Anda di halaman 1dari 48

Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Kesehatan

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur

kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia

sebagaimana tertulis di pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk itu, upaya

kesehatan harus selalu diusahakan peningkatannya secara terus menerus agar

masyarakat yang sehat sebagai investasi dalam pembangunan dapat hidup produktif

secara sosial dan ekonomis (Nurbeti, M. 2009).

Perhatian terhadap permasalah kesehatan terus dilakukan terutama dalam

perubahan paradigma sakit yang selama ini dianut masyarakat ke paradigma

sehat. Paradigma sakit merupakan upaya untuk membuat orang sakit menjadi sehat,

menekankan pada kuratif dan rehabilitatif, sedangkan paradigma sehat merupakan

upaya membuat orang sehat tetap sehat, menekan pada pelayanan promotif dan

preventif. Berubahnya paradigma masyarakat akan kesehatan, juga akan merubah

pemeran dalam pencapaian kesehatan masyarakat, dengan tidak mengesampingkan

peran pemerintah dan petugas kesehatan. Perubahan paradigma dapat menjadikan

masyarakat sebagai pemeran utama dalam pencapaian derajat kesehatan. Dengan

peruahan paradigma sakit menjadi paradigma sehat ini dapat membuat masyarakat

menjadi mandiri dalam mengusahakan dan menjalankan upaya kesehatannya, hal ini
sesuai dengan visi Indonesia sehat, yaitu “Masyarakat Sehat yang Mandiri dan

Berkeadilan” (Supardan, 2013).

Pemberdayaan masyarakat terhadap usaha kesehatan agar menjadi sehat

sudah sesuai dengan Undang – undang RI, Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan,

bahwa pembangunan kesehatan harus ditujukan untuk meningkatkan kesadaran,

kemauan, dan kemampuan hidup masyarakat yang setinggi- tingginya, sebagai

investasi bagi pembangunan sumber daya masyarakat. Setiap orang berkewajiban ikut

mewujudkan, mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat

setinggi – tingginya. Pemerintah bertanggungjawab memberdayakan dan mendorong

peran serta aktif masyarakat dalam segala bentuk upaya kesehatan (Nurbeti, M. 2009).

Dalam rangka pencapaian kemandirian kesehatan, pemberdayaan masayrakat

merupakan unsur penting yang tidak bisa diabaikan. Pemberdayaan kesehatan di

bidang kesehatan merupakan sasaran utama dari promosi kesehatan. Masyarakat

merupakan salah satu dari strategi global promosi kesehatanpemberdayaan

(empowerment) sehingga pemberdayaan masyarakat sangat penting untuk dilakukan

agar masyarakat sebagai primary target memiliki kemauan dan kemampuan untuk

memelihara dan meningkatkan kesehatan (Supardan, 2013).

Pengertian Pemberdayaan masyarakat adalah suatu upaya atau proses untuk

menumbuhkan kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat dalam mengenali,

mengatasi, memelihara, melindungi dan meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri.

Pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan adalah upaya atau proses untuk

menumbuhkan kesadaran kemauan dan kemampuan dalam memelihara dan


meningkatkan kesehatan. Memampukan masyarakat, “dari, oleh, dan untuk”

masyarakat itu sendiri (Nurbeti, M. 2009).

Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan merupakan sasaran utama

dari promosi kesehatan. Masyarakat atau komunitas merupakan salah satu dari strategi

global promosi kesehatan pemberdayaan (empowerment) sehingga pemberdayaan

masyarakat sangat penting untuk dilakukan agar masyarakat sebagai primary target

memiliki kemauan dan kemampuan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan

mereka. Berdasarkan hal tersebut maka penulis ingin mengetahui tentang manajemen

pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan (Notoatmodjo, 2007).

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah “Bagaimanakan

manajemen pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan?”

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Makalah ini dibuat sebagai pedoman atau acuan dalam membandingkan

antara teori dalam konsep pemberdayaan masyarakat, serta untuk mengetahui

informasi-informasi mengenai konsep pemberdayaan masyarakat dalam bidang

kesehatan.

2. Tujuan Khusus

a. Memahami pengertian konsep pemberdayaan masyarakat

b. Mengetahui ciri-ciri pemberdayaan masyarakat

c. Mengetahui tujuan pemberdayaan masyarakat

d. Mengetahui prinsip pemberdayaan masyarakat


e. Mengetahui peran petugas kesehatan dalam pemberdayaan masyarakat.

f. Mengetahui Indikator pemberdayaan masyarakat

g. Mengetahui sasaran pemberdayaan masyarakat

h. Mengetahui jenis-jenis pemberdayaan masyarakat

D. Manfaat

1. Bagi Penulis

Terpenuhinya tugas manajemen pemberdayaan masyarakat yang berupa

makalah pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan.

2. Bagi Institusi

Sebagai tambahan sumber bacaan di perpustakaan.

3. Bagi Pembaca

Untuk menambah wawasan kita mengenai pengertian, ciri, tujuan dari konsep

pemberdayaan masyarakat.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat adalah suatu upaya atau proses untuk

menumbuhkan kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat dalam mengenali,

mengatasi, memelihara, melindungi dan meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri.

Pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan adalah upaya atau proses untuk

menumbuhkan kesadaran kemauan dan kemampuan dalam memelihara dan

meningkatkan kesehatan (Supardan, 2013).

Sulistiyani (2009) menjelaskan lebih rinci bahwa secara etimologis

pemberdayaan berasal dari kata dasar "daya" yang berarti kekuatan atau kemampuan.

Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dimaknai sebagai proses untuk

memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan, dan atau proses pemberian daya,

kekuatan atau kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang

atau belum berdaya. Berdasarkan beberapa pengertian pemberdayaan yang

dikemukakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya

pemberdayaan adalah suatu proses dan upaya untuk memperoleh atau memberikan

daya, kekuatan atau kemampuan kepada individu dan masyarakat lemah agar dapat

mengidentifikasi, menganalisis, menetapkan kebutuhan dan potensi serta masalah

yang dihadapi dan sekaligus memilih alternatif pemecahnya dengan mengoptimalkan

sumberdaya dan potensi yang dimiliki secara mandiri (Nurbeti, M. 2009).


Gerakan pemberdayaan masyarakat merupakan suatu upaya dalam

peningkatan kemampuan masyarakat guna mengangkat harkat hidup, martabat dan

derajat kesehatannya. Peningkatan keberdayaan berarti peningkatan kemampuan dan

kemandirian masyarakat agar dapat mengembangkan diri dan memperkuat sumber

daya yang dimiliki untuk mencapai kemajuan (Nurbeti, M. 2009).

Gerakan pemberdayaan masyarakat juga merupakan cara untuk

menumbuhkan dan mengembangkan norma yang membuat masyarakat mampu untuk

berperilaku hidup bersih dan sehat. Strategi ini tepatnya ditujukan pada sasaran primer

agar berperan serta secara aktif (Supardan, 2013).

Bidang pembangunan biasanya meliputi 3 (tiga) sektor utama, yaitu ekonomi,

sosial (termasuk di dalamnya bidang pendidikan, kesehatan dan sosial-budaya), dan

bidang lingkungan. Sedangkan masyarakat dapat diartikan dalam dua konsep yaitu

masyarakat sebagai sebuah tempat bersama, yakni sebuah wilayah geografi yang

sama. Sebagai contoh, sebuah rukun tetangga, perumahan di daerah pertokoan atau

sebuah kampung di wilayah pedesaan (Nurbeti, M. 2009).

Hikmat (2001) menyebutkan pemberdayaan dalam wacana pembangunan

selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringankerja, dan keadilan.

Pada dasarnya, pemberdayaan diletakkan pada kekuatan tingkat individu dan sosial.

Isbandi Rukminto Adi (2008) menyatakan pembangunan masyarakat digunakan untuk

menggambarkan pembangunan bangsa secara keseluruhan.

Dalam arti sempit istilah pengembangan masyarakat di Indonesia sering

dipadankan dengan pembangunan masyarakat desa dengan mempertimbangkan desa

dan kelurahan berada pada tingkatan yang setara sehingga pengembangan


masyarakat (desa) kemudian menjadi dengan konsep pengembangan masyarakat lokal

(locality development).

UKBM (upaya kesehatan bersumberdaya manusia) adalah salah satu wujud

nyata peran serta masyarakat dalam pembangunan kesehatan. Kondisi ini ternyata

mampu memacu munculnya berbagai bentuk UKBM lainnya seperti Polindes, POD (pos

obat desa), pos UKK (pos upaya kesehatan kerja), TOGA (taman obat keluarga), dana

sehat dan lain-lain (Nurbeti, M. 2009).

B. Proses Pemberdayaan Masyarakat

Pranarka & Vidhyandika (2009) menjelaskan bahwa ”proses pemberdayaan

mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang mene-kankan

pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan atau

kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya. Kecenderungan pertama

tersebut dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan.

Sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungan sekunder menekankan pada

proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai

kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya

melalui proses dialog”.

Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa proses pemberdayaan dapat dilakukan

melalui tiga proses yaitu:

1. Pertama: Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat

berkembang (enabling). Titik tolaknya adalah bahwa setiap manusia memiliki potensi

yang dapat dikembangkan. Artinya tidak ada sumberdaya manusia atau masyarakat

tanpa daya. Dalam konteks ini, pemberdayaan adalah membangun daya, kekuatan
atau kemampuan, dengan mendorong (encourage) dan membangkitkan kesadaran

(awareness) akan potensi yang dimiliki serta berupaya mengembangkannya.

2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empo-wering), sehingga

diperlukan langkah yang lebih positif, selain dari iklim atau suasana.

3. Memberdayakan juga mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus

dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaannya

dalam menghadapi yang kuat.

Proses pemberdayaan warga masyarakat diharapkan dapat menjadikan

masyarakat menjadi lebih berdaya berkekuatan dan berkamampuan. Kaitannya dengan

indikator masyarakat berdaya, Nurbeti, M ( 2009) menyebutkan ciri-ciri warga

masyarakat berdaya yaitu:

1) Mampu memahami diri dan potensinya, mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi

perubahan ke depan),

2) Mampu mengarahkan dirinya sendiri,

3) Memiliki kekuatan untuk berunding,

4) Memiliki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling

menguntungkan, dan

5) Bertanggungjawab atas tindakannya.

Notoadmojdo (2007) menyatakan bahwa meskipun proses pemberdayaan suatu

masyarakat merupakan suatu proses yang berkesinambungan, namun dalam

implementasinya tidak semua yang direncanakan dapat berjalan dengan mulus dalam

pelaksanaannya. Tak jarang ada kelompok-kelompok dalam komunitas yang

melakukan penolakan terhadap ”pembaharuan” ataupun inovasi yang muncul. Watson


(Adi, 2013) menyatakan beberapa kendala (hambatan) dalam pembangunan

masyarakat, baik yang berasal dari kepribadian individu maupun berasal dari sistem

sosial:

1. Berasal dari Kepribadian Individu; kestabilan (Homeostatis), kebiasaan (Habit), seleksi

Ingatan dan Persepsi (Selective Perception and Retention), ketergantungan

(Depedence), Super-ego, yang terlalu kuat, cenderung membuat seseorang tidak mau

menerima pembaharuan, dan rasa tak percaya diri (self- Distrust)

2. Berasal dari Sistem Sosial; kesepakatan terhadap norma tertentu (Conformity to Norms),

yang”mengikat” sebagian anggota masyarakat pada suatu komunitas tertentu, kesatuan

dan kepaduan sistem dan budaya (Systemic and Cultural Coherence), kelompok

kepentingan (vested Interest), hal yang bersifat sacral (The Sacrosanct), dan penolakan

terhadap ”Orang Luar” (Rejection of Outsiders)

C. Ciri Pemberdayaan Masyarakat

Suatu kegiatan atau program dapat dikategorikan ke dalam pemberdayaan

masyarakat apabila kegiatan tersebut tumbuh dari bawah dan non-instruktif serta dapat

memperkuat, meningkatkan atau mengembangkan potensi masyarakat setempat guna

mencapai tujuan yang diharapkan. Bentuk-bentuk pengembangan potensi masyarakat

tersebut bermacam-macam, antara lain sebagai berikut :

1. Tokoh atau pimpinan masyarakat (Community leader)

Di sebuah mayarakat apapun baik pendesaan, perkotaan maupun pemukiman

elite atau pemukiman kumuh, secara alamiah aka terjadi kristalisasi adanya pimpinan

atau tokoh masyarakat. Pemimpin atau tokoh masyarakat dapat bersifat format (camat,

lurah, ketua RT/RW) maupun bersifat informal (ustadz, pendeta, kepala adat). Pada
tahap awal pemberdayaan masyarakat, maka petugas atau provider kesehatan terlebih

dahulu melakukan pendekatan-pendekatan kepada para tokoh masyarakat.

2. Organisasi masyarakat (community organization)

Dalam suatu masyarakat selalu ada organisasi-organisasi kemasyarakatan baik

formal maupun informal, misalnya PKK, karang taruna, majelis taklim, koperasi-

koperasi dan sebagainya.

3. Pendanaan masyarakat (Community Fund)

Sebagaimana uraian pada pokok bahasan dana sehat, maka secara ringkas

dapat digaris bawahi beberapa hal sebagai berikut: “Bahwa dana sehat telah

berkembang di Indonesia sejak lama(tahun 1980-an) Pada masa sesudahnya(1990-an)

dana sehat ini semakin meluas perkembangannya dan oleh Depkes diperluas dengan

nama program JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat).

4. Material masyarakat (community material)

Seperti telah diuraikan disebelumnya sumber daya alam adalah merupakan

salah satu potensi msyarakat. Masing-masing daerah mempunyai sumber daya alam

yang berbeda yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan.

5. Pengetahuan masyarakat (community knowledge)

Semua bentuk penyuluhan kepada masyarakat adalah contoh

pemberdayaan masyarakat yang meningkatkan komponen pengetahuan masyarakat.

6. Teknologi masyarakat (community technology)

Dibeberapa komunitas telah tersedia teknologi sederhana yang dapat

dimanfaatkan untuk pengembangan program kesehatan. Misalnya penyaring air bersih

menggunakan pasir atau arang, untuk pencahayaan rumah sehat menggunakan


genteng dari tanah yang ditengahnya ditaruh kaca. Untuk pengawetan makanan

dengan pengasapan dan sebagainya (Nurbeti, M. 2009).

D. Tujuan Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat adalah upaya atau proses untuk menumbuhkan

kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat dalam mengenali, mengatasi,

memelihara, melindungi, dan meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri

(Notoadmojdo, 2007). Batasan pemberdayaan dalam bidang kesehatan meliputi upaya

untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan dalam memelihara dan

meningkatkan kesehatan sehingga secara bertahap tujuan pemberdayaan masyarakat

bertujuan untuk :

1. Tumbuhnya kesadaran, pengetahuan dan pemahaman akan kesehatan bagi individu,

kelompok atau masyarakat. Pengetahuan dan kesadaran tentang cara – cara

memelihara dan meningkatkan kesehatan adalah awal dari keberdayaan kesehatan.

Kesadaran dan pengetahuan merupakan tahap awal timbulnya kemampuan, karena

kemampuan merupakan hasil proses belajar. Belajar itu sendiri merupakan suatu

proses yang dimulai dengan adanya alih pengetahuan dari sumber belajar kepada

subyek belajar. Oleh sebab itu masyarakat yang mampu memelihara dan meningkatkan

kesehatan juga melalui proses belajar kesehatan yang dimulai dengan diperolehnya

informasi kesehatan. Dengan informasi kesehatan menimbulkan kesadaran akan

kesehatan dan hasilnya adalah pengetahuan kesehatan.

2. Timbulnya kemauan atau kehendak ialah sebagai bentuk lanjutan dari kesadaran dan

pemahaman terhadap obyek, dalam hal ini kesehatan. Kemauan atau kehendak

merupakan kecenderungan untuk melakukan suatu tindakan. Oleh sebab itu, teori lain
kondisi semacam ini disebut sikap atau niat sebagai indikasi akan timbulnya suatu

tindakan. Kemauan ini kemungkinan dapat dilanjutkan ke tindakan tetapi mungkin juga

tidak atau berhenti pada kemauan saja. Berlanjut atau tidaknya kemauan menjadi

tindakan sangat tergantung dari berbagai faktor. Faktor yang paling utama yang

mendukung berlanjutnya kemauan adalah sarana atau prasarana untuk mendukung

tindakan tersebut.

3. Timbulnya kemampuan masyarakat di bidang kesehatan berarti masyarakat, baik seara

individu maupun kelompok, telah mampu mewujudkan kemauan atau niat kesehatan

mereka dalam bentuk tindakan atau perilaku sehat.

Suatu masyarakat dikatakan mandiri dalam bidang kesehatan apabila :

a. Mereka mampu mengenali masalah kesehatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi

masalah kesehatan terutama di lingkungan tempat tinggal mereka sendiri. Pengetahuan

tersebut meliputi pengetahuan tentang penyakit, gizi dan makanan, perumahan dan

sanitasi, serta bahaya merokok dan zat-zat yang menimbulkan gangguan kesehatan.

b. Mereka mampu mengatasi masalah kesehatan secara mandiri dengan mengenali

potensi-potensi masyarakat setempat.

c. Mampu memelihara dan melindungi diri mereka dari berbagai ancaman kesehatan

dengan melakukan tindakan pencegahan.

d. Mampu meningkatkan kesehatan secara dinamis dan terus-menerus melalui berbagai

macam kegiatan seperti kelompok kebugaran, olahraga, konsultasi dan sebagainya

(Notoadmojdo, 2007).

E. Prinsip Pemberdayaan Masyarakat


Prinsipnya pemberdayaan masyarakat adalah menumbuhkan kemampuan

masyarakat dari dalam masyarakat itu sendiri. Pemberdayaan masyarakat bukan

sesuatu yang ditanamkan dari luar. Pemberdayaan masyarakat adalah proses

memanpukan masyarakat dari oleh dan untuk masyarakat itu sendiri, berdasarkan

kemampuan sendiri. Prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat dibidang kesehatan :

1. Menumbuhkembangkan potensi masyarakat.

Didalam masyarakat terdapat berbagai potensi yang dapat mendukung

keberhasilan program – program kesehatan. Potensi dalam masyarakat dapat

dikelompokkan menjadi potensi sumber daya manusia dan potensi dalam bentuk

sumber daya alam / kondisi geografis (Notoadmojdo, 2007).

Tinggi rendahnya potensi sumber daya manusia disuatu komunitas lebih

ditentukan oleh kualitas, bukan kuatitas sumber daya manusia. Sedangkan potensi

sumber daya alam yang ada di suatu masyarakat adalah given. Bagaimanapun

melimpahnya potensi sumber daya alam, apabila tidak didukung dengan potensi

sumber daya manusia yang memadai, maka komunitas tersebut tetap akan tertinggal,

karena tidak mampu mengelola sumber alam yang melimpah tersebut (Kartasasmita,

2011)

2. Mengembangkan gotong royong masyarakat.

Potensi masyarakat yang ada tidak akan tumbuh dan berkembang dengan baik

tanpa adanya gotong royong dari masyarakat itu sendiri. Peran petugas kesehatan atau

provider dalam gotong royong masyarakat adalah memotivasi dan memfasilitasinya,

melalui pendekatan pada para tokoh masyarakat sebagai penggerak kesehatan dalam

masyarakatnya.
3. Menggali kontribusi masyarakat.

Menggali dan mengembangkan potensi masing – masing anggota masyarakat

agar dapat berkontribusi sesuai dengan kemampuan terhadap program atau kegiatan

yang direncanakan bersama. Kontribusi masyarakat merupakan bentuk partisipasi

masyarakat dalam bentuk tenaga, pemikiran atau ide, dana, bahan bangunan, dan

fasilitas – fasilitas lain untuk menunjang usaha kesehatan.

4. Menjalin kemitraan

Jalinan kerja antara berbagai sektor pembangunan, baik pemerintah, swasta

dan lembaga swadaya masyarakat, serta individu dalam rangka untuk mencapai tujuan

bersama yang disepakati. Membangun kemandirian atau pemberdayaan masyarakat,

kemitraan adalah sangat penting peranannya.

5. Desentralisasi

Upaya dalam pemberdayaan masyarakatpada hakikatnya memberikan

kesempatan kepada masyarakat lokal untuk mengembangkan potensi daerah atau

wilayahnya. Oleh sebab itu, segala bentuk pengambilan keputusan harus diserahkan

ketingkat operasional yakni masyarakat setempat sesuai dengan kultur masing-masing

komunitas dalam pemberdayaan masyarakat, peran sistem yang ada diatasnya adalah

a. Memfasilitasi masyarakat dalam kegiatan-kegiatan atau program-program

pemberdayaan. Misalnya masyarakat ingin membangun atau pengadaan air bersih,

maka peran petugas adalah memfasilitasi pertemuan-pertemuan anggota masyarakat,

pengorganisasian masyarakat, atau memfasilitasi pertemuan dengan pemerintah


daerah setempat, dan pihak lain yang dapat membantu dalam mewujudkan pengadaan

air bersih tersebut.

b. Memotivasi masyarakat untuk bekerjasama atau bergotong-royong dalam

melaksanakan kegiatan atau program bersama untuk kepentingan bersama dalam

masyarakat tersebut. Misalnya, masyarakat ingin mengadakan fasilitas pelayanan

kesehatan diwilayahnya. Agar rencana tersebut dapat terwujud dalam bentuk

kemandirian masyarakat, maka petugas provider kesehatan berkewajiban untuk

memotivasi seluruh anggota masyarakat yang bersangkutan agar berpartisipasi dan

berkontribusi terhadap program atau upaya tersebut (Notoadmojdo, 2007).

F. Peran Petugas Kesehatan

Peran petugas kesehatan dalam pemberdayaan masyarakat adalah :

1. Memfasilitasi masyarakat melalui kegiatan-kegiatan maupun program-program

pemberdayaan masyarakat meliputi pertemuan dan pengorganisasian masyarakat.

2. Memberikan motivasi kepada masyarakat untuk bekerja sama dalam melaksanakan

kegiatan pemberdayaan agar masyarakat mau berkontribusi terhadap program tersebut

3. Mengalihkan pengetahuan, keterampilan, dan teknologi kepada masyarakat dengan

melakukan pelatihan-pelatihan yang bersifat vokasional (Nurbeti, M. 2009).

G. Indikator Hasil Pemberdayaan Masyarakat

1. Input

Input meliputi SDM, dana, bahan-bahan, dan alat-alat yang mendukung

kegiatan pemberdayaan masyarakat.

2. Proses
Proses, meliputi jumlah penyuluhan yang dilaksanakan, frekuensi pelatihan

yang dilaksanakan, jumlah tokoh masyarakat yang terlibat, dna pertemuan-pertemuan

yang dilaksanakan.

3. Output

Output, meliputi jumlah dan jenis usaha kesehatan yang bersumber daya

masyarakat, jumlah masyarakat yang telah meningkatkan pengetahuan dari perilakunya

tentang kesehatan, jumlah anggota keluarga yang memiliki usaha meningkatkan

pendapatan keluarga, dan meningkatnya fasilitas umum di masyarakat.

4. Outcome

Outcome dari pemberdayaan masyarakat mempunyai kontribusi dalam

menurunkan angka kesakitan, angka kematian, dan angka kelahiran serta

meningkatkan status gizi kesehatan (Notoadmojdo, 2007).

H. Sasaran dalam Pemberdayaan Masyarakat

1. Individu berpengaruh

2. Keluarga dan perpuluhan keluarga

3. Kelompok masyarakat : generasi muda, kelompok wanita, angkatan

Kerja

4. Organisasi masyarakat: organisasi profesi, LSM, dll

5. Masyarakat umum: desa, kota, dan pemukiman khusus.

I. Jenis Pemberdayaan Masyarakat

1. Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)

Posyandu merupakan jenis UKBM yang paling memasyarakatkan saat ini.

Gerakan posyandu ini telah berkembang dengan pesat secara nasional sejak tahun
1982. Saat ini telah populer di lingkungan desa dan RW diseluruh Indonesia. Posyandu

meliputi lima program prioritas yaitu: KB, KIA, imunisasi, dan pennaggulangan diare

yang terbukti mempunyai daya ungkit besar terhadap penurunan angka kematian bayi.

Sebagai salah satu tempat pelayanan kesehatan masyarakat yang langsung

bersentuhan dengan masyarakat level bawah, sebaiknya posyandu digiatkan kembali

seperti pada masa orde baru karena terbukti ampuh mendeteksi permasalahan gizi dan

kesehatan di berbagai daerah. Permasalahn gizi buruk anak balita, kekurangan gizi,

busung lapar dan masalah kesehatan lainnya menyangkut kesehatan ibu dan anak

akan mudah dihindarkan jika posyandu kembali diprogramkan secara menyeluruh.

Kegiatan posyandu lebih dikenal dengan sistem lima meja yang meliputi:

1. Meja 1 : pendaftaran

2. Meja 2 : penimbangan

3. Meja 3 : pengisian kartu menuju sehat

4. Meja 4 : penyuluhan kesehatan, pemberian oralit, vitamin A dan

tablet besi

5. Meja 5 : pelayanan kesehatan yang meliputi imunisasi, pemeriksaan kesehatan dan pengobatan

serta pelayanan keluarga berencana.

Salah satu penyebab menurunnya jumlah posyandu adalah tidak sedikit

jumlah posyandu diberbagai daerah yang semula ada sudah tidak aktif lagi.

2. Pondok Bersalin Desa (Polindes)

Pondok bersalin desa (Polindes) merupakan salah satu peran serta masyarakat

dalam menyediakan tempat pertolongan persalinan pelayanan dan kesehatan ibu serta

kesehatan anak lainnya. Kegiatan pondok bersalin desa antara lain melakukan
pemeriksaan (ibu hamil, ibu nifas, ibu menyusui, bayi dan balita), memberikan

imunisasi, penyuluhan kesehatan masyarakat terutama kesehatan ibu dan anak, serta

pelatihan dan pembinaan kepada kader dan mayarakat.

Polindes ini dimaksudkan untuk menutupi empat kesenjangan dalam KIA, yaitu

kesenjangan geografis, kesenjangan informasi, kesenjangan ekonomi, dan

kesenjangan sosial budaya. Keberadaan bidan di tiap desa diharapkan mampu

mengatasi kesenjangan geografis, sementara kontak setiap saat dengan penduduk

setempat diharapkan mampu mengurangi kesenjangan informasi. Polindes

dioperasionalkan melalui kerja sama antara bidan dengan dukun bayi, sehingga tidak

menimbulkan kesenjangan sosial budaya, sementara tarif pemeriksaan ibu, anak, dan

melahirkan yang ditentukan dalam musyawarah LKMD diharapkan mamou mengurangi

kesenjangan ekonomi.

3. Pos Obat Desa (POD) atau Warung Obat Desa (WOD)

Pos obat desa (POD) merupakan perwujudan peran serta masyarakat dalam

pengobatan sederhana terutama penyakit yang sering terjadi pada masyarakat

setempat (penyakit rakyat/penyakit endemik)

Di lapangan POD dapat berdiri sendiri atau menjadi salah satu kegiatan dari

UKBM yang ada. Gambaran situasi POD mirip dengan posyandu dimana bentuk

pelayanan menyediakan obat bebas dan obat khusus untuk keperluan berbagai

program kesehatan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Beberapa

pengembangan POD antara lain :

a. POD murni, tidak terkait dengan UKBM lainnya

b. POD yang diintegrasikan dengan dana sehat


c. POD yang merupakan bentuk peningkatan posyandu

d. POD yang dikaitkan dengan pokdes/polindes

e. Pos Obat Pondok Pesantren (POP) yang dikembangkan di beberapa pondok pesantren.

4. Dana Sehat

Dana telah dikembangkan pada 32 provinsi meliputi 209 kabupaten/kota.

Dalam implementasinya juga berkembang beberapa pola dana sehat, antara lain

sebagai berikut :

a. Dana sehat pola usaha kesehatan sekolah (UKS), dilaksanakan pada 34 kabupaten

dan telah mencakup 12.366 sekolah.

b. Dana sehat pola pembangunan kesehatan masyarakat desa (PKMD) dilaksanakan

pada 96 kabupaten.

c. Dana sehat pola pondok pesantren, dilaksanakan pada 39 kabupaten/kota.

d. Dana sehat pola koperasi unit desa (KUD), dilaksanakan pada lebih dari 23 kabupaten,

terutama pada KUD yang sudah tergolong mandiri.

e. Dana sehat yang dikembangkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dilaksanakan

pada 11 kabupaten/kota.

f. Dana sehat organisasi/kelompok lainnya (seperti tukang becak, sopir angkutan kota dan

lain-lain), telah dilaksanakan pada 10 kabupaten/kota.

Seharusnya dana kesehatan merupakan bentuk jaminan pemeliharaan

kesehatan bagi anggota masyarakat yang belum dijangkau oleh asuransi kesehatan

seperti askes, jamsostek, dan asuransi kesehatan swasta lainnya. Dana sehat

berpotensi sebagai wahana memandirikan masyarakat, yang pada gilirannya mampu

melestarikan kegiatan UKBM setempat. Oleh karena itu, dana sehat harus
dikembangkan keseluruh wilayah, kelompok sehingga semua penduduk terliput oleh

dana sehat atau bentuk JPKM lainnya.

5. Lembaga Swadaya Masyarakat

Di tanah air kita ini terdapat 2.950 lembaga swadaya masyarakat (LSM), namun

sampai sekarang yang tercatat mempunyai kegiatan di bidang kesehatan hanya 105

organisasi LSM. Ditinjau dari segi kesehatan, LSM ini dapat digolongkan menjadi LSM

yang aktivitasnya seluruhnya kesehatan dan LSM khusus antara kain organisasi profesi

kesehatan, organisasi swadaya internasional.

Dalam hal ini kebijaksanaan yang ditempuh adalah sebagai berikut

a. Meningkatkan peran serta masyarakat termasuk swasta pada semua tingkatan.

b. Membina kepemimpinan yang berorientasi kesehatan dalam setiap organisasi

kemasyarakatan.

c. Memberi kemampuan, kekuatan dan kesempatan yang lebih besar kepada organisasi

kemasyarakatan untuk berkiprah dalam pembangunan kesehatan dengan kemampuan

sendiri.

d. Meningkatkan kepedulian LSM terhadap upaya pemerataan pelayanan kesehatan.

e. Masih merupakan tugas berat untuk melibatkan semua LSM untuk berkiprah dalam

bidang kesehatan.

6. Upaya Kesehatan Tradisional

Tanaman obat keluarga (TOGA) adalah sebidang tanah di halaman atau ladang

yang dimanfaatkan untuk menanam yang berkhasiat sebagai obat. Dikaitkan dengan

peran serta masyarakat, TOGA merupakan wujud partisipasi mereka dalam bidnag

peningkatan kesehatan dan pengobatan sederhana dengan memanfaatkan obat


tradisional. Fungsi utama dari TOGA adalah menghasilkan tanaman yang dapat

dipergunakan antara lain untuk menjaga meningkatkan kesehatan dan mengobati

gejala (keluhan) dari beberapa penyakit yang ringan. Selain itu, TOGA juga berfungsi

ganda mengingat dapat dipergunakan untuk memperbaiki gizi masyarakat, upaya

pelestarian alam dan memperindah tanam dan pemandangan.

7. Pos Gizi (Pos Timbangan)

Salah satu akibat krisis ekonomi adalah penurunan daya beli masyarakat

termasuk kebutuhan pangan. Hal ini menyebabkan penurunan kecukupan gizi

masyarakat yang selanjutnya dapat menurunkan status gizi. Dengan sasaran kegiatan

yakni bayi berumur 6-11 bulan terutama mereka dari keluarga miskin, anak umur 12-23

bulan terutama mereka dari keluarga miskin, anak umur 24-59 bulan terutama mereka

dari keluarga miskin, dan seluruh ibu hamil dan ibu nifas terutama yang menderita

kurang gizi.

Perlu ditekankan bahwa untuk kegiatan pada pos gizi ini apabila setelah

diberikan PMT anak masih menderita kekurangan energi protein (KEP) maka, makanan

tambahan terus dilanjutkan sampai anak pulih dan segera diperiksakan ke puskesmas

(dirujuk)

8. Pos KB Desa (RW)

Sejak periode sebelum reformasi upaya keluarga berencana telah berkembang

secara rasional hingga ketingkat pedesaan. Sejak itu untuk menjamin kelancaran

program berupa peningkatan jumlah akseptor baru dan akseptor aktif, ditingkat desa

telah dikembangkan Pos KB Desa (PKBD) yang biasanya dijalankan oleh kader KB

atau petugas KB ditingkat kecamatan.


9. Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren)

Lingkup kegiatan oleh poskestren adalah tak jauh berbeda dengan Pos Obat

Desa namun pos ini khusus ditujukan bagi para santri dan atau masyarakat disekitar

pesantren yang seperti diketahui cukup menjamur di lingkungan perkotaan maupun

pedesaan.

10. Saka Bhakti Husada (SBH)

SBH adalah wadah pengembangan minat, pengetahuan dna keterampilan

dibidnag kesehatan bagi generasi muda khususnya anggota Gerakan Pramuka untuk

membaktikan dirinya kepada masyarakat di lingkungan sekitarnya. Sasarannya adalah

peserta didik antara lain : Pramuka penegak, penggalang berusia 14-15 tahun dengan

syarat khusus memiliki minat terhadap kesehatan. Dan anggota dewasa, yakni Pamong

Saka, Instruktur Saka serta Pemimpin Saka.

11. Pos Upaya Kesehatan Kerja (pos UKK)

Pos UKK adalah wadah dari serangkaian upaya pemeliharaan kesehatan

pekerja yang diselenggarakan oleh masyarakat pekerja yang memiliki jenis kegiatan

usaha yang sama dalam meningkatkan produktivitas kerja. Kegiatannya antara lain

memberikan pelayanan kesehatan dasar, serta menjalin kemitraan.

12. Kelompok Masyarakat Pemakai Air (Pokmair)

Pokmair adalah sekelompok masyarakat yang peduli terhadap kesehatan

lingkungan terutama dalam penggunaan air bersih serta pengelolaan sampah dan

limbah rumah tangga melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat dengan

melibatkan seluruh warga.

13. Karang Taruna Husada


Karang tarurna husada dalam wadah kegiatan remaja dan pemuda di tingkat

RW yang besar perannya pada pembinaan remaja dan pemuda dalam menyalurkan

aspirasi dan kreasinya. Dimasyarakat karang taruna banyak perannya pada kegiatan-

kegiatan sosial yang mampu mendorong dinamika masyarakat dalam pembangunan

lingkungan dan masyarakatnya termasuk pula dalam pembangunan kesehatan. Pada

pelaksanaan kegiatan posyandu, gerakan kebersihan lingkungan, gotong-royong

pembasmian sarang nyamuk dan lain-lainnya potensi karang taruna ini snagat besar.

14. Pelayanan Puskesmas dan Puskesmas Pembantu

Puskesmas merupakan fasilitas kesehatan pemerintah terdepan yang

memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat. Sejalan dengan upaya

pemerataan pelayanan kesehatan di wilayah terpencil dan sukar dijangkau telah

dikembangkan pelayanan puskesmas dna puskesmas pembantu dalam kaitan ini

dipandang selaku tempat rujukan bagi jenis pelayanan dibawahnya yakni berbagai jenis

UKBM sebagaimana tertera di atas (Notoadmojdo, 2007).

J. Peran Serta Masyarakat Tentang Upaya UKBM

a. Wujud peran serta masyarakat

Dari pengamatan pada masyarakat selama ini beberapa wujud peran serta

masyarakat dalam pembangunan kesehatan pada khususnya dan pembangunan

nasional pada umumnya. Bentuk-bentuk tersebut adalah sebagai berikut :

1. Sumber daya manusia

Setiap insan dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan masyarakat. Wujud

insan yang menunjukkan peran serta masyarakat dibidang kesehatan antara lain

sebagai berikut :
a. Pemimpin masyarakat yang berwawasan kesehatan

b. Tokoh masyarakat yang berwawasan kesehatan, baik tokoh agama, politisi,

cendikiawan, artis/seniman, budayaan, pelawak, dan lain-lain

c. Kader kesehatan, yang sekarang banyak sekali ragamnya misalnya: kader posyandu,

kader lansia, kader kesehatan lingkungan, kader kesehatan gigi, kader KB, dokter kecil,

saka bakti husada, santri husada, taruna husada, dan lain-lain.

2. Institusi/lembaga/organisasi masyarakat

Bentuk lain peran serta masyarakat adalah semua jenis institusi, lembaga atau

kelompok kegiatan masyarakat yang mempunyai aktivitas dibidang kesehatan.

Beberapa contohnya adalah sebagai berikut :

a. Upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM) yaitu segala bentuk kegiatan

kesehatan yang bersifat dari, oleh dan untuk masyarakat, yaitu :

1. Pos pelayanan terpadu (posyandu)

2. Pos obat desa (POD)

3. Pos upaya kesehatan kerja (Pos UKK)

4. Pos kesehatan di Pondok Pesantren (poskestren)

5. Pemberantasan penyakit menular dengan pendekatan PKMD (P2M-PKMD)

6. Penyehatan lingkungan pemungkitan dengan pendekatan PKMD (PLp-PKMD) sering

disebut dengan desa percontohan kesehatan lingkungan (DPKL)

7. Suka Bakti Husada (SBH)

8. Tanaman obat keluarga (TOGA)

9. Bina keluarga balita (BKB)

10. Pondok bersalin desa (Polindes)


11. Pos pembinaan terpadu lanjut usia (Posbindu Lansia/Posyandu Lansia)

12. Pemantau dan stimulasi perkembangan balita (PSPB

13. Keluarga mandiri

14. Upaya kesehatan masjid

b. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mempunyai kegiatan dibidang kesehatan.

Banyak sekali LSM yang berkiprah dibidang kesehatan, aktifitas mereka beragam

sesuai dengan peminatnya

c. Organisasi swadaya yang bergerak dibidang palayanan kesehatan seperti rumah sakit,

rumah bersalin, balai kesehatan ibu dan anak, balai pengobatan, dokter praktik, klinik

24 jam, dan sebagainya (Notoadmojdo, 2007).


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dalam makalah ini adalah pemberdayaan masyarakat

merupakan sasaran utama dalam promosi kesehatan yang bertujuan untuk

memandirikan masyarakat agar mampu memelihara dan meningkatkan status

kesehatannya menjadi lebih baik dengan menggunakan prinsip pemberdayaan

dimana petugas kesehatan berperan untuk memfasilitasi masyarakat dalam

meningkatkan pengetahuan, kemauan dan kemampuannya untuk memelihara dan

meningkatkan status kesehatannnya.

Dalam pemberdayaan masyarakat peran masyarakat sangat vital, karena

masyarakat yang menjadi pemeran utamanya, namun peran petugas kesehatan

juga tidak bisa dihilangkan. Dalam pemberdayaan masyarakat, petugas kesehatan

memiliki peran penting juga, yaitu memfasilitasi masyarakat melalui kegiatan-

kegiatan maupun program-program pemberdayaan masyarakat meliputi pertemuan

dan pengorganisasian masyarakat, memberikan motivasi kepada masyarakat untuk

bekerja sama dalam melaksanakan kegiatan pemberdayaan agar masyarakat mau

berkontribusi terhadap program tersebut, mengalihkan melakukan pelatihan-

pelatihan yang bersifat vokasional.

Jenis-jenis pemberdayaan masyarakat dibidang kesehatan adalah posyandu,

pos obat desa (POD), Pondok bersalin desa (polindes), dana sehat, lembaga

swadaya masyarakat, upaya kesehatan tradisional,pos gizi, pos KB desa,Pos

kesehatan pesantren, Saka Bhakti Husada, Pos Upaya kesehatan kerja, kelompok

pemakai air (pokmair), karang taruna husada, pelayanan puskesmas, dan

puskesmas pembantu (Pustu) dan lain sebagainya.


B. Saran

1. Bagi masyarakat, diharapkan pada tenaga kesehatan agar dapat memfasilitasi

masyarakat melalui kegiatan-kegiatan maupun program-program pemberdayaan

masyarakat meliputi pertemuan dan pengorganisasian masyarakat, memberikan

motivasi kepada masyarakat untuk bekerja sama dalam melaksanakan kegiatan

pemberdayaan agar masyarakat mau berkontribusi terhadap program tersebut

2. Bagi masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam mendukung program-program

kesehatan dalam sistem pemberdayaan masyarakat

3. Bagi pmbaca, diharapkan agar makalah ini dpat menambah wawasan tentang

pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA

Hikmat, 2001. Masyarakat dalam Kesehatan.Agung Sentosa. Jakarta.

Nurbeti, M. 2009.Pemberdayaan masyarakat dalam konsep “kepemimpinan yang mampu


menjembatani”. Rineka Cipta, Jakarta.

Notoatmodjo, S. 2007, Promosi kesehatan & ilmu perilaku. Rineka Cipta, Jakarta.

Kartasasmita, 2011. Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Kesehatan.


Http:wpdprss.masyarakat.co.id. Diakses tanggal10 Oktober 2014.

Pranarka & Vidhyandika, 2009. Proses Pemberdayaan Masyarakat dan Pemecahan


Masalah-Masalah Rendahnya Partisipasi Masyarakart. Agung Sentosa, Jakarta.

Riskiadi, L., 2012. Makalah Pemberdayaan Masyarakat. http://kesmas-


ode.blogspot.com/2012/10/makalah-pemberdayaan-masyarakat.html diakses
tanggal 11 Oktober 2014.
Salman Darmawan. 2002, Apa Bagaimana Pemberdayaan Masyarakat. Makalah, PSKMP
Unhas, Makassar.
Suharto, Edi. 2009. Membangun Masyarakat Memberdayakan Masyarakat. PT Refika
Aditama: Bandung.
Supardan,I., 2013 Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan. http://doktergigi-
semarang.blogspot.com/2013/06/pemberdayaan-masyarakat-bidang-
kesehatan.html. Diakses tanggal 11 Oktober 2014.

Suriatman, 2009. Konsep Pemberdayaan Masyarakat. Nuha Medika, Yogyakarta.

Wahyudi, B. 2012. Gerakan Pemberdayaan Masyarakat Sebuah Tinjauan Konsep Dalam


Upaya Menekan Penyalahgunaan Narkoba (Pusat Promkes, 2005). Diakses tanggal
10 Oktober 2014.
Kamis, 18 Oktober 2012

MAKALAH PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Promosi kesehatan adalah suatu proses membantu individu masyarakat meningkatkan


kemampuan dan keterampilannya mengontrol berbagai faktor yang berpengaruh pada
kesehatan,sehigga dapat meningkatkan derajat kesehatan nya (WHO).Menurut Green dan Kreuter
(1991),promosi kesehatan adalah kombinasi dari pendidikan kesehatan dan faktor-faktor
organisasi,ekonomi dan lingkungan yang seluruhnya mendukung terciptanya perilaku yang kondusif
terhadap kesehatan.Adapun yang dimaksud dengan perilaku kesehatan menurut Kasl dan Cobb
(1996) meliputi : a) perilaku pencegahan, b) perilaku sakit, dan c) perilaku peran sakit.

Misi dari promosi kesehatan adalah advokasi,mediasi dan pemberdayaan.Yang dimaksud


dengan advokasi adalah upaya meyakinkan para pengambil kebijakan agar memberikan dukungan
berbentuk kebijakan terhadap suatu program. Mediasi adalah upaya mengembangna jejaring atau
kemitraan, lintas program, lintas sector dan lintas institusi guna menggalang duungan bagi
implementasi program. Adapun pemberdayaan berarti upaya meningkatkan kemampuan kelompok
sasaran sehingga kelompok sasaran mampu mengembangkan tindakan tepat atas berbagai
permasalahan yang dialami.

Konsep pemberdayaan mengemukan sejak dicanangkannya Strategi Global WHO tahun


1984, yang ditindaklanjuti dengan rencana aksi dalam Piagam Ottawa (1986). Dalam deklarasi
tersebut dinyatakan tentang perlunya mendorong terciptanya: a. Kebijakan berwawasan kesehatan,
b. lingkungan yang mendukung, c. Reorentasi dalam pelayanan kesehatan, d. Keterampilan individu,
dan e. gerakan masyarakat. Olehnya itu, untuk lebih jelasnya makalah ini akan membahas masalah
pemberdayaan masyarakat dalam konsep promosi kesehatan.

1.2 Rumusan Masalah


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Pemberdayaan

Empowerment yang dalam bahasa Indonesia berarti “pemberdayaan”, adalah sebuah


konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat kebudayaan Barat,
utamanya Eropa. Memahami konsep empowerment secara tepat harus memahami latar belakang
kontekstual yang melahirkannya. Konsep empowerment mulai nampak sekitar dekade 70-an dan
terus berkembang hingga 1990-an. (Pranarka & Vidhyandika,1996).

Pranarka dan Vidhyandika (Hikmat, 2004) menjelaskan bahwa konsep pemberdayaan dapat
dipandang sebagai bagian atau sejiwa sedarah dengan aliran yang muncul pada paruh abad ke-20
yang lebih dikenal sebagai aliran ostmodernisme. Aliran ini menitikberatkan pada sikap dan
pendapat yang berorientasi pada jargon antisistem, antistruktur, dan antideterminisme yang
diaplikasikan pada dunia kekuasaan. Pemahaman konsep pemberdayaan oleh masing-masing
individu secara selektif dan kritis dirasa penting, karena konsep ini mempunyai akar historis dari
perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan barat. Prijono Dan Pranarka (1996)
membagi dua fase penting untuk memahami akar konsep pemberdayaan, yakni: pertama, lahirnya
Eropa modern sebagai akibat dari dan reaksi terhadap alam pemikiran, tata masyarakat dan tata
budaya Abad Pertengahan Eropa yang ditandai dengan gerakan pemikiran baru yang dikenal sebagai
Aufklarung atau Enlightenment, dan kedua, lahirnya aliran aliran pemikiran eksistensialisme,
phenomenologi, personalisme yang lebih dekat dengan gelombang Neo-Marxisme, Freudianisme,
strukturalisme dan sebagainya.

Perlu upaya mengakulturasikan konsep pemberdayaan tersebut sesuai dengan alam pikiran
dan kebudayaan Indonesia. Perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan Barat diawali
dengan proses penghilangan harkat dan martabat manusia (dehumanisasi). Proses penghilangan
harkat dan martabat manusia ini salah satunya banyak dipengaruhi oleh kemajuan ekonomi dan
teknologi yang nantinya dipakai sebagai basis dasar dari kekuasaan (power).

Power adalah kemampuan untuk mendapatkan atau mewujudkan tujuan. Bachrach dan
Baratz (1970) membuktikan bahwa power adalah konsep rasional (rational concept). Dalam
pandangan mereka, power yang dilakukan A hanya dilakukan dalam hubungan individu atau
kelompok B untuk memenuhi kebutuhan. Pemenuhan kebutuhan yang diberikan oleh B yang rela
melakukan pilihan atas sanksi yang ada atau akan kehilangan sesuatu yang lebih tinggi (kekuasaan
atau uang). Ironisnya, kekuasaan itu kemudian membuat bangunanbangunan yang cenderung
manipulatif, termasuk sistem pengetahuan, politik, hukum, ideologi dan religi. Akibat dari proses ini,
manusia yang berkuasa menghadapi manusia yang dikuasai. Dari sinilah muncul keinginan untuk
membangun masyarakat yang lebih manusiawi dan menghasilkan system alternatif yang
menemukan proses pemberdayaan. Sistem alternatif memerlukan proses “empowerwent of the
powerless.” Namun empowerment hanya akan mempunyai arti kalau proses pemberdayaan menjadi
bagian dan fungsi dari kebudayaan, yaitu aktualisasi dan koaktualisasi eksistensi manusia dan bukan
sebaliknya menjadi hal yang destruktif bagi proses aktualisasi dan koaktualisasi eksistensi manusia
(Prijono Dan Pranarka, 1996).

Para ilmuwan sosial dalam memberikan pengertian pemberdayaan mempunyai rumusan


yang berbeda-beda dalam berbagai konteks dan bidang kajian, artinya belum ada definisi yang tegas
mengenai konsep tersebut. Namun demikian, bila dilihat secara lebih luas, pemberdayaan sering
disamakan dengan perolehan daya, kemampuan dan akses terhadap sumber daya untuk memenuhi
kebutuhannya. Oleh karena itu, agar dapat memahami secara mendalam tentang pengertian
pemberdayaan maka perlu mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan yang memiliki komitmen
terhadap pemberdayaan masyarakat.

Robinson (1994) menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses pribadi dan sosial;
suatu pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreatifitas dan kebebasan bertindak. Ife (1995)
mengemukakan bahwa pemberdayaan mengacu pada kata “empowerment,” yang berarti memberi
daya, member ”power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya. Segala potensi yang
dimiliki oleh pihak yang kurang berdaya itu ditumbuhkan, diaktifkan, dikembangkan sehingga
mereka memiliki kekuatan untuk membangun dirinya. Pemberdayaan masyarakat dalam
pengembangan masyarakat menekankan kemandirian masyarakat itu sebagai suatu sistem yang
mampu mengorganisir dirinya. Payne (1997) menjelaskan bahwa pemberdayaan pada hakekatnya
bertujuan untuk membantu klien mendapatkan daya, kekuatan dan kemampuan untuk mengambil
keputusan dan tindakan yang akan dilakukan dan berhubungan dengan diri klien tersebut, termasuk
mengurangi kendala pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Paul (1987) menyatakan bahwa
pemberdayaan berarti pembagian kekuasaan yang adil sehuingga meningkatkan kesadaran politis
kekuasaan kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap proses dan hasil-
hasil pembangunan. Rappaport (1987) mengatakan bahwa pemberdayaan diartikan sebagai
pemahaman secara psikologis pengaruh kontrol individu terhadap keadaan sosial, kekuatan politik
dan hak-haknya. MacArdle (1989) mengartikan pemberdayaan sebagai proses pengambilan
keputusan oleh orang orang secara konsekuen melaksanakan keputusan itu. Orang-orang yang telah
mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan “keharusan”
untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, ketrampilan
serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan tanpa tergantung pada pertolongan dari
hubungan eksternal.

Pemberdayaan dapat diartikan sebagai suatu pelimpahan atau pemberian kekauatan


(power) yang akan menghasilkan hierarki kekuatan dan ketiadaan kekuatan, seperti yang
dikemukakan Simon (1990) dalam tulisannya tentang Rethinking Empowerment. Simon menjelaskan
bahwa pemberdayaan suatu aktivitas refleksi, suatu proses yang mampu diinisiasikan dan
dipertahankan hanya oleh agen atau subyek yang mencari kekuatan atau penentuan diri sendiri
(selfdetermination). Sementara proses lainnya hanya dengan memberikan iklim, hubungan, sumber-
sumber dan alat-alat prosedural yang melaluinya masyarakat dapat meningkatkan kehidupannya.
Pemberdayaan merupakan sistem yang berinteraksi dengan lingkungan sosial dan fisik. Dengan
demikian pemberdayaan bukan merupakan upaya pemaksaan kehendak, proses yang dipaksakan,
kegiatan untuk kepentingan pemrakarsa dari luar, keterlibatan dalam kegiatan tertentu saja,dan
makna-makna lain yang tidak sesuai dengan pendelegasian kekuasaan atau kekuatan sesuai potensi
yang dimiliki masyarakat.

Sulistiyani (2004) menjelaskan lebih rinci bahwa secara etimologis pemberdayaan berasal
dari kata dasar "daya" yang berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut,
maka pemberdayaan dimaknai sebagai proses untuk memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan,
dan atau proses pemberian daya, kekuatan atau kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada
pihak yang kurang atau belum berdaya. Berdasarkan beberapa pengertian pemberdayaan yang
dikemukakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya pemberdayaan adalah
suatu proses dan upaya untuk memperoleh atau memberikan daya, kekuatan atau kemampuan
kepada individu dan masyarakat lemah agar dapat mengidentifikasi, menganalisis, menetapkan
kebutuhan dan potensi serta masalah yang dihadapi dan sekaligus memilih alternatif pemecahnya
dengan mengoptimalkan sumberdaya dan potensi yang dimiliki secara mandiri.
Pemberdayaan sebagai proses menunjuk pada serangkaian tindakan yang dilakukan secara
sistematis dan mencerminkan pentahapan kegiatan atau upaya mengubah masyarakat yang kurang
atau belum berdaya, berkekuatan, dan berkemampuan menuju keberdayaan. Makna "memperoleh"
daya, kekuatan atau kemampuan menunjuk pada sumber inisiatif dalam rangka mendapatkan atau
meningkatkan daya, kekuatan atau kemampuan sehingga memiliki keberdayaan. Kata
"memperoleh" mengindikasikan bahwa yang menjadi sumber inisiatif untuk berdaya berasal dari
masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, masyarakat harus menyadari akan perlunya memperoleh
daya atau kemampuan. Makna kata "pemberian" menunjukkan bahwa sumber inisiatif bukan dari
masyarakat. Inisiatif untuk mengalihkan daya, kemampuan atau kekuatan adalah pihak-pihak lain
yang memiliki kekuatan dan kemampuan, misalnya pemerintah atau agen-agen pembangunan
lainnya .

2.2 Proses Pemberdayaan

Pranarka & Vidhyandika (1996) menjelaskan bahwa ”proses pemberdayaan mengandung


dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang mene-kankan pada proses memberikan
atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu
lebih berdaya. Kecenderungan pertama tersebut dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari
makna pemberdayaan. Sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungan sekunder
menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai
kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui
proses dialog”.

Kartasasmita (1995) menyatakan bahwa proses pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga
proses yaitu: Pertama: Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat
berkembang (enabling). Titik tolaknya adalah bahwa setiap manusia memiliki potensi yang dapat
dikembangkan. Artinya tidak ada sumberdaya manusia atau masyarakat tanpa daya. Dalam konteks
ini, pemberdayaan adalah membangun daya, kekuatan atau kemampuan, dengan mendorong
(encourage) dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi yang dimiliki serta berupaya
mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empo-
wering), sehingga diperlukan langkah yang lebih positif, selain dari iklim atau suasana. Ketiga,
memberdayakan juga mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah
yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaannya dalam menghadapi yang
kuat.
Proses pemberdayaan warga masyarakat diharapkan dapat menjadikan masyarakat menjadi
lebih berdaya berkekuatan dan berkamampuan. Kaitannya dengan indikator masyarakat berdaya,
Sumardjo (1999) menyebutkan ciri-ciri warga masyarakat berdaya yaitu: (1) mampu memahami diri
dan potensinya, mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan), (2) mampu
mengarahkan dirinya sendiri, (3) memiliki kekuatan untuk berunding, (4) memiliki bargaining power
yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan, dan (5) bertanggungjawab
atas tindakannya.

Slamet (2003) menjelaskan lebih rinci bahwa yang dimaksud dengan masyarakat berdaya
adalah masyarakat yang tahu, mengerti, faham termotivasi, berkesempatan, memanfaatkan
peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternative, mampu mengambil keputusan,
berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai
dengan situasi. Proses pemberdayaan yang melahirkan masyarakat yang memiliki sifat seperti yang
diharapkan harus dilakukan secara berkesinambungan dengan mengoptimalkan partisipasi
masyarakat secara bertanggungjawab.

Adi (2003) menyatakan bahwa meskipun proses pemberdayaan suatu masyarakat


merupakan suatu proses yang berkesinambungan, namun dalam implementasinya tidak semua yang
direncanakan dapat berjalan dengan mulus dalam pelaksanaannya. Tak jarang ada kelompok-
kelompok dalam komunitas yang

melakukan penolakan terhadap ”pembaharuan” ataupun inovasi yang muncul. Watson (Adi, 2003)
menyatakan beberapa kendala (hambatan) dalam pembangunan masyarakat, baik yang berasal dari
kepribadian individu maupun berasal dari sistem sosial:

a. Berasal dari Kepribadian Individu; kestabilan (Homeostatis), kebiasaan (Habit), seleksi Ingatan dan
Persepsi (Selective Perception and Retention), ketergantungan (Depedence), Super-ego, yang terlalu
kuat, cenderung membuat seseorang tidak mau menerima pembaharuan, dan rasa tak percaya diri
(self- Distrust)

b. Berasal dari Sistem Sosial; kesepakatan terhadap norma tertentu (Conformity to Norms),
yang”mengikat” sebagian anggota masyarakat pada suatu komunitas tertentu, kesatuan dan
kepaduan sistem dan budaya (Systemic and Cultural Coherence), kelompok kepentingan (vested
Interest), hal yang bersifat sacral (The Sacrosanct), dan penolakan terhadap ”Orang Luar” (Rejection
of Outsiders)
2.3 Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan
Promosi kesehatan adalah suatu proses membantu individu dan masyarakat meningkatkan
kemampuan dan keterampilannya guna mengontrol berbagai faktor yang berpengaruh pada
kesehatan, sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatannya (WHO). Promosi kesehatan adalah
kombinasi pendekatan pendidikan kesehatan dan pendekatan organisasi, ekonomi, lingkungan yang
seluruhnya mendukung terciptanya perilaku yang kondusif dengan kesehatan (Mee Lian,1998).

Hubley (2002) mengatakan, bahwa pemberdayaan kesehatan (health empowerment), melek


(sadar) kesehatan (health literacy) dan promosi kesehatan (health promotion) diletakkan dalam
kerangka pendekatan yang komprehensif.Pemberdayaan didiskusikan dalam kerangka bagaimana
mengembangkan kemampuan penduduk untuk menolong didrinya sendiri (self-eficacy) dari teori
belajar sosial.

Freira (dalam Hubley 2002) mengatakan,bahwa pemberdayaan adalah suatu proses dinamis
yang dimulai dari dimana masyarakat belajar langsung dari tindakan. Pemberdayaan masyarakat
biasanya dilakukan dengan pendekatan pengembangan masyarakat. Pengembangan masyarakat
biasanya berisis bagaimana masyarakat mengembangkan kemampuannya serta bagaimana
masyarakat mengembangkan kemampuannya serta bagaimana meningkatkan peran serta
masyarakat dalam pengambilan keputusan.

Apabila kerangka diatas ditelaah, maka yang dimaksud dengan upaya pemberdayaan berarti
serangkaian upaya untuk:

a. Self efficacy , maka upaya yang dapat dilakukan adalah memberikan pendidikan kesehatan yang
terus menerus menggunakan beberapa metode yang cocok, kombinasi komunikasi
massa,komunikasi kelompok serta komunikasi interpersonal. Yang lain adalah memberikan pelatihan
tentang tindakan-tindakan yang diperlukan dalam kesehatan, dalam upaya-upaya meningkatkan
(promotif), upaya pencegahan (preventif), upaya pengobatan (kuratif) maupun upaya pemulihan
(rehabilitatife) sehingga masyarakat mempunyai kemampuan dan kepercayaan diri untuk
mengambil tindakan yang rasional.
b. Health literacy, dimana pada bidang ini diperlukan upaya pendidikan masyarakat tentang
pengenalan tema-tema dan isu kesehatan tertentu dan terkini, serta memberikan pelatihan
sehingga masyarakat yang sudah memahaminya mampu dan mau mengkomunikasikan kepada
anggota masyarakat lain. Sebagai contoh masyarakat mulai diperkenalkan dengan penyakit-penyakit
akibat gaya hidup, misalnya akibat merokok, akibat minum minuman keras, akibat
menyalahgunakan narkotika, dan isu-isu lain.
Dengan demikian, sebenarnya pemberdayaan adalah suatu proses membantu memperkuat
kemampaun masyarakat, sehingga menjembatani jarak komunikasi antara petugas (provider) dan
kelompok sasaran ( target audiences/ communities). Hal ini sangat diperlukan mengingat sifat dasar
dari promosi kesehatan maupun pendidikan kesehatan yang cenderung bersifat top-down.

2.4 Langkah-langkah Pemberdayaan Masyarakat


Pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu sebagai proses dan
sebagai hasil. Sebagai hasil, pemberdayaan masyarakat adalah suatu perubahan yang signifikan
dalam aspek sosial politik dalam aspek sosial politik yang dialami oleh individu dan masyarakat, yang
seringkali berlangsung dalam waktu yang cukup panjang, bahkan seringkali lebih dari 7 tahun
(Raeburn,1993).

Sebagai suatu proses, Jackson (1989), Labonte (1994), dan Rissel (1994) mengatakan,
pemberdayaan masyarakat melibatkan beberapa komponen berikut, yaitu:

a. Pemberdayaan personal.

b. Pengembangan kelompok kecil.

c. Pengorganisasian masyarakat.

d. Kemitraan.

e. Aksi sosial dan politik.

Dengan demikian,pemberdayaan masyarakat mempunyai spektrum yang cukup


luas,meliputi jenjang sasaran yang diberdayakan (level of objects), kegiatan internal
masyarakat/komunitas maupun eksternal berbentuk kemitraan (partnership) dan jejaring
(networking) serta dukungan dari atas berbentuk kebijakan politik yang mendukung kelestarian
pemberdayaan.

Untuk itu maka pemberdayaan masyarakat dapat dilakasanakan dengan mengikuti langkah-
langkah:

1. Merancang keseluruhan program, termaksud didalamnya kerangka waktu kegiatan,ukuran


program,serta memberikan perhatian kepada kelompok masyarakat yang
terpinggirkan.Perancangan program dilakukan menggunakan pendekatan partisipatoris, dimana
antara agen perubahan (pemerintah dan LSM) dan masyarakat bersama-sama menyusun
perencanaan. Perencanaan partisipatoris (participatory planning) ini dapat mengurangi terjadinya
konflik yang muncul antara dua pihak tersebut selama program berlangsung dan setelah program
dievaluasi.Sering terjadi apabila sutu kegiatan berhasil, banyak pihak bahkan termaksud yang tidak
berpartisipasi, berebut saling claim tentang peran diri maupun kelompoknya. Sebaliknya jika
program tidak berhasil, individu maupun kelompok bahkan yang sebenarnya berkontribusi atas
kegagalan tersebut, saling menyalahkan.

Perencanaan program pemberdayaan masyarakat harus memperhatikan adanya kelompok


masyarakat yang terpinggirkan (termarginalisasi). Marginalisasi adalah sutu proses sejarah
masyrakat yang kompleks,yang membuat mereka tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi
berbagai kebutuhannya, tidak mempunyai akses yang memadai terhadap sumber daya. Oleh
karenanya, untuk menghindari agar ini tidak semakin terpinggirkan, diperlukan perencanaan yang
lebih komprehensif.

2. Menetapkan tujuan. Tujuan promosi kesehatan biasanya dikembangkan pada tahap perencanaan
dan bisanya berpusat pada mencegah penyakit,mengurangi kesakitan dan kematian dan manajemen
gaya hidup melalui upaya perubahan perilaku yang secara spesifik berkaitan dengan kesehatan.
Adapun tujuan pemberdayaan biasanya berpusat bagaimana masyarakat dapat mengontrol
keputusannya yang berpengaruh pada kesehatan dan kehidupan masyarakatnya.

3. Memilih strategi pemberdayaan. Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses yang terdiri dari
lima pendekatan, yaitu: pemberdayaan, pengembangan kelompok kecil, pengembangan dan
penguatan pengorganisasian mayrakat, pengembangan dan penguatan jaringan antarorganisasi, dan
tindakan politik. Strategi pemberdayaan meliputi: pendidikan masyarakat, mendorong tumbuhnya
swadaya masyarakat sebagai pra-syarat pokok tumbuhnya tanggung jawab sebagai anggota
masyarakat (community responsibility), fasilitasi upaya mengembangkan jejaring antar masyarakat,
serta advokasi kepada pengambil keputusan (decision maker).

4. Implementasi strategi dan manajemen.Implementasi strategi serta manajemen program


pemberdayaan dilakukan dengan cara: a.meningkatkan peran serta pemercaya (stakeholder),
b.menumbuhkan kemampuan pengenalan masalah, c. mengembangkan kepemimpinan local,
d.membangun keberdayaan struktur organisasi, e. meningkatkan mobilisasi sumber daya, f.
memperkuat kemampuan stakeholder untuk “bertanya mengapa?”, g. meningkatkan control
stakeholder atas manajemen program, dan h. membuat hubungan yang sepadan dengan pihak luar.

5. Evaluasi program.Pemberdayaan masyarakat dapat berlangsung lambat dan lama, bahkan boleh
dikatakan tidak pernah berhenti dengan sempurna. Sering terjadi, hal-hal tertentu yang menjadi
bagian dari pemberdayaan baru tercapai beberapa tahun sesudah kegiatan selesai.Oleh karenanya,
akan lebih tepat jika dievaluasi diarahkan pada proses pemberdayaannya daripada hasilnya.

2.5 Pemberdayaan Masyarakat Dan Partisipasi


Pemberdayaan dapat didefinisikan sebagai:

a. To give power or authority (memberikan kekuasaan, mengalihkan kekuatan, atau mendelegasikan


otoritas ke pihak lain).

b. To give ability to or enable (upaya untuk memberikan kemampuan atau keberdayaan).

Mendelegasikan wewenang pada hakikatnya adalah memberikan kepercayaan kepada orang/ pihak
lain yang kita anggap cukup mempunyai kemampuan. Pendelegasian bukan suatu kegiatan yang
dapat dilakukan tanpa pemikiran yang matang. Orang diberikan wewenang ditetapkan berdasarkan
kriteria tertentu yang ketat, sehingga pendelegasian tidak menyebabkan terganggunya pekerjaan
secara keseluruhan.

Pemberdayaan adalah suatu proses aktif, dimana masyarakat yang diberdayakan harus berperan
serta aktif (berpartisipasi) dalam berbagai kegiatan. Dengan demikian nantinya masyarakat akan
mempunyai pengalaman aktual, yang sangat bermanfaat untuk mengembangkan program sejenis
dimasa mendatang.

Partisipasi adalah peran serta aktif anggota masyarakat dalam berbagai jenjang kegiatan. dilihat dari
konteks pembangunan kesehatan,partisipasi adalah keterlibatan masyarakat yang diwujudkan
dalam bentuk menjalin kemitraan diantara masyarakat dan pemerintah dalam perencanaan,
implementasi dan berbagi aktifitas program kesehatan, mulai dari pendidikan kesehatan,
pengembangan program kemandirian dalam kesehatan, sampai dengan mengontrol perilaku
masyarakat dalam menanggapi teknologi dan infrastuktur kesehatan.

Studi Heller (1971) terhadap 260 orang eksekutif bisnis menunjukan bahwa partisipasi memberikan
beberapa manfaat , diantaranya:

1. Meningkatkan kualitas teknis dari pengambilan keputusan.

2. Meningkatkan kenyamanan.

3. Mengkatkan komuniksi.
4. Memberikan katihan kepada bawahan.

5. Memfasilitasi perubahan.

Dengan demikian dapat dirumuskan adanya tiga dimensi partisipasi,yaitu:

a. Keterlibatan semua unsure atau keterwakilan kelompok [group representation] dalam proses
pengambilan keputusan. namun mengingat sulitnya membuat peta pengelompokan masyarakat
,maka cara paling mudah pada tahap ini adalah mengajak semua anggota masyarakat untuk
mengikuti tahap ini.

b. Kontribusi massa sebagai pelaksana /implementor dari keputusan yang diambil, ada tiga
kemungkinan reaksi masyarakatyang muncul, yaitu: a.secara terbuka menerima keputusan dan
bersedia melsaksanakan, b. secara terbuka menolaknya, dan c. tidak secara terbuka menolak,
namun menunggu perkembangan yang terjadi.Meskipun demikian, mengambil keputusan harus
terus menerus mendorong agar semua pihak bersikap realistis,menerima keputusan secara
bertanggung jawab, serta secara bersama sama menanggung risiko dari keputusan tersebut.Hal ini
harus disadari,karena program program yang diputuskan adalah program yang ditujukan untuk
masyarakat, oleh karenanya pelaksanya juga masyarakat.

c. Anggota masyarakat secara bersma sama menikmati hasil dari program yang dilaksanakan.bagian ini
penting,sebab sering terjadi karena merasa berjasa, ada pihak tertentu menuntut bagian manfaat
yang paling besar.Oleh karenanya,pada tahap ini perlu ada keselarasan antara asas pemerataan dan
asas keadilan.

Cary (1970) mengatakan, bahwa partisipasi dapat tumbuh jika tiga kondisi berikut terpenuhi:

a. Merdeka untuk berpartisipasi, berarti adanya kondisi yang memungkinkan anggota-anggota


masyarakat untuk berpartisipasi.

b. Mampu untuk berpartisipasi,adanya kapasitas dan kompetensi anggota masyarakat sehingga


mampu untuk memberikan sumbang saran yang konstruktif untuk program.

c. Mau berpartisipasi, kemauan atau kesediaan anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam
program.
Ketiga kondisi itu harus hadir secara bersama-sama.Apabila orang mau dan mampu tetapi tidak
merdeka untuk berpartisipasi,maka orang tidak akan berpartisipasi.

Menurut Ross (1960),terdapat tiga prakondisi tumbuhnya partisipasi,yaitu:

a. Mempunyai pengetahuan yang luas dan latar belakang yang memadai sehingga dapat
mengidentifikasi masalah,prioritas masalah dan melihat permasalahan secara komprehensif.

b. Mempunyai kemampuan untuk belajar cepat tentang permasalahan,dan belajar untuk mengambil
keputusan.

c. Kemampuan mengambil tindakan dan bertindak efektif.

Batasan Ross di atas sebenarnya menuntut prasyarat bahwa orang-orang yang akan berpartisipasi
harus memenuhi persyaratan tertentu,yaitu kompetensi kognisi tertentu.Pendapat ini mungkin
cocok diterapkan pada kelompok masyarakat yang cukup cerdas, namun mengandung banyak
kelemahan apabila diterapkan pada masyarakat yang “agak terbelakang”.

Menurut Chapin (1939), partisipasi dapat diukur dari yang rendah sampai yang tertinggi, yaitu:

a. Kehadiran individu dalam pertemuan-pertemuan.

b. Memberikan bantuan dan sumbangan keuangan.

c. Keanggotaan dalam kepanitiaan kegiatan.

d. Posisi kepemimpinan.

Berdasarkan teori Chapin, maka partisipasi yang tertinggi dilakukan oleh pemimpin.Meskipun
terlihat agak kontroversial, namun bisa dapat dipahami,karena dal;am konteks
kepemimpinan,walaupun jumlahnya paling sedikit,pemimpin menentukan keberhasilanorganisasi.

Apabila dilihat dari subjek partisipasi, Sanders (1958) membedakannya menjadi:

a. Pemimpin-pemimpin lokal,adalah tokoh masyarakat dan pemimpin formal dan non formal yang
mempunyai pengaruh besar dal;am mengambil keputusan dan mendorong anggota masyarakat
untuk melaksanakannya.

b. Penduduk yang profesional, adalah penduduk setempat yang mempunyai kemampuan tertentu yang
dapat dimanfaatkan untuk menunjang pelaksanaan kegiatan.
c. Pihak luar yang profesional, adalah pihak-pihak diluar kelompok masyarakat, yang diminta maupun
tidak, memberikan bantuan untuk kelancaran kegiatan program.

d. Pekerja serbaguna pengembangan masyarakat yang mempunyai komitmen kuat atas kemajuan
masyarakat,serta senantiasa membantu dan melaksanakan berbagai program yang ada.

Keterbukaan (inclusive) akan sangat membantu terutama dalam konteks keterbatasan diri,maupun
implementasi kemitraan (partnership).

Selanjutnya Sutton dan Kolaja (1960), membagi peran-peran dalam partisipasi program menjadi tiga,
yaitu:

1. Pelaku, adalah pihak yang mengambil peran dan tindakan aktif dalam program.
2. Penerima, adalah pihak yang nantinya akan menerima manfaat dari program yang dijalankan.
3. Publik, adalah pihak yang tidak terlibat secara langsung dalam pelaksanaan program,tetapi dapat
membantu pihak pelaku.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Empowerment yang dalam bahasa Indonesia berarti “pemberdayaan”, adalah sebuah
konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat kebudayaan Barat,
utamanya Eropa. Memahami konsep empowerment secara tepat harus memahami latar belakang
kontekstual yang melahirkannya. Konsep empowerment mulai nampak sekitar dekade 70-an dan
terus berkembang hingga 1990-an. (Pranarka & Vidhyandika,1996).

Pranarka & Vidhyandika (1996) menjelaskan bahwa ”proses pemberdayaan mengandung


dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang mene-kankan pada proses memberikan
atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu
lebih berdaya. Kecenderungan pertama tersebut dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari
makna pemberdayaan. Sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungan sekunder
menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai
kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui
proses dialog”.

Promosi kesehatan adalah suatu proses membantu individu dan masyarakat meningkatkan
kemampuan dan keterampilannya guna mengontrol berbagai faktor yang berpengaruh pada
kesehatan, sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatannya (WHO). Promosi kesehatan adalah
kombinasi pendekatan pendidikan kesehatan dan pendekatan organisasi, ekonomi, lingkungan yang
seluruhnya mendukung terciptanya perilaku yang kondusif dengan kesehatan (Mee Lian,1998).
Hubley (2002) mengatakan, bahwa pemberdayaan kesehatan (health empowerment), melek (sadar)
kesehatan (health literacy) dan promosi kesehatan (health promotion) diletakkan dalam kerangka
pendekatan yang komprehensif.Pemberdayaan didiskusikan dalam kerangka bagaimana
mengembangkan kemampuan penduduk untuk menolong didrinya sendiri (self-eficacy) dari teori
belajar sosial.
EMBERDAYAAN MASYARAKAT (PROMKES)

Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan


Promosi Kesehatan adalah suatu proses membantu individu dan masyarakat meningkatkan
kemampuan dan ketrampilannya guna mengontrol berbagai faktor yang berpengaruh pada
kesehatan, sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatannya (WHO).

Hubley ( 2002 ) mengatakan bahwa pemberdayaan kesehatan ( health empowerment), sadar


kesehatan ( health literacy ) dan promosi kesehatan (health promotion) diletakkan dalam kerangka
pendekatan yang komprehensif.

Sehubungan dengan implementasi konsep pemberdayaan masyarakat, maka konsep promosi


kesehatan berkembang menjadi 2 dimensi,yaitu :

1. Bersifat konvensional

Masih diletakkan/diutamakan pada upaya pencegahan penyakit melalui pengelolaan gaya hidup
atau pengendalian vektor

2. Bersifat radikal

Promosi kesehatan dilakukan melalui upaya pemberdayaan dan advokasi, sehingga

pendekatan promkes bukan hanya pendekatan dari atas kebawah, namun dari bawah ke atas (
bottom up ).

Pemberdayaan masyarakat adalah proses pembangunan di mana masyarakat berinisiatif untuk


memulai proses kegiatan sosial untuk memperbaiki situasi dan kondisi diri sendiri. Pemberdayaan
masyarakat hanya bisa terjadi apabila warganya ikut berpartisipasi.

Suatu usaha hanya berhasil dinilai sebagai "pemberdayaan masyarakat" apabila kelompok
komunitas atau masyarakat tersebut menjadi agen pembangunan atau dikenal juga sebagai subyek.
Disini subyek merupakan motor penggerak, dan bukan penerima manfaat atau obyek saja.

Secara lugas dapat diartikan sebagai suatu proses yang membangun manusia atau masyarakat
melalui pengembangan kemampuan masyarakat, perubahan perilaku masyarakat, dan
pengorganisasian masyarakat.
Dari definisi tersebut terlihat ada 3 tujuan utama dalam pemberdayaan masyarakat yaitu
mengembangkan kemampuan masyarakat, mengubah perilaku masyarakat, dan mengorganisir diri
masyarakat. Kemampuan masyarakat yang dapat dikembangkan tentunya banyak sekali seperti
kemampuan untuk berusaha, kemampuan untuk mencari informasi, kemampuan untuk mengelola
kegiatan, kemampuan dalam pertanian dan masih banyak lagi sesuai dengan kebutuhan atau
permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Perilaku masyarakat yang perlu diubah tentunya
perilaku yang merugikan masyarakat atau yang menghambat peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Contoh yang kita temui dimasyarakat seperti, anak tidak boleh sekolah, ibu hamil tidak
boleh makan telor, yang membicarakan rencana pembangunan desa hanya kaum laki-laki saja, dan
masih banyak lagi yang dapat kita temui dimasyarakat.

Pengorganisasian masyarakat dapat dijelaskan sebagai suatu upaya masyarakat untuk saling
mengatur dalam mengelola kegiatan atau program yang mereka kembangkan. Disini masyarakat
dapat membentuk panitia kerja, melakukan pembagian tugas, saling mengawasi, merencanakan
kegiatan, dan lain-lain. Lembaga-lembaga adat yang sudah ada sebaiknya perlu dilibatkan karena
lembaga inilah yang sudah mapan, tinggal meningkatkan kemampuannya saja.

Langkah-langkah dalam pemberdayaan masyarakat :

1. Merancang keseluruhan program, termasuk kerangka waktu kegiatan, ukuran program, serta
memberikan perhatian pada kelompok marginal.

2. Menetapkan tujuan

3. Memilih strategi pemberdayaan

4. Implementasi strategi dan manajemen.

5. Evaluasi program.

Dalam pemberdayaan diperlukan pengorganisasian masyarakat,Rothman (1987) mengkategorikan


pengorganisasian masyarakat menjadi 3 yaitu :

1. Locality development
2. Social planning

3. Social action

Pemberdayaan masyarakat diharapkan masyarakat harus berperan aktif/berpartisipasi dalm setiap


kegiatan.Sebagai unsur dasar dalam pemberdayaan ,maka partisipasi harus ditumbuhkan.Terdapat 5
cara menumbuhkan partisipasi,yaitu :

1. Terapi pendidikan

2. Strategi perubahan prilaku

3. Penambahan staf

4. Kooptasi

5. Strategi kekuatan masyarakat.

Partisipasi dapat terwujud dengan syarat :

1. Adanya saling percaya antar anggota masyarakat

2. Adanya ajakan dan kesempatan untuk berperan aktif

3. Adanya manfaat yang dapat dan segera dapat dirasakan oleh masyarakat

4. Adanya contoh dan keteladanan dari tokoh/pemimpin masyarakat.

Program-program pembangunan kesehatan dikelompokkan dalam pokok-pokok program yang


pelaksanaannya dilakukan secara terpadu dengan pembangunan sektor lain yang memerlukan
dukungan dan peran serta masyarakat. Disusun 7 Program pembangunan kesehatan yaitu (DepKes
RI, 1999) :

Ø Program perilaku dan pemberdayaan masyarakat

Ø Program lingkungan sehat

Ø Program upaya kesehatan

Ø Program pengembangan sumber daya kesehatan

Ø Program pengawasan obat, makanan dan obat berbahaya

Ø Program kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan


Ø Program pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan.

Strategi Utama

Pemberdayaan masyarakat adalah segala upaya yang bersifat non instruktif guna meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mampu mengidentifikasi masalah, merencanakan
dan melakukan penyelesaian masalah dengan memanfaatkan potensi masyarakat setempat tanpa
bergantung pada bantuan dan luar.

Pola pemberdayaan masyarakat yang dibutuhkan bukan kegiatan yang sifatnya top-down
intervention yang tidak menjunjung tinggi aspirasi dan potensi masyarakat untuk melakukan
kegiatan swadaya, akan tetapi yang paling dibutuhkan masyarakat lapisan bawah terutama yang
tinggal di desa adalah pola pemberdayaan yang sifatnya bottom-up intervention yang menghargai
dan mengakui bahwa masyarakat lapisan bawah memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhannya,
memecahkan permasalahannya, serta mampu melakukan usaha-usaha produktif dengan prinsip
swadaya dan kebersamaan.

Pola pendekatan yang paling efektif untuk memberdayakan masyarakat adalah the inner resources
approach. Pola ini menekankan pentingnya merangsang masyarakat untuk mampu mengidentifikasi
keinginan maupun kebutuhannya dan bekerja secara kooperatif dengan pemerintah dan badan lain
untuk mencapai kepuasan bagi mereka. Pola ini mendidik masyarakat menjadi concern akan
pemenuhan dan pemecahan masalah yang dihadapi dengan menggunakan potensi yang mereka
miliki.

CONTOH KASUS
Penyakit DBD (demam berdarah dengue) masih menjadi masalah nasional. Tidak ada cara lebih
ampuh untuk mengakselerasi upaya pemberantasan penyakit DBD selain dengan cara
memberdayakan masyarakat.

Permasalahan kesehatan (DBD) masih terus menjadi hal yang mengancam, di tengah-tengah
perubahan lingkungan yang tidak menentu. Untuk itu, sudah sewajarnya setiap individu dituntut
kesadaran penuh untuk berdaya hidup secara sehat. Apalagi saat ini, penyebaran penyakit menular
masih merupakan problem tersendiri yang tidak boleh diremehkan.

Atas dasar itulah, kiranya tidak berlebihan bila Depkes R.I. memiliki visi membangun “Masyarakat
yang mandiri untuk hidup sehat.” Harapannya, tentu di masa depan, rakyat Indonesia diharapkan
dapat mandiri, sadar, mau dan mampu mencegah serta mengatasi ancaman kesehatan, dengan
memanfaatkan potensi setempat secara gotong royong.
Strategi utama yang ditetapkan untuk mencapai visi dan misi tersebut adalah menggerakkan dan
memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan akses masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan yang berkualitas, meningkatkan sistem surveilans, monitoring dan informasi
kesehatan serta meningkatkan pembiayaan kesehatan.

Meningkatnya peran aktif masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD
merupakan kunci keberhasilan upaya pemeberantasan penyakit DBD. Untuk mendorong
meningkatnya peran aktif masyarakat, maka upaya-upaya KIE, social marketing, advokasi dan
berbagai penyuluhan dilaksanakan secara intensif dan berkesinambungan melalui berbagai media
massa dan sarana.

Selain itu, peran sektor terkait sangat menentukan sekali dalam pemberantasan penyakit DBD. Oleh
karena itu perlu dilakukan identifikasi stakeholder baik sebagai mitra maupun pelaku merupakan
langkah awal dalam menggalang, meningkatkan dan mewujudakan kemitraan. Jejaring kemitraan
dilaksanakan melalui pertemuan berkala guna memadukan berbagai sumber daya masing-masing
mitra. Pertemuan berkala dilaksanakan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan penilaian program.

Yang tidak boleh dilupakan adalah terkait dengan peningkatan profesionalisme pengelola program
DBD. Yakni pengetahuan mengenai bionomic vektor, virologi, faktor perubahan iklim, penatalaksaan
kasus harus dikuasai oleh pengelola program sebagai landasan dalam menyusun program
pemberantasan DBD, sehingga diperlukan adanya peningkatan SDM.

Terkait dengan usaha untuk kesuksesan strategi utama pemberdayaan masayarakat dalam
penanggulangan DBD ini, maka di sini diperlukan perencanaan adanya pokok dan bentuk kegiatan
nyata yang dilakukan oleh kelompok pemberdayaan yang ada di masyarakat.

Berikut ini merupakan pokok-pokok kegiatan yang mestinya dilakukan dalam kelompok
pemberdayaan masyarakat tersebut. Pertama, melakukan tata laksana kasus, yang meliputi
penemuan kasus, pengobatan penderita, dan sistem pelaporan yang cepat dan terdokumentasi
dengan baik.

Kedua, melakukan penyelidikan epidemiologi, terutama terhadap daerah yang terdapat kasus
penderita DBD. Penyelidikan ini tentu sangat berguna untuk melakukan penanggulangan fokus
terhadap kasus DBD.

Ketiga, adanya penyuluhan tentang DBD kepada masyarakat, melakukan pemantauan jentik secara
berkala, melakukan pemetaan penyebaran kasus, dan melakukan pertemuan kelompok kerja DBD
secara lintas sektor dan program.
Keempat, melakukan gerakan bulan PSN (pemberantasan sarang nyamuk) yang dilaksanakan
sebelum bulan-bulan musim penularan penyakit DBD (data ini dapat kita peroleh dari data tahun
sebelumnya). Artinya, bulan musim penularan penyakit DBD dapat diketahui, bila pencatatan dan
pendataan dilakukan secara benar terhadap terjadinya kasus DBD di suatu daerah.

Kelima, dilakukan kegiatan pelatihan-pelatihan seputar penyakit DBD, mulai dari gejala penyakit
DBD, cara pengobatan penderita yang terkena DBD, cara pencegahan penyakit DBD, dan lainnya.

Jadi, tidaklah berlebihan kalau orang mengatakan bahwa strategi utama penanggulangan DBD itu
terletak pada sejauh mana keberhasilan pemerintah mampu melakukan upaya-upaya
pemberdayaan terhadap potensi yang ada di masyarakat. Dalam kasus penanggulangan DBD ini,
salah satu contohnya adalah pemberdayaan kelompok ibu rumah tangga. Sebab kelompok ibu
rumah tangga ini sangat besar perannya dalam kegiatan PSN dan menjaga kebersihan lingkungan
rumahnya.

kelebihan

meningkatkan dan mewujudakan kemitraan baik dengan tenaga kesehatan maupun masyarakat

kekurangan

tidak efektif untuk masyarakat kalangan atas

pelaksanaan dari metode tergolong rumit

Anda mungkin juga menyukai