Anda di halaman 1dari 40

1

INOVASI KEBIJAKAN PUBLIK INKLUSIF: STUDI TENTANG

PROGRAM RANTANG KASIH UNTUK MENINGKATKAN

KESEJAHTERAAN LANSIA DI KABUPATEN BANYUWANGI, JAWA

TIMUR

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertama kali yang memperkenalkan administrasi publik, yang selanjutnya

dikenal sebagai old public administration (OPA), adalah Woodrow Wilson dan

Leonard Dupee White yang menyatakan bahwa administrasi publik sangat layak

menjadi suatu kajian, mengingat bidang administrasi pada dasarnya sama dengan

bidang bisnis. Melaksanakan kebijakan serta memberi pelayanan publik harus

dilakukan secara netral serta profesional agar mencapai tujuan yang ditentukan.

Paradigma OPA mengalami pergeseran ke arah pendekatan birokratik yang tidak

efektif, tidak efisien, serta tidak transparan, sehingga pemerintah gagal dalam

menggerakkan pembangunan. Osborne dan Gaebler (1996) dalam reinventing

government memberikan anti-tesa dengan menekankan pelayanan publik dari

pemerintah untuk masyarakat adalah hal penting, dengan hal tersebut pemerintah

perlu mendobrak kebijakan yang tidak sesuai, dan memberi kewenangan pada

pihak swasta agar berpartisipasi mengelola pelayanan publik berdasarkan

paradigma new public managemen (NPM), yang merupakan pengetahuan dari

manajemen bisnis untuk meningkatkan efisiensi serta efektivitas kinerja

pelayanan publik dalam birokrasi, agar dapat berorientasi (menguasai) pasar


2

secara efektif dan efisien. Osborne dan Gaebler (1996) menganggap bahwa

prinsip NPM tersebut memerlukan 10 (sepuluh) aspek agar pelayanan publik

menjadi smaller (kecil dan efisien), faster (bekerja cepat dan efektif), cheaper

(berbiaya/operasional murah),serta kompetitif.

Prinsip NPM bertujuan untuk memberi kepuasan masyarakat melalui

peningkatan kualitas pelayanan berdasarkan pengetahuan serta pengalaman

manajemen bisnis, tapi Denhardt dan Denhardt (2003) menganggap bahwa prinsip

NPM tersebut telah gagal diterapkan pada negara berkembang seperti Indonesia

dan negara miskin seperti yang ada di benua afrika, karena tidak sesuainya dengan

prinsip ideologi, politik, ekonomi, serta sosial budaya. NPM harus diganti dengan

paradigm new public service (NPS) sebagai paradigma yang mengarah pada

democracy, pride and public citizen. Dalam konteks ini NPS menganggap bahwa

public servant do not delivery customers service, they deliver democracy

(Denhardt dan Denhardt, 2003), sehingga diperlukan 4 (empat) aspek post

positivistik, yaitu: pertama, Theory Democratic Citizenship (Teori Tentang

Demokrasi Kewarga-negaraan). Tujuannya agar setiap pengambilan kebijakan

melibatkan warga negara (masyarakat), agar terbentuk solidaristik serta komitmen

untuk menghindari konflik. Warga negara tidak ditempatkan sebagai entitas serta

obyek pada sistem hukum yang selalu diatur serta dikendalikan oleh suatu hak dan

kewajiban yang legal, tetapi ditempatkan sebagai aktor politik yang dapat

membentuk pilihan sesuai aturan yang ditetapkan.

Diferensiasi tersebut mengarahkan pada pemahaman jika NPS menganggap

birokrasi sebagai alat rakyat harus tunduk pada suara rakyat yang rasional dan
3

legitimit (normatif maupun konstitusional). Birokrat tidak sebatas mahluk

ekonomi seperti maksud NPM, tapi juga mahluk sosial, politik, serta implementor

pelayanan publik. NPS yakin bisa memberi perubahan pada kondisi birokrasi

sebelumnya dengan keberaniaan serta kesediaan birokrat mengorbankan waktu

dan tenaga untuk mempengaruhi sistem pelayanan. NPS meminta pemerintah

mendengarkan suara publik serta meminta semua pihak untuk berpartisipasi

daripada menjadi penonton.

Pembangunan manusia menjadi salah satu penentu keberhasilan

pembangunan kesejahteraan sosial. Seperti yang diuraikan dalam Undang-Undang

Dasar Pasal 33 bahwa perekonomian disusun berdasarkan usaha bersama dengan

asas kekeluargaan. Hal ini menunjukkan bahwa negara ikut serta dalam

menangani masalah sosial dan jaminan sosial. Pembangunan kesejahteraan sosial

merupakan salah satu perwujudan untuk mencapai tujuan bangsa yang sudah

tertera dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal

34 ayat 1 – 4 yang berisi kewajiban negara untuk memelihara fakir miskin dan

anak terlantar. Oleh karena itu, fakir miskin dan anak terlantar seperti yang

dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945,

pemerintah pusat maupun pemerintah daerah memberikan rehabilitasi sosial

jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial sebagai perwujudan

pelaksanaan kewajiban negara dalam menjamin terpenuhinya hak atas kebutuhan

dasar warga negara yang miskin dan tidak mampu.

Selain Undang-Undang Dasar tahun 1945, kesejahteraan sosial juga tertera

pada Undang-Undang No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.


4

Kesejahteraan sosial merupakan kondisi terpenuhinya kebutuhan material,

spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu

mengembangkan diri sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Kesejahteraan sosial diselenggarakan sebagai upaya yang terarah, terpadu, dan

berkelanjutan yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah

serta masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara meliputi

rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.

Sebagai upaya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, Pemerintah

menyusun berbagai program. Anggaran yang dialokasikan dalam program

perlindungan sosial pada tahun 2023 sebesar 476 triliun untuk membantu

masyarakat miskin dan rentan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan dalam

jangka panjang diharapkan mampu memotong rantai kemiskinan. Arah kebijakan

perlinsos difokuskan pada perbaikan data dan penargetan program perlinsos

melalui Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek), penguatan graduasi kemiskinan,

pengentasan kemiskinan ekstrem dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Selain itu, kementerian sosial juga menyusun program kerja untuk meningkatkan

kesejahteraan sosial antara lain, Program Keluarga Harapan, Program Bantuan

Pangan (BPNT), Program Indonesia Pintar (PIP), dan Kartu Perlindungan Sosial

(KPS) (PerekonomianRI, 2021).

Saat ini, kesejahteraan sosial untuk warga lanjut usia menjadi isu penting

yang perlu menjadi perhatian pemerintah dalam pembangunan nasional. Hal ini

disebabkan karena jumlah penduduk lansia selalu meningkat setiap tahunnya dan

sebagian besar masih kekurangan sehingga mereka harus bekerja keras untuk
5

memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Peraturan lebih lanjut mengenai

kesejahteraan sosial lanjut usia dituangkan dalam Undang-Undang Dasar No. 13

tahun 1998. Upaya kesejahteraan sosial lanjut usia diarahkan agar lanjut usia tetap

dapat diberdayakan sehingga dapat ikut serta dalam kegiatan pembangunan

dengan memperhatikan fungsi, kearifan, pengetahuan, keahlian, keterampilan,

pengalaman, usia, dan kondisi fisiknya serta terselanggaranya pemeliharaan taraf

kesejahteraan sosial lanjut usia. Upaya ini bertujuan untuk memperpanjang usia

harapan hidup dan masa produktif, terwujudnya kemandirian dan

kesejahteraannya, terpelihara sistem nilai budaya dan kekerabatan bangsa

Indonesia serta lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pemerintah melalui kementerian sosial menginisiasi program kesejahteraan

sosial untuk lansia sesuai dengan kebutuhannya, antara lain program rehabilitasi

sosial dan perlindungan sosial. Program rehabilitasi sosial yang diluncurkan oleh

Kementerian Sosial adalah ATENSI (Asistensi Rehabilitasi Sosisal Lanjut Usia).

ATENSI merupakan layanan rehabilitasi sosial untuk lansia yang menggunakan

pendekatan keluarga, komunitas, dan/atau residensial melalui dukungan

pemenuhan hidup layak, perawatan sosial, dan/atau pengasuhan anak, dukungan

keluarga, terapi fisik, terapi psikososial, terapi mental spiritual, pelatihan

vokasional, pembinaan kewirausahaan, bantuan dan asistensi sosial serta

dukungan aksesibilitas (Akbar, 2022).

Menteri sosial mengusulkan untuk pemberian bantuan pada lansia tunggal

yang berusia di atas 80 tahun yang sudah tidak berdaya dan tidak memiliki

keluarga dengan bantuan diberikan sebanyak 21 ribu per hari pada tahun 2022.
6

Hal ini diberikan karena lansia tunggal (lansia yang hidup sendiri) menjadi

tanggung jawab masyarakat serta tanggung jawab negara. Adapun untuk

pemberian bantuan tidak hanya berupa pemberian uang, tetapi juga bantuan

makanan yang disalurkan oleh Pokmas (kelompok masyarakat). Selain itu,

menteri sosial juga mengusulkan untuk pendirian layanan terpadu untuk lansia

yang berfungsi untuk pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial (Kemensos,

2023).

Oleh karena itu, beberapa daerah sudah mulai menerapkan pemberian

bantuan pada lansia, seperti Permakanan. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi

melakukan salah satu terobosan dalam menangani masalah kemiskinan khususnya

lansia miskin dan atau sebatangkara dengan meluncurkan program yang bernama

“Rantang Kasih”.

Rantang Kasih merupakan program yang dilaksanakan oleh pemerintah

kabupaten Banyuwangi sejak tahun 2017 dan masih terus berjalan sampai

sekarang. Dalam program Rantang Kasih para lansia yang miskin mendapat

kiriman makanan siap saji setiap harinya dengan gratis. Adapun uniknya program

ini yaitu memiliki sebuah aplikasi digital yang bernama Jalin Kasih, yang dimana

isi dalam aplikasi ini yaitu data seluruh permasalahan tentang kemiskinan dengan

berbasis geospasial, dilengkapi oleh data penduduk miskin dan dikelompokkan

sesuai program bantuan kemiskinan yang sesuai untuk masing-masing. Selain itu

juga dalam aplikasi ini seluruh warga yang ingin berpatisipasi bisa melalui

aplikasi ini. Pada tahun 2019 program ini masuk dalam 99 inovasi pelayanan

publik dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi


7

(KemenPAN-RB) dari total 3.156 inovasi se-Indonesia dalam Kompetisi Inovasi

Pelayanan Publik (KIPP) dan pada tahun 2020 program ini mendapat rekor

MURI. Penghargaan MURI diberikan kepada Kabupaten Banyuwangi melalui

program rantang kasih dalam bidang kemanusiaan dan lingkungan hidup karena

menjadi daerah yang pertama di dunia yang memberikan ribuan dhuafa makanan

siap saji yang bergizi setiap harinya (Albab, 2020).

Rantang Kasih merupakan suatu program pelayanan publik yang memiliki

fokus dalam memuliakan lansia miskin terlantar sebatang kara dan dalam

penerapannya program ini telah di atur dalam Peraturan Bupati Banyuwangi

Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Mekanisme Penyelenggaraan Pelayanan Program

Rantang Kasih Bagi Lanjut Usia Miskin Sebatang kara, dan di perbarui dengan

Peraturan Bupati Banyuwangi Nomor 22 Tahun 2021 Tentang Program Rantang

Kasih. Program tersebut merupakan pemberian rantang makanan gratis kepada

lansia miskin dan atau sebatangkara yang diberikan setiap hari. Adapun kendala

yang dihadapi selama program ini berjalan yaitu mengenai pagu anggaran yang

dipatok hanya sebesar Rp. 15.000 (belum potong pajak) untuk 2 (dua) kali makan.

Dengan melihat kondisi ekonomi dan bahan – bahan pokok mengalami kenaikan

maka pagu anggaran tersebut dirasa sangatlah kecil. Sehingga kedepannya

diharapkan adanya kenaikan pagu anggaran dengan memperhitungkan potongan

pajak, jasa antar makan, keuntungan warung dan untuk 2 kali makan sehari.

Selain itu juga perlu pengadaan terkait rantang tempat makan karena saat ini

sudah tidak layak pakai. Permasalahan ini menjadikan Kabupaten Banyuwangi

potensial untuk diteliti dikarenakan dalam program ini Banyuwangi menjadi


8

kabupaten pertama yang memberikan bantuan makanan secara langsung dan

gratis kepada setiap lanjut usia (lansia) yang hidup sebatangkara dan kaum

dhuafa.

Kebijakan rantang kasih menjadi inovasi kebijakan yang inklusif yang

dilakukan oleh pemerintah Banyuwangi. inovasi kebijakan mencakup inovasi

tambahan berdasarkan pembelajaran kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah

dan inovasi radikal yang dipicu oleh inovasi konseptual (Windrum & Koch,

2008). Inovasi kebijakan merupakan perubahan yang dapat terjadi pada tujuan

kebijakan dan sarana kebijakan. Inovasi kebijakan salah satunya dilakukan dengan

perluasan tujuan kebijakan kepada masyarakat dengan memasukkan aspek sosial-

ekonomi dan politik. Keberhasilan inovasi kebijakan dan pengembangannya

ditentukan oleh pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah, metode, dan desain

alat kebijakan yang digunakan (Aminullah & Erman, 2021).

Akan tetapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih terdapat kelompok

manusia yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dan kesejahteraannya, khusunya

di Kabupaten Banyuwangi yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Data

kemiskinan Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, menunjukkan terdapat

4.828 orang lansia miskin sebatang kara. Mereka memenuhi kebutuhan hidupnya,

terutama pangan, dengan bergantung pada belas kasihan tetangganya. Angka

kemiskinan di Banyuwangi dari tahun 2016-2021 mengalami penurunan dan

kenaikan. Sepanjang tahun 2016-2019 angka kemiskinan mengalami penurunan

sedangkan sepanjang tahun 2019-2021 mengalami kenaikan. Salah satu penyebab


9

naiknya angka kemiskinan di Banyuwangi adalah semakin naiknya jumlah

penduduk berusia lanjut.

Angka Kemiskinan Kabupaten Banyuwangi

2016 2017 2018 2019 2020 2021

8,79 8,64 7,80 7,52 8,06 8,07

Sumber : BPS Kab. Banyuwangi

Angka kemiskinan tertinggi di Indonesia ditemukan terjadi pada penduduk

usia 65 tahun ke atas. Penduduk yang hari ini masih tergolong aman secara sosial

ekonomi belum tentu tetap aman di masa depan, karena pendapatan mereka

mengalami perubahan dan krisis/bencana kecil saja dapat dengan mudah membuat

penduduk lansia menjadi miskin. Selain itu lansia juga memerlukan biaya

kesehatan yang lebih tinggi, sehingga keluarga yang menanggung biaya penduduk

lansia tersebut dapat mengalami kesulitan atau beban keuangan yang signifikan.

Berdasarkan data angka kemiskinan Kabupaten Banyuwangi menunjukkan bahwa

program Rantang Kasih berpengaruh dalam menurunkan angka kemiskinan

Kabupaten Banyuwangi pada awal diadakan program rantang kasih dalam kurun

waktu 2017 hingga 2019. Akan tetapi, akibat merebaknya virus COVID-19

menyebabkan angka kemiskinan menjadi meningkat. Selain akibat dari covid-19,

angka kemiskinan meningkat juga dikarenakan setiap tahunnya angka penduduk

usia lanjut usia juga semakin meningkat. Berikut merupakan data lansia dalam

kurun waktu 2017-2022.

Jumlah Penduduk Lansia Kabupaten Banyuwangi


10

2017 2018 2019 2020 2021 2022


>60
230.701 238.954 245.768 238.587 249.231 260.474
tahun
Sumber : BPS Kab. Banyuwangi

Meningkatnya jumlah penduduk lansia ini akan berakibat pada kemiskinan

yang semakin meningkat juga. Hal ini dikarenakan lansia mengalami proses

penuaan yang ditandai dengan semakin rentannya tubuh terhadap berbagai

serangan penyakit yang berakibat pada menurunnya produktifitas yang dimiliki

oleh lansia (Wahyudin et al., 2019). Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa

kebijakan rantang kasih belum mampu menjangkau kesejahteraan seluruh lansia

yang ada di banyuwangi. Padahal kebijakan rantang kasih menjadi kebijakan

inklusif bagi lansia karena kebijakan ini akan menjangkau seluruh lansia yang

tidak memiliki pekerjaan dan hidup sebatang kara tanpa keluarga.

Tidak banyak penelitian yang membahas terkait perlindungan lansia saat ini

baik di Indonesia maupun di luar negeri, padahal kesejahteraan lansia merupakan

hal yang sangat penting dan layak untuk diteliti. Salah satu penelitian terkait

perlindungan lansia adalah yang dilakukan oleh Yanuardi, Kurnia Nur Fitriana,

dan Marita Ahdiyana (2017) yang berjudul Evaluasi Kebijakan Sosial

Peningkatan Kesejahteraan Lanjut Usia Terlantar. Penelitian tersebut membahas

Kebijakan sosial terhadap Lanjut Usia Terlantar di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pada penelitian tersebut menjelaskan Persoalan lansia DIY tidak hanya pada

jumlah lansia yang tinggi tetapi juga dihadapkan pada titik kritis eksistensi sosial

LUT dan kesejahteraan sosial lansia. Persoalan lansia seharusnya menjadi agenda

kebijakan sosial terbesar untuk dipecahkan dalam prioritas pembangunan,


11

Kebijakan sosial terhadap LUT di DIY masih belum dapat mencapai hasil yang

optimal. Dari data dilapangan menunjukkan, bahwa jumlah kebijakan dilakukan,

baik di dalam maupun di luar lingkup balai yang menggunakan anggaran pusat

dan daerah hanya menyentuh sebagian kecil.

Kebijakan rantang kasih tentunya harus dikaji lebih mendalam apakah

kebijakan tersebut sudah dilaksanakan dengan baik dan tepat sasaran sehingga

menjadi inovasi kebijakan publik inklusif terhadap lansia yang dilakukan oleh

pemerintah. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengkaji implementasi

kebijakan rantang kasih sebagai inovasi kebijakan publik inklusif dalam

meningkatkan kesejahteraan lansia. Penelitian ini akan berfokus pada bagaimana

implementasi program “Rantang Kasih” yang dibuat oleh pemerintah daerah

Kabupaten Banyuwangi dengan mengevaluasi pada kendala yang dihadapi dan

faktor apa saja yang mendukung implementasi program tersebut agar dapat

diketahui sejauh mana program Rantang Kasih dapat memberikan kesejahteraan

kepada lansia khususnya Lansia yang ada di Kabupaten Banyuwangi.

1.2. Pertanyaan Penelitian

Perumusan masalah merupakan pertanyaan yang akan dicarikan jawabannya

melalui proses pengumpulan data, yang selanjutnya dikembangkan berdasarkan

prinsip penelitian menurut tingkat eksplanasi yang masalahnya dikelompokkan

dalam bentuk masalah deskriptif, komparatif, dan asosiatif. Perumusan masalah

yang ditetapkan dalam disertasi ini adalah:


12

“Bagaimana implementasi program rantang kasih serta apa saja faktor

pendukung dan penghambat program tersebut dalam memberikan

kesejahteraan kepada lansia?”

1.3. Batasan Penelitian

Beberapa batasan masalah dalam penelitian ini antara lain adalah sebagai

berikut ini.

1. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji implementasi program Rantang

Kasih di Banyuwangi.

2. Model implementasi yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah model

implementasi George C. Edward III (1980).

3. Penelitian ini tidak mengkaji program Rantang Kasih di daerah lain.

1.4. Tujuan Penelitian

Bertitik tolak dari latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan

dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana implementasi program

“Rantang Kasih” serta faktor pendukung dan penghambat program tersebut dalam

memberikan kesejahteraan kepada lansia.”

1.5. Manfaat Penelitian

Disamping mempunyai tujuan yang hendak dicapai, penelitian ini juga

memiliki manfaat sebagai berikut :

1.4.1 Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi

pengembangan khazanah Ilmu Administrasi, utamanya teori


13

Implementasi dalam Inovasi kebijakan publik.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian disertasi ini dapat memberi manfaat praktis pada

berbagai pihak yang berkepentingan, sebagaimana terumuskan sebagai

berikut :

1. Penelitian ini memberi kontribusi pada Pemerintah Kabupaten

Banyuwangi sebagai bahan perumusan, implementasi, dan evaluasi

Kebijakan publik.

2. Penelitian ini menjadi masukan bagi pengembangan suatu

kebijakan tentang kebijakan publik yang telah diimplementasikan

tersebut agar lebih baik.

3. Sebagai stimulus para peneliti untuk memberikan informasi pada

praktisi yang bergerak pada kebijakan publik, baik dalam lembaga

pemerintah, swasta, maupun lembaga kemasyarakatan, agar

kebijakan publik dapat diimplementasikan efektif.


14

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka dalam proposal disertasi merupakan kegiatan peninjauan

kembali atau review suatu pustaka yang berkaitan atau relevan dengan topik

penelitian yang dipilih penulis, meliputi: teori implementasi, teori administrasi

publik, teori inovasi kebijakan, dan Undang-Undang No. 23 Th. 2014 dan PP No.

38 Th. 2017.

2.2.1 Implementasi

Teori implementasi banyak dikonsepkan oleh banyak tokoh. Pada penelitian

ini teori implementasi yang dijabarkan adalah teori implementasi Mazmanian &

Sabatier (1983), Edward III (1980), dan Grindle (1980). Berikut merupakan

penjabaran dari teori-teori implementasi tersebut.

Mazmanian & Sabatier (1983) mengembangkan model implementasi

kebijakan berupa model kontrol efektif dan pencapaian. Langkah pendekatan

kebijakan tidak dapat membantu dalam memahami proses pembuatan kebijakan

karena pendekatan ini membagi suatu proses menjadi serangkaian bagian yang

tidak artifisial dan realistis. Mazmanian dan Sebatier mengembangkan kerangka

implementasi kebijakan dengan mengklasifikasikannya menjadi tiga variabel

yaitu:

a) Variabel Independen

Terdiri atas tiga variabel independen yaitu:

(1) Variabel kemampuan dalam melihat masalah dilihat dari aspek tingkat

kesulitan masalah, keberagaman perilaku kelompok sasaran, persentase


15

kelompok sasaran disbanding dengan popolasi, dan sejauh mana

dibutuhkannya perubahan perilaku.

(2) Variabel kemampuan kebijakan untuk mensistematiskan proses dalam

implementasinya dilihat dari aspek kejelasan dan konsistensi tujuan,

keterpaduan hirarki dalam dan diantara Lembaga pelaksana, aturan

keputusan dari badan pelaksana, ketepatan alokasi sumber daya,

rekruitmen pejabat pelaksana, dan akses pihak luar secara formal.

(3) Variabel pengaruh langsung politih terhadap tujuan kebijakan meliputi

indicator dukungan politik, kondisi sosial ekonomi dan teknologi,

dukungan dari pejabat atasan, sikap dan sumber daya yang dimiliki

kelompok, komitmen dan kemampuan pejabat pelaksana.

b) Variabel Intervening

Variabel intervening merupakan kemampuan suatu kebijakan untuk

menstrukturkan proses implementasi dengan indikator konsistensi tujuan dan

kejelasan.

c) Variabel Dependen

Variabel dependen merupakan proses implementasi kebijakan yang

terdiri dari lima tahapan yaitu:

(1) Kebijakan dijalankan oleh organisasi

(2) Kepatuhan kelompok sasaran pada kebijakan

(3) Dampak dari kebijakan

(4) Dampak kebijakan mulai dirasakan

(5) Revisi dalam kebijakan


16

Model implementasi Mazmanian dan Sebatier (1983) dapat dilihat pada

gambar 2.1 berikut:

Gambar 2.1

Model Implementasi Mazmanian dan Sebatier (1983)

Edward III (1980) mengembangkan teori implementasi kebijakan yang

dilihat dari empat faktor internal organisasi yang terdampak dari suatu kebijakan.

Empat faktor penentu tersebut perlu diperhatikan agar implementasi kebijakan

menjadi efektif dan efisien. Adapun keempat faktor tersebut menurut Edward III

adalah sebagai berikut:

1) Komunikasi

Implementasi kebijakan menjadi efektif dan efisien jika masing-masing

individu yang menerapkan kebijakan dapat memahami apa yang harus

dilakukan. Kebijakan yang diimplementasikan harus dapat di komunikasikan

dengan benar, jelas, dan konsisten pada semua implementornya. Jangan

sampai menimbulkan perbedaan persepsi antar implementor.


17

2) Sumber Daya

Sebaik apapun komunikasi dalam suatu organisasi yang

mengimplementasikan kebijakan, tetapi jika sumber daya dari pelaksana

kebijakan tidak mendukung, maka implementasi kebijakannya tidak akan

berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Komponen dalam sumber daya

meliputi jumlah pegawai, kecakapan pegawai, informasi yang jelas, adanya

kewenangan yang menjamin, dan adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang

menunjang pelayanan.

3) Disposisi (Sikap)

Sikap dari implementor merupakan faktor yang memengaruhi bagaimana

pengimplementasian kebijakan di suatu organisasi. Jika implementor setuju

dengan isi kebijakan tersebut, maka mereka akan menerapkan kebijakan

dengan senang hati. Namun, jika implementor berbeda pandangan denga nisi

kebijakan, maka dalam proses implementasinya akan mengalami kesulitan.

Terdapat tiga sikap dalam implementasi kebijakan yaitu efek disposisi,

pengaruran birokrasi, dan insentif.

4) Struktur Birokrasi

Hal yang tak kalah penting selain ketiga faktor yang sudah disebutkan

sebelumnya adalah kesesuaian struktur birokrasi. Koordinasi yang baik dalam

organisasi perlu diperhatikan agar implementasi kebijakan menjadi lebih

efektif. Kebijakan yang komplek membutuhkan kerja sama dari berbagai

pihak dalam pengimplementasian kebijakan.


18

Model implementasi kebijakan Edward III dapat dilihat pada gambar 2.2

berikut:

Gambar 2.2

Model Implementasi Kebijakan Edward III

Grindle (1980) mengembangkan model implementasi kebijakan yang

berasumsi bahwa implementasi merupakan proses umum tindakan administratif

yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu. Proses implementasi suatu

kebijakan dimulai jika tujuan dan sasaran telah ditentukan, program kegiatan telah

disusun, dan dana untuk pelaksanaan telah dialokasikan.

Model Grindle menyajikan struktur kebijakan yang desentralisasi, dimana

terdapat ruang bagi pelaksana untuk menjabarkan kebijakan melalui perumusan

program dan kegiatan. Hal tersebut membuat Model Grindle menjadi lebih

komprehensif dibandingkan dengan dua model sebelumnya. Pendekatan yang

digunakan untuk menganalisis implementasi kebijakan penyetaraan jabatan

administrasi ke dalam jabatan fungsional di lingkungan Direktorat Jenderal

Perkeretaapian adalah teori yang dikembangkan oleh Grindle.

Model Grindle mencakup dua aspek yang memengaruhi keberhasilan

implementasi yaitu dari isi kebijakan (policy content) dan dari konteks
19

implementasi (policy context). Model implementasi Grindle adalah sebagai

berikut:

1) Isi Kebijakan (policy content) meliputi

a) Kepentingan kelompok sasaran

Kepentingan kelompok sasaran berkaitan dengan berbagai

kepentingan yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan.

Indikator ini didasarkan pada pelaksanaan kebijakan melibatkan banyak

kepentingan serta sejauh mana pengaruh yang dibawa oleh kepentingan-

kepentingan tersebut dalam pengimplementasian kebijakan

b) Jenis manfaat yang dihasilkan

Jenis manfaat yang dimaksud adalah jenis manfaat yang diterima

oleh sasaran kebijakan yang dibuat. Manfaat dari kebijakan bertujuan

untuk menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan harus menghasilkan

dampak positif dalam pengimplementasian kebijakan.

c) Derajat perubahan yang diinginkan

Yaitu sejauh mana perubahan yang diinginkan dari adanya

kebijakan baru. Derajat perubahan yang akan dicapai menunjukkan

seberapa besar perubahan yang hendak dicapai melalui implementasi

kebijakan. Derajat perubahan berkaitan dengan penyesuaian perilaku dan

partisipasi dari pihak yang terdampak kebijakan.

d) Kedudukan pengambilan keputusan

Kebijakan tertentu berkaitan dengan kewenangan dan kerumitan

dalam pengambilan keputusan terhadap tingkat instansi. Pengambilan


20

keputusan dalam suatu kebijakan memegang peranan penting pada

pelaksanaan kebijakan, maka perlu dijelaskan dimana letak pengambilan

keputusan dari suatu kebijakan yang akan diimplementasikan.

e) Pelaksana program

Pelaksana program dimaksudkan sebuah kebijakan telah

menetapkan pelaksananya secara rinci. Implementasi suatu kebijakan

harus didukung dengan adanya pelaksana kebijakan yang memiliki

kompetensi demi keberhasilan kebijakan

f) Sumber daya yang terlibat

Untuk melihat apakah sebuah kebijakan didukung dengan sumber

daya yang memadai. Sumber daya yang memadai bertujuan agar

pelaksanaan kebijakan dapat berjalan dengan baik.

2) Konteks Implementasi (policy content)

a) Kekuasaan, kepentingan, dan strategi dari implementor yang terlibat

Suatu kebijakan perlu diperhitungkan mengenai kekuasaan,

kepentingan, dan strategi yang digunakan oleh para implementor yang

terlibat guna melancarkan implementasi kebijakan. Seringkali tujuan dari

masing-masing implementor bertentangan satu sama lain, termasuk hasil

dan konsekuensi yang ditentukan melalui strategi, sumber daya, dan

masing-masing implementor.

b) Karakteristik Lembaga dan kewenangan

Lingkungan dimana kebijakan dilaksanakan akan berpengaruh

terhadap keberhasilan implementasi kebijakan. Oleh karena itu, pada


21

pada bagian ini dijelaskan karakteristik lembaga yang memengaruhi

kebijakan.

c) Kepatuhan dan daya tanggap pelaksana

Demi mencapai tujuan dari kebijakan, organisasi berhadapan

dengan dua masalah yang timbul dari interaksi antar lingkungan dan

administrasi kebijakan. Masalah yang pertama adalah bagaimana

organisasi menjaga kepatuhan agar tujuan dari kebijakan dapat tercapai

dan yang kedua bagaimana responsivitas dari organisasi terhadap

keinginan penerima manfaat dari pelayanan yang diberikan agar tujuan

kebijakan dapat tercapai.

Model Implementasi Kebijakan Grindle dapat dilihat pada gambar 2.3

berikut:

Gambar 2.3

Model implementasi yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah model

implementasi Grindle (1980) meliputi isi kebijakan (policy content) dan dari

konteks implementasi (policy context).

2.2.2 Administrasi Publik


22

Secara historis, administrasi publik sulit untuk didefinisikan. Akan tetapi,

administrasi memiliki pengertian umum sebagai suatu bagian dari pemerintah

yang melibatkan sebagaian besar aktivitas dalam bermasyarakat milai dari

penyedia keamanan hingga kebersihan lingkungan. Administrasi publik

merupakan salah satu bagian dari pemerintahan yang menjadi sarana untuk

mewujudkan maksud dan tujuan pemerintah. Administrasi publik dirumuskan

oleh profesional yang memiliki pendidikan tinggi dan keahlian khusus. Proses

administrasi publik terdiri dari tindakan yang dapat mempengaruhi tujuan

pemerintah yang tidak terlepas dari hukum dan badan legislatif melalui proses

organisa dan manajemen yang teratur (Rosenbloom et al., 2022). Administrasi

publik yang baik mencakup majanemen ekonomi, efisiensi, dan efektivitas yang

saling terkait satu sama lain. administrasi publik juga mencakup prinsip keadilan,

etika, dan akuntabilitas (Brillantes & Lorenzo, 2021).

Administrasi publik merupakan gabungan dari teori organisasi, ilmu

manajemen, dan konsep kepentingan umum yang dikolaborasikan menjadi satu

konsep dalam pemerintahan (Henry, 2021). Administrasi publik memiliki dua

kegunaan, yang pertama sebagai disiplin ilmu dan kedua sebagai suatu proses atau

kegiatan yang mengatur urusan publik (Waldo, 1955). Administrasi publik

sebagai satu bidang studi yang berkaitan dengan sarana untuk melaksanakan nilai-

nilai atau keputusan politik. Fokus dari administrasi negara tidak lepas dari

politik, sedangkan lokusnya adalah pilihan-pilihan untuk melayani kepentingan

publik akan barang dan jasa yang harus diberikan oleh sejumlah organisasi yang

kompleks (Astuti et al., 2020).


23

2.2.3 Inovasi Kebijakan

Inovasi secara umum didefinisikan sebagai gagasan atau ide yang dimiliki

oleh sebuah organisasi terkait produk, proses, dan sistem organisasi (Exposito &

Sanchis-Llopis, 2018). Inovasi didefinisikan sebagai perubahan yang dilakukan

oleh sebuah perusahaan yang mencakup pengenalan produk komersial, proses,

dan layanan yang diberikan (Bashir & Farooq, 2019). Inovasi diimplementasikan

melalui pengenalan mengenai pandangan organisasi yang berbeda dari

sebelumnya. Pandangan tersebut akan membawa perubahan baik dari segi input

maupun output yang dimiliki oleh sebuah organisasi (Chen et al., 2019). Inovasi

melibatkan anggota organisasi dan pengetahuan yang dimilikinya untuk

menghasilkan sebuah gagasan perubahan yang lebih baik bagi organisasi

(Granstrand & Holgersson, 2019).

Inovasi secara konseptual didefinisikan sebagai pengembangan suatu hal

menuju yang baru terkait dengan produk, proses dan bentuk organisai layanan

yang ada. Sementara inovasi kebijakan mencakup inovasi tambahan berdasarkan

pembelajaran kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dan inovasi radikal yang

dipicu oleh inovasi konseptual (Windrum & Koch, 2008). Inovasi kebijakan

merupakan perubahan yang dapat terjadi pada tujuan kebijakan dan sarana

kebijakan. Inovasi kebijakan salah satunya dilakukan dengan perluasan tujuan

kebijakan kepada masyarakat dengan memasukkan aspek sosial-ekonomi dan


24

politik. Keberhasilan inovasi kebijakan dan pengembangannya ditentukan oleh

pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah, metode, dan desain alat kebijakan

yang digunakan (Aminullah & Erman, 2021).

2.2.4 Undang-Undang No. 23 Th 2014

Pasal 31 (1) Dalam pelaksanaan Desentralisasi dilakukan penataan

Daerah. (2) Penataan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan

untuk: a. mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; b.

mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat; c. mempercepat peningkatan

kualitas pelayanan publik; d. meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan; e.

meningkatkan daya saing nasional dan daya saing Daerah; dan f. memelihara

keunikan adat istiadat, tradisi, dan budaya Daerah. (3) Penataan Daerah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Pembentukan Daerah dan

penyesuaian Daerah. (4) Pembentukan Daerah dan penyesuaian Daerah

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan

kepentingan strategis nasional.

Pasal 34 (1) Persyaratan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat

(3) meliputi: a. persyaratan dasar kewilayahan; dan b. persyaratan dasar kapasitas

Daerah. (2) Persyaratan dasar kewilayahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf a meliputi: a. luas wilayah minimal; b. jumlah penduduk minimal; c. batas

wilayah; d. Cakupan Wilayah; dan e. batas usia minimal Daerah provinsi, Daerah

kabupaten/kota, dan Kecamatan. (3) Persyaratan dasar kapasitas Daerah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah kemampuan Daerah untuk

berkembang dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat


25

Pasal 108 Anggota DPRD provinsi berkewajiban: a. memegang teguh dan

mengamalkan Pancasila; b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati ketentuan peraturan perundang-

undangan; c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan

Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. mendahulukan kepentingan negara di

atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan; e. memperjuangkan

peningkatan kesejahteraan rakyat; f. menaati prinsip demokrasi dalam

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; g. menaati tata tertib dan kode etik; h.

menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain dalam

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah provinsi; i. menyerap dan menghimpun

aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala; j. menampung dan

menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan k. memberikan

pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah

pemilihannya.

Pasal 161 Anggota DPRD kabupaten/kota berkewajiban: a. memegang

teguh dan mengamalkan Pancasila; b. melaksanakan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati ketentuan peraturan

perundang-undangan; c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional

dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. mendahulukan kepentingan

negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan; e. memperjuangkan

peningkatan kesejahteraan rakyat; f. menaati prinsip demokrasi dalam

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota; g. menaati tata tertib dan

kode etik; h. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain
26

dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota; i. menyerap dan

menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala; j.

menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan k.

memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di

daerah pemilihannya.

Pasal 250 (1) Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249

ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan.

(2) Bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi: a. terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat; b. terganggunya

akses terhadap pelayanan publik; c. terganggunya ketenteraman dan ketertiban

umum; d. terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat; dan/atau e. diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras,

antar-golongan, dan gender.

Pasal 363 (1) Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, Daerah

dapat mengadakan kerja sama yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan

efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan. (2) Kerja sama

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Daerah dengan: a.

Daerah lain; b. pihak ketiga; dan/atau c. lembaga atau pemerintah daerah di luar

negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Kerja sama

dengan Daerah lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dikategorikan

menjadi kerja sama wajib dan kerja sama sukarela.


27

Pasal 392 Informasi pembangunan Daerah sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 391 ayat (1) huruf a memuat informasi perencanaan pembangunan Daerah

yang mencakup: a. kondisi geografis Daerah; b. demografi; c. potensi sumber

daya Daerah; d. ekonomi dan keuangan Daerah; e. aspek kesejahteraan

masyarakat; f. aspek pelayanan umum; dan g. aspek daya saing Daerah.

2.2.5 PP No. 38 Th. 2017

Pasal 2 Inovasi Daerah bertujuan untuk meningkatkan kinerja

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Untuk mencapai tujuan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), sasaran Inovasi Daerah diarahkan untuk mempercepat

terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui: a. peningkatan Pelayanan Publik;

b. pemberdayaan dan peran serta masyarakat; dan c. peningkatan daya saing

Daerah.
28

2.1 Kerangka Pemikiran

FENOMENA PENELITIAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN


Masih terjadinya kenaikan jumlah Komunikasi, yaitu keberhasilan implementasi kebijakan
kemiskinan dalam pelaksanaan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus
program inovasi “rantang kasih” dilakukan, dimana yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan
harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group),
sehingga akan mengurangi distorsi implementasi
Sumberdaya, meskipun isi kebijakan telah dikomunikasikan
secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor
kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, maka
TEORI implementasi tidak akan berjalan efektif.
IMPLEMENTASI Disposisi, adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh
George C. Edward III implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis.
Struktur Birokrasi, Struktur organisasi yang bertugas
mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap implementasi kebijakan. Aspek dari
RUMUSAN MASALAH struktur organisasi adalah Standard Operating Procedure
Bagaimana implementasi program (SOP) dan fragmentasi
rantang kasih serta apa saja faktor
pendukung dan penghambat program
tersebut dalam memberikan
kesejahteraan kepada lansia?
29

Berdasarkan alur bagan kerangka pemikiran yang diajukan dalam

penelitian ini ditemukan kesenjangan dalam fenomena awal penelitian yaitu:

pertama, tingkat kemiskinan yang mengalami kenaikan meskipun sudah

terdapat program “rantang kasih” yang diadakan oleh pemerintah.

Fenomena tersebut memunculkan konstruksi rumusan masalah

penelitian mengenai implementasi program rantang kasih serta apa saja

faktor pendukung dan penghambat program tersebut dalam memberikan

kesejahteraan kepada lansia. Implementasi kebijaka rantang kasih akan

dianalisis menggunakan teori implementasi kebijakan yang dicetuskan

oleh George C. Edward III (1980). Analisis implementasi kebijakan

mencakup (1) Komunikasi, yaitu keberhasilan implementasi kebijakan

mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan,

dimana yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan

kepada kelompok sasaran (target group), sehingga akan mengurangi

distorsi implementasi, (2) Sumberdaya, meskipun isi kebijakan telah

dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor

kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, maka implementasi tidak

akan berjalan efektif, (3) Disposisi, adalah watak dan karakteristik yang

dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis,

(4) Struktur Birokrasi, Struktur organisasi yang bertugas

mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan

terhadap implementasi kebijakan. Aspek dari struktur organisasi adalah

Standard Operating Procedure (SOP) dan fragmentasi.


30

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa

Timur. Dipilihnya Kabupaten Banyuwangi sebagai lokasi penelitian

dikarenakan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menerapkan prinsip

keterbukaan publik dalam mempercepat penanganan kebutuhan

masyarakat melalui berbagai jenis inovasi kebijakan publik. Selain itu,

inovasi kebijakan publik di Kabupaten Banyuwangi diakui secara regional,

nasional, dan internasional dalam bentuk penghargaan. Salah satu inovasi

kebijakan adalah dengan adanya program Rantang Kasih yang menjadi

fokus utama pada penelitian ini. Program Rantang Kasih merupakan

program yang disusun oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi untuk

mengurangi kemiskinan di daerahnya. Angka kemiskinan di Kabupaten

Banyuwangi sepanjang tahun 2019-2021 mengalami peningkatan. Hal

tersebut salah satunya disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk

berusia lanjut yang mana sudah tidak produktif untuk bekerja. Upaya yang

dilakukan pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat miskin

khususnya lansia yang sudah tidak produktif atau tidak mampu adalah

dengan meluncurkan program Rantang Kasih.

3.2 Informan Penelitian

Informan penelitian memiliki kontribusi besar dalam penelitian

kualitatif. Hal tersebut disebabkan karena informan merupakan pihak yang


31

mengetahui mengenai fenomena yang diteliti dalam penelitian ini.

Informan pada penelitian ini dianggap sebagai pihak yang memahami

mengenai program Rantang Kasih yang disusun oleh Pemerintah

Kabupaten Banyuwangi. Penentuan informan pada penelitian ini

menggunakan teknik purposive. Penggunaan teknik purposive untuk

menentukan informan dikarenakan informan yang dipilih adalah informan

yang paling mengetahui mengenai fenomena yang diteliti. Adapun

informan dalam penelitian ini adalah

1. Kepala Dinas Sosial Kabupaten Banyuwangi sebagai pembuat kebijakan

program Rantang Kasih

2. Aparat Desa/Kelurahan yang terdapat di Kabupaten Banyuwangi sebagai

Pelaksana program Rantang Kasih

3. Warga sebagai penerima manfaat program Rantang Kasih

3.3 Data Penelitian

Beberapa sumber data digunakan pada penelitian ini sebagai

bahan yang digunakan untuk dianalisis. Sumber data adalah tempat, orang

atau benda dimana peneliti dapat mengamati, bertanya atau membaca

tentang hal-hal yang berkenaan dengan variabel yang diteliti. Data dapat

bersumber dari orang, buku, tempat, dokumentasi, dan lain-lain. Sumber

data yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu data

primer dan data sekunder.

1. Data Primer
32

Data primer merupakan data atau informasi yang didapatkan dari

sumber utama dapat melalui survei, wawancara, focus grup discussion, atau

observasi (Sekaran & Bougie, 2017). Data primer yang digunakan pada

penelitian ini berupa hasil wawancara dengan informan yang mengerti dan

memahami mengenai topik bahasan penelitian dengan mengacu pada

pedoman wawancara.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang mengacu pada informasi yang

dikumpulkan dari sumber yang telah ada. Data sekunder dapat berupa catatan

atau dokumentasi, publikasi pemerintah, dan internet (Sekaran & Bougie,

2017). Data sekunder yang digunakan pada penelitian ini adalah referensi

berupa buku ataupun jurnal yang terkait dengan topik bahasan penelitian ini

dan dokumen-dokumen lain yang mendukung penelitian ini terkait topik

bahasan penelitian.

3.4 Prosedur Penelitian

Penelitian ini termasuk pada penelitian deskriptif. Penelitian

deskriptif merupakan penelitian yang menggambarkan karakteristik dari

manusia, kejadian maupun situasi yang menjadi fokus utama dalam

penelitian. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk lebih memahami

karakteristik kelompok dalam situasi tertentu dengan mendeskripsikan

data yang diperoleh ketika melakukan penelitian (Sekaran & Bougie,

2017). Desain penelitian deskriptif kualitatif dipilih pada penelitian ini

karena penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi program


33

Rantang Kasih dalam menyejahterakan lansia di Kabupaten Banyuwangi

dan mengetahui faktor apa saja yang mendukung dan menghambat

implementasi program Rantang Kasih di Kabupaten Banyuwangi. Berikut

merupakan prosedur penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian ini.


34

START

Pertanyaan Penelitian:
“Bagaimana implementasi program rantang kasih serta apa saja
faktor pendukung dan penghambat program tersebut dalam
memberikan kesejahteraan kepada lansia?”

Penelitian Kualitatif

Data Primer Data Data Sekunder

Analisis Data

Analisis implementasi Faktor pendukung dan


program rantang kasih penghambat
implementasi program
rantang kasih

Pembahasan

Hasil Pembahasan

Kesimpulan

SELESAI

Gambar 3. 1 Prosedur Penelitian


35

3.5 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah peralatan yang diperlukan dan

digunakan dalam melakukan pengumpulan data. Instrumen utama dalam

penelitian kualitatif adalah peneliti. Peneliti memiliki peran untuk

merencanakan penelitian, mengumpulkan data, menganalisis data, menarik

kesimpulan, dan melaporkan hasil penelitian (Creswell & Creswell, 2018).

Instrumen penelitian lain yang digunakan pada penelitian ini antara lain

pedoman wawancara, lembar observasi, serta dokumen-dokumen terkait

dengan pelaksanaan program Rantang Kasih.

3.6 Metode Analisis

Validitas merupakan salah satu kekuatan dalam penelitian

kualitatif yang mana didasarkan pada keakuratan temuan penelitian dari

sudut pandang peneliti, partisipan, atau pembaca laporan (Creswell &

Creswell, 2018). Uji keabsahan data atau validitas data pada penelitian

kualitatif dilakukan untuk mengetahui akurasi atau kesesuaian dari data

yang telah diperoleh. Uji keabsahan data pada penelitian ini dilakukan

dengan menggunakan teknik triangulasi data. Teknik triangulasi data

adalah teknik pemeriksaan akurasi data dengan memeriksa bukti-bukti dari

sumber data lain yang telah ditentukan sebelumnya (Creswell & Creswell,

2018). Adapun teknik triangulasi data dapat dilakukan dengan tiga tahapan

berikut ini:

1. Triangulasi Teknik
36

Triangulasi teknik dilakukan dengan penyilangan dan penggabungan

teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian. Dilakukannya

triangulasi teknik dengan tujuan untuk menguji apakah data yang diperoleh

dengan berbagai teknik pengambilan data dapat dipercaya atau tidak untuk

mengetahui kebenaran data yang sama dengan teknik pengumpulan data yang

berbeda. Langkah dalam triangulasi teknik adalah dengan mengecek data

yang diperoleh dari wawancara informan dengan data yang diperoleh melalui

wawancara dan kemudian dicek kembali dengan data yang diperoleh melalui

teknik dokumentasi.

2. Triangulasi Sumber

Triangulasi sumber dilakukan dengan membandingkan fakta data yang

diperoleh dari hasil wawancara dengan masing-masing subjek penelitian.

Berdasarkan teknik pengumpulan data yang sama akan diperoleh data dari

beberapa subjek penelitian yang berbeda untuk memeroleh kebenaran

informasi yang telah didapatkan. Triangulasi sumber dilakukan pada hasil

wawancara yang dilakuakan pada Kepala Dinas Sosial Kabupaten

Banyuwangi, Aparat Desa/Kelurahan di Kabupaten Banyuwangi, dan warga

penerima manfaat dari program Rantang Kasih.

3. Triangulasi Waktu

Triangulasi waktu dilakukan dengan membandingkan data observasi

yang dilakukan pada periode waktu yang berbeda. Triangulasi waktu

dilakukan untuk mengetahui apakah subjek konsisten terhadap data dan fakta

yang telah diberikan.


37

Setelah data penelitian valid maka selanjutnya dilakukan analisis

data. Analisis data adalah proses pengolahan data dan penafsiran data yang

dilakukan pada penelitian setelah proses pengambilan data selesai

dilakukan. Analisis data dilakukan untuk menyederhanakan data penelitian

yang telah diperoleh sehingga mudah untuk diinterpretasikan dan

dipahami oleh orang lain (Creswell & Creswell, 2018). Adapun proses

analisis data dalam penelitian kualitatif terdiri dari tiga bagian yaitu

sebagai berikut:

1. Reduksi Data

Reduksi data dilakukan dengan cara merangkum, memilih data pokok,

memfokuskan kepada hal-hal penting, mengerucutkan tema, dan membuang

data-data yang tidak sesuai dengan fokus penelitian. Pada tahap reduksi data

terdapat dua tahapan penting yaitu coding atau pengkodean dan

categorization atau pengkategorian. Tahap coding dilakukan dengan

memberikan label pada unit teks yang selanjutnya akan dikelompokkan dan

diubah menjadi kategori. Coding akan membantu pola dalam data, hubungan

antar data, dan penyusunan data menjadi kategori yang koheren. Selanjutnya,

categorization atau pengkategorian dilakukan dengan mengelola, menyusun,

dan mengklasifikasi unit pengkodean secara induktif atau deduktif (Sekaran

& Bougie, 2017).

2. Penyajian Data

Tahap selanjutnya dalam analisis data kualitatif adalah penyajian data.

Penyajian data dilakukan dengan mengumpulkan data yang telah direduksi


38

pada tahap sebelumnya dengan menyajikan data tersebut secara terorganisasi

dan singkat. Penyajian data dilakukan untuk mengetahui gambaran

keseluruhan dari data yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya. Pada

penyajian data diklasifikasikan dan ditampilkan sesuai dengan fokus

permasalahan atau topik penelitian (Sekaran & Bougie, 2017).

3. Penarikan Kesimpulan

Tahap terakhir dalam analisis data kualitatif adalah penarikan

kesimpulan. Penarikan kesimpulan dilakukan untuk mencari makna pada data

yang telah dikumpulkan sebelumnya dengan mencari hubungan, persamaan,

ataupun perbedaan antar data yang telah diperoleh. Penarikan kesimpulan

dilakukan dengan cara membandikan kesesuaian data dari subjek penelitian

dengan teori yang digunakan dalam penelitian (Sekaran & Bougie, 2017).
39

DAFTAR PUSTAKA

Albab, M. U. (2020). Program Rantang Kasih Banyuwangi Raih Penghargaan


Rekor Muri. Merdeka. https://www.merdeka.com/peristiwa/program-
rantang-kasih-banyuwangi-raih-penghargaan-rekor-muri.html
Aminullah, E., & Erman, E. (2021). Policy innovation and emergence of
innovative health technology: The system dynamics modelling of early
COVID-19 handling in Indonesia. Technology in Society, 66(April), 101682.
https://doi.org/10.1016/j.techsoc.2021.101682
Astuti, R. S., Warsono, H., & Rachim, A. (2020). Collaborative Governance. In
Collaborative Govenance Dalam Perspefkit Publik. Universitas Diponegoro
Press.
Bashir, M., & Farooq. (2019). The synergetic effect of knowledge management
and business model innovation on firm competence: A systematic review.
Disruptive Technology and Social Innovation. https://doi.org/10.1108/IJIS-
10-2018-0103
Brillantes, A., & Lorenzo, M. P. (2021). Philippine Public Administration: 5Es
and an A. Global Encyclopedia of Public Administration, Public Policy, and
Governance. https://doi.org/10.1007/978-3-319-31816-5
Chen, J., Walker, R. M., & Sawhney, M. (2019). Public service innovation: a
typology. Public Management Review, 1–22.
https://doi.org/10.1080/14719037.2019.1645874
Creswell, J. W., & Creswell, J. D. (2018). Research Design Qualitative,
Quantitative, and Mixed Methods Approaches. SAGE Publications.
Edward III, G. C. (1980). Implementing Public Policy. Congressional Quarterly
Press.
Exposito, A., & Sanchis-Llopis, J. A. (2018). Innovation and business
performance for Spanish SMEs: New evidence from a multi-dimensional
approach. International Small Business Journal: Researching
Entrepreneurship, 1–21. https://doi.org/10.1177/0266242618782596
Granstrand, O., & Holgersson, M. (2019). Innovation ecosystems: A conceptual
40

review and a new definition. Technovation, 1–12.


https://doi.org/10.1016/j.technovation.2019.102098
Grindle, M. (1980). Politic and policy implementation In the Third World.
Princeston University Press.
Henry, N. (2021). Paradigms of Public Administration. Public Administration and
Public Affairs, 35(4), 50–68. https://doi.org/10.4324/9781315663067-10
Kemensos. (2023). Anggaran untuk Penuhi Hak Lansia Tunggal Terbatas,
Mensos Ajak Pihak Terkait Jalin Sinergi. https://kemensos.go.id/anggaran-
untuk-penuhi-hak-lansia-tunggal-terbatas-mensos-ajak-pihak-terkait-jalin-
sinergi
Kominfojatimprov. (2023). Program Permakanan Upaya Pemerintah
Menyejahterakan PMKS Surabaya. 22 Januari 2023
Mazmanian, D. H., & Sabatier, P. A. (1983). Implementation and Public Policy.
HarperCollins.
PerekonomianRI. (2021). Dorong Pertumbuhan Ekonomi, Menko Airlangga
Ungkap Sejumlah Kebijakan Pemerintah Termasuk Melanjutkan Program
Bantuan Sosial. Dorong Pertumbuhan Ekonomi, Menko Airlangga Ungkap
Sejumlah Kebijakan Pemerintah Termasuk Melanjutkan Program Bantuan
Sosial
Rosenbloom, D. H., Kravchuk, R. S., & Clerkin, R. M. (2022). Public
Administration: Understanding Management, Politics, and Law in the Public
Sector. Political Science.
Sekaran, U., & Bougie, R. (2017). Metode Penelitian untuk Bisnis (6th ed.).
Salemba Empat.
Waldo, D. (1955). The Study of public administration. Doubleday and Company.
Windrum, P., & Koch, P. M. (2008). Innovation in Public Sector Services:
Entrepreneurship, Creativity and Management. Edward Elgar Publishing.

Anda mungkin juga menyukai