■ Chronic illnesses
Apparent (visible)
■ Communication disorders
Non-apparent (invisible, co:
■ Developmental disabilities neurodivergent, mental, etc)
■ Hearing disabilities
■ Intellectual disabilities Temporary (bersifat
■ Learning disabilities sementara/akan pulih)
■ Mental health disabilities Acquired (baru memperoleh, co:
■ Neurological disorders kecelakaan, Deaf-gained, etc)
■ Physical disabilities
■ Vision disabilities (Ladau, 2021).
PERKEMBANGAN KATA CACAT,
DIFABEL DAN DISABILITAS DI
INDONESIA
Penyandang Cacat, Difabel, dan Penyandang Disabilitas. Di antara kata-kata ini
manakah yang terdengar paling familiar? Perlu diketahui bahwa ketiga kata tersebut
memiliki implikasi yang berbeda.
Arief Maftuhin (2016) melakukan
penelitian dengan mengumpulkan data-
data online dan menganalisisnya dalam
tiga aspek: tren penggunaan istilah;
popularitas di dunia berita daring; dan
penggunaan di dunia akademik.
Ada dinamika menarik dalam
penggunaan ketiga istilah itu di ketiga
wilayah pencarian. Istilah ‘difabel’,
meskipun tidak diakui sebagai istilah
resmi dalam undang-undang, adalah
istilah yang paling populer di tren.
Sementara istilah ‘penyandang
disabilitas’ mencatatkan skor popularitas
yang sedikit lebih tinggi dari ‘difabel’
dalam penggunaan di media daring.
Sementara istilah ‘penyandang cacat’
justru masih sangat populer dalam
penggunaan akademik.
Penyandang Cacat
Istilah ‘penyandang cacat’ pernah secara resmi digunakan sebagai istilah undang-undang
pada UU no. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, dan diartikan sebagai:
... setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat
mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara
selayaknya, yang terdiri dari: (a) penyandang cacat fisik; (b) penyandang cacat mental;
(c) penyandang cacat fisik dan mental.
Dalam kajian disabilitas, istilah ‘penyandang cacat’ mewakili model medis dalam melihat
disabilitas. Pada jaman dulu, segala masalah yang timbul dalam menghadapi orang dengan
disabilitas fisik adalah dengan memberikan obat dan ditangani oleh para profesional alumni
sekolah-sekolah kedokteran. Model medis memandang semua disabilitas bersumber dari
kecacatan yang diakibatkan oleh suatu kerusakan fisik atau penyakit (Maftuhin, 146).
Difabel
Istilah difabel seringkali dilihat sebagai akronim istilah ‘differently-abled’ (bukan different ability seperti yang
disebutkan oleh sebagian orang). Maka istilah ini berasal dari bahasa Inggris yang artinya ‘orang yang
memiliki kemampuan berbeda’. Penggantian istilah ini adalah bagian dari upaya mengikat makna baru untuk
melawan diskriminasi terhadap kaum difabel.
Asal-usul istilah ‘difabel’ dalam Bahasa Indonesia tidak dapat dipastikan karena penulis menemukan beberapa
versi. Versi pertama, mengatakan bahwa istilah difabel adalah istilah khas Indonesia yang diciptakan
Mansour Faqih. Versi kedua, istilah difabel diperkenalkan pada tahun 1981 dalam suatu diskusi pada
konferensi ketunanetraan Asia yang diselenggarakan bersama oleh International Federation of the Blind (IFB)
dan World Council for the Welfare of the Blind (WCWB) di Singapura. Istilah ini kemudian diterjemahkan
menjadi "difabel” (Maftuhin, 149).
Penyandang Disabilitas
Istilah yang pada akhirnya menjadi pilihan bahasa undang-undang ini adalah istilah paling
baru dan diciptakan sesudah tahun 2009. Baik istilah difabel dan penyandang disabilitas
adalah istilah-istilah alternatif yang sengaja diciptakan dan lahir dari upaya-upaya untuk
melawan diskriminasi terhadap difabel (Maftuhin, 151).
Apa Yang Masih Menjadi Masalah?
Kurangnya
Aksesibilitas
Diskriminasi dukungan (moral
(infrastruktur,
(adanya stigma) support, training,
pendamping, dsb)
resources, etc)
Akomodasi serta
fasilitas yang Kekerasan
Layak
PEREMPUAN
DISABILITAS DALAM
JERAT KEKERASAN
■ Jumlah penyandang disabilitas yang terhitung banyak, tidak didampingi dengan akses
informasi mengenai hak kesehatan seksual dan reproduksi. Di Indonesia, anak
disabilitas umumnya disekolahkan di Sekolah Luar Biasa (SLB). Akan tetapi, tidak ada
kurikulum yang cukup signifikan mengenai pendidikan seks di SLB.
■ Tatanan budaya dan sistem kepemerintahan Indonesia masih mengandung perspektif
Ableist (perilaku tidak adil/diskriminatif terhadap penyandang difabel) dan Audist
(perilaku tidak adil/diskriminatif terhadap Tuli). Permasalahan ini menjadi alasan
sulitnya upaya intervensi oleh kelompok disabilitas, khususnya perempuan.
■ Data yang tersedia mengenai perempuan penyandang disabilitas yang menjadi korban
kekerasan, tidak akurat dengan kenyataan yang ada di lapangan. Masih banyak kasus
yang tidak dilaporkan ataupun diusut tuntas.
■ Pada sejumlah kasus yang melibatkan disabilitas ganda, kompleksitas masalahnya pun
semakin tinggi.
Feminisme Disabilitas
Kritis Representasi Menyusun Realitas
“Disability—like gender—is a concept that
pervades all aspects of culture: its structuring
institutions, social identities, cultural Marjin (batas) Menentukan Pusat
practices, political positions, historical
communities, and the shared human
experience of embodiment.” –Rosemarie Gender (atau disabilitas) adalah
Garland-Thomson. Cara Menandakan Relasi Kuasa
Beberapa negara seperti Perancis, menetapkan pengakuan terhadap Bahasa Isyarat bagi
Tuli, sebagai bahasa yang sejajar dengan bahasa lainnya, atau disebut sebagai La
reconnaissance de la langue des signes francaise comme une langue a part entiere.
Di Indonesia, sudah diakui Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) sebagai bahasa yang
digunakan oleh Tuli Indonesia. Akan tetapi, tindakan afirmatif yang dilakukan oleh
pemerintah akan hal ini hanya sebatas menyediakan Juru Bahasa Isyarat di TV nasional,
yang bahkan sebetulnya belum memenuhi standard penyiaran internasional.
Hal ini saja sudah menjadi contoh, betapa pentingnya treatment serta pendekatan yang
berbeda pada setiap spektrum disabilitas yang ada.
On Allyship: Bagaimana Cara Mendukung
Mereka?
Ciptakan Ruang
Aman Bagi
Perempuan
Keberadaan Mereka
Disabilitas
Bukan Ajang
Charity Maupun
Hentikan
Alat Motivasi
Stigmatisasi dan
Diskriminasi
Nothing About Them
Without Them
TERIMA KASIH ATAS
PERHATIANNYA