Anda di halaman 1dari 12

KEBERADAAN KAUM DISABILITAS SEBAGAI BENTUK

KEBERAGAMAN YANG HARUS DIHARGAI

Oleh:

Alya Farah Fadhilah (1), Ayu Ardiyani (2) dan Kezia Perbina Ginting (3)
14020119120018, 14020119120027 (2), 14020119120017 (3)
Departemen Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Diponegoro

ABSTRAK

Sebagian besar penyandang disabilitas mampu untuk mengelola diri dalam hidupnya.
Kemampuan yang dimiliki oleh kaum disabilitas sangat bertolak belakang dengan penyediaan
fasilitas atau kebijakan yang diberikan untuk pelayanan kaum disabilitas. Banyak ditemui bahwa
unit pelayanan yang diberikan oleh pemerintah tidak mendukung akses pelayanan kaum
disabilitas. Oleh karena itu penting dilakukan kajian tentang aksesbilitas pelayanan publik yang
dikhususkan untuk difabel. Maka dibutuhkan pemahaman khusus untuk mengkaji apa yang
dirasakan difabel. Hal ini merupakan substansi dari konseling lintas budaya yang selama ini
menjadi hal yang tabu jika membahas kaum difabel. Harapannya, dengan adanya kebijakan
pemerintah terkait pelayanan disabilitas dapat memberikan solusi untuk menyejahterakan
kehidupan bagi penyandang disabilitas, memberikan informasi untuk para penyandang disabilitas
seperti penyediaan jasa layanan pembacaan, pelatihan dalam menggunakan peralatan braile,
dalam layanan pendidikan pemerintah telah membangun Sekolah Luar Biasa.

Kata Kunci: difabel, fasilitas publik, pendidikan masyarakat

ABSTRACT
Most people with disabilities are able to manage themselves in their lives. The ability of persons
with disabilities is in stark contrast to the provision of facilities or policies provided for the
services of persons with disabilities. It is often found that service units provided by the
government do not support access to services for people with disabilities. Therefore it is
important to do a study of the accessibility of public services that are specific to the disabled. So
special understanding is needed to examine what the diffable feels. This is the substance of
cross-cultural counseling which has been a taboo when discussing persons with disabilities. The
hope, with the government policy related to disability services can provide solutions to improve
the lives of people with disabilities, provide information for people with disabilities such as the
provision of reading services, training in using braile equipment, in government education
services have built an Extraordinary School.
Keywords: disabled, public facilities, public education
A. PENDAHULUAN
Manusia yang ada di dunia ini tidak semua terlahir dengan sempurna. Ada diantara
mereka yang harus terlahir dengan kekurangan fisik ataupun mental. Atau mungkin mereka yang
tadinya terlahir sempurna harus mengalami suatu musibah, yang membuat mereka pada akhirnya
harus menjadi golongan kaum disabilitas. Kaum disabilitas ini tentunya merupakan bagian dari
NKRI. Kaum disabilitas adalah bagian dari masyarakat Indonesia. Dimana seluruh masyarakat
Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama di depan hukum. Oleh sebab itu dalam
merumuskan kebijakan, pemerintah harus memperhatikan keberadaan kaum disabilitas, agar
kebijakan pemerintah tersebut dapat melindungi hak-hak kaum disabilitas.
Istilah disabilitas sendiri digunakan untuk menyebutkan mereka yang memiliki
keterbatasan fisik ataupun mental. Sebagian masyarakat Indonesia mungkin masih menganggap
asing istilah ini, bila kita bandingkan dengan penggunaan istilah penyandang cacat, bagi mereka
yang memiliki keterbatasan tersebut. Istilah penyandang cacat dianggap bermakna negatif dan
kurang humanis, yang tidak mengambarkan rasa kemanusiaan yang menghargai sesama manusia.
Oleh sebab itu istilah penyandang cacat ini pun sesuai dengan UU No. 8 Tahun 2016 Tentang
Penyandang Disabilitas, diganti dengan istilah penyandang disabilitas.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menyebutkan
bahwa Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik,
intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan
lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan
efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Menurut UU ini maka hak para
penyandang disabilitas tentunya dilindungi oleh Negara. Sehingga tidak ada perbedaan diantara
kaum disabilitas dengan warga Negara lainnya.
Keberadaan Undang-Undang ini tentunya diharapkan dapat memfasilitasi kaum
disabilitas dalam menjalankan aktifitasnya, sehingga para penyandang disabilitas tidak
merasakan dan mengalami yang namanya diskriminasi sosial dalam menjalankan aktifitasnya.
Namun dalam kenyataannya stigma ketidaksempurnaan dimiliki oleh para penyandang
disabilitas, sehingga hal ini menyebabkan para penyandang disabilitaas termajinalkan dari pola
interaksi sosial masyarakat yang utuh. Rasanya keadilan sesungguhnya belum dapat dirasakan
oleh kaum disabilitas ini. Berpacu pada penelitian yang pernah dituliskan sebelumnya (Petra W.
B. Prakosa, 2011), masih terdapat kasus diskriminasi yang menimpa kaum disabilitas, seperti
dalam hal pemenuhan hak, pendidikan, pekerjaan, kesehatan, fasilitas umum seperti transportasi,
pusat perbelanjaan, tempat ibadah, ataupun dalam hal kesaamaan di depan hukum. Hal ini dapat
terjadi karena lemahnya kebijakan pemerintah dalam memfasilitasi kaum disabilitas. Sulitnya
aksesibilitas bagi kaum disabilitas ini tentunya mengakibatkan para kaum disabilitas tidak dapat
mencapai namanya kesejahteran dalam hidupnya, sangatlah disayangkan.
Dalam hal ini tentunya sangat diperlukan peranan pemerintah dalam merealisasikan kebijakan
yang ada sehingga segala bentuk fasilitas umum dan aksesibilitas yang ada dapat ikut dirasakan
dan bermanfaat bagi kaum disabilitas Dan tentunya melalui UU ini Indonesia dapat mewujudkan
penghormatan, pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia bagi kaum disabilitas.
B. LANDASAN TEORI
Istilah kebijakan saat ini lebih sering merujuk pada konteks tindakan-tindakan atau
kegiatan-kegiatan yang dilakukan aoleh institusi pemerintahan. Menurut Carl Friedrich kebijakan
itu adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seorang, kelompok,
atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan
tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang
diinginkan.
Dalam hal ini maka seorang pakar Prancis, Lemieux (1995:7), mengatakan bahwa
kebijakan publik merupakan produk aktivitas-aktivitas yang dimaksudkan untuk memecahkan
masalah-masalah publik yang terjadi di lingkungan tertentu yang dilakukan oleh actor-aktor
politik yang hubungannya terstruktur. Keseluruhan proses aktivitas itu berlangsung sepanjang
waktu. Kebijakan publik sesuai dengan hakikatnya yang merupakan suatu tindakan yang
mengarah pada suatu tujuan, tentunya akan lebih mudah dipahami apabila kebijakan itu diperinci
kedalam beberapa kategori, yaitu: 1) tuntutan kebijakan, 2) keputusan kebijakan, 3) pernyataan
kebijakan, 4) keluaran kebijakan, dan 5) hasil akhir kebijakan.
Oleh sebab itu dalam prosesnya diperlukanlah yang disebut dengan analisis kebijakan.
Menurut Dror (1971) analisis kebijakan adalah suatu pendekatan dan metodologi untuk
mendesain dan menemukan alternativ-alternatif yang dikehendaki berkenaan dengan sejumlah
isu yang kompleks. Terdapat beberapa pendekatan yang bisa diterapkan dalam hal ini. Setiap
analis kebijakan dapat menggunakan aaupun mengombinasikan peandekatan tersebut sesuai
dengan kebutuhannya. Tulisan ini akan membahas pendekatan proses, dimana pendekatan ini
berupaya mengidentifikasi proses kebijakan. Dalam pendekatan ini terdapat banyak masalah
sosial yang diteliti untuk dikenali sebagai suatu masalh masalah kebijakan, nantinya oleh para
pembuat kebijakan akan ditindaklanjuti. Kemudian kebijakan itu akan diseleksi dan dipilih,
diimplementasikan oleh aparat pemerintah, lalu dievaluasi, yang pada akhirnya nanti akan
diubah sesuai dengan hasil evaluasi atas keberhasilan atau kekurangannya. (Wahab, Solichin
Abdul, 2015: 46-47)
Mengacu pada pernyataan diatas maka disini pemerintah juga telah membuat suatu
kebijakan publik bagi para penyandang disabilitas, dimana menurut Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas disebutkan bahwa Penyandang Disabilitas adalah
setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam
jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan
kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan
kesamaan hak.
C. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan sebelumnya, maka tulisan ini akan membahas
beberapa rumusan masalah, yakni sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk kebijakan publik yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia untuk
memfasilitasi kaum disabilitas dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan,
ketenagakerjaan dan interaksi sosial lainnya?
2. Bagaimana implementasi kebijakan publik tersebut bagi kaum disabilitas?
D. PEMBAHASAAN
D. 1 Kebijakan Publik terhadap Kaum Disabilitas
Seluruh masyarakat Indonesia memiliki hak yang sama untuk memperoleh pelayanan
yang sama dari pemerintah, tanpa ada pengecualian bagi mereka yang termasuk kedalam kaum
disabilitas. Mereka yang merupakan kaum disabilitas tidak hanya menjadi tanggung jawab Dinas
Sosial, mereka juga memerlukan perhatian dari Pemerintah Pusat agar kebutuhan atau pun hak
mereka dapat diperoleh secara adil di segala aspek kehidupan. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini,
penulis akan memaparkan bagaimana kebijakan publik yang telah disusun oleh pemerintah untuk
melindungi hak dan memfasilitasi kaum disabilitas dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan,
pekerjaan, kesehatan, dan interaksi sosial lainnya.
Ada beberapa lembaga yang telah mengumpulkan data penyandang disabilitas di
Indonesia, seperti diantaranya adalah Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Pendidikan,
Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Sosial. Dari data yang berhasil dikumpulkan ini
terdapat perbedaan karena dalam pengumpulannya pun terdapat perbedaan konsep dan definisi,
tergantung kepada kebutuhan dan tujuan tiap-tiap lembaga yang bersangkutan.
Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2012, jumlah penyandang
disabilitas adalah sebesar 2,45% (6.515.500 jiwa) dari 244.919.000 jumlah penduduk Indonesia
pada tahun 2012. Sedangkan menurut Program Perlindungan dan Layanan Sosial (PPLS) tahun
2012 jumlah penyandang disabilitas secara nasional adalah sebanyak 3.838.985 jiwa. Jumlah
penyandang disabilitas ini cenderung lebih tinggi pada masyarakat yang tinggal di daerah
pedesaan, pada kelompok umur yang tinggi, perempuan, tingkat pendidikan rendah, tidak
bekerja, atau bekerja sebagai petani/buruh nelayan, dan indeks kepemilikan terbawah. Hanya
37,85% penyandang disabilitas yang bekerja, dan di antara penyandang disabilitas yang bekerja
tersebut, sebesar 51% bekerja di bidang pertanian.
Dari data tersebut, maka sebagai Negara hukum Indonesia sudah selayaknya memberikan
perlindungan hak bagi para penyandang disabilitas tersebut. Sesuai dengan UUD NRI Tahun
1945 Pasca Amandemen dicantumkan Bab XA tentang perihal Hak Asasi Manusia. Bab inilah
yang dapat dijadikan acuan dan bentuk nyata dari perlindungan hak konstitusional warga Negara
secara keseluruhan, termasuk didalamnya warga Indonesia yang merupakan kaum disabilitas.
Terdapat juga UU No. 19 Tahun 2011 yang mengatur berbagai hak yang harus dipenuhi negara
terhadap kaum disabilitas. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa undang-undang
tentang disabilitas, yakni diantaranya UU No. 4 Tahun 1997 yang mengatur pemenuhan hak
difabel aksesibilitas difabel, Undang-Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik, serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Ada beberapa sektor pelayanan publik yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam
pemenuhan hak kaum disabilitas, yakni:
1. Pelayanan Pendidikan
Setiap warga Negara berhak memperoleh pendidikan yang layak, tanpa adanya pengecualian
ataupun diskriminasi. Pendidikan adalah hal yang penting yang nantinya dapat meningkatkan
kualitas sumber daya manusia warga Negara kita. UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang
Cacat dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menekankan hak setiap
warga negara untuk memperolah pendidikan sesuai dengan jenjang, jalur, satuan, bakat, minat,
dan kemampuannya tanpa diskriminasi. Dalam hal ini seharusnya dalam bidang pendidikan
formal tidak lagi terdapat perbedaan diantara kaum disabilitas dan masyarakat umum. UU No. 4
Tahun 1997 pasal 12 menjelaskan bahwa lembaga-lembaga pendidikan umum untuk mewajibkan
melakukan penerimaan siswa yang merupakan penyandang disabilitas. Kewajiban inilah yang
akhirnya disebut sebagai model inklusi. Namun sangat disayangkan bahwasanya Undang-
Undang ini hanya mengatur penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah, tidak untuk
pendidikan pada jenjang perguruan tinggi.
Untuk menindaklanjuti UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi serta untuk
menyelesaikan persoalan yang ada diatas, maka dikeluarkan dan disahkanlah Peraturan Menteri
(PERMEN) yakni Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 46
Tahun 2014 tentang Pendidikan Khusus, Pendidikan Layanan Khusus dan atau Pembelajaran
Layanan Khusus pada Pendidikan Tinggi oleh pemerintah melalui Kemendikbud. Dalam
Peraturan ini seluruh Universitas yang ada di Indonesia dapat memberi akses seluas-luasnya bagi
para penyandang disabilitas untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
2. Pelayanan Kesehatan
Menurut Kementerian Kesehatan, Penyandang Disabilitas memiliki hak untuk memperoleh
standar kesehatan tertinggi yang bisa dicapai tanpa diskriminasi karena disabilitas. Para
penyandang disabilitas dapat mengakses pelayanan kesehatan yang peka terhadap gender,
termasuk rehabilitasi yang terkait dengan kesehatan. Pelayanan kesehatan dimulai dari
pencegahan, kemudian rehabilitasi dan pelayanan kesehatan bagi penyandang disabilitas baik
promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif. Pencegahan disabilitas harus dilakukan sedini
mungkin, namun jika disabilitas telah terjadi, diupayakan tingkat kemandirian seoptimal
mungkin sesuai potensi yang dimiliki.
3. Kebijakan Ketenagaakerjaan
Pemerintah dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal
31, menyebutkan bahwa: Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk
memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam
atau di luar negeri. Penyandang disabilitas merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang
juga memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan kesempatan serta peran yang sama dalam segala
aspek kehidupan maupun penghidupan. Pengakuan tersebut telah dikuatkan secara hukum
melalui Undang-Undang no 8 tahun 2013 tentang Penyandang Disabilitas, yang menyebutkan
bahwa (1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik
Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2% (dua persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah
pegawai atau pekerja; (2) Perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1% (satu
persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja. Sanksinya pun tak main-main.
Jika melanggar, akan diberlakukan ancaman pidana maksimal 6 bulan dan/atau denda maksimal
200 juta rupiah.
Pada dasarnya setiap orang yang bekerja semata mata hanyalah untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, tetapi tidak bagi mereka para penyandang disabilitas. Dengan mereka bekerja maka
sekaligus melatih keterampilan sosial mereka dalam berinteraksi dengan orang lain, melatih
kemandirian mereka, serta mereka dapat menjalankan perannya sebagai makhluk sosial. Dengan
bekerja juga, mereka dapat meningkatkan rasa percaya dirinya, sehingga mereka dapat
menunjukkan bahwa mereka juga mampu melakukan sesuatu hal, tidak kalah dengan mereka
yang tidak memiliki kebutuhan khusus.
D. 2 Implementasi Kebijakan Publik Tentang Disabilitas (Keberhasilan/ Kegagalan
Kebijakan Tersebut)
Kaum difabel merupakan manusia yang berkebutuhan khusus (disabilitas), dimana orang
tersebut mempunyai kehidupan dengan karakteristik khusus dan berbeda dengan orang-orang
pada umumnya. Orang disabilitas tersebut mempunyai keterbatasan dalam melakukan aktivitas,
baik keterbatasan fisik maupun mental. Dengan adanya keterbatasan tersebut, sangat penting
bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan pelayanan khusus agar memdapatkan hak-
haknya sebagai manusia, karena didepan hukum pun mereka layak mendapatkan perlakuan yang
sama seperti orang orang pada umumnya.
Pelayanan yang diberikan diharapkan mampu mengatasi masalah bagi penyandang difabel,
baik dalam pelayanan pendidikan, kesehatan, maupun ketenagakerjaan. Harapannya, dengan
adanya pelayanan tersebut penyandang didabilitas mampu mendapatkan pelayanan yang baik
dan hak-hak mereka sebagai warga negara dapat terjamin.
Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang krusial dalam proses kebijakan publik.
Jika suatu kebijakan telah dibuat dan ditetapkan,kebijakan tersebut tidak akan berhasil dan
terwujud apabila tidak diimplementasikan. Implementasi kebijakan publik menurut Robert
Nakamura dan Frank S adalah keberhasilan dalam mengevaluasi masalah dan kemudian
menerjemahkan kedalam keputusan-keputusan yang bersifat khusus, sedangkan menurut Jones
Implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis yang melibatkan secara terus
menerus usaha -usaha untuk mencari apa yang akan dan dapat dilakukan. Suatu program
kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak dan tujuan sesuai yang diinginkan.
Oleh karena itu, peningkatan peran para Penyandang Disabilitas dalam pembangunan nasional
sangat penting untuk mendapat perhatian khusus dari Pemerintah karena negara berkewajiban
dalam menjamin dan melindungi kesejahteraan hidup warga negaranya.
Implementasi beberapa upaya pemerintah dalam pelayanan bagi penyandang disabilitas
diantaranya:
1. Pelayanan pendidikan
Seperti yang telah kita ketahui bahwa pendidikan merupakan kebutuhan yang sangat penting
bagi setiap warga negara. Pendidikan tidak hanya diterapkan pada mereka yang mempunyai fisik
dan non fisik yang baik, namun pendidikan penting juga untuk diterapkan pada orang yang
mengalami keterbatasan seperti penyandang disalibilitas. Pendidikan diselenggarakan dengan
memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan
pengendalian mutu layanan pendidikan. Begitu  bunyi Undang-undang RI No.20 tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional. Pendidikan ini diharapkan mampu melatih pola pikir mereka
dalam membentuk karakter mereka. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah
anak yang berkebutuhan khusus di Indonesia mencapai angka 1,6 juta anak. Upaya pemerintah
dalam mengatas kasus ini diantaranya dengan membangun unit sekolah baru, yaitu Sekolah Luar
Biasa (SLB), dan mendorong pembangunan Sekolah Inklusi di daerah-daerah. Dari 1,6 juta anak
berkebutuhan khusus di Indonesia, baru sekitar 18 persen yang sudah mendapatkan pelayanan
pendidikan inklusi. Sebanyak 115 ribu anak berkebutuhan khusus bersekolah di SLB, sedangkan
ABK yang bersekolah di sekolah reguler pelaksana Sekolah Inklusi berjumlah sekitar 299 ribu.
Untuk memberikan akses pendidikan kepada ABK yang tidak bersekolah di SLB, pemerintah
telah menjalankam program sekolah Inklusi. Sekolah Inklusi merupakan sekolah reguler yang
juga melayani pendidikan bagi penyandang disalibilitas. Di sekolah reguler, penyandang
disabilitas akan mendapatkan pendidikan dengan pendampingan guru khusus selama kegiatan
belajar mengajar. Menurut Kemendikbud terdapat 62 kabupaten di Indonesia yang belum
mempunyai SLB, saat ini jumlah anak berkebutuhan khusus yang sudah mendapat layanan
pendidikan baru mencapai angka 18 persen.
2. Pelayanan Ketenagakerjaan
Seperti yang telah tertera diatas, pelayanan ketenagakerjaan bagi penyandang disabilitas
merupakan bagian yang tidak bisa ditinggalkan. Penyandang disabilitas berhak atas hak hak
mereka terutama dalam mendapatkan pekerjaan. Adanya keterbatasan pada diri mereka, bukan
berarti mereka tidak dapat bekerja. Menyangkut masalah ini pemerintah sudah selayaknya
memberikan layanan bagi mereka agar dapat melatih keterampilan mereka.  Berbagai peraturan
telah dikeluarkan oleh pemerintahan dalam rangka melindungi dan menjamin kesejahteraan
penyandang disabilitas maupun peraturan perundang-undangan yang mengatur perlakuan khusus
penyandang disabilitas. Seperti pada  Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun
1945 (“UUD 1945”):
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Hak penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan tertuang dalam pasal 5
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan Setiap tenaga kerja memiliki
kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.
Dalam Penjelasan Pasal 5 UU Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa setiap tenaga kerja mempunyai
hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa
membedakan jenis kelamin, suku, ras, agaman, dan aliran politik sesuai dengan minat dan
kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap
penyandang cacat.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan perekonomian bagi
penyandang disabilitas diantaranya yaitu menjalin kerja sama dengan Kementrian Perindustrian.
Kerja sama ini merupakan bentuk komitmen pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan
perekonomian mereka dalam bentuk perluasan kesempatan kerja untuk mengurangi angka
kemiskinan di Indonesia. Seperti di Provinsi DKI Jakarta, pemerintah telah bekerja sama dengan
BUMN dan BUMD serta sektor swasta untuk memperkerjakan penyandang disabilitas. Namun
faktanya kerja sama tersebut belum dapat berjalan dengan efektif.Hal ini dikarenakan BUMN
dan BUMD serta sektor swasta belum memperkerjakan penyandang disabilitas sebesr kuota yang
telah ditetapkan undang-undang. Demikian pula tidak pernah diterapkan hukuman pidana bagi
pelanggar sistem kuota tersebut. Kondisi ini dapat dijelaskan melalui sejumlah faktor
sebagaimana diklasifikasikan oleh Grindle dalam content dan context. Dari sisi konten,
dikarenakan kebijakan tersebut dinilai perusahaan tidak memberikan keuntungan bagi mereka.
Sementara di sisi konteks, diketahui bahwa implementasi kebijakan ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu kurangnya sosialisasi kebijakan dan lemahnya koordinasi bagi pelaksana
kebijakan.Namun demikian, faktor kedudukan pengambilan keputusan Grindle dipandang
penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan, ternyata tidak memiliki pengaruh dalam
implementasi kebijakan afirmatif bagi penyandang disabilitas ini.
Kiranya kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah ini dapat berjalan sesuai dengan
tujuannya, sehingga hak-hak para penyandang disabilitas dapat terpenuhi dan mereka tidak
merasa terdiskriminasi. Seiring berjalannya kebijakan yang ada pun dapat berdampak bagi
kehidupan kaum disabilitas untuk menuju kehidupan yang lebih sejahtera.

E. KESIMPULAN
Seluruh masyarakat Indonesia memiliki hak yang sama untuk memperoleh pelayanan yang
sama dari pemerintah, tanpa ada pengecualian bagi mereka yang termasuk ke dalam kaum
disabilitas. Dari data dan fenomena tersebut kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pemerintah
sudah mengupayakan segala cara dalam menunjang kehidupan orang berkebutuhan khusus, baik
dari pelayanan pendidikan, pelayanan ketenagakerjaan, dan pelayanan kesehatan. Harapannya,
dengan adanya kebijakan tersebut dapat memberikan solusi untuk menyejahterakan kehidupan
bagi penyandang disabilitas, memberikan informasi untuk para penyandang disabilitas seperti
penyediaan jasa layanan pembacaan, pelatihan dalam menggunakan peralatan braile, dalam
layanan pendidikan pemerintah telah membangun Sekolah Luar Biasa (SLB) hal ini ditujukan
pada penyandang disabilitas agar mereka mendapatkan pendidikan dalam membangun karakter
mereka serta mendorong pembangunan sekolah inklusi di daerah-daerah. Selain itu dalam bidang
ketenagakerjaan, pemerintah telah bekerja sama dengan BUMN dan BUMD serta sektor swasta
untuk membuka kesempatan kerja bagi mereka penyandang disabilitas. Pemerintah telah
mengupayakan penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat berkebutuhan khusus, sehingga
hidup mereka terjamin. Tetapi, sampai saat ini pemerintah belum memiliki strategi baru dalam
pemberian bantuan sosial, yaitu seperti strategi untuk dapat meminimkan biaya sehingga
penyandang disabilitas yang mendapatkan bantuan sosial yang lebih meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, Siti. “Implementasi Kebijakan Aksesibilitas Pelayanan Bagi Difabel Di Yogyakarta
Tahun 2015,” Jurnal Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,
Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta.
(file:///C:/Users/keziaginting/Documents/11.%20NASKAH%20PUBLIKASI.pdf)

Andriani, Nurul Saadah. “KEBIJAKAN RESPONSIF DISABILITAS:Pengarusutamaan


Managemen Kebijakan di Level Daerah, Nasional dan Internasional,” Research Gate,
PALASTREN, Vol. 9, No. 1, Juni 2016.
(https://www.researchgate.net/publication/314156225_KEBIJAKAN_RESPONSIF_DISA
BILITAS_SEBUAH_PRIORITAS_DALAM_MANAGEMEN_KEBIJAKAN_DI_LEVEL
_DAERAH_NASIONAL_DAN_INTERNASIONAL)

Anggraeni, Novita, dan Sad Dian Utomo. Pelayanan Publik Bagi Disabilitas: Kajian Praktik Baik
dan Inovasi dari Mitra Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 (tahun 2015-2016) di Lima
Provinsi pada Sektor Pelayanan Publik. Jakarta: PATTIRO Pusat Telaah dan Informasi
Regional, 2014. (file:///C:/Users/keziaginting/Downloads/PATTIRO2018%20-
%20Pelayanan%20Publik%20Bagi%20Disabilitas%20(1).pdf)
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. “Analisis Implementasi Kebijakan
Afirmatif Bagi Penyandang Disabilitas Dalam Bidang Ketenagakerjaan di DKI Jakarta,”
11 Desember, 2019. (http://fisip.ui.ac.id/analisis-implementasi-kebijakan jakarta -afirmatif-
bagi-penyandang-disabilitas-dalam-bidang-ketenagakerjaan-di-dki- /)

Karim, Muhammad Afdal. “Implementasi Kebijakan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang


Disabilita di Kota Makassar,” Jurnal Mahasiswa Pascasarjana STIA LAN, Makassar.
(file:///C:/Users/keziaginting/Documents/jurnal%201.pdf)

Kementerian Kesehatan RI. Situasi Penyandang Disabilitas. Jakarta: Bulletin Jendela Data dan
Informasi Kesehatan, 2014.(file:///C:/Users/keziaginting/Downloads/buletin-disabilitas
%20(2).pdf)

Lestari, Eta Yuni, Slamet Sumarto, dan Noorochmat Isdaryanto. “Pemenuhan Hak Bagi
Penyandang Disabilitas Di Kabupaten Semarang Melalui Implementasi Convention On
The Rights Of Persons With Disabillities (Cprd) Dalam Bidang Pendidikan,” Integralistik,
No.1/Th. XXVIII/2017, Januari-Juni, 2017.
(file:///C:/Users/keziaginting/Downloads/11804-27425-1-SM.pdf)

Nuraviva , Lelly. “Aksesibilitas Penyandang Disabilitas Terhadap Fasilitas Publik Di Kota


Surakarta,” Jurnal Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Diponegoro, Semarang. (file:///C:/Users/keziaginting/Downloads/19073-
38713-1-SM%20(1).pdf)

Pramudiana, Ika Devy. “Implementasi Kebijakan Pelayanan Publik Bagi Masyarakat


Penyandang Cacat,” Dimensi, Vol 9 (1), 2016, hal. 25-30.
(file:///C:/Users/keziaginting/Documents/jurnal%202.pdf)

Pratomo, Dion Teguh , Sudarsono , dan Mohammad Fadli. “Pelaksanaan Perlindungan Hak Atas
Pendidikan Bagi Penyandang Disabilitas (People With Disability) Di Universitas Negeri
Gorontalo,” Jurnal Pascasarjana Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,
Universitas Brawijaya. (https://media.neliti.com/media/publications/35510-ID-
pelaksanaan-perlindungan-hak-atas-pendidikan-bagi-penyandang-disabilitas-people.pdf)
Priamsari, RR. Putri A. “Hukum Yang Berkeadilan Bagi Penyandang Disabilitas,” Masalah-
Masalah Hukum, Jilid 48 No.2, April 2019, Hal. 215-223.
(file:///C:/Users/keziaginting/Downloads/21176-63094-1-PB.pdf)

Purinami , Geminastiti, Nurliana Cipta Apsari, dan Nandang Mulyana. “Penyandang Disabilitas
Dalam Dunia Kerja,” Jurnal Pekerjaan Sosial, ISSN: 2620-3367, Vol. 1 No. 3, Hal. 234 -
244, Desember, 2018. (file:///C:/Users/keziaginting/Downloads/20499-54047-1-SM.pdf)

Rahayu, Sugi, dan Utami Dewi. “Pelayanan Publik Bagi Pemenuhan Hak-Hak Disabilitas Di
Kota Yogyakarta,” Jurnal Universitas Negeri Yogyakarta.
(file:///C:/Users/keziaginting/Downloads/3194-8281-1-SM.pdf)

Saputro, Sulistyo, dkk. “Analisis Kebijakan Pemberdayaan dan Perlindungan Sosial Penyandang
Disabilltas,” Neliti, Jakarta: Kemenko PMK, 2015.
(https://www.neliti.com/id/publications/834/analisis-kebijakan-pemberdayaan-dan-
perlindungan-sosial-penyandang-disabilltas)

Syafie, M. “Pemenuhan Aksesibilitas Bagi Penyandang Disabilitas,” Inklusi, Vol.1, No. 2 Juli –
Desember, 2014. (file:///C:/Users/keziaginting/Downloads/1075-2021-1-SM.pdf)

Wahab, Solichin Abdul. Analisis Kebijakan Dari Formulasi ke Penyusunan Model-Model


Implementasi Kebijakan Publik. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2015.

Anda mungkin juga menyukai