Anda di halaman 1dari 10

TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER

TEORI PEMERINTAHAN

Oligarki dan Fenomena Politik Transaksional di Indonesia dalam Teori


Jeffrey A. Winters

Dosen Pengampu : Ira Permatasari, S.IP., M.A.

Disusun oleh :
Yong Irwana Indrajaya
195120600111040
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
Oligarki dan Fenomena Politik Transaksional di Indonesia dalam Teori
Jeffrey A. Winters

Sistem dan Dasar Pemerintahan Indonesia

Indonesia merupakan negara yang menerapkan sistem negara hukum (rechstaat) hal
ini telah diatur secara konstitusional dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yang menyebutkan,
“Indonesia adalah negara hukum”. Hal ini mengkonsepsikan makna dari posisi dan
kedudukan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang begitu sentral dalam
rangka mengatur kehidupan demi meraih tujuan-tujuan negara. Menurut Immanuel Kant
salah satu dari prinsip negara hukum ialah “Pemerintahan berdasarkan hukum”, yang berarti
dalam negara hukum setiap warga negara berhak dan memiliki kesempatan yang sama untuk
berpartisipasi dalam pemerintahan. Hak berpartisipasi masyarakat juga diatur dalam
konstitusi, UUD 1945 Pasal 27 Ayat (1) yang berbunyi, “Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”.

Selain menggunakan sistem negara hukum, Indonesia juga menerapkan bentuk


pemerintahan demokrasi pancasila. Unsur dan asas demokrasi tersebut berusaha diwujudkan
oleh pemerintah melalui prinsip-prinsip, antara lain: adanya sistem dan prosedur pemilihan
pejabat publik yang bersifat langsung, umum, bebas, jujur, dan adil yang dilakukan melalui
mekanisme Pemilihan Umum (Pemilu) secara berkala. Kemudian, pemerintah bertanggung
jawab secara transparan dan menerapkan konsep akuntabilitas terhadap masyarakat dan
masyarakat diperbolehkan untuk memberikan kritik sebagai sarana partisipasi dan
mengontrol pemerintah. Kebebasan berpendapat dan menyatakaan pendapat yang diikuti oleh
kebebasan pers dalam menyebarkan informasi untuk masyarakat. Pemerintah juga dapat
melakukan transparansi seperti mempublikasikan Rancangan Undang-Undang (RUU) demi
menstimulasi partisipasi masyarakat secara aktif.
Namun, dalam implementasinya terdapat kelompok-kelompok elite dengan
kepentingan pribadi dan golongan yang menjalankan praktik-praktik oligarki yang tentunya
dapat mengancam masa depan penerapan demokrasi di Indonesia. Apakah kemudian oligarki
ini mengancam keberlangsungan demokrasi pancasila yang kemudian berubah menjadi
demokrasi prosedural yang tentunya menjauh dari tujuan para pendiri bangsa atau founding
fathers Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika demokrasi substansial berubah menjadi
demokrasi prosedural tentunya akan mengancam keberlangsungan negara karena,
perlindungan terhadap hak-hak warga negara atas dasar hidup yang tertuang pada asas-asas
demokrasi dapat terabaikan.

Dinamika Praktik Demokrasi di Indonesia

Demokrasi sendiri memang bukanlah sistem yang sempurna, sistem ini mendapat
kritik di negeri asalnya, Yunani. Seorang filsuf Aristoteles (348-322 SM) menyebut
demokrasi sebagai mobocracy atau pemerintahan segerombolan orang. Dia menyebutkan
demokrasi sebagai sebuah sistem bobrok karena pemerintahan dilakukan oleh massa, yang
rentan akan anarkisme. Menurut Aristoteles bila negara dipegang oleh banyak orang (lewat
perwakilan legislatif) akan berbuah petaka. Buku “Politics” karya Aristoteles menyebut
demokrasi sebagai bentuk negara yang buruk (bad state).

Praktik demokrasi di Indonesia sendiri dipahami sebagai suatu sistem dari rakyat,
untuk rakyat oleh rakyat. Dimana setiap rakyat tentunya memiliki kepentingan dan memiliki
latar belakang sosial ekonomi, serta tingkat pendidikan yang berbeda-beda. Pemerintahan
seperti ini cenderung bersifat anarkis karena setiap masyarakat diwakili oleh sekelompok
minoritas yang mewakili kelompok mayoritas. Para wakil rakyat yang menempati kedudukan
strategis di pemerintahan yang memiliki kepentingan berbeda-beda menjadikan pemerintahan
sebagai ajang pertempuran konflik kepentingan golongan.

Dalam kasus lebih mendalam, praktik demokrasi di Indonesia terjadi melalui pemilu
secara langsung dengan prinsip eliminasi yaitu, ada pihak yang menang dan kalah. Dalam
dinamika pemilihan umum tentu tidak hanya terjadi di atas panggung melainkan dinamika
yang lebih besar terjadi di belakang panggung. Dinamika ini dikaji oleh sosiolog amerika
yang bernama Ervin Goffman dengan teorinya yang bernama teori Dramaturgi. Teori
Dramaturgi merupakan salah satu teori yang kerap digunakan ketika kampanye atau musim
pemilihan umum. Bagi Goffman, kehidupan ini ibarat teater, dengan interaksi sosial yang
mirip dengan pertunjukan di atas panggung, dan berisi peran-peran yang dimainkan oleh para
aktor (Mulyana, 2010, h.114). Untuk memulai sebuah pertunjukan, komponen lain yang juga
penting di tahap awal adalah penciptaan lokasi aksi atau panggung, yang oleh Goffman
didefinisikan sebagai “satu area yang terbatasi bentukan persepsi tertentu” (1956:66). Dalam
teorinya, Goffman membagi wilayah interaksi dan komunikasi politik menjadi depan
panggung (frontstage) dan belakang panggung (backstage). frontstage memiliki makna
individu atau dalam hal ini seorang calon bersandiwara atau memainkan peran di atas
panggung. Sementara, backstage merujuk pada lokasi atau kejadian yang memungkinkan
calon melakukan peran untuk frontstage.

Sebelum era reformasi bergulir di Indonesia pada tahun 1998, seorang cendekiawan
muslim bernama Nurcholish Madjid atau yang lebih dikenal dengan Cak Nur telah
mengingatkan bahwa demokrasi harus dimaknai sebagai suatu hak dalam memberi suara
secara bebas dari paksaan. Namun, demokrasi tidak harus selalu dipahami atau
disimbolisasikan oleh pemilihan-pemilihan umum, karena dalam dengan diadakannya
pemilihan umum tidak serta-merta menjamin berjalannya demokrasi. Apabila demokrasi
sebagaiamana yang dipahami oleh negara maju harus memiliki “rumah” maka rumah dari
berjalannya demokrasi dan sistem demokratisasi ialah “masyarakat madani” (civil society).

Menurut Gramsci terdapat dua ketentuan atau syarat terbentuknya suatu masyarakat


madani (civil society) Pertama, tergantung pada tersedia atau tidaknya sebuah “ruang” atau
“pentas” bagi pertarungan berbagai ide, gagasan atau ideologi. Oleh sebab itu, masalah
demokrasi dan masyarakat madani (civil society) tidak bisa dipisahkan dari pembicaraan
tentang “komunikasi politik”. Kedua, lenyapnya feodalisme sebagai ideologi tunggal.
Sebaliknya, feodalisme akan terkikis dengan sendirinya bila daya kritis dan kreatif
masyarakat dibuka. Untuk membuka semuanya ini, perlu diciptakan suatu “medan
komunikasi terbuka” termasuk komunikasi politik.

Maraknya fenomena kekerasan yang disalurkan atau dilakukan melalui gerakan massa
protes atau gerakan politik mobilisasi dengan menggunakan kekuatan sosial atau “people
power”, ekonomi dan kekuasaan politik serta bertahannya sistem feodalisme model baru yang
dipraktikan melalui infrastruktur dan suprastruktur politik sebagai konfirmasi atas kehadiran
oligarki yang semakin mengancam demokrasi yang tidak melahirkan masyarakat madani
(civil society) dan menwujudkan kesejahteraan bagi rakyat.

Praktik Oligarki dalam Demokrasi


Sistem oligarki umumnya hanya dimaknai sebagai sesuatu sistem pemerintahan yang
buruk. Hal itu disebabkan karena sifatnya yang elitis dan eksklusif, terlebih lagi oligarki
direpresentasikan oleh para elit atau golongan borjuis yang memiliki kekuasaan
perekonomian. Stereotype ini melahirkan pandangan bahwa para oligarch atau pelaku
oligarki tidak bekerja demi masyarakat luas melainkan hanya membawa dampak buruk bagi
praktik demokrasi.

Seorang Professor dari Northwestern University yang bernama Jeffrey A. Winters


memberikan definisi baru tentang oligarki sebagiamana dalam bukunya, “Oligarchy,” yaitu,
seseorang dengan dana yang cukup untuk melindungi “wealth defense industry” atau
“industri perlindungan kekayaan.”.

Menurut Winters, oligarki dibedakan menjadi dua dimensi. Dimensi pertama, oligarki
mempunyai suatu dasar kekuasaan serta kekayaan material yang sangat sulit untuk dipecah
dan juga diseimbangkan. Sedangkan dimensi kedua menjelaskan bahwa oligarki mempunyai
suatu jangkauan kekuasaan yang cukup luas dan sistemik, meskipun mempuyai status
minoritas di dalam sebuah komunitas. Di dalam bukunya Winters (2011) Memklasifikasikan
oligarki menjadi empat yaitu, oligarki panglima, oligarki penguasa kolektif, oligarki
sultanistik, dan oligarki sipil. Oligarki panglima merupakan oligarki yang muncul seiring
dengan kekuasaan yang dimiliki seseorang dan bersifat memaksa baik dengan cara kekerasan
ataupun tidak. Kemudian, oligarki penguasa kolektif didefinisikan sebagai oligarki yang
digulirkan oleh pemegang kuasa secara bersama-sama melalui lembaga yang memiliki
peraturan dan norma. Oligarki sultanistik adalah oligarki yang terjadi ketika monopoli sarana
pemaksaan terletak di satu orang oligarch saja. Oligarki terakhir menurut Winters adalah
oligarki sipil, oligarki ini sama sekali tidak menggunakan kekerasan dan tidak menguasai
secara langsung melainkan, sang pelaku praktik oligarki memberikan kekuasaannya kepada
lembaga non pribadi dan juga kelembagaan yang memiliki hukum yang lebih kuat.

Menurut Winters (2011) Kekuasaan dipegang atau dikendalikan oleh kelompok kecil
masyarakat. Salah satu ciri dari sistem pemerintahan oligarki yang paling bisa terlihat yaitu
kepemimpinan dikendalikan atau dipegang oleh suatu kelompok kecil masyarakat. Sebagian
besar kelompok kecil ini mempunyai uang. Mereka dapat dengan mudah masuk ke dalam
pemerintahan karena memiliki uang serta kekayaan. Hal ini pernah terjadi saat revolusi
industri yang terjadi di Inggris. Orang-orang kaya yang memperolah uang dari hasil revolusi
industri bisa masuk ke dalam pemerintahan dengan mudah. Kemudian, kekuasaan dimiliki
hanya untuk mempertahankan kekayaan. Pemerintahan oligarki erat kaitannya dengan
kekayaan. Sistem pemerintahan hingga politik yang dijalankan oleh suatu negara dalam hal
ini menerapkan sistem oligarki biasanya hanya untuk mempertahankan kekayaan bagi
penguasa. Di dalam pemerintahan oligarki, pengambilalihan kekayaan artinya mengambil
alih kekuasaan. Sehingga, akan dilakukan berbagai cara bagi penguasa untuk
mempertahankan kekayaan yang dimilikinya. Dapat disimpulkan, oligarki menurut Winters
terdapat dua variabel yang selalu berkaitan satu sama lain yaitu, kekuasaan dan kekayaan.
Para elite perekonomian melakukan oligarki untuk mengembangkan dan mempertahankan
kekayaan dan para elite politik melanggengkan kekuasaannya melalui praktik oligarki.

Demokrasi dan Praktik Politik Transaksional di Indonesia

Dengan pemahaman dari definisi serta ciri-ciri sistem oligarki yang dijalankan oleh
suatu pemerintahan, mengisyaratkan bahwa praktik oligarki masih berjalan di Indonesia.
Walaupun demikian, tentu praktik-praktiknya tidak seperti dahulu melainkan oligarki muncul
dengan “wajah” baru dalam bentuk politik transaksional atau kegiatan “tukar-menukar”
kepentingan atau jabatan antara para politikus dengan politikus lain ataupun dengan partai
politik atau golongan tertentu.

Bagaimana kita menjelaskan seluruh fenomena, dan fakta bahwa praktik pemilihan
umum sebagai perlambang demokrasi yang semestinya harus demokratis justru menjadi
praktik politik transaksional dalam setiap Pemilu sebagaimana disebut Lewis A. Coser
(1977:129) sebagai endowed (membantu dengan pemberian). Tatkala kita memilih wakil-
wakil rakyat atau pemimpin, semestinya dapat menghasilkan aktor-aktor konkrit, aktor-aktor
dengan otentisitas teruji. Namun dalam perjalanan waktu, aktor-aktor itu berubah menjadi
tidak konkrit, palsu. Mereka tidak cukup cakap menjadi elit dan aktor sesungguhnya
sebagaimana yang diharapkan oleh rakyat.

Menurut Lewis A. Coser (1977) endowed atau membantu dengan pemberian dalam
praktik pemilihan umumnya adalah money politic atau politik uang. Yang dimaksud dengan
money politic adalah fenomena uang mahar kepada partai politik yang diberikan kandidat
kepada partai politik berpotensi menimbulkan politik transaksional. Contoh lain dari hal
tersebut adalah transaksi kandidat dengan jasa kampanye seperti tim sukses dan lembaga-
lembaga surveyor.
Praktik politik uang (money politic) di Indonesia umumnya berbentuk uang dan
sembako menjadi salah satu fenomena politik transaksional yang masih marak dalam
pelaksanaan Pemilihan umum biasanya dikenal dengan istilah “serangan fajar” di Indonesia.
Tidak hanya politik uang, praktik pembelian suara  dapat dilaksanakan dengan memberi
sejumlah uang kepada penyelenggara pemilihan umum melalui oknum untuk
menggelembungkan suara dan bahkan mencuri suara kandidat lain juga terus terjadi.
Berkaitan dengan politik uang dan uang membeli suara  Komisi Pemilihan Umum (KPU)
tentunya akan memberikan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh
kandidat.

Selain melalui praktik-praktik tersebut, Politik transaksional lainnya berkaitan dengan


pemilik usaha yang memberikan dukungan kepada calon-calon dalam bentuk keperluan
kampanye, dukungan tokoh pemuda dan masyarakat dalam memobilisasi pemilih dengan
harapan. Jika sang calon berhasil memenangkan pemilihan umum maka sang pemilik usaha
akan dibantu dengan diberi proyek-proyek tertentu. Fenomena ini disebut Syarif Hidayat
(2010) dengan istilah pemerintahan bayangan (shadow state). Pemerintahan bayangan
memiliki makna, terdapatnya pihak-pihak eksternal atau dalam hal ini sang pengusaha tadi
yang dapat mengendalikan berjalannya roda pemerintahan atau dapat dipahami bahwa pihak
eksternal melakukan intervensi terhadap pemerintahan. Hal ini dapat menjadi suatu bahaya
karena, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah bisa jadi bukan didasari oleh
kepentingan rakyat melainkan didasari oleh kepentingan-kepentingan elit tertentu.

Dengan maraknya fenomena-fenomena politik transaksional pada pemilihan umum


yang dilakukan demi kepentingan individu, kelompok, ataupun golongan hal ini menjadi
indikasi penyimpangan berjalannya proses demokrasi di Indonesia. Dengan demikian, praktik
pemilihan umum yang berjalan di Indonesia masih jauh dari konsep pemilihan umum
sebagaimana yang dikemukakan oleh Smith (1985) dan Arghiros (2001) mengenai urgensi
dari sistem pemilihan umum sebagai penerapan dari substansive democracy. Substansive
democracy sendiri memiliki definisi sebagai praktik demokrasi yang tidak hanya simbolik
saja dengan ditandai oleh keberadaan institusi demokrasi, tetapi praktik demokrasi harus
diikuti dengan perilaku berdemokrasi baik pada institusi demokrasi maupun aparat pelaksana
tersebut dan juga peran aktif dari masyarakat sebagai objek dari demokrasi.

Pada realitanya, perilaku berdemokrasi dalam pemilihan langsung hanya terbatas


sebagai simbolis saja yang cenderung menghiraukan asas-asas dan syarat-syarat berjalannya
suatu proses demokrasi. Menurut Case (2002), hal ini mengarah pada penerapan procedural
democracy atau demokrasi prosedural. Karena, pada fakta di lapangan pemilihan secara
langsung yang bertujuan untuk menciptakan pemerintahan yang akuntabel, transparan, serta
responsif belum dapat mencapai tujuan dari perilaku berdemokrasi (democratic behaviour).
Hal ini sejalan dengan pendapat Ostrom (1991) dan Oyugi (2000) mereka sepakat bahwa,
dalam mewujudkan dan menciptakan suatu sistem pemerintahan yang demokratis, tidak
cukup hanya menghadirkan dan membenahi institusi demokrasi saja atau dalam hal ini
pemilihan secara langsung, akan tetapi harus disertai sifat-sifat dan perilaku dalam
berdemokrasi.

Dengan ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar dari masyarakat atau dalam
kasus ini adalah pemilih, dapat dikatakan belum melek dalam berpolitik. Dapat dikatakan
demikian karena, dengan hak kebebesan berpendapat serta berpolitik yang mereka miliki
masyarakat belum bisa memanfaatkan hak tersebut dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan
maraknya kasus politik uang dan mobilisasi hak suara yang kerap terjadi pada pemilihan
umum. Keadaan ini menyebabkan praktik-praktik politik transaksional semakin berkembang
subur di Indonesia tidak dapat dipungkiri, politik transaksional yang terjadi seringkali terjadi
merupakan benih-benih dari terciptanya sistem pemerintahan oligarki. Dalam menyikapi
kasus ini masyarakat Indonesia harus sadar akan konsekuensi serta keputusan yang mereka
pilih ketika pemilihan umum, demi memperbaiki citra demokrasi di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Arghiros, D. (2001). Democracy, development and decentralization in provincial Thailand.


Richmond: Curzon.

Coser, Lewis A. (1977) Masters of Sociological Thought. Ideas in Historical and Social


Context., Harcourt Brace Jovanovich, Inc.: New York, Chicago, San Fransisco,
Atlanta.

Fitri, A. (2015). Dramaturgi: Pencitraan Prabowo Subianto di Media Sosial Twitter


Menjelang Pemilihan Presiden 2014. Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi, 4(1), 101-
108.

Goffman, Erving.(1959). The Presentations of self in Everyday Life. Doubleday Anchor


Books & Company, Inc: New York.

Hidayat, S., & Gismar, A. M. (2016). Good governance vs shadow state dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Jurnal Penelitian Politik, 7(1), 13.

Ostrom, T. L. E. (2015). Governing the commons. Cambridge Univ Press.

Siallagan, H. (2016). Penerapan Prinsip Negara Hukum di Indonesia. Sosiohumaniora, 18(2),


122-128.

Winters, Jeffrey A. (2011). Oligarchy. Cambridge, UK. Cambridge University Press.


Winters, Jeffrey A. (2014). Oligarki dan Demokrasi di Indonesia. Demokrasi di Bawah
Cengkeraman Oligarki, 35-56.

Anda mungkin juga menyukai