Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dibangun secara
sosial dan kultural yang berkaitan dengan peran, perilaku, dan sifat yang dianggap layak
bagi laki-laki dan perempuan yang dapat dipertukarkan. Dan peran gender adalah apa yang
harus, pantas dan tidak pantas dilakukan laki-laki dan perempuan berdasarkan pada nilai,
budaya, dan norma masyarakat pada masa tertentu. Misalnya laki-laki bekerja untuk
mencari nafkah, pemimpin, direktur, presiden, sedangkan perempuan adalah menjadi ibu
rumah tangga (memasak, mencuci dan mengasuh anak), guru, perawat, sekretaris dan
sejenisnya. (Siti,Abdillah dkk, 2016)
Diskriminasi gender merupakan kondisi tidak adil akibat dari sistim dan struktur
sosial dimana baik perempuan maupun laki-laki menjadi korban dari sistem tersebut.
Berbagai pembedaan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki baik secara
langsung yang berupa perlakuan maupun sikap, dan yang tidak langsung berupa dampak
suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai
ketidak-adilan yang telah berakar dalam sejarah, adat, norma ataupun dalam berbagai
strukur yang ada dimasyarakat. Salah satu penyebab terjadinya diskriminasi tersebut
adalah masih kurangnya pemahaman dan kepekaan terhadap masalah masalah gender
khususnya oleh para pembuat keputusan, pengelola, perencana dan pelaksana program
serta masyarakat pada umumnya termasuk peran Media Masa yang pengaruhnya sangat
besar kepada khalayak / masyarakat luas dan penyebarannya sangat cepat.
Ketimpangan gender adalah perbedaan peran dan hak perempuan dan laki-laki
dimasyarakat yang menempatkan perempuan dalam status lebih rendah dari laki-laki
yang dapat menimbulkan perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan, termasuk
dalam lingkungan pekerjaan. Ada perlakuan dan hak khusus bagi perempuan yang
seharusnya diberikan bagi perempuan pekerja. Oleh karena itu, perjuangan dalam
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender perlu diawali dengan peningkatan

1
pemahaman dan kepekaan terhadap masalah-masalah gender baik yang terjadi pada
kehidupan berkeluarga, bermasyarakat maupun berbangsa dan bernegara.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian Dari Gender dan bagaimana analisis gender?
2. Bagaimana Ketimpangan Gender dalam pemenuhan hak perempuan pekerja ?
3. Apa pengertian kesehatan reproduksi?
4. Bagaimanakah hubungan kesehatan reproduksi dengan hak perempuan pekerja?

C. TUJUAN
1. Mengetahui Pengertian Dari Gender dan analisisnya
2. Mengetahui Pengertian Dari Ketimpangan Gender dalam pemenuhan hak
perempuan pekerja
3. Mengetahui pengertian dari kesehatan reproduksi
4. Mengetahui hubungan kesehatan reproduksi dengan hak perempuan pekerja

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Gender

Kata gender dalam istilah bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari bahasa inggris
yaitu “gender”. Jika merujuk pada kamus bahasa inggris tidak secara jelas di bedakan antara
sex dan gender. Sering kali gender dipersamakan dengan seks (jenis kelamin; laki-laki dan
perempuan). Istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk
memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial
budaya dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis. Dalam pendekatan
ilmu sosial orang yang juga sangat berjasa dalam mengembangkan istilah dan pengertian
gender adalah Aan Oakley (1972) yang mengartikan gender sebagai kontruksi sosial atau
atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia. Pada sumber
lain Oakley (1972) dalam sex, gender and society menuturkan bahwa gender berarti
perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan.

Gender tidak bersifat universal namun bervariasi dari masyarakat yang satu ke
masyarakat yang lain dari waktu ke waktu. Namun demikian, ada dua elemen gender yang
bersifat universal, yaitu: 1) Gender tidak identik dengan jenis kelamin 2) Gender merupakan
dasar dari pembagian kerja disemua masyarakat (Gallery, 1987). Sedangkan konsep gender
lainnya sebagaimana yang diungkapkan Mansour Fakih dalam bukunya analisis gender &
Tranformasi sosial adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan
yang dikontruksikan secara sosial maupun kultural.

Misalnya bahwa perempuan itu dikenal lemah-lembut, cantik, emosional atau


keibuan. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri dan sifat itu
merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah-

3
lembut, keibuan, sementara ada juga perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan
tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu maupun dari tempat ke tempat yang lain.

Misalnya perempuan di daerah Bali terlihat lebih perkasa dengan melaksanakan tugas
laki-laki seperti di daerah lain. Seperti membangun rumah, membetulkan genteng, dll. Sangat
berbeda denga kebiasaan perempuan di Indonesia pada umumnya, yakni bertugas
melaksanakan urusan dapur dan merawat anak saja. Semua hal yang dapat dipertukarkan
antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda
dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lainnya, itulah
yang dikenal dengan konsep gender.

B. Analisis Gender

Sebelum menguraikan tentang analisis gender dan pembangunan, maka sangat perlu
untuk dipahami pengertian analisis gender sebagai suatu proses menganalisis data informasi
secara sistematis tentang kondisi laki-laki dan perampuan untuk mengidentifikasi dan
mengungkapkan kedudukan, fungsi, peran dan tanggung jawab proses pembangunan, serta
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Tujuan dari pelaksanaan analisis gender:

 Upaya mengetahui latar belakang terjadinya kesenjangan gender


 Mengidentifikasi aspek kesenjangan gender (peran, akses, control dan manfaat yang
diperoleh)
 Merumuskan permasalahan sebagai akibat terjadinya kesenjangan gender
 Mengidentikasi langkah-langkah/tindakan intervensi yang dilakukan

4
Jika “jenis kelamin” adalah sesuatu yang dibawa sejak lahir, maka “gender” adalah
sesuatu yang dibentuk karena pemahaman yang tumbuh dan berkembang di dalam
masyarakat.

1. Teori dan Konsep Gender

Membahas pemasalahan gender berarti membahas permasalahan perempuan dan


juga laki-laki dalam kehidupan masyarakat. Dalam pembahasan mengenai gender,
termasuk kesetaraan dan keadilan gender dikenal adanya 2 aliran atau teori nurture dan
teori nature.Namun demikian dapat pula di kembangkan satu konsep teori yang diilhami
dari dua konsep tersebut yang merupakan kompromistis atau keseimbangan yang disebut
teori equilibrium.

2. Teori Nurture

Menurut teori nurture adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah hasil
kontruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan
itu membuat perempuan cenderung tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya
dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kontruksi sosial
menempatkan perempuan dan laki-laki dalam perbedaan kelas. Laki-laki diidentikan
dengan kelas borjuis, dan perempuan sebagai kelas proletar.

5
3. Teori Nature

Menurut teori nature adanya perbedaan laki-laki dan perempuan adalah kodrat,
sehingga harus diterima. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi dan implikasi
bahwa diantara kedua jenis kelamin tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Ada
peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada yang tidak bisa karena memang
berbeda secara kodrat alamiahnya. Dalam proses perkembangannya, disadari bahwa ada
beberapa kelemahan konsep nurture yang dirasa tidak menciptakan kedamaian dan
keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga maupun bermasyarakat, yaitu terjadi
ketidak-adilan gender, maka beralih ke teori nature. Agregat ketidak-adilan gender dalam
berbagai kehidupan lebih banyak dialami oleh perempuan, namun ketidak-adilan gender
ini berdampak pula terhadap laki-laki.

4. Teori Equilibrium

Disamping kedua aliran tersebut terdapat kompromistis yang dikenal dengan


konsep keseimbangan (equilibrium) yang menekankan pada konsep kemitraan dan
keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dengan laki-laki, pandangan ini tidak
mempertentangkan antara kaum perempuan dan lakilaki, karena keduanya harus bekerja
sama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa
dan Negara. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, maka dalam setiap kebijakan dan
strategi pembangunan agar diperhitungkan kepentingan dan peran perempuan dan laki-
laki secara seimbang. Hubungan diantara kedua elemen tersebut bukan saling
bertentangan tetapi hubungan komplementer guna saling melengkapi satu sama lain. R.H
Tanwey menyebutkan bahwa keragaman peran apakah karena faktor biologis, etnis,
aspirasi, minat, pilihan, atau budaya pada hakikatnya adalah realita kehidupan manusia
dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang perlu dikelola secara arif dan
bijaksana.

Perilaku manusia/individu dipengaruhi oleh kontruksi biologis, sosial, dan agama.


Dalam upaya mengubah perilaku seseorang terhadap pemahaman gender, ada beberapa
istilah mengenai konsep perubahan perilaku gender yaitu:

6
a. Buta Gender (gender blind), yaitu kondisi/keadaan seseorang yang tidak memahami
tentang pengertian/ konsep gender karena ada perbedaan kepentingan lakilaki dan
perempuan.
b. Sadar Gender (gender awareness), yaitu kondisi/ keadaan seseorang yang sudah
menyadari kesamaan hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki.
c. Peka/Sensitive Gender (gender sensitive), yaitu kemampuan dan kepekaan seseorang
dalam melihat dan menilai hasil pembangunan dan aspek kehidupan lainnya dari
persektif gender (disesuaikan kepentingan yang berbeda antara laki-laki dan
perempuan).
d. Mawas Gender (gender perspective), yaitu kemampuan seseorang memandang suatu
keadaan berdasarkan perspektif gender.
e. Peduli/Responsif Gender (gender concern/ responsive), merupakan keadaan dimana
kebijakan/program/ kegiatan atau kondisi yang sudah dilakukan dengan
memperhitungkan kepentingan kedua jenis kelamin.
C. Ketimpangan Gender

Gender differences (perbedaan gender) sebenarnnya bukan suatu masalah sepanjang tidak
menimbulkan gender inequalities (ketidakadilan gender). Namun yang menjadi masalah
adalah ternyata Gender differences ini telah menimbulkan berbagai ketidakadilan, baik bagi
kaum laki-laki dan utamanya terhadap kaum perempuan. Dengan demikian agar dapat
memahami perbedaan gender yang menyebabkan ketidakadilan maka dapat dilihat dari
berbagai manifesttasinya, yaitu sebagai berikut:

a. Marginalisasi
Marginalisasi disebabkan antara lain disebabkan oleh penggusuran maupun eksploitasi
yang disebabkan oleh gender differences (perbedaan gender). Perbedaan gender ini
sebagai akibat dari berbagai jenis dan bentuk, tempat dan waktu, serta mekanisme dari
proses marginalisasi kaum perempuan.
b. Subordinasi
Subordinasi timbul sebagai akibat adanya pandangan gender terhadap kaum perempuan.
Sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting umumnya muncul
dari adanya anggapan bahwa perempuan itu emosional atau irasional sehingga

7
perempuan tidak bisa tampil sebagai pemimpin merupakan bentuk dari subordinasi yang
dimaksud.
c. Stereotipe
Pelabelan dan penandaan/stigma negatif terhadap kelompok atau jenis kelamin tertentu,
secara umum dinamakan stereotip. Stereotipe ini memang suatu hal yang wajar. Namun
berakibat pada menomor duakan pendidikan bagi kaum perempuan.
d. Violence
Violence (kekerasan) merupakan assault (invasi) atau serangan terhadap fisik maupun
integritas mental psikologis seseorang yang dilakukan terhadap jenis kelamin tertentu,
umumnya pada perempuan sebagai akibat dari perbedaan gender. Bentuk dari kekerasan
ini seperti pemerkosaan dan pemukulan, hingga pada bentuk yang lebih halus lagi seperti
sexual harrassement (pelecehan) dan menciptakan ketergantungan.
e. Beban kerja
Peran gender perempuan dalam anggapan masyarakat luas adalah mengelola rumah
tangga sehingga banyak perempuan yang menanggung beban kerja domestik lebih
banyak dan lebih lama jika dibanding dengan kaum laki-laki.

D. Kesehatan Reproduksi
1. Pengertian kesehatan reproduksi
Kesehatan reproduksi ialah keadaan dimana terdapat kesejahteraan yang menyeluruh
baik fisik, mental maupun sosial berkaitan dengan sistem, fungsi dan proses
reproduksi. Pengertian sehat bukan hanya bebas dari penyakit atau bebas dari
kecacatan, tetapi juga sehat secara mental serta sosial budaya. Dalam hal ini
perempuan mempunyai hak mendapatkan kesehatan baik secara fisik, mental maupun
sosial, bukan hanya bebas dari rasa sakit secara fisik, tetapi juga bebas dari tekanan,
paksaan dan diskriminasi.
Tujuan umum program kesehatan reproduksi WHO adalah untuk memperkuat
kapasitas negara untuk memungkinkan masyarakat untuk meningkatkan dan
memproteksi kesehatannya dan pasangannya berkaitan dengan seksualitas dan
reproduksi, dan mendapatkan akses dan menerima pelayanan kesehatan berkualitas
saat memerlukan. (Khanna J (ed), 1997)

8
Kebijakan pemerintah sekarang ini, konsep keluarga didasarkan pada konsep keluarga
inti. Keluarga inti artinya adalah hubungan keluarga yang terdiri dari seorang bapak /
suami, ibu / istri dan anak. Konsep keluarga inti memiliki prinsip monogamy. Konsep
ini secara resmi misalnya dipakai dalam program kesehatan keluarga yang
diselenggarakan oleh pemerintah seperti program keluarga berencana. Program ini
tidak mengenal konsep keluarga lebih dari satu istri. Kebijakan Negara menjadi suatu
ukuran intervensi Negara dalam kehidupan masyarakat. Intervensi ini sebenarnya
dimaksudkan untuk memberikan perlindungan yang menjadi salah satu peran Negara.
2. Hak-hak reproduksi
Hak kesehatan reproduksi adalah perkembangan dari konsep hak asasi manusia. Hal
senada juga dikatatan oleh prof. Agnes Widanti yang menyatakan bahwa hak
reproduksi merupakan hak Asasi perempuan. Konsep Hak Asasi Manusia (HAM)
menjamin hak wanita atas kedaulatan mental dan fisiknya, untuk bebas dari
diskriminasi serta memperoleh tingkat kesehatan yang baik.
Hak reproduksi perorangan dapat diartikan bahwa setiap orang baik laki – laki
maupun perempuan (tanpa membedakan perbedaan kelas, sosial, suku, umur, agama
dll) mempunyai hak yang sama untuk memutuskan secara bebas dan
bertanggungjawab (kepada diri, keluarga dan masyarakat) mengenai jumlah anak,
jarak antar anak serta untuk menentukan waktu kelahiran anak dan dimana akan
melahirkan.
Hak atas kesehatan reproduksi juga dijamin dalam Pasal 49 ayat (2) dan (3) Undang-
undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asazi Manusia (HAM) yang
menyebutkan bahwa:
” (2) Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam
pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam
keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi
Wanita”.
“(3) Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi
reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.”
Menurut ICPD hak-hak reproduksi adalah:
 Hak mendapat informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi.

9
 Hak mendapat pelayanan dan perlindungan kespro.
 Hak kebebasan berfikir tentang pelayanan kespro.
 Hak dilindungi dari kematian karena kehamilan.
 Hak untuk menentukan jumlah dan jarak kehamilan.
 Hak atas kebebasan dan keamanan yang berkaitan dengan kehidupan
reproduksinya.
 Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk
perlindungan dari pelecehan, perkosaan, kekerasan, dan penyiksaan seksual.
 Hak mendapatkan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan yang berkaitan
dengan kespro.
 Hak atas pelayanan dan kehidupan reproduksinya.
 Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga.
 Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan
berkeluarga dan kehidupan reproduksi.
 Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang
berkaitan dengan kesehatan reproduksi.

Sebagai pekerja perempuan, ada hak-hak khusus yang kita miliki dan hak tersebut diatur
dalam Undang-Undang dan aturan ketenagakerjaan yang terkait. Hak pekerja perempuan
meliputi:

a. Istirahat Haid
1. Menurut UU No. 13/2003 pasal 81 ayat (1) yang menyebutkan bahwa :

“Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan


memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan
kedua pada waktu haid.”

2. Menurut UU No. 13/2003 pasal 84 yang menyebutkan bahwa :

“Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat haid berhak


mendapat upah penuh.”

3. Menurut UU No. 13/2003 pasal 93 ayat (2) huruf b yang menyebutkan bahwa :

10
“Pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh perempuan yang
menjalankan istirahat haid”

4. Menurut UU No. 13/ 2003 pasal 186 ayat (1) dan (2) jo. UU No. 11 tahun 2020
yang menyatakan bahwa :

“Merupakan tindak pidana pelanggaran, pengusaha yang tidak


membayar upah pekerja/buruh perempuan yang sedang menjalankan istirahat
haid, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,-
dan paling banyak Rp. 400.000.000,-  “ 

b. Istirahat melahirkan

1. Menurut UU No. 13/2003 pasal 82 ayat (1) yang menyatakan bahwa :

“Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu


setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan
sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.”

2. Menurut UU No. 13/2003 pasal 84 yang menyatakan bahwa :

“Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat melahirkan berhak


mendapat upah penuh.”

3. Menurut UU No. 13/ 2003 pasal 185 ayat (1) dan (2) jo. UU No. 11 tahun 2020
yang menyatakan bahwa :

“Merupakan tindak pidana pelanggaran, pengusaha yang tidak memberikan hak


istirahat sebelum dan sesudah melahirkan kepada pekerja/buruh perempuan,
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4
(empat) tahun dan/atau  denda  paling   sedikit Rp. 100.000.000,- dan paling
banyak Rp. 400.000.000,-“

4. Menurut UU No. 13/2003 pasal 93 ayat (2) huruf c yang menyatakan bahwa :

“Pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh perempuan yang menjalankan


hak istirahat sebelum dan sesudah melahirkan”

5. Menurut UU No. 13/ 2003 pasal 186 ayat (1) dan (2) jo. UU No. 11 tahun 2020
yang menyatakan bahwa :

“Merupakan tindak pidana pelanggaran, pengusaha yang tidak membayar upah,


dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4
(empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,- dan paling banyak
Rp. 400.000.000,-  “

11
c. Istirahat gugur kandungan

1. Menurut UU 13 Tahun 2003 pasal 82 ayat (2) yang menyatakan bahwa :

“Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak


memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat
keterangan dokter kandungan atau bidan.”

2. Menurut UU No. 13/2003 pasal 84 yang menyatakan bahwa :

“Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat gugur kandungan


berhak mendapat upah penuh.”

3. Menurut UU No. 13/ 2003 pasal 185 ayat (1) dan (2) jo. UU No. 11 tahun 2020
yang menyatakan bahwa :

“Merupakan tindak pidana pelanggaran, pengusaha yang tidak memberikan hak


keguguran kandungan kepada pekerja/buruh perempuan, dikenakan sanksi pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau  
denda  paling   sedikit Rp. 100.000.000,- dan paling banyak Rp. 400.000.000,-“

4. Menurut UU No. 13/2003 pasal 93 ayat (2) huruf c yang menyatakan bahwa :

“Pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh perempuan yang menjalankan


hak istirahat keguguran kandungan.”

5. Menurut UU No. 13/ 2003 pasal 186 ayat (1) dan (2) jo. UU No. 11 tahun 2020
yang menyatakan bahwa :

“Merupakan tindak pidana pelanggaran, pengusaha yang tidak membayar upah,


dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4
(empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,- dan paling banyak
Rp. 400.000.000,-  “

d. Kesempatan Menyusui

1. Menurut UU No. 13/2003 pasal 83 yang menyatakan bahwa :

“Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan


sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu
kerja.”

2. Menurut UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 pada pasal 200 memberi ancaman
pidana bagi pihak-pihak yang menghalangi pemberian ASI yang menyatakan
bahwa :

12
“Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu ibu
eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah)  “

3. Menurut Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu
Eksklusif pasal 2 yang menyatakan bahwa :

“Menjamin pemenuhan hak mendapat ASI Eksklusif sejak lahir sampai usia 6
bulan.”

Peraturan Bersama 3 Menteri yakni: Menteri Pemberdayaan Perempuan,


Menteri Ketenagakerjaan, dan Menteri Kesehatan No. 48/Men.PP/XII/2008,
PER.27/MEN/XII/2008, dan No. 1177/Menkes/PB/XII/2008 tentang Peningkatan
Pemberian ASI selama Waktu Kerja di Tempat Kerja Pasal 3

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi bertanggung jawab :

1. Mendorong para pengusaha/serikat pekerja serikat buruh untuk mengatur prosedur


pemberian ASI dalam Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama dengan
merujuk pada UU Ketenagakerjaan di Indonesia.
2. Mengkoordinasikan sosialisasi pemberian ASI di tempat kerja.

e. Fasilitas Ruang Menyusui

1. Menurut Pasal 128 ayat (3) UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
menyebutkan:

“Penyediaan fasilitas khusus pemberian air susu ibu diadakan di tempat kerja dan
tempat sarana umum.”

2. Menurut Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu
Eksklusif, pada pasal 30 ayat (1), (2), dan (3) menegaskan dukungan tempat kerja
untuk mendukung program ASI Eksklusif di tempat kerja diatur melalui perjanjian
kerja, yakni dengan menyediakan fasilitas khusus untuk menyusui dan atau
memerah ASI.

3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 15 tahun 2013 tentang Tata
Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah Air Susu Ibu, pada
pasal 9 ayat (2) menyebutkan prasyarat ruang menyusui, yakni harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:

 Tersedianya ruangan khusus dengan ukuran minimal 3x4 m2 dan/atau


disesuaikan dengan jumlah pekerja perempuan yang sedang menyusui.
 Ada pintu yang dapat dikunci, yang mudah dibuka/ditutup.

13
 Lantai keramik/semen/karpet.
 Memiliki ventilasi dan sirkulasi udara yang cukup.
 Bebas potensi bahaya di tempat kerja termasuk bebas polusi.
 Lingkungan cukup tenang jauh dari kebisingan.
 Penerangan dalam ruangan cukup dan tidak menyilaukan.
 Kelembaban berkisar antara 30-50%, maksimum 60%.
 dan tersedia wastafel dengan air mengalir untuk cuci tangan dan mencuci
peralatan.

f. Larangan Mempekerjakan Pekerja Perempuan Hamil pada Kondisi Berbahaya

1. Menurut UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 76 ayat (2)


menyebutkan bahwa :

“Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang


menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan
kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan
pukul 07.00.”

2. Menurut Pasal 187 ayat (1) dan (2) jo UU No. 11 tahun 2020 menyebutkan
bahwa :

“Merupakan tindak pidana pelanggaran, pengusaha yang mempekerjakan pekerja


perempuan hamil bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00, dikenai
sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua
belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

3. Menurut Pasal 49 ayat (2) Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia

“Perempuan berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan


pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan
dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi perempuan.”

4. Konvensi ILO 183 tentang Perlindungan Maternitas (Maternity


Protection) menegaskan perlindungan bagi buruh perempuan hamil dan janin yang
dikandungnya dari kondisi kerja yang tidak aman (berbahaya) dan tidak sehat.
Sayangnya Konvensi ini belum diratifikasi oleh Pemerintah. Melalui rekomendasi
dari Konvensi ILO 183 yakni Rekomendasi 191 tahun 2000, merekomendasikan
Negara harus mengambil tindakan untuk memastikan adanya penilaian atas segala
resiko di tempat kerja yang terkait dengan kesehatan dan keselamatan reproduksi
buruh perempuan. Terhadap risiko-risiko tersebut perlu disediakan alternatif antara
lain pindah ke bagian lain, tanpa kehilangan upah, secara khusus dalam hal:
 Pekerjaan sulit yang melibatkan upaya untuk mengangkat, membawa,
mendorong, atau menarik beban secara manual.

14
 Pekerjaan yang terekspos bahan biologis, kimiawi, atau yang mengandung
bahaya kesehatan reproduktif.
 Pekerjaan yang membutuhkan keseimbangan khusus.
 Pekerjaan yang melibatkan ketegangan fisik akibat duduk atau berdiri
terlalu lama, atau akibat suhu atau getaran yang terlalu ekstrim.
 Perempuan hamil atau yang sedang dirawat tidak boleh diharuskan untuk
kerja malam jika surat keterangan medis menyatakan bahwa pekerjaan
tersebut tidak sesuai dengan kehamilan atau perawatannya.

g. Larangan PHK karena Hamil, Melahirkan, Gugur kandungan, atau Menyusui

1. Menurut Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 153


ayat (1) huruf e dan ayat (2)  jo. UU No. 11 tahun 2020 menyebutkan bahwa :

“Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan


pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui
bayinya”

2. Pemutusan hubungan kerja yang  dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali
pekerja/buruh yang bersangkutan. 

h. Ketentuan Mempekerjakan Pekerja Perempuan di Malam Hari

1. Menurut Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 76 ayat


(1), (3) dan (4) Menyebutkan bahwa “

(1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun
dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.

(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00


sampai dengan pukul 07.00 wajib:

1. memberikan makanan dan minuman bergizi;dan


2. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.

(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh


perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan
pukul 05.00.

Peraturan pelaksana dari ketentuan ayat (3) dan (4) seperti diatas diatur lebih
lanjut oleh Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 224 Tahun
2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh
Perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 

15
2. Menurut Pasal 187 ayat (1) dan (2) jo UU No. 11 tahun 2020 Menyebutkan bahwa:

“ Merupakan tindak pidana pelanggaran, pengusaha yang melanggar ketentuan


mempekerjakan pekerja perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul
07.00, dikenai sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling
lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) “

i. Larangan Diskriminasi

1. Menurut UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 5  menyebutkan


bahwa :

“Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk
memperoleh pekerjaan”

2. Menurut Pasal 6 menyebutkan bahwa :

“Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi


dari pengusaha.”

3. Menurut Pasal 190 ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo. UU
No. 11 tahun 2020 menyebutkan bahwa :

Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya mengenakan


sanksi administratif atas pelanggaran larangan diskriminasi dalam pekerjaan.

4. Menurut UU No. 80 tahun 1957 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 100 tahun
1951 tentang Pengupahan yang Sama Bagi Buruh Laki-laki dan Perempuan untuk
Pekerjaan yang Sama Nilainya
5. Menurut UU No. 21 tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 111 tahun
1957 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan,  menyebut istilah
"pekerjaan" dan "jabatan" dalam konvensi ini meliputi juga kesempatan mengikuti
pelatihan keterampilan, memperoleh pekerjaan dan jabatan tertentu, dan syarat-
syarat serta kondisi kerja yang sama untuk buruh perempuan dan laki-laki.
6. Menurut Pasal 11 UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan  

Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk


menghapus diskriminasi terhadap perempuan di lapangan pekerjaan guna
menjamin hak-hak yang sama atas dasar persamaan antara laki-laki dan
perempuan, khususnya: Hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja,
termasuk usaha perlindungan terhadap fungsi melanjutkan keturunan.

j. Perlindungan dari Kekerasan dan Pelecehan 

16
1. Menurut Pasal 86 ayat (1) huruf b dan c UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan

“Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas: moral


dan kesusilaan dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia
serta nilai-nilai agama.”

2. Menurut Pasal 76 ayat (3) huruf b UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

“Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00


sampai dengan pukul 07.00 wajib: menjaga kesusilaan dan keamanan selama di
tempat kerja.”

3. Menurut Pasal 5 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 224
Tahun 2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh
Perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 

Pengusaha wajib menjaga keamanan dan kesusilaan pekerja/buruh


perempuan dengan :

a. menyediakan petugas keamanan di tempat kerja;

b. menyediakan kamar mandi/wc yang layak dengan penerangan yang memadai


serta terpisah antara pekerja/buruh perempuan dan laki-laki.

4. Menurut Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.


SE.03/MEN/IV/2011 tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat
Kerja
5. Menurut Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No.
1 tahun 2020 tentang Penyediaan Rumah Perlindungan Pekerja   Perempuan (RP3)
di Tempat Kerja
6. RP3 adalah tempat, ruang, sarana, dan fasilitas yang disediakan untuk memberikan
perlindungan dan pemenuhan hak terhadap pekerja perempuan di tempat kerja
berupa: upaya pencegahan kekerasan terhadap pekerja/buruh perempuan,
penerimaan pengaduan dan tindak lanjut, dan pendampingan.
7. Menurut Konvensi ILO 190 tahun 2019 tentang Penghapusan Kekerasan dan
Pelecehan di Dunia Kerja melindungi terhadap segala bentuk kekerasan dan
pelecehan di dunia kerja serta menyediakan langkah-langkah khusus untuk
mengatasi kekerasan dan pelecehan berbasis gender. Konvensi ini belum
diratifikasi di Indonesia.

E. ISU-ISU GENDER

Isu gender adalah suatu kondisi yang menunjukkan kesenjangan perempuan dan laki-laki
atau ketimpangan gender. Kondisi ketimpangan ini diperoleh dengan membandingkan kondisi

17
yang dicita-citakan (kondisi normatif) dengan kondisi gender sebagaimana adanya (kondisi
subyektif). (KPPPA, 2012: xviii). Ketidaksetaraan gender masih menjadi isu besar meskipun
sudah mengalami perubahan yang signifikan dalam dekade terakhir. Ketidaksetaraan gender ini
ditandai dengan adanya ketimpangan relasi/kondisi (perbedaan, akses, partisipasi, kontrol,
manfaat pembangunan) bagi laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi oleh budaya dan
kebijakan. Relasi/kondisi laki-laki dan perempuan yang timpang ini biasa disebut sebagai Isu
Gender.

Ciri Isu Gender antara lain :

 Menyangkut relasi/kondisi laki – laki dan permpuan


 adanya ketimpangan kondisi (perbedaan akses, partisipasi, control dan manfaat)
 Adanya rasa ketidakadilan yang dialami laki – laki dan perempuan yang dapat berupa
marginalis, sub ordinasi, stereotype, beban kerja maupun kekerasan
 Adanya unsur pengaruh budaya dan kebijakan

Dalam upaya untuk mengintegrasikan gender dalam kebijakan-kebijakan publik, maka setiap
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) harus merumuskan isu strategis gender yang
menggambarkan situasi kesenjangan antara perempuan dan laki-laki, sebagai dasar bagi
perubahan yang diinginkan serta intervensi yang harus dilakukan untuk mendorong perubahan
tersebut.

Ciri Isu strategis gender antara lain:

 Ada ketidak adilan gender


 Mendesak untuk segera diselesaikan dalam konteks kewilayahan
 Berefek domino (kalua diselesaikan berdampak positif pada isu gender yang lain
 Berorientasi pada perubahan sistemik, yakni perubahan relasi / hubungan antara laki –
laki dan perempuan
 Ada pengaruh budaya dan kebijakan

18
Perumusan Isu Gender dan Isu Strategis Gender dapat dilakukan terhadap:

 Satu program atau kegiatan dalam urusan wajib dan urusan pilihan pemerintah daerah
 Diawali dengan identifikasi fakta dan fenomena kesenjangan gender
 Dilanjutkan dengan identifikasi factor penyebab kesenjangan gender
 Dilanjutkan dengan identifikasi factor pendukung terkait dengan urusan tersebut
 Dirumuskan dalam kalimat negatif

19
20
APAKAH HAK PEKERJA PEREMPUAN DALAM UU KETENAGAKERJAAN NO. 13
TAHUN 2003 MASIH BERLAKU PASKA OMNIBUS LAW UU CIPTA KERJA NO. 11
TAHUN 2020? 

Pasca terbitnya Omnibus Law UU Cipta Kerja No. 11 tahun 2020, banyak
kekhawatiran hak pekerja perempuan yang tercantum dalam UU No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan dihilangkan karena tidak tercantum di dalam UU Cipta Kerja.
Mengenai hal ini, mengacu pada pasal 80 dan 81 UU Ciptaker, menyatakan bahwa UU
Ketenagakerjaan masih berlaku sepanjang tidak diubah, dihapus, atau ditetapkan
pengaturan barunya oleh UU Cipta Kerja. Oleh karena sejumlah hak pekerja perempuan
dalam UU Ketenagakerjaan yang disebutkan di atas tidak diubah, dihapus, atau ditetapkan
pengaturan barunya oleh UU Cipta Kerja, maka masih berlaku hingga kini.  Namun
demikian untuk kepastian hukum penting bagi pengusaha dan pekerja/serikat pekerja
untuk memasukan klausul perlindungan maternitas ke dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, dan perjanjian kerja bersama.

21
Alat Analysis yang dapat dilakukan dengan integrasi gender melalui strategi
pengarusutamaan gender (PUG) maupun Affirmative Action. Pemerintah terus mendorong untuk
mewujudkan kesetaraan gender melalui berbagai program maupun mengeluarkan produk-produk
hukum dan melakukan ratifikasi terhadap produk hukum internasional. Salah satu program yang
terus didorong oleh pemerintah adalah Percepatan Pengarusutamaan Gender (PUG) melalui
Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender (PPRG). Di tingkat Global pemerintah
Indonesia juga sudah melakukan komitmen global untuk upaya mewujudkan kesetaraan gender
salah satunya dengan menghadiri Pertemuan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
untuk Perempuan IV di Beijing tahun 1995 yang dihadiri 189 negara. Konferensi tersebut
menyetujui pengaplikasian Strategi PUG di Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan. Di
tingkat Nasional telah dikeluarkan Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000 Tentang Keharusan
Melaksanakan PUG Di Perencanaan/Penganggaran Di Semua Sektor Pembangunan. Melalui
Inpres ini pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mematuhi kesepakatan internasional dalam
hal melaksanakan PUG. Salah satu upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender di bidang
ketenagakerjaan adalah dengan memberikan perlindungan khusus kepada pekerja perempuan
sesuai dengan kekhususan dan keistimewaan yang dimiliki oleh pekerja perempuan yang harus
dipahami oleh perusahaan seperti pemberian cuti hamil dan melahirkan sesuai dengan kodrat
perempuan. Selain memiliki kekhususan pekerja perempuan juga harus dilindungi dari perlakuan
diskriminasi dalam hubungan kerja, pemberian upah, tunjangan dan jaminan sosial, kesempatan
untuk mengembangkan diri melalui pelatihan serta mendapatkan kesempatan untuk promosi
jabatan (Aulya, 2017).

Perlindungan hukum tindakan diskriminasi terhadap pekerja perempuan sudah tercantum


dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 6 yang mengatur larangan
diskriminasi dalam aspek memperoleh pekerjaan dan jabatan antara pekerja laki-laki dan
perempuan. Produk hukum lainnya yang berkaitan dengan kesetaraan gender di bidang
ketenagakerjaan adalah Kepmenaker No. 224 tahun 2003 berkaitan yang mengatur Kewajiban
Pengusaha Yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan Antara Pukul 23.00 Sampai Dengan
Pukul 07.00, aturan yang harus dipatuhi antara lain pengusaha tidak boleh memperkerjakan
perempuan yang kurang dari 18 tahun di malam hari begitu juga bagi wanita hamil. Perlindungan
kesetaraan pemberian upah bagi pekerja diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan Pasal 2 ayat 2 diatur bahwa Setiap pekerja/buruh

22
berhak memperoleh perlakukan yang sama dalam penerapan sistem pengupahan tanpa
diskriminasi. Selanjutnya pada ayat 3 mengatur bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh
upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya. Perlindungan hukum bagi pekerja
perempuan berkaitan dengan jam kerja, cuti masa haid, cuti hamil dan melahirkan serta hak
menyusui anak pada waktu kerja telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003
Pasal 76 Ayat (1), (2),(3) dan (4). Pemberian keringanan bagi pekerja perempuan yang tercantum
dalam pasal dan ayat-ayat tersebut berdasarkan pertimbangan pentingnya peran perempuan
dalam menjalankan kodratnya bereproduksi (Ngajulu, 2016).

INTEGRASI GENDER MELALUI STRATEGI PENGARUSUTAMAAN GENDER MAUPUN


AFFIRMATIVE ACTION

Pengarusutamaan gender adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender


menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan
evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan. (KPPPA: 2012: xxi) Af!rmative
Action1 adalah pengembangan program khusus (pemberdayaan perempuan) dalam rangka
meningkatkan kesetaraan gender dalam bidang pekerjaan dan pembangunan. (KPPPA, UNFPA
dan BKKBN, 2004).

Integrasi gender dalam kebijakan, program ataupun kegiatan SKPD dapat dilakukan
melalui Pengarusutamaan Gender (PUG) dan atau af!mative action. Melalui PUG, maka gender
terintegrasi sebagai satu dimensi integral dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan,
pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan. Tujuan
pengarusutamaan gender adalah mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Kesetaraan gender
(gender equality) bermakna kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk
memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam berbagai kegiatan pembangunan dan kesamaan dalam menikmati hasil yang
dampaknya seimbang.

Keadilan gender (gender equity) bermakna perlakuan adil bagi perempuan dan laki-laki
dalam keseluruhan proses kebijakan pembangunan dengan mempertimbangkan perbedaan
pengalaman, kebutuhan, kesulitan, hambatan sebagai perempuan dan laki-laki. Dengan
demikian, kesetaraan gender bermakna bahwa laki-laki dan perempuan dapat berkembang
optimal tanpa terkendala oleh jenis kelaminnya. Sedangkan keadilan gender bermakna bahwa

23
laki-laki dan perempuan punya perbedaan kebutuhan dan karena itu kebutuhan tersebut harus
dipenuhi.

Afirmative action adalah pengembangan program khusus yang memihak terhadap satu
pihak (jenis kelamin) yang tertinggal dibandingkan pihak (jenis kelamin) lain untuk
meningkatkan kesetaraan gender. Apabila perempuan yang tertinggal, maka program yang
dikembangkan SKPD harus memihak perempuan dan apabila yang tertinggal adalah laki-laki
maka program yang dikembangkan SKPD harus memihak kepada laki-laki. Misalnya, di bidang
kesehatan reproduksi, akseptor KB laki-laki sangat kecil dan tidak lebih dari 3%, sementara itu
tidak setiap perempuan selalu cocok menjadi akseptor KB. Menanggapi hal tersebut, SKPD yang
menangani masalah KB perlu mengembangkan program KB khusus bagi laki-laki. Demikian
halnya apabila yang tertinggal adalah perempuan, maka perlu ada kebijakan/program/kegiatan
yang memihak kepada perempuan. Contohnya, karena representasi perempuan sebagai
pemimpin jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki, maka perlu dilakukan kegiatan pelatihan
kepemimpinan bagi perempuan. Dalam upaya percepatan pengarusutamaan gender, maka
pemerintah mengeluarkan surat edaran Nomor 270/M.PPN/11/2012,Nomor SE -33/MK.02/2012.
Nomor 050/4379A/SJ dan SE 46/MPP-PA/11/2012 tentang Strategi Nasional Percepatan
Pengarusutamaan Gender (PUG) melalui Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) .

24
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Untuk mewujudkan cita – cita demokrasi suatu negara harus mampu menegakkan
kesetaraan gender. Gender sendiri menurut Aan Oakley (1972) yang mengartikan gender
sebagai kontruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh
kebudayaan manusia. Sedangkan konsep gender lainnya yang diungkapkan Mansour Fakih
dalam bukunya analisis gender & Tranformasi sosial adalah suatu sifat yang melekat pada
kaum laki-laki maupun perempuan yang dikontruksikan secara sosial maupun kultural.

Kesetaraan dan keadilan gender dikenal adanya 2 aliran atau teori nurture dan teori
nature dan dapat pula di kembangkan satu konsep teori yang diilhami dari dua konsep
tersebut yang merupakan kompromistis atau keseimbangan yang disebut teori equilibrium.
Ketimpangan gender adalah perbedaan gender yang menyebabkan ketidakadilan maka dapat
dilihat dari berbagai manifesttasinya yaitu marginalisasi, subordinasi, stereotipe, violence,
dan beban kerja. Kesehatan reproduksi ialah keadaan dimana terdapat kesejahteraan yang
menyeluruh baik fisik, mental maupun sosial berkaitan dengan sistem, fungsi dan proses
reproduksi.

Pengertian sehat bukan hanya bebas dari penyakit atau bebas dari kecacatan, tetapi
juga sehat secara mental serta sosial budaya dan hak reproduksi perorangan dapat diartikan
bahwa setiap orang baik laki – laki maupun perempuan (tanpa membedakan perbedaan kelas,
sosial, suku, umur, agama dll) mempunyai hak yang sama untuk memutuskan secara bebas
dan bertanggungjawab (kepada diri, keluarga dan masyarakat) mengenai jumlah anak, jarak
antar anak serta untuk menentukan waktu kelahiran anak dan dimana akan melahirkan
sehingga sebagai pekerja perempuan, ada hak-hak khusus yang dimiliki dan hak
tersebut diatur dalam Undang-Undang dan aturan ketenagakerjaan.

25
Pemerintah telah mewujudkan kesetaraan gender melalui berbagai program maupun
mengeluarkan produk-produk hukum dan melakukan ratifikasi terhadap produk hukum
internasional. program yang didorong oleh pemerintah adalah Percepatan Pengarusutamaan
Gender (PUG) melalui Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender (PPRG),
upaya pemerintah untuk mewujudkan kesetaraan gender di bidang ketenagakerjaan adalah
dengan memberikan perlindungan khusus kepada pekerja perempuan sesuai dengan
kekhususan dan keistimewaan yang dimiliki oleh pekerja perempuan yang harus dipahami
oleh perusahaan seperti pemberian cuti hamil dan melahirkan sesuai dengan kodrat
perempuan semua telah diatur oleh perlindungan hukum.

Pengarusutamaan gender adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan


gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan,
pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan. (KPPPA:
2012: xxi) Af!rmative Action1 adalah pengembangan program khusus (pemberdayaan
perempuan) dalam rangka meningkatkan kesetaraan gender dalam bidang pekerjaan dan
pembangunan. (KPPPA, UNFPA dan BKKBN, 2004). Dengan adanya perlindungan hukum
terkait beban kerja dan hak – hak pekerja perempuan diharapkan kesetaraan gender dan
keadilan gender untuk perempuan dapat ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat.

26
B. SARAN

Perempuan selalu mendapatkan peluang untuk ketidaksetaraan gender, ketidakadilan


gender serta diskriminasi dalam hak – hak bekerja maka dengan adanya makalah ini
kelompok mempunyai saran yaitu untuk kekhususan pekerja perempuan juga harus
dilindungi dari perlakuan diskriminasi dalam hubungan kerja, pemberian upah, tunjangan
dan jaminan sosial, kesempatan untuk mengembangkan diri melalui pelatihan serta
mendapatkan kesempatan untuk promosi jabatan sehingga mendapatkan kesetaraan
gender.

27

Anda mungkin juga menyukai