Anda di halaman 1dari 33

Makalah Pemberdayaan Kesehatan

Perhatian pemerintah Sumatera Barat terhadap permasalahan kesehatan terus dilakukan terutama
dalam perubahan paradigma sakit yang selama ini dianut masyarakat ke paradigma sehat.  Hal
itu terkait dengan  misi peningkatan sumber daya manusia Sumatera Barat yang cerdas dan sehat.
Paradigma sakit merupakan upaya untuk membuat orang sakit menjadi sehat, menekankan pada
kuratif dan rehabilitatif, sedangkan paradigma sehat merupakan upaya membuat orang sehat
tetap sehat, menekan pada pelayanan promotif dan preventif.

Berubahnya paradigma masyarakat akan kesehatan, juga akan merubah pemeran dalam
pencapaian kesehatan masyarakat, dengan tidak mengesampingkan peran pemerintah dan
petugas kesehatan. Perubahan paradigma dapat menjadikan masyarakat sebagai pemeran utama
dalam pencapaian derajat kesehatan. Dengan peruahan paradigma sakit menjadi paradigma sehat
ini dapat membuat masyarakat menjadi mandiri dalam mengusahakan dan menjalankan upaya
kesehatannya, hal ini sesuai dengan visi Indonesia sehat, yaitu “Masyarakat Sehat yang Mandiri
dan Berkeadilan”.

Dalam rangka pencapaian kemandirian kesehatan, pemberdayaan masayrakat merupakan unsur


penting yang tidak bisa diabaikan. Pemberdayaan kesehatan di bidang kesehatan merupakan
sasaran utama dari promosi kesehatan. Masyarakat merupakan salah satu dari strategi global
promosi kesehatan pemberdayaan (empowerment) sehingga pemberdayaan masyarakat sangat
penting untuk dilakukan agar masyarakat sebagai primary target memiliki kemauan dan
kemampuan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan.

Pengertian Pemberdayaan masyarakat adalah suatu upaya atau proses untuk menumbuhkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat dalam mengenali, mengatasi, memelihara,
melindungi dan meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Pemberdayaan masyarakat bidang
kesehatan adalah upaya atau proses untuk menumbuhkan kesadaran kemauan dan kemampuan
dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan. Memampukan masyarakat, “dari, oleh, dan
untuk” masyarakat itu sendiri.

Konsep Pemberdayaan Masyarakat dalam konteks kesehatan

Pemberdayaan masyarakat adalah suatu upaya atau proses untuk menumbuhkan kesadaran,
kemauan dan kemampuan masyarakat dalam mengenali, mengatasi, memelihara, melindungi dan
meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan adalah
upaya atau proses untuk menumbuhkan kesadaran kemauan dan kemampuan dalam memelihara
dan meningkatkan kesehatan.

Berdasarkan tinjauan istilah, konsep pemberdayaan masyarakat mencakup pengertian community


development (pembangunan masyarakat) dan community-based development  (pembangunan
yang bertumpu pada masyarakat) dan tahap selanjutnya muncul istilah pembangunan yang
digerakkan masyarakat. Pemberdayaan didefinisikan sebagai suatu proses sengaja yang
berkelanjutan, berpusat pada masyarakat lokal, dan melibatkan prinsip saling menghormati,
refleksi kritis, kepedulian, dan partisipasi kelompok dan melalui proses tersebut orang-orang
yang kurang memiliki bagian yang setara akan sumber daya berharga memperoleh akses yang
lebih besar dan memiliki kendali akan sumber daya tersebut .

Community development (CD) intinya adalah bagaimana individu, kelompok atau  komunitas


berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa
depan sesuai keinginan mereka. Pemberdayaan masyarakat juga diartikan sebagai upaya yang
disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan, dan
mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melalui collective action dan networking sehingga
pada akhirnya mereka memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan
sosial.

Gerakan pemberdayaan masyarakat merupakan suatu upaya dalam peningkatan kemampuan


masyarakat guna mengangkat harkat hidup, martabat dan derajat kesehatannya. Peningkatan
keberdayaan berarti peningkatan kemampuan dan kemandirian masyarakat agar dapat
mengembangkan diri dan memperkuat sumber daya yang dimiliki untuk mencapai kemajuan.

Gerakan pemberdayaan masyarakat juga merupakan cara untuk menumbuhkan dan


mengembangkan norma yang membuat masyarakat mampu untuk berperilaku hidup bersih dan
sehat. Strategi ini tepatnya ditujukan pada sasaran primer agar berperan serta secara aktif.

Bidang pembangunan biasanya meliputi 3 (tiga) sektor utama, yaitu ekonomi, sosial (termasuk di
dalamnya bidang pendidikan, kesehatan dan sosial-budaya), dan bidang lingkungan. Sedangkan
masyarakat dapat diartikan dalam dua konsep yaitu masyarakat sebagai sebuah tempat bersama,
yakni sebuah wilayah geografi yang sama. Sebagai contoh, sebuah rukun tetangga, perumahan di
daerah pertokoan atau sebuah kampung di wilayah pedesaan.

Pemberdayaan dalam wacana pembangunan selalu dihubungkan dengan konsep mandiri,


partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Pada dasarnya, pemberdayaan diletakkan pada kekuatan
tingkat individu dan sosial. Dalam arti sempit istilah pengembangan masyarakat di Indonesia
sering dipadankan dengan pembangunan masyarakat desa dengan mempertimbangkan desa dan
kelurahan berada pada tingkatan yang setara sehingga pengembangan masyarakat (desa)
kemudian menjadi dengan konsep pengembangan masyarakat lokal (locality development).

Permberdayaan terkait dengan kesehatan adalah konsep dan wacana UKBM (upaya kesehatan
bersumberdaya manusia) adalah salah satu wujud nyata peran serta masyarakat dalam
pembangunan kesehatan. Kondisi ini ternyata mampu memacu munculnya berbagai bentuk
UKBM lainnya seperti Polindes, POD (pos obat desa), pos UKK (pos upaya kesehatan kerja),
TOGA (taman obat keluarga), dana sehat, indek tatanan sehat masjid atau rumah ibadah,  dan
lain-lain.

Karakteristik Pemberdayaan Masyarakat dalam kontek kesehatan

Suatu kegiatan atau program dapat dikategorikan ke dalam pemberdayaan masyarakat apabila
kegiatan tersebut tumbuh dari bawah dan non-instruktif serta dapat memperkuat, meningkatkan
atau mengembangkan potensi masyarakat setempat guna mencapai tujuan yang diharapkan.
Bentuk-bentuk pengembangan potensi masyarakat tersebut bermacam-macam, antara lain
sebagai berikut :

Pertama, tokoh atau pimpinan masyarakat (Community leader)

       Di sebuah mayarakat apapun baik pendesaan, perkotaan maupun pemukiman elite atau
pemukiman kumuh, secara alamiah aka terjadi kristalisasi adanya pimpinan atau tokoh
masyarakat. Pemimpin atau tokoh masyarakat dapat bersifat format dan  informal. Pada tahap
awal pemberdayaan masyarakat, maka petugas atau provider kesehatan terlebih dahulu
melakukan pendekatan-pendekatan kepada para tokoh masyarakat.

Kedua, organisasi masyarakat (community organization)

Dalam suatu masyarakat selalu ada organisasi-organisasi kemasyarakatan baik formal maupun
informal, misalnya PKK, karang taruna, majelis taklim, koperasi-koperasi dan sebagainya.

Ketiga, pendanaan masyarakat (Community Fund)

       Sebagaimana uraian pada pokok bahasan dana sehat, maka secara ringkas dapat digaris
bawahi beberapa hal sebagai berikut: “Bahwa dana sehat telah berkembang di Indonesia sejak
lama (tahun 1980-an) Pada masa sesudahnya (1990-an) dana sehat ini semakin meluas
perkembangannya dan oleh Depkes diperluas dengan nama program JPKM (Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat)

Keempat, material masyarakat (community material)

            Seperti telah diuraikan disebelumnya sumber daya alam adalah merupakan salah satu
potensi msyarakat. Masing-masing daerah mempunyai sumber daya alam yang berbeda yang
dapat dimanfaatkan untuk pembangunan.

Kelima, pengetahuan masyarakat (community knowledge)

Semua bentuk penyuluhan kepada masyarakat adalah contoh pemberdayaan masyarakat yang
meningkatkan komponen pengetahuan masyarakat.

Keenam, teknologi masyarakat (community technology)

Dibeberapa komunitas telah tersedia teknologi sederhana yang dapat dimanfaatkan untuk
pengembangan program kesehatan. Misalnya penyaring air bersih menggunakan pasir atau
arang, untuk pencahayaan rumah sehat menggunakan genteng dari tanah yang ditengahnya
ditaruh kaca. Untuk pengawetan makanan dengan pengasapan dan sebagainya. Untuk kasus di
Sumatera Barat, masih perlu kajian lanjutan.
Program, Strategi dan Pedoman Pemberdayaan Masyarakat dalam Bidang Kesehatan tertuang
dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2019. Permenkes Nomor 8 Tahun 2019
tentang Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan ditandatangani Menteri Kesehatan RI Nila
Farid Moeloek pada tanggal 19 Februari 2019, dan diudangkan dalam Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2019 Nomor 272 oleh Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham
RI Widodo Ekatjahjana pada tanggal 13 Maret 2019 di Jakarta.

Pengaturan Pemberdayaan Masyarakat yang ada dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8
Tahun 2019 tentang Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan ini digunakan sebagai acuan
bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, lembaga kemasyarakatan, organisasi
kemasyarakatan, swasta, dan pemangku kepentingan terkait lainnya dalam mewujudkan peran
aktif dan kemandirian masyarakat untuk hidup sehat.

Pertimbangan

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2019 tentang Pemberdayaan Masyarakat Bidang
Kesehatan dikeluarkan dengan pertimbangan:

ADVERTISEMENT

a. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan kesehatan diperlukan upaya


peningkatan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan yang terintegrasi dan bersinergi
dengan bidang lainnya sesuai kewenangan di berbagai tingkat pemerintahan;
b. bahwa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 65 Tahun 2013 tentang Pedoman
Pelaksanaan dan Pembinaan Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan sudah tidak
sesuai dengan kebutuhan hukum dan perkembangan ilmu pengetahuan sehingga perlu
dilakukan penggantian;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b,
perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pemberdayaan Masyarakat
Bidang Kesehatan;

Dasar Hukum

Landasan hukum dan keterkaitan dengan peraturan lain Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8
Tahun 2019 tentang Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan ini adalah:

1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik


Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5063);
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5495).
3. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5539)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5717);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5558)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014
tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 57, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 5864);
5. Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 193);
6. Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2015 tentang Kementerian Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 59);
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1508)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2018
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2018 Nomor 945);
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 Tahun 2015 tentang Upaya Peningkatan
Kesehatan dan Pencegahan Penyakit (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 1755);

Ketentuan dalam Permenkes Nomor 8 Tahun 2019 tentang


Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan, yang selanjutnya disebut Pemberdayaan


Masyarakat adalah proses untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran dan kemampuan
individu, keluarga serta masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya kesehatan yang
dilaksanakan dengan cara fasilitasi proses pemecahan masalah melalui pendekatan
edukatif dan partisipatif serta memperhatikan kebutuhan potensi dan sosial budaya
setempat.
2. Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat, yang selanjutnya disingkat UKBM
adalah wahana pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan yang dibentuk atas dasar
kebutuhan masyarakat, dikelola oleh, dari, untuk, dan bersama masyarakat, dengan
pembinaan sektor kesehatan, lintas sektor dan pemangku kepentingan terkait lainnya.
3. Tenaga Pendamping Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan, yang selanjutnya
disebut Tenaga Pendamping adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk
mendampingi serta membantu proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh
masyarakat dalam mengadopsi inovasi di bidang kesehatan.
4. Kader Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan yang selanjutnya disebut Kader
adalah setiap orang yang dipilih oleh masyarakat dan dilatih untuk menggerakkan
masyarakat berpartisipasi dalam pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan.
5. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
6. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan
Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah otonom.
7. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan.

Pasal 2

Pengaturan Pemberdayaan Masyarakat digunakan sebagai acuan bagi Pemerintah Pusat,


Pemerintah Daerah, lembaga kemasyarakatan, organisasi kemasyarakatan, swasta, dan
pemangku kepentingan terkait lainnya dalam mewujudkan peran aktif dan kemandirian
masyarakat untuk hidup sehat.

BAB II
STRATEGI DAN KEGIATAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Pasal 3

Strategi Pemberdayaan Masyarakat meliputi:

a. peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam mengenali dan mengatasi


permasalahan kesehatan yang dihadapi;
b. peningkatan kesadaran masyarakat melalui penggerakan masyarakat;
c. pengembangan dan pengorganisasian masyarakat;
d. penguatan dan peningkatan advokasi kepada pemangku kepentingan;
e. peningkatan kemitraan dan partisipasi lintas sektor, lembaga kemasyarakatan, organisasi
kemasyarakatan, dan swasta;
f. peningkatan pemanfaatan potensi dan sumber daya berbasis kearifan lokal; dan
g. pengintegrasian program, kegiatan, dan/atau kelembagaan Pemberdayaan Masyarakat
yang sudah ada sesuai dengan kebutuhan dan kesepakatan masyarakat.

Pasal 4

1. Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat meliputi:


a. kesehatan ibu, bayi dan balita;
b. kesehatan anak usia sekolah dan remaja;
c. kesehatan usia produktif;
d. kesehatan lanjut usia;
e. kesehatan kerja;
f. perbaikan gizi masyarakat;
g. penyehatan lingkungan;
h. penanggulangan penyakit menular dan tidak menular;
i. kesehatan tradisional;
j. kesehatan jiwa;
k. kesiapsiagaan bencana dan krisis kesehatan; dan
l. kegiatan peningkatan kesehatan lainnya yang dibutuhkan oleh masyarakat
setempat.
2. Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
dengan mengutamakan pendekatan promotif dan preventif.

BAB III
PENYELENGGARAAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Pasal 5

1. Masyarakat menyelenggarakan Pemberdayaan Masyarakat dengan didampingi oleh


Tenaga Pendamping.
2. Tenaga Pendamping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, lembaga kemasyarakatan, organisasi kemasyarakatan, swasta,
perguruan tinggi, dan/atau anggota masyarakat.
3. Tenaga Pendamping sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memiliki kemampuan
sebagai Tenaga Pendamping yang didapat melalui pelatihan.
4. Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah atau masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 6

Tenaga pendamping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) berperan sebagai:

a. katalisator dalam proses Pemberdayaan Masyarakat;


b. pemberi dukungan dalam proses penyelenggaraan Pemberdayaan Masyarakat;
c. penghubung dengan sumber daya yang dapat dimanfaatkan;
d. pendamping dalam penyelesaian masalah kesehatan;
e. pendamping dalam pelaksanaan pemantauan dan evaluasi; dan
f. pendamping masyarakat dan/atau melakukan pendekatan kepada pemangku kepentingan
terkait.

Pasal 7

1. Selain Tenaga Pendamping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dalam
Pemberdayaan Masyarakat diperlukan keterlibatan Kader.
2. Kader sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berperan sebagai:
a. penggerak masyarakat untuk berperan serta dalam upaya kesehatan sesuai
kewenangannya;
b. penggerak masyarakat agar memanfaatkan UKBM dan pelayanan kesehatan
dasar;
c. pengelola UKBM;
d. penyuluh kesehatan kepada masyarakat;
e. pencatat kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan; dan
f. pelapor jika ada permasalahan atau kasus kesehatan setempat pada tenaga
kesehatan.

Penyelenggaraan Pemberdayaan Masyarakat dilakukan dengan tahap:

a. pengenalan kondisi desa/kelurahan;


b. survei mawas diri;
c. musyawarah di desa/kelurahan;
d. perencanaan partisipatif;
e. pelaksanaan kegiatan; dan
f. pembinaan kelestarian.

Pasal 9

1. Tahap pengenalan kondisi desa/kelurahan sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a,


dilakukan oleh masyarakat dengan dibantu oleh Kader dan pemerintah desa/kelurahan.
2. Pengenalan kondisi desa/kelurahan dilakukan dengan mengkaji:
a. data profil desa/kelurahan;
b. hasil analisis situasi permasalahan kesehatan; dan/atau
c. data lain yang diperlukan.
3. Hasil kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar pelaksanaan
tahap survei mawas diri.

Pasal 10

1. Survei mawas diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dilakukan untuk
mengetahui:
a. masalah kesehatan yang ada di masyarakat dan urutan prioritas penanganannya;
b. faktor penyebab masalah kesehatan, termasuk perilaku berisiko, non-
perilaku/lingkungan, dan kebijakan yang ada di masyarakat; dan
c. potensi yang dimiliki desa/kelurahan untuk mengatasi masalah kesehatan
termasuk keberadaan UKBM.
2. Pelaksanaan survei mawas diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan
instrumen yang disusun bersama oleh masyarakat, Kader, dan pemerintah desa/kelurahan
dengan dibantu oleh Tenaga Pendamping.

Pasal 11

1. Tahap musyawarah di desa/kelurahan sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf c diikuti


oleh pemerintah desa/kelurahan, badan permusyawaratan desa, dan unsur masyarakat
sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat.
2. Musyawarah di desa/kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
a. menyosialisasikan program kesehatan dan hasil survei mawas diri;
b. menyepakati urutan prioritas masalah kesehatan yang hendak ditangani;
c. menyepakati kegiatan yang akan dilaksanakan melalui UKBM atau kegiatan lain
yang memberdayakan masyarakat;
d. memetakan data/informasi potensi dan sumber daya desa/kelurahan; dan
e. menggalang partisipasi warga desa/kelurahan untuk mendukung Pemberdayaan
Masyarakat.

Pasal 12

1. Tahap perencanaan partisipatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf d, dilakukan


oleh masyarakat bersama pemerintah desa/kelurahan, dan Kader.
2. Perencanaan partisipatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
a. UKBM yang akan dibentuk atau diaktifkan kembali, dan/atau kegiatan lain yang
memberdayakan masyarakat yang akan dilaksanakan;
b. sarana prasarana yang diperlukan untuk Pemberdayaan Masyarakat; dan
c. rencana anggaran, jadwal pelaksanaan, sasaran kegiatan, dan penanggung jawab.
3. Hasil perencanaan partisipatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang termasuk
kewenangan lokal berskala desa, menjadi pedoman bagi pemerintah desa/kelurahan untuk
menyusun rancangan rencana kerja pemerintah desa/kelurahan dan daftar usulan rencana
kerja pemerintah desa/kelurahan.
4. Hasil perencanaan partisipatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang memerlukan
dukungan puskesmas dapat menjadi pedoman bagi puskesmas dalam menyusun rencana
usulan kegiatan puskesmas.

Pasal 13

1. Tahap pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf e, dilakukan


melalui kegiatan UKBM atau kegiatan lain yang memberdayakan masyarakat secara
swakelola.
2. Pelaksanaan kegiatan Pemberdayaan Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dilakukan pencatatan dan pelaporan.

Pasal 14
1. Tahap pembinaan kelestarian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf f diarahkan
untuk menjamin pelaksanaan Pemberdayaan Masyarakat dapat berlangsung secara
berkesinambungan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
2. Tahap pembinaan kelestarian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui
kegiatan:
a. pertemuan berkala;
b. orientasi bagi Kader;
c. sosialisasi;
d. penerbitan peraturan lokal; dan/atau
e. pemantauan serta evaluasi.
3. Kegiatan pembinaan kelestarian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
sesuai kebutuhan masyarakat desa/kelurahan.
4. Kegiatan pembinaan kelestarian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan oleh
masyarakat bersama pemerintah desa/kelurahan dan pendamping teknis.
5. Pertemuan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan dengan
melibatkan kader, pemerintah desa, dan pemangku kepentingan terkait di desa dengan
waktu yang disepakati bersama sesuai dengan kebutuhan.
6. Orientasi bagi Kader sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan untuk
meningkatkan pemahaman dan keterampilan Kader, pemerintah desa, dan pemangku
kepentingan terkait dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat.
7. Sosialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan untuk memberikan
informasi kepada masyarakat terkait perkembangan kegiatan pemberdayaan masyarakat
dan kegiatan kesehatan lainnya.
8. Penerbitan peraturan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dilakukan
melalui peraturan tertulis di desa/kelurahan atau institusi terkait, dan/atau peraturan tidak
tertulis seperti hukum adat atau norma sosial yang disepakati oleh masyarakat.
9. Pemantauan serta evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dilakukan secara
berkala dengan melibatkan unsur masyarakat, pemerintah desa dan Pembina teknis.

BAB IV
UPAYA KESEHATAN BERSUMBER DAYA MASYARAKAT

Pasal 15

1. UKBM dibentuk atas dasar kebutuhan masyarakat yang diselenggarakan dengan tahapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
2. Pembentukan UKBM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. memiliki struktur kepengurusan;
b. memiliki Kader sebagai pengelola/pelaksana kegiatan UKBM; dan
c. memiliki sumber daya.

Batasan pemberdayaan dalam bidang kesehatan meliputi upaya untuk menumbuhkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan sehingga secara bertahap
tujuan pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran, pengetahuan, dan
pemahaman akan kesehatan individu, kelompok, dan .,,
PENDAHULUAN
Melakukan upaya fasilitasi yang bersifat
non-instruktif guna meningkatkan pengetahuan
dan kemampuan masyarakat agar mampu
mengidentifikasi masalah, merencanakan dan
melakukan pemecahannya dengan memanfaatkan
potensi dan fasilitas setempat, yang lazim disebut
dengan pemberdayaan adalah salah satu pendekatan
pembangunan. Walau mungkin tidak mudah untuk
dilaksanakan, masuknya konsep pemberdayaan
untuk menggantikan pendekatan top-down yang
cenderung mewarnai upaya pembangunan, ternyata
Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Kesehatan (Setia Pranata, dkk.)
175
mempunyai daya tarik tersendiri bagi para aktivis,
akademisi dan para birokrat. Pendekatan ini dinilai
akan mempercepat tercapainya tujuan programprogram
pembangunan.
Pada kasus tingginya angka kematian bayi (AKB)
dan kematian ibu (AKI). Berdasarkan data tahun
2002/2003, Indonesia masih memiliki AKB sekitar
3–10 kali lebih tinggi dan AKI lebih tinggi sekitar
3–6 kali dibandingkan kondisi di negara tetangga
seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Philipina.
Pemerintah melalui Departemen Kesehatan, yang
sekarang menjadi Kementerian Kesehatan juga
telah menggunakan pendekatan pemberdayaan
masyarakat sebagai salah satu upaya menurunkan
AKB dan AKI sesuai dengan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJM-N) bahwa diakhir
tahun 2009, Indonesia mengharapkan terjadinya
penurunan AKB menjadi 26/1000 kelahiran hidup dan
AKI menjadi 226/100.000 kelahiran hidup.
Guna memenuhi harapan ter sebut di
atas, Pemerintah bekerjasama dengan WHO
mengembangkan program ”safe motherhood” dan
”making pregnancy safer” yang kemudian lebih
dikenal dengan istilah MPS. Ada 4 strategi yang
digunakan untuk menciptakan kondisi persalinan yang
aman antara lain dengan meningkatkan cakupan dan
kualitas pelayanan kesehatan maternal, meningkatkan
hubungan lintas sektor, memberdayakan ibu dan
keluarga, yang terakhir adalah meningkatkan
pemberdayaan masyarakat.
Dalam melaksanakan program penurunan AKB
dan AKI seperti program MPS digunakan kerangka
pikir sistem kesehatan. Pada kerangka pikir ini, upaya
kesehatan yang dilakukan untuk menurunkan AKB
dan AKI, oleh Soemantri (2004) dinilai mempunyai
ketergantungan pada efisiensi input yang berupa
sumberdaya manusia, sarana dan dana. Disisi lain,
upaya kesehatan tersebut juga tidak dapat lepas
dari pengaruh kebijakan, manajemen kesehatan dan
pemberdayaan masyarakat. Kerangka pikir ini hampir
sama dengan penilaian WHO tentang beberapa faktor
determinan yang berkontribusi terhadap kematian ibu
dan bayi. Faktor tersebut terkategori menjadi 3 aspek
yaitu medis, manajemen pelayanan kesehatan dan
aspek sosial budaya (Aryoso, 2003).
Program yang dilakukan untuk menurunkan AKI
dan AKB dari aspek medis, kebijakan dan manajemen
pelayanan kesehatan, antara lain dengan meningkatkan
cakupan dan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan maternal. Untuk meningkatkan cakupan
dan kualitas pelayanan, sudah dilakukan kegiatan
dengan target meningkatkan cakupan persalinan
oleh tenaga kesehatan terampil, meningkatkan
cakupan pelayanan komplikasi obstetri dan neonatal
berkualitas, meningkatkan dan melaksanakan
pelayanan obstetri dan neonatal emergensi dasar
(PONED) di Puskesmas dengan tempat tidur di setiap
Kabupaten/Kota dan meningkatkan pelayanan obstetri
dan neonatal emergensi komprehensif (PONEK)
selama 24 jam di Rumah sakit Kabupaten/Kota
(Rahmawati, 2006). Hasil dari progran tersebut dapat
dilihat dari tersedianya tenaga bidan di tingkat desa
dan meningkatnya cakupan persalinan oleh tenaga
kesehatan.
Diakui oleh banyak pihak bahwa mengatasi
masalah kematian ibu dan bayi dari segi medis dan
manajemen pelayanan kesehatan bukanlah hal yang
sulit. Hal yang sulit adalah mengatasi masalah non
medis seperti aspek sosial dan budaya. Terkait dengan
aspek sosial budaya, salah satu cara yang dinilai akan
mempercepat keberhasilan suatu kegiatan adalah
dengan menggunakan pendekatan pemberdayaan
masyarakat,
Suatu kegiatan dapat dikategorikan sebagai
pemberdayaan bila mampu memperkuat, meningkatkan
atau mengembangkan potensi masyarakat setempat.
Ada banyak potensi masyarakat di bidang kesehatan,
satu di antaranya adalah organisasi kemasyarakatan.
Potensi organisasi ini perlu mendapat perhatian
karena kegiatannya sampai pada tingkat operasional,
seperti Posyandu, Desa Siaga dan Gearakan
Sayang Ibu(GSI). Gambaran mengenai kegiatan
pemberdayaan, Ascobat Gani (2001) mengemukakan
bahwa peran serta masyarakat masih terbatas pada
fase sekedar terlibat dan menjadi bagian dari kegiatan.
Nampak bahwa upaya memberdayakan masyarakat
bukan hal yang mudah dilakukan.
Studi Soemantri (2004) menunjukkan bahwa
di sebagian besar tempat, GSI masih terbatas
pada kegiatan seremonial dan belum menyentuh
pada substansinya. Desa Siaga, relatif baru dan
keberadaannya lebih diperuntukkan pada daerah
perdesaan. Karena itu, studi ini lebih diarahkan untuk
melihat peran Posyandu yang sudah melembaga di
masyarakat, khususnya pada pemberdayaan yang
dilakukan untuk mencegah terjadinya kematian ibu
dan bayi.
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 14 No. 2 April 2011: 174–182
176
Jika diasumsikan aspek medis dan manajemen
pelayanan kesehatan dinilai mudah untuk di atasi,
maka perlu bagi kita mengkaji bagaimana aspek
non medisnya. Dalam hal ini, bagaimana kegiatan
pemberdayaan masyarakat terkait dengan upaya
penurunan AKI dan AKB dioperasionalkan dalam
kehidupan sehari-hari. Secara umum studi ini
bertujuan untuk memberikan gambaran tentang
bagaimana kegiatan posyandu dalam memberdayakan
masyarakat untuk mencegah terjadinya kematian ibu
dan bayi. Adapun tujuan khusus dari studi ini antara
lain menganalisis berbagai prinsip pemberdayaan,
hasil kegiatan pemberdayaan dan menganalisis faktor
pendukung dan penghambat kegiatan pemberdayaan
yang dilakukan oleh posyandu.
Secara konseptual, pemberdayaan oleh Prianarka
(1996: 45) digambarkan sebagai konsep yang lahir dari
gerakan mencari alternatif untuk menggantikan sistem
dan struktur yang berada di bawah dominasi penguasa
keagamaan dan pemerintahan di kebudayaan
barat. Sebagai hasil gerakan aufklarung, kemudian
ditemukan berbagai nilai liberalisme, individualisme
dan rasionalisme.
METODE
Penelitian ini dirancang sebagai penelitian
kualitatif yang akan melakukan kajian terhadap upaya
pemberdayaan masyarakat dalam rangka penurunan
AKI dan AKB. Kerangka pikir yang digunakan dalam
studi ini adalah sebagai berikut:
Hubungan berbagai faktor determinan yang
0HGLV_ AKI/ AKB 0DQDMHPHQ_
6RVLDO_EXGD\D_
___WHUODOX_ ___WHUODPEDW__
3HPEHUGD\DDQ_
_.DGHU_3RV\DQGX__
3ULQVLS_ .HJLDWDQ_ 6DVDUDQ_
0DV\DUDNDW__
___ 0DPSX_PHQJHQDO_
PDVDODK_
___ 'DSDW_FHSDW_PHQJDPELO_
NHSXWXVDQ_
___ 0XGDK_DNVHV_NH_WHPSDW_
\DQNHV_PDWHUQDO__
0HQLQJNDWNDQ_NXDOLWDV__ 0HQLQJNDWNDQ_FDNXSDQ_
Bagan 1: Kerangka Pikir
Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Kesehatan (Setia Pranata, dkk.)
177
berkontribusi terhadap kematian ibu dan bayi menurut
WHO (Aryoso, 2003) ada 3 aspek. Medis, manajemen
pelayanan kesehatan dan sosial budaya. Masalah
yang terkait dengan aspek medis dan manajemen
dapat ditanggulangi dengan meningkatkan kualitas
dan cakupan pelayanan. Sedangkan masalah terkait
aspek sosial budaya dinilai tidak mudah di atasi.
Sementara ini, masyarakat masih belum berdaya
mencegah terjadinya 4 terlalu (muda, tua, banyak
dan pendek jaraknya) dalam kehamilan/persalinan
dan 3 terlambat (mengambil keputusan, tiba di tempat
pelayanan dan mendapat tindakan medis). Dengan
mengacu pada berbagai prinsip pemberdayaan
dan melakukan kegiatan pemberdayaan yang
sesuai dengan kelompok sasaran yang ada, secara
keseluruhan pemberdayaan diharapkan mampu
mencegah terjadinya 4 terlalu dan 3 terlambat terkait
dengan masalah kehamilan dan persalinan.
Untuk mengetahui dinamika dari kegiatan
pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan,
dengan membandingkan AKI/AKB dengan angka
nasional, diambil satu kota yang diharapkan menjadi
gambaran ideal dari Provinsi dengan AKI/AKB yang
lebih rendah dan yang lebih tinggi dari perkiraan angka
nasional. Dengan dasar tersebut dipilih kota Manado
di Provinsi Sulawesi Utara yang mempunyai AKI lebih
rendah dari angka nasional dan Palangkaraya di
Provinsi Kalimantan Tengah yang mempunyai angka
lebih tinggi dari angka nasional sebagai daerah studi.
(Sumantri, 2004)
Subjek penelitian yang utama dalam studi ini
adalah kader posyandu, yang berperan melakukan
pemberdayaan kesehatan ibu dan anak. Disamping
itu ada 3 jenis subjek penelitian lain sesuai dengan
sasaran kegiatan pemberdayaan. Pertama adalah
subjek yang menjadi sasaran primer pemberdayaan
yakni para ibu hamil atau ibu yang mempunyai bayi,
kedua adalah subjek yang menjadi sasaran skunder
yakni para suami atau orang tua dari ibu tersebut
dan ketiga adalah ketua Rukun Tetangga atau tokoh
masyarakat sebagai sasaran tersier. Kepada ketiga
jenis subjek penelitian tersebut dilakukan wawancara
terstruktur untuk memperoleh gambaran secara umum
dari permasalahan yang akan diteliti dan wawancara
secara mendalam untuk memperoleh informasi yang
lebih lengkap.
HASIL
Penerapan prinsip pemberdayaan
Dalam melihat prinsip-prinsip pemberdayaan
terkait dengan upaya penurunan AKI dan AKB,
studi ini mengacu pada buku Panduan Umum
Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Kesehatan Ibu
dan Anak (Republik Indonesia dan Unicef, 1999). Pada
dasarnya terdapat 7 prinsip yang harus diperhatikan
dalam melakukan pemberdayaan. Ketujuh prinsip
tersebut antara lain: prinsip menumbuh kembangkan
potensi masyarakat, meningkatkan kontribusi
masyarakat, mengembangkan budaya gotong royong,
bekerja bersama masyarakat, pendidikan berbasis
masyarakat, kemitraan dan desentralisasi.
Untuk mengetahui bahwa kegiatan yang
dilakukan oleh suatu organisasi posyandu merupakan
pemberdayaan, tidak harus mengandung semua
prinsip sebagaimana tersebut di atas. Walaupun
posyandu hanya menumbuhkembangkan salah satu
prinsip saja, kondisi ini sudah dapat dikatakan bahwa
posyandu sudah melakukan kegiatan pemberdayaan.
Studi ini tidak mengungkap apakah posyandu telah
melakukan kegiatan pemberdayaan, tetapi lebih
kepada upaya untuk mengungkap prinsip-prinsip
apa saja yang sudah diterapkan dan dikembangkan
oleh posyandu.
Keadaan di lapangan menunjukkan bahwa
banyak potensi masyarakat setempat yang dapat
dimanfaatkan untuk kesehatan. Potensi tersebut
antara lain dapat berupa pimpinan masyarakatnya,
organisasi sosial kemasyarakatan, dana dan sarana
masyarakat, pengetahuan dan teknologi tepat guna
yang dikuasai oleh masyarakat serta potensi yang
berupa kemampuan masyarakat untuk mengambil
keputusan. Banyak kesamaan kondisi antara daerah
Manado dan Palangkaraya. Mereka tidak sadar
bahwa banyak potensi yang dapat dikembangkan.
Ketidak sadaran ini membuat mereka tidak pernah
PHODNXNDQ_LGHQWL¿NDVL_VXPEHUGD\D_SRWHQVL_\DQJ_DGD_
di lingkungan sekitarnya. Walau demikian, secara
langsung ataupun tidak, dalam kenyataan sehari-hari
mereka sudah memanfaatkan keberadaan beberapa
potensi yang ada.
Posyandu sudah memanfaatkan keperdulian
tokoh masyarakat setempat untuk terlibat dalam
kegiatannya. Keberadaan tokoh masyarakat ditempat
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 14 No. 2 April 2011: 174–182
178
pelaksanaan kegiatan posyandu, dinilai para kader
posyandu sebagai hal yang sangat menunjang
kegiatan posyandu. Selain itu, yang banyak perduli
dengan posyandu adalah PKK. PKK organisasi sosial
yang mensupport posyandu.
Bagaimana bentuk kontribusi masyarakat Kota
Manado dan Palangkaraya berdasarkan penilaian
yang mereka lakukan sendiri berdasarkan skala nilai 1
(tidak bagus) dan nilai 10 (bagus), secara garis besar
adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Rerata penilaian kader posyandu terhadap
kontribusi masyarakat di Kota Manado dan
Palangkaraya.
No.
Bentuk kontribusi
masyarakat
Rerata penilaian
kontribusi masyarakat
Manado Palangkaraya
1. dana 4,40 6,25
2. tenaga 7,40 5,50
3. ide/pemikiran 3,60 5,00
Dengan batas nilai 5,00 untuk membedakan baik
dan tidaknya kontribusi yang diberikan masyarakat
dalam upaya mengatasi masalah-masalah kesehatan,
maka tabel di atas menunjukkan adanya kontribusi
cukup baik, terutama dalam hal penyediaan tenaga
untuk kondisi di kota Manado karena mereka secara
rerata memberikan skor 7,40 dan dalam penyediaan
dana di Palangkaraya yang mempunyai rerata skor
6,25. Di kota Palangkaraya, karena alasan kesibukan
dengan pekerjaan, mereka lebih berkontribusi uang
daripada tenaga dan ide.
Selama ini budaya gotong royong di masyarakat
masih bagus. Demikian juga dengan gotong royong
dalam rangka mengatasi masalah kesehatan ibu
dan bayi. Prinsip memperkuat dan mengembangkan
budaya gotong royong antara lain dilakukan dengan
memfasilitasi pelaksanaan kegiatan. Budaya gotong
royong tersebut diwujudkan dalam bentuk bersamasama
mengingatkan para ibu untuk menghadiri
kegiatan Posyandu.
Posyandu sebagai lembaga berbasis masyarakat,
dalam melaksanakan kegiatannya sudah berusaha
untuk melibatkan masyarakat. Prinsip bekerja
bersama masyarakat sudah dilakukan posyandu
PXODL_GDUL_PHQJLGHQWL¿NDVL_SHUPDVDODKDQ_VDPSDL_
melakukan pengawasan dan evaluasi kegiatan.
Penilaian kader terhadap keterlibatan masyarakat
dalam pelaksanaan Posyandu dalam skala nilai
1 sampai 10, gambarannya adalah sebagai berikut:
Walau para kader posyandu merasa telah
memfasilitasi keterlibatan masyarakat, tetapi
part isipasi masyarakat masih terbatas pada
pelaksanaan kegiatan. Hal ini terlihat dari pemberian
skor dengan rerata 7,00 untuk Manado dan 6,75
untuk Palangkaraya. Baik di Manado maupun di
Palangkaraya, masyarakat nampak tidak banyak
terlibat dalam upaya pengidentifikasian masalahmasalah
yang ada dan merencanakan kegiatan yang
akan dilaksanakan. Walau tidak dapat dikategorikan
baik, masyarakat Palangkaraya sudah mau melakukan
pengawasan dan evaluasi kegiatan dibandingkan
Manado.
Dalam melaksanakan kegiatannya, posyandu
sudah melakukan kemitraan dengan PKK dan
Puskesmas. Dalam menjalankan kemitran ini, setiap
pihak sudah memahami kedudukan dan kemampuan
masing-masing. Contohnya dalam melakukan
penyuluhan kesehatan. Sadar akan keterbatasan di
bidang pengetahuan, kalau ada kegiatan penyuluhan
maka kader posyandu akan menyerahkan tugas itu
kepada petugas kesehatan. Di antara mereka sudah
ada upaya untuk saling menghubungi, mendekati,
membantu dan saling menghargai.
Tabel 2. Rerata penilaian kader posyandu terhadap keterlibatan masyarakat Kota Manado dan
Palangkaraya
No. Keterlibatan masyarakat dalam hal
Rerata penilaian
Manado Palangkaraya
1. 0HQJLGHQWL¿NDVL_PDVDODK_NHVHKDWDQ 2,80 3,75
2. Menyusun rencana kegiatan 4,00 3,50
3. Pelaksanaan penyelenggaraan kegiatan 7,00 6,75
4. Pengawasan dan evaluasi 2,80 5,25
Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Kesehatan (Setia Pranata, dkk.)
179
Bila kita melihat prinsip desentralisasi, di mana
setiap posyandu diharap mampu mengembangkan
otonomi dirinya untuk melaksanakan kegiatan
dan otonomi kelompok sasarannya untuk mampu
mengambil keputusan, kondisi di Manado maupun
di Palangkaraya menunjukkan bahwa organisasi
ini belum mandiri dalam menjalankan kegiatannya
termasuk dalam mengembangkan inisiatif mereka
sendiri. Mengenai kemampuan mengambil keputusan,
karena peran orang tua dan adat begitu kuat, seorang
ibu jarang sekali mampu mengambil keputusan.untuk
memeriksakan dan melakukan pertolongan persalinan
secara cepat kepada tenaga kesehatan terlatih.
Hal lain yang membedakan antara Manado dan
Palangkaraya terlihat pada kondisi berikut. Untuk
daerah Manado, organisasi keagamaan setempat
sering dimanfaatkan dan banyak terlibat dalam
setiap pelaksanaan kegiatan posyandu, terutama
dalam melaksanakan penyuluhan kalau ada masalah
kesehatan. Prinsip pendidikan berbasis masyarakat
sudah dijalankan. Dalam melakukan penyuluhan
masyarakat, beberapa individu yang pernah
mengalami kasus terkait dengan masalah kesehatan
diminta melakukan testimoni untuk menyampaikan
dan menceritakan pengalaman yang dihadapinya.
Kondisi ini tidak ditemukan di Palangkaraya.
Upaya pemberdayaan masyarakat
Dalam mel ihat pemberdayaan, studi ini
memfokuskan diri pada berbagai kegiatan yang
dikenakan pada sasaran Posyandu. Sebagai lembaga
kesehatan yang berbasis masyarakat (UKBM),
Posyandu mempunyai sasaran primer yakni ibu hamil,
sasaran sekunder yang terdiri dari kepala keluarga
dan orang tua ibu hamil dan sasaran tersier yakni
para tokoh masyarakat baik yang formal maupun
yang informal.
Ada beberapa kegiatan yang dilihat terkait dengan
upaya pemberdayaan yang dilakukan posyandu.
Kegiatan tersebut antara lain melakukan berbagai
upaya untuk meningkatkan pengetahuan, kemampuan
untuk cepat mengambil keputusan dan memudahkan
akses terhadap pelayanan kesehatan.
Pada kegiatan meningkatkan pengetahuan ibu,
studi ini memperhatikan bagaimana para kader
posyandu meningkatkan pengetahuan tentang
kesehatan ibu dan anak, meningkatkan pengetahuan
tentang konsep ”4 terlalu” dan ”3 terlambat”,
meningkatkan pengetahuan tentang tanda bahaya
kehamilan, meningkatkan pengetahuan tentang tandatanda
persalinan dan meningkatkan pengetahuan
tentang bahaya upaya-upaya tradisional yang tidak
mendukung kesehatan ibu dan bayinya.
Tabel 3. Pendapat kader posyandu tentang kegiatan penyuluhan dalam upaya penurunan AKI dan AKB di
Kota Manado dan Palangkaraya
No. Tujuan Kegiatan penyuluhan Sasaran Kegiatan
Pendapat Kader
Manado Palangkaraya
1. Peningk penget tentang kes ibu dan
anak
Ibu dilakukan dilakukan
Suami/OT dilakukan dilakukan
Toma Tidak dilakukan Tidak dilakukan
2. Peningk penget tentang 4 terlalu
dan 3 terlambat
Ibu dilakukan dilakukan
Suami/OT dilakukan dilakukan
Toma Tidak dilakukan Tidak dilakukan
3. Peningk penget tentang tanda
bahaya kehamilan
Ibu dilakukan dilakukan
Suami/OT dilakukan dilakukan
Toma Tidak dilakukan Tidak dilakukan
4. Peningk penget tentang tanda
persalinan
Ibu dilakukan dilakukan
Suami/OT dilakukan dilakukan
Toma Tidak dilakukan Tidak dilakukan
5. Peningk penget tentang bahaya
tradisi tdk sehat
Ibu dilakukan dilakukan
Suami/OT Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Toma Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 14 No. 2 April 2011: 174–182
180
Dari kegiatan pengumpulan data, diketahui
bahwa kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan
pengetahuan ibu tentang hal tersebut di atas dilakukan
melalui media penyuluhan. Setiap ibu hamil dan baru
melahirkan sudah punya buku ”kesehatan ibu dan
anak” yang diberi oleh Puskesmas saat pertama kali
memeriksakan kehamilannya. Karena buku ini memuat
berbagai informasi tentang kehamilan dan persalinan,
diharapkan setiap ibu dan suami serta orang tuanya
berkenan membaca buku tersebut. Untuk meningkatkan
pengetahuan ibu, kader posyandu idealnya mampu
memberikan penyuluhan kepada setiap sasaran
kegiatannya. Dalam pelaksanaannya, para kader
mengakui bahwa tidak pernah mengalokasikan
waktu khusus untuk memberikan dan meningkatkan
pengetahuan kepada sasaran primer. Upaya yang
dilakukan adalah memberikan penyuluhan pada
saat dilaksanakannya kegiatan organisasi posyandu.
Mengingat kegiatan posyandu dilakukan secara rutin
setiap bulan, ini diartikan oleh para kader bahwa
penyuluhan dilakukan sekali dalam satu bulan.
Dari hasil wawancara dengan ibu hamil, diakui
bahwa mereka mendapat informasi tentang banyak
hal terkait dengan kehamilan dan persalinan, tetapi
informasi yang diperoleh sangat terbatas. Penyuluhan
itupun dilakukan secara perorangan dan kebanyakan
dilakukan oleh petugas kesehatan yang datang di
posyandu, bukan oleh kader. Agar tahu lebih banyak
terkait dengan kondisi yang dialami, ibu diminta untuk
membaca sendiri buku ibu dan anak karena semua
itu sudah terdapat dan diuraikan secara panjang
lebar dalam buku yang memang dibagikan kepada
para ibu hamil.
Di samping kepada sasaran primer, kegiatan untuk
meningkatkan pengetahuan hendaknya juga diberikan
kepada suami dan orang tua ibu hamil sebagai sasaran
sekunder. Pengelola posyandu mengaku ada yang
sudah melakukan dan ada yang belum melakukan.
Wawancara yang dilakukan dengan suami dan orang
tua menunjukkan bahwa mereka belum pernah
mendapat penyuluhan. Kalaupun mereka tahu, itu
tidak lain karena mereka turut membaca buku ibu dan
anak yang dibagikan tersebut.
Kepada sasaran tersier yang berupa tokoh
masyarakat, hendaknya pada pengelola posyandu
mampu mengadvokasi mereka untuk terlibat dalam
upaya mencegah adanya kasus kematian ibu dan
bayi. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa tokoh
masyarakat memang diminta membantu kesuksesan
pelaksanaan posyandu, tetapi mereka tidak pernah
dimintai untuk melakukan pemasaran sosial tentang
persalinan yang aman, tentang penghindaran dari
tradisi yang tidak mendukung kesehatan ibu dan
bayinya dan juga tidak pernah diajak bicara tentang
perlunya dukungan sosial yang berupa penyiapan
dana dan transportasi untuk membantu upaya
persalinan yang aman.
Hasil-hasil kegiatan tersebut oleh posyandu
dilaporkan ke puskesmas, dan kemudian puskesmas
melaporkan ke dinas kesehatan. Selain itu posyandu
juga melapor ke instansi terkait, termasuk ke
kecamatan. Terkadang ada pemantauan kegiatan dari
lembaga di tingkat kabupaten/kota, namun tidak rutin.
Kegiatan diseminasi hasil/laporan kegiatan pernah
dilakukan di tingkat kecamatan/kabupaten/kota, dan
hasil kegiatan tersebut pernah dimanfaatkan untuk
pelaksanaan program pembangunan kesehatan.
Fasilitasi pernah dilakukan oleh puskesmas setempat
untuk operasional posyandu.
Untuk mampu mencegah adanya kondisi yang
tidak diinginkan seperti resiko persalinan dan mampu
menjalankan kegiatan sebagaimana tersebut di
atas, setiap organisasi seperti posyandu dalam
melaksanakan kegiatannya hendaknya menggalang
kemitraan dengan berbagai lembaga dan melakukan
koordinasi dengan Dinas Kesehatan dengan segenap
jajarannya.
Faktor pendukung dan penghambat upaya
pemberdayaan
Dari kegiatan pengumpulan data ditemukan
beberapa faktor pendukung dan penghambat upaya
peningkatan peran serta masyarakat di kota Manado
dan Palangkaraya. Secara garis besar gambaran
faktor pendukung dan penghambat adalah sebagai
berikut.
Pendukung:
a. Pimpinan pemerintah setempat seperti Camat
dan Lurah/Kepala Desa mempunyai keperdulian
yang cukup tinggi terhadap masalah-masalah
kesehatan khususnya kesehatan ibu dan anak.
b. Tokoh agama dan masyarakat setempat sudah
mau terlibat secara langsung dalam kegiatan
kesehatan.
c. Dinas Kesehatan (Puskesmas) sudah melakukan
pembinaan secara rutin
d. Masyarakat tidak segan berkontribusi dalam hal
tenaga dan dana.
Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Kesehatan (Setia Pranata, dkk.)
181
e. Di setiap daerah banyak terdapat sumbardaya
organisasi yang potensial seperti PKK, BPD,
LSM, Karang Taruna, Lembaga Keagamaan dan
Lembaga Adat.
f. Setiap ibu hamil sudah mempunyai buku kesehatan
ibu dan anak
Penghambat:
a. Organisasi potensial yang ada belum banyak
dilibatkan untuk membantu mensukseskan kegiatan
dan program yang sedang dikerjakannya.
b. (dalam dua tahun terakhir) Tidak ada pembekalan
untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan
kepada kader
c. Kader tidak percaya diri dengan kemampuannya
untuk member ikan penyuluhan kepada
masyarakat.
d. Kesulitan untuk mengumpulkan masyarakat
karena kesibukan masing-masing orang, terutama
terhalang dengan pekerjaan.
e. Suami dan orang tua masih belum dijadikan sebagai
sasaran yang perlu ditingkatkan pengetahuan
dan kesadarannya tentang masalah yang terkait
dengan kesehatan ibu dan anak.
f. Kesadaran ibu untuk membaca buku kesehatan
ibu dan anak masih rendah
KESIMPULAN
Sesuai dengan butir-butir tujuan esuai pengkajian, studi
ini menyimpulkan:
x_ Dengan mengacu pada 7 prinsip yang harus
diperhat ikan oleh kader posyandu dalam
melakukan pemberdayaan, di kota Manado dan
Palangkaraya, tidak ada kader posyandu yang
menggunakan ketujuh prinsip pemberdayaan
sebagai upaya untuk melakukan pemberdayaan.
Prinsip yang dilakukan lebih banyak berupa
meningkatkan kontribusi masyarakat dan
mengembangkan budaya gotong-royong yang
sudah ada di masyarakat. Prinsip pemberdayaan
yang lainnya seperti menumbuh kembangkan
potensi masyarakat, bekerja bersama masyarakat,
pendidikan berbasis masyarakat, kemitraan dan
desentralisasi belum banyak disentuh oleh kader
posyandu.
x_ Kegiatan yang terkait dengan upaya pemberdayaan
yang dilakukan posyandu, antara lain melakukan
berbagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan
melalui media penyuluhan yang dilakukan oleh
petugas kesehatan yang datang di posyandu, bukan
oleh kader. Kemampuan untuk cepat mengambil
keputusan dan memudahkan akses terhadap
pelayanan kesehatan masih sebatas berupa
pengetahuan, kader belum punya kemampuan
menjadikan sebagai gerakan.
x_ Sumber daya potensial masyarakat untuk
pemberdayaan masyarakat sudah ada, hanya
belum bayak dimanfaatkan.
Rekomendasi
Untuk percepatan kegiatan pemberdayaan
masyarakat dalam upaya penurunan angka kematian
ibu dan bayi, maka:
x_ Dinas Kesehatan dan jajarannya perlu melakukan
fasilitasi agar 7 prinsip pemberdayaan dilakukan
sebagai satu kesatuan secara bertahap.
x_ Memberikan tanggung jawab kepada tokoh
masyarakat untuk melakukan pemasaran sosial
tentang persalinan yang aman, penghindaran dari
tradisi yang tidak mendukung kesehatan ibu dan
bayinya dan juga dukungan sosial yang berupa
penyiapan dana dan transportasi untuk membantu
upaya persalinan yang aman.
x_ Khusus kepada kader posyandu, perlu dilakukan
peningkatan keterampilan advokasi dan negosiasi
secara periodik sehingga lebih percaya diri dalam
melaksanakan kegiatan pemberdayaan.
KONSEP ADVOKASI DALAM PROMOSI KESEHATAN

A.    PENGERTIAN
Kurang berhasil atau kegagalan suatu program kesehatan, sering di sebabkan oleh karena
kurang atau tidak adanya dukungan dari para pembuat keputusan, baik di tingktak nasional
maupun lokal (provinsi, kabupaten, atau kecamatan). Akibat kurangnya dukungan itu, antara lain
rendahnya alokasi anggaran untuk program kesehatan, kurangnya sarana dan prasarana, tidak
adanya kebijakan yang menguntungkan bagi kesehatan dan sebagainya. Untuk memperoleh atau
meningkatkan dukungan atau komitmen dari para pembuat kebijakan, termasuk para pejabat
lintas sektoral diperlukan upaya disebut advokasi.
Advokasi secara harfiah berarti pembelaan, sokongan atau bantuan terhadap seseorang
yang mempunyai permasalahan. Istilah advokasi mula-mula digunakan dibidang hukum atau
pengadilan. Sesorang yang sedang tersangkut perkara atau pelanggaran hukum, agar memperoleh
keadilan yang sesungguh-sungguhnya. Mengacu kepada istilah advokasi dibidang hukum
tersebut, maka advokasi dalam kesehatan diartikan upaya untuk memperoleh pembelaan,
bantuan, atau dukungan terhadap program kesehatan.
Menurut Wesbter Encyclopedia advokasi adalah "act of pleading for supporting or
recommending active espousal" atau tindakan pembelaan, dukungan, atau rekomendasi :
dukungan aktif.
Menurut ahli retorika ( Foss and Foss, et al : 1980) advokasi diartikan sebagai upaya
persuasi yang mencakup kegiatan : penyadaran, rasionalisasi, argumentasi dan rekomendasi
tindak lanjut mengenai sesuatu hal.
Menurut Hopkins (1990) advokasi adalah usaha untuk mempengaruhi kebijakan publik
melalui bermacam-macam bentuk komunikasi persuasif. Dari beberapa catatan tersebut dapat
disimpulkan secara ringkas, bahwa advokasi adalah upaya atau proses untuk memperoleh
komitmen yang dilakukan secara persuasif dengan menggunakan informasi yang akurat dan
tepat.
B.     PROSES DAN ARAH ADVOKASI
 

Proses advocacy(advokasi) di bidang kesehatan mulai digunakan dalam program


kesehatan masyarakat pertama kali oleh WHO pada tahun 1984, sebagai salah satu strategi
global Pendidikan atau promosi kesehatan.
WHO merumuskan, bahwa dalam mewujudkan visi dan misi Promosi Kesehatan secara
efektif menggunakan 3 strategi pokok, yakni: 1. advocacy (advokasi), 2. Social Support
( dukungan sosial) dan 3. Empowerment (pemberdayaan masyarakat).
Strategi global ini dimaksudkan bahwa, dalam pelaksanaan suatu program kesehatan
didalam masyarakat, maka langkah yang di ambil adalah:
1.      Melakukan pendekatan / lobi dengan para pembuat keputusan setempat, agar mereka ini
menerima dan "commited". Dan akhirnya mereka bersedia mengeluarkan kebijakan, atau
keputusan-keputusan untuk membantu atau mendukung program tersebut. Kegiatan inilah yang
disebut advokasi. Dalam kesehatan para pembuat keputusan baik di tingkat pusat maupun daerah
ini disebut sasaran tersier.
2.      Langkah selanjutnya adalah mekakukan pendekatan dan pelatihan kepada tokoh masyarakat
formal maupun informal.
3.      Selanjutnya petugas kesehatan bersama-sama tokoh masyarakat tersebut melakukan kegiatan
penyuluhan kesehatan, konseling, dan sebagainya, melalui berbagai kesempatan dan media.
Advokasi di artikan sebagai upaya pendekatan terhadap orang lain yang dianggap
mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan suatu program atau kegiatan yang dilaksanakan.
Oleh karena itu, orang yang menjadi sasaran atau target advokasi ini para pimpinan suatu
organisasi atau institusi kerja baik di lingkungan pemerintah maupun swasta dan organisasi
kemasyarakatan di berbagai jenjang administrasi pemerintahan ( tingkat pusat, provinsi,
kabupaten, kecamatan dan kelurahan)
Dalam advokasi peran komunikasi sangat penting sebab dalam advokasi merupakan
aplikasi dari komunikasi interpersonal, maupun massa yang di tujukan kepada para penentu
kebijakan (policy makers) atau para pembuat keputusan ( decission makers)pada semua tingkat
dan tatanan sosial.

ARUS KOMUNIKASI ADVOKASI KESEHATAN


 
Arus komunikasi advokasi Kesehatan. Komunikasi dalam rangka advokasi kesehatan
memerlukan kiat khusus agar komunikasi tersebut efektif antara lain sebagai berikut:
1.      Jelas (clear): pesan yang disampaikan kepada sasaran harus disusun sedemikian rupa sehingga
jelas, baik isinya maupun bahasa yang digunakan.
2.      Benar (correct): apa yg disampaikan (pesan) harus didasarkan kepada kebenaran. Pesan yang
benar adalah pesan yang disertai fakta atau data empiris.
3.      Kongkret (concrete): apabila petugas kesehatan dalam advokasi mengajukan usulan program
yang dimintakan dukungan dari para pejabat terkait, maka harus dirumuskan dalam bentuk yang
kongkrit (bukan kira-kira) atau dalam bentuk operasional.
4.      Lengkap (complete): timbulnya kesalahpahaman atau mis komunikasi adalah karena belum
lengkapnya pesan yang disampaikan kepada orang lain.
5.      Ringkas (concise) : pesan komunikasi harus lengkap, tetapi padat, tidak bertele-tele.
6.      Meyakinkan ( convince) : agar komunikasi advokasi kita di terima oleh para pejabat, maka harus
meyakinkan, agar komunikasi advokasi kita diterima
7.      Kontekstual ( contextual): advokasi kesehatan hendaknya bersifat kontekstual. Artinya pesan
atau program yang akan diadvokasi harus diletakkan atau di kaitkan dengan masalah
pembangunan daerah bersangkutan. Pesan-pesan atau program-program kesehatan apapun harus
dikaitkan dengan upaya-upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat pemerintah setempat.
8.      Berani (courage): seorang petugas kesehatan yang akan melakukan advokasi kepada para
pejabat, harus mempunyai keberanian berargumentasi dan berdiskusi dengan para pejabat yang
bersangkutan.
9.      Hati-hati ( contious): meskipun berani, tetapi harus hati-hati dan tidak boleh keluar dari etika
berkomunikasi dengan para pejabat, hindari sikap "menggurui" para pejabat yang bersangkutan.
10.  Sopan (courteous): disamping hati-hati, advokator harus bersikap sopan, baik sopan dalam tutur
kata maupun penampilan fisik, termasuk cara berpakaian.

Advokasi adalah suatu kegiatan untuk memperoleh komitmen politik, dukungan


kebijakan, penerimaan sosial, dan dukungan sistem dari para pembuat keputusan atau pejabat
pembuat kebijakan (WHO, 1989). Oleh karena itu, tujuan utama advokasi adalah memberikan
dorongan dan dukungan dikeluarkannya kebijakan-kebijakan publik yang berkaitan dengan
program-program kesehatan.

C.    PRINSIP DASAR ADVOKASI


Advokasi adalah kombinasi antara pendekatan atau kegiatan individu dan sosial, untuk
memperoleh komitmen politik, dukungan kebijakan, penerimaan sosial, dan adanya sistem yang
mendukung terhadap suatu program kesehatan. Untuk mencapai tujuan advokasi ini, dapat
diwujudkan dengan berbagai kegiatan atau pendekatan. Untuk melakukan kegiatan advokasi
yang efektif memerlukan argumen yang kuat. Oleh sebab itu, prinsip-prinsip advokasi ini akan
membahas tentang tujuan, kegiatan, dan argumentasi-argumentasi advokasi.

Dari batasan advokasi tersebut, secara inklusif terkandung tujuan-tujuan advokasi, yakni:
political commitment, policy support, social aceptance dan sistem support.
a.       Komitmen politik (political comitment)
Komitmen para pembuat keputusan atau alat penentu kebijakan di tingkat dan disektor manapun
terhadap permasalahan kesehatan tersebut. Pembangunan nasional tidak terlepas dari pengaruh
kekuasaaan politik yang sedang berjal.
b.      Dukungan kebijakan (policy support)
Dukungan kongkrit yang diberikan oleh para pemimpin institusi disemua tingkat dan disemua
sektor yang terkait dalam rangka mewujudkan pembangunan di sektor kesehatan. Dukungan
politik tidak akan berarti tanpa dilanjutkan dengan dikeluarkannya kebijakan kongkret dari para
pembuat keputusan tersebut.
c.       Penerimaan Sosial ( social acceptance)
Penerimaan sosial, artinya diterimanya suatu program oleh masyarakat. Suatu program kesehatan
apapun hendaknya memperoleh dukungan dari sasaran utama program tersebut, yakni
masyarakat, terutama tokoh masyarakat.
d.      Dukungan Sistem (System Support)
Adanya sistem atau organisasi kerja yang memasukkan uinit pelayanan atau program kesehatan
dalam suatu institusi atau sektor pembangunan adalah mengindikasikan adanya dukungan sistem

D.    METODE DAN TEHNIK ADVOKASI


Seperti yang diuraikan di atas, bahwa tujuan utama advokasi di sektor kesehatan adalah
memperoleh komitmen dan dukungan kebijakan para penentu kebijakan atau pembuat keputusan
di segala tingkat.
Metode atau cara dan tehnik advokasi untuk mencapai tujuan itu semua ada bermacam-
macam, antara lain:
1.      Lobi Politik (political lobying)
Lobi adalah bincang-bincangsecara informal dengan para pejabat untuk menginformasikan dan
membahas masalah dan program kesehatan yang dilaksanakan
2.      Serminar / Presentasi
Seminar / presentasi yang di hadiri oleh para pejabat lintas program dan sektoral. Petugas
kesehatan menyajikan maslah kesehatan diwilayah kerjanya, lengkap dengan data dan ilustrasi
yang menarik, serta rencana program pemecahannya. Kemudian dibahas bersama-sama, yang
akhirnya dharafkan memproleh komitmen dan dukungan terhadap program yang akan
dilaksanakan tersebut.
3.      Media
Advokasi media (media advocacy)adalah melakukan kegiatan advokasi dengan mengumpulkan
media, khususnya media massa.
4.      Perkumpulan (asosiasi) Peminat
Asosiasi atau perkumpulan orang-orang yang mempunyai minat atau interes terhadap
permaslahan tertentu atau perkumpulan profesi, juga merupakan bentuk advokasi.

E.     ARGUMENTASI UNTUK ADVOKASI


Secara sederhana, advokasi adlah kegiatan untuk meyakinkan para penentu kebijakan
atau para pembuat keputusan sedemikian rupa sehingga mereka memberikan dukungan baik
kebijakan, fasilitas dan dana terhadap program yang ditawakan.
Meyakinkan para pejabat terhadap pentingnya program kesehatan tidaklah mudah,
memerlukan argumentasi – argumentasi yang kuat. Dengan kata lain, berhasil tidaknya advokasi
bergantung pada kuat atau tidaknya kita menyiapkan argumentasi. Dibawah ini ada beberapa hal
yang dapat memperkuat argumen dalam melakukan kegiatan advokasi, antara lain:
a.       Kredibilitas (Creadible)
Kredibilitas (Creadible) adalah suatu sifat pada seseorang atau institusi yang menyebabkan
orang atau pihak lain mempercayainya atau meyakininya.
Orang yang akan melalukan advokasi (petugas kesehatan) harus Creadible. Seseorang itu
Creadible apabila mempunyai 3 sifat, yakni:
1)      Capability (kapabilitas), yakni mempunyai kemampuan tentang bidangnya.
2)      Autority ( otoritas), yakni adanya otoritas atau wewenang yang dimiliki seseorang berdasarkan
aturan organisasi yang bersangutan.
3)      Integrity (integritas), adalah komitmen seseorang tehadap jabatan atau tanggung jawab yang
diberikan kepadanya.
 
b.      Layak (Feasible)
Artinya program yang diajukan tersebut baik secara tehnik, politik, maupun ekonomi
dimungkinkan atau layak. Secara tehnik layak (feasible) artinya program tersebut dapat
dilaksanakan. Artinya dari segi petugas yang akan melaksanakan program tersebut, mempunyai
kemampuan yang baik atau cukup.

c.       Relevan (Relevant)


Artinya program yang yang diajukan tersebut tidak mencakup 2 kriteria, yakni : memenuhi
kebutuhan masyarakat dan benar-benar memecahkan masalah yang dirasakan masyarakat.
d.      Penting dan Mendesak (Urgent)
Artinya program yang diajukan harus mempunyai urgensi yang tinggi: harus segera dilaksanakan
dan kalau tidak segera dilaksanakan akan menimbulkan masalah

F.     UNSUR DASAR ADVOKASI


Ada 8 unsur dasar advokasi yaitu:
1.      Penetapan tujuan advokasi
2.      Pemanfaatan data riset untuk advokasi
3.      Identifikasi khalayak sasaran advokasi
4.      Pengembangan dan penyampaian pesan advokasi
5.      Membangun koalisi
6.      Membuat presentasi yang persuasif
7.      Penggalangan dana untuk advokasi
8.      Evaluasi upayaadvokasi

G.    PENDEKATAN UTAMA ADVOKASI


Ada 5 pendekatan utama dalam advokasi (UNFPA dan BKKBN 2002) yaitu:
1.      Melibatkan para pemimpin
Para pembuat undang-undang, mereka yang terlibat dalam penyusunan hukum, peraturan
maupun pemimpin politik, yaitu mereka yang menetapkan kebijakan publik sangat berpengaruh
dalam menciptakan perubahan yang terkait dengan masalah sosial termasuk kesehatan dan
kependudukan. Oleh karena itu sangat penting melibatkan meraka semaksimum mungkin dalam
isu yang akan diadvokasikan.
2.      Bekerja dengan media massa
Media massa sangat penting berperan dalam membentuk opini publik. Media juga sangat kuat
dalam mempengaruhi persepsi publik atas isu atau masalah tertentu. Mengenal, membangun dan
menjaga kemitraan dengan media massa sangat penting dalam proses advokasi.
3.      Membangun kemitraan
Dalam upaya advokasi sangat penting dilakukan upaya jaringan, kemitraan yang berkelanjutan
dengan individu, organisasi-organisasi dan sektor lain yang bergerak dalam isu yang sama.
Kemitraan ini dibentuk oleh individu, kelompok yang bekerja sama yang bertujuan untuk
mencapai tujuan umum yang sama/hampir sama.
4.      Memobilisasi massa
Memobilisasi massa merupakam suatu proses mengorganisasikan individu yang telah termotivasi
ke dalam kelompok-kelompok atau mengorganisasikan kelompok yang sudah ada. Dengan
mobilisasi dimaksudkan agar termotivasi individu dapat diubah menjadi tindakan kolektif
5.      Membangun kapasitas
Membangu kapasitas disini di maksudkan melembagakan kemampuan untuk mengembangakan
dan mengelola program yang komprehensif dan membangun critical mass pendukung yang
memiliki keterampilan advokasi. Kelompok ini dapat diidentifikasi dari LSM tertentu, kelompok
profesi serta kelompok lain.

H.    LANGKAH-LANGKAH ADVOKASI


Advokasi adalah proses atau kegiatan yang hasil akhirnya adalah diperolehnya dukungan
dari para pembuat keputusan terhadap program kesehatan yang ditawarkan atau diusulkan. Oleh
sebab itu, proses ini antara lain melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Tahap persiapan
Persiapan advokasi yang paling penting adalah menyusun bahan (materi) atau instrumen
advokasi.
2.      Tahap pelaksanaan
Pelaksanaan advokasi sangat tergantung dari metode atau cara advokasi. Cara advokasi yang
sering digunakan adalah lobbi dan seminar atau presentasi.
3.      Tahap penilaian
Seperti yang disebutkan diatas bahwa hasil advokasi yang diharafkan adalah adanya dukungan
dari pembuat keputusan, baik dalam bentuk perangkat lunak (software) maupun perangkat keras
(hardware). Oleh sebab itu, untuk menilai atau mengevaluasi keberhasilan advokasi dapat
menggunakan indikator-indikator seperti dibawah ini:
a.       Software (piranti lunak): misalnya dikeluarkannya:
-          Undang-undang
-          Peraturan pemerintah
-          Peraturan pemerintah daerah (perda)
-          Keputusan menteri
-          Surat keputusan gubernur/ bupati
-          Nota kesepahaman(MOU), dan sebagainya
b.      Hardware (piranti keras): misalnya:
-          Meningkatnya anggaran kesehatan dalam APBN atau APBD
-          Meningkatnya anggaran untuk satu program yang di prioritaskan
-          Adanya bantuan peralatan, sa
Bina suasana adalah menjalin kemitraan untuk pembentukan opini publik dengan berbagai kelompok
opini yang ada di masyarakat seperti : tokoh masyarakat, tokoh agama, Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), dunia usaha/swasta, media massa, organisasi profesi pemerintah dan lain-lain.

 Pengertian Strategi Promosi Kesehatan Promosi Kesehatan adalah proses membuat orang
mampu meningkatkan kontrol terhadap, dan memperbaiki kesehatan mereka (WHO, 1984)
Promosi kesehatan adalah segala bentuk kombinasi pendidikan kesehatan dan intervensi yang
terkaitdengan ekonomi, politik, dan organisasi, yang dirancang untuk memudahkan perubahan
perilaku dan lingkungan yang kondusif bagi kesehatan. (Lawrence Green, 1984) Strategi
promosi kesehatan ialah upaya bagaimana mewujudkan tujuan promosi kesehatan atau cara
pendekatan agar tujuan promkes tercapai secar efektif dan efisien.
 4. Lanjut ...  Strategi promosi kesehatan menurut WHO, 1984 1.
Advokasi (Advocacy) 2. Dukungan sosial (Social Support) 3.
Pemberdayaan masyarakat (Empowerment) Strategi Promosi Kesehatan
menurut Piagam Ottawa, 1986 1. Kebijakan Berwawasan Kesehatan 2.
Lingkungan yang Mendukung 3. Reorientasi Pelayanan Kesehatan 4.
Keterampilan Individu 5. Gerakan Masyarakat
 5. Pengertian Bina Suasana Bina suasana yaitu penciptaan situasi
yang kondusif untuk memberdayakan perilaku hidup bersih dan sehat.
Perilaku hidup bersih dan sehat dapat tercipta dan berkembang jika
lingkungan mendukung hal ini, lingkungan mencakup lingkungan fisik,
sosial budaya, ekonomi dan politik.
 6. Tujuan Bina Suasana agar para tokoh masyarakat menjadi
jembatan antara sektor kesehatan sebagai pelaksana program kesehatan
dengan masyarakat (penerima program) kesehatan. mensosialisasikan
program-program kesehatan, agar masyarakat mau menerima dan mau
berpartisipasi terhadap program kesehatan tersebut Bentuk kegiatan
dukungan sosial : pelatihan pelatihan para toma, seminar, lokakarya, bimbingan kepada
toma, dan sebagainya.
 7. Cara Pendekatan Bina Suasana 1. Pendekatan Individu Bina Suasana Individu ditujukan
kepada individu-individu tokoh masyarakat. Dengan pendekatan ini diharapkan : • Dapat
menyebarluaskan opini yang positif terhadap perilaku yang sedang diperkenalkan. • Dapat
menjadi individu-individu panutan dalam hal perilaku yang sedang diperkenalkan.Yaitu dengan
bersedia atau mau mempraktikkan perilaku yang sedang diperkenalkan tersebut (misalnya
seorang pemuka agama yang rajin melaksanakan 3 M yaitu Menguras, Menutup dan Mengubur
demi mencegah munculnya wabah demam berdarah). • Dapat diupayakan agar mereka bersedia
menjadi kader dan turut menyebarluaskan informasi guna menciptakan suasana yang kondusif
bagi perubahan perilaku individu.
 8. Lanjut ...  2. Pendekatan Kelompok Bina Suasana Kelompok ditujukan kepada
kelompok-kelompok dalam masyarakat, seperti pengurus Rukun Tetangga (RT), pengurus
Rukun Warga (RW), Majelis Pengajian, Perkumpulan Seni, Organisasi Profesi, Orga-nisasi
Wanita, Organisasi Siswa/Mahasiswa, Organisasi Pemuda, dan lain-lain. Pendekatan ini dapat
dilakukan oleh dan atau bersama-sama dengan pemuka/tokoh masyarakat yang telah peduli.
Dengan pendekatan ini diharapkan kelompok-kelompok tersebut menjadi peduli terhadap
perilaku yang sedang diperkenalkan dan menyetujui atau mendukungnya.
 9. Lanjut ...  3. Pendekatan Masyarakat Umum Bina Suasana Masyarakat Umum dilakukan
terhadap masyarakat umum dengan membina dan memanfaatkan media-media komunikasi,
seperti radio, televisi, koran, majalah, situs internet, dan lain-lain, sehingga dapat tercipta
pendapat umum yang positif tentang perilaku tersebut. Dengan pendekatan ini diharapkan : •
Media-media massa tersebut menjadi peduli dan mendukung perilaku yang sedang
diperkenalkan. • Media-media massa tersebut lalu bersedia menjadi mitra dalam rangka
menyebar-luaskan informasi tentang perilaku yang sedang diperkenalkan dan menciptakan
pendapat umum (opini publik) yang positif tentang perilaku tersebut. • Suasana atau pendapat
umum yang positif ini akan dirasakan pula sebagai pendukung atau “penekan” (social pressure)
oleh individu-individu anggota masyarakat, sehingga akhirnya mereka mau melaksanakan
perilaku yang sedang diperkenalkan.
 10. Metode Bina Suasana 1. Pelatihan 2. Konferensi pers 3. Dialog terbuka 4. Penyuluhan 5.
Pendidikan 6. Pertunjukkan tradisional. 7. Diskusi meja bundar (Round table discussiaon) 8.
Pertemuan berkala di desa 9. Kunjungan lapangan 10.Studi banding 11.Traveling seminar.
 11. Hal yang Diperlukan Untuk Menjaga Keseimbangan Bina Suasana 1. Forum komunikasi
2. Dokumen dan data yang up to date (selalu baru) 3. Mengikuti perkembangan kebutuhan
masyarakat 4. Hubungan yang terbuka, serasi dan dinamis dengan mitra 5. Menumbuhkan
kecintaan terhadap kesehatan 6. Memanfaatkan kegiatan dan sumber-sumber dana yang
mendukung upaya pembudayaan perilaku hidup bersih dan sehat 7. Adanya umpan balik dan
penghargaan
 12. Hambatan Dalam Promosi Kesehatan Menurut Taylor (1991), hambatan dalam
penyelenggaraan tersebut diuraikan berikut ini. 1. Struktur dan sikap medical establishment lebih
mendorong menyembuhkan daripada mencegah, dan promosi kesehatan diabaikan. 2. Hambatan
individual Hal ini berkaitan denga kebiasaan dan persepsi resiko. Kebiasaan kesehatan yang
dipelajari sejak kecil terkadang sulit diubah, demikian juga persepsi.
 13. Lanjut ...  3. Jaringan koperasi dan perencanaan yang rumit Hal ini mencakup pelaku
riset praktisi dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda, serta policy makers ( pembuat kebijakan )
pada masing – masing tingkat. Sebelum program dianggap efektif, diperluakn studi, perencanaan
yang cermat, pelaksanaan, dan penilaian kemudian direncanakan kembali.
 14. PENUTUP Strategi promosi kesehatan ialah upaya bagaimana mewujudkan tujuan
promosi kesehatan atau cara pendekatan agar tujuan promkes tercapai secar efektif dan efisien.
Salah satu strategi promosi kesehatan dalam hal ini yakni dukungan sosial (bina suasana) Bina
suasana adalah upaya menciptakan opini atau lingkungan sosial yang mendorong individu
anggota masyarakat untuk mau melakukan perilaku yang diperkenalkan atau bina suasana sama
juga dengan. Ada 3 pendekatan bina suasana ntara lain ; 1. Pendekatan individu 2. Pendekatan
kelompok 3. Pendekatan masyrakat umum
 15. Lanjut ...  Dalam menjaga keseimbangan bina suasana diperlukan beberapa hal yakni,
forum komunikasi, dokumen dan data yang up to date (selalu baru), mengikuti perkembangan
kebutuhan masyarakat Namun dalam upaya menciptakan suasana dan kondisi yang baik dalam
masyarakat khususnya untuk mewujudkan sebuah promosi kesehatan tentunya banyak hambatan
yang perlu kita waspadai, baik hambatan individual, masyarakat dll.
 16. WASSALAMU’ALAIKUM WR. WB

Anda mungkin juga menyukai