Anda di halaman 1dari 7

1

AKSESIBILITAS PENYANDANG DISABILITAS MENEMPUH PENDIDIKAN TINGGI

OLEH : UTOMO
PRODI PLB FKIP UNLAM
Email : bekantan_mtp@yahoo.co.id
ABSTRAK
Pendidikan merupakan hak setiap warga negara, tidak terkecuali mereka yang menyandang
disabilitas. Saat ini dunia pendidikan telah diperkaya dengan munculnya paradigma pendidikan
inklusif. Pendidikan inklusif memberikan peluang kepada seluruh anak bangsa tanpa kecuali
untuk mendapatkan pendidikan yang layak ditinjau dari semua sisi. Sangat menarik bagaimana
implementasi pendidikan inklusif di pendidikan/perguruan tinggi, terutama bagaimana
mengakomodir mereka yang menyandang disabilitas. Tentunya mereka juga punya hak. Dan
perguruan tinggi mempunyai kewajiban untuk memberikan layanan terbaiknya. Memberikan
kesempatan bagi mereka merupakan sebuah kearifan yang berbasis pendidikan etnopedagogi.
A. Latar Belakang
Setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk dapat berperan serta
dalam pembangunan. Kesempatan yang dimaksud adalah setiap warga Negara mempunyai
hak dan kewajiban untuk mengaktualisasikan dirinya ikut serta sebagai pelaku dalam
pembangunan ataupun sebagai penikmat hasil dari pembangunan. Manusia yang dapat
mendapatkan kesempatan menikmati hasil-hasil pembangunan adalah yang mempunyai akses
yang cukup diberbagai bidang kehidupan. Jarang ditemukan seseorang yang sedikit atau
tidak mempunyai akses akan mendapatkan kesempatan menikmati pembangunan dengan
baik. Akses yang baik sangat ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusianya. Jika
sumberdaya manusianya baik, maka akan lebih berpeluang mendapatkan akses yang baik
pula. Sebaliknya jika sumberdaya manusianya kurang baik, maka peluang untuk
mendapatkan akses juga bisa kurang baik. jika kesempatan tersebut dapat tercipta dengan
baik apabila terpenuhi akses yang memadai baik akses fisik maupun non fisik. Akses fisik
misalnya tersedianya sarana dan prasarana yang memadai diberbagai bidang kehidupan baik
bidang transportasi, bidang kesehatan, bidang pendidikan, dan fasilitas-fasilitas umum
lainnya. Akses non fisik misalnya terciptanya kesempatan menempuh pendidikan, adanya
peluang memporeleh pekerjaan yang layak, kesempatan untuk dapat hidup sejahtera,
terciptanya keamanan dan kesempatan bidang kehidupan lainnya.
Salah satu kelompok warga negara yang seharusnya mempunyai kesempatan yang sama
dalam berbagai kehidupan adalah penyandang disabilitas atau dikenal dengan penyandang
difabel (different able). Istilah sebelumnya dikenal dengan penyandang cacat. Penulis akan
menggunakan kedua istilah tersebut. Istilah penyandang disabilitas adalah mereka yang
mempunyai kelainan fisik, mental, perilaku, atau social. Sedangkan makna difabel adalah
mereka yang mengalami disabilitas namun bisa mengerjakan/melakukan aktifitas dengan
cara yang berbeda. Kondisi disabilitas tersebut mengakibatkan hambatan/keterbatasan dalam
kehidupan sehari-hari sehingga memerlukan kebutuhan khusus. Salah satu
hambatan/keterbatasan penyandang disabilitas adalah memanfaatkan fasilitas umum,
terutama bagi mereka yang mempunyai kategori hambatan gerak dan mobilitas. Kebutuhan
khusus penyandang disabilitas agar dapat teratasi hambatan/keterbatasannya atau bisa
mengarah kepada difabel, maka ada konsekuensi. Salah satu konsekuensinya adalah dalam
menggunakan fasilitas umum yaitu perlunya modifikasi fasilitas umum. Modifikasi atau
2

penyesuaian fasilitas umum tersebut dikenal dengan istilah aksesibilitas bagi penyandang
disabilitas. Aksesibilitas fasilitas umum sangat memungkinkan penyandang disabilitas dapat
menyetarakan dengan kaum nondisabilitas. Penyandang disabilitas bisa setara menggunakan
fasilitas-fasilitas yang ada, baik fisik maupun non fisik. Prinsip aksesibilitas adalah meliputi
tiga hal yaitu prinsip kemudahan, keamanan, dan kenyamanan (UU No. 28 tahun 2002 pasal
27 ayat 2).
Prinsip kesetaraan bukan berarti persamaan. Seringkali penggunaan istilah persamaan
justru akan merugikan penyandang disabilitas. Para penyandang disabilitas seringkali harus
menggunakan fasilitas yang sama yang sering digunakan oleh orang pada umumnya tanpa
ada modifikasi. Fasilitas umum yang tidak memenuhi standar aksesibilitas memungkinkan
penyandang disabilitas belum tentu bisa menggunakannya. Makna kesetaraan bagi
penyandang disabilitas dimaksudkan agar mereka mempunyai kesempatan yang sama dalam
mempergunakan fasilitas-fasilitas umum yang ada. Pertanyaannya mengapa penyandang
disabilitas memerlukan fasilitas yang aksesibel? Mereka karena kondisi fisik, mental,
perilaku, maupun social mempunyai keterbatasan jika menggunakan fasilitas umum yang
hanya disetting untuk orang yang tidak mengalami disabilitas. Penyandang disabilitas yang
hanya mempunyai kaki satu misalnya, agar bisa setara menggunakan fasilitas trotoar, maka
trotoar tersebut perlu dimodifikasi agar bisa dilalui oleh penyandang tunadaksa dan juga
memerlukan bantuan alat sebagai pengganti kakinya yang tidak ada. Para penyandang
disabilitas sesungguhnya tidak menuntut terlalu berlebihan, mereka menginginkan
kesetaraan kesempatan, seperti pendapatnya Dr. Didi Tarsidi (2008) :
Sesungguhnya para penyandang ketunaan tidak mengharapkan dan tidak pula
memerlukan lebih banyak hak daripada orang-orang pada umumnya. Mereka
hanya menghendaki agar dapat bergerak di dalam lingkungannya dengan tingkat
kenyamanan, kemudahan dan keselamatan yang sama dengan warga masyarakat
lainnya, memperoleh kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam
kehidupan yang normal, dapat semandiri mungkin dalam batas-batas
kemampuannya.

Menjadi disabilitas tentu bukan sebuah pilihan, melainkan sebuah kenyataan yang harus
dijalani. Setiap orangtua tentu juga tidak berharap anaknya lahir dalam kondisi disabilitas.
Tidak juga kepada siapapun dalam proses perkembangannya tiba-tiba mengalami disabilitas.
Jika demikian yang harus dilakukan adalah “belajar berdamai dengan keadaan” alias pasrah
(bukan putus asa) dengan keputusan yang telah diambil oleh Sang Maha Pencipta.
Kepasrahan akan membuat seseorang yang terkena dampak disabilitas akan tidak mudah
mengatakan bahwa “Tuhan tidak adil.” Pertanyaan yang negatif (kenapa harus menimpa diri
saya) akan bisa diminimalisir bahkan akan dibuang jauh-jauh. Kepasrahan akan membuat
seseorang yang disabilitas atau lingkungannya (orangtua, masyarakat, pemerintah) akan
segera bangkit dari keadaan. Disini dituntut agar lingkungan benar-benar peduli sebagai
bentuk rasa syukur bahwa orang-orang yang tidak diberi kekurangan harus memberikan
kompensasinya. Salah satunya adalah perlunya sarana dan prasarana yang aksesibel terhadap
penyandang disabilitas. Penyediaan fasilitas umum yang akseibel bagi penyandang disabilitas
merupakan bentuk implementasi layanan kepada semua lapisan masyarakat yang adil,
bermutu dan tanpa diskriminasi.
Fasilitas umum yang aksesibel bagi penyandang disabilitas sudah barang tentu tidak akan
mengurangi kebermanfaatannya bagi orang lain, justu akan menambah manfaat juga bagi
3

orang lain yang tidak mengalami disabilitas. Secara prinsip, jika penyandang disabilitas saja
bisa mempergunakan fasilitas umum tersebut dengan mudah dan aman, tentu bagi orang lain
yang tidak mengalami disabilitas akan lebih aksesibel. Secara garis besar, aksesibilitas bagi
penyandang disabilitas menurut kegunaannya dikategorikan ke dalam dua jenis, yaitu (1)
fasilitas yang bisa digunakan oleh siapa saja, tidak hanya penyandang disabilitas yang
mempergunakannya, contohnya trotoar, selasar, life, dsb. (2) fasilitas yang hanya
dipergunakan oleh penyandang disabilitas saja, orang yang tidak menyandang disabilitas
tidak boleh mempergunakannya, contohnya ada beberapa fasilitas yang khusus disediakan
oleh penyandang disabilitas seperti wc, tempat parkir, hidrolik di bus maupun di bangunan
sebagai pengganti tangga di gedung bertingkat, jalan dengan kemeringan maksimal 30%, dll.
Penyandang disabilitas memerlukan upaya penyetaraan dalam menjalani kehidupan,
bukan mendapatkan perlakuan diskriminasi. Semua landasan yang ada, baik landasan
religious, landasan HAM, landasan psikologis, landasan yuridis, maupun pemikiran yang
sesuai dengan hati nurani dan sebagainya, tidak ada yang sanggup melawan adanya asumsi
bahwa mereka tidak boleh mendapatkan diskriminasi.
Hukum di Indonesia telah banyak mengatur tentang sisi-sisi layanan kehidupan di segala
bidang. Telah banyak peraturan perundangan-udangan ditetapkan baik oleh lembaga
legislative maupun lembaga eksekutif. Misalnya Undang-Undang tahun nomor 4 tahun 1997
tentang penyandang cacat, salah satu pasalnya menyebutkan bahwa setiap badan usaha yang
mempunyai karyawan 100 orang, maka satu persennya harus dari penyandang cacat (istilah
sekarang penyandang disabilitas). Undang-Undang nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung. Pasal 27 ayat 2 yaitu Kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi tersedianya fasilitas dan aksesibilitas yang
mudah, aman, dan nyaman termasuk bagi penyandang cacat dan lanjut usia. Diperjelas lagi
dalam pasal 31 menyebutkan :
(1) Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) merupakan keharusan bagi semua
bangunan gedung, kecuali rumah tinggal. (2) Fasilitas bagi penyandang cacat dan
lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), termasuk penyediaan fasilitas
aksesibilitas dan fasilitas lainnya dalam bangunan gedung dan lingkungannya. (3)
Ketentuan mengenai penyediaan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut
usia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.

Di bidang pendidikan, DPR juga telah mengeluarkan ketentuan terbarunya


mengenai pendidikan khusus. Yaitu Undang-Undang No. 20 tahun 2003 pasal 15.
Dipertegas dalam penjelasannya pasal 15 yang berbunyi “Pendidikan khusus merupakan
penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang
memiliki kecerdasan luar bisaa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan
pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah”. Undang-undang
tersebut, memberikan pilihan bagi penyandang disabilitas usia sekolah (disebut Anak
Berkebutuhan Khusus/ABK) dapat menempuh pendidikan baik di sekolah regular
(paradigma pendidikan inklusif) maupun di SLB (satuan pendidikan khusus). Ketentuan
lebih lanjut tentang pelaksanaan pendidikan inklusif telah diatur dalam Permendiknas No.
70 tahun 2009.
4

Penanganan pendidikan selama ini masih banyak yang belum memperhatikan


factor aksesibilitas fisik bagi penyandang disabilitas. Penanganan pendidikan bagi
penyandang diasbilitas selama ini lebih banyak mengarah kepada penanganan pada
konten pendidikannya saja. Program-program yang ada masih kelihatan kepada
penanganan non fisik seperti kurikulum, proses penanganan/pembelajaran dan
penilaiannya. Jarang sekali lembaga pendidikan meingimpelentasikan peraturan tentang
aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Bahkan sekolah-sekolah yang dirancang khusus
untuk anak berkebutuhan khususpun tidak memperhatikan lingkungannya akses atau
tidak terhadap penyandang disabilitas. Padahal sesuai peraturan perundang-undangan
yang ada misalnya UU No. 28 tahun 2002 tentang bangunan gedung, lembaga
pendidikan/sekolah termasuk kategori fasilitas umum yang harus mengakomodir
aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Akses-akses lainnya seperti akses kursi roda,
petunjuk untuk tunanetra, tiang-tiang bangunan masih belum terlihat. Begitu juga prinsip-
prinsip bangunan dan lingkungan lainnya yang akses belum banyak diimplementasikan,
termasuk di lembaga-lembaga pendidikan tinggi.
Mengingat pentingnya aksesibilitas fisik maupun non fisik bagi penyandang
disabilitas dan masih minimnya implementasi dari peraturan perundang-undangan yang
ada, maka memberikan inspirasi bagi penulis untuk memberikan gambaran dan ulasan
bagaimana penyandang disabilitas dapat menempuh pendidikan secara layak, bahkan
sampai menempuh pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi.

B. Akses Penyandang Disabilitas Menempuh Pendidikan Tinggi


Hak mendapatkan pendidikan yang layak tentunya berlaku bagi siapapun. Paradigma
yang saat ini berkembang paling popular untuk memberantas diskriminasi adalah paradigma
pendidikan inklusif. Jika dibandingkan dengan paradigma yang lain, pendidikan inklusif
dipandang sebagai paradigma pendidikan yang paling ramah dan sangat memungkinkan para
penyandang disabilitas mendapatkan layanan pendidikan yang layak, bahkan sampai di
perguruan tinggi. Bagaimana implementasi paradigma pendidikan inklusif di pendidikan
tinggi yang memungkinkan para penyandang disabilitas mendapatkan pendidikan tinggi yang
layak? Simak ulasan berikut sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan kebudayaan
Nomor 26 tahun 2014.
1. Pemberian kesempatan yang setara untuk mendaftar
Pendidikan pada intinya adalah memberikan kesempatan kepada setiap manusia untuk
berkembang sesuai dengan potensinya. Sesuatu yang tidak adil jika sebuah lembaga
pendidikan membatasi seseorang untuk dapat mengaksesnya dikarenakan kondisi
manusia yang “berbeda” dari umumnya. Misalnya karena seseorang menyandang
disabilitas, kemudian tidak diperkenankan untuk ikut kompetisi memperebutkan kursi
kuliah di pendidikan tinggi. Implementasi Pendidikan inklusif di pendidikan tinggi
mempersyaratkan bahwa mereka yang mempunyai persyaratan pendidikan maka
mempunyai hak untuk ikut kompetisi memperebutkan kursi kuliah di pendidikan tinggi,
tidak terkecuali mereka yang menyandang disabilitas.

2. Kebebasan memilih program studi/jurusan


Banyak kalangaan meragukan bahwa mereka yang menyandang disabilitas tidak
mempunyai kemampuan untuk menempuh pendidikan tinggi. Terkadang walaupun
mereka sudah lolos seleksi masuk pendidikan tinggi, namun karena kondisi mereka yang
5

berbeda (misalnya mempunyai kekurangan fisik) kemudian lembaga pendidikan tinggi


membatalkan/menganulirnya. Terkadang alasannya juga tidak masuk akal dan bukan
menjadi persyaratan untuk menimba ilmu di pendidikan tinggi. Para penyandang
disabilitas tidak perlu dibatasi untuk memilih program studi/jurusan yang ada di
pendidikan tinggi. Justru pendidikan inklusif memberikan keleluasaan bagi penyandang
disabilitas untuk memilih program studi/jurusan yang diminatinya. Para penyandang
disabilitas akan mengukur sendiri kemampuan dan kondisinya (self estem). Bukan
pendidikan tinggi yang membatasi/mengarahkan. Perlu ditepis jika ada pendapat yang
mengatakan bahwa penyandang disabilitas jika mau kuliah tempatnya harus di Program
Studi/Jurusan Pendidikan Luar Bisaa. Misalnya ada seorang tunadaksa yang hanya
mempunyai salah satu kaki dan anak itu berminat sekali ingin menjadi programer
dibidang IT, masak harus kuliah di Pendidikan Luar Bisaa. Biarkan dia untuk memilih
program studi di ilmu komputer.

3. Pemberian layanan sesuai dengan kebutuhan


Seluruh bidang kehidupan yang memberikan nafas bagi sivitas akademika seharusnya
disentuh dengan pemberian kesempatan kepada penyandang disabilitas untuk dapat
mengaksesnya. Semua lini yang diperlukan mahasiswa harus mempertimbangkan adanya
dukungan dan bantuan yang diperlukan bagi penyandang disabilitas. Semua layanan yang
berhubungan dengan kepentingan mahasiswa perlu diseting dan dikondisikan juga untuk
memberikan layanan terbaik bagi mahasiswa yang kebetulan mengalami disabilitas.
Dikalangan teknis layanan sering menyebut “LAYANAN PURNA”. Beberapa masukan
yang bisa dipertimbangkan adalah :
a. Menciptakan aksesibilitas fisik baik di gedung maupun di luar gedung, misalnya
pembuatan jalan akses terhadap pengguna kursi roda dan tuanentra.
b. Menciptakan aksesibilitas non fisik, misalnya kurikulum yang disesuaikan dengan
kondisi ABK, pemberian layanan IT yang aksesibel, pemberian bantuan, penerimaan
dosen, dan sebagainya.
c.
C. Memulai aksi
Peraturan hanya tinggal peraturan jika tidak ada kemauan dan komitmen untuk
menjalankan. Indoensia termasuk jago di dalam membuat peraturan perundangan-undangan.
Mungkin sudah puluhan, ratusan bahkan ribuan peraturan perundangan-undangan yang telah
lahir. Salah satu peraturan yang telah lahir adalah mengatur penyandang disabilitas untuk
menempuh pendidikan tinggi yaitu Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 46
tahun 2014 Tentang Pendidikan Khusus, Pendidikan Layanan Khusus dan/atau Pembelajaran
Layanan Khusus pada Perguruan Tinggi. Aksi sangat perlu untuk mengimplementasikan
sebuah gagasan, apalagi sudah tertuang dalam peraturan. Langkah-langkah yang bisa
ditempuh adalah:
1. Reformasi pemikiran bahwa hak menempuh pendidikan tinggi berlaku bagi siapa saja.
2. Reformasi pemikiran bahwa kondisi tertentu seseorang tidak membatasi seseorang untuk
menempuh pendidikan, misalnya menghilangkan persyaratan tinggi badan, kondisi fisik
dan sebagainya yang tidak ada hubungannya dengan persyaratan seseorang untuk belajar
di pendidikan tinggi.
3. Reformasi MENTAL MENUJU KEARIFAN BAHWA KITA LEBIH BAIK
MEMFASILITASI DARIPADA MEMPERMASALAHKAN KONDISI SESEORANG.
6

4. Mengkaji semua filosofi, gagasan, peraturan perundangan-undangan yang berkenaan


dengan kepentingan penyandang disabilitas.
5. Melakukan risetdi seluruh bidang yang berkenaan dengan kepentingan penyandang
disablitas.
6. Melakukan sosialisasi yang berkelanjutan kepada seluruh civitas akademika.
7. Membuat program aksi secara terencana dan terkaji menuju kesempurnaan memberikan
layanan pendidikan tinggi kepada penyandang disabilitas.
8. Segera menciptakan aksesibitas fisik maupun non fisik di pendidikan tinggi sebagai
upaya tunduk terhadap undang-undang.

D. Kesimpulan
Memberikan kesempatan menempuh pendidikan termasuk sampai ke pendidikan tinggi
kepada penyandang disabilitas merupakan sebuah kearifan. Penulis berharap kajian
pendidikan berbasis etnopedagogi jangan hanya sebuah tulisan. Penyandang disabilitas
menunggu para ETNOPEDAGOGIK di perguruan/pendidikan tinggi membuka tangan lebar-
lebar untuk menerima mereka. Kutunggu aksinya.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S dan Cepi Safrudin (2008) Evaluasi Program Pendidikan, Pedoman Teoritis Praktis
bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara
Astati, (2001), Pendidikan Luar Bisaa di Sekolah Umum, Bandung :Pendawa
Bean R, (1993), How to Help Your Children Succed in School, Price stren Sloan, Inc.
Berk.L.E.L (2003), Child Developmnet, The United States Of Amerika: Person Education.
Direktorat Pendidikan Luar Bisaa dan Braillo Norway, (2005), Menciptakan Kelas Iklusif,
Ramah terhadap Peserta Didik: Jakarta, Depdiknas
Dryden G & Vos J, (2002), The Learning Revolution, Bandung : Kaifa (Selandia Baru:The
Learning Web)
Jhonsen B.H. &Skjorten MD, (2003), Menuju Inklusi, Pendidikan Kebutuhan Khusus Sebuah
Pengantar, Bandung, Program Pasca Sarjana UPI Bandung
Johnsen, B: (2003), Kurikulum Untuk Pluralitas kebutuhan Belajar Individual Artikel dalam
johnsen B.H & Skjorten MD Menuju Inklusi, pendidikan kebutuhan khusus Sebuah
Pengantar, Bandung, Program pasca Sarjana UPI Bandung
Mason H & Mc Call, (1997), Visual Impairment Acces to Education for Children and Young
people, London: David Fultron Publishers
Mc Wbir, Anne, (1996), A Message ti Teacher in Inclusive schools (ed) The Journey to Inclusive
schools, UNESCO Published By Inclusion Internasional
7

Permanarian & Alimin Z, (2005) Reorientasi Pemahaman Konsep SpecialEducation ke Konsep


Special Needs Education dan Implikasi terhadap Layanan Pendidikan (jurnal), Bandung,
Jassi

Skjorten M. (2003) Menuju Inklusi dan Pengayaan, Artikel dalam Johsen B.H & Skjorten MD
Menuju Inklusi, Pendidikan kebutuhan Khusus sebuah Pengantar, Bandung, Program
Pasca Sarjana UPI bandung
Sunanto J, (2003), Konsep Pendidikan Untuk Semua, Bandung, Makalah tidak diterbitkan
Jurusan PLB UPI Bandung
Tarsidi D, (2008), Aksesibilitas Fisik bagi Penyandang Ketunaan (Online).www.didi-
tarsidi.blogspot.com
UNESCO, (1999), The Journey to Inclusive Schools, Published By Inclussion Internasional
__________, Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem
Pendidikan Nasional : Jakarta : Restindo Mediatama

__________, Undang-undang Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

__________, Undang-undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang cacat.

__________, Permendiknas nomor 46 tahun 2014 Tentang Pendidikan Khusus, Pendidikan


Layanan Khusus dan/atau Pembelajaran Layanan Khusus pada Perguruan Tinggi

_____________, (2005), Mengelola Kelas Inklusif, dengan Pembelejaranyang Ramah : Jakarta,


Depdiknas
_____________, (2005) Merangkul Perbedaan: Perangkat Untuk Mengembangkan Lingkungan
Inklusif, Ramah terhadap Pembelejaran: Jakarta, Depdiknas
_____________, (2005) Menciptakan Lingkungan Inklusif Ramah terhadap Pembelajaran
(LIRP) yang Sehat dan Aman: Jakarta, Depdiknas
_____________, (2005) Menjadikan Lingkungan Inklusif, Ramah terhadap Pembelajaran
(LIRP): Jakarta, Depdiknas
_____________, (2005) Bekerja Sama dengan Keluarga dan Masyarakat untuk Meniciptakan
Lingkungan Inklusif Ramah terhadap Pembelejaran(LIRP): Jakarta, Depdiknas
_____________, (2005) Mengajak Semua Anak Bersekolah dan Belajar: Jakarta, Depdiknas

Anda mungkin juga menyukai