Anda di halaman 1dari 8

STUDI TENTANG KEBUTUHAN PRASARANA PUBLIK YANG AKSESIBEL BAGI

PENYANDANG DISABILITAS DI KELURAHAN PELAMBUAN KOTA BANJARMASIN

STUDY ON THE NEED FOR ACCESSIBILITY OF PUBLIC INFRASTRUCTURE FOR


PEOPLE WITH DISABILITIES IN PELAMBUAN, BANJARMASIN CITY

Farah Dhafiya1, Imam Yuwono2, Eviani Damastuti3


1
Kelurahan Pelambuan, Jl. Ir. P. Moch. Noor Pelambuan Banjarmasin Barat, Banjarmasin
2
Program Studi Pendidikan Khusus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Gotong
Royong Rt. 02 Rw. 06 No. 87, Banjarbaru
3
Program Studi Pendidikan Khusus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat Jl. Gotong
Royong Rt. 02 Rw. 06 No. 87, Banjarbaru
*farahdhafiya@gmail.com

Abstrak: Penelitian ini berlatar belakang dari fenomena kebutuhan penyandang disabilitas di Pelambuan terkait aksesibilitas
prasarana publik. Banyaknya tunanetra dan tunadaksa di Pelambuan yang mengalami hambatan mobilitas menuntut
kawasan yang ramah disabilitas. Tujuan penelitian di Pelambuan ini adalah untuk mengetahui aksesibilitas: 1) Jalur
pedestrian bagi tunanetra. 2) Area parkir bagi tunanetra. 3) Toilet bagi tunanetra. 4) Tangga bagi tunanetra. 5) Guiding block
bagi tunanetra. 6) Jalur pedestrian bagi tunadaksa. 7) Area parkir bagi tunadaksa. 8) Toilet bagi tunadaksa. 9) Tangga bagi
tunadaksa. 10) Ramp bagi tunadaksa. Penelitian ini berjenis kualitatif deskriptif. Sumber data yaitu 1 tunanetra, 1 tunadaksa,
lurah pelambuan serta 1 masyarakat non-disabilitas. Teknik pengumpulan data berupa wawancara, observasi &
dokumentasi. Keabsahan data menggunakan teknik triangulasi sumber & triangulasi metode. Teknik analisis data terdiri dari
pengumpulan data, reduksi data, penyajian data & penarikan kesimpulan. Hasil penelitian di Pelambuan adalah: 1) Jalur
pedestrian tidak sesuai dengan kriteria aksesibilitas bagi tunanetra. 2) Area parkir tidak sesuai dengan kriteria aksesibilitas
penyandang disabilitas bagi tunanetra. 3) Toilet tidak sesuai dengan kriteria aksesibilitas bagi tunanetra. 4) Mayoritas tangga
tidak sesuai dengan kriteria aksesibilitas bagi tunanetra. 5) Guiding block tidak sesuai dengan kriteria aksesibilitas bagi
tunanetra. 6) Jalur pedestrian tidak sesuai dengan kriteria aksesibilitas bagi tunadaksa. 7) Area parkir tidak sesuai dengan
kriteria aksesibilitas bagi tunadaksa. 8) Toilet tidak sesuai dengan kriteria aksesibilitas bagi tunadaksa. 9) Tangga belum
sepenuhnya aksesibel bagi penyandang tunadaksa. 10) Ramp tidak sesuai dengan kriteria aksesibilitas bagi tunadaksa.
Kata Kunci: Aksesibilitas, prasarana publik, tunanetra, tunadaksa

Abstract: This research’s background is from the needs of people with disabilities in Pelambuan regarding the accessibility of
public infrastructure. The large number of visual impairment and physical disability people in Pelambuan who experience
mobility difficulties demands an inclusive area. The purpose of this research in Pelambuan is to determine accessibility: 1)
Pedestrian paths for visual impairment. 2) Parking areas for the visual impairment. 3) Toilets for visual impairment. 4) Stairs
for visual impairment. 5) Guiding block for visual impairment. 6) Pedestrian paths for physical disability. 7) Parking areas for
physical disability. 8) Toilets for physical disability. 9) Stairs for physical disability. 10) Ramp for physical disability. This
research is qualified as descriptive qualitative. The data sources are 1 person with visual impairment, 1 person with physical
disability, the village head of Pelambuan and 1 non-disabled person. Data collection techniques in this research are
interviews, observation & documentation. The validity of the data using source triangulation techniques & method
triangulation. Data analysis techniques consist of data collection, data reduction, data presentation & conclusions. The
results of this research are: 1) The pedestrian path does not meet accessibility requirements for visual impairment. 2) The
parking area does not meet accessibility requirements for visual impairment. 3) The toilet does not meet accessibility
requirements for visual impairment. 4) The majority of stairs does not meet accessibility requirements for visual impairment.
5)Guiding block does not meet accessibility requirements for visual impairment 6) The pedestrian path does not meet
accessibility requirements for physical disability. 7) The parking area does not meet accessibility requirements for physical
disability. 8) The toilet does not meet accessibility requirements for physical disability. 9) Stairs are not fully accessible for
physical disability. 10) Ramp does not meet accessibility requirements for physical disability.

Keyword: Accesibility, public infrastructure, visual impairment, physical disability

1. PENDAHULUAN
Konsep inklusivitas sedang ramai diperbincangkan di kancah internasional dan salah satu negara yang
ikut serta ingin menyuarakan konsep ini adalah negara Indonesia. Miller & Katz (2009) mendefinisikan
inklusif sebagai suatu kondisi yang menjamin adanya partisipasi berarti dari seluruh pihak (tanpa
diskriminasi) baik sebagai objek ataupun subjek, dan keterlibatan ini bukan sekadar untuk penghindaran
konflik sehingga membuat individu atau kelompok merasa terhubung dan termotivasi untuk berpartisipasi.
Seruan konsep kota inklusif sudah bermunculan di berbagai wilayah Indonesia, namun kajian akademik
tentang kota inklusif masih belum disentuh secara mendalam. Masih banyak terjadi di lapangan bahwa kota-
kota yang disebut sebagai kota inklusif belum memiliki konsep yang mapan tentang inklusivitasnya. Aturan
Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi Penyandang Disabilitas (1994) (A/RES/48/96)
mengidentifikasi aksesibilitas lingkungan fisik serta informasi dan komunikasi sebagai dua area target untuk
memastikan pemerataan hak atau kesempatan. Pembangunan kota inklusif dapat dipahami melalui arti kata
“pembangunan” serta “inklusif”. Pembangunan adalah proses meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dalam arti luas, tidak hanya berdasarkan segi ekonomi, namun juga berdasarkan segi sosial, politik, dan
kesehatan (Kanbur & Rauniyar, 2009). Pada saat yang sama, inklusif berarti kondisi yang menjamin
partisipasi yang berarti dari seluruh pihak secara bermakna (tanpa diskriminasi) baik sebagai objek ataupun
subjek (Miller & Katz, 2009). Dengan mengakomodasi arti dari kedua kata tersebut, pembangunan inklusif
dapat diartikan sebagai proses pembangunan yang menjamin partisipasi semua kelompok, termasuk
kelompok marginal, baik sebagai subyek maupun obyek, dalam proses pembangunan, dengan rasa memiliki
setiap elemen masyarakat terhadap proses pembangunan masyarakat (IDDC, 2009).
Pemerintah sudah seharusnya mengimplementasikan konsep inklusif tersebut dengan membuat
prasarana yang aksesibel untuk memastikan akses bagi penyandang difabel, untuk lingkungan fisik,
transportasi, informasi dan komunikasi, teknologi sistem informasi dan komunikasi, fasilitas dan layanan
lainnya yang terbuka atau tersedia bagi publik, baik di perkotaan maupun wilayah pedesaan (Kota Kita,
2019). Salah satu kota yang diklaim sebagai kota inklusif ialah kota Banjarmasin. Banjarmasin termasuk di
dalam Provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Banjarmasin meliputi area seluas 98,46 km2 dengan 662.230
penduduk yang terdaftar pada 2021. Dengan kepadatan penduduk 6.727 jiwa/km 2, Banjarmasin merupakan
kota terpadat di Pulau Kalimantan (Kota Kita, 2019). Terdapat lima kecamatan di Kota Banjarmasin, yakni
Banjarmasin Selatan, Banjarmasin Timur, Banjarmasin Barat, Banjarmasin Utara dan Banjarmasin Tengah.
Kelurahan Pelambuan ialah salah satu kelurahan yang merupakan bagian dari kecamatan Banjarmasin
Barat. Pelambuan memiliki luas area sebesar 212 Ha dengan 4 RW dan 72 RT. Di Pelambuan sendiri
terdapat 252 penyandang disabilitas dengan klasifikasi 131 orang dengan hambatan fisik dan motorik
(tunadaksa) dan 28 orang dengan hambatan penglihatan (tunanetra) yang tersebar di daerah Pelambuan,
artinya Pelambuan seharusnya telah menjadi tempat yang ramah difabel dan memiliki prasarana publik yang
aksesibel bagi mereka karena populasi masyarakat disabilitas yang banyak di sana.
Penelitian ini membahas tentang kebutuhan prasarana publik yang aksesibel bagi penyandang
disabilitas di Kelurahan Pelambuan Kota Banjarmasin dengan berfokus kepada dua jenis disabilitas, yaitu
tunanetra (hambatan penglihatan) dengan klasifikasi totally blind dan tunadaksa (hambatan fisik dan motorik)
dengan klasifikasi ambulant disabled. Tunanetra sendiri menurut Yuwono & Mirnawati (2021) merupakan
individu yang indera penglihatannya terganggu dan mengalami keterbatasan penglihatan. Akibat hambatan
tersebut, mereka mengalami gangguan penglihatan di mana setelah dikoreksi tidak berfungsi sebagai
saluran penerima informasi secara visual dan membutuhkan layanan pendidikan khusus. Sehingga dapat
diketahui bahwa penyandang tunanetra adalah individu yang mengalami hambatan pada indera
penglihatannya. Kemudian Karyana dan Widati (2013: 32) menyebutkan kondisi tunadaksa ialah individu
yang mengalami kesulitan dalam mengoptimalkan fungsi anggota tubuhnya karena cedera, luka, penyakit,
pertumbuhan yang salah bentuk dan mengakibatkan berkurangnya kemampuan untuk melakukan gerakan-
gerakan tubuh tertentu. Kondisi ini akhirnya mengakibatkan penyandang tunanetra maupun penyandang
tunadaksa membutuhkan aksesibilitas guna membantu dan mempermudah mereka di dalam kehidupan
sehari-hari ketika menggunakan prasarana publik.
Terdapat salah satu penelitian yang relevan terkait permasalahan ini, yaitu penelitian dari Pujianti (2018)
yang berjudul “Aksesibilitas Ruang Publik bagi Difabel di Kota Pangkalpinang”. Dalam penelitian tersebut
menghasilkan dua poin. Pertama, beberapa ruang publik di Kota Pangkalpinang belum memiliki aksesibilitas
bagi difabel. Kedua, kondisi beberapa ruang publik memiliki prasarana aksesibilitas bagi difabel, tetapi belum
memadai. Berdasarkan penelitian yang relevan tersebut dapat diketahui bahwa penyandang disabilitas
memerlukan kebutuhan aksesibilitas yang harusnya terpenuhi pada prasarana publik yang ada di suatu
tempat. Khususnya bagi penyandang tunanetra dan penyandang tunadaksa yang mengalami hambatan
pada aspek penglihatan dan fisik-motorik yang berdampak signifikan pada pergerakan ataupun mobilitas
mereka untuk menggunakan prasarana publik. Seperti yang disebutkan dalam Permen PUPR RI (Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia) No. 14 Tahun 2017 tentang
Persyaratan Kemudahan Bangunan Gedung, bahwa aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi
semua orang untuk mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupannya. Pasal lain dalam Permen PUPR No. 14 Tahun 2017 menyebutkan bahwa bebas halangan
(barrier free) ialah keadaan bangunan dan sekitarnya tanpa gangguan fisik, gangguan informasi atau
komunikasi, sehingga masing-masing individu dapat menggunakan bangunan serta sekitarnya dengan
aman, nyaman, mudah dan mandiri. Division for Social Policy and Development pun mengungkapkan bahwa
aksesibilitas merupakan prasyarat untuk realisasi penuh hak-hak penyandang disabilitas serta partisipasi
dalam masyarakat dan pembangunan (Darmadi, 2021). Kemudian, Kota Kita (2021) mendefinisikan
prasarana publik sebagai fasilitas umum yang dapat diakses meliputi akses informasi dan komunikasi, akses
ke bangunan dan fasilitas umum lainnya. Dengan begitu, aksesibilitas merupakan kemudahan dan
kenyamanan bagi seluruh lapisan masyarakat dalam menggunakan suatu sarana dan prasarana, termasuk
bagi para penyandang disabilitas. Artinya, pemerintah sebenarnya sudah menetapkan peraturan resmi yang
membahas mengenai aksesibilitas prasarana publik bagi masyarakat non-disabilitas maupun masyarakat
disabilitas seperti tunanetra dan tunadaksa, dimana sudah sepantasnya prinsip-prinsip aksesibilitas dalam
ranah prasarana publik diterapkan. Tinggal bagaimanakah implementasi peraturan-peraturan tersebut
diberlakukan di setiap daerah.
Berdasarkan fenomena inilah peneliti tertarik untuk menggali informasi secara lebih dalam yang
dituangkan dalam sebuah penelitian dengan judul “Studi tentang Kebutuhan Prasarana Publik yang
Aksesibel bagi Penyandang Disabilitas di Kelurahan Pelambuan Kota Banjarmasin ” yang berfokus kepada
tunanetra dan tunadaksa guna melihat bagaimana fakta di lapangan yang terjadi mengenai aksesibilitas
prasarana publik di daerah tersebut.

2. METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Hadi (2016) menyebutkan pula bahwa penelitian
kualitatif bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis induktif. Penelitian kualitatif dilakukan
secara intensif dengan kajian lapangan secara mendalam di lapangan seraya mencatat dengan cermat
fenomena yang terjadi di lapangan, menganalisis berbagai dokumen yang ditemukan di lapangan, dan
terakhir menghasilkan laporan penelitian yang rinci. Sehingga, penelitian ini menggunakan deskripsi dari
peneliti dalam suatu kegiatan penelitian yang bersumber dari subjek penelitian maupun dokumen terkait
sebagai bentuk pengumpulan data oleh peneliti. Maka, peneliti memilih penelitian deskriptif kualitatif dengan
maksud untuk memperoleh informasi serta menggambarkan secara sistematis mengenai sebuah fakta
bagaimana kebutuhan prasarana publik yang aksesibel bagi penyandang disabilitas di Kelurahan
Pelambuan, Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan.
Subjek yang digunakan dalam setting penelitian ini adalah lurah Pelambuan, 1 warga non-disabilitas
serta 2 warga disabilitas (tunanetra dan tunadaksa). Kemudian, tempat pelaksanaan penelitian yang
digunakan adalah di Kelurahan Pelambuan, Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia.
Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah observasi, wawancara dan dokumentasi dengan teknik
keabsahan data menggunakan triangulasi data.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Jalur Pedestrian bagi Tunanetra

Indikator prasarana publik yang diamati oleh peneliti dalam penelitian ini terbagi menjadi sepuluh, yakni:
jalur pedestrian bagi tunanetra, area parkir bagi tunanetra, toilet bagi tunanetra, tangga bagi tunanetra,
guiding block bagi tunanetra, jalur pedestrian bagi tunadaksa, area parkir bagi tunadaksa, toilet bagi
tunadaksa, tangga bagi tunadaksa dan ramp bagi tunadaksa. Dimulai dari kebutuhan prasarana publik yang
aksesibel bagi tunanetra terkait indikator-indikator sebelumnya. Pertama, hasil penelitian mengenai jalur
pedestrian di Pelambuan diketahui belum aksesibel bagi tunanetra karena hanya terdapat satu jalur
pedestrian yang terletak di taman depan rumah sakit swasta Pelambuan, kondisi jalan masih tidak rata, tidak
terdapat handrail, anak tangga yang rusak, guiding block yang rusak dan tempat duduk untuk beristirahat
yang juga sudah rusak. Hal tersebut berbanding terbalik dengan pendeskripsian aksesibilitas jalur pedestrian
yang tertuang dalam Permen PUPR No. 14 (2017), dimana dikatakan permukaan lintasan harus stabil,
kokoh, tahan cuaca, dan tidak licin. Lalu, jalur trotoar dapat dilengkapi dengan tempat duduk istirahat dan
drainase dengan jarak 900 cm yang dilakukan tegak lurus arah jalur dengan kedalaman maksimal 1,5 cm. 
Artinya, memang terjadi kesenjangan antara fakta yang terdapat di lapangan dengan kriteria aksesibilitas
jalur pedestrian. Sehingga, dapat dikatakan bahwa jalur pedestrian yang terdapat di Kelurahan Pelambuan
Kota Banjarmasin tidak sesuai dengan kriteria aksesibilitas bagi tunanetra.

3.2 Area Parkir bagi Tunanetra

Hasil penelitian yang didapatkan oleh peneliti terkait area parkir dikatakan pula belum aksesibel
dikarenakan tidak ada area parkir khusus bagi disabilitas di Pelambuan dan fasilitas seperti tanda parkir
disabilitas yang juga tidak ada. Hal ini tentu juga berbanding terbalik dengan teori kota inklusif yang
menyebutkan bahwa tempat parkir difabel harus terletak di jalur terdekat dari bangunan/fasilitas yang
direncanakan dengan jarak maksimal 60 meter dari pintu masuk, tersedia tanda parkir difabel berwarna
kontras serta rambu yang dapat membedakan dengan tempat parkir umum (Permen PUPR No. 14, 2017).
Tetapi pada kenyataan nya di Pelambuan belum memiliki area parkir khusus disabilitas, dengan begitu dapat
disimpulkan bahwa area parkir yang terdapat di Kelurahan Pelambuan Kota Banjarmasin tidak sesuai
dengan kriteria aksesibilitas penyandang disabilitas.

3.3 Toilet bagi Tunanetra

Hasil penelitian terkait toilet yang didapatkan peneliti menunjukkan jawaban yang berbeda-beda namun
pada intinya adalah beberapa toilet yang ada di beberapa prasarana publik Pelambuan belum cukup
aksesibel dan bahkan masih jauh dari kata aksesibel bagi penyandang tunanetra itu sendiri. Hal ini
dikarenakan tidak ada bentuk modifikasi dari toilet tersebut dan fakta di lapangan yang didapat oleh peneliti
dari observasi dan dokumentasi pun membuktikan bahwa beberapa toilet umum Pelambuan masih belum
ideal bagi penyandang tunanetra. Terjadi kesenjangan yang terjadi akibat perbedaan hasil penelitian dengan
teori aksesibilitas terkait toilet yang menyebutkan bahwa toilet disabilitas harus dilengkapi dengan tanda
yang jelas dan informatif, setiap toilet pria dan wanita wajib memiliki minimal 1 toilet difabel, penutup lantai
toilet dipilih dari bahan yang bertekstur dan tidak licin, luas ruang untuk toilet difabel minimal harus 152,5 cm
x 227,5 cm untuk memungkinkan pergerakan ruang bagi pengguna kursi roda, lebar pintu toilet minimal 70
cm, kecuali toilet dengan mobilitas terbatas 90 cm, pintu toilet difabel selalu terbuka ke luar toilet dan jarak
antar pintu minimal 152,5 cm dan di luar kloset. Kemudian, pada bagian bahwa pintu toilet difabel harus
dilengkapi dengan plat tendang untuk pengguna kursi roda dan tunanetra, menggunakan jenis toilet duduk
lebih banyak dibandingkan toilet jongkok (Permen PUPR No. 14, 2017). Artinya, memang terjadi
kesenjangan antara fakta yang terdapat di lapangan dengan kriteria aksesibilitas toilet. Sehingga, dapat
disimpulkan bahwa toilet yang terdapat di Kelurahan Pelambuan Kota Banjarmasin tidak sesuai dengan
kriteria aksesibilitas bagi tunanetra.

3.4 Tangga bagi Tunanetra

Hasil penelitian terkait tangga yang ada di Pelambuan menunjukkan bahwa memang ada kondisi tangga
yang cukup baik dan ada pula yang tidak aksesibel. Sebab, tangga yang ada di beberapa prasarana publik
Pelambuan seperti di taman, mushola, masjid dan area pasar masih belum cukup memenuhi standar ideal
bagi penyandang tunanetra walaupun memiliki handrail namun aspek lainnya masih kurang diperhatikan,
kondisi anak tangga yang perlu perbaikan dan tinggi anak tangga yang tidak sesuai kriteria bagi tunanetra
namun, lurah berpendapat bahwa tangga di kelurahan Pelambuan kondisinya cukup baik dan sudah
memenuhi kriteria aksesibel bagi tunanetra. Untuk tangga di rumah sakit memang sudah cukup aksesibel
bagi tunanetra. Sebagaimana yang disebutkan dalam Permen PUPR No. 14 (2017) terkait tangga aksesibel
seharusnya tinggi anak tangganya (optride/riser) maksimal 18 cm dan minimal 15 cm, lebar anak tangga
(antride/tread) minimal 30 cm, anak tangga terbuat dari bahan yang tidak licin dan diberi bahan anti selip
(step nosing) di bagian pinggirnya, tangga dilengkapi dengan pegangan tangan (handrail), handrail harus
memenuhi standar ergonomis, aman, nyaman untuk digenggam serta bebas dari permukaan yang tajam dan
kasar, bentuk profil handrail harus memiliki pegangan yang baik dan diameter penampang minimal 5 cm
serta tangga pada bangunan yang digunakan oleh penyandang disabilitas netra juga harus dilengkapi,
tangga juga harus digunakan pada bangunan yang juga digunakan oleh tunanetra, sekurang-kurangmya di
kedua ujung pegangan rambat, tanda Braille di atas pegangan rambat untuk menunjukkan lokasi dan arah
tangga. Sehingga dari hasil penelitian yang dikaitkan dengan teori sebenarnya ada beberapa yang cukup
baik dan ada yang kurang. Namun peneliti yang melakukan observasi dan dokumentasi sendiri memiliki
pandangan yang berbeda, sebab menurut peneliti sebagian besar tangga yang terdapat di Pelambuan
belum aksesibilitas bagi tunanetra, walaupun memiliki handrail namun aspek-aspek lainnya tidak diterapkan.
Maka, dari mayoritas tangga yang ada belum aksesibel dapat disimpulkan bahwa tangga yang terdapat di
Kelurahan Pelambuan Kota Banjarmasin tidak sesuai dengan kriteria aksesibilitas bagi tunanetra.

3.5 Guiding Block bagi Tunanetra

Hasil penelitian terkait guiding block yang ada di Pelambuan menunjukkan bahwa belum aksesibel. Hal
ini dikarenakan satu-satunya guiding block yang tersedia di Pelambuan tidak menerapkan kriteria
aksesibilitas dengan baik, dimana kondisinya rusak, tidak terdapat motif bulat hanya ada motif garis, tekstur
ubin yang kurang baik, tidak terdapat handrail, peletakan yang sembarangan dan warna guiding block yang
bukan kuning atau orange. Kemudian, peneliti juga menemukan bahwa tidak terdapat guiding block di
tempat publik lain. Hal ini jelas berbanding terbalik dengan Permen PUPR No. 14 (2017) yang menjelaskan
bahwa guiding block yang aksesibel bagi tunanetra ialah ubin pengarah (guiding block) yang memiliki motif
garis dan ubin peringatan (warning block) yang bermotif bulat harus dipasang dengan benar untuk
memberikan arah yang jelas kepada pengguna, harus terbuat dari bahan yang kuat, anti selip, dan warnanya
berbeda dengan warna ubin yang ada seperti kuning, jingga, atau warna lain sehingga penyandang
tunanetra yang hanya mampu melihat sebagian (low vision) dapat dengan mudah melihat/mengenalinya,
jalur pemandu harus dipasang di depan jalan lalu-lintas kendaraan depan pintu masuk/keluar dari dan ke
tangga atau fasilitas persilangan dengan perbedaan ketinggian lantai, di pintu masuk/keluar bangunan
gedung untuk kepentingan umum termasuk terminal angkutan umum atau fasilitas penumpang bagi pejalan
kaki di trotoar. Artinya, guiding block yang dibuat di Pelambuan berbeda dengan prinsip-prinsip aksesibilitas
yang ada sehingga timbul kesenjangan. Maka, dapat disimpulkan bahwa guiding block yang terdapat di
Kelurahan Pelambuan Kota Banjarmasin tidak sesuai dengan kriteria aksesibilitas bagi tunanetra.

3.6 Jalur Pedestrian bagi Tunadaksa

Hasil penelitian mengenai jalur pedestrian di Pelambuan diketahui belum aksesibel pula bagi tunadaksa
karena hanya terdapat satu jalur pedestrian yang dengan kondisi jalan yang tidak rata, tidak terdapat
handrail, anak tangga yang rusak, tempat duduk untuk beristirahat yang juga sudah rusak, tidak terdapat
drainase serta tidak terdapat ramp. Padahal jelas tertuang dalam Permen PUPR No. 14 (2017) yang
menyebutkan mengenai jalur pedestrian yang aksesibel, yaitu permukaan jalur trotoar wajib stabil, kokoh,
tahan cuaca, dan tidak licin, penggunaan sambungan atau gundukan pada permukaan harus dihindari (jika
terpaksa ada tingginya maka maksimal 1,25 cm), kelandaian sisi lebar trotoar maksimal 2˚ dan kelandaian
sisi panjang trotoar maksimal 5˚, setiap jarak 900 cm trotoar dapat dilengkapi dengan tempat duduk
peristirahatan, drainase dibuat tegak lurus arah jalan dengan kedalaman maksimal 1,5 cm. Jelas hasil
penelitian yang didapat dengan teori yang ada tidak selaras. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa jalur
pedestrian yang terdapat di Kelurahan Pelambuan Kota Banjarmasin tidak sesuai dengan kriteria
aksesibilitas bagi tunadaksa.

3.7 Area Parkir bagi Tunadaksa

Hasil penelitian terkait area parkir yang ada di Pelambuan pun menunjukkan kesenjangan dengan teori
yang ada. Dimana setelah melakukan wawancara, observasi dan dokumentasi ternyata memang tidak ada
area parkir khusus disabilitas di Pelambuan yang tentunya juga tidak ada sign parkir disabilitas serta tidak
memiliki ramp. Berbanding terbalik dengan kutipan teori yang menyebutkan tentang area parkir yang
aksesibel bagi tunadaksa, yaitu tempat parkir harus mudah diakses serta dipantau, dilengkapi dengan
petunjuk arah dan tanda yang jelas dan tidak tersembunyi, tempat parkir penyandang disabilitas harus
berada di jalur yang paling dekat dengan bangunan/fasilitas yang dituju dengan jarak maksimal 60 m dari
pintu masuk, harus mempunyai ruang bebas yang cukup bagi pengguna kursi roda untuk keluar/masuk
kendaraannya, diberikan tanda parkir difabel dengan warna kontras dan rambu untuk membedakannya dari
tempat parkir umum, memiliki lebar 370 cm untuk parkir tunggal dan 620 cm untuk parkir ganda dan
terhubung dengan ram atau di jalan menuju bangunan gedung atau fasilitas lainnya, ditempatkan pada
permukaan datar dengan kemiringan maksimal 20 derajat (Permen PUPR, 2017). Kesenjangan fakta di
lapangan dengan teori aksesibilitas terkait area parkir akhirnya merujuk kepada kesimpulan bahwa area
parkir yang terdapat di Kelurahan Pelambuan Kota Banjarmasin tidak sesuai dengan kriteria aksesibilitas
bagi tunadaksa.

3.8 Toilet bagi Tunadaksa

Hasil penelitian terkait toilet yang ada di Pelambuan masih belum aksesibel bagi tunadaksa dilihat dari
ketidak sesuaian indikator-indikatornya dengan Permen PUPR Nomor 14 Tahun 2017. Hal ini disebabkan
oleh luas toilet yang sempit, lebar pintu yang tidak sesuai, tidak ada ramp, tidak ada handrail, material lantai
yang masih licin, toilet yang masih jongkok dan tidak adanya sign khusus disabilitas. Sedangkan, toilet yang
aksesibel bagi tunadaksa itu seharusnya menggunakan jenis kloset duduk, toilet dilengkapi dengan tanda
yang jelas dan informatif, penutup lantai dudukan toilet dipilih dari bahan bertekstur dan tidak licin, luas
ruang toilet untuk penyandang disabilitas minimal 152,5 cm x 227,5 cm dengan mempertimbangkan ruang
gerak bagi pengguna kursi roda, lebar pintu toilet difabel sebesar 90 cm, daun pintu toilet difabel pada
dasarnya membuka ke arah luar toilet dan memiliki ruang bebas sekurangkurangnya 152,5 cm antara pintu
dan permukaan terluar kloset, kemudian jika daun pintu toilet difabel membuka ke arah dalam toilet, maka
harus memberikan ruang bebas yang cukup untuk pengguna kursi roda untuk melakukan manuver berputar
1800 dan membuka/menutup daun pintu, pintu toilet difabel harus dilengkapi dengan plat tendang di bagian
bawah pintu untuk pengguna kursi roda dan penyandang disabilitas netra, toilet difabel harus dilengkapi
handrail yang memudahkan pergerakan pengguna kursi roda dari kursi roda ke atas kloset ataupun
sebaliknya (Permen PUPR No. 14, 2017). Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa toilet
yang terdapat di Kelurahan Pelambuan Kota Banjarmasin tidak sesuai dengan kriteria aksesibilitas bagi
tunadaksa.

3.9 Tangga bagi Tunadaksa

Hasil penelitian terkait tangga yang didapatkan peneliti menunjukkan jawaban yang berbeda-beda. Ada
yang menganggap tangga di beberapa prasarana publik sudah aksesibel, namun ada pula yang
menganggap belum aksesibel sama sekali. Sebenarnya beberapa tangga yang ada belum sepenuhnya
aksesibel karena masih ada persyaratan yang belum terpenuhi seperti ada yang tidak memiliki handrail
minimal pada satu sisi, kondisi anak tangga sudah rapuh, ketinggian anak tangga yang tidak sesuai standar
ideal. Jika dilihat dari aksesibilitas yang tertuang dalam Permen PUPR No. 14 (2017), yaitu tinggi anak
tangga (optride/riser) maksimal 18 cm dan minimal 15 cm, lebar anak tangga minimal 30 cm, tidak
disarankan menggunakan tangga dengan anak tangga yang terbuka, anak tangga terbuat dari bahan yang
tidak licin dan pada bagian tepinya diberi material anti slip (step nosing), kemiringan tangga umum tidak
boleh melebihi sudut 35˚, dilengkapi dengan handrail yang menerus dan pagar tangga untuk keselamatan,
handrail harus memenuhi standar ergonomis yang aman, nyaman untuk digenggam dan bebas dari
permukaan tajam dan kasar, bentuk profil handrail harus mudah digenggam serta memiliki diameter
penampang minimal 5 cm. Dari hasil penelitian yang dikaitkan dengan teori, sebenarnya beberapa aspek
sudah berusaha diterapkan namun masih kurang tepat. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa tangga di
Pelambuan belum sepenuhnya aksesibel bagi penyandang tunadaksa karena belum memenuhi seluruh
empat kriteria aksesibilitas berupa kemudahan, keselamatan, kegunaan, dan kemandirian dengan baik.

3.10 Ramp bagi Tunadaksa

Kelima, hasil penelitian terkait ramp yang ada di Pelambuan menunjukkan bahwa sebagian besar ramp
yang terdapat di Pelambuan belum aksesibel bagi penyandang tunadaksa. Hal ini dikarenakan mayoritas
kondisi ramp yang tidak landai atau masih curam dan tidak ada handrail. Sedangkan, jelas tertuang dalam
Permen PUPR No. 14 (2017) bahwa ramp yang aksesibel itu memiliki lebar efektif minimal 95 cm tanpa tepi
pengaman/kanstin (low curb) dan 120 cm dengan tepi low curb, tepi pengaman paling rendah memiliki
ketinggian 10 cm yang berfungsi menahan roda kursi roda agar tidak terperosok keluar ram, permukaan
datar di depan dan di belakang ram harus bertekstur, tidak licin, memiliki ubin peringatan dan panjang
permukaannya minimal harus sama dengan lebar ram yaitu 120 cm, setiap ram dengan panjang minimal 900
cm atau lebih harus dilengkapi dengan permukaan yang rata (bordes) sebagai tempat istirahat, ram harus
dilengkapi dengan 2 lapis pegangan tangan yang menerus di kedua sisi dengan ketinggian 65 cm untuk
anak-anak dan 80 cm untuk orang dewasa, handrail harus memenuhi standar ergonomis yang aman dan
nyaman untuk digenggam serta tidak tajam dan kasar, ram pada jalur pejalan kaki/trotoar memiliki lebar
minimal 120 cm dengan kemiringan maksimal 6˚. Hasil penelitian dengan teori berbanding terbalik, dimana
sebagian besar ramp yang terdapat di Pelambuan masih belum aksesibel karena masih terlalu curam dan
aspek-aspek lainnya yang kurang diperhatikan. Maka, dapat disimpulkan bahwa ramp yang terdapat di
Kelurahan Pelambuan Kota Banjarmasin tidak sesuai dengan kriteria aksesibilitas bagi tunadaksa.
Aksesibilitas prasarana publik dengan kata lain ialah kemudahan dan kenyamanan bagi seluruh lapisan
masyarakat dalam menggunakan suatu prasarana publik. Maka, seharusnya semua dapat menggunakan
prasarana dengan aman, nyaman dan mudah, baik bagi anak kecil, orangtua atau lanjut usia, lelaki,
perempuan serta khususnya bagi para penyandang disabilitas yang memang memerlukan kebutuhan
khusus tersendiri. Begitupun halnya bagi penyandang tunanetra dan tunadaksa yang memiliki hambatan
pada aspek penglihatan dan pada aspek fisik-motoriknya. Penyandang tunanetra maupun penyandang
tunadaksa memerlukan adanya aksesibilitas prasarana publik yang harus dipenuhi agar mereka dapat
bermobilitas dan menggunakan prasarana publik tersebut dengan rasa aman, nyaman dan mandiri.

4. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terkait kebutuhan prasarana publik yang aksesibel bagi
penyandang disabilitas (tunanetra dan tunadaksa) di Kelurahan Pelambuan Kota Banjarmasin, maka dapat
disimpulkan bahwa jalur pedestrian, area parkir, toilet dan guiding block dan ramp yang terdapat di
Kelurahan Pelambuan Kota Banjarmasin tidak sesuai dengan prinsip atau kriteria aksesibilitas bagi
tunanetra dan tunadaksa. Sedangkan, tangga yang terdapat di Kelurahan Pelambuan Kota Banjarmasin
belum sepenuhnya aksesibel baik bagi tunanetra maupun tunadaksa, walaupun ada beberapa aspek yang
disediakan namun masih kriteria yang belum dipenuhi dengan baik dari empat kriteria aksesibilitas berupa
kemudahan, keselamatan, kegunaan dan kemandirian.

5. UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT. Atas karunia dan rahmat-Nya sehingga peneliti dapat
menyelesaikan penelitian ini tepat pada waktunya. Shalawat dan salam tidak lupa saya kirimkan kepada
Baginda Nabi Besar Muhammad SAW. beserta keluarga serta sahabat-sahabat beliau. Pada kesempatan
kali ini saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
a. Prof. Dr. Imam Yuwono, M. Pd. selaku Wakil Dekan 2 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Lambung Mangkurat dan Dosen Pembimbing Skripsi 1.
b. Eviani Damastuti, M. Pd. selaku Dosen Pembimbing Akademik dan Dosen Pembimbing Skripsi 2.
c. Pemangku kepentingan dan masyarakat di Pelambuan yang telah membantu saya dalam pengumpulan
data penelitian.
d. University College London yang telah memberikan kesempatan untuk bekerjasama dalam penelitian
sebelumnya.
e. Mama dan Abang yang sangat saya cintai terima kasih atas segala pengorbanan, doa, kasih sayang,
perhatian serta dukungan moril maupun materi.

6. DAFTAR PUSTAKA

Darmadi, D., Rania, G., Fitriana, A. R. D., & Setiawan, A. B. (2021). Human Governance: Aksesibilitas Fasilitas Publik Terhadap
Penyandang Disabilitas. Jurnal Socius, 8(2), 100-112.
Hadi, Sumasno. (2016). Pemeriksaan Keabsahan Data Penelitian Kualitatif pada Skripsi. Jurnal Ilmu Pendidikan, 22(1), 74-79.
IDDC (2009) What is Inclusive Development?. Diakses dari http://www.make-development-inclusive.org/inclusivedevelopment.php?
spk=en> [1 Januari 2017].
Kanbur, Ravi & Rauniyar, G. (2009). Conceptualizing Inclusive Development: with Applications to Rural Infrastructure and
Development Assistance.' ADB Evaluation Occasional Paper. Manila: Asian Development Bank.
Karyana, A., & Widati, S. (2013). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunadaksa. Jakarta: PT. Luxima Metro Media.
Kota Kita. (2019). Kampung Profile Pelambuan. Surakarta: Yayasan Kota Kita.
Kota Kita. (2021). Memajukan Desain dan Perencanaan Inklusif di Kota-Kota Indonesia melalui Proses Produksi Bersama
Pengetahuan Jarak Jauh. Surakarta: Yayasan Kota Kita.
Mangunsong, Frieda. (2014). Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus: Jilid Kesatu. Edisi Kedua (Revisi). Depok:
Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3).
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia. (2017). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat Republik Indonesia Nomor 14/PRT/M/2017 Tentang Persyaratan Kemudahan Bangunan Gedung.
Miller, F. A. dan Katz, J. H. (2009). The Inclusion Breakthrough: Unleashing the Real Power of Diversity . San Fransisco: Berrett-
Koehler Publisher, Inc.
Pujianti. (2018). Aksesibilitas Ruang Publik bagi Difabel Di Kota Pangkalpinang. Skripsi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Yuwono, Imam., & Mirnawati. (2021). Aksesibilitas bagi Penyandang Tunanetra di Lingkungan Lahan Basah . Yogyakarta:
Deepublish.

Anda mungkin juga menyukai