Anda di halaman 1dari 3

Problematika RUU Cipta Kerja

Yong Irwana Indrajaya


195120600111040
Absen : 6

Sejak Joko Widodo dilantik menjadi presiden Republik Indonesia, salah satu misi
utamanya adalah membangun Indonesia, namun dalam perjalanannya sang presiden
menghadapi banyak rintangan. Untuk itu, segala sesuatu yang dianggap menjadi penghalang
atau rintangan akan diberantas termasuk UU Ketenagakerjaan yang dianggap mempersulit
pertumbuhan usaha dan investasi. Menanggapi hal tersebut pemerintah menciptakan omnibus
law, omnibus law sendiri memiliki fungsi sebagai revisi dari beberapa undang-undang
sekaligus. Setidaknya ada 82 undang-undang dan 1.194 pasal yang akan diselaraskan oleh
omnibus law dan 51 pasal diantaranya adalah UU Ketenagakerjaan. Dari sekian banyak
Rancangan undang-undang (RUU) yang terdapat di dalam omnibus law salah satu RUU
yang menuai banyak kontroversi adalah RUU Cipta Kerja.

RUU Cipta kerja bertujuan untuk memudahkan pemberi kerja atau perusahaan dalam
menyerap tenaga kerja. Menurut Sumardjono (2019) salah satu tujuan pemerintah
menggulirkan omnibus law yaitu mendorong investasi dan perkembangan ekonomi. Akan
tetapi terdapat beberapa kandungan dari RUU cipta kerja yang dinilai sebagian pakar hukum
dan politisi merugikan pekerja terutama buruh. Beberapa isi dari RUU cipta kerja yang
memicu kontroversi antara lain, rencana mengubah sistem upah per bulan menjadi upah per
jam, dipangkasnya pesangon PHK, penghapusan beberapa cuti pekerja, dan sistem
outsourcing yang dinilai membuat nasib pekera menjadi tidak jelas. Hal ini sejalan dengan
pendapat Fadli Zon, “Di satu sisi, RUU ini ingin menciptakan lapangan kerja, tetapi isinya
justru melemahkan dan cenderung mengabaikan hak-hak kaum pekerja.

Tidak hanya merugikan pekerja, pada RUU Cipta kerja terdapat banyak masalah
perundang-undangan di dalamnya. Salah satu contoh dari hal tersebut terdapat pada pasal 170
Ayat 1 RUU Cipta Kerja yang menyebutkan bahwa, “Dalam rangka percepatan pelaksanaan
kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan
Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-
Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam
Undang-Undang ini.” Dilanjutkan oleh pasal 170 Ayat 2, “Perubahan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.”. Hal ini tentu melanggar UU
No. 12 tahun 2011 Pasal 7 ayat (1) dan (2) yang mengatur bahwa peraturan pemerintah
memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan Undang-undang sehingga tidak bisa
membatalkan maupun mengubah Undang-undang.

Hal lain yang membuat RUU Cipta Kerja omnibus law menjadi kontroversial adalah
tidak diikutsertakannya masyarakat dan stakeholder terkait dalam proses perancangan dalam
hal ini pekerja. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya Naskah Akademik RUU Cipta Kerja
yang di dalamnya tidak menerangkan siapa saja yang bertanggungjawab dalam proses dan
kegiatan penyusunan Naskah Akademik (NA). Hal ini tidak sejalan dengan UU No. 12
Tahun 2011 mengenai peraturan pembuatan Naskah Akademik. Selain itu, target pengerjaan
RUU Cipta Kerja selama 100 hari hingga pengesahan juga akan menambah kompleksitas
permasalahan mengingat tidak mudah bagi pemangku kepentingan untuk bisa dengan cepat
menguasai materi yang diatur dalam RUU Cipta Kerja. Dalam hal ini, transparansi serta
akuntabilitas pemerintah kembali dipertanyakan.

Bentuk reaksi masyarakat dan mahasiswa atas ketidakpuasan terhadap pemerintah


yang beragam membuat pemerintah harus mempertimbangkan dan meninjau kembali pasal-
pasal kontroversial yang terdapat dalam omnibus law dan juga memperhatikan prosedur
perancangan perundang-undangan yang berlaku. Selayaknya pemerintah dan para legislatif
dapat mendengarkan suara dan pendapat masyarakat, mahasiswa, serta para buruh daripada
memuaskan investor semata. Pemerintah dapat lebih bijak dalam menentukan dan membuat
keputusan agar tidak ada pihak yang dirugikan. Karena, jika RUU Cipta Kerja disahkan
tentunya akan merugikan banyak pihak terutama kaum buruh dan pekerja. Hal ini dapat
menjadi pelajaran berharga untuk pemerintah supaya lebih berhati-hati dan memerhatikan
segala aspek dalam merancang undang-undang di masa yang akan datang.

Anda mungkin juga menyukai