Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PRAKTIK PROFESI LAPANGAN

Laporan Praktik Profesi Lapangan

Diajukan untuk menyelesaikan tugas PPL

Pada Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam

Oleh:

Dhifa Praja Ramadhan

NIM 1185010027

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2020
SKRIPSI MINI

MANIFESTASI DARI PRASASTI BATU TULIS

Praktik Profesi Lapangan

Diajukan untuk menyelesaikan tugas PPL

Pada Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam

Oleh:
Dhifa Praja Ramadhan
NIM 1185010027

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT Pemilik seluruh alam semesta beserta isinya.
Lagi Maha Kuasa atas segala sesuatu dan telah menjadikan manusia sebaik-
baiknya ciptaan yang diberikan akal untuk berfikir. Rasa syukur ini, saya ucapkan
karena berkat rahmat dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan laporan
penelitian ini.

Sholawat serta alam semoga selalu tercurahkan kepada Nabiyullah


Muhammad SAW kepada keluarganya,para sahabatnya,dan kepada kita selaku
umatnya. Semoga limpahan rahmat yang diberikan Allah kepada beliau sampai
kepada kita semua.

Laporan ini saya buat untuk memenuhi tugas beserta laporan pada Praktek
Profesi Lapangan. Namun, saya sangat menyadari dalam pembuatan laporan ini
jauh dari kata sempurna dan masih banyak kekurangan baik isi, sumber, maupun
penulisan. Maka demikian kami mengharapkan adanya kritik serta saran yang
membangun dari pembaca tentunya agar kelak kesalahan-kesalahan yang terdapat
pada laporan ini tidak terulang kembali dalam pembuatan laporan yang
selanjutnya. Semoga laporan ini dapat bermanfaat dan dapat digunakan
sebagaimana mestinya.

I
Bogor, November 2020
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................3

DAFTAR ISI...............................................................................................4

BAB I...........................................................................................................4

PENDAHULUAN.......................................................................................4

1. Latar Belakang.............................................................................5

2. Perumusan Masalah.....................................................................5

3. Tujuan...........................................................................................6

4. Kajian pustaka..............................................................................6

5. Metode Penelitian.........................................................................7

A. Heuristik....................................................................................8

B. Kritik........................................................................................11

II
C. Interpretasi..............................................................................13

D. Historiografi............................................................................15

BAB II.......................................................................................................15

PEMBAHASAN.......................................................................................15

A. Hubungan Surawisesa Antara Prasasti Batutulis Dengan


Perasaan Kepiluan...............................................................................................15

B. Hubungan Dari Prasasti Batutulis Terhadap Perjuangan


Surawisesa Dalam Menjaga Kekuasaan Wilayah Kerajaan Dari Kekuatan
Politik Baru……………………………………………………………………..27

BAB III......................................................................................................31

KESIMPULAN.........................................................................................31

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................33

III
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Prasasti Batutulis adalah sebuah peninggalan kerajaan Pajajaran yang
dimana peninggalan tersebut meninggalkan pesan atau makna yang dikandung
dalam sebuah prasasti batutulis. Prasasti ini dibuat untuk memperingati wafatnya
Sri Baduga Maharaja1. Prasasti batutulis ini adalah contoh nyata bahwa kerajaan
sunda benar-benar ada. Benda bersejarah ini ditempatkan dalam sebuah ruangan
yang dimana terdapat lingga atas, prasasti batutulis, dan alas kaki prabu
siliwangi2.
Disebutkan dari hal yang lain juga batutulis ini bisa diartikan sebagai parit
pertahanan ibu kota Dayeuh Pakuan3. Mengapa bisa didefinisikan seperti itu?
Banyak makna yang terdapat dalam batutulis tersebut.
Prasasti batutulis mempuyai sesuatu hal yang menarik bagi minat penulis,
dikarenakan banyak sekali cerita sejarah dalam kandungan isi prasasti tersebut,
banyak hal unik, maupun makna dalam kajian teks prasati batutulis. Dalam
keunikannya prasasti ini mengandung kaya akan makna lain, yaitu mengandung
makna kesedihan yang terdapat pada Surawisesa yaitu Putra dari Sri Baduga
Maharaja, ini membuat saya tertarik untuk meneliti lebih jauh lagi dalam hal ini
juga lah saya akan melakukan penelitan, ini sebagai acuan dan menarik minat saya
karena terdapat hal unik didalamnya.
2. Perumusan Masalah
Berdasar pada latar belakang masalah yang saya sebutkan tadi dan yang
sudah diuraikan, maka penulis akan membahas masalah yang berhubungan

1
Fakultas Desain and Universitas Komputer Indonesia, ‘TULIS BOGOR’, 2010.
2
Historical Landscape Potency, Developing Historical Tourism, and Bogor City, ‘Studi
Potensi Lanskap Sejarah Untuk Pengembangan Wisata Sejarah Di Kota Bogor’, Jurnal Lanskap
Indonesia, 2.1 (2010), 7–14.
3
Dayeuh Sebagai, Konsep Perkotaan, and Tatar Sunda, ‘Merujuk Pada Pengertian Ibu
Kota . Sangat Disayangkan Jejak Peradaban Dayeuh Perkotaan Masyarakat Hindu Lainnya ?
Apakah Konsep Dayeuh Juga Didasarkan’, 1–10.

1
dengan prasasti batutulis, atau perasaan apa yang terkandung, makna apa lagi
yang ada di prasasti batutulis. Perumusan ini bisa dibilang mempunyai ruang
lingkup yang demikian sangat luas, sehingga tidak akan mungkin bisa membahas
kebagian terdalam, karena jangka waktunya bisa diperhitungkan bisa meluas dan
bisa pula menyempit kedalam suatu bagian terpenting pada prasasti batutulis
tersebut, karena itu saya selaku penulis akan membatasi pembahasan pada
masalah berikut:
A. Apa Hubungan Dari Surawisesa Antara Prasasti Batutulis Dengan
Perasaan Kepiluan?
B. Apa Hubungan Dari Prasasti Batutulis Terhadap Perjuangan
Surawisesa Dalam Menjaga Kekuasaan Wilayah Dari Kekuasaan
Politik Baru?
3. Tujuan
Berdasarkan pada rumusan masalah diatas, maka tujuannya diadakan
penelitian dan penulisan karya ini adalah sebagai berikut:
A. Untuk Mengetahui Hubungan Surawisesa Antara Prasasti Batutulis
Dengan Perasaan Kepiluan
B. Mengetahui Hubungan Dari Prasasti Batutulis Terhadap Perjuangan
Surawisesa Menjaga Kekuasaan Wilayah Dari Kekuasaan Politik Baru
4. Kajian pustaka
Prasasti adalah sebuah benda yang didalamnya mengandung sebuah pesan
atau dokumen, biasanya prasasti ini ditulis oleh raja-raja terdahulu untuk manusia
dimasa depan, diantara sumber-sumber manuskrip atau yang lainnya, sumber
benda seperti prasasti adalah sumber yang sangat amat penting, karena sumber
benda ini bisa menggambarkan kronologi di masa lampau. Prasasti adalah hal
yang sangat sekali menguntungkan bagi seorang peneliti, dikarenakan sebuah
penelitian butuh sumber otentik suatu benda yang akan dikaji dan akan dituliskan
disebuah penelitian. Pada umumnya prasasti adalah sebuah pernghargaan bagi
para raja dan bangsawan.
Dalam melihat isi kandungan ini penelitian Reiza D Dienaputra,
berpendapat bahwa pembuatan prasasti ini adalah sebagai peringatan jasa besar

2
ayahnya yang menaklukan banyak wilayah, dan jelas prasasti ini tidak memuat
pesan apapun atau tidak ada alasan jelas untuk menjadikan prasasti batutulis
sebagai tempat dimana prasasti tersebut dikeramatkan dan tidak bisa disakralkan4.
Andri Dwi Fajar Putrandi menyebutkan bahwa prasasti batutulis dengan
Situs Astana Gede Kawali mempunyai hubungan, disebutkan Situs Astana Gede
Kawali mempunyai sebuah peninggalan Kerajaan Galuh, dan memilik sebuah
komplek situs yang ada di Kabupaten Ciamis lainnya. Prasasti ini ada enam buah
yang menerangkan bahwa tempat tersebut adalah tempat pertapaan Prabu Wastu,
dan disinilah ada letak perbedaan penelitan dari Andri dengan Reiza D
Dienaputra, karena menurut Andri ada larangan untuk tidak merusak dan
mengganggu komplek Situs Astana Gede Kawali, dan jika keduanya tidak
dipatuhi maka akan menimbulkan kehancuran, itulah salah satu isi dari prasasti
batutulis dan prasasti yang terdapat di komplek Situs Astana Gede Kawali5.
Menurut saya sendiri tidak ada yang salah dalam menyikapi penelitian kedua
peneliti tersebut, alasanya adalah memang prasasti batutulis merupakan sebuah
tempat yang berharga bagi segelintir orang, tetapi bukan juga untuk tempat yang
disakralkan, akan tetapi menjadi suatu tempat yang harus dilindudungi,
selanjutnya makna dari tidak diganggu ialah tidak merusak sebuah benda bernilai
sejarah tersebut.
Beragamnya kajian peneliti teruntuk bagi prasasti batutulis memiliki
perbedaan dan juga mempunyai kesamaan konteks, kita bisa melihat diatas uraian
yang telah disebutkan dan dipaparkan. Perbedaan disetiap pandangan bukan
berarti musuh tetapi kita bisa menyebutnya kawan yang bisa selalu melengkapi,
menyatukan perbedaan pandangan, dan memperbanyak khazanah penelitan,
khususnya penelitan prasasti batutulis. Sehingga penelitian ini, penelitan yang
dilakukan oleh penulis bisa melengkapi aspek lainnya dari penelitian sesudahnya.
5. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis dibantu dengan sebuah metode penelitian
sejarah, menurut Dudung Abdurrahman tentang metode penelitian sejarah bisa
4
Reiza D Dienaputra, ‘Menyikapi Penggalian Situs Batutulis’, 2002, 126–34.
5
Andri Dwi Putriandi Fajar, ‘Pengembangan Fasilitas Kawasan Wisata Budaya Situs
Astana Gede Kawali Kabupaten Ciamis’, 2015, 1–7.

3
disebut dengan metode sejarah, metode yang bisa diartikan sebagai cara, jalan,
atau petunjuk pelaksanaan. Akan tetapi metode dengan metedeologi sejarah bisa
dibedakan menurutnya, perebedaannya terletak kepada “Science of Methods”,
yaitu ilmu yang menyebutkan jalan. Oleh karenanya metode sejarah dalam
pengertian yang umum adalah penyelidik dari suatu permasalahan dengan
pelaksanaan jalan pecahnya dari konteks sistem sejarah6. Menurut Wasino dan
Endah Sri Hartatik, metode penelitian sejarah pengertian singkat mengutip dari
Garaghan adalah sebagai suatu tatanan dari cara yang benar untuk mencapai
kebenaran dari sejarah tersebut. Dari hal tersebut ada 3 langkah untuk
membuktikan kebenaran sejarah tersebut yaitu, pencarian bahan sumber,
penilaian, dan penceritaan7.
Metode Penelitian yang bisa kita kenal ada empat langkah yaitu dalam
penguraian metode ini ada heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi8.
Metologi sejarah ini dalam buku perkuliahan S-1 UIN Sunan Ampel Surabaya,
penulis Lilik Zulaicha. Berpendapat bahwa metode sejarah adalah hal yang
penting, karena tahapan metode ini akan membahas tentang penelitian sumber,
kritik, sumber, sintesis sampai kepada penyajian hasil penelitian 9. Dalam tahapan
metode sejarah ini bisa disebutkan dari Heuristik, Kritik, Interpretasi, dan
Historiografi. Dalam uraian dibawah akan dijelaskan tentang pendalaman dari
penelitian yang penulis akan teliti, dimulai dari Heuristik, Kritik, Interpretasi, dan
Historiografi. Penjelasan detail tercantum pada halaman bagian bawah termasuk
pada metode penelitian sejarah.
A. Heuristik

Heuristik menurut Dudung Abdurrahman yaitu merupakan suatu teknik


yang dimana memerlukan seni dan bukan ilmu yang dibutuhkan. Oleh karenanya
heuristik tersebut tidak mempunya peraturan yang sangat umum. Berbicara

6
Abdurrahman Dudung, “Metode Penelitian Sejarah” (Jakarta: Logos Wacana Ilmu)
1999. Hlm. 43.
7
Wasino, ‘Metode Penelitian Sejarah Dari Riset Hingga Penulisan’, 2018, 153.
8
Wiwit Nurhayati Hidayat, Amung Ahmad Syahir, and Dina Marliana, ‘Perkembangan
Fatayat NU Kabupaten Subang Dalam Bidang Kaderisasi Periode 2015-2020’, Historia Madania:
Jurnal Ilmu Sejarah, 4.2 (2020), 335–54.
9
Lilik Zulaicha, ‘Metologi Sejarah’, 2014, 121.

4
heuristik, butuh suatu keterampilan dalam menemukan, menangani, memperinci
daftar pustaka, atau memasukan jenis dan merawat catatan-catatan10.

Sementara dari pandangan Mudjia Rahardjo dalam Studi Heuristik dalam


Penelitian Kualitatif, heuristik masuk kedalam untuk menemukan teori teori yang
dibutuhkan lalu menjabarkan pada pengetahuan manusia, khususnya proses
melihat kembali pada peristiwa yang telah dilalui untuk mendapatkan sebuah
pelajaran bagi diri sendiri dan melanjutkannya pada sebuah aksi untuk
mengurangi kekurangan antara harapan dan kenyataan11.

1. Observasi
Observasi adalah suatu kegiatan dimana, kegiatan tersebut adalah
tinjauan langsung yang bertujuan untuk membuktikan bahwa sumber yang
akan diteliti itu benar adanya dari sebuah peninggalan kerajaan sunda, dan
disini penulis pada tanggal 24 Oktober 2020 melakukan tinjauan langsung
pada sumber benda ini yaitu prasasti batutulis yang beralamatkan Jl.
Batutulis No. 54, RT. 02/RW. 02, Batutulis, Kec. Bogor Sel., Kota Bogor,
Jawa Barat 16133.
2. Studi Pustaka
Studi Pustaka dilakukan untuk melengkapi penelitian ini, atau data
sumber yang dikiranya masih kurang, hal tersebut untuk melengkapi
sumber penelitian ini, dengan menambahkan dari pengutipan beberapa
buku dan jurnal dari koleksi perpustakaan pribadi offline maupun online
(internet) berupa jurnal dan artikel yang bersangkut paut pada prasasti
batutulis.
Adapun sumber yang dijadikan sumber data primer dan sekunder adalah
sebagai berikut :
a) Sumber Primer
1) Sumber Tulisan

10
Abdurrahman Dudung, “Metode Penelitian Sejarah” (Jakarta: Logos Wacana Ilmu)
1999. Hlm. 55.
11
Mudjia Rahardjo, ‘Studi Heuristik Dalam Penelitian Kualitatif’, 2018, 2.

5
Sumber primer tersebut adalah sebuah jurnal dan buku laporan
bekas peninggalan zaman kolonial, yang dimana banyak dari laporan VOC
tentang penemuan pertama prasasti batutulis ini, yaitu sebagai berikut:
a) Rafles, Thomas Stamford, Thomas-s-Raffles-the-History-of-
Java-Vol-02. Pdf.
b) Groot, Hans, ‘Van Batavia Naar Weltevreden; Het Bataviaasch
Genootschap van Kunsten En Wetenschappan, 1778-1867’,
Van Batavia Naar Weltevreden; Het Bataviaasch Genootschap
van Kunsten En Wetenschappan, 1778-1867, 2009.
c) Buys, Marius, ‘Batavia Buitenzorg En De Preanger’, Journal
of Chemical Information and Modeling, 53 (2017), 1689–99.
Penulis mengucapkan permohonan maaf jika sumber hanya sedikit,
tetapi dengan sumber yang berkaitan masih ada berupa jurnal yang bisa
ditunjang dari penelitan tersebut. Penulis berhasil menemukan manuskrip
atau laporan-laporan dari kongsi ekspedisi pedagang VOC tetapi sangat
disayangkan, karena manuskrip dari web resmi kearsipan Indonesia hanya
menampilkan gambar arsip langsung tanpa adanya detail dari penulisan itu
dan itu sangat sangat tidak bisa penulis baca, karena penulisan yang
kurang jelas.
2) Sumber Benda
Selain sumber tertulis yang menjelaskan tentang laporan
keberadaan prasasti batutulis, salah satunya ada sumber benda bukti dari
penelitian ini bahwa benda atau peninggalan tersebut ada, yaitu prasasti
batutulis yang disampingnya berdiri lingga, dan ada sebuah tapak kaki
didepan prasasti batutulis.
b) Sumber Sekunder
Sedangkan untuk sumber sekunder sendiri, penulis mendapatkan
dari beberapa hasil penelitan yang sudah diteliti sebelumnya dari hasil
penelitian berupa jurnal, makalah, skripsi, dan google book. Menjadi
sumber penunjang bagi penelitian yang akan dituliskan. Berikut
diantaranya:

6
1) Potency, Historical Landscape, Developing Historical Tourism,
and Bogor City, ‘Studi Potensi Lanskap Sejarah Untuk
Pengembangan Wisata Sejarah di Kota Bogor’, Jurnal Lanskap
Indonesia, 2 (2010), 7–14.
2) Azmi, Syaiful, ‘Bubat: Sisi Gelap Hubungan Kerajaan
Majapahit Hindu Dengan Kerajan Sunda’, Ushuluna: Jurnal
Ilmu Ushuluddin, 3 (2020), 16–36.
3) Nastiti, Titi Surti, and Hasan Djafar, ‘Prasasti-Prasasti Dari
Masa Hindu Buddha (Abad Ke-12-16 Masehi) Di Kabupaten
Ciamis, Jawa Barat’, PURBAWIDYA: Jurnal Penelitian Dan
Pengembangan Arkeologi, 5 (2017), 101.
4) Djafar, Hasan, ‘PRASASTI BATUTULIS BOGOR’ (Amerta,
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 29 No.1
Juni 2011, 2011).
5) Dienaputra, Reiza D, ‘Menyikapi Penggalian Situs Batutulis’,
2002, 126–34.
6) Fajar, Andri Dwi Putriandi, ‘Pengembangan Fasilitas Kawasan
Wisata Budaya Situs Astana Gede Kawali Kabupaten Ciamis’,
2015, 1–7.
7) Wasino, ‘Metode Penelitian Sejarah Dari Riset Hingga
Penulisan’, 2018, 153.
8) Zulaicha, Lilik, ‘Metologi Sejarah’, 2014, 121.
9) Rahardjo, Mudjia, ‘Studi Heuristik Dalam Penelitian
Kualitatif’, 2018, 2.
10) Muslimin, ‘Akulturasi Agama Hindu Di Indonesia’, Al-AdYaN,
Vol.VII Ju (2012), 59.
11) Abdurrahman Dudung, “Metode Penelitian Sejarah” (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu) 1999. Hlm. 43.
12) Hidayat, Wiwit Nurhayati, Amung Ahmad Syahir, and Dina
Marliana, ‘Perkembangan Fatayat NU Kabupaten Subang

7
Dalam Bidang Kaderisasi Periode 2015-2020’, Historia
Madania: Jurnal Ilmu Sejarah, 4 (2020), 335–54.
B. Kritik
Menurut Dudung Abdurrahman pengecekan sumber adalah hal yang
sangat lazim untuk dilakukan bagi para penulis-penulis penelitian sejarah. Dalam
hal ini juga yang harus tahap uji adalah keabsahan sumber yang dilakukan melalui
kritik sumber ekstern, dan keabsahan tentang kesahihan sumber yang ditelusuri
melalui kritik intern12.
1) Kritik Intern
Kritik intern menurut Dudung Abdurrahman mempertanyakan
sebuah nilai bukti yang tekandung didalam sumber tersebut, bahwa
kesaksian dalam sejarah adalah faktor penentu dalam penelitian sejarah
tersebut13. Menurut Sinta Dewi kritik intern adalah menilai kredibilats
sumber dan mempersoalkan isi, kemampuan pembuat, tanggung jawab,
dan moral14.
a) Sumber Primer
1) Sumber Tulisan
a) Rafles, Thomas Stamford, Thomas-s-Raffles-the-History-of-Java-
Vol-02. Pdf.
b) Groot, Hans, ‘Van Batavia Naar Weltevreden; Het Bataviaasch
Genootschap van Kunsten En Wetenschappan, 1778-1867’, Van
Batavia Naar Weltevreden; Het Bataviaasch Genootschap van
Kunsten En Wetenschappan, 1778-1867, 2009.
c) Buys, Marius, ‘Batavia Buitenzorg En De Preanger’, Journal of
Chemical Information and Modeling, 53 (2017), 1689–99.
Dalam sumber tulisan ini, yang berkaitan dengan prasasti batutulis
yaitu laporan-laporan yang dimuat oleh Belanda dan Inggris yang dimana
penemuan prasasti batutulis merujuk pada apa yang dari sumber tulisan

12
Abdurrahman Dudung, “Metode Penelitian Sejarah” (Jakarta: Logos Wacana Ilmu)
1999. Hlm. 59.
13
Ibid., hlm. 61.
14
Sinta Dewi, ‘Peran New Zealan Dalam Pakta Anzus’, 2014.

8
tersaji. Lalu sumber tulisan ini sangat berkaitan pada apa yang akan
peneliti akan tulis. Sehingga menurut penulis sumber-sumber tersebut
layak dijadikan sumber primer dalam penelitian ini.
2. Kritik Ekstren
Kritik ekstren merupakan tahapan berkelanjutan dari tahapan
intern, maka pada tahapan ini menurut Dyah Kumalasari menilai apakah
sumber itu diperlukan? Bisa dikatakan kritik ekstren adalah keakuratan
sumber15. Menurut Dudung Abdurrahman pengujian asli tidaknya sumber,
harus menyeleksi bagian fisik dari sebuah sumber tersebut16.
a) Sumber Primer
1) Sumber Tulisan
a) Rafles, Thomas Stamford, Thomas-s-Raffles-the-History-of-Java-
Vol-02. Pdf.
b) Groot, Hans, ‘Van Batavia Naar Weltevreden; Het Bataviaasch
Genootschap van Kunsten En Wetenschappan, 1778-1867’, Van
Batavia Naar Weltevreden; Het Bataviaasch Genootschap van
Kunsten En Wetenschappan, 1778-1867, 2009.
c) Buys, Marius, ‘Batavia Buitenzorg En De Preanger’, Journal of
Chemical Information and Modeling, 53 (2017), 1689–99.
Sumber tulisan ini dalam kritik ekstren yaitu dapat dikatatakan
layak untuk penunjang penelitian ini, karena dari kritik sumber ekstren ini,
kertas kertas ini berbentuk digital berupa pdf ada yang berbahasa inggris,
dan belanda. Keadaan sumber ini cukup baik, karena sumber ini sudah
digitalisasi dalam bentuk pdf,dan beruntungnya masih bisa terbaca oleh
penulis sendiri.
C. Interpretasi
Interpretasi atau penafsiran sejarah seringkali disebut dengan analisis
sejarah. Analisis bisa dikatakan dengan penguraian, analisis sejarah ini bertujuan
untuk melakukan sebuah sintesis atau sejumlah fakta yang didapat dari sumber-
15
Dyah Kumalasari, ‘Penelitian Sejarah’.
16
Abdurrahman Dudung, “Metode Penelitian Sejarah” (Jakarta: Logos Wacana Ilmu)
1999. Hlm. 59.

9
sumber sejarah. Didalam proses interpretasi sejarah, seorang peneliti harus
berusaha mencapai pengertian faktor yang dimana terjadinya peristiwa sejarah
tersebut17. Interpretasi sendiri terbagi pada dua bagian, yaitu analisis dan sintesis.
1. Analisis
Analisis berarti menguraikan data yang terkait pada apa yang
didaptkan diatas sumber tulisan, dan benda harus dilakukan dalam bentuk
narasi. Sehingga dari apa yang didapatkan dari sumber tersebut sumber-
sumber akan dianalisis menjadi sebuah kebenaran.
2. Sintesis
Sintesis bertujuan untuk menguraikan sebuah fakta sejarah yang
telah didapatkan dari sebuah sumber sejarah. Oleh karenanya, penulis
memerlukan sebuah konsep untuk menjelaskan pembahasan dari penelitian
yang dilakukan oleh penulis sendiri. Misalnya penulis dalam point pertama
menjelaskan tentang sejarah surawisesa membuat prasasti batutulis dalam
kondisi kepiluan, dan yang kedua adalah hubungan antara kekuatan
poliktik baru di tanah sunda.
Dari dua pembahasan tersbut bisa diambil benang merahnya karena
disini ada satu kesatuan atau hubungan yang dimana pembahasan ini
sangat berkaitan ataupun sebaliknya. Sehingga demikian sejarah yang akan
dituliskan akan diungkap sehingga menjadi satu kesatuan.
Penelitian yang berjudul Manifestasi Prasasti Batutulis dalam
penelitian ini menggunakan sebuah teori The End of History and The Last
Man dimana teori ini dalam sorotannya peristiwa masih terjadi di ujung
akhir sejarah, mengungkap sebuah sejarah pembuatan prasasti batutulis ini
dibuat dalam keadaan Surawisesa yang pilu karena memiliki kekalahan
yang sangat drastis oleh kekuatan politik baru islam di tanah sunda. Maka
dalam hal ini penulis berpendapat bahwa penggunaan teori ini sangat
sesuai dengan objek penelitian yang penulis gunakan untuk menjawab
setiap perumusan masalah dari setiap masalah yang ada. Tidak dapat
17
Abdurrahman Dudung, “Metode Penelitian Sejarah” (Jakarta: Logos Wacana Ilmu)
1999. Hlm. 64.

10
dipungkiri, bahwa prasasti batutulis mempunyai makna mendalam dan
perasaan mendalam terhadap seorang anak kepada ayahnya, yang dimana
pembuatan prasasti ini adalah sebuah permohonan maaf dan sebagai
ungkapan kesedihan yang dimana seorang anak gagal sebagai anak yang
berbakti pada ayahnya, bagi penulis Surawisesa adalah tokoh yang dimana
seorang anak dengan berani mengakui kesalahan diri untuk ayahnya.
D. Historiografi
Historiografi adalah proses dalam metode sejarah, yang diuraikan dari
pemaparan, cara penulisan, dan pelaporan dari hasil penelitian sejarah yang
dilakukan oleh penulis penelitian seajrah itu sendiri. Berdasar pada apa penulisan
sejarah itu sendiri, itu bisa menilai apakah penelitian tersebut mencakup sebuah
prosedur dari apa yang dipergunakannya tepat atau tidak tepat, apakah sumber
menarik sebuah kesimpulan validitas, atau kenyataan yang memadai atau tidak18.
Penelitian yang berjudul tentang “Manifestasi dari Prasasti Batutulis”
tersusun pada beberapa bagian, diantaranya:
Halaman awal Cover, Kata pengantar.
BAB I Pendahuluan, memuat; Latar Belakang Masalah, Perumusan
Masalah, Tujuan Penelitian, Kajian Pustaka, dan Metode Penelitian.
BAB II Hubungan Surawisesa Antara Prasasti Batutulis Dengan Perasaan
Kepiluan. Penulis akan membahas tentang alasan Surawisesa membuat Prasasti
Batutulis ini, atau apa latar belakang dari pembuatan prasasti batutulis
BAB II Hubungan Dari Prasasti Batutulis Terhadap Perjuangan
Surawisesa Dalam Menjaga Kekuasaan Wilayah Kerajaan Dari Kekuatan Politik
Baru. Penulis akan membahas tentang apa yang terjadi di wilayah yang di pangku
oleh Surawisesa dan apa itu kekuasaan politik baru.

BAB III Penutup, yang berisikan sebuah Kesimpulan dari pernyataan


penelitian Prasasti Batutulis, Daftar Pustaka, dan Lampiran.

18
Abdurrahman Dudung, “Metode Penelitian Sejarah” (Jakarta: Logos Wacana Ilmu)
1999, hlm. 67.

11
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hubungan Surawisesa Antara Prasasti Batutulis Dengan Perasaan


Kepiluan

Wangna pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu diya wingaran prebu
guru dewataprana di wastu diya wingaran sri baduga maharaja ratu haji
di pakwan pajajaran seri sang ratu dewata pun ya nu nyusuk na pakwan
diva anak rahyang dewa niskala sa(ng) sida mokta dimguna tiga i(n) cu
rahyang niskala-niskala wastu ka(n) cana sa(ng) sida mokta ka
nusalarang ya siya ni nyiyan sakakala gugunungan ngabalay nyiyan
samida, nyiyan sa(ng)hyang talaga rena mahawijaya, ya siya, o o i saka,
panca pandawa e(m) ban bumi.

Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum Dinobatkan


dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia
dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri
Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan.
Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu
Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang.
Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan,
membuat undakan untuk hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena
Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka "Panca Pandawa Mengemban
Bumi"

Batutulis disebutkan juga pada sumber-sumber berbahasa Belanda seperti


Van Batavia Naar Weltevreden, dituliskan bahwa batutulis adalah hal terakhir
yang dilaporkan, berikut dengan naskah Nestcher tentang naskah kawi yang
dilihat di Preanger19 (Parahyangan). Disebutkan pula dalam The History of Java
19
Hans Groot, ‘Van Batavia Naar Weltevreden; Het Bataviaasch Genootschap van
Kunsten En Wetenschappan, 1778-1867’, Van Batavia Naar Weltevreden; Het Bataviaasch

12
“Ia kemudian menerima nama niang galarang, dan menetap di pakuan pajajaran,
tempat batutulis itu sekarang, dan yang merupakan pusat pemerintahan maha raja
prabu niang galarang”20.
Jika kita melihat dari arsip belanda yaitu Batavia Buitenzorg En De
Preanger, disebutkan dalam bab XII Een Paar Uitstapjes in den Omtrek Van
Buitenzorg, tertulis bahwa selain kita mengunjungi kebun raya alam dan rumah
sakit jiwa, kita juga harus melihat ada batu bertulis besar ditemukan oleh
kelompok barang antik dan ada disebelah kiri jalan21.
Dalam prasasti batutulis juga, bisa dikaitkan dengan suatu peristiwa yaitu
perang bubat yang dimana perang antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda,
tertulis bahwa kehendak Gajah Madha ini ditentang Raja Sunda dan Pengikutnya.
Mereka berkehendak bahwa pernikahan tersebut dilakukan dengan upacara
kebesaran, sebagaimana pernikahan putri dengan raja yang mempunyai derajat
yang sama. Tetapi kedua belah pihak kukuh akan pendiriannya, dan terjadilah
perang Bubat. Raja Sunda beserta Pengikutnya bisa dikalahkan dan Dyah Pitaloka
memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, dengan bunuh diri setelah ayahnya dan
pengiringnya terbunuh, keterangan ini bisa kita peroleh melalui prasasti
batutulis22.
Dalam kejayaan Kerajaan Sunda pada masa Sri Baduga Maharaja, hal ini
disebut juga pada prasasti Kebantenan. Tokoh ini bisa disebut dengan “yang kini
menjadi Susuhan di Pakwan Pajajaran”. Bisa dipastikan juga bahwa tokoh inilah
yang bisa disebut dengan Prabu Guru Dewataprana, Sri Baduga Maharaja Ratu
Haji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata pada Prasasti Batutulis.
Penelitian mengenai prasasti batutulis tercantum pada jurnal purbawidya,
yang menyebutkan bahwa ada dua prasasti yang dikeluarkan oleh Sri Baduga
Maharaja, prasasti batutulis dan prasasti haludayeuh. Bentuk aksara pada kedua

Genootschap van Kunsten En Wetenschappan, 1778-1867, 2009.


20
Thomas Stamford Rafles, Thomas-s-Raffles-the-History-of-Java-Vol-02.Pdf.
21
Marius Buys, ‘Batavia Buitenzorg En De Preanger’, Journal of Chemical Information
and Modeling, 53.9 (2017), 1689–99.
22
Syaiful Azmi, ‘Bubat: Sisi Gelap Hubungan Kerajaan Majapahit Hindu Dengan
Kerajan Sunda’, Ushuluna: Jurnal Ilmu Ushuluddin, 3.1 (2020), 16–36

13
prasasti tersebut sangat berbeda23. Penulisannya dari sunda kuno dan jawa kuno
yang disebutkan dari Hasan Djafar24. Prasasti ini sampai sekarang masih insitu,
angka tahun dari prasasti ini adalah dalam bentuk candrasangkala
“pancapandawa emban bumi” atau tahun 1455 Saka (1533 M)25.
Dalam sebuah jurnal penelitian dan pengembangan arkeologi disebutkan,
bahwa prasasati batutulis ini pertama kali ditemukan pada tanggal 25 Juni 1690
oleh ekspedisi sebuah pasukan VOC yang pasukan tersebut dipimpin oleh Kapten
Adolf Winker, Prasasti ini ditemukan di sebuah pedalaman di selatan Batavia, lalu
ada laporan susulan dari ekspedisi-ekspedisi VOC yang menyebutkan di
Buitenzorg ada sebuah prasasti batutulis dalam laporan dari Ram dan Coops,
Abraham van Riebeeck, Stier, dan Van Imhof 26. Sekarang yang kita kenal daerah
ini adalah daerah Bogor yang beralamatkan Jl. Batutulis No. 54, RT. 02/02,
Batutulis, Kec. Bogor Selatan., Kota Bogor, Jawa Barat 16133.
Jika kiranya kita membahas prasasti batutulis berarti kita juga akan
membicarakan sebuah kerajaan Hindu-Budha yang pernah eksis di sebuah
wilayah tatar sunda, prasasti ini berangka tahun 1455 saka, yaitu 1533 M. Ditulis
dalam keadaan bahasa huruf sunda kuno. Dibanding prasasti yang lainnya,
prasasti batutulis paling banyak menyebutkan raja disbanding prasasti yang lain,
disebutkan ada 3 raja yang tertulis dalam prasasti batutulis ini, yaitu Prabu Guru
Dewataprana, Rahiyang Dewa Niskala, dan Rahiyang Niskala Wastu Kancana.
Ketiga nama yang disebutkan, mempunya hubungan kekeluargaan dari kakek,
ayah, dan anak. Prasasti batutulis ini pembuatanya dari masa pemerintahan Sang
Prabu Surawisesa, yaitu anak kandung dari Sri Baduga Maharaja.
Pengkajian mengenai sebuah benda berharga, benda yang bisa
mengidentifikasi masa lalu, dan mengidentifikasi bahwa Kerajaan Sunda benar-
benar adanya yaitu Prasasti batutulis bekas peninggalan Kerajaan Sunda, dimana
batu ini berbentuk gunungan dengan adanya sebuah tulisan aksara tipe kuno dan
23
Titi Surti Nastiti and Hasan Djafar, ‘Prasasti-Prasasti Dari Masa Hindu Buddha (Abad
Ke-12-16 Masehi) Di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat’, PURBAWIDYA: Jurnal Penelitian Dan
Pengembangan Arkeologi, 5.2 (2017), 101
24
Hasan Djafar, ‘PRASASTI BATUTULIS BOGOR’ (Amerta, Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Arkeologi Vol. 29 No.1 Juni 2011, 2011).
25
Nastiti and Djafar.
26
Djafar.

14
berbahasa sunda kuno, prasasti ini bisa menggambarkan kondisi dimana kita tidak
tahu tetapi kita bisa berimajinasi melewati tulisan aksara yang ada dalam prasasti
tersebut.
Menurut jurnal Al-AdYan prasasti batutulis adalah wujud dari sebuah
akulturasi budaya yang dimana Bahasa adalah faktor penentu dari keberhasilan
akulturasi tersebut, wujud akulturasi dalam bidang bahasa yang kita bisa lihat
adalah dari penggunaan bahasa Sansekerta yang bisa diuraikan dari penemuan
prasasti batutulis, peninggalan kerajaan Hindu pada abad ke 5-7 M27.
Naskah Carita Prahyangan dalam pembicaraan Poerbatjaraka ini adalah
sebuah bagian-bagian yang diperkirakan dapat memperjelas dalam pengungkapan
tabir yang menyelimuti makna dari sebuah Prasasti Batutulis dan Pasundan Bubat
yang diberitakan dalam naskah Pararaton28.
Naskah KretaBhumi menuliskan bahwa yang mendirikan sebuah pusat
Kerajaan Pajajaran adalah Prabu Tarusbawa, bisa disesuaikan dengan tokoh
Sunda menurut cerita Parahyangan. Ia juga disebut dengan pendiri Keraton
Pakuan Pajajaran yang diberi nama Sri Punta Bima Narayana Madura Suradapati
yang didalam cerita Parhyangan disebutkan sebagai tempat bersemayam para Raja
Sanghyang Sri Ratu Dewata. Sedangkan Keraton Galuh dalam pendapat
Poespanegoro dikutip dari skripsi adalah Surawisesa29.
Dalam tulisan naskah KretaBhumi Dwitya Sarga bagian 43, disebutkan,

“Adalah Raja besar yang berkuasa (menguasai) Pakuan Pajajaran di


Bumi Jawa Barat disebut dengan nama Prabu Ratu Dewata Gelar Sri
Baduga Maharaja, berasal dari Galuh. Tatkala keratonnya disebut
Surwisesa namanya, di Parahyangan sebelah timur daerah wilayahnya.
Ketika masih kanak-kanak Prabu Siliwangi bernama Raden Pamanah
Rasa, mana rasa namanya yang lain, ia dipelihara dan dijadikan anak

27
Muslimin, ‘Akulturasi Agama Hindu Di Indonesia’, Al-AdYaN, Vol.VII Ju.No.2
(2012), 59.
28
Elis Suryani Nani Sumarlina, ‘Kamus Bahasa Dan Seni Budaya Sunda Buhun Abad 11
s.d. 20 Masehi’, 2018, 271–86.
29
Darkum, ‘Peranan Pangeran Walangsungsang Dalam Merintis Kesultanan Cirebon
1445-1529 M.’, 2007.

15
oleh uwaknya, juru labuhan (Sah Bandar), ialah Kyai Gheng Sindang
Kasih namanya”

Kerajaan Muara Beres menurut pemaparan dari RH Dadang adalah tempat


yang dimana pemimpinnya itu adalah pangeran, pangeran itu bernama
Surawisesa, dan menurut RH Dadang, Surawisesa memimpin Kerajaan Muara
Beres yang ada dalam naungan Kerajaan Pajajaran30.
Prasasti batutulis, adalah sebuah prasasti yang dimana prasasti ini dibuat
oleh Surawisesa yaitu anak dari Prabu Siliwangi, dalam pembuatannya, prasasti
ini adalah sebuah simbol penghargaan atau peringatan sebagai penghormatan 12
tahun meninggalnya Sri Baduga Maharaja.
Prasasti batutulis ini juga adalah dari tanda yang dimana akan berakhirnya
kerajaan sunda, keruntuhan Kerajaan Sunda Pajajaran, bisa ditandai dengan
Kerajaan-Kerajaan pengikut bekas Kerajaan yang dipimpin oleh Kerajaan Sunda.
Kerajaan Sunda diakui ada dibawah Sumedanglarang oleh Geusah Ulun, kecuali
Banten, Jayakarta, Galuh, dan Cirebon, anggapan ini menurut Nina Lubis dalam
jurnal Dewi Ratih.
Masukan pendapat banyak yang mengakui bahwa ketika runtuhnya
kerajaan pajajaran, kerajaan galuh masih kokoh. Kerajaan Galuh disaat itu dirajai
oleh Cipta Sanghiang putra Haur Kuning. Namun disaat Pakuan Pajajaran telah
diislamkan oleh Kesultanan Banten, kawali juga diislamkan oleh Cirebon. Islam
berkembang di tanah sunda berkat pedagang yang berdagang di jalur Malaka, dan
disaat Malaka jatuh oleh Kerajaan Portugis tahun 1512, maka dari saat itu
pedagang muslim yang biasa berdagang di Malaka berpindah kesebuah pelabuhan
yang dimana pelabuhan itu terdapat di sepanjang pantai utara Kerajaan Sunda.
Tetapi disaat itu Raja Sunda khawatir dikarenakan banyak pengaruh Muslim yang
semakin berkembang dan sangat cepat itu, yang kita tahu pada saat itu Kerajaan
Sunda menganut agama Hindu, Raja Sunda pun mulai menggerakan perintah,
bahwa para pedagang Islam dan Hindu harus membatasi jarak dan interaksinya,
akan tetapi usaha dari Raja Sunda tersebut tidak membuahkan hasil, karena susah

30
Ahmad Yanuana Samantho, ‘Pajajaran Dan Bogor’.

16
sekali atau sulit dilaksanakan, sulit dilaksanakan karena disanalah kegiatan
berekonomi. Pada saat yang bersamaan Kerajaan Sunda pun melakukan kerjasama
kepada Kerajaan Portugis, diawli pada tahun 1512 ketika Ratu Jayadewata
mengirimkan beberapa utusannya ke Malaka, pada 1 tahun berikutnya yaitu 1513
Portugis melakukan pergerakan yang dimana, pergerakan pertama melakukan
ekspedisi, ekspedisi ini bertujuan untuk menggali sebuah informasi tentang
peranan atau kegiatan di pelabuhan pesisir pantai utara Jawa.
Berita Portugis menagatakan, bahwa pada tahun antara 1512 dan 1521,
Ratu Samiam (Sanghyang) dari Kerajaan Sunda Pajajaran memimpin perutusan
keMalaka, Ratu Samiam ini yang dalam cerita parahyangan dikatakan
sebagaipangeran Surawisesa, adik tiri dari pangeran Cakra Buana. Pada saat
memimpin delegasi persahabatan tersebut, pangeran Surawisesa berkedudukan
sebagai putra mahkota dari kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran, yang akan
menggantikan ayahandanya Prabu Jaya Dewata31.
Dari sumber-sumber yang berasal dari Portugis, Surawisesa pernah diutus
oleh ayahanda (Sri Baduga) untuk menghubungi Alfonso de Alberquerque di
Malaka. Dua versi menyebutkan, satu versi Portugis menyebut Surawisesa adalah
“Ratu Sangiang”, dan dalam KretaBhumi disebut sebagai “Sang Kumara Ratu
Sanghyang ya ta sang Prabu Surawisesa”. Dalam perjalanannya, Surawisesa
mengunjungi Malaka dua kali, yang pertama untuk kunjungan penjajagan atau
kunjungan balasan dari pihak portugis dengan 4 buah kapal dalam tahun 1513
yang diikuti oleh Tome Pires. Portugis yang mengunjungi Pakuan Pajajaran dalam
pertengahan bulan Agustus 1522 untuk memenuhi undangan dari Surawisesa,
putera serta pengganti Sri Baduga mencatat bahwa penduduk Pakuan Pajajaran
pada saat itu berjumlah 50.000 orang dan itu belum termasuk pada penduduk
sekitar kota32.
Disaat Portugis telah melakukan ekspedisi dan menggali sebuah info, fakta
ditemukan bahwa jalur yang menghubungkan ibukota Kerajaan Sunda dengan
daerah kekuasaannya adalah jalur menuju Timur. Berawal dari Pakuan Pajajaran-

31
Darkum.
32
Samantho.

17
Cileungsi- Cibarusa- Desa Warunggede- Tanjungputra- Cikao- Purwakarta-
Karangsembung. Dari Karangsembung maka dilanjutkan menuju Cirebon-
Kuningan- Sindang- Kasih- Talaga. Perjalanan ini berakhir pada Kawali. Jalan
kearah barat berumula dari Pakuan- Pajajaran- Jasinga- Rangkas Bitung- Serang-
diakhiri di Banten33. Laporan Kerjasama antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan
Portugis ditulis dalam laporan berita yang dimana pertama kali oleh Antonio
Pigaretta tahun 1522, dalam laporannya menyebutkan Sunda Kalapa banyak
menghasilkan lada. Disusul oleh laporan berita Portugis yang berisi perjanjian
antara penguasa Pelabuhan Kalapa dan Enrique de leme, pada tanggal 21 Agustus
152234.
Dalam perjalanan politik antara kerjasama Portugis dengan Kerajaan
Sunda terealisasikan Ketika Henrique de Leme datang ke ibukota Kerajaan Sunda.
Ketika Henrique de Leme datang di Ibukota Sunda, Henrique de Leme disambut
hangat oleh Raja Sunda Ratu Samiam. Kunjungan itu menghasilkan sebuah
penjanjian politik bersama portugis yang ditandatangani tanggal 21 Agustus 1522.
Perjanjian itu ditandatangani oleh Ratu Samiam yang bisa disebut juga Prabu
Surawisesa dan Henrique de Leme. Pada saat penandatanganan sebuah perjanjian,
Prabu Surawisesa didampingi oleh tiga pembantu utama, yaitu Mantri Dalam
(Mandarai Tadam), Tumenggung Sang Adipati (Tamugo Sanque de Pate), dan
SyahBandar (Bengar Xanbandar). Sementara Henrique de Leme di dampingi oleh
Fernando de Almeida, Fransisco Anes, Manuel Mandes, Joao Coutinho, Gil
Barboza, Tome Pinto, Sebastian de Rego, dan Fransisco Diaz35.
Persekutuan Cirebon dan Demak sangat mencemaskan Sri Baduga di
Pakuan, maka dari itu Sri Baduga mengirim Surawisesa sebagai utusan Pajajaran
untuk menjalin kerjasama dengan Portugis, dan sebaliknya upaya Pajajaran itu
membuat cemas dan meresahkan Demak36.
Ahmad Yanuana Samantho berpendapat bahwa dua kunjungan Surawisesa
ke Malaka, yang pertama untuk penjajakan pihak Portugis pada tahun 1513 yang
33
Dewi Ratih, ‘KADIPATEN CIANCANG DALAM PERSPEKTIF LOKAL’, Jurnal
Artefak, History and Education, Vol. 4 No.1 April 2017, 4.2 (2017), 65–72.
34
Azmi.
35
Ratih.
36
Samantho.

18
diikuti oleh Tome Pires, kunjungan yang kedua adalah utusan Portugis yang
dipimpin oleh Hendrik de Leme yaitu adik ipar Alfonso ke ibukota Pakuan.
Dalam dua kunjungan itu disepakati sebuah kesepakatan antara Kerajaan
Pajajaran dan Kerajaan Portugis murni untuk perdangan dan keamanan. Perjanjian
ini dibuat tulisan dua rangkap, lalu masing-masing memilikinya, satu di Kerajaan
Pajajaran, dan yang kedua ada di Portugis. Soekanto berpendapat dalam tulisan
Ahmad Yanuana, bahwa perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 21 bulan
Agustus tahun 1522. Sementara Ten Dam dalam tulisan Ahmad Yanuana,
menganggap bahwa itu adalah perjanjian lisan. Namun, sumber portugis
menyebutkan lalu dikutip dari Hageman “Van deze overeenkomst werd een
geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield”. Terjemahannya
adalah "Sebuah dokumen perjanjian ini dibuat dalam duplikat, yang masing-
masing pihak menyimpannya satu sama lain"37.
Dalam perjanjian tersebut, mencakup sebuah isi yaitu sebagai berikut;
1. Portugis diizinkan membuat sebuah benteng disekitar Banten.
2. Raja Sunda mewajibkan memberi lada berapapun nilainya yang
dibutuhkan Kerajaan Portugis, sebagai penukaran kebutuhan
Kerajaan Sunda dibawa oleh Portugis.
3. Portugis mau membantu Kerajaan Sunda, akan tetapi jika Kerajaan
Sunda sedang diserang oleh Kerajaan Demak atau Kerajaan lain.
4. Sebagai tanda atau simbol hubungan politik antara Kerajaan Sunda
dan Kerajaan Portugis, Raja Sunda mewajibkan memberi sebuah
lada yang nilainya seribu karung lada atau lebih dari 350 kuintal,
setiap tahun kepada Portugis semenjak pembangunan benteng di
Banten dimulai.
Surawisesa dalam cerita Parahiyangan ia disebut dengan sebutan
“Kasuran” bisa disebut dengan perwira, “Kadiran” disebut dengan perkasa, dan
“Kuwanen” pemberani. Selama 14 tahun memerintah, Surawisesa telah
melakukan lima belas kali pertempuran dalam melawan pasukan Muslim. Sumber
yang berasal dari Portugis dan Negara KhertaBumi menceritakan bahwa

37
Samantho.

19
Surawisesa diutus untuk mengunjungi Malaka, yang dimana Malaka ada ditangan
Portugis dan saat itu ia harus menghubungi Alfonso de Albequerque, dan pergi ke
Malaka dua kali38.
Menurut penulis perjanjian yang dilakukan oleh Kerajaan Sunda dan
Kerajaan Portugis sangatlah tidak menguntungkan, tidak menguntungkan
dikarenakan banyak sekali keuntungan bagi Kerajaan Portugis, sedangkan
Kerajaan Sunda dirugikan, kita bisa melihat dikeseluruhan point, yang dimana
jika penulis urutkan dari point pertama ialah, apa maksud dari pembuatan benteng
di Banten? Yang kedua adalah mengapa mewajibkan lada sebagai alat
pembayaran untuk hasil dari Kerjasama, yang ketiga mengapa disaat baru
Kerajaan Sunda diserang, Portugis datang membantu? Yang keempat, lada dalam
jumlah seribu kantung adalah besar, dan itu sangat merugikan Kerajaan Sunda.
Menurut Herlina dalam jurnal Dewi Ratih, Portugis mendirikan sebuah
loji, loji menerut Bahasa Portugal adalah tempat tinggal atau kantor dan
mendirikan sebuah padrao sebelum meninggalkan Kerajaan Sunda.
Keberangkatan Portugis dari Kalapa merupakan sebuah faktor yang menentu
dalam pihak Islam, disebut menentu karena Kerajaan Sunda tidak dalam
pengawasan Portugis, dan itu menjadi momentum untuk penyerangan guna
memperluas wilayah Kerajaan Islam. Dalam cerita Parahyangan ditulis bahwa
dalam mempertahankan upaya wilayah Kerajaan Sunda, Surawisesa dengan
beraninya berperang melawan pasukan Islam. Disebutkan bahwa Surawisesa
berperang sebanyak lima belas kali dan dalam peperangan itu Surawisesa
memenangkan peperangan tersebut dalam lima belas kali. Surawisesa dalam
perangnya, berlokasi pada Kalapa, Tanjung, Ancol Kiji, Wahanten Girang,
Simpang, Gunung Batu, Saung Agung, Rumbut, Gunung Banjar, Padang,
Panggaokan, Muntur, Hanum, Pagerwesi, dan Medangkahyangan39.
Perjanjian yang dilakukan oleh Kerajaan Pajajaran dan Portugis sangat lah
mencemaskan dan membuat Trenggana, Sultan Demak III panik. Selat Malaka
pada saat itu adalah pintu masuk perairan Nusantara yang dimana saat itu sudah

38
Samantho.
39
Ratih.

20
dikuasai oleh Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Pasai. Jika memang
Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai
Portugis, maka jalur perdagangan yang berada di laut menjadi terancam putus,
karena disanalah perekonomian Demak terjadi. Maka dari itu Trenggana
mengutus Fataillah atau disebut dengan Fadillah Khan untuk mengirimkan
armada40.
Kerajaan Sunda telah dikhianati oleh Portugis, dikarenakan disaat
peperangan terjadi, Portugis tidak kunjung datang untuk memberi bantuan pada
Kerajaan Sunda. Pada akhirnya Surawisesa meninggalkan ibukota Pakuan
Pajajaran. Usaha keras Prabu Surawisesa dalam mempertahankan wilayahnya, tak
bisa bebrbuat banyak dan tidak bisa membendung serangan demi serangan dari
pasukan Islam, dan pada saat itu Surawisesa tidak bisa menahan pengaruh Islam
yang datang semakin besar. Banten dan Sunda Kalapa dikuasai Islam pada tahun
1526-1527. Setelah wafatnya Sri Baduga, Kerajaan Pajajaran dan Cirebon dalam
perkembangan yang sama atau sejajar, di Cirebon Syarif Hidayat yang berkuasa,
tetapi di kontrol oleh pangeran Cakrabuana yang bisa dikenal dengan Walangsung
atau bernama pula Haji Abdullah Iman. Cakrabuana masih memiliki darah yang
sama dengan Surawisesa yaitu kakak seayah dari Prabu Surawisesa. Dengan
demikian, Cirebon untuk mengambil alih pelabuhan.
Walaupun Pajajaran memandang Cirebon adalah kekuatan yang lemah,
akan tetapi ada sekutu Cirebon yang kuat yaitu Demak, dan itu membuat
kedudukan kedua Kerajaan ini semakin mantap. Akan tetapi pada serbuan
Pasuruan dan Panarukan yang mengakibatkan Sultan Trenggana terbunuh, lalu
disusul dengan perebutan kekuasaan di Demak, maka dari situlah Cirebon
mendapati kegoyahan kekuasaan. Perang Cirebon antara Pajajaran berlangung
dalam kurun waktu lima tahun. Dalam perangnya tidak ada yang berani memasuki
wilayah darat dan yang satunya lagi tidak berani memasuki wilayah laut41.
Cirebon dan sekutunya yaitu demak hanya berhasil menguasai pelabuhan-
pelabuhan. Dibagian timur Cirebon bergerak lebih maju ke arah selatan.

40
Samantho.
41
Samantho.

21
Pertempuran dengan Kerajaan Galuh, Cirebon agak kesusahan dalam melakukan
tempo peperangan, akan tetapi Cirebon terbantu oleh Demak, itu pun terbantu
dengan bantuan meriam-meriam dari Demak. Laskar Galuh pun tidak berdaya
menghadapi sebuah serangan meriam demak.
Persenjataan yang digunakan Pasukan Galuh masih tombak dan anak
panah, wajar saja kalah karena Galuh tidak bisa mengimbangi kekuatan, dan pada
saat itu Galuh pun jatuh. Dua tahun kemudian jatuh pula Kerajaan Talaga,
benteng yang dimiliki oleh Galuh. Sementara Sumedang masuk ke dalam sebuah
lingkaran pengaruh dari Cirebon dengan dinobatkannya Pangeran Santri menjadi
Bupati Sumedang pada tanggal 21 Oktober 1530.
Pada tahun 1531 tercipta perdamaian antara Kerajaan Cirebon dengan
Kerajaan Pakuan Pajajaran, dikarenakan Cirebon dalam gerakannya ke Pakuan
selalu bisa dibendung oleh Surawisesa. Masing-masing pihak antara Cirebon dan
Kerajaan Pajajaran berdiri sebagai negara yang merdeka. Pihak Cirebon juga ikut
dalam menandatangani perjanjian, dalam hal penandatanganan, dilakukan oleh
Putera Mahkota Cirebon yaitu Pangeran Pasarena, Fadillah Khan, dan Hasanudin
yaitu Bupati Banten. Perjanjian damai antara kedua pihak, dimanfaatkan sekali
oleh Surawisesa untuk mengurus dalam negerinya sendiri. Tidak lama datanglah
pemberontakan dalam negeri tersebut, dan Surawisesa hanya memiliki 1000
pasukan yang setia menemani Surawisesa, dan Surawisesa pun berhasil
mempertahankan daerah inti Pakuan Pajajaran. Warisan dari ayahnya yaitu Sri
Baduga tinggal lah sedikit itu juga tanpa Pelabuhan pantai utara. Dalam suasana
itu lah Surawisesa mempunya momentum untuk mengenang kebesaran ayahanda.
Perjanjian damai antara Cirebon dengan Pakuan Pajajaran juga menjadi
kesempatan untuk menghormati mendiang Ayahanda, makna terdalam adalah
penyesalan dan kepiluan Surawisesa karena Surawisesa tidak mampu untuk
mempertahankan wilayah yang pernah dipertahankan oleh Ayahanda dan itu
adalah sebuah amanat.
Di tahun yang sama 1533, Surawisesa membuat tanda peringatan untuk
ayanya. Prasasati Batutulis yang diletakan pada Kabuyutan tempat tanda
kekuasaan Sri Baduga yang berupa lingga batu ditanamkan dan menjulur keatas.

22
Penempatannya sedemikian rupa sehingga kedudukan antara anak dengan ayah
amat mudah terlihat. Si anak ingin agar apa yang dipujikan tentang ayahnya
dengan mudah dapat diketahui (dibaca) orang. Surawisesa sendiri tidak berani
berdiri sejajar dengan si ayah. Demikianlah, Batutulis itu diletakkan agak ke
belakang di samping kiri Lingga Batu. Surawisesa tidak menampilkan namanya
dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti itu. Satu
berisi astatala ukiran jejak tangan, yang lainnya berisi padatala ukiran jejak kaki.
Mungkin pemasangan batutulis itu bertepatan dengan upacara srada yaitu
“penyempurnaan sukma” yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat.
Dengan upacara itu, sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas
hubungannya dengan dunia materi42. Ini adalah sebuah upacara yang sakral,
mengingat Surawisesa dalam perasaan kepiluan, kepiluan dari tidak bisa
mempertahankan wilayah kekuasaan Kerajaan Pajajaran, yang dimana itu adalah
nasihat ayah untuk anak.

B. Hubungan Dari Prasasti Batutulis Terhadap Perjuangan Surawisesa


Dalam Menjaga Kekuasaan Wilayah Kerajaan Dari Kekuatan Politik
Baru
Kekuatan politik baru yang kita ketahui adalah kekuatan Islam, yang
dimana kekuatan Islam ini adalah ancaman untuk Kerajaan-kerajaan yang
bercorak Hindu-Budha, penekanan terhadapa Kerajaan Pakuan Pajajaran.
Kerajaan Demak mempunya suatu wilayah geografis yang sangat strategis,
dan ini membawa keadaan menguntungkan baik dalam perekonomian,
perekonomian yang dijalankan Kerajaan Demak adalah perdagangan dan
pertanian yaitu sektor agraris. Kerajaan Demak adalah sebuah Kerajaan yang
maju, dikarenakan letak yang strategis dan terletak pada tepi sungai selat diantara
pegunungan Muria dan Jawa. Tempat ini dijadikan sebagai tempat untuk
melakukan perekonomian, terutama untuk pedagang. Para pedagang ini banyak
sekali yang melakukan transaksi-transaksi barang dagangan. Berdirinya Kerajaan

42
Samantho.

23
Demak ini ditandai dengan sengkalan43 “Geni mati siniraman janma” yang berarti
pada tahun 1403 Saka atau 1478 M dari peristiwa mundurnya Brawijaya V yaitu
Kerajaan Majapahit. Peristiwa ini menjadi titik dimana awal berdirinya Kerajaan
Demak, yaitu Kerajaan bercorak Islam pertama di Jawa. Kerajaan Demak ini bisa
dikatakan sebagai penerus Kerajaan Majapahit, tetapi terdapat perbedaan corak
agama, yaitu transisi agama Hindu menuju Islam, jika dihubungkan dengan garis
keturunan, garis keturunan masih pada penguasa Kerajaan Majapahit yaitu
Brawijaya V. Dengan kondisi koneksi perdagangn yang lancar dan banyak juga
disinggahi oleh para pedagang, selain untuk berdagang, para pedagang juga
berbondong-bondong untuk bersilaturahmi dengan para wali yang pada saat itu
menjadi penasihat Kerajaan Demak44.
Ekspansi Kerajaan Demak dalam memperluas wilayah, begitupula dengan
ekonomi, peristiwa ini ditandai dengan Kerjasamanya Cirebon dengan Kerajaan
Demak, yang dimana Sultan Trenggana III, memperlakukan Fatahillah sebagai
kerabat kerajaan lain, yang kemudian dinikahkan dengan adik iparnya, mantan
istri Pangeran Sebrang Lor, yaitu Ratu Ayu, yang merupakan anak dari Sunan
Gunung Jati. Setelah Pangeran Jayakelana dari Cirebon meninggal, Fatahillah
kemudian menikahi mantan istrinya yang berasal dari Kesultanan Demak yaitu
Ratu Ayu Pembayun. Dengan demikian Fatahillah adalah menantu Sunan Gunung
Jati dari Cirebon dan juga dari Kesultanan Demak45.
Bangsa Portugis datang ke Nusantra pada tahun 1513, pada saat itu
Portugis mendarat di Sunda Kalapa dan membawa empat unit kapal dipimpin oleh
de Alvin. Tujuan portugis datang ke Sunda Kalapa adalah untuk mencari rempah-

43
Sudartomo Macaryus, ‘Sengkalan: Tinjauan Struktur Dan Isi’, Sintesis, 5.2 (2007),
187–204. Sengkalan merupakan salah satu bentuk dari ungkapan Bahasa jawa. Bentuk lain dari
sengkalan adalah wangsalan, parikan, kerata, basa, bebasan, dan paribasan. Sengkalan
mempunyai sebuah struktur tertentu dan memiliki isi, seperti contoh; Suci tata ngèsthi tunggal
‘suci aturan niat satu’, Mulat sarira hangrasa wani ‘memerhatikan badan merasakan berani’, Pada
contoh sengkalan (1) terdapat empat kata, yaitu suci yang bernilai angka 4, tata bernila 5, ngèsthi
bernilai 8, dan tunggal bernilai 1. Oleh karena itu, sengkalan tersebut menunjukkan angka tahun
1854. Pada contoh (2) terdapat empat kata, yaitu mulat yang bernilai 2, sarira bernilai 8, hangrasa
bernilai 6, dan wani bernilai 1. Sengkalan (2) menunjukkan angka tahun 1682.
44
Heru. Arif Pianto, ‘The Demak Bintoro Palace, Built the Tradition of Maritime Islam in
the Archipelago.’, Sosiohumaniora Journal, 3.1 (2017), 18–26 .
45
Tundjung dan Arief Hidayat, ‘Politik Dinasti Dalam Perspektif Ekonomi Dari Kerajaan
Demak’, Jurnal Pendidikan Sejarah, 3.2017 (2018) .

24
rempah. Mengapa di Sunda Kalapa? Karena Portugis mendengar bahwa Sunda
Kalapa adalah Pelabuhan sibuk dan banyak menghasilkan rempah lada. Menurut
Tome Pires, Pelabuhan Sunda Kalapa adalah Pelabuhan yang diatur sangat baik46.
Pada tahun yang sama, yaitu tahun 1513, Kerajaan Demak yang dipimpin
Adipati Unus melancarkan serangan dengan perasaan gagah berani memimpin
suatu armada untuk menggempur Malaka dan mengusir Portugis. Tetapi usahanya
sia-sia dikarenakan Portugis yang kita tahu mempunyai persenjataan dengan
teknologi canggih pada zaman itu, selain itu armada Portugis lebih unggul
daripada Kerajaan Demak. Dalam peperangan itu Adipati Unus pun mendapatkan
sebuah julukan yaitu Sablang Lor, mengapa dijuluki seperti itu? Dikarenakan
Adipati Unus memilik sebuah keberanian untuk mengarungi lautan dan
menggempur Portugis, dan perilaku itu harus dicontoh untuk penerus-penerus
Kerajaan Demak, selain penerus masyarakat Kerajaan Demak juga dikuhusukan
mempunyai keberanian, terutama kepiawaian dalam ilmu pelayaran untuk
mengarungi samudera luas47.
Waktu demi waktu, Portugis pun datang kembali kewilayah tersebut, dan
pemimpin armada dari Portugis adalah Enrique de Leme, tujuan dari Enrique de
Leme adalah memberikan hadiah kepada Surawisesa, yang dimana Prabu
Surawisesa baru naik takhta untuk menggantikan Ayahanda Prabu Siliwangi. Pada
tanggal 22, bulan Agustus, tahun 1522, ditandatangi sebuah perjanjian antara
Kerajaan Pajajaran dan Portugis. Perjanjian itu diabadikan disebuah prasasti yaitu
prasasti Batu Padrao. De Haan, Frederick dalam bukunya Oud Batavia. Den Haag:
Antiquariaat Minerva dijelaskan dalam jurnal Tundjung dan arief hidayat,
mengatakan perjajian tersebut dinyatakan bahwa raja memberikan tanah di mulut
Ciliwung sebagai tempat berlabuh kapal-kapal Portugis dan memberikan izin
untuk membangun pos dagang dan benteng di Sunda Kelapa. Selain itu juga,
perjanjian yang dimuat adalah raja harus berjanji untuk memberikan rempah, yaitu
lada dan jumlahnya adalah seribu karung lada48.

46
Hidayat.
47
Arif Pianto.
48
Hidayat.

25
Perjanjian antara Kerajaan Demak dan Portugis mencemaskan pihak
Kerajaan Demak, pasalnya Kerajaan Demak berpendapat bahwa Kerjasama antara
Pajajaran dan Portugis akan mengganggu kelansungan perekonomian bagi
Kerajaan Demak. Sebab dari itu Kerajaan Demak melakukan ekspansi terhadap
Kerajaan Pajajaran, strategi yang dipakai untuk melakukan ekspansi adalah tidak
melakukan penyerangan frontal ke pusat kekuasaan, akan tetapi penyerangan
terlebih dahulu melalui Banten. Alasan penyerangan Banten adalah Banten kota
pelabuhan dan pangkalan strategis di Jawa Barat. Dalam penyerangan ke Banten,
Demak mengutus Fatahillah beserta jumlah pasukan Demak untuk menguasai
Banten. Setalah penyerangan Banten, Kerajaan Demak menguasai Sunda Kalapa,
sebuah kota pelabuhan utama yang ramai dalam kegiatan ekonomi yang dimiliki
Pajajaran, perebutan kota ini berlangsung sengit karena letak yang tidak jauh dari
Ibukota Pajajaran. Alasan kedua Demak menyerang Banten, adalah untuk
memutus mata rantai Ekonomi yang terjadi di Kerajaan Pajajaran.
Disaat Demak sudah menguasai Sunda Kalapa, pada tahun 1527,
pemimpin Portugis Alfonso de Alberquerque mengirim kapal yang berjumlah
enam, armada kapal itu dipimpin oleh Fransisco de Sa menuju Sunda Kalapa.
Kapal yang dikirim adalah Galleon49, kapal ini berbobot hingga 800ton dan
memiliki 21-24 pucuk meriam. Armada yang dipimpin oleh Fransisco de Sa
membawa pasukan dengan persenjataan lengkap dan berjumlah 600 orang. Saat
itu Portugis mengirim armada tersebut ke Sunda Kalapa, akan tetapi Sunda
Kalapa sudah dikuasai oleh Kerajaan Demak. Dalam upaya untuk
mempertahankan Sunda Kelapa, Sultan Trenggana mengirimkan lagi sejumlah
pasukan sebesar 1500 prajurit disusul dengan 20 kapal perang. Kapal yang
digunakan lebih kecil ukurannya daripada kapal Galleon. Dari pertarungan sengit
itu, pada 22 Juni 1527, armada perang yang dipimpin oleh Fatahillah berhasil
memenangkan peperangan ini. Disaat itu kapal perang Galleon pimpinan
Fransisco de sa menjauh dan memisahkan diri, dalam pertempuran itu juga hanya
tersisa kapal brigantine yang dipimpin oleh Duarte Coelho menuju ke Pelabuhan
49
Galleon atau Galiung, kapal ini digunakan Eropa untuk berdagang dan juga untuk
berperang di sebuah lautan lepas. Kapal ini digunakan pada abad 16 sampai 18. Kapal ini
dilengkapi dengan meriam jenis demiculverin.

26
Sunda Kalapa. Pimpinan kapal brigantine50 Duarte Coelho terlambat mengetahui
perubahan strategi, kapalnya menepi di Sunda Kalapa dan disaat itu juga Duarte
Coelho disergap. Sisa-sisa pasuka Portugis melarikan diri menuju Pasai. Setelah
kemenangan ini, Fatahilllah didaulat untuk menjadi penguasa di Sunda Kalapa.
Fatahillah kemudian mengganti nama menjadi Jayakarta51.

BAB III
50
Brigantin adalah kapal layar dengan dua tiang depan sepenuhnya persegi dan
setidaknya ada dua layar tiang utama.
51
Hidayat.

27
KESIMPULAN

Pada tahun 1531 tercipta perdamaian antara Kerajaan Cirebon dengan


Kerajaan Pakuan Pajajaran, dikarenakan Cirebon dalam gerakannya ke Pakuan
selalu bisa dibendung oleh Surawisesa. Dalam suasana itu lah Surawisesa
mempunya momentum untuk mengenang kebesaran ayahanda. Perjanjian damai
antara Cirebon dengan Pakuan Pajajaran juga menjadi kesempatan untuk
menghormati mendiang Ayahanda, makna terdalam adalah penyesalan dan
kepiluan Surawisesa karena Surawisesa tidak mampu untuk mempertahankan
wilayah yang pernah dipertahankan oleh Ayahanda dan itu adalah sebuah amanat.
Di tahun yang sama 1533, Surawisesa membuat tanda peringatan untuk ayanya.
Prasasati Batutulis yang diletakan pada Kabuyutan tempat tanda kekuasaan Sri
Baduga yang berupa lingga batu ditanamkan dan menjulur keatas. Penempatannya
sedemikian rupa sehingga kedudukan antara anak dengan ayah amat mudah
terlihat. Si anak ingin agar apa yang dipujikan tentang ayahnya dengan mudah
dapat diketahui (dibaca) orang. Surawisesa sendiri tidak berani berdiri sejajar
dengan si ayah. Demikianlah, Batutulis itu diletakkan agak ke belakang di
samping kiri Lingga Batu. Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam
prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti itu. Satu berisi
astatala ukiran jejak tangan, yang lainnya berisi padatala ukiran jejak kaki.
Mungkin pemasangan batutulis itu bertepatan dengan upacara srada yaitu
“penyempurnaan sukma” yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat.
Dengan upacara itu, sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas
hubungannya dengan dunia materi.

Kekuatan politik baru yang kita ketahui adalah kekuatan Islam, yang
dimana kekuatan Islam ini adalah ancaman untuk Kerajaan-kerajaan yang
bercorak Hindu-Budha, penekanan terhadapa Kerajaan Pakuan Pajajaran.
Ekspansi Kerajaan Demak dalam memperluas wilayah, begitupula dengan
ekonomi, peristiwa ini ditandai dengan Kerjasamanya Cirebon dengan Kerajaan
Demak, yang dimana Sultan Trenggana III, memperlakukan Fatahillah sebagai
kerabat kerajaan lain, yang kemudian dinikahkan dengan adik iparnya, mantan

28
istri Pangeran Sebrang Lor, yaitu Ratu Ayu, yang merupakan anak dari Sunan
Gunung Jati. Setelah Pangeran Jayakelana dari Cirebon meninggal, Fatahillah
kemudian menikahi mantan istrinya yang berasal dari Kesultanan Demak yaitu
Ratu Ayu Pembayun. Dengan demikian Fatahillah adalah menantu Sunan Gunung
Jati dari Cirebon dan juga dari Kesultanan Demak

29
DAFTAR PUSTAKA

Arif Pianto, Heru., ‘The Demak Bintoro Palace, Built the Tradition of
Maritime Islam in the Archipelago.’, Sosiohumaniora Journal, 3 (2017), 18–26

Azmi, Syaiful, ‘Bubat: Sisi Gelap Hubungan Kerajaan Majapahit Hindu


Dengan Kerajan Sunda’, Ushuluna: Jurnal Ilmu Ushuluddin, 3 (2020), 16–36

Buys, Marius, ‘Batavia Buitenzorg En De Preanger’, Journal of Chemical


Information and Modeling, 53 (2017), 1689–99

Darkum, ‘Peranan Pangeran Walangsungsang Dalam Merintis Kesultanan


Cirebon 1445-1529 M.’, 2007

Desain, Fakultas, and Universitas Komputer Indonesia, ‘TULIS BOGOR’,


2010

Dewi, Sinta, ‘Peran New Zealan Dalam Pakta Anzus’, 2014

Dienaputra, Reiza D, ‘Menyikapi Penggalian Situs Batutulis’, 2002, 126–


34

Djafar, Hasan, ‘PRASASTI BATUTULIS BOGOR’ (Amerta, Jurnal


Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 29 No.1 Juni 2011, 2011)

Dyah Kumalasari, ‘Penelitian Sejarah’

Fajar, Andri Dwi Putriandi, ‘Pengembangan Fasilitas Kawasan Wisata


Budaya Situs Astana Gede Kawali Kabupaten Ciamis’, 2015, 1–7

Groot, Hans, ‘Van Batavia Naar Weltevreden; Het Bataviaasch


Genootschap van Kunsten En Wetenschappan, 1778-1867’, Van Batavia Naar
Weltevreden; Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten En Wetenschappan,
1778-1867, 2009

30
Hidayat, Tundjung dan Arief, ‘Politik Dinasti Dalam Perspektif Ekonomi
Dari Kerajaan Demak’, Jurnal Pendidikan Sejarah, 3 (2018)

Hidayat, Wiwit Nurhayati, Amung Ahmad Syahir, and Dina Marliana,


‘Perkembangan Fatayat NU Kabupaten Subang Dalam Bidang Kaderisasi Periode
2015-2020’, Historia Madania: Jurnal Ilmu Sejarah, 4 (2020), 335–54

Macaryus, Sudartomo, ‘Sengkalan: Tinjauan Struktur Dan Isi’, Sintesis, 5


(2007), 187–204

Muslimin, ‘Akulturasi Agama Hindu Di Indonesia’, Al-AdYaN, Vol.VII Ju


(2012), 59

Nastiti, Titi Surti, and Hasan Djafar, ‘Prasasti-Prasasti Dari Masa Hindu
Buddha (Abad Ke-12-16 Masehi) Di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat’,
PURBAWIDYA: Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Arkeologi, 5 (2017), 101

Potency, Historical Landscape, Developing Historical Tourism, and Bogor


City, ‘Studi Potensi Lanskap Sejarah Untuk Pengembangan Wisata Sejarah Di
Kota Bogor’, Jurnal Lanskap Indonesia, 2 (2010), 7–14

Rafles, Thomas Stamford, Thomas-s-Raffles-the-History-of-Java-Vol-


02.Pdf

Rahardjo, Mudjia, ‘Studi Heuristik Dalam Penelitian Kualitatif’, 2018, 2

Ratih, Dewi, ‘KADIPATEN CIANCANG DALAM PERSPEKTIF


LOKAL’, Jurnal Artefak, History and Education, Vol. 4 No.1 April 2017, 4
(2017), 65–72

Samantho, Ahmad Yanuana, ‘Pajajaran Dan Bogor’

Sebagai, Dayeuh, Konsep Perkotaan, and Tatar Sunda, ‘Merujuk Pada


Pengertian Ibu Kota . Sangat Disayangkan Jejak Peradaban Dayeuh Perkotaan
Masyarakat Hindu Lainnya ? Apakah Konsep Dayeuh Juga Didasarkan’, 1–10

31
Sumarlina, Elis Suryani Nani, ‘Kamus Bahasa Dan Seni Budaya Sunda
Buhun Abad 11 s.d. 20 Masehi’, 2018, 271–86

Wasino, ‘Metode Penelitian Sejarah Dari Riset Hingga Penulisan’, 2018,


153

Zulaicha, Lilik, ‘Metologi Sejarah’, 2014, 121

32

Anda mungkin juga menyukai