Anda di halaman 1dari 11

DISABILITY STUDIES

“PEMENUHAN HAK DASAR PENYANDANG DISABILITAS MELALUI


PENDEKATAN HUMAN RIGHTS MODEL”

Disusun Oleh :
Nama : Farizal Firmansyah
NIM : 195120100111049
Kelas : A-4 SOSIOLOGI
Nomer Absen : 28

JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2020
Jalan Veteran, Malang, Jawa Timur 65145, Indonesia. Telp +62 341 551611, Fax: +62 0341-
565420, Website: https://ub.ac.id
A. LATAR BELAKANG
Pendefinisian orang penyandang disabilitas di Indonesia dimulai pada tahun 1947
melalui undang-undang nomer 33 yang berisi tentang ganti rugi buruh yang kecelakaan
serta undang-udang nomer 4 tahun 1979 mengenai kesejahteraan anak (Widinarsih,
2019). Pada awalnya penyandang disabilitas difefinisikan sebagai “orang cacat/bercacat”
namun lama kelamaan pendefinisian ini berubah seiring dengan berkembangnya
pengetahuan di Indonesia. Setidaknya pernah ada 10 definisi dari penyandang disabilitas
diantaranya adalah penderita cacat, tuna, penyandang kelainan, anak berkebutuhan khusus
maupun seorang difabel. Kata “Penyandang cacat” sendiri seiring dengan adanya
konvensi PBB mengenai hak penyandang disabilitas pada akhirnya dilarang karena
dianggap memiliki konotasi negatif.
Indonesia sendiri mengikuti kebijakan tersebut dengan menerbitkan undang-
undang nomer 8 tahun 2016 mengenai penyandang disabilitas. Melalui undang-undang
ini pemerintah Indonesia berusaha untuk menerapkan pendefinisan penyandang
disabilitas secara resmi beserta kategorinya. Kategori tersebut terbagi menjadi empat
yaitu penyandang disabilitas fisik, mental, sensorik dan intelektual (Widinarsih, 2019).
Setelah adanya pendefinisian resmi mengenai penyandang disabilitas maka tantangan
bagi penyandang disabilitas selanjutnya adalah bagaimana mengubah pandangan
masyarakat mengenai dirinya. Sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa
penyandang disabilitas adalah seseorang yang memiliki kekurangan dan tidak bisa
melakukan apa-apa. Para penyandang disabilitas di Indonesia mendapat dua
permasalahan utama yaitu sigma masyarakat serta minimnya aksesibilitas diberbagai
bidang bagi para penyandang disabilitas.
Dalam cara pandang disabilitas terdapat pandangan sosial model yang
memfokuskan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas
merupakan permasalahan bersama. Dalam pandangan sosial model masyarakat atau
lingkungan sosialah yang menyebabkan penyandang disabilitas menjadi kesulitan untuk
menjalankan kehidupannya sehari-hari. Pandangan ini memfokuskan untuk
menghilangkan stigma yang ada serta mengubah framing isu individual menjadi isu
bersama atau dalam masyarakat (Santoso & Apsari, 2017). Selain sosial model, terdapat
juga pandangan lebih baru mengenai para penyandang disabilitas. Pandangan ini disebut
human rights model, pada dasarnya pandangan ini memiliki keterkaitan dengan cara
pandang sosial model namun lebih memfokuskan mengenai bagaimana pemenuhan hak-
hak dari para penyandang disabilitas. Seperti yang disebutkan dalam hasil desk review
yang dibuat oleh (Irwanto., Kasim, Eva Rahmi., Lusli, Mimi., Siradj, 2010) disebutkan
bahwa fasilitas dan partisipasi dari para penyandang disabilitas di Indonesia masih
sangatlah minim. Padahal dalam cara pandang human rights model para penyandang
disabilitas dijunjung tinggi untuk pemenuhan hak-hak dasarnya tanpa adanya
diskriminasi. Hal ini sesuai dengan isi dari UUD 1945 Pasal 28 yang menjamin bahwa
setiap warga negara mendapat hak dan perlindungan atas adanya diskriminasi. Dalam
makalah ini penulis akan mencoba mengkaji mengenai pemenuhan hak dasar para
penyandang disabilitas melalui pendekatan human rights model dengan memberikan
beberapa contoh kasus yang terjadi di Indonesia.

B. CONTOH KASUS
Permasalahan penyandang disabilitas sendiri terdiri dari berbagai macam,
khususnya di Indonesia permasalahan ini seakan-akan berlapis mulai dari stigma
masyarakat, aksesibilitas, pendidikan, pekerjaan, kesehatan dan masih banyak yang
lainnya. Pada kesempatan kali ini penulis akan memfokuskan permasalahan disabilitas
mengenai pemenuhan hak-hak dasar dengan referensi cara pandang human rights model.
Contohnya dalam konteks edukasi para peyandang disabilitas masih mendapat
diskriminasi mengenai kehadiran “Sekolah luar biasa”. Adanya sekolah luar biasa ini
pada awalnya diperuntukan untuk memenuhi hak pendidikan bagi para penyandang
disabilitas. Namun pada pelaksanaanya kehadiran “Sekolah luar biasa” malah
menimbulkan diskriminasi lanjutan, lokasi dari sekolah luar biasa sendiri biasanya
terletak jauh dan tertutup seolah-olah menyingkirkan para penyandang disabilitas.
Kesan penyingkiran para penyandang disabilitas ini terbukti dengan pemisahan-
pemisahan seperti adanya sekolah luar biasa. Proses ini disebut dengan istilah segregasi,
segregasi sendiri merupakan pemisahan antar satu golongan dengan yang lainnya dalam
sebuah masyarakat. Dalam pemisahan ini biasanya juga terdapat pengucilan dalam
masyarakat (Latifah, 2020). Hadirnya sekolah luar biasa secara tidak langsung ikut
mendukung bahwa penyandang difabel atau anak berkebutuhan khusus berbeda dari yang
lainnya. Oleh sebab itu mereka dimasukan kedalam sistem sekolah baru untuk
membedakan dengan siswa lainnya yang disebut sekolah luar biasa.
Selain permasalahan pemenuhan pendidikan menurut data yang dimilik oleh
Yeni Rosa Damayanti dari Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia pada kesempata kuliah
tamu Jurusan Sosiologi Universitas Brawijaya. Disebutkan bahwa pemenuhan hak
dasar bagi penyandang disabilitas di Indonesia masih belum terlaksana dengan baik.
Para penyandang disabilitas sering dianggap tidak mampu untuk melaksanakan
kegiatan sebagaimana yang lain. Kehadirannya sering kali harus diwakilkan baik
dimata hukum maupun dalam pelayanan publik. Kegiatan seperti melamar kerja,
pembuatan rekening bank, pengajuan kredit dan hal-hal lainnya tidak bisa dilaksanakan
secara mandiri. Walaupun penyandang disabilitas tersebut masih mampu untuk
melakukanya, namun tetap saja para penyandang disabilitas mendapat penolakan
pelayanan publik. Contoh nyata ini dapat dilihat dalam pengaduan konsumen yang
dilayangkan akun @phieter_angdika kepada salah satu bank suasta di Indonesia.

Dalam pengaduan tersebut dapat terlihat bagaimana seorang teman dari


penyandang disabilitas memberikan komplain mengenai pelaksanaan pelayanan publik
terhadap penyandang disabilitas. Dalam pengaduan tersebut juga terlihat bagaimana
penyandang disabilitas tersebut masih mampu dan tidak memerlukan bantuan orang lain
atau wali untuk sekedar membuka rekening. Melalui beberapa contoh diatas dapat terlihat
bagaimana para penyandang disabilitas masih mendapat diskriminasi di Indonesia.
Upaya-upaya pemerintah dalam menjunjung hak-hak penyandang disabilitas masih
sebatas narasi dalam ruang publik saja, namun pada pelaksanaanya tidak berjalan dengan
baik.
C. PENDEKATAN
Pendekatan yang penulis pilih dalam makalah ini adalah human rights model.
Cara pendekatan human right model sendiri memiliki hubungan dekat dengan cara
pandang sosial model. Pada pandangan sosial model ditekankan bahwa masyarakat non
difabel lah yang harus menyesuaikan dengan penyandang disabilitas bukan sebaliknya.
Sosial model juga mengajarkan bahwa pusat permasalahan penyandang difabel berada
pada aspek masyarakat bukan individunya. Hubunganya dengan pendekatan human right
model adalah sama-sama menjunjung hak para penyandang difabel. Dengan terwujudnya
lingkungan sosial yang ramah akan difabel melalui cara pandang sosial model maka
harapannya adalah hak-hak dasar penyandang disabilitas yang selama ini ditekankan pada
cara pandang human right model juga ikut terpenuhi.
Pendekatan human right model bisa mengacu pada UUD 1945 Pasal 28 yang
berisi jaminan bahwa setiap warga negara mendapat hak dan perlindungan atas
diskriminasi yang sama antara satu sama lain. Inti dari pendekatan ini adalah bagaimana
para penyandang disabilitas bisa mendapat hak-hak yang sama sebagai seorang warga
masyarakat. Para penyandang disabilitas diharapkan dapat berpartisipasi dalam setiap
aspek kehidupan masyarakat tanpa terkecuali dan dalam berbagai bidang. Salah satu awal
mula munculnya pandangan ini adalah hadirnya gerakan-gerakan yang menuntut
pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas salah satunya adalah gerakan civil rights di
amerika serikat yang menghasilkan hasil American Disability Act (ADA) tahun 1990
(Arif et al., n.d.). Perjanjian ADA ini pada akhirnya juga membawa perkembangan
terutama di amerka sendiri, pada akhirnya mulai muncul gerakan organisasi yang
mendukung hak-hak disabilitas. Kemudian lebih lanjutnya ADA menghasilkan sebuah
perjanjian yang menghasilkan standart arsitektur bangunan bagi penyandang disabilitas
agar dapat berinteraksi sosial sebagaimana mestinya.
Kemudian dilanjutkan hak penyandang disabilitas diatur dalam Convention on the
Rights of Person with Disabilities atau (CRPD). Hal ini merupakan peraturan stadar yang
ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1993. Pada dokumen ini
menujukan bagaimana hak dari penyandang disabilitas itu sendiri diatur serta bagaimana
negara anggota PBB dapat mengikuti aturan yang sudah ditetapkan. Melalui peraturan ini
diharapkan negara anggota PBB dapat memberikan hak dan jaminan kepada penyandang
disabilitas secara layak dan benar (Ekowarni et al., 2015). Pemerintah Indonesia sendiri
sudah mulai mengaplikasikan hasil Convention on the Rights of Person with Disabilities
atau (CRPD) pada bulan November tahun 2011 dalam (Ekowarni et al., 2015). Walaupun
terhitung waktu yang cukup lama namun seenganya sudah ada payung hukum yang
melandasi para penyandang disabilitas. Walaupun pada pelaksanaanya belum bisa
dilaksanakan secara sempurna. Dalam pasal 9 mengenai aksesibilitas dan pasal 33 ayat 3
terdapat dua rekomendasi yang sudah ditawarkan untuk penunjang para penyandang
disabilitas. Hal ini diantaranya adalah pemenuhan ketersedian fasilitas fisik dan non fisik.
Fasilitas fisik yang diatur adalah bagaimana bangunan, gedung, area rekreasi maupun
area hiburan agar ramah kepada disabilitas. Sedangkan untuk lingkungan non fisik adalah
pada sumber daya dan kebijakan-kebijakan yang melindungi dan pro terhadap
penyandang disabilitas (Ekowarni et al., 2015). Seperti yang diketahui dalam bidang
pelayanan publik penyandang disabilitas masih sering mendapat diskriminasi. Banyak
dari mereka yang tidak atau kesulitan untuk mendapat hak-haknya.

D. ANALISA
Penulis akan menganalisa salah satu contoh kasus yang sudah disebutkan
sebelumnya yaitu terkait hak penyandang disabilitas untuk membuka rekening bank. Hal
ini adalah salah satu contoh dari banyaknya permasalahan pemenuhan hak dasar
penyandang disabilitas yang belum terlaksana dengan baik. Dalam artikel yang dimuat
dalam tempo.co dengan judul “4 Jurus Agar Difabel Tak Ditolak Membuka Rekening
di Bank” yang ditulis oleh (Nilawaty & Susandijani, 2018). Pada artikel itu dibagikan
bagaimana tips agar para penyandang disabilitas dapat membuka rekening agar tidak
ditolak dalam prosesnya. Berdasarkan judul diatas dapat disimpulkan bahwa biasanya
penyandang disabilitas seirng mendapat penolakan untuk memperoleh fasilitas dan
pelayanan publik biasa.
Dalam artikel tersebut tertulis bahwa salah satu syarat untuk membuka buku
rekening adalah penyandang disabilitas berada dibawah pengampuan atau
perwakilan. Sehingga para penyandang disabilitas tidak akan bisa untuk membuka
rekening secara mandiri. Menurut pandangan penulis kebijakan akan adanya perwakilan
untuk membuka rekening adalah hal yang kurang tepat atau dapat dikaji kembali.
Peraturan tersebut dapat dikaji kembali karena tidak semua penyandang disabilitas
membutuhkan pertolongan untuk melakukan hal-hal sederhana seperti membuka rekening
bank. Peraturan tersebut memerlukan klasifikasi pendampingan yang lebih spesifik dan
jelas. Sampai dengan saat ini peraturan tersebut masih dijadikan acuan salah satunya oleh
bank BCA cabang pondok timur indah.

Dalam kasus ini terdapat seorang penyandang disabilitas yang ingin membuka
rekening bank namun ditolak karena keadaan fisiknya. Pihak cabang Bank tersebut
menuliskan pesan yang berisi “Ibu mohon maaf sebelumnya untuk pembukaan rekening
dengan keadaan ibu sekarang prosedur di bca memang harus ada pendambing bu. Nanti
kami kena audit. Ibu tidak ada anak atau saudara disini?”. Merasa tidak puas dengan
jawaban tersebut pada akhirnya akun @phieter_angdika coba mengajukan keluhan
konsumen di sosial media twitter namun tetap saja mendapat hasil yang memuaskan.
Pihak bank menjawab bahwa permasalahan tersebut diserahkan kepada pihak cabang
masing-masing.

Jawaban dari pihak Bank ini tentu saja tidak menyelesaikan masalah pemenuhan
hak dasar penyandang disabilitas. Seseorang yang masih mampu secara mandiri
diperlakukan seolah-olah tidak bisa melakukan hal dasar dan membutuhkan seorang
pendamping. Jawaban dari pihak bank tersebut akhirnya di tanggapi kembali oleh para
netizen. Sebagian besar tanggapanya adalah meminta bank tersebut untuk melakukan
penyandang disabilitas dengan layak tanpa adanya diskriminasi. Berikut ini adalah
tanggapan-tanggapan netizen yang penulis abadikan.

Dapat terlihat bagaimana tanggapan netizen mayoritas cukup kontra dan menuntut
pihak bank dapat berlaku adil terhadap penyandang disabilitas yang ingin membuka
rekening. Reaksi netizen tersebut sesuai dengan prinsip Human right model yang
mengedepankan hak setiap masyarakat khususnya penyandang disabilitas. Pemenuhan
hak-hak ini tidak hanya sebatas pembangunan fasilitas penunjang disabilitas namun juga
kepada layanan publik. Reaksi netizen diatas juga menujukan bagaimana masyarakat
Indonesia sebagian besar sudah paham mengenai pentingnya penyamarataan hak terhadap
setiap orang khususnya penyandang disabilitas. Saat ini bank tersebut masih menjadi
“bulan-bulanan” netizen yang menuntut untuk pemenuhan hak penyandang disabilitas
yang ingin membuka rekening.
Masih dalam artikel Tempo.com sebenarnya ada beberapa cara yang dapat
digunakan jika mendapat penolakan dalam pembukaan rekening bank (Nilawaty &
Susandijani, 2018). Cara-cara tersebut antara lain:

1. Berani berargumen bahwa penyandang disabilitas berhak mendapatkan pelayanan


bank sesuai dengan pasal 9 huruf E Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016
mengenai hak-hak penyandang disabilitas.
2. Sampaikan kepada pihak bank bahwa tidak melayani penyandang disabilitas
dalam pelayanan bank adalah sebuah diskriminasi. Masih dalam pasal yang sama
yaitu pasal 9 UU Nomor 8 Tahun 2016 sudah mengatur mengenai penyandang
disabilitas berhak mendapatkan akses pelayanan bank dan non perbankan.
3. Sampaikan kepada pihak bank bahwa penyandang disabilitas adalah nasabah yang
sama dengan yang lainnya dan termasuk kedalam subjek hukum.
4. Terkair apabila pihak bank masih menolak dan tidak menanggapi hal-hal diatas
maka calon nasabah dapat melapor ke Otoritas Jasa Keuangan dan Ombudsman.

Berbeda dengan Indonesia, negara lain sudah bisa memberikan pelayanan yang
layak bagi para penyandang disabilitas. Mengutip website Nolo.com menyebutkan bahwa
“The Achieving a Better Life Experience (ABLE) act creates a type of bank account for
certain persons with disabilities. The money kept in these accounts won't count against a
person's ability to qualify for Supplemental Security Income (SSI) or Medicaid”
pelayanan-pelayanan yang memudahkan seperti inilah yang dibutuhkan oleh para
penyandang disabilitas.
Peraturan Convention on the Rights of Person with Disabilities (CRPD) yang
sudah ditetapkan oleh PBB pada tahun 1993 dan sudah disepakati oleh negara anggota
PBB sepertinya terlaksana dengan baik di Indonesia. Melalui peraturan tersebut
disebutkan bahwa hak dari penyandang disabilitas sudah diatur dan negara anggota harus
memberikan hak dan jaminan kepada penyandang disabilitas secara layak dan benar
(Ekowarni et al., 2015). Melalui satu contoh diatas membuktikan bagaimana masih
banyak peraturan yang bersifat kurang layak dan belum benar mengenai penyandang
disabilitas. Jika penyandang disabilitas tersebut mampu dan masih bisa melakukan hal itu
secara mandiri, apakah perlu adanya pendampingan dalam segala situasi? Peraturan
pendampingan atau peraturan yang kurang layak ini tidak hanya terjadi dalam
pelaksanaan pembukaan rekening bank namun juga terdapat dalam bidang-bidang lain
seperti kedudukan dimata hukum. Pada akhirnya peraturan ini kembali menghambat
pemenuhan hak dasar disabilitas yang diperjuangkan dalam pendekatan human rights
model.

E. KESIMPULAN
Permasalahan penyandang disabilitas di Indonesia masih terdiri dari berbagai
macam. Salah satu permasalahan utamanya adalah pemenuhan hak dasar sebagai warga
negara atau manusia secara seutuhnya. Para penyandang disabilitas masih sering
mendapat diskriminasi dalam menjalankan aktivitasnya. Biarpun sudah banyak usaha
yang dilakukan untuk mengubah stigma masyarakat mengenai para penyandang
disabilitas. Namun pada pelaksanaanya diskriminasi dan stigma itu masih sering terjadi.
Narasi-narasi anti diskriminasi dan pemenuhan hak-hak dasar masih berputar pada
ruang publik seperti media sosial belum terlaksana pada kehidupan nyata. Sudut pandang
human right model yang menjadi landasan terakir dan sudah diakui oleh PBB terkait
dengan pemenuhan hak penyandang disabilitas juga belum dapat terlaksanakan dengan
baik. Minimnya fasilitas fisik dan non fisik serta kurang lugasnya peraturan yang ada
menjadi salah satu faktor penting mengapa para penyandang disabilitas tidak bisa
menjalankan aktivitasnya sehari-hari dengan lancar.

DAFTAR PUSTAKA

Arif, A., Arivia, G., & Dhanny, R. (n.d.). Jurnal Perempuan Mencari Ruang untuk Difabel.
Jurnal Perempuan.
Ekowarni, E., Irwanto, Hartanto, S., & Aziz, M. (2015). Jurnal Difabel. Sasana Integrasi
Dan Advokasi Difabel, 2(2).
Irwanto., Kasim, Eva Rahmi., Lusli, Mimi., Siradj, O. (2010). ANALISIS SITUASI
PENYANDANG DISABILITAS DI INDONESIA: SEBUAH DESK-REVIEW.
Australian Goverment, (November).
Keene, V. (2020). ABLE Savings Accounts for People with Special Needs | Nolo. Retrieved
June 7, 2021, from Nolo.com website: https://www.nolo.com/legal-encyclopedia/able-
bank-accounts-people-special-needs.html
Latifah, I. (2020). Pendidikan Segregasi, Mainstreaming, Integrasi dan inklusi, apa bedanya?
Jurnal Pendidikan, 29(2), 101–108. https://doi.org/10.32585/jp.v29i2.676
Nilawaty, C., & Susandijani. (2018, June 12). 4 Jurus Agar Difabel Tak Ditolak Membuka
Rekening di Bank - Difabel Tempo.co. Retrieved April 4, 2021, from Tempo.co website:
https://difabel.tempo.co/read/1106117/4-jurus-agar-difabel-tak-ditolak-membuka-
rekening-di-bank
phieter angdika on Twitter: "@HaloBCA Kenapa BCA Pondok Timur Indah menolak
temanku Tuli yg mau membuka no rekening? dia bisa mandiri dan berkomunikasi dgn
tulis-menulis jadi tidak perlu pendamping. Memang pihak BCA dr sana berpikir bahwa
Tuli tidak bisa. (n.d.). Retrieved June 7, 2021, from Twitter.com website:
https://twitter.com/phieter_angdika/status/1400646131252670465
Santoso, M. B., & Apsari, N. C. (2017). Pergeseran Paradigma dalam Disabilitas.
Intermestic: Journal of International Studies, 1(2), 166.

Anda mungkin juga menyukai