Anda di halaman 1dari 12

Peran Negara Dalam Melindungi Hak Asasi Manusia Bagi Para Penyandang Disabilitas

Dalam Pembangunan Infrastruktur Khususnya Fasilitas Publik Berbasis Nilai Keadilan

A. Latar Belakang
Setiap individu yang ada di seluruh dunia ini dilahirkan membawa hak-hak
yang mutlak yang sering disebut sebagai hak asasi manusia. Hak-hak ini seharusnya
diberikan dan dinikmati oleh setiap manusia tanpa pandang bulu, di mana pun mereka
berada, termasuk di dalam wilayah negara Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945, ditegaskan bahwa Indonesia adalah sebuah negara hukum, yang
mengimplikasikan bahwa seluruh aspek kehidupan dan aturan yang berlaku
didasarkan pada hukum. Konsep negara hukum ini mengandung prinsip bahwa setiap
warga negara memiliki posisi yang sama di mata hukum, tanpa ada yang memiliki
kekebalan atau hak istimewa terhadap hukum. Hukum sendiri memiliki tujuan untuk
menciptakan keadilan di dalam masyarakat, dan pencapaian keadilan ini adalah salah
satu implementasi dari Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini mencerminkan bahwa
hukum pada dasarnya memiliki hubungan yang sangat erat dengan pelaksanaan hak
asasi manusia. Dalam penjelasan umum, dinyatakan bahwa Indonesia, berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
menghormati dan mengutamakan martabat serta harkat manusia. Hak asasi manusia,
yang merupakan hak-hak dasar yang melekat pada manusia secara kodrati, memiliki
sifat universal dan harus diberikan perlindungan, penghormatan, dan pemeliharaan.
Oleh karena itu, penting untuk menjaga hak asasi manusia, terutama bagi kelompok
yang rentan, termasuk Penyandang Disabilitas.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, penyandang adalah seseorang yang
mengalami sesuatu, sedangkan disabilitas merujuk pada kondisi yang mengganggu
atau membatasi kemampuan fisik dan mental seseorang, atau kondisi
ketidakmampuan untuk melakukan hal-hal secara biasa (KBBI). Penyandang
disabilitas termasuk dalam kelompok yang rentan, yaitu kelompok yang sering
mengalami diskriminasi dan kesulitan dalam pemenuhan hak-hak mereka. Hal ini
tidak terjadi tanpa alasan, karena seringkali penyandang disabilitas dianggap sebagai
individu dengan cacat yang sering menjadi korban diskriminasi, dan masih banyak
hak yang belum terpenuhi bagi mereka. Meskipun begitu, penyandang disabilitas
memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dengan masyarakat yang tidak
memiliki disabilitas. Sebagai warga negara Indonesia, mereka berhak mendapatkan
perlakuan khusus yang bertujuan untuk melindungi mereka dari diskriminasi dan
pelanggaran hak asasi manusia yang mungkin terjadi.
Sekitar 15 persen dari populasi dunia merupakan penyandang disabilitas,
menjadikan mereka sebagai kelompok minoritas terbesar di seluruh dunia. Sekitar 82
persen dari penyandang disabilitas berada di negara-negara berkembang, dan mereka
seringkali mengalami kondisi hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka juga sering
menghadapi tantangan dalam mengakses layanan kesehatan, pendidikan, pelatihan,
dan pekerjaan yang layak (Arie, 2017). Menurut hasil Survei Sosial Ekonomi
Nasional pada tahun 2018, menunjukkan bahwa dari kelompok usia 2-6 tahun,
terdapat 33.320.357 jiwa yang mengalami disabilitas, dengan 1.150.173 jiwa di
antaranya mengalami disabilitas sedang dan 309.784 jiwa mengalami disabilitas berat.
Di kelompok usia 7-18 tahun, terdapat 55.708.205 jiwa, di mana 1.327.688 jiwa
mengalami disabilitas sedang dan 433.297 jiwa mengalami disabilitas berat. Untuk
kelompok usia 19-59 tahun, populasi mencapai 150.704.645 jiwa individu, dengan
15.834.339 jiwa di antaranya memiliki disabilitas sedang dan 2.627.531 jiwa memiliki
disabilitas berat. Sementara itu, di kelompok usia lebih dari 60 tahun, terdapat
24.493.684 individu, dengan 12.073.572 jiwa mengalami disabilitas sedang dan
3.381.134 jiwa mengalami disabilitas berat (Tempo.co.id).
Dalam laporan Infodatin dari Kementerian Kesehatan RI, disebutkan bahwa
data mengenai penyandang disabilitas telah dikumpulkan oleh Kementerian
Kesehatan melalui survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2007, 2013,
dan 2018. Menurut hasil Riskesdas 2018, 3,3% dari anak-anak usia 5-17 tahun
mengalami disabilitas, sedangkan di usia 18-59 tahun di Indonesia, sekitar 22,0%
mengalami disabilitas. Di kelompok usia lanjut, sekitar 74,3% lansia dapat menjalani
aktivitas sehari-hari secara mandiri, 22,0% mengalami hambatan ringan, 1,1%
mengalami hambatan sedang, 1% mengalami hambatan berat, dan 1,6% mengalami
ketergantungan total (Ismandari, 2019). Dengan jumlah penyandang disabilitas yang
begitu besar di Indonesia, sangat penting mendukung program dan kegiatan yang
berdasarkan prinsip kesetaraan hak bagi mereka. Program ini harus dijalankan secara
menyeluruh dan berkelanjutan, dengan dukungan sarana dan prasarana khusus yang
memastikan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak yang sama seperti
masyarakat pada umumnya.
Hak asasi manusia adalah prinsip universal yang mengakui martabat,
kebebasan, dan kesetaraan setiap individu, termasuk para penyandang disabilitas.
Dalam konteks hak asasi manusia (HAM), salah satu tugas utama pemerintah,
termasuk pemerintah daerah, adalah menjalankan penghormatan, perlindungan,
pemenuhan, pemajuan, dan penegakan hak asasi manusia. Tanggung jawab ini
mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat dan bersifat universal sesuai dengan
sifat dasar hak asasi manusia itu sendiri. Salah satu langkah dalam menghormati,
melindungi, dan memenuhi hak-hak tersebut adalah memberikan perhatian khusus
kepada penyandang disabilitas. Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia telah ada sejak
Pancasila diakui sebagai dasar pedoman negara Indonesia, meskipun mungkin tidak
secara eksplisit. Ini mencakup aspek hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha
Esa dan antar manusia, yang tercermin dalam nilai-nilai yang terkandung dalam sila-
sila Pancasila.
Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hak asasi penyandang disabilitas
adalah isu yang harus diperhatikan. Karena setiap warga negara memiliki hak yang
sama, begitu juga dengan penyandang disabilitas yang memiliki hak yang setara
dengan masyarakat umum. Namun, kurangnya perhatian dari masyarakat dapat
menciptakan masalah psikologis bagi penyandang disabilitas, seperti rasa menutup
diri dan kurang percaya diri saat berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya. Selain
itu, ada masalah lain seperti kurangnya perhatian dari masyarakat dan pemerintah
terhadap aksesibilitas di tempat umum, yang masih dianggap kurang memadai dan
dapat menghambat aktivitas sehari-hari penyandang disabilitas. Pemenuhan hak
penyandang disabilitas didasarkan pada prinsip kesetaraan, yang berarti bahwa
sistem-sistem dalam masyarakat, seperti pelayanan, kegiatan, informasi, dan
dokumen, harus dapat diakses oleh semua orang, termasuk penyandang disabilitas
(Riyadi, 2018). Dengan menerapkan prinsip ini, masyarakat dan pemerintah dapat
lebih peduli terhadap penyandang disabilitas dengan memastikan bahwa hak-hak
mereka dalam hal fasilitas umum, kegiatan, dan pelayanan umum dipenuhi dengan
setara.
Instrument hukum internasional yang secara khusus mengatur tentang
penyandang disabilitas bernama Convention on the Rights of Persons with
Disabilities and Optional Protocol atau Konvensi Hak Penyandang Disabilitas yang
selanjutnya disebut sebagai CRPD. Dengan disahkannya Konvensi Hak Penyandang
Disabilitas (Convention on the Rights Of Persons With Disabilities/CRPD), ini
merupakan suatu tonggak sejarah yang penting dan titik awal menuju kemajuan dalam
meningkatkan perlindungan dan pemajuan hak-hak penyandang disabilitas. Dalam
konvensi ini, dinyatakan berbagai hak umum dan spesifik bagi penyandang
disabilitas, serta mengatur tugas dan tanggung jawab negara-negara yang telah
menjadi pihak dalam memastikan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Ini
termasuk penyesuaian kebijakan nasional, penciptaan lingkungan yang inklusif
terhadap disabilitas, penyediaan akomodasi yang wajar, serta memastikan
aksesibilitas di berbagai sektor, baik secara fisik maupun non-fisik (Nasution, 2019).
Perubahan paradigma dari charity based menjadi social based telah menjadi dasar
bagi perkembangan isu disabilitas, terutama dalam konteks hak asasi manusia (HAM).
Saat ini, terutama setelah disahkannya CRPD, penyandang disabilitas tidak lagi
dianggap sebagai kelompok yang hanya berhak mendapat simpati, melainkan mereka
harus memiliki hak-haknya sebagai manusia dijamin dan dipenuhi (Fajri et al, 2015).
Dalam rangka memastikan komitmen terhadap prinsip-prinsip yang
terkandung dalam CRPD, dibuatlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas (UU No. 8/2016). Dalam Undang-Undang tentang
Penyandang Disabilitas, terdapat berbagai peraturan yang mengatur aspek-aspek
seperti ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, dan aturan lalu
lintas. Tujuan dari peraturan-peraturan ini adalah untuk memberikan kemudahan dan
perlindungan kepada penyandang disabilitas serta untuk memastikan adanya
kesetaraan hak dan perlakuan antara penyandang disabilitas dan masyarakat umum.
Dasar filosofis UU No. 8/2016 adalah keyakinan bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia bertekad untuk menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara,
termasuk mereka yang memiliki disabilitas. Mereka memiliki status hukum yang
sama dengan warga negara Indonesia lainnya dan memiliki hak asasi manusia yang
sama. Para penyandang disabilitas dianggap sebagai bagian integral dari masyarakat
Indonesia, dan ini dilihat sebagai anugerah dan tanggung jawab dari Tuhan Yang
Maha Esa. Tujuan dari UU ini adalah untuk memastikan bahwa setiap individu,
termasuk mereka yang memiliki disabilitas, dapat mengalami kemajuan dan
perkembangan yang adil serta dengan martabat.
Kelahiran UU No. 8/2016 telah membawa angin segar bagi penyandang
disabilitas, sehingga mengubah pandangan mereka secara fundamental. Sebelumnya,
mereka dianggap hanya sebagai penerima manfaat dari kebijakan yang berkaitan
dengan kesejahteraan, kesehatan, dan program santunan. Namun, dengan prinsip
persamaan hak sebagai dasar, mengarah pada usaha konkret dalam menghormati,
melindungi, dan memenuhi hak-hak mereka serta memberdayakan penyandang
disabilitas. UU No. 8/2016 menetapkan berbagai upaya yang harus dilakukan dalam
hal aksesibilitas, baik dalam aspek fisik maupun non-fisik, sebagai bagian dari
komitmennya terhadap persamaan hak. Hal ini juga menggantikan pandangan bahwa
tanggung jawab ini hanya menjadi domain pemerintah pusat, membebani setiap
pemerintah daerah untuk aktif berupaya mewujudkannya. Di antara upaya yang
diamanatkan oleh undang-undang ini adalah penyediaan akomodasi yang memadai,
perangkat kesehatan yang dibutuhkan, hak konsensi, pemberian bantuan habilitasi dan
rehabilitasi, pelayanan publik yang bersifat inklusif, serta unit pelayanan khusus untuk
penyandang disabilitas.
Sejak diberlakukannya UU No. 8/2016 hingga saat ini, baru terbit tiga
peraturan pemerintah yang terkait dengan pelaksanaan UU tersebut, yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 52 Tahun 2019 mengenai Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang
Disabilitas, Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2019 tentang Perencanaan,
Penyelenggaraan, dan Evaluasi terhadap Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan
Hak Penyandang Disabilitas, serta Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020
mengenai Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas. Masih
banyak ketentuan pelaksanaan UU No. 8/2016 yang belum dibentuk hingga saat ini.
Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 150 dalam UU tersebut, semua peraturan
perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UU No. 4/1997
masih tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam
UU No. 8/2016 tersebut.
Istilah disabilitas sering kali digunakan untuk menggambarkan atau
menggantikan suatu kondisi di mana seseorang mengalami kehilangan fungsi, baik
secara fisik maupun mental, baik sebagian maupun seluruhnya (Windrawan, 2015).
Namun, tidak berarti bahwa penyandang disabilitas tidak berhak menerima layanan
atau fasilitas yang pantas dari pemerintah. Hal ini tercermin dalam Pasal 34 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa negara memiliki tanggung
jawab untuk menyediakan layanan kesehatan dan layanan umum yang memadai. Oleh
karena itu, pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan aksesibilitas yang
memadai bagi penyandang disabilitas.
Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu aspek penting dalam
perkembangan suatu negara. Infrastruktur yang baik dan berkelanjutan memiliki
dampak positif terhadap ekonomi, sosial, dan kualitas hidup masyarakat. Namun,
dalam upaya membangun infrastruktur, seringkali terjadi ketidaksetaraan akses dan
peningkatan risiko diskriminasi terhadap kelompok yang rentan, termasuk para
penyandang disabilitas. Masalah ini menyoroti pentingnya peran negara dalam
melindungi hak asasi manusia, khususnya bagi mereka yang memerlukan perhatian
ekstra dalam pembangunan infrastruktur yang berkeadilan.
Pelayanan publik di Indonesia menghadapi beberapa masalah mendasar.
Selain rendahnya efektivitas pengorganisasian dan partisipasi publik dalam
penyelenggaraan layanan, pelayanan publik juga belum memiliki sistem untuk
mengadukan masalah dan menyelesaikan sengketa. Akibatnya, kualitas layanan yang
diberikan belum memuaskan para pengguna. Pelayanan publik di Indonesia juga
belum merespons dengan baik kebutuhan masyarakat, terutama mereka yang memiliki
kebutuhan khusus seperti penyandang disabilitas. Sarana umum seperti sekolah,
rumah sakit, kantor, tempat rekreasi, hotel, kantor pos, terminal, telepon umum, bank,
dan tempat lainnya masih belum memadai dalam hal aksesibilitas bagi penyandang
disabilitas.
Dalam program "Selamat Pagi Nusantara" di TVRI pada tanggal 17
September 2015, Bambang Yudawan, yang menjabat sebagai Ketua Kehormatan
Ikatan Arsitek Indonesia, menjelaskan bahwa hak dan peluang akses penyandang
cacat terhadap fasilitas pelayanan publik (yang disebut sebagai fasilitas aksesibilitas)
telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
Bambang memberikan contoh bahwa pemerintah provinsi DKI Jakarta telah memiliki
peraturan daerah (perda) terkait hal ini sejak tahun 1981. Namun, karena penegakan
hukum yang lemah, hingga saat itu hanya sedikit gedung yang memenuhi syarat
fasilitas aksesibilitas untuk penyandang cacat. Bambang menyoroti pentingnya
memperhatikan prinsip-prinsip dasar penyandang cacat, seperti kemandirian,
kemudahan, keselamatan, dan kegunaan dalam perencanaan aksesibilitas. Dia juga
menekankan bahwa pemerintah pusat telah mengatur kewajiban menyediakan fasilitas
aksesibilitas melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 dan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Namun, implementasi regulasi ini
tergantung pada pemerintah kabupaten/kota melalui peraturan daerah (perda), yang
selama ini dianggap lemah dalam penegakan aturan tersebut dan masih ada
kekurangan pemahaman di kalangan petugas pengawas.
Terjadi perbedaan mendasar terkait budaya dan pemahaman mengenai isu
difabilitas antara Negara berkembang dan Negara maju. Di Negara-negara maju,
penghargaan dan pengakuan terhadap hak-hak penyandang disabilitas telah
berlangsung dengan baik. Hal ini terlihat melalui keberadaan peraturan hukum yang
efektif dalam melindungi hak-hak dasar penyandang disabilitas, seperti aksesibilitas
lingkungan dan bangunan, kesempatan kerja dan pendidikan yang memadai, serta
jaminan sosial bagi mereka yang mengalami disabilitas serius, yang sering disebut
sebagai "always patient." Sebagai contoh, di Amerika Serikat, ada undang-undang
federal yang dikenal sebagai American Disability Act (ADA) yang mengatur dan
sekaligus melindungi hak-hak penyandang disabilitas dalam hal akses ke pendidikan,
perumahan, peluang pekerjaan, layanan kesehatan, dan keamanan sosial (Rahayu &
Bustanudin, 2016).
Pembangunan infrastruktur yang ramah bagi penyandang disabilitas di
Indonesia adalah suatu keharusan untuk memastikan bahwa semua warga negara,
termasuk penyandang disabilitas, memiliki akses yang setara dan dapat menggunakan
fasilitas-fasilitas umum dengan mudah. Di bawah ini adalah beberapa langkah yang
dapat diambil untuk membangun infrastruktur yang lebih inklusif bagi penyandang
disabilitas di Indonesia:
1) Memastikan bahwa semua proyek infrastruktur mematuhi undang-undang dan
peraturan yang ada yang menetapkan persyaratan aksesibilitas bagi penyandang
disabilitas. Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas adalah landasan hukum yang penting dalam hal ini.
2) Melibatkan aktif komunitas penyandang disabilitas dalam perencanaan dan
pelaksanaan proyek infrastruktur. Mereka memiliki wawasan berharga tentang
kebutuhan mereka dan dapat membantu merancang fasilitas yang lebih inklusif.
3) Memastikan bahwa desain proyek-proyek infrastruktur memperhitungkan
kebutuhan penyandang disabilitas. Ini termasuk pembuatan trotoar yang ramah
kursi roda, menambahkan tangga yang dapat diakses dengan rampa, dan
memastikan bahwa fasilitas umum seperti toilet dan parkir juga dapat digunakan
oleh penyandang disabilitas.
4) Mengedukasi masyarakat, terutama pekerja konstruksi dan petugas yang akan
merawat fasilitas tersebut, tentang pentingnya aksesibilitas dan bagaimana
merawat fasilitas yang sesuai dengan standar aksesibilitas.
5) Meningkatkan aksesibilitas transportasi publik dengan menyediakan kendaraan
yang ramah penyandang disabilitas, seperti bus dengan lift atau rampa dan
stasiun/stops yang sesuai dengan aksesibilitas.
6) Pemerintah memiliki peran penting dalam mengawasi pelaksanaan standar
aksesibilitas dan memberikan insentif atau sanksi untuk memastikan bahwa
proyek-proyek infrastruktur mematuhi aturan tersebut.
7) Menggunakan teknologi untuk meningkatkan aksesibilitas, seperti penggunaan
aplikasi yang dapat membantu penyandang disabilitas dalam menavigasi kota atau
fasilitas umum.
8) Memberikan pelatihan kepada penyandang disabilitas untuk meningkatkan
keterampilan mereka dalam menggunakan fasilitas-fasilitas yang ada.
9) Melakukan pengawasan dan evaluasi terus-menerus terhadap infrastruktur yang
ada untuk memastikan bahwa standar aksesibilitas dipatuhi dan perbaikan
dilakukan jika diperlukan.
10) Memanfaatkan bantuan dan kerja sama dengan organisasi internasional yang
fokus pada aksesibilitas dan inklusi penyandang disabilitas untuk mendapatkan
dukungan dan sumber daya tambahan.
Pembangunan infrastruktur yang ramah penyandang disabilitas bukan hanya tanggung
jawab pemerintah, tetapi juga melibatkan peran aktif masyarakat, sektor swasta, dan
organisasi non-pemerintah dalam menciptakan lingkungan yang lebih inklusif bagi
semua warga Indonesia, termasuk penyandang disabilitas.
Dalam konteks pembangunan infrastruktur, pemenuhan hak asasi manusia
menjadi aspek kunci dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, yang berarti
pembangunan harus memperhitungkan kepentingan semua warganegara, termasuk
mereka yang memiliki keterbatasan fisik atau mental. Di banyak negara, terdapat
tantangan yang signifikan dalam menjaga dan melindungi hak asasi manusia para
penyandang disabilitas dalam konteks pembangunan infrastruktur. Fasilitas publik,
seperti transportasi, bangunan umum, dan sumber daya lainnya, seringkali tidak
dirancang atau diakses dengan baik bagi penyandang disabilitas. Akibatnya, mereka
menghadapi hambatan serius dalam mengakses layanan masyarakat yang seharusnya
mereka nikmati. Adapun tantangan lain dalam hal pembangunan infrastruktur bagi
penyandang disabilitas, yaitu:
1) Banyak infrastruktur yang dibangun sebelum adanya peraturan aksesibilitas atau
tidak mematuhi standar aksesibilitas yang ada. Ini mengakibatkan kesulitan bagi
penyandang disabilitas untuk mengakses fasilitas-fasilitas tersebut.
2) Pemahaman tentang pentingnya aksesibilitas dan kebutuhan penyandang
disabilitas masih kurang di kalangan masyarakat umum, perencana, dan pekerja
konstruksi.
3) Pengawasan terhadap pelaksanaan standar aksesibilitas dalam proyek-proyek
infrastruktur kurang efektif di beberapa wilayah, yang dapat mengakibatkan
pelanggaran.
4) Meningkatkan aksesibilitas seringkali memerlukan investasi tambahan, yang
mungkin menjadi kendala bagi beberapa proyek infrastruktur.
5) Beberapa wilayah di Indonesia memiliki tantangan geografis yang unik, seperti
pulau-pulau terpencil, yang membuatnya sulit untuk mengakses sumber daya dan
dukungan yang diperlukan untuk membangun infrastruktur inklusif.
6) Koordinasi antara berbagai pihak yang terlibat dalam pembangunan infrastruktur,
termasuk pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pihak swasta, mungkin masih
perlu ditingkatkan.
Hingga saat ini, sebagian besar pembangunan gedung-gedung perkantoran,
sekolah, kampus, bandara, terminal, hotel, dan fasilitas publik lainnya di Indonesia
belum sepenuhnya inklusif untuk semua orang, terutama bagi kelompok masyarakat
yang memiliki keterbatasan fisik atau kebutuhan khusus. Para penyandang disabilitas
atau difabel masih mengalami kesulitan dalam mengakses fasilitas publik tersebut.
Keadaan ini memunculkan pertanyaan tentang peran negara dalam memastikan bahwa
pembangunan infrastruktur yang sedang berlangsung tidak hanya mencapai tujuan
ekonomi, tetapi juga menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia
semua warga, termasuk penyandang disabilitas. Ini menjadi semakin relevan dalam
konteks nilai keadilan, di mana hak-hak para penyandang disabilitas harus dijaga
untuk menghindari terjadinya diskriminasi. Selain itu, Konvensi Hak Penyandang
Disabilitas PBB yang telah diratifikasi oleh sebagian besar negara di dunia
memberikan kerangka kerja hukum yang kuat untuk melindungi hak asasi manusia
penyandang disabilitas dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pembangunan
infrastruktur. Negara-negara yang telah meratifikasi konvensi ini diharapkan untuk
mengambil tindakan konkret dalam melindungi hak-hak para penyandang disabilitas.
Indonesia telah melakukan beberapa upaya untuk membangun infrastruktur
yang lebih ramah penyandang disabilitas. Beberapa contoh pembangunan
infrastruktur yang sudah ada atau sedang dilakukan bagi penyandang disabilitas di
Indonesia termasuk:
1) Rampa dan Trotoar: Banyak kota besar di Indonesia telah meningkatkan
aksesibilitas dengan memasang rampa dan trotoar yang ramah bagi penyandang
disabilitas. Ini memudahkan mereka yang menggunakan kursi roda atau memiliki
kesulitan berjalan.
2) Toilet Publik Ramah Disabilitas: Beberapa tempat umum, seperti pusat
perbelanjaan, terminal bus, dan stasiun kereta api, telah menyediakan fasilitas
toilet yang dirancang khusus untuk penyandang disabilitas.
3) Fasilitas Transportasi Ramah Disabilitas: Beberapa kota telah memperbarui sistem
transportasi mereka dengan kendaraan yang lebih ramah disabilitas, seperti bus
dengan lift atau rampa untuk memudahkan akses penyandang disabilitas.
4) Papan Informasi dan Sinyal Lalu Lintas Tactile: Beberapa wilayah telah
memasang papan informasi dengan braille dan sinyal lalu lintas taktil (yang
dirasakan dengan sentuhan) untuk membantu penyandang disabilitas visual
berorientasi di lingkungan kota.
5) Perbaikan Akses ke Tempat Ibadah: Beberapa tempat ibadah, seperti masjid dan
gereja, telah melakukan perbaikan untuk meningkatkan aksesibilitas bagi jemaat
penyandang disabilitas.
6) Perbaikan Akses ke Fasilitas Pendidikan: Beberapa sekolah dan perguruan tinggi
telah memperbaiki fasilitas mereka untuk memastikan bahwa siswa penyandang
disabilitas dapat mengakses pendidikan dengan lebih baik.
7) Kerjasama dengan Organisasi Penyandang Disabilitas: Beberapa pemerintah
daerah telah bekerja sama dengan organisasi penyandang disabilitas dalam
perencanaan dan pelaksanaan proyek infrastruktur untuk memastikan kebutuhan
mereka dipertimbangkan.
8) Pemberian Pelatihan: Beberapa proyek telah memberikan pelatihan kepada
penyandang disabilitas untuk meningkatkan keterampilan mereka dalam
menggunakan fasilitas umum yang telah ditingkatkan aksesibilitasnya.
Penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam peran negara dalam
melindungi hak asasi manusia bagi para penyandang disabilitas dalam pembangunan
infrastruktur, terutama dalam konteks fasilitas publik, dengan mempertimbangkan
nilai keadilan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih
baik tentang tantangan, kebijakan, dan praktik yang ada dalam menjaga keadilan
dalam pembangunan infrastruktur yang memperhatikan hak asasi manusia semua
warga, termasuk penyandang disabilitas. Melalui pemahaman ini, diharapkan dapat
diidentifikasi solusi yang dapat meningkatkan aksesibilitas, mengurangi diskriminasi,
dan mempromosikan inklusi para penyandang disabilitas dalam pembangunan
infrastruktur yang berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Fajri et al., Kerangka Hukum Disabilitas Di Indonesia: Menuju Indonesia Ramah Disabilitas,
Cetakan I. (Pusat Studi Hukum Dan kebijakan Indonesia, 2015), hlm.14.

Ismandari, F. Situasi Disabilitas (Jakarta, 2019), hlm.3.

Lestari, E. 2018. Implementasi Undang-Undang No 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang


Disabilitas Dalam Rangka Mendukung Perolehan Hak Aksesbilitas di Kabupaten
Magelang. Skripsi: Universitas Muhammadiyah Magelang, 1-78.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Badan Pengembangan Bahasa


dan Perbukuan, “Hasil Pencarian - KBBI Daring,” accessed September 14, 2023,
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/harmonis

“Hasil Pencarian: Tempo.co.id,” accessed September 14, 2023,


https://difabel.tempo.co/read/1266832/berapa-banyak-penyandang-disabilitas-di-
indonesia-simak-data-ini

Nasution, H., Marwandianto, “Memilih Dan Dipilih, Hak Politik Penyandang Disabilitas
Dalam Kontestasi Pemilihan Umum: Studi Daerah Istimewah Yogyakarta,” Jurnal
HAM 10, no. 3 (2019): hlm.166.

Ndaumanu, F. 2020. Hak Penyandang Disabilitas: Antara Tanggung Jawab dan Pelaksanaan
Oleh Pemerintah Daerah. Jurnal HAM Vol. 11 No. 1, 131-150.

Purnomosidi Arie, “Inklusi Penyandang Disabilitas Di Indonesia,” Jurnal Refleksi Hukum 1


(2017): 1–4.
Priscyllia, F. 2016. Kajian Hukum Terhadap Fasilitas Pelayanan Publik Bagi Penyandang
Disabilitas. Jurnal Lex Crimen Vol. V/No. 3, 107-115.

Rahayu, R. 2020. Pemenuhan Layanan Publik Yang Aksesibel Bagi Penyandang Disabilitas
Netra di Kabupaten Sleman. Skripsi: Universitas Islam Indonesia, 1-166.

Riyadi. E. 2018. Hukum Hak Asasi Manusia: Perspektif Internasional, Regional, dan
Nasional. Rajawali Press: Depok, hlm. 257.

Rahayu & Bustanuddin. 2016. Perlindungan Hukum Terhadap Penyandang Disabilitas


Menurut Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (CRPD). Jurnal
Inovatif, Volume VIII Nomor 1.

Sari, D., & Pawestri, A. 2022. Ketersediaan Fasilitas yang Aksesibilitas Bagi Penyandang
Disabilitas Di Kabupaten Bangkalan Madura. Journal Inicio Legis Volume 3 Nomor
2, 107-115.

Windrawan, P. 2015. Aksesibilitas Peradilan Bagi Penyandang Disabilitas, PUSHAM UII,


Yogyakarta, hlm. 51

Anda mungkin juga menyukai