Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang
Disabilitas merupakan suatu keadaan yang membatasi kemampuan mental serta
fisik seseorang dalam melakukan hal- hal dalam kehidupan sehari-hari. Ada yang
menganggap keberadaan mereka sebagai aib keluarga, biang masalah, hingga
kutukan akan sebuah dosa yang pada akhirnya semakin memojokan penyandang
disabilitas dari pergaulan masyarakat. Namun di sisi lain, banyak juga dari
masyarakat yang peduli dan mengubah pandangan mereka bahwa penyandang
disabilitas harus mereka kasihani dan mereka tolong bukan sebagai sosok yang
harus dikucilkan. Secara garis besar, sikap dan pandangan masyarakat terhadap
kaum disabilitas dapat dibedakan menjadi tidak berguna/tidak bermanfaat,
dikasihani, dididik/dilatih, dan adanya persamaan hak.
Menurut Undang- Undang No.8 Tahun 2016 pasal 1 menjelaskan bahwa
"Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik,
intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam
berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk
berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan
kesamaan hak." Keberadaan penyandang disabilitas ini layak mendapat perhatian
yang serius dari pemerintah. Dengan upaya melindungi kehidupan dan hak para
penyandang disabilitas yaitu dengan menuangkannya dalam peraturan perundang-
undangan.
Banyak disabilitas yang tidak dapat bersekolah dan melanjutkan ke perguruan
tinggi karena mereka dianggap cacat fisik yang diragukan dapat mengikuti proses
pendidikan dengan baik. Menurut Undang- undang No. 28 Tahun 2002 "Bahwa
setiap institusi pendidikan wajib menyediakan sarana dan pra-sarana pendidikan
yang menyediakan kemudahan bagi para kaum disabilitas dalam mengakses
fasilitas pendidikan".
Penyandang disabilitas merupakan masyarakat minoritas di dunia. Terdapat
sekitar lebih dari 600 juta penduduk penyandang disabilitas di dunia, dan menurut
data WHO terdapat sekitar 20 juta penyandang disabilitas di Indonesia yang
diperkirakan akan terus bertambah setiap tahunnya. Keberadaan penyandang
disabilitas yang masih tersisihkan dari masyarakat menjadi salah satu kendala bagi
penyandang disabilitas khususnya di Indonesia.
Penyandang disabilitas merupakan kelompok masyarakat yang beragam,
diantaranya penyandang disabilitas yang mengalami disabilitas fisik, disabilitas
mental maupun gabungan dari disabilitas fisik dan mental. Kondisi penyandang
disabilitas tersebut mungkin hanya sedikit berdampak pada kemampuan untuk
berpartisipasi di tengah masyarakat, atau bahkan berdampak besar sehingga
memerlukan dukungan dan bantuan dari orang lain. Selain itu, penyandang
disabilitas menghadapi kesulitan yang lebih besar dibandingkan masyarakat non-
disabilitas dikarenakan hambatan dalam mengakses layanan umum, seperti akses
dalam layanan pendidikan, kesehatan, maupun dalam hal ketenagakerjaan

1. 2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian disabilitas dan klasifikasinya?
2. Bagaimana pemenuhan hak-hak dasar penyandang disabilitas?
3. Bagaimana kebijakan dan program pemerintah terhadap penyandang
disabilitas?
4. Apa saja kasus - kasus yang berkaitan dengan penyandang disabilitas?

1. 3 Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian disabilitas dan klasifikasinya.
2. Untuk mengetahui pemenuhan hak- hak dasar penyandang disabilitas.
3. Untuk mengetahui kebijakan dan program pemerintah terhadap
penyandang disabilitas.
4. Untuk mengetahui kasus- kasus yang berkaitan dengan penyandang
disabilitas.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Disabilitas dan Klasifikasinya

Difabel, disabilitas, atau keterbatasan diri (bahasa Inggris: disability) dapat


bersifat fisik, kognitif, mental, sensorik, emosional, perkembangan atau beberapa
kombinasi dari ini.

Istilah difabel dan disabilitas sendiri memiliki makna yang agak berlainan.
Difabel (different ability—kemampuan berbeda) didefinisikan sebagai seseorang
yang memiliki kemampuan dalam menjalankan aktivitas berbeda bila
dibandingkan dengan orang-orang kebanyakan, serta belum tentu diartikan
sebagai "cacat" atau disabled. Sementara itu, disabilitas (disability) didefinisikan
sebagai seseorang yang belum mampu berakomodasi dengan lingkungan
sekitarnya sehingga menyebabkan disabilitas.

Difabel atau disabilitas adalah istilah yang meliputi gangguan, keterbatasan


aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Gangguan adalah sebuah masalah pada
fungsi tubuh atau strukturnya; suatu pembatasan kegiatan adalah kesulitan yang
dihadapi oleh individu dalam melaksanakan tugas atau tindakan, sedangkan
pembatasan partisipasi merupakan masalah yang dialami oleh individu dalam
keterlibatan dalam situasi kehidupan. Jadi disabilitas adalah sebuah fenomena
kompleks, yang mencerminkan interaksi antara ciri dari tubuh seseorang dan ciri
dari masyarakat tempat dia tingga

Tabel 2.1

Klasifikasi Penyandang Disabilitas


Tipe Nama Jenis disabilitas Pengertian
A tunanetra disabilitas fisik tidak dapat melihat; buta
tidak dapat mendengar dan/ kurang dalam
B tunarungu disabilitas fisik
mendengar; tuli
C tunawicara disabilitas fisik tidak dapat berbicara; bisu
D tunadaksa disabilitas fisik cacat tubuh
E1 tunalaras disabilitas fisik cacat suara dan nada
E2 tunalaras disabilitas mental sukar mengendalikan emosi dan sosial.
F tunagrahita disabilitas mental cacat pikiran; lemah daya tangkap;
G tunaganda disabilitas ganda penderita cacat lebih dari satu kecacatan

2.2 Pemenuhan Hak- Hak Dasar Penyandang Disabilitas


2.2.1. Hak dalam Memperoleh Layanan Kesehatan Dasar, Promotif,
Rehabilitatif, dan Konstruktif
Sebagaimana diatur dalam Konstitusi Negara Indonesia, semua warga negara
mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama di mata hukum dan
pemerintahan. Sejalan dengan hal ini, penyandang disabilitas berhak memperoleh
layanan tanpa pengecualian. Hak bagi penyandang disabilitas untuk menikmati
dan memperoleh akses terhadap pelayanan kesehatan dengan standar kesehatan
tertinggi yang tersedia tanpa diskriminasi tertuang dalam Konvensi Hak-Hak
Penyandang Disabilitas (CRDP) Pasal 25. Indonesia juga telah melakukan
ratifikasi yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011.
Terkait dengan itu, peraturan mengenai hak setiap warga negara untuk
memperoleh hak yang sama dalam memperoleh akses atas kesehatan dan sumber
daya dibidang kesehatan dituliskan dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang- Undang
Nomor 26 Tahun 2009. Di dalam hal ini, pemerintah bertanggung jawab untuk
merencanakan, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata
dan terjangkau oleh masyarakat, sebagaimana tertulis dalam Undang- Undang
Nomor 26 Tahun 2009 Bab IV Pasal 14 ayat 1. Sejalan dengan itu, pemerintah
Indonesia menyusun aturan mengenai pelayanan dan pemeliharaan kesehatan bagi
peyandang disabilitas dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Bab IV Pasal
139.
2.2.2 Hak Pengakuan atas Persamaan di Muka Hukum
Pengakuan atas persamaan dan non-diskriminasi bagi penyandang disabilitas
dijamin dalam Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) Pasal 5 yang
menyatakan bahwa semua manusia adalah sama di hadapan dan dibawah hukum,
berhak, dan tanpa diskriminasi untuk memperoleh perlindungan dan manfaat yang
sama. Secara lebih spesifik, Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD)
juga menegaskan mengenai persamaan di muka hukum dan keadilan bagi para
penyandang disabilitas yang tertuang dalam Pasal 12 dan Pasal 13. Apabila
dikaitkan dengan isu-isu disabilitas, pada dasarnya setiap penyandang disabilitas
memiliki hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pemerintah Indonesia sendiri
sudah meratifikasi peraturan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2011.
Namun demikian, pada kenyataannya masih banyak penyandang disabilitas
yang seringkali mengalami diskriminasi. Mengacu pada CRPD Pasal 12 butir (3),
nampak bahwa sistem hukum di Indonesia masih kurang dalam menyediakan
akses bagi penyandang disabilitas yang dapat membantu mereka dalam
melaksanakan kapasitas hukum mereka. Misalnya saja lingkungan peradilan yang
tidak aksesibel, baik fisik maupun non-fisik, tidak adanya penerjemah dan yang
berinteraksi, mengerti, dan memahami penyandang disabilitas. Rendahnya
pemahaman aparat penegak hukum akan isu disabilitas itu sendiri juga menjadi
penyebab ketidakadilan hukum bagi para penyandang disabilitas.
2.2.3 Hak Bekerja dan Memperoleh Lapangan Pekerjaan
Hak untuk bekerja bagi penyandang disabilitas di Indonesia dijamin dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Ccat diikuti dengan
PP Nomor 43 1998 yang mewajibkan kuota 1% pekerja adalah penyandang
disabilitas. Markus Sudibyo (dalam Adioetomo Mont & Irwanto, 2014)
menyatakan bahwa pemerintah gagal dalam menerapkan sitem kuota lapangan
pekerjaan karena penyedia lapangan pekerjaan melihat penyandang disabilitas
hanya sebagai konsumer dari pelayanan rehabilitasi.
Terkait dengan itu, Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengenai
Ketenagakerjaan secara tegas melarang pemutusan kerja terkait dengan disabilitas.
Ayat 153 paragraf 1 menyatakan bahwa perusahaan tidak diperbolehkan untuk
mengeluarkan pekerja ketika mereka sakit atau mengalami disabilitas saat masa
tugas, kecuali jika disabilitasnya berlangsung lebih dari 12 bulan terhitung dari
masa ketika mereka tidak mampu melakukan pekerjaannya. Namun sanksi dari
pelanggaran peraturan ini tidak dijelaskan.
Namun demikian, praturan ketenagakerjaan itu sendiri banyak mengandung
pernyataan yang tidak konsisten, di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
ayat 67 disebutkan bahwa penyedia pekerjaan yang memiliki pekerja dengan
disabilitas wajib menyediakan perlindungan yang didasari oleh disabilitas yang
dimilikinya.
2.2.4 Hak Memperoleh Perlindungan Sosial
Hak penyandang disabilitas untuk memperoleh perlindungan sosial terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997. Di dalam Undang-Undang tersebut
disebutkan bahwa setiap orang dengan jenis dan derajat yang berbeda
memerlukan kebutuhan dan perlakuan yang berbeda pula. Salah satu upaya yang
dilakukan oleh pemerintah untuk menangani masalah sosial pada penyandang
disabilitas itu sendiri adalah melalui rehabilitasi sosial, bantuan sosial, dan
pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial. Bagi penyandang disabilitas yang berada
dalam derajat ringan hingga sedang, pemerintah menyediakan program
rehabilitasi dan bantuan sosial, baik melalui panti ataupun berbasiskan
masyarakat. Sedangkan bagi penyandang disabilitas dengan derajat berat,
pemerintah memberikan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
Undang- Undang tersebut sejalan dengan apa yang tertuang dalam Konvensi
Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRDP) Pasal 28 mengenai standar kehidupan
dan perlindungan sosial yang layak bagi mereka sendiri dan keluarga, termasuk
sandang, pangan, dan papan.
2.2.5 Hak Memperoleh Pendidikan yang Berkualitas di Semua Jenis dan
Jenjang Pendidikan
Hak bagi penyandang disabilitas untuk memperoleh pendidikan yang
berkualitas di semua jenis dan jenjang pendidikan tertuang dalam Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 31, dimana dinyatakan bahwa setiap warga
negara Indonesia wajib menyelesaikan pendidikan dasar. Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 Pasal 5 terkait dengan sistem pendidikan nasional menyatakan
bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang berkualitas; dan bagi warga negara yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak untuk memperoleh
pendidikan khusus; serta bagi warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia telah menetapkan
Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2014 tentang pendidikan khusus dan
pembelajaran layanan khusus pada pendidikan tinggi, dengan warga negara
penyandang disabilitas untuk mengikuti pendidikan tinggi. Di dalam UU tersebut
dinyatakan bahwa anak dengan disabilitas berhak memperoleh akses pada
perguruan tinggi.
Namun demikian, pada faktanya akses untuk memperoleh pendidikan khusus
merupakan hal yang probelmatik karena jumlah sekolah khusus yang sangat
terbatas. Sekolah khusus itu sendiri hanya tersedia di kota- kota besar, sehingga
anak-anak berkebutuhan khusus yang tinggal di kota-kota kecil memperoleh akses
pendidikan yang sangat terbatas. Realita yang ada ini nampak bertolak belakang
dengan apa yang tertulis dalam Undang-Undang Nomor 20 Pasal 5 (3) Tahun
2003 tentang Pendidikan Nasional, dimana dinyatakan bahwa warga negara di
daerah terpencil atau terbelakang berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
Menurut Kementerian Pendidikan ( dalam Adioetomo, Mont & Irwanto,
2014), Indonesia tidak memiliki tenaga pengajar yang cukup untuk mengajarkan
program pendidikan khusus. Secara spesifik, di Indonesia terdapat 1.803 sekolah
khusus dari jenjang Taman Kanak-Kanak hingga SMP, dan sebesar 75% nya
merupakan sekolah swasta. Pada tahun 2009-2010, jumlah anak-anak dengan
kebutuhan khusus mencapai 17.217 siswa kebutuhan khusus yang sangat banyak
dan kurangnya jumlah tenaga pengajar menyebabkan Kementerian Pendidikan
mengeluarkan Surat Edaran No.6719/C/I untuk memberikan kesempatan bagi
anak-anak dengan disabilitas minor untuk bersekolah di sekolah regular, dan
No.380/G.06/MN untuk memberikan pendidikan inklusi (Adioetomo, Mont &
Irwanto, 2014). Beredarnya Surat Edaran tersebut diikuti dengan PP No. 10 Tahun
2010, untuk menyediakan pendidikan tanpa diskriminasi pada semua jenjang
pendidikan, termasuk diskriminasi terhadap disabilitas.
Secara lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 menyebutkan
bahwa semuajenjang pendidikan wajib memiliki kebijakan untuk bergabung tanpa
diskriminasi, namun pada nyatanya penyandang disabilitas yang melanjutkan
pendidikan hingga jenjang universitas sangat sedikit.
2.2.6 Hak Mmebangun Rumah Tangga Sendiri dan Reproduksi Sehat
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Bagian 3 Pasal 10 menyatakan
bahwa setiap orang berhak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Namun
demikian, pada faktanya masih banyak penyandang disabilitas yang kesulitan
untuk melangsungkan perkawinan karena tidak memiliki kelengkapan
administrasi kependudukan catatan sipil yang belum berjalan dengan baik. Realita
yang ada ini tentunya bertentangan dengan Undang-Undang yang ada di Indonesia
sendiri dan juga pelanggaran akan Hak-Hak Penyandang Disabilits (CRPD) Pasal
23 yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2011 mengenai penghormatan atas Hak Berumah Tangga dan Keluarga.

2.3 Kebijakan dan Program Pemerintah


Sejak adanya perubahan data disabilitas dari Indikator Kesehatan menjadi
indicator Kesejahteraan Sosial, persoalan disabilitas menjadi masalah sektor
sosial. Menurut UU No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan
Keputusan Menteri Sosial No.82/HUK/2005 tentang Tugas dan Tata Kerja
Departemen Sosial menyatakan bahwa focal point dalam penanganan
permasalahan penyandang disabilitas di Indonesia adalah Kementerian Sosial RI.
Tugas tersebut lebih diarahkan pada upaya pelayanan dan rehabilitasi sosial, yaitu
proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penyandang
disabilitas mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan
masyarakat. Selain itu, kementrian ini juga diberi mandat oleh UU No. 4 tahun
1997 tentang Penyandang Cacat untuk pemberian bantuan sosial dan
pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial. Sasaran utama programprogram
disabilitas di bawah Kementerian Sosial RI adalah penyandang disabilitas,
diikuti keluarga dan masyarakat sebagai sasaran pendukung.
Program tersebut adalah:
1. Rehabilitasi Sosial Berbasis Non-Institusi
a) UPSK (Unit Pelayanan Sosial Keliling)
Unit Pelayanan Sosial Keliling adalah sarana pelayanan bergerak yang
kegiatannya diarahkan untuk menjangkau lokasi penyandang disabilitas atau
Penyandang Masalah KesejahteraanSosial (PMKS) lain sampai ke tingkat desa
agar dapat memperoleh pelayanan kesejahteraan sosial sedini mungkin, sehingga
permasalahan dapat diatasi secara cepat. UPSK berada di 33 propinsi.
b) LBK (Loka Bina Karya)
Ditujukan agar penyandang disabilitas mendapatkan akses pelayanan dan
rehabilitasi sosial, dengan menitikberatkan pada bimbingan keterampilan.
Penerima manfaat dari LBK ini adalah penyandang disabilitas ringan Pada saat
otonomi daerah tercatat 321 LBK yang pengelolaannya diserahkan pada
pemerintah kabupaten/kota, Namun sekarang kondisinya tinggal 204 yang
masih berfungsi, 104 telah beralih fungsi, dan 13 sama sekali tidak berfungsi.
Sejak tahun 2008 Kementerian Sosial telah dilakukan rehabilitasi gedung dan
melengkapi kembali peralatan beberapa LBK .
2. Rehabilitasi Sosial Berbasis Institusi
Terdapat 19 Unit Pelaksana Teknis (UPT) berupa panti dan 2 Balai Besar yang
merupakan pusat / lembaga pelayanan dan rehabilitasi yang melayani
penyandang disabilitas netra, rungu wicara, tubuh dan eks penyakit kronis, mental
retardasi, mental eks psikotik yang langsung pengelolannya berada di bawah
Kementerian Sosial . Disamping itu juga terdapat 22 pusat /lembaga yang
dikelola pemerintah daerah dan 321 panti yang diselenggarakan oleh masyarakat.
3. Rehabilitasi Berbasis Keluarga/Masyarakat (RBM).
Ditujukan untuk memobilisasi masyarakat dalam memberikan bantuan dan
dukungan bagi penyandang disabilitas dan keluarganya dengan memanfaatkan
potensi sumber kesejahteraan sosial setempat. Program RBM digerakan oleh
kader dari masyarakat dalam suatu tim yang anggotanya terdiri dari berbagai
unsur terkait dan tokok masyarakat serta keluarga dan kelompok penyandang
disabilitas. Kegiatan utamanya melakukan deteksi dini terhadap kondisi disabilitas
dan pelaksanaan rujukan pada sumber potensial sesuai kebutuhan penyandang
disabilitas. Idealnya dengan adanya UPSK di suatu lokasi maka perlu adanya
RBM, namun masih perlu pembinaan lebih lanjut terhadap RBM.
4. Bantuan Sosial bagi Organisasi Sosial yang bergerak di bidang Disabilitas
Ditujukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan memperluas
jangkauan pelayanan dan rehabilitasi sosial penyandang disabilitas. Bantuan sosial
bagi organisasi Tahun 2009 bantuan sosial diberikan kepada 27 orsos yang terdiri
atas 25 organisasi penyandang disabilitas dan 2 panti yang menangani
penyandang disabilitas ganda. Bantuan terutama untuk kegiatan operasional
organisasi yang bersangkutan.
5. Bantuan Tanggap Darurat
Bantuan Tanggap Darurat ditujukan untuk penyandang disabilitas yang
mengalami keterlantaran, diskriminasi, eksploitasi, tindak kekerasan korban
bencana, maupun orang yang mengalami disabilitas sebagai akibat dari bencana.
Bantuan yang disalurkan tahun 2009 di Garut kepada 5 orang penyandang
disabilitasdisabilitas berbentuk alat bantu dan bantuan sosial masing-masing Rp.
1.000.000,- Demikian pula di Sumatera Barat, 50 orang yang mendapat alat bantu
dan 56 orang mendapat bantuan sosial. Lokasi lain yang mendapat bantuan
tanggap darurat adalah Depok, Sukabumi, dan Ciamis, Jawa Timur (Ngawi) dan
DKI Jakarta.Jenis disabilitas yang ditangani yaitu netra, mental eks psikotik,
tubuh, rahita, tunalaras, tunarungu wicara, dan penyakit kronis. Program dan
kegiatan pelayanan dan rehabilitasi sosial penyandang disabilitas tersebut
dilaksanakan melalui tiga sistem: i) Institutional-based yang mencakup program
reguler, multilayanan, dan multi target group melalui day care dan subsidi silang,
dan program khusus yang meliputi outreach (penjangkauan), Unit Pelayanan
Sosial Keliling (UPSK), dan bantuan ahli kepada organisasi sosial dan rehabilitasi
sosial berbasis masyarakat, ii) Non-institutional-based yang mencakup pelayanan
pendampingan dengan pendekatan family-based dan communitybased yang
menyelenggarakan Rehabilitasi Basis Masyarakat (RBM), iii) pelayanan sosial
lainnya mencakup Loka Bina Karya, PBK, Usaha Ekonomi Produktif/Kelompok
Usaha Bersama (UEP/KUBE).

2.4 Kasus- Kasus yang Berkaitan dengan Penyandang Disabilitas

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Disabilitas didefinisikan sebagai seseorang yang memiliki kemampuan
dalam menjalankan aktivitas berbeda bila dibandingkan dengan orang-orang
kebanyakan, serta belum tentu diartikan sebagai "cacat" atau disabled.
Terdapat banyak upaya yang dilakukan pemerintah untuk menghormati,
melindungi, dan memenuhi hak- hak penyandang disabilitas, makalah ini
memberikan kesan kuat bahwa pengamat dan aktivis masih tidak puas dengan
pencapaian yang ada.
Dari sisi kerangka hukum, khususnya substansi hukum, Indonesia
termasuk negara yang cukup progresif karena berbagai hal yang disyaratkan
di dalam UNCRPD sudah dipenuhi baik melalui perubahan UU maupun
peraturan yang sudah ada. Persoalannya adalah bahwa implementasi atau
budaya hukum tidak didukung dengan pengawasan dan investasi yang
memadai.
Dari berbagai banyaknya kasus mengenai penyandang disabilitas, baik
dalam bentuk diskriminasi, kekerasan maupun kasus - kasus yang lain
memberikan kita pandangan bahwa tidak seharusnya mereka diperlakukan
berbeda. Semua manusia memiliki hak yang sama tanpa terkecuali mereka
sebagai penyandang disabiliitas.
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Marjuki (t.t). Penyandang cacat berdasarkan klasifikasi ICF. Kepala Badan
Penelitian dan Pendidikan, Kemensos RI.
Geniofam.2010.Mengasuh & Mensukseskan Anak Berkebutuhan Khusus.
Cetakan Pertama.Garailmu:Jogjakarta
Astuti,Mulia.2015. Kebutuhan dan Aspirasi : Pemenuhan Hak - Hak
Penyandang Disabilitas. Cetakan Pertama. P3KS Pres : Jakarta Timur
Yayasa TIFA.2013.Membangun Mekanisme Perlindungan Hak Penyandang
Disabilitas di Indonesia. Laporan untuk Dewan Pimpinan Pusat
Himpunan Wanita Penyandang Disabilitas Indonesia. Jakarta: Yayasan
TIFA

PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN


Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on
the Right of Persons With Disabilities (Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang
Disabilitas)
Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan dan Gedung
Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

SUMBER INTERNET
Inpirasikecilku.blogspot.com
https://id.wikipedia.org/wiki/Difabel

Anda mungkin juga menyukai