Anda di halaman 1dari 16

GENDER DAN KETERLIBATAN KAUM PEREMPUAN DALAM SEJARAH

Makalah ini diajukan sebagai bahan diskusi mata kuliah : Sejarah Islam Indonesia III

Dosen Pengampu:

1. Dr. Suparman, M. Ag.


2. Dina Marliana, M. Ag.

Disusun oleh:

Kelompok 2

1. Ai Lusi Lestiani (1185010010)


2. Bagus Bayu Ananta (1185010020)
3. Diffa Syahzanan Fauzi (1185010029)
4. Dini Saadah (1185010031)
5. Elvina Mustika (1185010034)
6. Fadjar Siddiq Wirawan (1185010037)

PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur tidak henti-hentinya penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT berkat
anugerah-Nya sehingga kelompok ini dapat menyusun makalah yang berjudul “Gender Dan
Keterlibatan Kaum Perempuan Dalam Sejarah”.

Adapun maksud dan tujuan kami menyusun karya tulis ini untuk memenuhi tugas mata
kuliah Sejarah Islam Indonesia III. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada para Dosen
selaku pembimbing materi dalam pembuatan makalah ini, serta kepada semua pihak yang telah
mendukung dalam karya makalah ini.

Kepada seluruh pembaca yang bersedia memberikan kritik dan saran yang bersifat
membangun dalam rangka penyempurnaan makalah ini selanjutnya, kami buka tangan selebar-
lebarnya untuk apresiasi tersebut dengan hati yang terbuka dan ucapan terima kasih.

Bandung, November 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2
BAB I...............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................................4
A. Latar Belakang Masalah....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan...............................................................................................................4
BAB II.............................................................................................................................................5
PEMBAHASAN..............................................................................................................................5
1. Pengertian Gender................................................................................................................5
2. Kedudukan Kaum Perempuan dalam Sejarah......................................................................6
3. Tokoh-tokoh Perempuan Indonesia yang Berpengaruh dalam Sejarah................................7
BAB III..........................................................................................................................................15
PENUTUP.....................................................................................................................................15
Simpulan....................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................16

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Munculnya gerakan gender dan kaum perempuan di Indonesia pada abad ke XX
tidak terlepas dari pengaruh yang terjadi di suatu wilayah tertentu. contohnya di
Indonesia, keterlibatan kaum perempuan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia
tentunya memberikan pengaruh yang besar terhadap arah masa depan bangsa Indonesia
itu sendiri.

Lalu pengaruh ideologi yang berkembang di Indonesia juga mampu melahirkan


berbagai organisasi-organisasi yang mengidentitaskan kaum perempuan. dan juga karena
pengaruh dari banyaknya kaum terpelajar dinilai mampu berkontribusi besar dalam
perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Pada makalah ini akan menjelaskan bagaimana pola dan bentuk perjuangan yang
dilakukan khususnya oleh kaum perempuan dalam menentukan nasib bangsa nya menuju
kemerdekaan yang lepas dari pengaruh penjajah pada masa itu.

B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian dari Gender?
b. Bagaimana kedudukan perempuan dalam sejarah?
c. Siapa saja tokoh-tokoh perempuan Indonesia yang berpengaruh dalam sejarah?
d. Kontribusi apa saja yang diberikan terhadap suatu peristiwa sejarah?

C. Tujuan Penulisan
a. Dapat mengetahui apa pengertian dari Gender.
b. Dapat mengetahui bagaimana kedudukan perempuan dalam sejarah?
c. Dapat mengetahui siapa saja tokoh-tokoh perempuan Indonesia yang berpengaruh
dalam sejarah?
d. Dapat mengetahui kontribusi apa saja yang diberikan terhadap suatu peristiwa
sejarah

4
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris, gender yang berarti jenis kelamin. Dalam
Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara
laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Di dalam Women’s Studies
Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat
pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional
antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: an Intro-duction
mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan
(cultural expectations for women and men). H.T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan
gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan
pada kebudayaan dan ke-hidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki
dan perempuan.1

Mansour Faqih dalam bukunya Analisis Gender & Transformasi Sosial mengemukakan
konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang
dikonstruksi secara sosial maupun cultural. Misalnya bahwa perempuan itu dikenal lemah
lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan,
perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan.2

Berdasarkan definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa gender adalah peran antara
laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya. Suatu peran maupun
sifat dilekatkan kepada laki-laki karena berdasarkan kebiasaan atau kebudayaan biasanya
peran maupun sifat tersebut hanya dilakukan atau dimiliki oleh laki-laki dan begitu juga

1
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an, (Jakarta: Para-madina, 2001), hlm. 34.
2
Mansour Faqih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 7.

5
dengan perempuan. Suatu peran dilekatkan pada perempuan karena berdasarkan kebiasaan
atau kebudayaan yang akhirnya membentuk suatu kesimpulan bahwa peran atau sifat itu
hanya dilakukan oleh perempuan.3

2. Kedudukan Kaum Perempuan dalam Sejarah


Sejarah mencatat adanya peran wanita di bidang politik. Wanita Indonesia sudah
berperan dalam bidang politik jauh sebelum kolonialisme Barat. Nama-nama yang patut dicatat
diantaranya adalah Ratu Sima, Sanggramavijaya, Dharma Prasada Tunggadewi (tangan kanan
Erlangga) dan sederet lainnya yang merupakan namanama yang sangat dikenal di seluruh
Indonesia. Kesaksian tentang peranan wanita banyak dijumpai dalam periode awal kerajaan-
kerajaan Jawa. Salah satunya terdapat dalam kisah Wangsa Isyana dan keturunannya mendirikan
kerajaan Singasari dan kerajaan Majapahit. Ken Dedes seorang tokoh dalam kerajaan Singasari
merupakan salah satu contoh bagaimana seorang wanita menjadi dalang bagi peralihan
kekuasaan dari Tunggul Ametung ke Ken Arok.4

Di Indonesia, masalah gender muncul dalam bahasa emansipasi wanita yang


menggunakan ikon R.A. Kartini. Gerakan emansipasi wanita yang dilakukan R.A. Kartini, telah
merintis jalan yang terang untuk membawa kaum perempuan dan perhatian bangsa Indonesia ke
arah cita-cita nasional. Walaupun R.A. Kartini belum berhasil sesuai dengan yang diharapkan
namun Kartini tetap optimis bahwa cita-citanya akan dapat diteruskan oleh generasi berikutnya.
Kartini sadar bahwa untuk mencapai cita-citanya itu, masih cukup banyak rintangan dan
hambatan yang sulit untuk dihindarkan.5

Kalangan terpelajar bangsa Indonesia semakin terbukti melihat adanya perbedaan yang
sangat mendasar antara bangsa Eropa dan bangsa Indonesia, seperti dalam tingkatan stratifikasi
dan gaya hidup. Kondisi kalangan pribumi atau bangsa Indonesia itu sendiri yang masih
terbelakang, kuno serta kolotnya kehidupan tradisional yang dialami pada masa itu.

3
Viky Mazaya, Kesetaraan Gender Dalam Perspektif Sejarah Islam. Volume 9, Nomor 2, April 2014

4. Ufi Saraswati, Kuasa Perempuan dalam Sejarah Kuna, Jurnal Sejarah dan Budaya, Nomor 1. Juni 2016

5
Syahrul Amar, Perjuangan Gender dalam Kajian Sejarah Wanita Indonesia Pada abad 19, Jurnal Fajar Historia,
Volume 1 Nomor 2, Desember 2017, hal. 105-119

6
Hal ini membawa perubahan pandangan pada kalangan terpelajar, bahwa tradisi mulai
dipandang bukan lagi sebagai suatu yang wajar yang harus dijunjung tinggi, melainkan tradisi
adalah hambatan terhadap suatu kemajuan yang ingin dicapai. Pada masa itu tatanan adat dan
tradisi cukup kuat membelenggu kehidupan di segala bidang bangsa Indonesia. Kalangan
terpelajar yang dapat mengenyam pendidikan terbatas pada kaum laki-laki sementara kaum
perempuan belum seluruhnya dapat menikmati pendidikan. Kenyataan ini membuat dimensi
dominasi lakilaki atas perempuan hanya ditempatkan sebagai pendamping suami yang hanya
bertugas menyiapkan kebutuhan rumah tangganya.

3. Tokoh-tokoh Perempuan Indonesia yang Berpengaruh dalam Sejarah


a. R.A Kartini

Kartini lahir pada 21 April 1879 di Mayong sebuah kota kecil yang masuk
dalam wilayah Karisidenan Jepara dari pasangan Raden Mas (R.M.) Sosroningrat dan
Mas Ajeng Ngasirah. Kartini lahir dalam lingkungan keluarga priyayi dan bangsawan,
karena itu ia berhak menambahkan gelar Raden Ajeng (R.A.) di depan namanya.
Kartini dilahirkan dengan kondisi badan yang sehat, rambut hitam dan tebal,
sementara bentuk matanya bundar. Seperti halnya dengan bayi keluarga Jawa pada
umumnya, R.A Kartini selain diberi air susu ibu mendapat makanan tambahan nasi tim
atau pisang yang dihaluskan. Piring yang digunakan untuk tempat makan Kartini
terbuat dari tempurung kelapa yang digosok halus dan diberi ornamen-ornamen dari
perak 6

b. Dewi Sartika

Dewi sartika yang di panggil dengan panggilan uwi di lahirkan di bandung, 4


Desember 1884 dan Keluarga Priyayi Sunda, Ibunya bernama Nyi Raden Raja permas
dan ayahnya seorang Patih Bandung bernama Raden Somanegara. Julukan bagi raden
Dewi sartika atau juragan ageung. Dia adalah puteri kedua dari 5 saudara. Kakaknya
bernama R. Somamur, Sedangakan tiga adiknya yaitu R. Junus, R. Entis dan R. sari
Pamerat hal ini Menyebabkan Dewi Sartika tidak pernah merasa kesunyian, hari-harinya

6
R. Tjahjopurnomo, Sisi Lain Kartini, ( Jakarta: Penerbit Museum Kebangkitan Nasional Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2016) hlm. 5.

7
penuh dengan kesibukan dan permainan, di tunjang dengan kedudukan ayahnya di
pemerintahan Kabupaten Bandung.

Meskipun Demikian Dewi sartika tidak ingin mendapat perlakuan istimewa


dan memisahkan diri dari kehidupan rakyat jelata walaupun dia adalah anak seorang
Patih. Patih adalah jabatan pebantu Bupati yang melakukan segala sesuatu hanya atas
perintah dan petunjuk bupati. Seorang patih bertugas sebagai wakil bupati juga
menyampaikan perintah-perintah dan keputusannya kepada pejabat-pejabat yang lebih
rendah seperti kabupaten dan wedana.7

 GAGASAN PENDIDIKAN DAN PEMIKIRAN DEWI SARTIKA

Pada tanggal 16 Januari 1904 didirikan sekolah istri kemudian lebih itu dikenal
sebagai sekolah Keutamaan Istri di Bandung. Dengan mengambil tempat di Pendopo
kabupaten, tetapi selanjutnya pindah ke bangunan sekolah di jalan Ciguriang
kemudian dikenal dengan nama Jalan Keutamäan Istri. Sekolah ini dipimpin oleh
Dewi Sartika dan dibantu oleh dua orang guru perempuan. Sekolah anak perempuan
pertama di Indonesia ini segera mendapat sambutan masyarakat. Pada tahun 1913
jumlah siswanya mencapai 358 orang, dengan hanya 8,76% saja orang tuanya
memenuhi persyaratan pemerintah Hindia Belanda untuk diperbolehkan untuk
memasukkan anaknya kesekolah bertaraf HIS (Hollandseh Inlands School). Jumlah
yang lebih besar yaitu, 159 orang siswa berasal dari orang tua yang berlatar belakang
sosial- ekonomi rendah, yang oleh pemerintah digolongkan de menderen atau lower
middle class non-governmental.

Kriteria pemerintahan pada saat itu untuk orang tua yang memasukkan
anaknya ke HIS adalah: "[..] is de school in de eerste plaats voor adellijke meisjes"
atau " [..] because of theroccupation, birth, wealth, or education hold a prominent
position in Indonesia society". Temyata hanya enam orang anak pereimpuan saja yang

7
T. Bahagia Kesuma, Pembelajaran Sejarah Kabupaten bandung Raden Dewi Sartika, ( Bandung : Penerbit Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten bandung Bidang Sejarah dan Kepurbakalaan , 2014) hlm. 12-13

8
orang tuanya berkedudukau sebagai bupati atau pejabat tinggi lainnya dan lima orang
anak pejabat setingkat wedana saja yang masuk ke sekolah ini.8

Sambutan masyarakat terhadap dibukanya sekolah untuk anak-anak perempuan


ternyata besar. Walaupun pihak pemerintah Hindia Belanda sendiri sampat tahun 1913
masih belum berbuat apapun untuk kepentingan ini dan membiarkan pihak swasta
mengambil prakarsa. Para orang tua tidak terlalu memperdulikan sikap dari pihak yang
berkuasa ini, dan mengirimkan anak- anak perempuan mereka ke sekolah-sekolah
yang sebenamya diperuntukan bagi anak laki-laki. Sikap ini jelas bertentangan dengan
prasangka masyarakat umumnya yang menolak menyekolahkan anak-anak perempuan
bersama- sama dengan anak laki-laki. Bahkan apabila ada kesempatan, mereka juga
memasuki sekolah-sekolah eropa campuran atau sekolah anak perempuan Belanda.
Sampai tahun 1912 ada sejumlah 8.081 orang anak perempuan yang sekolah demikan,
sedangkan yang bersekolah di sekolah swasta ada 5,745 dan masih ada sejumlah 6.000
orang lagi yang bersekolah di sekolah desa .

Meningkatnya animo masyarakat untuk menyekolahkan anak-anak nurempuan


mereka disebabkan oleh berbagai motivasi, antara lain:

1. Membuka jalan bagi pendidikan yang terarah bagi anak-anak perempuan;


2. Mendidik hemat, menghormati aturan, dan ketertiban dalam diri anak dan keluarga
3. Lambat-laun mendidik anak perempuan untuk menentang perkawinan paksa,
perkawinan anak-anak atau pologami
4. Mendidik kebersihan dan hygiene dikalangan anak-anak perempuan;
5. Membuka kesempatan bekerja dan mempunyai peranan sendiri dalam masyarakat;
6. Laki-laki yang terpelajar mulai mencari pasangan yang terdidik pula.

Pada waktu Dewi Sartika diminta pendapatnya oleh komisi volksraad (1914) tentang
upaya-upaya memberdayakan perempuan, maka Dewi Sartika menggagas sebagai
berikut:

8
Wiriaatmadja, R. Dewi Sartika ( Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985) hlm.89

9
1. Belajar mengelola rumah tangga seperti menyapu, mengepel, mencuci, menjahit
dan memasak
2. Mempelajari adat istiadat sesuai dengan status sosial anak, kalau dari golongan
menak ia harus belajur bagaimana berperilaku terhadap yang lebih tinggi, terhadap
yang setara, dan terhadap yang lebih rendah. Apabila anak berasal dari golongan
Somah, maka pendidikannya disesuaikan;
3. Belajar seluk beluk di dapur;
4. Belajar merawat orang sakit;
5. Laki-laki yang terpelajar mulai mencari pasangan yang terdidik pula.9
 Pendidikan Sebagai Solusi Untuk Masalah Prostitusi Dan Perkawinan
Anak

Mengenai masalah-masalah sosial, Dewi Sartika mempunyai perhatian


terhadap persoalan yang menyangkut perempuan dengan pendidikan. Misalnya
mengenai prostitusi, Dewi Sartika menganggap bahwa mereka tersesat ke dalam
pelacuran karena tidak mempunyai pekerjaan. Tidak selamanya perkawinan itu
berjalan dengan mulus, apabila terjadi perceraian dan isteri tidak memliki
pengetahuan atau keterampilan apapun, sedangkan ia dan anak-anak harus
melanjtkan kehidupan, maka satu-satunya yang terbuka adalah dengan memasuki
dunia prostitusi. Pendidikan akan memberikan pemahaman tentang moral,
pendidikan akan membentuk pribadi yang mandiri yang memberikan kesadaran
diri.

c. Inggit Garnasih
Inggit Garnasih ( lahir di kamasan Banjaran Kamasan, Banjaran, Bandung, Jawa
Barat, 17 Februari 1888 – meninggal di Bandung, Jawa Barat 13 April 1984 pada umur
96 tahun)  adalah istri kedua Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia. Mereka
menikah pada 24 Maret 1923 di rumah orang tua Inggit di Jalan Javaveem, Bandung.
Pernikahan mereka dikukuhkan dengan Soerat Keterangan Kawin No. 1138 tertanggal 24
Maret 1923, bermaterai 15 sen, dan berbahasa Sunda. Sekalipun bercerai tahun 1942,
Inggit tetap menyimpan perasaan terhadap Soekarno, termasuk melayat saat Soekarno
9
Wiriaatmadja, R. Dewi Sartika ( Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985) hlm.93

10
meninggal. Kisah cinta Inggit-Soekarno ditulis menjadi sebuah roman yang
disusun Ramadhan KH yang dicetak ulang beberapa kali sampai sekarang Beliau
meninggal di Bandung pada 13 April 1984. Dua bulan sebelum beliau
meninggal, Fatmawati mengunjunginya atas bantuan Ali Sadikin.10

 Perjuangan Inggit Garnasih

Di balik seorang laki-laki yang hebat, terdapat wanita yang hebat pula'. kata
sebuah pepatah lama. Kejadian-kejadian penting dalam sejarah memperlihatkan peran
laki-laki yang begitu dominan, meskipun sesungguhnya membicarakan laki-laki tanpa
mengikut sertakan wanita merupakan suatu hal yang tidak adil atau berat sebelah.11

Mari kita memandang Inggit Garnasih bukan sekadar sebagai pendamping


Soekarno, lebih dari itu, Inggit adalah sosok yang membuat Sockarno hingga sedemikian
berpengaruhnya dalam sejarah Indonesia. Tidak beran kemudian saat sejarawan
Mumuh.12 menyebutkan peran Inggit dengan menggunakan pengandaian dalam lf Theory
sebagai berikut:

"Seandainya Bung Karno tidak pernah menikahi Inggit Garmasih, bisa jadi Bung
Karno pun bukan siapa-siapa. .. Bisa jadi, Bung Karno tidak bisa menamatkan kuliahnya
di THS Bandung, karena Inggit Garnasihlah yang selalu membangkitkan semangatnya
dengan dukungan moral dan material supaya Bung Karno bisa menamatkan studinya.
Bung Karno mungkin tidak kan berhasil mendirikan PNI tahun 1927, karena Inggitlah
yang memfasilitasi pertemuan demi pertemuan para mahasiswa di Bandung, yang
merelakan rumahnya jadi markas tempat menggodog beragam ide dan pemikiran tentang
indonesia masa depan; bukan hanya menyediakan rumah, tapi sekaligus menyediakan
makanan dan minumannya, karena Inggit berpendapat 'tidak mungkin mereka bisa
berpikir jika perutnya lapar. Bung Karno pun mungkin akan mengakhiri semangat

10
https://id.wikipedia.org/wiki/Inggit_Garnasih di akses pada 11 November 2020
11
Winarti, M, sejarah wanita di tingkat lokal, ( dalam Sejarah Lokal: penulisan dan perkembangan di Sekolah,
2004) hlm. 225
12
http://blogs.unpad.ac.id/mumuhmz/2009/01/14/inggit-garnasih diakses 11 November 2020

11
juangnya di balik terali besi penjara Banceuy dan Sukamiskin. Bung Karno akan mati di
Ende Flores karena serangan nyamuk malaria dan kesepian.13

 BENTUK PERJUANGAN
1. Rumah tangga

Kualitas seseorang di luar rumah tentu saja ditentukan oleh bagaimana keadaan di
dalam rumahnya. Selaku ibu rumah tangga, Inggit telah menjalankan tugasnya dengan
sangat baik. Tidak heran jika anggota keluarganya pun menjadi orang-orang yang
bermanfaat ketika berada di luar rumah.

Inggit tidak pemah sekali pun melupakan kewajibannya sebagai Seorang istri.
Sebagaimana ibu rumah tangga yang baik. Inggit selalu menyiapkan ini itu bagi suami
dan anak angkat mereka, mulai dari makanan, pakaian, dan segala bal demi kehidupan
yang layak bagi keluarganya. Inggit ncrupakan seorang perempuan dengan yang
menjalankan peran privatnya dengan sempurna.

2. Pendidikan

Inggit menempuh pendidikan di Madrasah Ibtidaiyyah atau setara dengan sekolah


Dasar al yang dipelajari Inggit berkisar tentang membaca, menulis, dan berhitung.
Emansipani Inggit justru lebih ditunjukkan melalui pendidikan lain yang bersifat informal
yang didapat Inggit. Hal itu seperti beberapa keterampilan dimiliki Inggit, seperti
menjahit, membuat jamu, dan membuat bedak. Bukan pendidikan tinggi yang saat itu
Inggit miliki untuk menopang emansipasinya, melainkan keterampilan yang didukung
oleh itikad dan motivasi yang kuat.

3. Ekonomi

Sejak masih bersama Sanusi, Inggit telah sadar betul bahwa perempuan jangan
melulu bergantung pada laki-laki. Inggit membiasakan diri melakukan usaha kecil-

13
Yeni Kurniawati, Pembelajaran Sejarah Kabupaten bandung Raden Dewi Sartika, ( Bandung : Penerbit Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten bandung Bidang Sejarah dan Kepurbakalaan , 2014) hlm. 42

12
kecilan guna menambah pemasukan keuangannya. Kesadaran bahwa perempuan harus
dapat mandiri inilah yang jarang ditemui pada masa itu. Namun, Inggit telah berhasil
melakukan tersebut. Bahkan ketika keadaan ekonomi keluarga pas-pasan ketika bersama
Soekarno, ialah yang banyak berperan dalam pembiayaan rumah tangga., Bayangkan jika
Inggit adalah tipe perempuan yang bergantung pada suami, tentu keadaan finansisal
rumah tangganya tidak akan lebih baik dan Soekarno pun belum tentu bisa menyelesaikan
studinya di THS. Ini adalah bentuk perjuangan nyata Inggit.

4. Politik

Inggit juga mengembangkan dirinya ketika bergabung menjadi anggota den


menjadi ketua bagian konsumsi bersama guru-guru sekolah Kautamaan istri yang
dibentuk oleh Dewi Sartika, pada kongres SI di Bandung. Hal ini adalah bentuk
sederhana dari cara Inggit berpartisipasi dalam perkembangan politik, Inggit memang
bukan terjun dalam substansi langsung, akan tetap seperti yang Inggit katakan bahwa
'tidak mungkin bisa berpikir jika tidak makan'. Acara ini dihadiri oleh peserta yang
jumlahnya banyak sekali. Maka bukan sebuah hal yang berlebihan untuk menghargai
bentuk sumbangsih seperti ini, sebesar apapun itu.

5. Psikologis

Ini merupakan hal yang sangat penting dari perjuangan Inggit Garnasih. Sebuah
hal yang tidak mudah dalam menghadapi kondisi keluarga dimana harus membiayai
suami yang masih bersekolah, menutupi biaya sehari-hari, serta menyiapkan beberapa
makanan untuk teman-teman Soekarno yang hampir setiap hari datang ke rumah untuk
mengadakan kajian. Mentalnya juga tentu tertekan ketika ia mendapati Soekarno harus
bolak-balik masuk penjara, mengantar berbagai pesan rahasia untuk Soekarno, hingga
ikut ke Ende dan Bangka ketika Sockarno dibuang oleh pemerintah kolonial. Di sini
dapat dilihat perjuangan Inggit yang benar-benar tegar menghadapi itu semua. Inggit
sadar bahwa Soekarno bersandar padanya, oleh karena itu Inggit pun harus kuat.14

14
Yeni Kurniawati, Pembelajaran Sejarah Kabupaten bandung Raden Dewi Sartika, ( Bandung : Penerbit Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten bandung Bidang Sejarah dan Kepurbakalaan , 2014) hlm 44

13
14
BAB III

PENUTUP

Simpulan
1. Gender adalah peran antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi
sosial budaya. Suatu peran maupun sifat dilekatkan kepada laki-laki karena
berdasarkan kebiasaan atau kebudayaan biasanya peran maupun sifat tersebut hanya
dilakukan atau dimiliki oleh laki-laki dan begitu juga dengan perempuan. Suatu peran
dilekatkan pada perempuan karena berdasarkan kebiasaan atau kebudayaan yang
akhirnya membentuk suatu kesimpulan bahwa peran atau sifat itu hanya dilakukan
oleh perempuan.
2. Sejarah mencatat adanya peran wanita di bidang politik. Wanita Indonesia sudah
berperan dalam bidang politik jauh sebelum kolonialisme Barat. Nama-nama yang
patut dicatat diantaranya adalah Ratu Sima, Sanggramavijaya, Dharma Prasada
Tunggadewi (tangan kanan Erlangga) dan sederet lainnya yang merupakan
namanama yang sangat dikenal di seluruh Indonesia. Kesaksian tentang peranan
wanita banyak dijumpai dalam periode awal kerajaan-kerajaan Jawa. Salah satunya
terdapat dalam kisah Wangsa Isyana dan keturunannya mendirikan kerajaan Singasari
dan kerajaan Majapahit.
3. Tokoh perempuan yang banyak terlibat dalam perjuangan Indonesia antara lain
adalah R.A Kartini, Dewi Sartika dan Inggit Garnasih dan masih banyak lagi yang
tidak dapat dijelaskan satu-persatu.
4. Mengenai kontribusi kaum gender, tentunya memberikan banyak pengaruh yang
besar dari pemikiran setiap individu tertentu yang berwujud dalam suatu gerakan
salah satunya adalah gerakan Emansipasi wanita dsb.

DAFTAR PUSTAKA
Amar, S. (2017). Perjuangan Gender dalam Kajian Sejarah Wanita Indonesia Pada Abad 19.
Jurnal Fajar Historia Vol.1 No.2.

Faqih, M. (2007). Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

Kesuma, T. B. (2014). Pembelajaran Sejarah Kabupaten Bandung Raden Dewi Sartika.


Bandung: Penerbit Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab.Bandung.

Kurniawati, Y. (2014). Pembelajaran Sejarah Kabupaten Bandung Raden Dewi Sartika.


Bandung: Penerbit Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab.Bandung.

Mazaya, V. (2014). Kesetaraan Gender Dalam Perspektif Al-Qur'an. Jurnal SAWWA Vol.9, No.2.

Saraswati, U. (2016). Kuasa Perempuan dalam Sejarah Kuna. Jurnal Sejarah dan Budaya No.1.

Tjahjopurnomo, R. (2016). Sisi Lain Kartini. Jakarta: Penerbit Museum Kebangkitan Nasional .

Umar, N. (2001). Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur'an. Jakarta: Penerbit


Paramadina.

Winarti. (2004). Sejarah Wanita Tingkat Lokal.

Wiriaatmaja. (1985). Raden Dewi Sartika. Jakarta: Penerbit Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

16

Anda mungkin juga menyukai