Anda di halaman 1dari 9

POLICY BRIEF

APAKAH NEGARA HADIR DALAM MEMBERI PERLINDUNGAN DAN JAMINAN


SOSIAL BAGI PENYANDANG DISABILITAS BERAT
Abstrak
Menurut UU Kesejahteraan Sosial No.11 Tahun 2009, Penyelenggaraan kesejahteraan sosial
adalah “upaya yang terarah, terpadu, berkesinambungan yang dilakukan pemerintah,
pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial
guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial,
jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial”
Salah satu amanat dari Undang-Undang Kesejahteraan Sosial tersebut adalah Rehabilitasi
Pada saat ini, Kementerian Sosial memberikan Perlindungan Sosial terhadap ODKB melalui
Program Rehabilitasi Sosial dibawah Direktorat Rehabilitasi Sosial Orang Dengan Kecacatan
(ODK). Bentuk Program Perlindungan tersebut adalah Asistensi Sosial bagi ODKB, yang
kemudian dikenal dengan nama ASODKB. Bantuan ini diberikan sebagai bentuk tanggung
jawab negara dalam pemenuhan hak-hak ODKB yang sudah tidak bisa direhabilitasi dan
diberdayakan.
Perlindungan Sosial bagi ODKB adalah amanat dari Undang-Undang RI No. 8 Tahun 2016
tentang Penyandang disabilitas. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan
penyelenggaraan kesejahteraan sosial untuk Penyandang Disabilitas, meliputi rehabilitasi
sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib menjamin akses bagi Penyandang Disabilitas untuk mendapatkan
rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.
Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi
Manusia 2015-2019 (Perpres 75/2015) ditetapkan pada 22 Juni 2015 dan Instruksi Presiden
Nomor 10 Tahun 2015 tentang Aksi Hak Asasi Manusia Tahun 2015 ditetapkan pada 2
Oktober 2015 diantaranya memuat hak-hak penyandang disabilitas.

Pendahuluan
Undang-Undang RI No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, disebutkan bahwa
ragam Penyandang Disabilitas meliputi: penyandang Disabilitas fisik, intelektual, mental,
sensorik. Ragam Penyandang Disabilitas dapat dialami secara tunggal, ganda, atau multi
dalam jangka waktu lama yang ditetapkan oleh tenaga medis sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual,
mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan
lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan
efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Kesamaan Kesempatan merupakan keadaan yang memberikan peluang dan/atau
menyediakan akses kepada Penyandang Disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam
segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat. Diskriminasi merupakan setiap
pembedaan, pengecualian pembatasan, pelecehan, atau pengucilan atas dasar disabilitas
yang bermaksud atau berdampak pada pembatasan atau peniadaan pengakuan,
penikmatan, atau pelaksanaan hak Penyandang Disabilitas.
Rehabilitasi sosial diberikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam bentuk
motivasi dan diagnosis psikososial, perawatan dan pengasuhan, pelatihan vokasional dan
pembinaan kewirausahaan, bimbingan mental spiritual, bimbingan fisik, bimbingan sosial
dan konseling psikososial, pelayanan aksesibilitas, bantuan dan asistensi sosial, bimbingan
resosialisasi, bimbingan lanjut, dan rujukan. Perlindungan sosial dilakukan oleh Pemerintah
dan Pemerintah Daerah melalui bantuan sosial, advokasi sosial, bantuan hukum.
Pertimbangan lainnya, adanya desentralisasi dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, yang berdampak adanya tanggung-jawab pelayanan publik dari
Pemerintah Daerah kepada setiap individu masyarakatnya dalam urusan konkuren
(bersama) dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan
Kabupaten/Kota untuk memperoleh pelayanan dasar yang berpedoman pada Standar
Pelayanan Minimal (SPM). Urusan rehabilitasi sosial penyandang disabilitas dalam panti
dan lembaga menjadi kewenangan provinsi, luar panti dan lembaga menjadi kewenangan
kabupaten/kota.
Paradigma pendekatan penanganan Orang Dengan Kecacatan Berat/ ODKB (Penyandang
Disabilitas) masih kental di charity based dan medical treatment. Paradigma ini berakibat
kepada aktivitas karena belas kasihan, dan biasanya tidak memiliki kelanjutan. Medical
treatment sebagai pendekatan penanganan ODKB menjadikan kondisi fisik ODKB saja yang
diperhatikan, padahal ODKB memerlukan pemenuhan kebutuhan sosial, kepercayaan diri
dan keceriaan dalam menjalani perawatan kesehariannya. Perubahan paradigma terjadi
dalam pendekatan penanganan disabilitas.

2
Perlunya Data penyandang disabilitas berat (orang dengan kecacatan berat) terintegrasi
dalam data fakir miskin dan termasuk dalam Basis Data Terpadu (BDT). Dengan Jumlah 34
(tiga puluh empat) provinsi dan 514 (lima ratus empat belas) kabupaten/kota diseluruh
Indonesia, sesuai Peraturan Menteri Sosial RI No. 10 Tahun 2016 tentang Mekanisme
Penggunaan Data Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin, diatur mekanisme pendataan
dan pengelolaan data fakir miskin di Indonesia.
Kebijakan perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah daerah pada
Pasal 108 UU No. 33 Tahun 2004, bahwa anggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan
yang dikerjakan pemerintah pusat dan menjadi kewenangan pemerintah daerah secara
bertahap dialihkan menjadi Dana Alokasi Khusus (DAK).

Deskripsi Masalah
1. Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
2. Pendekatan charity based dan medical treatment menjadi right based atau pendekatan
hak

3. Kendala-kendala terkait Pendataan ODKB, antara lain:


 Belum ada dana untuk pendataan secara khusus
 Lokasi wilayah tidak mudah dijangkau, bergunung-gunung, dengan aksesibilitas yang
buruk, juga jarak antar rumah ODKB satu dengan ODKB lain berjauhan, sehingga antar
tetangga seringkali tidak mengetahui ada yang ODKB, khususnya di Papua dan Papua
Barat.
4. Penyaluran
Keterlambatan Kantor Pos Kecamatan dalam menyalurkan bantuan, disebabkan kurangnya
tenaga petugas pos dan lokasi ODKB yang berjauhan antara satu dengan yang lainnya.

Rasio pendamping di kabupaten kota tidak sesuai dengan kuantitas target ODKB

5. Pendampingan
Dalam melaksanakan tugasnya pendamping masih merasakan berbagai hambatan yang
terkait dengan kapasitasnya Jauhnya lokasi penerima ASODKB, kurangnya sarana dan
prasarana bagi pendamping dalam melaksanakan pendampingan, seperti pendamping tidak
didukung dengan sarana transportasi dan sarana untuk penyusunan pelaporan.

3
Rekomendasi
1. Pembenahan dan Penguatan Data Sebagai Gambaran “input” dari Program Asistensi
Sosial Orang Dengan Kecacatan Berat (ASODKB);
2. Internalisasi Program ASODKB dalam merupakan bentuk negara hadir untuk
memberikan pelayanan kepada penyandang disabilitas berat (orang dengan kecacatan
berat);
3. Kemitraan Strategis dalam bentuk komplimentaritas, sebagai wujud pertanggungjawaban
terhadap kualitas & perluasan jangkauan program, serta sustainibilitas program.
4. Pembenahan dan penguatan data sebagai gambaran “input” dari program ASODKB.
Verifikasi Data terpadu terkait ASODKB bekerja sama dengan BPS dan Pusdatin menjadi
sangat penting.
5. Program ASODKB merupakan bagian dari Program layanan penyandang disabilitas
berbasis keluarga dan masyarakat.
6. Lampiran Bidang Sosial UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Sub-Bidang
Perlindungan dan Jaminan Sosial, Kewenangan Provinsi adalah Pendataan dan
Pengelolaan data Fakir Miskin cakupan provinsi. Kewenangan Kabupaten/Kota adalah
pendataan fakir miskin cakupan kabupaten/kota.
7. Pengintegrasian data penyandang disabilitas berat (orang dengan kecacatan berat) masuk
dalam data fakir miskin dan termasuk dalam Basis Data Terpadu (BDT) di 34 (tiga puluh
empat) provinsi dan 514 (lima ratus empat belas) kabupaten/kota diseluruh Indonesia.

Referensi
• Undang-Undang RI No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
• Undang-undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
• Undang-undang RI No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
• Undang-Undang RI No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
• Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 2008 tentang Dana Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan.
• Peraturan Presiden RI No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019
• Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi
Manusia 2015-2019;
• Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2015 tentang Aksi Hak Asasi Manusia Tahun 2015.

Jakarta, Mei 2017


Syauqi, Analis Kebijakan Madya,
Biro Perencanaan, Kementerian Sosial RI.

4
LAMPIRAN

Tabel 1.
Perubahan Paradigma Penanganan ODK
Sebelumnya Saat Ini

Model pendekatan medis Model pendekatan sosial

Charity Right Based

Berbasis institusi Keluarga & masyarakat

Single issue Crosscutting issue

Sektoral issue Integral issue

Reaktif & kuratif Antisipatif & Partisipatif

Residual care Holistik care

Pendekatan case Pendekatan Inklusi

Tabel 3.
Populasi ODK dan ODKB

PROVINSI/ POPULASI JUMLAH


NO. JUMLAH ODKB
KABUPATEN/ KOTA ODK ANGGARAN
1 SUMATERA BARAT 89.789 1102 3.967.200.000
2 SUMATERA SELATAN 56.806 871 3.135.600.000
3 JAWA BARAT 413.701 2016 7.257.600.000
4 JAWA TENGAH 495.028 2519 9.068.400.000
5 D.I. YOGYAKARTA 57.242 939 3.380.400.000
6 SULAWESI SELATAN 106.984 1128 4.060.800.000
KALIMANTAN
7 53.570 682 2.455.200.000
SELATAN
8 BALI 55.081 1081 3.891.600.000
9 JAWA TIMUR 541.548 1761 6.339.600.000
NUSA TENGGARA
10 59.591 973 3.502.800.000
BARAT
NUSA TENGGARA
11 86.229 1032 3.715.200.000
TIMUR
12 SUMATERA UTARA 118.648 933 3.358.800.000
13 JAMBI 33.986 729 2.624.400.000
14 LAMPUNG 89.293 918 3.304.800.000
15 KALIMANTAN BARAT 71.850 626 2.253.600.000
5
16 SULAWESI TENGAH 90.822 488 1.756.800.000
17 MALUKU 81.481 303 1.090.800.000
18 BANTEN 90.358 507 1.825.200.000
19 DKI JAKARTA 78.356 748 2.692.800.000
20 BENGKULU 103.343 517 1.861.200.000
21 KALIMANTAN TENGAH 90.236 94 338.400.000
22 SULAWESI UTARA 74.005 248 892.800.000
23 GORONTALO 120.224 115 414.000.000
KEPULAUAN BANGKA
24 107.709 147 529.200.000
BELITUNG
25 SULAWESI TENGGARA 116.129 249 896.400.000
26 KEPULAUAN RIAU 126.142 110 396.000.000
27 RIAU 47.692 96 345.600.000
28 KALIMANTAN TIMUR 89.412 253 910.800.000
29 PAPUA 145.212 109 392.400.000
30 MALUKU UTARA 100.117 81 291.600.000
31 NAD 104.625 367 1.321.200.000
32 SULAWESI BARAT 12.533 137 493.200.000
33 PAPUA BARAT 2.762 121 435.600.000
JUMLAH 3.910.502 22.000 79.200.000.000
belum tersentuh program: Anggaran:
Kebutuhan
3.888.502 13.998.607.200.000
Sumber: Direktorat Rehabilitasi Sosial Orang dengan Kecacatan, 2013

Dari hasil review lapangan oleh Biro Perencanaan Kementerian Sosial Tahun 2013,
terkait penganggaran, diketahui bahwa ada tiga wilayah yang sudah mulai mengucurkan
APBD untuk memperluas jangkauan pelayanan, sebagai berikut:
a. Sumatera Barat
Sumatera Barat adalah salah satu provinsi penerima sejak awal yaitu tahun 2006. Pada
tahun 2013, Sumatera Barat, khususnya Kota Bukit Tinggi telah sharing APBD untuk
50 orang dan dana pendamping, Kabupaten Batu Sangkar 20 orang, Kabupaten Agam
8 orang, Padang Panjang 19 orang, dan Kabupaten Pasaman menyediakan pendamping
2 orang.

b. Sumatera Selatan
Jumlah penerima 322 orang yang dibiayai APBN dari jumlah keseluruhan 740 orang
dengan daftar tunggu 18 orang. ASODKB yang masuk dalam daftar tunggu mendapat
program ASODKB dari APBD dari Kota Palembang Rp. 200.000,-/orang/ bulan.
Sisanya 400 orang mendapat ASODK dari APBD dengan kriteria disabilitas ringan.

6
c. DI Yogyakarta (DIY)
Di DIY Sudah ada penyediaan APBD untuk program ASODKB di Kab. Sleman,
Angggaran APBN Rp. 300.000,- Per ODKB/bulan dengan 2 orang pendamping
memperoleh Rp. 500.000,-/ bulan. Anggaran APBD untuk 97 ODK Berat Rp. 300.000,-
per ODKB/bulan dan 20 orang pendamping Rp. 300.000,-/ bulan karena keterbatasan
anggaran. Untuk Provinsi NTB dan Jawa Barat belum ada sharing anggaran.

Kesesuaian Kriteria Sasasaran

Hasil review lapangan menunjukkan bahwa pada umumnya penerima/sasaran kegiatan


ASODKB sudah tepat karena kriteria yang ditetapkan sangat ketat. Diskusi Kelompok di 5
Provinsi yaitu Sumatera Selatan, Jawa Barat, DIY dan NTB sudah sesuai dengan kriteria,
kecuali Sumatera Barat menyatakan bahwa penerima masih ada yang kurang sesuai
khususnya di Kabupaten Agam dan Kota Padang. Hal yang sama juga terungkap dari hasil
monitoring dan evaluasi yang dilakukan Direktorat Rehabilitasi Sosial Orang Dengan
Kecacatan yaitu “Penerima ASODKB pada umumnya telah sesuai dengan kriteria yang telah
ditentukan, hanya beberapa saja yang tidak sesuai” (Hasil Monev Direktorat Rehabilitas
Sosial ODK 2012).
Penerima umumnya berasal dari keluarga miskin, yang diperkuat dengan data pekerjaan dan
penghasilan dari wali/orang tua atau kepala keluarga dari ODKB, yang juga diperkuat
dengan hasil monitoring dan evaluasi Direktorat Rehabilitasi Sosial Orang dengan Kecacatan
pada tahun 2012 yaitu:
a. Pekerjaan
Pekerjaan wali atau orang tua pada umumnya sangat beragam, namun masih tergolong
kelas menengah ke bawah. Dari hasil wawancara dengan penerima pelayanan dan orang
tua/wali, diketahui pekerjaan wali/orang tua sebagaian besar adalah petani (36,2%) dan
buruh (20 %) termasuk buruh (buruh tani, buruh cuci, buruh bangunan) ibu rumah tangga
(10,1%), nelayan, pedagang kecil-kecilan, tukang ojek, tukang urut dan bahkan ada yang
tidak bekerja.
Pekerjaan kepala keluarga penerima ASODKB sangat bervariasi dan sangat berpengaruh
pada tingkat penghasilan, yang juga akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan, kh terkait
pemenuhan kebutuhan dasar.

7
b. Penghasilan

Berbanding lurus dengan pekerjannya, penghasilan wali/orang tua juga tergolong


rendah yaitu 35 % di bawah Rp.750.000,-, 33 % antara Rp. 750.000,- sampai dengan
Rp.1.500.000,-. Hanya 6 % di atas Rp.1.500.000, dan bahkan ada yang tidak punya
penghasilan.Informasi tentang penghasilan memang agak sulit didapat, berhubung
penghasilan yang diperoleh tidak tetap, seperti buruh harian, tidak setiap hari mereka
bisa mendapatkan pekerjaan, dan petani tergantung musim. Sehubungan dengan itu
ada 19 % dari responden wali tidak menjawab pertanyaan tentang penghasilan.
c. Sumber Daya Manusia (SDM)
Hasil monitoring dan evaluasi tentang pendidikan pendamping (86 responden) dapat
dilihat pada tabel 3 berikut:
Tabel 4.
Jumlah dan Persentase Tingkat Pendidikan Pendamping

Tingkat Pendidikkan Jumlah Persentase


SLTA 57 66,3
Akademi 5 5,8
S1 22 25,6
Tidak terjawab 2 2,3
Total 86 100,0
Sumber: Hasil Monev Direktorat Rehabilitasi Sosial ODK, 2012

Data pada tabel 4 di atas menunjukkan bahwa pada umumnya pendidikan


pendamping telah sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan yaitu minimal SLTA,
bahkan yang sarjana 25,8 %.
Tabel 5.
Asal Pendamping

Asal Pendamping Jumlah Persentase


PSM 30 34,9
Karang Taruna 12 14,0
Orsos ODK 9 10,5
TKSK 20 23,3
Tagana 2 2,3
Tidak Menjawab 13 15,1
Total 86 100,0
Sumber: Hasil Monev Direktorat Rehabilitasi Sosial ODK, 2012

8
Tabel 2 menunjukkan bahwa pada umumnya (84.9 %) pendamping berasal dari
berbagai organisasi mitra Kementerian Sosial di tingkat lokal seperti pekerja sosial
masyarakat, karang taruna, tenaga kesejahteraan sosial kecamatan (TKSK), organisasi
sosial kecacatan dan tagana, dan 15.1 % bukan berasal dari organisasi.
Jumlah pendamping di setiap wilayah tidak sama, tergantung jumlah sasaran ODKB
di masing-masing wilayah. Demikian pula rasio pendamping dengan ODKB yang
didampinginya juga sangat bervariasi yaitu antara satu sampai dengan 66 orang. Bila
dikelompokkan rasionya dapat dilihat pada diagram 4 berikut ini:

Diagram 5.
Rasio Pendamping & ODK Berat

Sumber: Hasil Monev Direktorat Rehabilitasi Sosial ODK, 2012


Data pada diagram di atas menunjukkan jumlah pendamping di masing-masing
provinsi sangat bervariasi. Setelah dilakukan pengelompokan jumlah terbanyak (37,2%)
mendampingi antara 1–10 orang, mendampingi antara 11–20 orang (34,9%), mendampingi
21–30 orang (10,5%), mendampingi 31-40 orang (2,3%) dan mendampingi 41-50 orang
(1,2%).

Anda mungkin juga menyukai