Anda di halaman 1dari 16

AGAMA DAN KELOMPOK MINORITAS

(KASUS DIFABILITAS)

Makalah ini dibuat guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Konseling lintas agama dan budaya

Dosen Pengampu
Dr. Sekar Ayu Aryani, M.Ag

Oleh:
Anang Alfan Rois (19200012006)
Rafi Bagus Adi Wijaya (19200012045)

PROGRAM STUDI INTERDISCIPLINARY ISLAMIC STUDIES


KONSENTRASI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
TAHUN AJARAN 2019/2020

1
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini berbagai diskursus bermunculan untuk diperbincangkan,
kajian dan gerakan seperti gender, kebebasan agama, tuntutan hak-hak kaum adat,
dan kelompok minoritas lainya, merupakan usaha untuk mewujudkan masyarakat
yang demokratis dan bermartabat. namun, dari bermacam-macam wacana sosial
di Indonesia, justru luput dari perhatian yang mengenai isu-isu difabilitas, orang-
orang difabel diantaranya: tuna netra, tuna rungu, tuna daksa, dwarf(cebol) dan
lainya. Dalam kehidupan masyarakat kerap kali terpinggirkan dan dianggap
kurang bermanfaat. Mereka adalah kelompok yang tergilas oleh arus yang lebih
besar didalam masyarakat.
Kajian tentang difabel terlupakan begitu saja. Bila dibandingkan wilayah
kajian seperti perempuan/gender, kelompok LGBT, dan kelompok minoritas yang
lain yang akhir-akhir ini menjadi diskursus resmi dan menarik untuk dikaji. Bila
mencermati fakta yang terjadi, kaum difabel merupakan bagian dari kelompok
“minoritas” yang cukup signifikan di negeri ini. Dalam laporan departemen sosial
Indonesia, terdapat sekitar 3 persen dari 200.000.000 penduduk Indonesia atau
6.000.000 difabel sedangkan WHO mengatakan bahwa terdapat sekitar
10.000.000 difabel di Indonesia, walaupun dari perbedaan data tersebut belum
valid, tetapi yang perlu di perhatikan adalah tidak jarang dari keluarga difabel
menyembunyikan anggota keluarga yang difabel untuk menghindari berbagai
stigmatisasi, menganggap difabel “aib” bagi keluarga. Sehingga luput pada saat
pendataan penduduk, dari berbagai bencana alam yang terjadi selalu
menimbulkan korban sehingga menjadi seorang difabel, dan diperkirakan bisa
saja jadi bertambah.1

1
Slamet Thohari, Menimbang Difabelisme Sebagai Kritik Sosial, (Mozaik Jurnal Ilmu
Humaniora 2, Vol. 1 No. 1 dan Vol. 2 No. 2, 2007), h 105-112.

3
B. Rumusan masalah
Demi tercapainya tujuan pembahasan dari makalah yang berjudul Agama
dan Kelompok Minoritas (Kasus Difabilitas), maka pemakalah merumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Apa itu kelompok minoritas (difabilitas)?
2. Apa masalah terkait kelompok difabilitas?
3. Bagaimana solusi konseling terhadap masalah kelompok difabilitas?

C. Tujuan
Diharapkan dari penulisan makalah ini nantinya dapat mencapai tujuan
yang diharapkan antara lain sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa itu kelompok minoritas (difabilitas).
2. Untuk mengetahui apa masalah terkait kelompok difabilitas.
3. Untuk mengetahui bagaimana solusi konseling terhadap masalah kelompok
difabilitas.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kelompok Minoritas (Difabilitas)


Secara internasional tidak ada definisi universal mengenai difabilitas.
Menurut hasil studi mengenai definisi difabilitas, terdapat variasi perbedaan
definisi mengenai difabilitas antara negara-negara di dunia. Hal ini disebabkan
oleh kategori yang beragam dan skup definisi yang luas pada permasalahan
penyandang cacat atau kaum difabilitas atau disabilitas juga disebut kaum difable
dan lain sebagainya. Perdebatan tentang kelompok difabilitas diangkat kembali
ketika banyak terjadi kekerasan yang berakibat kepada terganggunya kesehatan
fisik ataupun mental yang membahayakan difabilitas.
Namun dari keragaman tersebut penulis mengambil pengertian yang
terdapat pada pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang
penyandang cacat, menyebutkan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang
yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau
merupakan rintangan dan hambatan untuk melakukan secara selayaknya yang
terdiri dari: 1) penyandang cacat fisik; 2) penyandang cacat mental; 3)
penyandang cacat fisik dan mental.2 Hal serupa dijelaskan pada Undang-Undang
nomor 19 tahun 2001 bahwa setiap orang yang mempunyai kelainan / kerusakan
fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu lama yang berinteraksi
dengan lingkungan dapat mengalami hambatan untuk berpartisipasi secara efektif
berdasarkan kesetaraan dengan yang lainya.3
Dalam pengertian lain yang hampir sama, difabilitas atau disabilitas
adalah seseorang dengan keterbatasan atau kurangnya kemampuan untuk
melakukan suatu kegiatan dengan cara atau dalam rentang dianggap normal bagi
2
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, accesed May 8, 2020,
https://ngada.org/uu19-2011.htm
3
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2001 tentang Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang
Disabilitas, accesed May 8, 2020, https://ngada.org/uu4-1997bt.htm#

5
manusia, yang diperlakukan sebagai penyandang cacat. Hal tidak termasuk sakit
atau cedera yang sementara mengurangi kemampuan untuk melihat, mendengar,
berbicara atau bergerak. Ketidakmampuan untuk terlibat dalam setiap kegiatan
yang secara substansial menguntungkan baik karena alasan medis yang ditentukan
baik secara fisik, mental, maupun penurunan nilai atau tingkat harapan hidup
yang dapat menghasilkan kematian atau menurunnya tingkat harapan hidup.4
Penjabaran lebih lanjut tentang definisi dan macam-macam penyandang
disabilitas terdapat pada Pasal 4 Ayat 1 UU No 8 tahun 2016 tentang penyandang
disabilitas, yaitu bahwa yang dimaksud dengan:5
1. “Penyandang Disabilitas Fisik” adalah terganggunya fungsi gerak, antara lain
amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), akibat
stroke, akibat kusta, dan orang kecil.
2. ”Penyandang Disabilitas Intelektual” adalah terganggunya fungsi pikir karena
tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas
grahita dan down syndrom.
3. “Penyandang Disabilitas Mental” adalah terganggunya fungsi pikir, emosi,
dan perilaku, antara lain: a) psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar,
depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian; b) disabilitas perkembangan
yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan
hiperaktif.
4. “Penyandang Disabilitas Sensorik” adalah terganggunya salah satu fungsi
dari panca indera, antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atau
disabilitas wicara.
Secara sosiologis, permasalahan mendasar dari penyandang disabilitas
adalah kurangnya pemahaman masyarakat maupun aparatur pemerintah yang

4
Dian Sugiarti, Pengaruh CRPD (Convention On The Right Of Person With Disabilities)
Terhadap Pemenuhan Hak- Hak Dasar Kaum Difabel Di Indonesia. (skripsi, Universitas
Muhammadiyah Malang, 2014), h 21. accesed May 8, 2020, http://eprints.umm.ac.id/25747/
5
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, accesed May 9, 2020,
https://ngada.org/uu8-2016pjl.htm

6
terkait dari arti disabilitas dan keberadaan penyandang disabilitas sebagai bagian
dari warga Negara. Adanya anggapan bahwa disabilitas merupakan aib, kutukan
dan memalukan membuat keluarga menjadi tidak terbuka mengenai anggota
keluarganya yang memiliki disabilitas. Kelompok minoritas, penyandang
disabilitas tidak mendapat hak dan kesempatan yang sama seperti warga
masyarakat lainnya. Penyandang disabilitas disamakan dengan orang sakit dan
tidak berdaya sehingga tidak perlu diberikan pendidikan dan pekerjaan yang layak
sesuai kemampuan yang mereka bisa lakukan. Mereka hanya dikasihani dan
diasuh untuk kelangsungan hidupnya.6
Orang-orang yang konsep kebenarannya dibangun oleh pandangan
positifisme beranggapan bahwa sesuatu yang dianggap normal itu adalah yang
sesuai dengan keadaan kebanyakan orang atau dengan kata lain sebagaimana
umumnya. Namun sebaliknya, jika sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan
keadaan kebanyakan orang akan dianggap sebagai sesuatu yang tidak normal.
Anggapan tentang ketidak-normalan inilah kemudian memunculkan sebutan
abnormal, cacat, luar biasa, berkelainan, tidak sempurna dan sebagainya. Sebutan
sebutan ini mereka berikan kepada orang-orang yang memiliki kondisi fisik dan
mental tidak seperti keadaan kebanyakan orang.7
Kaum kapitalis liberal mereka menganggap orang-orang yang memiliki
perbedaan kondisi fisik semacam itu tidak dapat dijadikan sebagai investasi atau
modal untuk mengakumulasikan keuntungan, bahkan orang-orang semacam ini
dianggap sebagai beban atau masalah yang sama sekali tidak memberikan
keuntungan dan bahkan merugikan. Orang-orang semacam ini dianggap tidak
mempunyai nilai-nilai produktif, efektif, dan efisien yang merupakan parameter

6
Fajri Nursyamsi, dkk, Kerangka Hukum Disabilitas di Indonesia: Menuju Indonesia Ramah
Disabilitas, (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Cetakan Pertama, 2015), h 11.
7
Setia Adi Purwanta, Penyandang Disabilitas, h 11. accesed May 9, 2020,
https://www.solider.id/sites/default/files/03.05.13-PENYANDANG%20DISABILITAS-dari%20buku
%20vulnerable%20group.pdf

7
untuk orang-orang yang dapat digolongkan sebagai human resource, human
investment atau human capital.8
Situasi ini diperparah oleh anggapan dari kaum konservatif yang
memandang bahwa orang-orang yang memiliki kondisi fisik semacam itu ada
karena kehendak Tuhan dan merupakan suatu takdir yang tidak dapat diubah.
sehingga bagi yang menerima kondisi itu hendaknya hanya pasrah, menerima dan
sekedar menjalani saja sebagai nasib yang tidak bisa ditolaknya. Sehingga mereka
memberikan sebutan orang yang tidak beruntung. Pandangan semacam ini
mengakibatkan orang-orang yang memiliki perbedaan kondisi fisik itu menjadi
orang yang dikucilkan dari masyarakatnya.9

B. Masalah Terkait Kelompok Difabilitas


Keberadaan kelompok difabilitas di tingkat global dan nasional belum
menggembirakan. Sampai saat ini jumlah penyandang disabilitas yang dapat
menikmati pendidikan dan bekerja angkanya masih berada di bawah 30 %.
Berbagai layanan publik lainnya juga belum dapat sepenuhnya dinikmati oleh
penyandang difabilitas. Diskriminasi perlakuan, minimnya sarana dan prasarana
aksesibel yang disediakan pada fasilitas umum, dan pengabaian kebutuhan
difabilitas untuk mendukung kemandirian dan mobilitasnya masih harus dihadapi
kelompok difabilitas. Disamping itu permasalahan utama yang masih banyak
dirasakan terutama dalam aspek aksesibilitas pelayanan sosial dasar, seperti
kesempatan dalam memperoleh pekerjaan dan pelayanan kesehatan. Hal ini
menyebabkan penyandang disabilitas masih mendapatkan perlakuan yang
didiskriminasikan dan masih sering dianggap sebagai warga masyarakat yang
tidak produktif, tidak mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya,
sehingga hak-haknya pun diabaikan.10
8
Ibid., h 13.
9
Ibid., h 15.
10
Enung Huripah, Pekerjaan Sosial Dengan Disabilitas Di Indonesia, (Jurnal Ilmiah
Pekerjaan Sosial, Vol. 13 No. 2, Desember, 2014) h 9.

8
Pada isu kelompok difabilitas, terdapat beberapa undang-undang dan
peraturan yang mengatur tentang kesempatan kerja bagi difabilitas/disabilitas.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1998, pengusaha/pemberi kerja
wajib mempekerjakan 1 orang penyandang disabilitas untuk setiap 100 pekerja
yang dipekerjakannya. Ini berarti terdapat kuota 1% (minimal) bagi penyandang
disabilitas untuk mengakses tempat kerja dan hak ekonominya. Walaupun
undang-undang mengatur demikian, namun hal ini jarang terjadi bahkan di sector
pemerintahan. Terdapat banyak kasus diskriminasi terhadap penyandang
disabilitas di sektor ketenagakerjaan. Sebagai contoh, Diskriminasi terjadi kepada
Lisa, seorang penyandang disabilitas yang tinggal di Aceh dimana ia ditolak
untuk menjadi pegawai negeri karena statusnya sebagai penyandang disabilitas.
Dan juga terjadi kepada Wuri sebagai seorang penyandang disabilitas ditolak
untuk menjadi seorang pengajar di sebuah universitas negeri.11
Semangat non-diskriminasi telah muncul di dalam kebijakan sektor
pendidikan. Namun di tahap pelaksanaan, hak untuk diperlakukan secara setara di
sekolah umum tidak dapat berjalan. Pada beberapa kasus, siswa yang berasal dari
sekolah khusus menghadapi perlakuan diskriminatif karena pencapaian/tingkat
pendidikannya direndahkan dan dibedakan. Salah satunya adalah dengan Ijazah
yang mereka miliki tidak dapat digunakan untuk melamar pekerjaan. Pendidikan
konvensional melihat bahwa masalah disabilitas sebagai hambatan siswa untuk
memperoleh pencapaian sebagaimana ‘siswa normal’.12
Bukan hanya dalam proses pelaksanaan tetapi stigma negatif yang ada
pada masyarakat mendorong rendahnya tingkat pendidikan, pihak keluarga
enggan menyekolahkan anaknya karena khawatir mengalami perundungan
sehingga tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, terlebih lagi pada aspek
pelayanan kesehatan yang kurang memadai mengakitbatkan penyandang

11
Irwanto, dkk, Analisis Situasi Penyandang Disabilitas Di Indonesia: Sebuah Desk-Review,
(Pusat Kajian Disabilitas Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial Dan Politik Universitas Indonesia, 2010) h 20.
12
Ibid., h 21.

9
disabilitas mengalami berbagai masalah psikososial sehingga berakhir dikurung
oleh keluarganya serta tidak mendapatkan kehidupan layaknya manusia pada
umumnya.
Khususnya di Negara berkembang seperti Indonesia, terabaikannya
masalah “difable” ini disebabkan oleh adanya faktor sosial budaya, selain faktor
ekonomi dan lemahnya kebijakan dan penegakan hukum yang memihak
komunitas difable. Hal ini menyebabkan difable terabaikan dalam segala aspek
kehidupan. Difable yang pengangguran atau yang tidak bisa mengenyam
pendidikan lebih banyak dari pada orang-orang non difable yang mendapatkan
pekerjaan dan pendidikan yang layak. Masalah “difable” dan “disabilitas” atau
“difabilitas”, secara struktural diposisikan sebagai hal yang “dicacatkan” oleh
masyarakat dan pemerintah diberbagai belahan Negara di dunia.13

C. Solusi Konseling Terhadap masalah Kelompok Difabilitas


Bimbingan dan konseling dalam pendidikan non formal maupun formal
dilaksanakan sebagai sarana untuk pengembangan diri seseorang. Tujuan dari
pemberian layanan bimbingan diantaranya adalah agar seseorang dapat
mengembangkan seluruh potensi atau kekuatan yang dimilikinya seoptimal
mungkin. Selain itu juga agar dapat menyesuaikan diri dan mengatasi hambatan
serta kesulitan yang dihadapi dalam keadaan yang lebih luas.14
Dari permasalahan kelompok difabilitas terutama pada aspek pekerjaan
yang layak maka layanan konseling yang perlu diterapkan adalah bimbingan
terhadap karir pada difabilitas, hal ini dapat dilakukan dengan memberikan secara
terus menerus dan sistematis, melalui proses pendampingan karir kepada
penyandang disabilitas mampu menjadi pribadi yang mandiri dilingkunganya

13
Rahayu Repindowaty dan Bustanuddi, Perlindungan Hukum Terhadap Penyandang
Disabilitas Menurut Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (CRPD), (Jurnal Inovatif,
Vol. 8 N0. I Januari, 2015) h 19.
14
Syamsu Yusuf, Program Bimbingan dan Konseling, (Bandung:Rizqi Press. 2009) h 49.

10
dalam merencanakan dan mengembangkan masa depanya berkaitan dengan dunia
pendidikan dan dalam karir pekerjaanya.
Adapun tujuan dari pemberian bimbingan karir menurut Bimo Walgito
adalah sebagai berikut ini:
1. Dapat memahami dan menilai dirinya sendiri terutama yang berkaitan dengan
potensi yang ada didalam dirinya mengenai kemampuan, minat, bakat, dan
cita-citanya.
2. Menyadari dan memahami nilai-nilai yang ada dalam dirinya dan yang ada
dalam masyarakat.
3. Mengetahui berbagai jenis pekerjaan yang berhubungan dengan potensi yang
ada dalam dirinya, mengetahui jenis-jenis pendidikan dan latihan yang
diperlukan bagi suatu bidang tertentu serta memahami hubungan usaha
dirinya dengan masa depanya.
4. Menemukan hambatan yang mungkin timbul yang disebabkan oleh dirinya
sendiri dan faktor lingkungan serta mencari jalan untuk dapat mengatasi
hambatan-hambatan tersebut.
5. Meningkatkan kemahiran berpikir agar mampu mengambil keputusan tentang
jabatan dan melaksanakan keputusan itu.
6. Dapat merencanakan masa depanya serta menemukan karir dan kehidupan
yang serasi atau sesuai.15
Semua orang baik normal maupun disabilitas berhak mendapatkan
layanan bimbingan dan konseling yang bertujuan untuk memandirikan seseorang
atau sekelompok orang. bahwa meskipun isu-isu pengembangan karier individu
penyandang disabilitas akan menjadi mirip dengan yang dialami semua populasi
lain yang tidak cacat, penanganan terhadap kelompok khusus ini memang

15
Bimo Walgito, Bimbingan Dan Konseling Studi Dan karir, (Yogyakarta, ANDI, 2010) h
201-203.

11
memerlukan strategi perencanaan lebih matang dan luas, termasuk memberikan
pendidikan tambahan dan keterampilan spesiik.16

BAB III
16
Robert L. Gibson dan Marianne H. Mitchell, Bimbingan dan Konseling, alih bahasa
oleh Yudi Santoso, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011), h 266.

12
PENUTUP

Disabilitas berdasarkan Undang-Undang adalah setiap orang yang mempunyai


kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan
dan hambatan untuk melakukan secara selayaknya yang terdiri dari: 1) penyandang
cacat fisik; 2) penyandang cacat mental; 3) penyandang cacat fisik dan mental. bahwa
setiap orang yang mempunyai kelainan / kerusakan fisik, mental, intelektual atau
sensorik dalam jangka waktu lama yang berinteraksi dengan lingkungan dapat
mengalami hambatan untuk berpartisipasi secara efektif berdasarkan kesetaraan
dengan yang lainya.
Khususnya di Negara berkembang seperti Indonesia, terabaikannya masalah
“difable” ini disebabkan oleh adanya faktor sosial budaya, selain faktor ekonomi dan
lemahnya kebijakan dan penegakan hukum yang memihak komunitas difable. Hal ini
menyebabkan difable terabaikan dalam segala aspek kehidupan. Difable yang
pengangguran atau yang tidak bisa mengenyam pendidikan lebih banyak dari pada
orang-orang non difable yang mendapatkan pekerjaan dan pendidikan yang layak.
Masalah “difable” dan “disabilitas” atau “difabilitas”, diberbagai belahan dunia
diposisikan sebagai kelompok minoritas yang telah dipinggirkan.
Dari permasalahan kelompok disabilitas terutama pada aspek pekerjaan yang
layak maka layanan konseling yang perlu diterapkan adalah bimbingan terhadap karir
pada penyandang disabilitas, hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan secara
terus menerus dan sistematis, melalui proses pendampingan karir kepada penyandang
disabilitas mampu menjadi pribadi yang mandiri dilingkunganya dalam
merencanakan dan mengembangkan masa depanya berkaitan dengan dunia
pendidikan dan dalam karir pekerjaanya.

13
DAFTAR PUSTAKA

14
Gibson, Robert L. dan Marianne H. Mitchell, 2011, Bimbingan dan Konseling, alih
bahasa oleh Yudi Santoso, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Huripah, Enung, 2014, Pekerjaan Sosial Dengan Disabilitas Di Indonesia, Jurnal
Ilmiah Pekerjaan Sosial, Vol. 13 No. 2.
Irwanto, dkk, 2010, Analisis Situasi Penyandang Disabilitas Di Indonesia: Sebuah
Desk-Review, Pusat Kajian Disabilitas Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial Dan Politik
Universitas Indonesia.
Nursyamsi, Fajri dkk, 2015, Kerangka Hukum Disabilitas di Indonesia: Menuju
Indonesia Ramah Disabilitas, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia
(PSHK) Cetakan Pertama.
Purwanta, Setia Adi, 2020 Penyandang Disabilitas, h 11. accesed May 9,
https://www.solider.id/sites/default/files/03.05.13-PENYANDANG
%20DISABILITAS-dari%20buku%20vulnerable%20group.pdf
Repindowaty, Rahayu dan Bustanuddi, 2015, Perlindungan Hukum Terhadap
Penyandang Disabilitas Menurut Convention On The Rights Of Persons With
Disabilities (CRPD), Jurnal Inovatif, Vol. 8 N0. I.
Sugiarti, Dian, 2004, Pengaruh CRPD (Convention On The Right Of Person With
Disabilities) Terhadap Pemenuhan Hak- Hak Dasar Kaum Difabel Di
Indonesia. Skripsi, Universitas Muhammadiyah Malang, h 21. accesed May 8,
2020, http://eprints.umm.ac.id/25747/
Thohari, Slamet, 2007, Menimbang Difabelisme Sebagai Kritik Sosial, Mozaik Jurnal
Ilmu Humaniora 2, Vol. 1 No. 1 dan Vol. 2 No. 2.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2001 tentang Konvensi Mengenai Hak-hak
Penyandang Disabilitas, accesed May 8, 2020, https://ngada.org/uu4-
1997bt.htm#
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, accesed May 8,
2020, https://ngada.org/uu19-2011.htm

15
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, accesed May
9, 2020, https://ngada.org/uu8-2016pjl.htm
Walgito, Bimo, 2010, Bimbingan Dan Konseling Studi Dan karir, Yogyakarta,
ANDI.
Yusuf, Syamsu, 2009, Program Bimbingan dan Konseling, Bandung: Rizqi Press.

16

Anda mungkin juga menyukai