Anda di halaman 1dari 23

PUSAT REHABILITASI ANAK JALANAN

DENGAN PENDEKATAN ARSITEKTUR PERILAKU


DI KOTA MAKASSAR

Disusun Oleh :

NUR ALFINAH
03420160052

JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam kondisi kita sekarang, sebagian besar penduduk hidup di
bawah tingkat kemiskinan. Anak jalanan adalah bagian dari masyarakat kita
dan bagian anak-anak ini selalu dirampas. Anak jalanan adalah seseorang
yang berumur dibawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh
waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan guna
mendapatkan uang atau guna mempertahankan hidupnya (Shalahuddin,
2000). Tidak jauh berbeda, Departemen Sosial RI mendefenisikan anak
jalan sebagai anak yang sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah atau
berkeliaran di jalana atau di tempat umum lainnya.
Fenomena anak jalanan merupakan hal yang umum dijumpai hampir
di setiap kota di Indonesia. Saat ini jumlah anak jalanan di Indonesia
mencapai angka 300.000. Berdasarkan hasil Susenas yang diselenggarakan
pada tahun 2002 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Pusdatin Kementrian
Sosial, tercatat ada 94.647 anak jalanan di Indonesia. Sedangkan pada tahun
2006 jumlah anak jalanan meningkat menjadi 154.681. Jumlah ini
meningkat sebanyak 64% dibandingkan pada tahun 2002. Dengan metode
konservatif, terdapat kenaikan jumlah anak jalanan sebesar 10.6% setiap
tahunnya sehingga pada tahun 2015 jumlah anak jalanan mencapai 313.403
anak. Dari jumlah tersebut Badan Pusat Statistik menyatakan sebagian besar
berada di Jakarta, sisanya tersebar di kota-kota besar seperti Medan,
Palembang, Batam, Serang, Bandung, Jogja, Surabaya, Malang, Semarang,
dan Makasar.
Makassar adalah ibu kota dari provinsi Sulawesi selatan dimana
merupakan salah satu kota besar di Indonesia, Makassar memiliki wilayah
seluas 199,3 km2 dan jumlah penduduk sebesar kurang lebih 1,5 juta dengan
beberapa masalah kesejahteraan sosial, salah satunya merupakan
permasalahan anak jalanan. Dinas Sosial (Dinsos) Kota Makassar
mengklaim, jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS),
khususnya anak jalanan dan gepeng megalami penurunan drastis pada tahun
2018 lalu. Berdasarkan data yang dihimpun, sejak januari hingga agustus
2018, jumlah anak jalanan dan gepeng yang terjaring melalui razia TIm
Reaksi Cepat (TRC) Saribattang, yaitu 235 orang. Terdiri atas 163 anak
jalanan dan 72 gepeng. Sedangkan sepanjang 2017 lalu, jumlah anak jalanan
dan gepeng yang terjaring sebanyak 576 orang. Antara lain 332 anak jalanan
dan 247 orang gepeng (2018, RAKYATKU.COM). Dari pendataan yang
dilakukan dinas sosial kota Makassar, umumnya anak jalanan berasal dari
luar daerah.
Usulan pusat rehabilitasi muncul untuk tujuan mewujudkan
kebanggaan dan harapan pada generasi masa depan, pengakuan bahwa anak
jalanan dengan potensi besar dianggap sebagai bagian besar dari kekayaan
nasional kita. Dan tujuannya adalah (a) untuk memenuhi kebutuhan
organisasi untuk membimbing, memberi nasihat, mengoordinasi, dan
mendorong kegiatan berbagai organisasi anak, baik pemerintah maupun
non-pemerintah; (b) untuk merehabilitasi dan memberikan pelatihan
filosofis, pendidikan dan kejuruan untuk anak-anak jalanan agar mereka
menjadi individu yang mandiri sebaik mungkin.
Tujuan proyek adalah untuk menyediakan lingkungan tempat
mereka berada. Jalanan itu berbahaya bagi mereka karena polusi, racun,
kurangnya keamanan, banyak eksploitasi seksual dan penyakit berbahaya.
Jadi saya ingin membuat ulang lingkungan jalanan dalam proyek ini di mana
masalah jalan ditinggalkan.
Ada banyak LSM dan organisasi yang ingin membantu anak-anak
jalanan untuk pendidikan dan tempat tinggal mereka di Makassar sehingga
mereka dapat menjalani kehidupan yang lebih baik di masa depan. Tetapi
sebagian besar anak jalanan tidak tertarik untuk melibatkan organisasi atau
lembaga tersebut. Ada dua alasan utama untuk tidak menanggapi
organisasi-organisasi itu. Karena jalanan adalah sumber penghasilan
mereka. Banyak dari mereka harus membantu keluarga atau kerabat mereka
jadi mereka harus mendapatkan uang. Ketika mereka tetap berada di jalan,
mereka harus melakukan sesuatu seperti mengemis, berjualan,
mengumpulkan kertas dan sampah, tukang parkir, dan banyak pekerjaan
berbahaya lainnya.
Alasan lain yang paling penting adalah bahwa mereka terbiasa
dengan gaya hidup jalanan. Mereka terbiasa dalam kebebasan jalan, suka
tinggal dalam kelompok dengan teman mereka, keterbukaan ruang dan
sangat dekat dengan alam. Komunikasi dan interaksi mereka semua terjadi
di jalan. Semua aktivitas anak jalanan terikat dengan jalan. Mereka belajar
di jalan dari teman mereka dan kegiatan jalan secara informal.
Saya ingin menyediakan lingkungan tempat tinggal mereka. Jalanan
itu berbahaya bagi mereka karena polusi, racun, kurangnya keamanan dan
keselamatan, dan banyak eksploitasi seksual dan penyakit berbahaya. Jadi
saya ingin membuat ulang lingkungan jalan dalam proyek ini di mana
masalah jalan ditinggalkan tetapi ruang jalan dibuat ulang. Untuk
pertumbuhan psikologis dan mental mereka, ruang rekreasi diciptakan
seperti area bermain indoor dan outdoor, amfiteater terbuka, aula serbaguna,
dll. Untuk menghibur anak-anak. Untuk pertumbuhan fisik mereka dan
pusat kebugaran dan pusat kesehatan disediakan.
Pusat yang diusulkan menampung semua kegiatan yang berkaitan
dengan perkembangan anak seperti fisik, emosi, kognitif, dan sosial budaya
yang jelas dibutuhkan untuk perkembangan mereka di masa depan.
Tujuannya adalah untuk mengembangkan semua upaya kreatif anak-anak
yang menginspirasi orang lain untuk mengeksplorasi diri mereka sebaik
mungkin. Oleh karena itu, pusat penampungan anak jalanan akan berfungsi
sebagai lembaga di mana mereka akan berkembang dengan kapasitas penuh
mereka. Memberi mereka kesempatan untuk mempertahankan & kembali
ke kehidupan yang berkualitas sehingga memiliki nilai & potensi yang besar
dari perspektif nasional juga.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Permasalahan Umum
Bagaimana mewujudkan rancangan pusat rehabilitasi yang
dapat mengajarkan norma bermasyarakat kepada anak Jalanan dan
menghidupkan kawasan?
1.2.2 Permasalahan Arsitektural
a. Bagaimana mengadakan suatu wadah yang bisa memberikan
pembinaan sarana pendidikan dengan proses pelatihan dengan
fasilitas yang memenuhi pelayanan secara professional.
b. Bagaimana merancang wadah pendidikan dan pelatihan yang
dapat mewadahi dan menampung anak jalanan, gelandangan,
remaja yang putus sekolah.
c. Bagaimana mentukan lokasi dan site yang mendukung
pengadaan Pusat Rehabilitasi Anak Jalanan di Kota Makassar.
d. Bagaimana mewujudkan kondisi bagunan yang nyaman bagi
penghuni dan lingkungan sekitarnya baik saat penggunaan
bangunan maupundalam pemeliharaan.
e. Bagaimana menentukan struktur, material dan utulitas yang di
perlukan sehingga mencerminkan fungsi banunan itu sendiri
sebagai wadah pembinaan.

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mewujudkan rancangan pusat rehabilitasi yang dapat
mengajarkan norma bermasyarakat kepada anak Jalanan dan
menghidupkan kawasan.
1.3.2 Tujuan Arsitektural
a. Mengadakan suatu wadah yang bisa memberikan pembinaan
sarana pendidikan dengan proses pelatihan dengan fasilitas yang
memenuhi pelayanan secara professional.
b. Merancang wadah pendidikan dan pelatihan yang dapat
mewadahi dan menampung anak jalanan, gelandangan, remaja
yang putus sekolah.
c. Mentukan lokasi dan site yang mendukung pengadaan Pusat
Rehabilitasi Anak Jalanan di Kota Makassar.
d. Mewujudkan kondisi bagunan yang nyaman bagi penghuni dan
lingkungan sekitarnya baik saat penggunaan bangunan
maupundalam pemeliharaan.
e. Menentukan struktur, material dan utulitas yang di perlukan
sehingga mencerminkan fungsi banunan itu sendiri sebagai
wadah pembinaan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pusat Rehabilitasi


Berdasarkan pasal 1 ayat 23 KUHAP, “Rehabilitasi adalah hak
seorang untuk mendapat pemulihan hanya dalam kemampuan, kedudukan
dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan,
penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun
diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini.”
Rehabilitasi merupakan salah satu bentuk dari pemidanaan yang
bertujuan sebagai pemulihan atau pengobatan. Menurut Soeparman
rehabilitasi adalah fasilitas yang sifatnya semi tertutup, maksudnya hanya
orang-orang tertentu dengan kepentingan khusus yang dapat memasuki area
ini (Soeparman, 2000:37).

2.2 Anak Jalanan


Menurut Kementerian Sosial RI anak jalanan adalah anak yang
melewatkan atau memanfaatkan sebagian besar waktunya untuk melakukan
kegiatan hidup sehari-harinya dijalanan. Sedangkan, Menurut Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 anak jalanan adalah anak yang
menggunakan sebagian besar waktunya di jalanan. Anak jalanan adalah
anak yang usianya masih dibawah 18 tahun serta sebagian waktu mereka di
habiskan di tempat umum (jalanan, pasar, pertokoan, tempat-tempat
hiburan) selama 3-24 jam untuk melakukan aktivitas ekonomi. Anak jalanan
adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang
mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun masih memiliki hubungan
dengan keluarganya.
Menurut Bagong Suyanto (2010:204) menyampaikan bahwa anak
jalanan pada hakikatnya adalah korban dan fenomena yang timbul sebagai
efek samping dari kekeliruan atau ketidak tepatan pemelihan model
pembangunan yang selama ini terlalu menekangkan pada aspek
pertumbuhan dan bias pembangunan wilayah yang terlalu memusat di
berbagai kota besar. Memperlakukan anak jalanan sebagai bagian dari
kehidupan dunia kriminal kota dan orang-orang yang berperilaku
menyimpang akibat ketidakmampuan mereka merespon perkembangan
kota yang terlalu cepat, untuk sebagian mungkin akan membuat kita merasa
telah selesai berbuat sesuatu, karena dari sana dapat dihindari kesulitan
untuk membuat program intervensi yang rumit dan bertele-tele.
Anak jalanan menurut Arifin (2007;26) bahwa pengertian secara
baku tentang anak jalanan belum ada, tetapi apabila dilihat dari cara
kerjanya dan sasaran perbuatannya serta usia, perilkau, maka dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan anak jalanan adalah sekelompok
orang yang cenderung memiliki warna kehidupan status dan terkadang
diorganisir oleh tokoh yang mempunyai kharisma di lingkungannya serta
pelaku sehari-hari yang cenderung menyimpang dari aturan/ketentuan yang
berlaku.
Dari definisi di atas bisa disimpulkan bawa anak jalanan adalah anak
yang berumur di bawah 18 tahun dan menghabiskan sebagian besar
hidupnya di jalanan untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Pada
mulanya ada dua kategori anak jalanan, yaitu anak-anak yang turun ke
jalanan dan anak-anak yang ada di jalanan. Namun pada perkembangannya
ada penambahan kategori, yaitu anak-anak dari keluarga yang ada di
jalanan. Pengertian untuk kategori pertama adalah anak-anak yang
mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan yang masih memiliki hubungan
dengan keluarga. Ada dua kelompok anak jalanan dalam kategori ini, yaitu
anak-anak yang tinggal bersama orangtuanya dan senantiasa pulang ke
rumah setiap hari, dan anak-anak yang melakukan kegiatan ekonomi dan
tinggal di jalanan namun masih mempertahankan hubungan dengan
keluarga dengan cara pulang baik berkala ataupun dengan jadwal yang tidak
rutin.
Kategori kedua adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh atau
sebagian besar waktunya di jalanan dan tidak memiliki hubungan atau ia
memutuskan hubungan dengan orang tua atau keluarganya. Kategori ketiga
adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan yang
berasal dari keluarga yang hidup atau tinggalnya juga di jalanan. Kategori
keempat adalah anak berusia 5-17 tahun yang rentan bekerja di jalanan,
anak yang bekerja dijalanan, dan/atau yang bekerja dan hidup dijalanan
yang menghabiskan sebagaian besar waktunya untuk melakukan kegiatan
hidup sehari-hari.
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab anak-anak turun ke
jalanan yaitu pertama karena faktor ekonomi atau kemiskinan. Kemiskinan
diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup
memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan
juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam
kelompok tersebut. Akibat kemiskinan atau faktor ekonomi tersebut, anak
terpaksa mencari nafkah untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya atau untuk kebutuhan pribadinya, sehingga banyak anak yang
putus sekolah dan turun kejalanan untuk bekerja sebagai pengamen,
pengemis, dan lain-lain. Faktor ekonomi orang tua sangat berdampak
terhadap kelangsungan hidup anakanaknya, yang pada akhirnya merelakan
anak-anaknya terjun langsung ke jalanan untuk mencari nafkah. Padahal
seusia mereka belum sepatutnya untuk mencari nafkah melainkan
menikmati masa-masa sekolah sesuai dengan hak mereka yang tercantum
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yakni hak mendapatkan pendidikan.
Selain faktor ekonomi atau kemiskinan yang mendorong anak turun
kejalanan, faktor penyebab lainnya yang kedua adalah karena masalah
disorganisasi keuarga atau perpecahan keluarga, yaitu faktor yang
berpengaruh langsung antara anak dan keluarganya. Soerdjono Soekanto
menyatakan, bahwa “ Disorganisasi keluarga adalah perpecahan keluarga
sebagai suatu unit karena anggota-anggotanya gagal memenuhi kewajiban-
kewajibannya yang sesuai dengan peranan sosialnya”. Disorganisasi
keluarga merupakan salah satu faktor penyebab anak-anak turun ke jalanan
sehingga memiliki peran yang cukup besar dalam meningkatkan jumlah
anak jalanan. Anak sering dijadikan pelampiasan atas masalah yang tengah
dihadapi orang tua, sehingga anak stress dan tidak betah di rumah, maka
anak akan melarikan diri dan mencari kehidupan lain kemudian terjebak
dalam kehidupan jalanan yang keras.
Faktor yang ketiga adalah urbanisasi atau perpindahan penduduk
dari desa ke kota, kebanyakan orang berharap bisa merubah taraf hidupnya
dengan hijrah ke kota, namun hanya segelintir orang yang beruntung dan
sisanya mereka terjebak di kota besar dengan di hadapkan pada situasi yang
sulit dan mendorong mereka untuk terjun kejalanan yakni menjadi anak
jalanan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Latar belakang penyebab
turunnya anak jalanan tersebut merupakan landasan bagi mereka untuk
selalu ada di jalanan, sulitnya memenuhi segala kebutuhan hidup, keadaan
keluarga yang tidak kondusif dan korban urbanisasi yang pada akhirnya
menyeret mereka pada situasi yang sulit seperti itu yakni menjadi anak
jalanan.
Masalah perlindungan anak adalah sesuatu yang kompleks dan
menimbulkan berbagai macam permaslahan lebih lanjut, yang tidak selalu
dapat dibatasi secara perorangan tetapi harus secara bersama-sama begitu
juga penyelesaiannya menjadi tanggung jawab bersama.
Dalam Pasal 26 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 “penduduk ialah warga Negara Indonesia dan orang
asing yang bertempat tinggal di Indonesia”. Negara memberikan
perlindungan kepada anak jalanan yang tertuang dalam Pasal 34 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu “fakir miskin
dan anak-anak terlantar di pelihara oleh Negara.
Kemudian Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa: (1) Setiap warga Negara berhak
mendapat pendidikan. (2) Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan
dasar pemerintah wajib membiayainya. (3) Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu system pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan keatakwaaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. (4) Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh
persen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional. (5) Pemerintah memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan
persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat
manusia.
Perlindungan hukum untuk anak juga tertuang dalam undang-
undang perlindungan anak, yaitu; (1) Negara, pemerintah, masyarakat,
keluarga, orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap
penyelenggaran perlindungan anak (Pasal 20). (2) Kewajiban dan tanggung
jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakannya melalui
kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan prerlindungan anak
(Pasal 25). (3) Pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan
perawatan anak terlantar, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga
(Pasal 55) Perlindungan anak merupakan segala kegiatan untuk menjamin
dan melindungi hak-hak agar tetap hidup, berkembang dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Setiap warga
Negara berhak untuk mendapatkan perlindungan, anak jalanan merupakan
bagian dari warga Negara Indonesia maka anak jalanan punya hak yang
sama sebagai warga Negara untuk mendapat perlindungan, karena
keberadaan anak jalanan bukan karena keinginannya tetapi disebabkan oleh
kondisi baik dari segi ekonomi, keluarga maupun lingkungannya. Hak anak
jalanan untuk memperoleh perlindungan yang sama dengan anak-anak
lainnya mendapat hak atas pendidikan dan kesejahteraan untuk hidup layak
sebagai warga Negara.
Menurut Ramli (2000:15) menyatakan bahwa perlindungan anak
jalanan merupakan tolak ukur kesejahteraan dan kemakmuran suatu
masyarakat, bangsa dan Negara, oleh karenanya merupakan kewajiban bagi
pemerintah dan setiap anggota masyarakat mengusahakan perlindungan
sesuai kemampuannya untuk kepentingan bersama dan nasional.
Dari uraian tersebut di atas dapatlah kita katakan banwa kegiatan
perlindungan anak jalanan mrupakan suatu tindakan hukum yang
membawa akibat hukum, oleh sebab itu perlu adanya jaminan hukum bagi
kegiatan perlindungan hukum anak jalanan tersebut yang dapat diwujudkan
dalam bentuk aturan hukum. Kepastian hukumnya perlu diusahakan demi
kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan
yang membawa akibat negative yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan
kegiatan perlindungan anak jalanan.
Menurut Tata Sudrajat (1996) dalam Bagong Suyanto (2010: 200-
2011) menyatakan bahwa dalam penanganan anak jalanan ada beberapa
pendekatan yang biasa dikukan yaitu: (1) Steet Based, yakni model
penanganan anak jalanan di tempat anak jalanan itu berasal atau tinggal,
kemudian para Street Educator datang kepada mereka untuk mendampingi
mereka bekerja, memahami dan menerima situasinya, lalu diberikan materi
pendidikan dan keterampilan. (2) Centered Based, yakni pendekatan dan
penanganan anak jalanan di lembaga atau panti. Anak-anak yang masuk
dalam program ini ditampung dan diberikan pelayanan di lembaga atau
panti seperti pelayanan pendidikan, keterampilan, kebutuhan dasar,
kesehatan, kesenian dan pekerjaan bagi anak jalanan. (3) Community Based,
yakni model penanganan yang melibatkan seluruh potensi masayarakat,
terutma keluarga atau orang tua anak jalanan. Pendekatan ini bersifat
prefentif , yakni mencegah agar anak tidak masuk dan terjerumus dalam
kehidupan di jalanan.
2.3 Arsitektur Perilaku
Desain arsitektur perilaku pada perancangan bangunan arsitektur
memiliki beberapa konsep penting dalam kajiannya;(1)pengaturan perilaku
(behavior setting) merupakan unsur-unsur fisik atau spasial yang menjadi
sistem tempat atau ruang sebagai terciptanya suatu kegiatan tertentu; (2)
kognisi spasial (spatial cognition) atau disebut sebagai peta mental yang
merupakan kumpulan pengalaman mental seseorang terhadap lingkungan
fisik;(3) persepsi lingkungan (environment perception) yang
mengungkapkan berbagai fenomena visual terhadap pengaturan persepsi
seseorang (Laurens, 2004). Konsep desain tersebut digunakan dengan
penyesuaian terhadap sasaran perancangan redesain Pasar Panggungrejo
sehingga didapat peruntukan tiga konsep sebagai penyelesaian desain yaitu
konsep behavior setting pada penyelesaian desain peruangan, konsep
spatial cognition pada penyelesaian sirkulasi, dan konsep environment
perception ada penyelesaian citra atau tampilan bangunan.
2.3.1 Pengertian Arsitektur
Arsitektur merupakan seni dan ilmu merancang bangunan
yang selalu memperhatikan tiga hal dalam merancang bangunan
yaitu fungsi, estetika, dan teknologi. Dengan berkembangnya
ilmu pengetahuan yang semakin kompleks maka perilaku
manusia semakin diperhitungkan dalam proses perancangan
yang sering disebut sebagai pengkajian lingkungan perilaku
dalam arsitektur.

2.3.2 Pengertian Perilaku


Kata perilaku menunjukan manusia dalam aksinya,
berkaitan dengan aktivitas manusia secara fisik, berupa interaksi
manusia dengan sesamanya ataupun dengan lingkungan fisiknya
(Tandal dan Egam, 2011). Perilaku manusia dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu :
• Perilaku tertutup, adalah respon seseorang terhadap stimulus
dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respon atau
reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian,
persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi belum
bisa diamati secara jelas oleh orang lain.
• Perilaku terbuka, adalah respon seseorang terhadap stimulus
dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap
terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau
praktek.
2.3.3 Pengertian Arsitektur Perilaku
Arsitektur perilaku adalah arsitektur yang penerapannya
selalu menyertakan pertimbangan-pertimbangan perilaku dalam
perancangan. Arsitektur perilaku adalah arsitektur yang membahas
tentang hubungan antara tingkah laku manusia dengan
lingkungannya. Hal ini tentunya tidak terlepas dari pembahasan
psikologis yang secara umum didefinisikan sebagai ilmu
pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia dengan
lingkungannya.
Berikut merupakan penjelasan mengenai teori Behavior
Architecture menurut beberapa ahli:
 Menurut Y.B Mangun Wijaya dalam buku Wastu Citra:
Arsitektur berwawasan perilaku adalah arsitektur
yang manusiawi, yang mampu memahami dan mewadahi
perilakuJ perilaku manusia yang ditangkap dari berbagai
macam perilaku, baik itu perilaku pencipta, pemakai,
pengamat juga perilaku alam sekitarnya. Disebutkan pula
bahwa Arsitektur adalah penciptaan suasana, perkawinan
guna dan citra. Guna merujuk pada manfaat yang
ditimbulkan dari hasil rancangan. Manfaat tersebut
diperoleh dari pengaturan fisik bangunan yang sesuai
dengan fungsinya. Namun begitu guna tidak hanya berarti
manfaat saja, tetapi juga menghasilkan suatu daya
yang menyebabkan kualitas hidup kita semakin meningkat.
Cita merujuk pada image& yang ditampilkan oleh suatu
karya Arsitektur. Citra lebih berkesan spiritual karena
hanya dapat dirasakan oleh jiwa kita. Citra adalah
lambang yang membahasakan segala yang manusiawi,
indah dan agung dari yang menciptakan.
Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa
untuk mencapai guna dan citra yang sesuai tidak lepas
dari berbagai perilaku yang berpengaruh dalam sebuah
karya, baik itu perilaku pencipta, perilaku pemakai, perilaku
pengamat juga menyangkut perilaku alam dan sekitarnya.
Pembahasan perilaku dalam buku wastu citra dilakukan
satu persatu menurut beragamnya pengertian
Arsitektur,sebagai berikut:

a. Perilaku manusia didasari oleh pengaruh sosial


budaya yang juga mempengaruhi terjadinya proses
Arsitektur.
b. Perilaku manusia yang dipengaruhi oleh kekuatan religi
dari pengaruh nilaiJnilai kosmologi.
 Menurut Clovis Heimsath, AIA dalam buku Behavioral
Architecture, towards an accountable design process,
menjelaskan kata “perilaku” menyatakan suatu kesadaran
akan struktur sosial dari orang-orang, suatu gerakan
bersama secara dinamik dalam waktu. Hanya dengan
memikirkan suatu perilaku seseorang dalam ruang maka
akan dapat membuat suatu rancangan Arsitektur adalah
lingkungan (enclosure) di mana orangJorang hidup tinggal.
Sedangkan arsitektur memiliki dua arti pengertian :
a. OrangJorang yang tengah bergerak, dengan sesuatu yang
dikerjakan, dengan orangJorang untuk mengobrol dan
berhubungan satu sama lain.
b. Suatu kesadaran akan akan struktur sosial dari orang-
orang, suatu gerakan bersama secara dinamik dalam waktu
Dalam merancang bangunan terutama dalam
Behavioral Architecture hal yang harus diperhatikan supaya
peran bangunan dapat berfungsi sebagai suatu pelayanan
sosial dalam arti yang luas maka elemenJelemen yang harus
dipertimbangkan yakni :
a. Kegiatan sosial yang ditampung di dalam bangunan
b. Fleksibilitas yang dibutuhkan pada tiap kegiatan
c. “KegiatanJkegiatan” yang mempengaruhi atau dipengaruhi
d. Latar Belakang dan sasaran dari pengguna ruang
(partisipan)
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka, dapat
disimpulkan bahwa Arsitektur Berwawasan Perilaku
(Behavioral&Architecture) adalah ilmu merancang bangunan
yang mengacu kepada aspekJaspek yang mendasar dan terkait
dengan sikap dan tanggapan manusia terhadap lingkungannya,
bertujuan untuk menciptakan ruang dan suasana tertentu
yang sesuai dengan perilaku manusia beserta lingkungan dan
budaya masyarakat.
Fenomena perilakuJlingkungan tersebut mencakup
antropometri, proksemiks, ruang personal, teritorial,
privacy,&persepsi, kognisi, makna. Proxcemics& adalah jarak
antara orang yang memungkinkan kenyamanan untuk
berinteraksi, Privasi adalah mekanisme kontrol yang mengatur
interaksi antar individu. Kelompok pengguna yang berbeda
memiliki kebutuhan yang berbeda pula dan menggunakan
pola yang juga berbeda dalam menata lingkungan fisiknya,
yang mencakup anakJ anak, dewasa, kelompok sosioJekonomi,
kelompok masyarakat yang berbeda cara pandang hidup.
Tempat (setting) mempengaruhi skala perancangan kota
hingga perancangan interior sehingga menuntut spesifikasi
perancang.
2.3.4 Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku
Perilaku manusia dan hubungannya dengan suatu
setting fisik sebenarnya tedapat keterkaitan yang erat dan
pengaruh timbal balik diantara setting tersebut dengan
perilaku manusia. Dengan kata lain, apabila terdapat
perubahan setting yang disesuaikan dengan suatu kegiatan,
maka akan ada imbas atau pengaruh terhadap perilaku
manusia. Variabel – variabel yang berpengaruh terhadap
perilaku manusia (Setiawan, 1995), antara lain :
a. Ruang. Hal terpenting dari pengaruh ruang terhadap
perilaku manusia adalah fungsi dan pemakaian ruang
tersebut. Perancangan fisik ruang memiliki variable
yang berpengaruh terhadpa perilaku pemakainya.
b. Ukuran dan Bentuk. Ukuran dan bentuk ruang
harus disesuaikan dengan fungsi yang akan diwadahi,
ukuran yang terlalu besar atau kecil akan mempengaruhi
psikologis pemakainya.
c. Perabot dan Penataannya. Bentuk penataan perabot
harus disesuaikan dengan sifat dari kegiatan yang ada
di ruang tersebut. Penataan yang simetris memberi
kesan kaku, dan resmi. Sedangkan penataan yang
asimetris lebih berkesan dinamis dan kurang resmi.
d. Warna. Warna memiliki peranan penting dalam
mewujudkan suasana ruang, pengaruh warna tidak
hanya menimbulkan suasana panas atau dingin, tetapi
warna juga dapat mempengaruhi kualitas ruang tersebut.
e. Suara, Temperatur dam pencahayaan. Suara diukur
dengan decibel, akan berpengaruh buruk bila terlalu
keras. Demikian pula dengan temperature dan
pencahayaan yang dapat mempengaruhi psikologis
seseorang.
2.3.5 Prinsip-prinsip Arsitektur Perilaku
Manusia sebagai makhluk sosial tidak pernah
terlepas dari lingkungan yang membentuk diri mereka.
Bangunan yang didesain oleh manusia akan mempengaruhi
pola perilaku manusia yang hidup di dalam arsitektur
dan lingkungannya tersebut. Arsitektur ada untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Begitu sebaliknya, dari arsitektur
tersebut muncul suatu kebutuhan manusia yang baru. Dari
beberapa penjabaran mengenai Behavioral& Architecture&
tersebut maka dapat ditemukan beberapa prinsipJprinsip
yang harus diperhatikan dalam Arsitektur Perilaku, antara
lain adalah :
a. Mampu Berkomunikasi Dengan Manusia dan Lingkungan
Rancangan hendaknya dapat dipahami oleh
pemakainya melalui penginderaan ataupun pengimajinasian
pengguna bangunan. Bentuk yang disajikan oleh
perancang dapat dimengerti sepenuhnya oleh pengguna
bangunan, dan pada umunya bentuk adalah yang paling
banyak digunakan sebagai media komunikasi karena
bentuk yang paling mudah ditangkap dan dimengerti oleh
manusia. Dari bangunan yang di amati oleh manusia
syaratJsyarat yang harus dipenuhi adalah:
1. Pencerminan fungsi bangunan. Simbol-simbol yang
menggambarkan tentang rupa bangunan yang nantinya
akan dibandingkan dengan pengalaman yang sudah
ada, dan disimpan kembali sebagai pengalaman baru.
2. Menunjukan skala dan poporsi yang tepat serta dapat
dinikmati.
3. Menunjukkan bahan dan struktur yang akan
digunakan dalam bangunan.

b. Mewadahi aktivitas penghuninya dengan nyaman dan


menyenangkan
1. Nyaman berarti nyaman secara fisik dan psikis.
Nyaman secara fisik berarti kenyamanan yang
berpengaruh pada keadaan tubuh manusia secara
langsung seperti kenyamanan termal. Nyaman secara
psikis pada dasarnya sulit dicapai kerena
masingJmasing individu memiliki standar kenyamanan
yang berbeda beda secara psikis. Dengan tercapainya
kenyamanan secara psikis akan tercipta rasa senang
dan tenang untuk berperilaku.
2. Menyenangkan dapat dijabarkan dalam beberapa aspek.
Yang pertama yaitu menyenangkan secara fisik, bisa
timbul dengan adanya pengolahan-pengolahan pada
bentuk atau ruangan yang ada di sekitar. Menyenangkan
secara fisiologis bisa timbul dengan adanya kenyamanan
termal yang diciptakan lingkungan sekitar terhadap
manusia. Menyenangkan secara psikologis bisa timbul
dengan adanya pemenuhan kebutuhan berkaitan dengan
jiwa manusia seperti adanya ruang terbuka yang
merupakan tuntutan atau keinginan manusia untuk bisa
bersosialisasi. Menyenangkan secara kultural bisa
timbul dengan adanya penciptaan karya Arsitektur
dengan gaya yang sudah dikenal oleh masyarakat yang
berada di tempat tersebut.
c. Memenuhi nilai estetika, komposisi, dan estetika bentuk
Keindahan dalam Arsitektur harus memiliki
beberapa unsur, antara lain :
1. Keterpaduan (unity)
Yang berarti tersusunnya beberapa unsur
menjadi satu kesatuan yang utuh dan serasi.
2. Keseimbangan
Yaitu suatu nilai yang ada pada setiap obyek yang
daya tarik visualnya haruslah seimbang.
3. Proporsi
Merupakan hubungan tertentu antara ukuran bagian
terkecil dengan ukuran keseluruhan.
4. Skala
Kesan yang ditimbulkan bangunan itu mengenai
ukuran besarnya. Skala biasanya diperoleh dengan
besarnya bangunan dibandingkan dengan unsur-unsur
manusiawi yang ada di sekitarnya.
5. Irama
Yaitu pengulangan unsurJunsur dalam
perancangan bangunan. Seperti pengulangan
garisJgaris lurus, lengkung, bentuk masif, perbedaan
warna yang akan sangat mempengaruhi kesan yang
ditimbulkan dari perilaku pengguna bangunan.
2.3.6 Beaviorisme dalam kajian arsitektur
Manusia sebagai makhluk sosial tidak pernah
lepas dari lingkungan yang membentuk diri mereka. Diantara
sosial dan arsitektur dimana bangunan yang didesain manusia,
secara sadar atau tidak sadar, mempengaruhi pola perilaku
manusia yang hidup didalam arsitektur dan lingkungannya
tersebut. Sebuah arsitektur dibangun untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Dan sebaliknya, dari arsitektur itulah
muncul kebutuhan manusia yang baru kembali (Tandal dan
Egam, 2011).
a. Arsitektur Membentuk Perilaku Manusia
Manusia membangun bangunan demi pemenuhan
kebutuhan pengguna, yang kemudian bangunan itu
membentuk perilaku pengguna yang hidup dalam
bangunan tersebut dan mulai membatasi manusia untuk
bergerak, berperilaku, dan cara manusia dalam menjalani
kehidupan sosialnya. Hal ini menyangkut kestabilan
antara arsitektur dan sosial dimana keduanya hidup
berdampingan dalam keselarasan lingkungan. Skema ini
menjelaskan mengenai “Arsitektur membentuk Perilaku
Manusia”, dimana hanya terjadi hubungan satu arah
yaitu desain arsitektur yang dibangun mempengaruhi
perilaku manusia sehingga membentuk perilaku manusia
dari desain arsitektur tersebut.
b. Perilaku Manusia membentuk Arsitektur
Setelah perilaku manusia terbentuk akibat arsitektur
yang telah dibuat, manusia kembali membentuk arsitektur
yang telah dibangun atas dasar perilaku yang telah
terbentuk, dan seterusnya.
Pada skema ini dijelaskan mengenai “Perilaku Manusia
membentuk Arsitektur” dimana desain arsitektur yang
telah terbentuk mempengaruhi perilaku manusia sebagai
pengguna yang kemudian manusia mengkaji kembali
desain arsitektur tersebut sehingga perilaku manusia
membentuk kembali desain arsitektur yang baru.
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang RI nomor 23 tahun 2002. tentang Perlindungan Anak.


Yogyakarta:
Cemerlang
Soeparman, Herman (2000). Narkoba telah merubah rumah kami menjadi neraka,
Jakarta :
Departemen Pendidikan Nasional-Dirjen Dikti
Suyanto, Bagong. 2010. Masalah Sosial Anak. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group
Arifin. 2007. Pendidikan Anak Berkonflik Hukum. Bandung: Alfabeta
Armai Arif . ---------- (Online) http:/anjal.
Blogdrive.com/archive/11.html
Peraturan Pemerintah RI Nomor 31 tahun 1980 tentang Penanggulangan
Gelandangan
dan Pengemis.
Ramli, L, 2000, Perlindungan Anak. Yudha: Surabaya

Anda mungkin juga menyukai