan perannya dalam kehidupan ekonomi.
Stigma yang ada menghambat mereka memberikan kontribusi
secara penuh tetapi mereka tetap dapat membantu keluarganya
dalam aktivitas ekonomi seperti memotong kayu, bertanam, dan
memberi makan ternak. Para tetangga juga meminta bantuan untuk
melakukan tugas rumah tangga dan memberikan sedikit upah bagi
mereka. Bagi para penyandang disabilitas mental berat, keluarga
akan bertanggung jawab atas kehidupan mereka. Kesempatan
untuk mendapatkan pendidikan adalah hal lain yang menjadi
masalah. Perspesi keluarga bahwa keterbatasan mental ini tidak
dapat diperbaiki membuat keluarga ragu‐ragu untuk
menyekolahkan anak mereka. Kebanyakan dari mereka pada
awalnya tidak menyadari adanya keterbatasan ini sehingga anak‐
anak mereka didaftarkan untuk mengikuti pendidikan umum di
Sekolah Dasar setempat. Tetapi kegagalan untuk berkembang
membuat mereka tidak dapat meneruskan pendidikan di arus
utama (Mercer, 1973).

B. Masyarakat
Masyarakat merupakan wadah untuk membentuk
kepribadian diri setiap kelompok manusia atau suku yang berbeda
satu dengan yang lainnya. Selain itu masyarakat adalah kelompok
manusia yang tinggal menetap dalam suatu wilayah yang tidak
terlalu jelas batas-batasnya, berinteraksi menurut kesamaan pola
tertentu, diikat oleh suatu harapan dan kepentingan yang sama,
keberadaannya berlangsung terus-menerus, dengan suatu rasa
identitas yang sama.
Dalam bahasa Ingris masyarakat disebut society, yang
berasal dari kata Latin “socius” yang berarti: teman atau kawan.
Kata masyarakat berasal dari bahasa Arab “syirk” sama-sama
menunjuk pada apa yang kita maksud dengan kata masyarakat,
yakni sekelompok orang yang saling mempengaruhi satu sama lain
dalam suatu proses pergaulan, yang berlangsung secara
berkesinambungan. Pergaulan ini terjadi karena adanya nilai-nilai,
norma-norma, cara-cara dan prosedur serta harapan dan keinginan
yang merupakan kebutuhan bersama. Hal-hal yang disebut terakhir
inilah merupakan tali pengikat bagi sekelompok orang yang
disebut masyarakat (Antonius Atosokhi Gea dkk, 2003 : 30-31).
BAB III
PEMBAHASAN

A. Pandangan Masyarakat Saat Ini


Dewasa ini masyarakat berkembang dengan pesat. Baik
dari segi sosial maupun budaya. Namun, kerap kali didapati
bagian masyarakat yang belum sepenuhya terbuka dengan
perkembangan sosial. Kasus yang nyata ialah cara masyarakat
memandang dan memperlakukan kaum disabilitas atau
penyandang cacat.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa
sebanyak dua puluh satu responden mengetahui apa itu kaum
disabilitas. Para responden menyatakan bahwa mereka sadar dan
mengetahui arti dari kaum disabilitas. Menurut para responden,
kaum disabilitas merupakan kelompok masyarakat yang memiliki
kekurangan dari segi fisik, mental, dan intelektual. Kaum
disabilitas butuh bantuan dari lingkungan masyarakat agar dapat
mengembangkan bakat mereka.
Hal tersebut sesuai dengan pengertian disabilitas menurut
Rahayu (2013), bahwa disabilitas merupakan individu yang
memiliki kemampuan berbeda daripada manusia pada umumnya.
Meskipun terlahir dengan kondisi yang berbeda, kaum disablitas
pada hakikatnya ialah sama dan setara sebagai seorang manusia.
Oleh karena itu, mereka juga memiliki hak yang sama di
masyarakat.
Selanjutnya, para responden diberikan pertanyaan tentang
pola pikir masyarakat di lingkungan mereka terhadap kaum
disabilitas. Sebanyak tiga responden menjawab bahwa masyarakat
di lingkungan mereka sudah memiliki kepekaan dan kepedulian
terhadap kaum disabilitas. Tetapi, delapan belas responden
menjawab masyarakat di lingkungan mereka masih belum
memiliki pola pikir yang baik. Salah satu responden menyatakan
bahwa saat ini masih ada orang yang berpikir bahwa kaum
disabilitas merepotkan dan menjadi beban. Bahkan masih ada
orang tua yang tidak terima keadaan anaknya jika terlahir sebagai
disabilitas.
Jawaban para responden menunjukkan bahwa sebagian
kecil masyarakat memandang kaum disabilitas sebagai bagian dari
masyarakat yang perlu perhatian lebih dan ruang untuk
mengembangkan bakat dan kemampuannya. Akan tetapi sebagian
besar masyarakat umum masih memandang kaum disabilitas
sebagai beban sosial.
B. Cara Memperlakukan Kaum Disabilitas
Kaum disabilitas sebetulnya tidak meminta perlakuan
berlebihan akan kehadiran mereka. Namun, bukan berarti
masyarakat layak memberikan perlakuan yang tak seharusnya
dilakukan.
Dari berbagai elemen kecil masyarakat yang memberikan
responsnya, peneliti mendapatkan saran dan solusi untuk
masyarakat secara umum.
Menurut beberapa responden, disabilitas atau penyandang
cacat bukanlah jati diri mereka yang sebenarnya. Mereka layak
mendapat dukungan. Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa
masyarakat seharusnya menganggap kaum disabilitas sama rata
dan sejajar dengan manusia pada umumnya. Lalu tidak melakukan
tindakan diskriminasi.
Perlakuan yang baik dari masyarakat akan membuat kaum
disabilitas merasa nyaman bersosialisasi di lingkungan. Karena
perbedaan yang ada di dalam diri mereka bukanlah penghambat
untuk melaksanakan kewajiban mereka. Justru sebaliknya,
masyarakat umum harus lebih mampu melaksanakan
kewajibannya dalam menaga hak orang lain.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat
disimpulkan bahwa:
1) Dewasa ini, masyarakat masih mengganggap kaum disabilitas
sebagai beban sosial. Akan tetapi, sebagian dari elemen
masyarakat telah menyadari betapa petingya menghargai dan
memberi dukugan moral kepada kaum disabilitas.
2) Cara memperlakukan kaum disabilitas yang sepantasnya ialah
dengan tidak memandang remeh mereka dan memperlakukan
mereka selayaknya manusia biasa.
B. Saran
1) Kepada masyarakat secara umum agar lebih peka dan peduli
kepada kaum disabilitas. Sehingga kaum disabilitas dapat
bersosiasliasi di lingkungan dengan nyaman dan aman.
2) Kepada pemerintah agar melengkapi fasilitas yang mendukung
kaum disabilitas untuk beraktivitas di lingkungan publik.
3) Kepada kaum disabilitas agar memiliki metal yang kuat dan
pemikira yang positif, bahwa sejatinya disabilitas adalah bukti
dari karya indah Tuha Yag Maha Esa.
DAFTAR PUSTAKA
Antonius, Atosokhi , Gea. dkk. 2003. Character Building II Relasi Dengan
Sesama. Jakarta: Gramedia
Kamus Besar Bahasa Indonesia.2008.Edisi Ke empat. Jakarta.

Mercer, J. (1973). Labelling the Mentally Retarded. Berkeley: University of


California Press.

Oliver, M. The Politics of Disablement, A Sociological Approach, New York: St.


Martin’s Press, 1990.

Rizki, Muhammad. 2014. Konstruksi Sosial Penyandang Disabilitas Terhadap


Penggunaan Angkutan Umum di Kabupaten Sidoarjo. Surabaya: Universitas
Negeri Surabaya.

Ro’fah. Andayani. Muhrisun. Membangun Kampus Inklusif. Yogyakarta: UIN


Sunan Kalijaga 2010.

Sugi Rahayu,Utami Dewi dan Marita Ahdiyana.2013 . Pelayanan Publik Bidang


Transportasi Bagi Difabel Di Daerah Istimewa Yogyakarta.Yogyakarta. Hal 110

Anda mungkin juga menyukai