Anda di halaman 1dari 33

NUTRISI IBU BERSALIN

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
1. EVIANA MAYA SAPUTRI (1910102045)
2. AFIFATUS SYIADATIKA (1910102046)
3. DYAH AYU FITRIANI (1910102047)
4. NURISTY BRILLIAN AW (1910102048)
5. EKA SEPTIANINGRUM (1910102049)

PROGRAM STUDI ILMU KEBIDANAN PROGRAM MAGISTER

UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan
Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga kita tetap dalam keadaan Iman dan Islam. Berkat rahmat dan
pertolongan Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “Nutrisi pada Ibu
Bersalin”.
Makalah ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Kebidanan
Program Sarjana Terapan di Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta. Penulis menyadari sepenuhnya
bahwa dalam penyusunan makalah ini tidak terwujud tanpa bantuan, bimbingan dan kerjasama
dari semua pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Warsiti, S.Kp.,M.Kep.,Sp.Mat selaku Rektor Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta.
2. Moh. Ali Imron, S.Sos.,M.Fis, selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas ‘Aisyiyah
Yogyakarta.
3. Dr. Mufdlilah, S.SiT., M.Sc selaku Staf Ahli Rektor Program Studi Ilmu Kebidanan Program
Magister Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta.
4. Semua pihak yang telah memberi bantuan kepada penulis yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, sehingga saran dan
masukan yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi penulis maupun pembaca.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Yogyakarta, 1 April 2020
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
D. Manfaat
BAB II TINJAUAN TEORI
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Persalinan normal menurut IBI (Ikatan Bidan Indonesia) adalah persalinan dengan
presentasi janin belakang kepala secara spontan dengan lama persalinan dalam batas normal,
tanpa intervensi, low risk dari mulai persalinan sampai kelahiran dengan usia kehamilan
37-42 minggu (Kristianingsih dkk, 2019). Persalinan dipengaruhi oleh tiga unsur utama
yaitu tenaga (his, kekuatan mengedan), kondisi jalan lahir dan keadaan besar kecilnya janin.
Faktor non farmakologis yang dapat meningkatkan kontraksi uterus yaitu dukungan,
mobilisasi dan perubahan posisi, sentuhan kenyamanan, akupresure, stimulasi puting susu,
hidroterapi, kompres air hangat pada fundus, menambah asupan cairan dan nutrisi (Hadianti,
2018). Saat persalinan ibu bersalin masih menginginkan makanan pada kala I fase laten.
Memasuki kala I fase aktif ibu bersalin enggan untuk mengkonsumsi makanan dikarenakan
rasa nyeri yang semakin sering sehingga keinginan untuk makan dan minum berkurang.
Pemenuhan nutrisi dan cairan merupakan faktor penting selama proses persalinan untuk
menjamin kecukupan energi yang akan mempertahankan keseimbangan cairan juga
elektrolit pada ibu dan janin. Namun tidak banyak ibu yang mengetahui kebutuhan akan
nutrisi selama menjalankan proses persalinan (Irianti ​et al.,​ 2019).
Ketika proses persalinan berlangsung, ibu memerlukan stamina dan kondisi tubuh
yang prima. Kebutuhan energi rata-rata wanita bersalin adalah 700-1000 Kkal/jam dengan
kebutuhan minimum 12 Kkal/jam. Kebutuhan tersebut cukup besar, dan jika tidak terpenuhi
secara adekuat dapaAt berakibat pada terganggunya proses fisiologi persalinan, sehingga
pemberian nutrisi baik berupa makanan maupun minuman menjadi asuhan yang harus
dipenuhi (Hadianti, 2018). Metabolisme pada ibu bersalin akan mengalami peningkatan, hal
tersebut diakibatkan terjadinya peningkatan kegiatan otot tubuh yang disertai dengan
adanya kecemasan. Kegiatan otot tubuh ibu saat mengedan memerlukan energi yang
optimal. Dengan energi yang optimal, ibu akan mendapatkan kekuatan atau energy yang
optimal pula. Energi yang dimiliki oleh ibu berasal dari asupan nutrisi dan hidrasi (Hadianti,
2018). Hal ini sesuai dengan pendapat (King ​et al.,​ 2011) ibu bersalin yang memenuhi cairan
dan nutrisi akan memiliki lebih banyak energi selama persalinan, sedangkan bila
menghiraukan intake cairan dan nutrisi akan mempengaruhi keadaan ibu dan bayi saat
persalinan.
Menurut WHO (​World Healtgh Organization)​ , AKI di dunia tahun 2016 adalah 287
per 100.000 kelahiran hidup dan di negara berkembang 600/100.000 kelahiran hidup.
Kematian maternal di Asia Tenggara menyumbang hampir 1/3 jumlah kematian maternal
secara global. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), AKI di Indonesia tahun 2018 adalah
305 per 100.000 kelahiran hidup (Kemenkes RI, 2018). Negara-negara di dunia khususnya
Amerika dan Eropa telah memberikan perhatian khusus pada pemenuhan nutrisi ibu selama
masa persalinan. Penelitian mengenai protap pemberian nutrisi telah dimulai sejak tahun
1940-an ketika angka kematian ibu bersalin diakibatkan syndrome aspirasi yang dikenal
dengan sebutan sindrome aspirasi Mendelson menjadi hal yang ditakuti saat persalinan.
Kejadian tersebut menyebabkan tenaga kesehatan giat melakukan penelitian mengenai
pengelolaan pemenuhan nutrisi selama persalinan (Irianti ​et al.​, 2019).
Pemenuhan nutrisi dan hidrasi merupakan faktor penting selama proses persalinan
untuk menjamin kecukupan energi dan keseimbangan cairan dan elektrolit normal pada ibu.
Asuhan persalinan normal dianjurkan pemberian asupan nutrisi pada ibu bersalin, namun
selama ini kebutuhan nutrisi ibu tidak terlalu diperhitungkan sehingga kita tidak mengetahui
apakah kebutuhan nutrisi ibu telah tercukupi atau belum (Rahmani, R., Khakbazan, Z.,
Yavari, P., Granmayeh, M., & Yavari, L., 2012). Beberapa penelitian menjelaskan bahwa
tambahan kebutuhan energi ibu bersalin diestimasika sebesar 50-100 kkal/jam (Malin ​et al.​,
2016).
Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk menurunkan risiko ibu bersalin terhadap
terjadinya keterlambatan proses persalinan yaitu dengan memberi nutrisi yang adekuat yang
sesuai dengan kondisi fisiologis ibu bersalin yang dimulai dari proses persalinan kala I, yaitu
dengan memberikan nutrisi kurang lebih 50-100 kilo kalori energy dalam setiap jam
(Hadianti, 2018).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana nutrisi pada saat persalinan?

2. Apa saja makanan yang dianjurkan saat proses persalinan?

3. Apa pengaruh makanan/asupan yang diberikan selama proses persalinan?

4. Bagaimana nutrisi yang diberikan pasca melahirkan?

C. Tujuan

Untuk mengetahui tentang pentingnya nutrisi yang diberikan pada saat persalinan,
untuk mengetahui makanan yang dianjurkan bagi ibu bersalin dan pengaruhnya terhadap
proses persalinan.

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoritis

Bagi perkembangan ilmu pengetahuan diharapkan dapat memberikan


pengetahuan serta wawasan bagi para bidan mengenai tindakan yang harus dilakukan
untuk memberikan asuhan tentang pemenuhan nutrisi pada proses persalinan.

2. Manfaat Praktis
a. Bagi Mahasiswa

Sebagai penerapan secara nyata dan berkesinambungan ilmu terbaru yang telah
diperoleh dalam memberikan asuhan tentang pemenuhan nutrisi pada proses
persalinan.

b. Bagi Petugas Kesehatan

Diharapkan dapat memberikan informasi, gambaran, dan perbandingan mengenai


tentang pelaksanaan asuhan tentang pemenuhan nutrisi pada proses persalinan.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Nutrisi Selama Proses Persalinan

Apakah aman untuk makan dan minum selama persalinan ? Di banyak rumah sakit,

pasien diberitahu untuk tidak makan atau minum selama persalinan. Istilah medis untuk ini

adalah "NPO," yang berasal dari bahasa Latin nil per os, artinya tidak melalui mulut. Dalam

survei terbaru terhadap ibu yang melahirkan di rumah sakit AS, 60% dari mereka

melaporkan tidak minum selama persalinan, dan 80% mengatakan bahwa mereka tidak

makan (Declercq ​et al.​, 2014). Ketika orang bebas makan dan minum seperti yang

diinginkan selama persalinan, seperti yang biasa terjadi di pusat kelahiran mandiri AS,

kebanyakan dari mereka (95%) memilih untuk makan atau minum (Rooks ​et al.,​ 1989).

Romano dan Lothian (2008) mendukung harapan ibu dengan menyatakan bahwa

makan dan minum selama tenaga kerja menyediakan nutrisi dan energi penting untuk wanita

pekerja. Buruh adalah kerja keras, aktif yang membutuh kankalori, bukan hanya hidrasi.

Selain itu, wanita yang bekerja lebih suka makan dan minum daripada puasa. Kesehatan

Masyarakat Agency of Canada (2000) setuju dengan pandangan ini dengan menyatakan Itu

meski praktik menahan makanan dan cairan sekali persalinan sudah mulai ada dibanyak

lingkungan, sudah menjadi perhatian. Praktek ini sebagian tidak didukung dalam literature

karena semua pekerjaan itu unik. Maka keputusan harus diambil secara individual (Sengane

and Nolte, 2012).

Hasil penelitian juga disampaikan bahwa konsumsi makanan ringan selama

persalinan dilakukan tidak mempengaruhi hasil kebidanan atau neonatal ibu, juga tidak
meningkatkan kejadian muntah. Wanita yang diizinkan makan dalam persalinan memiliki

kesamaan lama persalinan dan angka kelahiran operatif bagi mereka yang diizinkan

mengkonsumsi air. Praktik puasa wanita selama persalinan dimaksudkan untuk melindungi

mereka dari aspirasi paru-paru untuk anestesi umum diperlukan untuk pengiriman operasi

darurat. Puasa yang berkepanjangan dalam proses persalinan tidak pernah terbukti

memengaruhi insiden aspirasi paru-paru. Beberapa dokter dan bidan berpendapat bahwa

mencegah asupan makanan selama persalinan dapat dilakukan merugikan ibu, bayinya, dan

kemajuan persalinan (O’Sullivan ​et al.,​ 2009).

Wanita dalam persalinan yang mengalami kemajuan spontan mungkin tidak

memerlukan infus cairan intravena rutin yang terus menerus. Meskipun aman, hidrasi

intravena membatasi kebebasan gerakan dan mungkin tidak perlu. Hidrasi oral bias didorong

untuk memenuhi kebutuhan hidrasi dan kalori. Argumen untuk membatasi asupan oral

selama persalinan aktif keprihatinan akan aspirasi dan gejala sisa. Panduan saat ini

mendukung asupan oral cairan jernih dalam jumlah sedang oleh wanita dalam persalinan

yang tidak memiliki komplikasi. Namun, cairan yang mengandung partikulat dan makanan

padat harus dihindari. Pembatasan ini baru-baru ini telah dipertanyakan, mengutip

rendahnya insiden aspirasi dengan teknik anestesi obstetri saat ini. Informasi ini dapat

menginformasikan peninjauan rekomendasi yang sedang berlangsung tentang asupan oral

selama persalinan. Penilaian kemih output dan ada tidaknya ketonuria bias digunakan untuk

memantau hidrasi. Jika pemantauan tersebut menunjukkan Perhatian, cairan intravena dapat

diberikan sesuai kebutuhan. Jika cairan intravena diperlukan, solusinya dan laju infus harus

ditentukan oleh klinis individu membutuhkan dan mengantisipasi lama persalinan. Meski
bersejarah keprihatinan tentang penggunaan solusi yang mengandung dextrosedan

kemungkinan bahwa solusi ini dapat menyebabkan neonatal hipoglikemia, RCT terbaru

tidak menemukan pusar yang lebih rendah nilai pH tali pusat atau peningkatan angka

hipoglikemia neonatal setelah pemberian berkelanjutan 5% dekstrosa dalam keadaan normal

saline (Utilization, 2016).

B. Kebutuhan Energi dalam Proses Persalinan

Pemberian makan dan minum pada masa persalinan di Indonesia sering kali

diabaikan, hal ini terlihat dari belum adanya protap pemberian makan dan minum selama

persalinan berlangsung di unit- unit pemberi layanan persalinan. Selama masa persalinan

seorang ibu memerlukan 700-1000 kkal/jam energi, jika energi tidak terpenuhi secara

adekuat maka proses persalinan dapat mengalami hambatan. Sehingga mengetahui

kebiasaan pemberian makan dan minum menjadi hal penting untuk dilakukan (Irianti et al.,

2019).

Wanita memiliki tahapan reproduksi kompleks dibandingkan dengan laki-laki salah

satu proses reproduksi yang harus dilalui sebagai wanita adalah proses persalinan. Persalinan

merupakan proses yang khas, sehingga setiap wanita akan memiliki pengalaman yang

berbeda, namun kebutuhan nutrisi merupakan hal yang tidak dapat diabaikan untuk

dipenuhi. Kebutuhan energi rata-rata wanita bersalin adalah 700-1000 kkal/jam dengan

kebutuhan minimum 12 kkal/jam. Kebutuhan tersebut cukup besar, dan jika tidak terpenuhi

secara adekuat dapat berakibat pada proses fisiologi persalinan, sehingga pemberian nutrisi

baik berupa makanan maupun minuman menjadi asuhan yang harus dipenuhi (Singata et al.,

2013).
Rahim sebagian besar terbuat dari jaringan otot. Otot menggunakan bahan bakar saat

bekerja dan membutuhkan nutrisi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan energi ini. Sangat

sedikit penelitian yang telah dilakukan khusus untuk kebutuhan nutrisi wanita dalam

persalinan, tetapi penelitian dalam nutrisi olahraga telah menemukan bahwa mengambil

karbohidrat selama latihan meningkatkan kinerja dan melindungi terhadap kelelahan dan

ketosis (American Dietetic Association ​et al.,​ 2009). Ketosis berarti ada peningkatan kadar

keton yang dapat diukur dalam darah dan urin. Selama masa kelaparan, keton mengambil

lemak dari hati dan membakarnya untuk energi. Tidak jelas apakah ketosis selama

persalinan normal dan tidak berbahaya atau jika memerlukan intervensi seperti cairan IV

atau makanan dan (Toohill, Soong and Flenady, 2008).

Hingga saat ini di Indonesia pemenuhan kebutuhan nutrisi pada ibu bersalin tidak

menjadi asuhan utama pada persalinan, sering kali pemberian makan dan minum menjadi hal

rutin yang tidak diperhatikan jenis dan waktu pemberian yang optimal. Pemberian nutrisi

yang tidak adekuat dan tidak tepat dapat menyebabkan persalinan berjalan dengan lambat.

Hal ini diakibatkan karena otot-otot rahim memerlukan bahan bakar untuk melakukan

kontraksi dan berdilatasi secara optimum. Nutrisi yang tidak adekuat dapat menyebabkan

perpanjangan masa persalinan yang akan berdampak pada outcome persalinan (baik ibu

maupun keadaan bayi saat dilahirkan) (Rahmani et al,, 2012).

C. Dampak Kebijakan NPO pada Proses Persalinan

Dalam ulasan Cochrane, para peneliti menggabungkan bukti dari lima percobaan

yang melibatkan total 3.103 perempuan, di mana perempuan secara acak ditugaskan untuk

makan / minum atau tidak selama persalinan (Singata, Tranmer and Gyte, 2013). Semua
wanita dalam persalinan aktif dan berisiko rendah membutuhkan operasi caesar. Beberapa

uji coba mencapai kesimpulan yang berlawanan tentang hasil seperti operasi caesar, muntah,

dan lama persalinan. Sayangnya, tidak ada peneliti yang melihat kepuasan ibu. Mereka

menyimpulkan bahwa tidak ada bahaya atau manfaat dalam membatasi perempuan berisiko

rendah dari mengkonsumsi makanan dan minuman selama persalinan.

Tabel 1 menunjukkan detail RCT dalam ulasan Cochrane.

Pada 2017, review lain ditetapkan untuk mengevaluasi manfaat dan bahaya makanan

dan minuman selama persalinan (Ciardulli ​et al.,​ 2017). Para peneliti memasukkan semua

lima studi dari Cochrane review dan menambahkan lima lagi, berjumlah 3.982 peserta. Para

penulis menemukan bahwa orang yang bekerja di bawah kebijakan makan dan minum yang

kurang ketat memiliki tenaga kerja lebih pendek sekitar 16 menit. Tidak ada perbedaan
dalam hasil kesehatan lainnya. Hanya satu dari percobaan yang mempertimbangkan

kepuasan ibu dan menemukan bahwa lebih banyak peserta kelompok makan melaporkan

kepuasan dengan makanan mereka selama persalinan dibandingkan dengan perempuan yang

hanya minum air saja (97% berbanding 55%).

Tabel 2 menunjukkan rincian tentang lima uji RCT tambahan yang termasuk dalam review
(Ciardulli ​et al.​, 2017)

Tidak ada kasus aspirasi dalam salah satu persidangan, namun ukuran penelitian

tidak cukup besar untuk menentukan seberapa sering hasil langka ini benar-benar terjadi.

Aspirasi dapat terjadi ketika seseorang ditidurkan dengan obat-obatan, atau dikenal dengan

anestesi umum. Jika mereka memuntahkan isi lambung ke dalam mulut mereka ketika

"tidur" dan isi ini turun melalui saluran napas - "tabung yang salah"- ini dapat menyebabkan

infeksi dan masalah pernapasan (pneumonitis aspirasi). Sebelum operasi dan prosedur yang
dijadwalkan, pasien sering diminta untuk berpuasa setidaknya selama delapan jam karena

risiko yang mungkin terjadi.

Para penulis ​Cochrane review mencatat bahwa sebagian besar wanita tampaknya

secara alami membatasi asupan mereka karena persalinan semakin kuat. Mereka

menyimpulkan bahwa wanita berisiko rendah harus memiliki hak untuk memilih apakah

mereka ingin makan dan minum selama persalinan (Singata, Tranmer and Gyte, 2010).

Belum ada uji coba yang memeriksa makan selama persalinan pada orang yang berisiko

lebih tinggi membutuhkan sesar dengan anestesi umum. Menarik dalam pembaruan

pernyataan posisi baru-baru ini, American Association of Anesthesiologist meninjau banyak

bukti yang sama dan memutuskan bahwa karena tidak ada bukti bahaya atau manfaat, rumah

sakit harus membatasi makanan padat selama persalinan. Kepuasan ibu tidak diperhitungkan

dalam pendapat mereka. Kami menemukan dua studi baru-baru ini, baik oleh para peneliti di

Iran, yang mensurvei para ibu tentang persepsi mereka tentang pembatasan makanan dan

minuman selama persalinan. Studi pertama mewawancarai 600 wanita dan menemukan

hubungan antara tingkat nyeri yang dilaporkan dan sumber stres lingkungan, yang berarti

bahwa orang yang bekerja di bawah tekanan mengalami lebih banyak rasa sakit (Manizheh

& Leila, 2009). Salah satu sumber stres terbesar yang dilaporkan adalah "asupan cairan yang

dibatasi." Sekitar setengah dari ibu pertama kali dan 78% ibu yang telah melahirkan sebelum

menyebutkan ini sebagai pemicu stres.

Alasan utama bahwa beberapa rumah sakit memiliki kebijakan “Nothing by Mouth”

adalah untuk memastikan bahwa orang yang bekerja memiliki perut kosong jika mereka

memerlukan operasi darurat dengan anestesi umum. Tetapi apakah ini efektif? Pengosongan
perut melambat begitu proses persalinan dimulai, jadi puasa selama 8, 12, atau bahkan 24

jam setelah kontraksi dimulai mungkin tidak menjamin perut kosong pada saat kelahiran.

Sangat menarik untuk mencatat temuan dari sebuah studi kecil yang diterbitkan pada tahun

1992 yang menggunakan pencitraan ultrasound untuk melihat isi lambung dari 39 wanita

sehat jangka panjang dalam persalinan aktif setelah mereka menerima epidural (Carp et al.

1992). Para wanita mengatakan kepada para peneliti (tetapi bukan orang yang memberikan

ujian USG) ketika mereka terakhir makan. USG menemukan makanan padat di hampir dua

pertiga perut wanita. Dari 25 yang dilaporkan tidak makan selama 8-24 jam, 16 masih

memiliki makanan padat di perut mereka pada saat USG. Yang penting, kehadiran makanan

padat di perut tidak terkait dengan berapa lama seorang wanita pergi tanpa makan.

Meskipun persalinan cenderung memperlambat pengosongan lambung, penelitian

kecil lainnya menunjukkan bahwa orang dengan epidural mungkin masih dapat

mengosongkan perut mereka selama persalinan (Bataille et al. 2014). Para peneliti

melakukan pengukuran USG perut pada 60 wanita yang bekerja dengan epidural untuk

melacak perubahan isi perut mereka selama persalinan. Pada persalinan awal, setengah dari

wanita memiliki isi lambung yang dianggap cenderung berisiko aspirasi, meskipun sebagian

besar dari mereka tidak memiliki cairan selama lebih dari lima jam dan makanan padat

selama lebih dari 13 jam. Ini lebih banyak bukti bahwa pengosongan perut melambat pada

awal persalinan. Namun pada tahap mendorong, hampir 90% wanita dalam penelitian ini

tidak lagi berisiko untuk aspirasi, menunjukkan bahwa perut terus kosong selama persalinan.

Para peneliti menyimpulkan bahwa baik puasa maupun kehadiran isi lambung pada

awal persalinan tidak menjadi indikator risiko aspirasi yang lebih baik dalam persalinan.
Dalam studi kedua, peneliti melakukan wawancara mendalam dengan 24 wanita berisiko

rendah setelah melahirkan, tetapi sebelum meninggalkan rumah sakit (Iravani et al. 2015).

Para wanita itu berada di tiga rumah sakit yang berbeda, beragam secara demografis, dan

semuanya memiliki bayi yang sehat. Tanggapan wawancara dikelompokkan ke dalam tema

umum dan diberi kode untuk analisis data. Salah satu respons yang berulang adalah

kekecewaan tentang pembatasan makan dan minum selama persalinan. Para wanita

berkomentar bahwa mereka "merasa kehabisan energi," "tidak memiliki kekuatan lagi," dan

"merasa lapar karena pergi begitu lama tanpa makan."

Pada akhirnya orang memiliki hak asasi manusia untuk memutuskan apakah mereka

ingin makan atau minum selama persalinan atau tidak. Kebijakan rumah sakit tidak

mengikat pasien, termasuk orang yang melahirkan, dan rumah sakit tidak memiliki otoritas

hukum untuk mencegah orang yang bersusah payah makan dan minum jika mereka mau.

D. Hasil Penelitian terkait Nutrisi selama Persalinan

Banyaknya ragam budaya didunia, makanan dan minuman yang dikonsumsi disaat

proses persalinan dapat memenuhi kebutuhan tenaga ibu pada proses persalinan. Namun

dalam proses persalinan, dalam beberapa budaya masih banyaknya asupan makanan dan

minuman yang dibatasi. Pada tahun 1994 penelitian yang bernama mendelson melaporkan

bahwa selama dilakukan proses anestesi pada proses persalinan maka akan terjadi

peningkatan resiko pada isi lambung yang memasuki paru-paru, dikarenakan adanya sifat

asam dan partikel makananan yang berbahaya dari isi lambung yang dapat menyebabkan

penyakit paru-paru kronis ataupun kematian (황은주, 2010)​. Negara-negara di dunia

khususnya Amerika dan Eropa telah memberikan perhatian khusus pada pemenuhan nutrisi
ibu selama masa persalinan. Penelitian mengenai protap pemberian makan dan minum telah

dimulai sejak tahun 1940-an ketika angka kematian ibu bersalin diakibatkan syndrome

aspirasi yang dikenal dengan sebutan sindrome aspirasi. Mendelson menjadi hal yang

ditakuti saat persalinan dikarenakan kejadian tersebut menyebabkan tenaga kesehatan giat

melakukan penelitian mengenai pengelolaan pemenuhan nutrisi selama persalinan

(Manizheh & Leila, 2009).

Bukti yang berkaitan dengan cairan oral dan asupan makanan selama persalinan

diekstraksi dari tinjauan sistematis Cochrane termasuk lima percobaan (> 3000 wanita). Uji

coba dilakukan di Inggris (tiga), Belanda (satu) dan Kanada ( satu). Percobaan menguji

perbandingan yang berbeda: pembatasan lengkap makanan dan minuman (selain es chip)

versus kebebasan untuk makan dan minum sesuka hati, air hanya versus makanan dan

minuman tertentu, dan air versus minuman karbohidrat (disebut minuman olahraga). Semua

uji coba termasuk yang melibatkan wanita yang dianggap berisiko rendah yang berpotensi

membutuhkan anestesi umum. Tiga uji coba (476 wanita) melaporkan durasi rata-rata

persalinan terkait dengan pembatasan asupan oral (selain keripik es). Tidak ada perbedaan

yang signifikan antara kelompok pembanding (RR -0,29 jam, 95% CI -1,55 hingga 0,97) dan

temuan tidak konsisten di antara uji coba. Semua 5 percobaan (3103 wanita) melaporkan

tingkat operasi caesar. Sekali lagi, ada inkonsistensi antara percobaan dalam ukuran dan arah

efek, dan secara keseluruhan tidak ada bukti yang signifikan untuk menunjukkan bahwa

membatasi makanan dan minuman memiliki efek pada jumlah wanita yang menjalani

operasi caesar (RR 0,89, 95% CI 0,63-1,25).


Tidak ada perbedaan signifikan yang diamati antara kelompok dalam penggunaan

intervensi lain dalam persalinan. Penggunaan analgesia epidural sangat mirip pada kedua

kelompok (RR 0,98, 95% CI 0,91-1,05; 5 uji coba, 3103 wanita), seperti tingkat augmentasi

persalinan (RR 1,02, 95% CI 0,95-1,09; 5 uji coba, 3103 wanita) dan jumlah kelahiran

vagina operatif (RR 0,98, 95% CI 0,88-1,10; 5 percobaan, 3103 wanita). Penggunaan pereda

nyeri narkotika serupa terlepas dari pembatasan dalam asupan oral (RR 0,94, 95% CI

0,74-1,21; 3 percobaan, 349 wanita).

Tidak ada data yang dapat diperkirakan untuk jumlah wanita yang mengembangkan

sindrom Mendelson atau untuk regurgitasi selama anestesi umum. Ketonuria ibu dilaporkan

dalam 1 percobaan (328 wanita); tingkat ini sangat mirip pada kedua kelompok secara acak

(RR 0,99, 95% CI 0,66-1,49). Muntah selama persalinan juga serupa dalam 2 kelompok

meskipun ada beberapa inkonsistensi dalam hasil dari uji coba (RR 0,90, 95% CI 0,62-1,31;

3 uji coba, 2574 wanita). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok untuk

tingkat mual (RR 0,80, 95% CI 0,54-1,18; 1 percobaan, 255 wanita). Sangat sedikit hasil

bayi yang dilaporkan dalam ulasan ini. Tidak ada perbedaan signifikan untuk skor Apgar

rendah pada lima menit antara kelompok (RR 1,43, 95% CI 0,77-2,68; dua uji coba). Satu

percobaan melaporkan penerimaan bayi ke NICU dan frekuensinya sangat mirip pada kedua

kelompok (RR 1,03, 95% CI 0,73-1,45).

E. Makanan yang dianjurkan selama persalinan

Beberapa negara di Eropa dan Amerika telah menetapkan protap pemberian makan

dan minum resmi di pusat-pusat pertolongan persalinan sebagai bagian dari asuhan yang

harus dipenuhi. Jenis makanan dan minuman yang dianjurkan adalah makanan berbentuk
semi cair hingga cair. Menghindari makanan berbentuk padat yang sulit dicerna dan

makanan mengandung karbohidrat serta protein rendah lemak (Nunes et al., 2014).

Pemberian makanan padat hanya akan memperberat system pencernaan, merangsang mual

serta meningkatkan rasa tidak nyaman pada wanita bersalin. memberikan makanan sesuai

selera ibu namun dalam tektur yang lebih mudah dicerna (semi cair dan cair) dan makanan

berbentuk cair (sari buah, atau minuman manis lain) menjadi alternatif pembentuk energi,

sehingga ibu memiliki kekuatan untuk meneran, contohnya seperti menghisap es batu, madu,

sari buah atau pun es dengan rasa manis dapat membantu memenuhi kebutuhan energi ibu

terutama saat meneran, dan jangan lupa dalam pemberian makanan atau minuman bersifat

semi cair atau cair ini hindari memberikan makanan atau minuman dengan rasa terlalu

manis, hal tersebut dapat menyebabkan rasa haus dan tidaknyaman pada ibu (Nunes et al.,

2014).

Makanan yang disarankan dikonsumsi pada kelompok Ibu yang makan saat

persalinan adalah roti, biskuit, sayuran dan buah-buahan, yogurt rendah lemak, sup,

minuman isotonik dan jus buah-buahan (O’Sullivan et al, 2009). Menurut Elias (2009)

Nutrisi dan hidrasi sangat penting selama proses persalinan untuk memastikan kecukupan

energi dan mempertahankan kesimbangan normal cairan dan elektrolit bagi Ibu dan bayi.

Cairan isotonik dan makanan ringan yang mempermudah pengosongan lambung cocok

untuk awal persalinan. Jenis makanan dan cairan yang dianjurkan dikonsumsi pada Ibu

bersalin adalah sebagai berikut (Champion dalam Elias,2009):

1. Makanan:

Apa saja yang harus diperhatikan Jika Ibu ingin makan selama proses persalian.
a. Makan dalam porsi kecil atau mengemil setiap jam sekali saat ibu masih dalam tahap

awal persalinan (KALA 1). Ibu disarankan makan beberapa kali dalam porsi kecil

karena lebih mudah dicerna daripada hanya makan satu kali tapi porsi besar.

b. Pilih makanan yang mudah dicerna, seperti crackers, agar-agar, atau sup. Saat

persalinan proses pencernaan jadi lebih lambat sehingga ibu perlu menghindari

makanan yang butuh waktu lama untuk dicerna.

c. Selain mudah dicerna, pilih makanan yang berenergi. Buah, sup dan madu

memberikan energi cepat. Untuk menyimpan cadangan energy, ibu bisa pilih gandum

atau pasta.

d. Hindari makanan yang banyak mengandung lemak, goreng-gorengan atau makanan

yang menimbulkan gas.

Makanan yang dianjurkan:

1) Roti atau roti panggan (rendah serat) yang rendah lemak baik diberi selai ataupun

madu.

2) Sarapan sereal rendah serat dengan rendah susu.

3) Nasi tim.

4) Biskuit.

5) Yogurt rendah lemak.

6) Buah segar atau buah kaleng.

2. Minuman:
Selama proses persalinan jaga tubuh agar tidak kekurangan cairan. Dehidrasi bisa

mengakitbakan ibu menjadi lemah, tidak berenergi dan bisa memperlambat persalinan.

Pilihan minumannya adalah:

a. Minuman yogurt rendah lemak.

b. Kaldu jernih.

c. Air mineral.

d. Minuman isotonik, mudah diserap dan memberikan energi yang dibutuhkan saat

persalinan. Atau, Ibu bisa membuat sendiri dengan mencampurkan air putih dengan

sedikit perasan lemon.

e. Jus buah atau smoothie buah, campurkan dengan yogurt atau pisang ke dalam

smoothie untuk menambah energi.

f. Hindari minuman bersoda karena bisa membuat Ibu mual.

Ibu melahirkan harus dimotivasi untuk minum sesuai kebutuhan atau tingkat

kehausannya. Jika asupan cairan Ibu tidak adekuat atau mengalami muntah, dia akan

menjadi dehidrasi, terutama ketika melahirkan menjadikannya banyak berkeringat

(Micklewirght & Champion, 2002 dalam Thorpe et al, 2009). Salah satu gejala dehidrasi

adalah kelelahan dan itu dapat mengganggu kemajuan persalinan dan menyulitkan bagi

Ibu untuk lebih termotivasi dan aktif selama persalinan.Jika Ibu dapat mengikuti

kecenderungannya untuk minum, maka mereka tidak mungkin mengalami dehidrasi

(McCormick, 2003 dalam Thorpe et al, 2009).


Pembatasan makan dan minum pada Ibu melahirkan memberikan rasa

ketidaknyamanan pada Ibu.Selain itu, kondisi gizi buruk berpengaruh terhadap lama

persalinan dan tingkat kesakitan yang diakibatkannya, dan puasa tidak menjamin perut

kosong atau berkurang keasamannya.Lima penelitian yang melibatkan 3130 Ibu

bersalin.Pertama penelitian membandingkan Ibu dengan pembatasan makan dan minum

dengan Ibu yang diberi kebebasan makan dan minum.Kedua penelitian membandingkan

antara Ibu yang hanya minum dengan Ibu yang makan dan minum tertentu.Dua penelitian

lagi membandingkan Ibu yang hanya minum air mineral dengan minuman

karbohidrat.Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya kerugian atau dampak terhadap

persalinan pada Ibu yang diberi kebebasan makan dan minum.Dengan demikian, Ibu

melahirkan diberikan kebebasan untuk makan dan minum sesuai yang mereka kehendaki

(Singata et al, 2009).

F. Pengaruh Asupan Makan dan Minum Selama Persalinan

1. Kebutuhan Energi Selama Persalinan

Tidak ada data pasti dari hasil penelitian yang menunjukkan kebutuhan energi

pada Ibu yang bersalin. Namun 18 tahun yang lalu tim Investigator Walter Reed Army

Medical Center mengamati kebutuhan metabolik Ibu bersalin sama dengan latihan

aerobik selama terus-menerus. Sedangkan menurut American College of sport medicine

menetapkan bahwa minuman karbohidrat dapat menghilangkan kelelahan pada yang


latihan aerobik terus menerus, sehingga hal ini relevan pada Ibu hamil (Mason ​et al.,​

2012).

2. Ketosis

Wanita hamil rentan terhadap ketosis karena metastasistuntutan abolik akan

pertumbuhan janin dan perubahan hormon (Dumoulin & Foulkes, 1984). Meski

persalinan lama meningkatkan produksi keton (Kubli, Scrutton, Seed, &O'Sullivan,

2002) yang dapat diperburuk dengan puasa, ketosis belum dikaitkan dengan hasil

kelahiran.

3. Hiponatriemia

Hiponatremia dapat mempersulit persalinan saat persalinanwanita

mengkonsumsi cairan hipotonik. Johansson, Lindow,Kapadia, dan Norman (2002)

menerbitkan laporan kasus dariempat neonatus dan satu ibu di Swedia yang

mengalamikejang enced atau sistem saraf pusat lainnya (SSP) gejala yang terkait

dengan asupan oral ibutween 4 dan 10 L air atau jus air dan buah selama tenaga kerja.

Wanita hamil mengalami peningkatan cairan ekstraselulervolume, dan aktivasi sistem

hemat air selamapersalinan mengurangi kemampuan wanita untuk memberikan

kompensasi surplus air akut. Baik ibu dan janin bisa mengalami penurunan natrium

serum dengan cepat. Baru-baru ini dalam sebuah studi tentang topik ini, 287 wanita

bekerja di Swedia diizinkan memiliki cairan oral selama persalinan (Moen, Brudin,

Rundgren, & Irestedt, 2009). Hypona-Tremia ditemukan pada 16 dari 61 wanita yang

menerima lebih banyak dari 2.500 mL cairan selama persalinan, dan dua pertiga dari

cairan diminum secara oral. Hiponatremia dikaitkan dengan perpanjangan persalinan


tahap kedua, instrument kelahiran mental, dan kelahiran sesar darurat karena kegagalan

untuk maju. Peneliti ini merekomendasikan hal itu secara lisan asupan dibatasi, asupan

didokumentasikan, dan hipotonik cairan tidak diberikan secara intraven

4. Stres Ibu

Penny Simpkin (1986) menilai 159 evaluasi wanita dari stres saat melahirkan

menggunakan Persalinan Kejadian Stress Survey dalam 10 hari hingga 2 bulan setelah

kelahiran. Dia menemukan bahwa 27% responden menganggap asupan makanan

menjadi cukup atau sangat menegangkandan 57% wanita melaporkan pembatasan

cairan oral menjadi cukup atau sangat stres. Armstrong dan Johnston (2000) mensurvei

149 orang Skotlandia wanita postpartum dalam waktu 36 jam setelah kelahiran untuk

memastikan erapa proporsi dari mereka yang ingin makan selama persalinan. Dari

responden, 30% menunjukkan itu mereka ingin makan selama persalinan dan 25%

mengatakan bahwa itu akan membuat perbedaan yang signifikan bagi mereka kepuasan

keseluruhan dengan pengalaman kelahiran mereka. Beberapa wanita melaporkan bahwa

mereka diam-diam makan lebih awal jika dibandingkan dengan wanita yang tidak

makan, tidak ditemukan perbedaan dalam durasi persalinan, usia, paritas, pilihan

analgesia, atau mode kelahiran (Kashanian, Javadi and Haghighi, 2010).

5. Muntah

Penelitian yang dilakukan O'Reilly, Hoyer, dan Walsh (1993) muntah

dikaitannya dengan asupan oral di antara 106 perempuan berisiko rendah yang bekerjadi

pusat persalinan Michigan. Para wanita mampu untuk memilih jenis dan jumlah asupan

oral melalui persalinan. Perawat melengkapi instrumen survei untuk pola asupan dan
emesis oral wanita selama semua tahapan kerja. Sebelumnya dalam persalinan 103

wanita memilih asupan oral, menurun menjadi 50 wanita selamafase mendorong. Pada

fase postpartum langsung, 104 wanita mengkonsumsi makanan dan / atau cairan. Dari

wanita yang makanatau minum selama persalinan, 20 wanita muntah dan 8 dari

merekawanita muntah lebih dari satu kali. Muntah adalah asosiasi makan lebih banyak

dengan makanan daripada asupan cairan tetapi tidak ada hubungan ditemukan dengan

jumlah makanan yang dicerna. Tak satupun dari wanita yang muntah mengalami hasil

yang buruk danlama persalinan tidak berbeda antara wanita yang muntahited versus

mereka yang tidak.

Scrutton, Metcalfe, Lowy, Seed, dan O'Sullivan (1999) melakukan uji coba

secara acak untuk menentukan efek adiet ringan, residu rendah ( N = 48) atau hanya air

( N = 46) selama persalinan pada profil metabolisme wanita, hasil persalinan,dan

volume lambung residual. Pada kelompok diet-ringan, konsumsi makanan menurun

ketika tenaga kerja meningkat. Pada akhir persalinan kelompok hanya air menunjukkan

ketosis yang lebih besar serta kadar glukosa plasma dan insulin yang lebih rendah.

Volume gastrik lebih besar pada kelompok makan dalam 1 jam kelahiran. Kelompok

makan dua kali lebih mungkin untuk muntahsekitar waktu kelahiran, dan volume yang

dimuntahkan adalah secara signifikan lebih besar daripada kelompok air. Grup tidak

berbeda dalam durasi persalinan, penggunaan oksitosin, mode kelahiran, skor Apgar,

atau gas darah pusar.Parsons Bidewell, dan Nagy (2006) mempelajari efek nyamakan di

persalinan awal pada hasil ibu dan bayidalam percobaan komparatif prospektif dari 176

risiko rendah nomorwanita Australia yang suka bersenang-senang. Makanan


dikonsumsi oleh 82 orangwanita, sedangkan 94 hanya mengkonsumsi cairan bening.

Makanan di-ambil selama fase laten dari tahap pertama persalinan itu terkait dengan

persalinan yang lebih lama. Tidak ada perbedaan yang ditemukan dalam tingkat

intervensi medis, hasil kelahiran yang merugikan (O’Sullivan and Scrutton, 2003).

Beberapa penelitian di atas, menjelaskan mengenai manfaat makan dan minum

selama persalinan. Akan tetapi anjuran makan dan minum ini berada dalam batas

ketentuan yang wajar. Karena terdapat pula dampak negatif yang tidak dapat dipungkiri

dari makan dan minum selama proses persalinan ini. Seperti hiponatremia ketika Ibu

mengkonsumsi air mineral lebih dari 2.500 ml selama proses persalinan. Atau keadaan

muntah saat persalinan ketika Ibu berlebihan makan makanan selama persalinan. Meski

demikian, dari keseluruhan penelitian yang meneliti makan dan minum selama

persalinan tidak memiliki dampak negatif terhadap lama persalinan atau pun hasil

persalinan yaitu bayi. Artikel ini, menganjurkan Ibu untuk tetap konsumsi makan dan

minum selama persalinan, dengan makanan yang ringan rendah lemak seperti biskuit,

roti, buah-buahan, yogurt, jus buah atau mengkonsumsi minuman istonik untuk

menghindari kejadian ketosis pada Ibu selama persalinan dan memberi tambahan energi

dan stamina selama persalinan.

G. Manfaat Minuman Isotonik

Isotonik minuman olahraga oral memberikan cara yang efektif untuk mencapai

tujuan ini meskipun faktanya isotonisitas membatasi beban kalori. Karakteristik Ideal
untuk penyerapan cepattion dengan residu lambung. Yang mengejutkan, sebuah penelitian

di Belanda baru-baru ini terhadap 201 wanita nulipara acak untuk mengkonsumsi baik

karbohidrat atau minuman non karbohidrat menunjukkan bahwa kejadian seksio sesarea

secara statistik lebih tinggi pada karbohidrat grup. Dalam publikasi lain, kelompok yang

sama melaporkan bahwa 70% ibu diizinkan akses ke asupan oral selama persalinan

memilih untuk hanya mengkonsumsi air. Peneliti dari Rumah Sakit St. Thomas

mengulangi penelitian asli mereka, kelompok yang diizinkan minum isotonik dalam

persalinan dengan kelompok yang hanya minum air biasa. Terlepas dari keterbatasan kalori

cairan isotonik, terbuktiminuman ini mencegah kenaikan b-hydroxybutyrate dan asam

lemak non-esterifikasiterlihat di grup kelaparan. Sekali lagi, tidak ada perubahan dalam

hasil persalinan, tetapi berbeda dengan diet ringan yang diizinkan dalam penelitian asli,

tidak ada peningkatan dalam volume lambung residual dalam kelompok minuman olahraga

isotonik. Meskipun ini Pendekatan mungkin tidak memberikan seluruh jawaban,

setidaknya memberikan cara mencegah ketosis yang mungkin dapat diterima oleh sebagian

besar ahli anestesi (O’Sullivan ​et al.,​ 2009).

H. Pathway Makanan dan Minuman selama Persalinan

Berdasarkan keaktifan jenis makanan dan minuman yang baik selama persalinan,

dapat diterapkan dalam permodelanprotap makanan dan minuman yang perlu dilakukan uji

lanjutan sebagai upaya peningkatan kualitas asuhan bidan.


I. Peran Bidan

Peran bidan dalam memberikan makan dan minum dalam proses persalinan menurut

(World Health Organization, 2014) adalah :

1. Dorong wanita untuk makan dan minum sesuai keinginannya selama persalinan.

2. Minuman cair yang bergizi penting, bahkan pada akhir persalinan.

3. Jika wanita tersebut mengalami kelelahan selama persalinan, pastikan dia makan dan

minum.

Sedikit bukti yang ada untuk mendukung kelanjutan praktik pembatasan seputar

nutrisi dalam persalinan untuk semua wanita. Pilihan perempuan dipengaruhi oleh

pendapat praktisi kesehatan, pengalaman dan praktik metode dan kebijakan (atau

ketiadaan). Pedoman / kebijakan yang jelas perlu dibuat berdasarkan bukti saat ini. Bidan

membutuhkan paparan penelitian yang lebih besar, serta keterlibatan dalam pengembangan

dan implementasi kebijakan.

Penting untuk mempertimbangkan kepentingan psikologis makanan dan cairan untuk

wanita dalam proses persalinan. Sebagai tambahannya memberikan hidrasi, nutrisi, dan

kenyamanan mengurangi tingkat stres wanita dan memberikan kontrol. 54 perasaan.

Simkin menilai peristiwa persalinan yang penuh stres danmenemukan bahwa 27% wanita

menganggap pembatasan makanan dalam persalinan sedang hingga paling stres; 57%

menganggap pembatasan cairan menjadi cukup untuk yang paling membuat stres.

Unggasmenemukan hasil yang serupa dalam survei yang diambil 2 bulan setelah

melahirkan: membatasi asupan oral selama persalinan dapat menambah stres persalinan.
Pada 2015, sebuah penelitian kualitatif eksploratif dengan purposive pengambilan sampel

untuk menilai kebutuhan, nilai, dan preferensi ibu nifasselama persalinan normal dan

kelahiran dilakukan di Iran. Temukan-ings dari wawancara semi-terstruktur dan

mendalam; informal pelayanan; dan catatan lapangan menunjukkan bahwa perempuan

itukecewa dengan pembatasan makanan dan minuman selama la-dan percaya bahwa

promosi kenyamanan adalahkebutuhan sential selama persalinan. Pada tahun yang sama,

simpatisan AS mengacak 150 wanita dalam persalinan ke dalam 2 kelompok: anggota satu

kelompok menerima minuman protein tinggi (325 mL) dengan eskeripik atau air sesuai

kebutuhan, dan anggota kelompok kontrol hanya menerima keping es atau air sesuai

kebutuhan. Hasil ini termasuk insiden mual dan emesis, laju pengosongan lambung, dan

kepuasan pasien. Tingkat pengosongan lambung sebanding, dan tidak ada perbedaan dalam

insidensi mual atau emesis atau komorbiditas lainnya; perempuanyang mengonsumsi

minuman protein tinggi memiliki kepuasan yang lebih tinggi (Myers and Tyler, 2019).

Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa ibu yang manglami lapar, haus dan

kelelahan karena cairan oral dan asupan makanan pembatasan selama persalinan, yang

mempengaruhi proses persalinan alami. Berdasarkan pengalaman para wanita, secara RCT

dan rekomendasi diberikan dalam pedoman klinis, penelitian ini merekomendasikan bahwa

wanita dengan komplikasi rendah risiko harus diizinkan memiliki cairan dan

makananselama persalinan (Ozkan, Kadioglu and Rathfisch, 2017).


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Makan dan minum pada saat proses persalinan boleh dilakukan. Menurut sebuah

penelitian, makan dan minum saat persalinan normal diperbolehkan karena tidak berisiko.

Makan dan minum saat melahirkan juga penting untuk membantu Ibu lebih nyaman dalam

menghadapi persalinan. Melahirkan adalah aktivitas fisik melelahkan dan lama. Jika tidak

mendapat asupan makanan atau minuman, tubuh ibu akan bereaksi seperti muntah, sakit

kepala atau pusing. Pemenuhan kebutuhan nutrisi pada ibu bersalin sangatlah penting khusus

pemenuhan kebutuhan cairan/hidrasi, karena sebagai sumber tenaga bagi ibu untuk

menjalani proses persalinannya. Minum pada saat proses persalinan pun ternyata dapat

menghilangkan kelelahan dan juga dapat mencegah dehidrasi pada ibu bersalin. Dan dengan

makan dan minum pada saat persalinan ternyata juga dapat menghilangkan stress. Makan

dan minum pada saat persalinan tidak ada pengaruhnya dengan persalinan akan berlangsung

lama, mual dan muntah (asalkan porsi dan jenis makanan yang dikonsumsi sesuai dengan

yang dibutuhkan).

Kebutuhan gizi pada masa post partum sangat penting terutama bila menyusui, nurisi

yg dibutuhkan akan meningkat 25%, karena berguna untuk proses kesembuhan karena

sehabis melahirkan dan untuk memproduksi air susu yang cukup untuk menyehatkan bayi

semua itu akan meningkat tiga kali dari kebutuhan biasa. Untuk itu utrisi yang di konsumsi

ibu pasca melahirkan harus bermutu tinggi, bergizi dan cukup kalori.
B. Saran

Sebagai bidan yang sebaiknya dilakukan yaitu dengan memfasilitasi dan

mengedukasi ibu untuk memenuhi kebutuhan nutrisi nya, tidak hanya pada masa kehamilan

tetapi juga pada saat proses persalinan. Hal ini sangat penting sebagai sumber energi ibu saat

akan mengeluarkan bayinya (mengejan), apabila kebutuhan gizi ibu terpenuhi ibu tidak akan

stress dan mudah lelah sehingga proses persalinannya pun akan berjalan dengan lancar.
DAFTAR PUSTAKA

American Dietetic Association ​et al. (2009) ‘Nutrition and athletic performance’, ​Medicine and
Science in Sports and Exercise​. Lippincott Williams and Wilkins, pp. 709–731. doi:
10.1249/MSS.0b013e31890eb86.

Ciardulli, A. ​et al. (2017) ‘Less-restrictive food intake during labor in low-risk singleton
pregnancies a systematic review and meta-analysis’, ​Obstetrics and Gynecology.​
Lippincott Williams and Wilkins, pp. 473–480. doi: 10.1097/AOG.0000000000001898.

Declercq, E. R. ​et al. (2014) ‘ Major Survey Findings of Listening to Mothers SM III: Pregnancy
and Birth ’, ​The Journal of Perinatal Education.​ Springer Publishing Company, 23(1), pp.
9–16. doi: 10.1891/1058-1243.23.1.9.

Kashanian, M., Javadi, F. and Haghighi, M. M. (2010) ‘Effect of continuous support during labor
on duration of labor and rate of cesarean delivery’, ​International Journal of Gynecology
and Obstetrics​. International Federation of Gynecology and Obstetrics, 109(3), pp.
198–200. doi: 10.1016/j.ijgo.2009.11.028.

Mason, J. B. ​et al. (2012) ‘Opportunities for improving maternal nutrition and birth outcomes:
synthesis of country experiences.’, ​Food and nutrition bulletin​, 33(2 Suppl), pp. 104–138.
doi: 10.1177/15648265120332s107.

Myers, B. and Tyler, C. V. (2019) ‘Does the oral intake of solid food or fluids during labor affect
maternal or fetal outcomes?’, ​Evidence-Based Practice,​ 22(4), pp. 7–8. doi:
10.1097/ebp.0000000000000236.

O’Sullivan, G. ​et al. (2009) ‘Effect of food intake during labour on obstetric outcome:
Randomised controlled trial’, ​BMJ (Online),​ 338(7699), p. 880. doi: 10.1136/bmj.b784.

O’Sullivan, G. and Scrutton, M. (2003) ‘NPO during labor is there any scientific validation?’,
Anesthesiology Clinics of North America​, 21(1), pp. 87–98. doi:
10.1016/S0889-8537(02)00029-9.

Ozkan, S. A., Kadioglu, M. and Rathfisch, G. (2017) ‘Restricting Oral Fluid and Food Intake
during Labour: A Qualitative Analysis of Women’s Views’, ​International Journal of
Caring Sciences,​ 10(1), pp. 1–235. Available at:
www.internationaljournalofcaringsciences.org.

Rooks, J. P. ​et al. (1989) ‘Outcomes of Care in Birth Centers’, ​New England Journal of
Medicine​, 321(26), pp. 1804–1811. doi: 10.1056/NEJM198912283212606.

Sengane, M. L. M. and Nolte, A. G. W. (2012) ‘The expectations of fathers concerning care


provided by midwives to the mothers during labour’, ​Health SA Gesondheid,​ 17(1), pp.
1–10. doi: 10.4102/hsag.v17i1.527.

Singata, M., Tranmer, J. and Gyte, G. M. (2010) ‘Restricting oral fluid and food intake during
labour.’, ​The Cochrane database of systematic reviews,​ (1), p. CD003930. doi:
10.1002/14651858.CD003930.pub2.

Singata, M., Tranmer, J. and Gyte, G. M. L. (2013) ‘Restricting oral fluid and food intake during
labour’, ​Cochrane Database of Systematic Reviews,​ 2013(8). doi:
10.1002/14651858.CD003930.pub3.

Toohill, J., Soong, B. and Flenady, V. (2008) ‘Interventions for ketosis during labour’, ​Cochrane
Database of Systematic Reviews.​ John Wiley and Sons Ltd. doi:
10.1002/14651858.CD004230.pub2.

Utilization, E. (2016) ‘Providing Oral Nutrition to Women in Labor: American College of


Nurse-Midwives’, ​Journal of Midwifery and Women’s Health,​ 61(4), pp. 528–534. doi:
10.1111/jmwh.12515.

World Health Organization (2014) ‘WHO recommendation on oral fluid and food intake during
labour for women at low risk’, pp. 1–3. Available at:
https://extranet.who.int/rhl/topics/preconception-pregnancy-childbirth-and-postpartum-care/
care-during-childbirth/care-during-labour-1st-stage/who-recommendation-oral-fluid-and-fo
od-intake-during-labour-women-low-risk.

Irianti, B., Hartiningtiyaswati, S., Kementrian, K., Tasikmalaya, K., Tinggi, S., Kesehatan, I., &
Email, S. (2019). ​Analisis pemberian makan dan minum pada masa persalinan​. ​9​(2).

Manizheh, P., & Leila, P. (2009). Perceived environmental stressors and pain perception during
labor among primiparous and multiparous women. ​Journal of Reproduction & Infertility​,
10​(3), 217–223. Retrieved from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23926472%0Ahttp://www.pubmedcentral.nih.gov/art
iclerender.fcgi?artid=PMC3719331

Nunes, V. D., Gholitabar, M., Sims, J. M., & Bewley, S. (2014). Intrapartum care of healthy
women and their babies: Summary of updated NICE guidance. ​BMJ (Online)​,
349​(December). https://doi.org/10.1136/bmj.g6886

Rahmani, R., Khakbazan, Z., Yavari, P., Granmayeh, M., & Yavari, L. (2012). Effect of oral
carbohydrate intake on labor progress: Randomized controlled trial. ​Iranian Journal of
Public Health​, ​41​(11), 59–66.

Singata, M., Tranmer, J., & Gyte, G. M. L. (2013). Restricting oral fluid and food intake during
labour. ​Cochrane Database of Systematic Reviews,​ ​2013(​ 8).
https://doi.org/10.1002/14651858.CD003930.pub3

황은주​. (2010). Cochrane library 사 ​ 용지침서. ​J Clinical Otolaryngeal​, ​21​(0113), 293–299.


Retrieved from papers3://publication/uuid/873FFF72-9526-4A03-888D-BD87A9A0CF08

Hadianti, D. N. (2018) ‘Kemajuan Persalinan Berhubungan Dengan Asupan Nutrisi’, 6(3), pp.
231–238. doi: 10.11428/jhej1987.42.189.

Irianti, B. ​et al.​ (2019) ‘Analysis Eating And Drinking During Labor’, 9(2), pp. 167–174.

Kemenkes RI (2018) ​Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017​. Jakarta: Kemenkes RI.

King, R. ​et al. (2011) ‘Oral nutrition in labour: “Whose choice is it anyway?” A review of the
literature’, ​Midwifery​. Elsevier, 27(5), pp. 674–686. doi: 10.1016/j.midw.2010.05.006.

Kristianingsih dkk (2019) ‘Wellness and healthy magazine’, 1(February), pp. 41–47. Available
at: https://wellness.journalpress.id/wellness/article/view/v1i218wh.

Malin, G. L. ​et al. (2016) ‘Does oral carbohydrate supplementation improve labour outcome? A
systematic review and individual patient data meta-analysis’, ​BJOG: An International
Journal of Obstetrics and Gynaecology​, 123(4), pp. 510–517. doi:
10.1111/1471-0528.13728.

Rahmani, R., Khakbazan, Z., Yavari, P., Granmayeh, M., & Yavari, L., et al (2012) ‘Effect of
oral carbohydrate intake on labor progress: randomized controlled trial’, ​Iran J Public
Health,​ 41(11), pp. 59–66.

Anda mungkin juga menyukai