Anda di halaman 1dari 10

PENGARUH KEKUATAN ELIT LOKAL BANTEN DALAM PROSES

PEMEKARAN PROVINSI BANTEN

Disusun oleh:
Yong Irwana Indrajaya (195120600111040)

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pasca Orde Baru hingga era reformasi, diskusi mengenai isu terkait dinamika perpolitikan
yang ada di tingkat lokal menjadi bahasan yang menarik untuk dibahas melalui pendekatan
akademik maupun non-akademik. Kehadiran otonomi daerah menjadi salah satu katalisator
dalam diskusi mengenai politik di tingkat lokal pasca era Orde Baru. Hal ini dikarenakan konsep
otonomi daerah merupakan gagasan yang baru dikemukakan pada akhir 1990-an dan menjadi
kunci utama dalam pemerataan pembangunan sebagai bentuk kritik dari orde sebelumnya yang
terlalu berfokus pada satu daerah dalam melakukan pembangunan. Melalui Undang-Undang No.
22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 sebagai revisi dari pendahulunya,
pemerintah dengan seksama dan tegas mengatur pelaksanaan otonomi daerah secara terperinci.
Bentuk nyata dari implementasi otonomi daerah ialah pemekaran daerah, sebagai bentuk dari
penjaringan aspirasi masyarakat sekaligus perwujudan pemerintah pusat dalam melakukan
pemerataan pembangunan. Dalam rangka memberikan kepastian beserta payung hukum,
pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan,
Penghapusan, dan Penggabungan Daerah menjabarkan dengan rinci hal-hal yang berkaitan
dengan pemekaran suatu daerah.
Dalam pelaksanaannya, inisiasi dalam melakukan pemekaran daerah tidak terlepas dari
implementasi demokrasi dan prinsip desentralisasi yang ada di Indonesia. Kehadiran demokrasi
dan penerapan prinsip desentralisasi di Indonesia memberikan kesempatan bagi masyarakat
untuk berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu, gagasan
mengenai pemekaran daerah tidak terlepas dari campur tangan elit lokal daerah tersebut.
Berangkat dari aspirasi masyarakat dan kehadiran elit lokal sebagai representasi rakyat pada
umumnya mendorong terselenggaranya pemekaran daerah tertentu. Hal utama yang melatar
belakangi kondisi ini umumnya berkaitan dengan upaya para elit ataupun kelompok masyarakat
dalam meningkatkan kualitas dan pelayanan bagi masyarakatnya. Proses pemekaran pada
beberapa daerah yang ada di Indonesia diawali oleh penggalangan suara dan massa oleh para elit
lokal, hingga pengajuan proposal pemekaran kepada Kementerian Dalam Negeri ataupun Dewan
Perwakilan Daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat.
Kehadiran elit lokal dalam proses pemekaran daerah menyebabkan proses pemekaran
daerah yang ada di Indonesia tidak terlepas dari kepentingan politik golongan tertentu. Hal
tersebut dapat diindikasikan melalui alasan-alasan tertentu seperti peluang untuk
mengembangkan sayap politis seorang elit ataupun upaya seorang elit dalam menguasai lebih
banyak sumber daya. Oleh karena itu, dalam proses pemekaran suatu daerah seringkali
ditemukan konflik antara elit lokal daerah yang kemudian daerahnya akan dipisahkan menjadi
daerah otonom baru. Kasus ini sempat terjadi pada proses pemekaran Provinsi Banten dari
Provinsi Jawa Barat, dimana terdapat selisih paham antara elit lokal kedua belah daerah. Konflik
antar elit ini dilatar belakangi oleh keinginan elit Provinsi Banten yang ingin memisahkan diri
dari Provinsi Jawa Barat dan sebaliknya, dimana elite Provinsi Jawa Barat tidak ingin Provinsi
Banten melakukan pemekaran daerah. Para pihak yang berselisih memiliki alasannya masing-
masing dalam mempertahankan argumennya, secara sederhana elit Jawa Barat merasa Banten
tidak layak menjadi provinsi terpisah dan sebaliknya.
Dalam perjalanannya, proses pemekaran Provinsi Banten melalui rintangan politik yang
kompleks dimana tiap kelompok memiliki kepentingannya masing-masing. Konflik politik yang
terjalin antara para elit Jawa Barat dan elit Banten menuntut pemerintah sebagai pemegeang
kuasa tertinggi untuk melakukan arbitrase dan mengambil langkah serius. Pengajuan pemekaran
daerah yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah memberikan pilihan bagi daerah yang ingin
melakukan pemekaran melalui rekomendasi dan inisiatif pemerintah ataupun pengajuan secara
mandiri melalui Dewan Perwakilan Rakyat. Proses pengajuan pemekaran yang dilakukan oleh
Provinsi Banten yang menggunakan jalur kedua yaitu pengajuan mandiri melalui Dewan
Perwakilan Rakyat tentunya menjadi salah satu akar permasalahan dari problematika tak
berujung dengan Provinsi Jawa Barat. Berkaca dari hal tersebut, para elit banten melancarkan
diplomasinya kepada elit yang menduduki posisi di pemerintahan pusat dan Dewan Perwakilan
Rakyat melalui lobbying. Diplomasi yang dilakukan oleh para elit tersebut menjadi kunci
keberhasilan pemekaran Provinsi Banten.
Diplomasi politik yang dilancarkan oleh elit Banten tidak terbatas pada stakeholder yang
berkaitan secara langsung dengan proses pemekaran seperti pemerintah pusat ataupun Dewan
Perwakilan Rakyat , bahkan para elit tersebut melakukan upaya lobbying dengan Pemerintah
Daerah Provinsi Jawa Barat melalui berbagai pertemuan yang diwakili oleh para tokoh
masyarakat antara kedua belah Provinsi. Akan tetapi, diplomasi yang diupayakan oleh para elit
Provinsi Banten belum berhasil dan Pemerintah Daerah Jawa Berat tetap berpegang teguh akan
keputusan para elitnya untuk menolak pemekaran tersebut. Dinamika yang terjadi dalam kasus
pemekaran ini menjadi point yang menarik untuk dikaji dan digunakan untuk memahami
kedudukan elit dalam pemerintahan dan kontribusinya terhadap perubahan di pemerintahan.
Oleh karena itu, studi kasus mengenai pemekaran Provinsi Banten dapat dijadikan referensi
penelitian yang relevant dalam memahami peran elite dalam perubahan pemerintahan.
BAB II
PEMBAHASAN
a. Prinsip Desentralisasi di Indonesia
Saat ini, Negara Indonesia sedang menggalakan desentralisasi secara signifikan dan
inklusif. Hal tersebut dapat dimaknai melalui hadirnya pengaruh politik lokal yang meningkat
secara masif semenjak runtuhnya Era Orde Baru. Kepemimpinan Suharto yang sentralistik dan
mengedepankan kepentingan golongan tertentu berubah menjadi bentuk pemerintahan yang
mengimplementasikan pembagian kewenangan melalui asas-asas desentralisasi. Sentralistik
pada Era Suharto tercermin dari sistem administrasi dan fiskal yang terfokus di pusat, dimana
pemerintah pusat menghimpun 94 persen dari total pendapatan daerah dan menyalurkan total
60 persen anggaran transfer dari pusat ke daerah. Sistem administrasi ini berimplikasi kepada
tidak maksimalnya pelayanan dan pengembangan daerah-daerah tertentu dan pembangunan
cenderung terpusat di Pulau Jawa.
Di masa lalu, ketidakpuasan muncul karena pemerintah pusat mengontrol pendapatan
sumber daya di daerah, dan karena pemerintah tidak peka terhadap perbedaan daerah;
Ketidakpuasan ini kemudian menyebabkan permintaan yang kuat untuk pembagian kekuasaan.
Sejak awal tahun 1970-an, telah ada beberapa usulan desentralisasi fiskal, tetapi unsur-unsur
utamanya tidak pernah dilaksanakan. Akibat krisis dan gejolak politik yang mengikutinya,
Indonesia kini mengambil langkah besar menuju desentralisasi politik dan keuangan.
Pemerintah menanggapi tuntutan desentralisasi yang semakin meningkat ketika DPR dengan
cepat mengesahkan dua undang-undang pada April 1999, yang menetapkan 1 Januari 2001
sebagai awal desentralisasi radikal, yang dapat digambarkan sebagai “ledakan besar”.
Elemen utama dari desentralisasi ini adalah:
a. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur wewenang serta
tanggung jawab politik dan administratif pemerintah pusat, provinsi, kota, dan
kabupaten dalam struktur yang terdesentralisasi.
b. Undang-undang No. 25 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU No. 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah memberikan dasar hukum bagi desentralisasi fiskal dengan
menetapkan aturan baru tentang pembagian sumber-sumber pendapatan dan
transfer antarpemerintah.
c. Selanjutnya adalah Undang-undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah yang mengalami perubahan dengan Undang-undang No 9 tahun 2015
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang No 23 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
Undang-undang tersebut menghimpun seluruh element penting dalam penyelenggaraan
desentralisasi secara fiskal hingga administratif. Semenjak tahun 2021, sebagian besar fungsi
dan wewenang pemerintah telah dilakukan transisi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah
di beberapa provinsi yang ada di Indonesia. Berdasarkan peraturan ini, seluruh fungsi
pemerintahan selain pertahanan, luar negeri, moneter dan pajak, serta perdagangan dan
peradilan, ditransisikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah secara otonom. Dengan
demikian, pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh akan urusan kesehatan, pendidikan,
dan infrastrukturnya masing-masing dengan pemerintah provinsi yang hadir sebagai
koordinator. Apabila terdapat point yang tidak tercantum dalam undang-undang tersebut, maka
point tersebut secara langsung menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
Pada dasarnya, desentralisasi memiliki tujuan dengan dua variabel utama yaitu, untuk
mengoptimalisasi efisiensi dan meningkatkan efektivitas administrasi publik dan menstimulus
partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan negara. Tiap negara memiliki
perbedaan kepentingan dan fokus akan pelaksanaan desentralisasinya, sesuai dengan
konsensusnya terhadap konstitusi dan bagiamana haluan pembangunan negara tersebut sesuai
dengan asas-asas desentralisasi.
b. Teori Elit dalam Pemekaran Banten
Fokus yang menitikberatkan fungsi elite dalam perpolitikan lokal merupakan point yang
penting dalam menjelaskan permasalahan yang berkaitan dengan desentralisasi. Terdapat teori-
teori yang dapat digunakan dalam melakukan pengkajian, salah satunya adalah teori klasik
tentang elite. Teori tersebut menggambarkan elite politik sebagai suatu realitas yang hadir di
berbagai bentuk sistem masyarakat yang ada. Pareto mendefinisikan elite sebagai tiap
masyarakat yang diperintah oleh sekelompok orang dengan kualitas tertentu yang dapat
memberikan mereka legitimasi sosial dan politik. Lebih lanjut didefinisikan bahwa masyarakat
terdiri atas dua kelas yang berbeda yaitu; lapisan atas atau elite dan lapisan bawah atau non elite.
Pendapat yang hampir sama diungkapkan oleh Gaetano Mosca yang menjelaskan bahwa:
“Di manakah lapisan elite penguasa atau kelas yang disebut elite politik/politik?” Elit politik ini
adalah kelompok yang terorganisir dengan otoritas politik. Kelas elit terdiri dari minoritas
terorganisir yang akan memperkuat kehendaknya melalui "manipulasi sekaligus kekerasan",
terutama dalam demokrasi. Elit politik juga mendemonstrasikan semua fungsi politik,
memonopoli kekuasaan dan menikmati segala keuntungan kekuasaan. Kekuasaan yang mereka
miliki tidak berasal dari komunitas atau posisi ekonomi mereka, tetapi dari organisasi mereka
yang terkait dengan otoritas pemerintah.
Dengan demikian, dalam proses perjuangan pembentukan Provinsi Banten terjadi
pertemuan atau kerjasama antara elite lama dengan elite baru di Banten. Dalam setiap kelompok
elite Banten, baik Pokya maupun Panitia, juga terdapat komposisi yang hampir sama, yaitu elite
lama dan elite baru. Menurut Suzanne Keller, elit lama dan baru adalah elit strategis. Terlepas
dari kelas penguasa, kata Keller, elit strategis dibedakan berdasarkan metode perekrutan,
organisasi internal, dan tingkat spesialisasi. Ada pengusaha yang tidak hanya sebagai aktor
kolektif, tetapi juga simbol kolektif. Keller mengidentifikasi tiga tingkatan simbol, yaitu simbol
kognitif (ilmu dan profesionalisme), simbol moral (nilai dan tindakan), dan simbol ekspresif
(emosi dan perilaku). Pengusaha dapat hadir dalam bentuk organisasi kepentingan, dan di sisi
lain, secara simbolis mewakili otoritas ekonomi, profesionalisme, pengambilan keputusan
ekonomi sebagai pengusaha sukses.
c. Elit Banten dalam Proses Pemekaran Daerah
Pengelompokan elit dalam proses pembentukan Provinsi Banten dapat terdiri dari plus
minus, antara lain: pertama, yang berada sebelum pembentukan Provinsi Banten adalah
kelompok elit informal (masyarakat) Banten, anggota partai politik dan DPRD serta Pemerintah
elit kabupaten/kota di wilayah Banten, parpol dan parpol. politik di tingkat pusat dan dukungan
terhadap partai politik yang tidak dapat dipisahkan dari kepentingannya untuk memperoleh
dukungan pemilih pada pemilu 1999. Kedua, pihak yang menentang pembentukan Provinsi
Banten adalah Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Gubernur Jawa Barat) dan DPRD Jawa Barat,
meskipun DPRD Jawa Barat pada akhirnya merupakan pengesahan pembentukan Provinsi
Banten. Elit lain di Jawa Barat yang menolak berdirinya Provinsi Banten adalah para sesepuh
Siliwangi dan tentara. Secara historis, para elite memiliki pengaruh yang besar di daerahnya
masing-masing.
Fraksi elit Banten yang berjuang membentuk Provinsi Banten pada awalnya terbagi
menjadi dua kelompok besar, yaitu Kelompok Kerja Pembentukan Provinsi Banten (Pokja PPB)
dan Panitia Pembentukan Provinsi Banten (Panitia PPB). Konflik tersebut bermula dari masalah
strategi pertempuran, yang keduanya mengklaim sebagai satu-satunya organisasi yang berjuang
untuk menciptakan Provinsi Banten yang sah. Pada akhirnya, ketegangan antara dua kelompok
elit di Banten tersebut dapat diselesaikan dengan dibentuknya Badan Koordinasi BSP (Bakor)
yang dibantu oleh kelompok elit Banten di Jakarta. Elit Banten dan Jawa Barat dalam Pemekaran
Daerah merupakan dua pengaruh utama dalam berjalan nya dinamika proses pemekaran Provinsi
Banten. Dinamika tersebut tidak terlepas dari kepentingan tiap kelompok melainkan juga
berdasarkan aspek-aspek lainnya yang ternyata memiliki andil besar dalam setiap konflik dan
perselisihan paham yang terjadi.
Sejarah konflik Jawa Barat dan Banten memiliki akar yang dalam dan panjang. Rakyat
Banten merasa memiliki keistimewaan, yaitu tidak pernah menyerah kepada Belanda, tidak
pernah sendiri akibat blokade Belanda, hingga mereka mengeluarkan mata uang sendiri pada
tahun 1949. kekuasaan Kerajaan Sunda sampai digulingkan secara total. Berdirinya Kesultanan
Banten merupakan proses menenggelamkan sejarah Kerajaan Sunda. Hal ini membuat konflik
antara Kerajaan Sunda dan Kesultanan Banten tak terelakkan hingga serangan tahun 1575
terhadap Kesultanan Padjajaran Banten terjadi pada saat invasi Banten ke Padjajaran, yang
terbagi menjadi tiga gelombang utama. Unsur historis yang terdapat antara dua belah pihak yang
memiliki perbendaan pandangan ini menjadi suatu stimulus pendorong kuatnya sense of
belonging ataupun rasa kepemilikian tiap elite terhadap daerahnya masing-masing.
Alasan lain yang menjadi pendorong gagasan pembentukan Provinsi Banten adalah
masalah perbedaan etnis, tercermin dari anggapan bahwa Urang Banten berbeda dengan Urang
Sunda. Meski pada kenyataannya tidak mudah membedakan Banten dengan Sunda. Adanya
diskriminasi etnis pada posisi strategis di jajaran birokrasi pemerintahan di Banten oleh
masyarakat Priyanggan telah menimbulkan persepsi dan perasaan “penjajahan” di kalangan
masyarakat Banten. Karena posisi kepemimpinan di pemerintah daerah dipegang oleh pejabat
Priyanggan, banyak juga rekrutan baru dari Priyanggang. Dari sudut pandang Sunda, keberadaan
Banten sebenarnya merupakan perpanjangan tangan dari kerajaan Sunda. Kisah Banten tidak
terlepas dari sejarah kerajaan Sunda. Banten tidak memiliki makna etnis, tetapi hanya memiliki
cita rasa daerah. Banten dianggap sebagai bagian integral dari Jawa Barat. Mereka percaya
bahwa Banten memiliki sejarahnya sendiri, yang berbeda dengan Sunda. Sejarah menunjukkan
bahwa kelahiran Kesultanan Banten menempatkan kerajaan Sunda dalam bahaya.
Di sebagian wilayah Jawa Barat, proses pembangunan di Banten lebih lambat
dibandingkan dengan wilayah lain di Jawa Barat. Masyarakat Banten semakin merasa
terpinggirkan, dan terjadi ketidakadilan dalam pembangunan ekonomi, pendidikan dan sosialnya.
Kemiskinan struktural akibat kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi dan pusat
terlihat di wilayah Banten. Tidak hanya kemiskinan struktural, tetapi juga di wilayah Banten
terjadi kemiskinan absolut. Sedangkan penduduk Banten menganggap daerah itu kaya akan
sumber daya (pelabuhan, cagar alam, bandara, tambang, kawasan wisata). Namun, mereka tidak
bisa memanfaatkan sepenuhnya kekayaan daerah itu. Di sisi lain, keberatan pemerintah Jawa
Barat terhadap pembentukan Provinsi Banten dipicu oleh kekhawatiran hilangnya sumber daya
yang signifikan di Banten. Penurunan luas wilayah dan penduduk Provinsi Jawa Barat (dengan
Banten menghilang), akan mengakibatkan penurunan besaran Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dan Dana Distribusi Umum (DAU). Hal ini selanjutnya akan mempengaruhi penurunan APBD di
Jawa Barat. Hingga saat ini, Banten telah menjadi sumber ekonomi bagi Jawa Barat.
Selain faktor yang telah disebutkan, ada juga faktor politik yang cukup nyata dalam
proses pembentukan Provinsi Banten. Dinamika politik yang terjadi di Jawa Barat pada awalnya
diawali dengan penolakan elit politik Jawa Barat yang ditandai dengan minimnya posisi DPRD
dan pemerintah provinsi Jawa Barat. Disetujuinya DPRD Jawa Barat sebagai daerah induk
adalah salah satu syarat administrasi yang harus dipenuhi. Elit Jawa Barat, terutama para sesepuh
Silivangi, militer, dan tokoh masyarakat Sunda lainnya, menolak pemekaran atau pembentukan
Provinsi Banten karena berharap Jawa Barat tetap utuh. persaingan antar parpol khususnya
Golkar dan PDI-P. Proses politik pembentukan Provinsi Banten diusung oleh Golkar. Golkar
menginginkan dukungan politik karena pada pemilu 1999 perolehan suara Golkar di daerah
Banten menurun bahkan kalah dari PDI-P.
Faktor sejarah, etnis, ekonomi, dan politik merupakan semua faktor yang berkontribusi
terhadap gagasan pembentukan Provinsi Banten, sekaligus menjadi sumber konflik antara elit
Banten dan Jawa Barat. Faktor sejarah menjelaskan bahwa konflik antara Banten dan Jawa Barat
memiliki sejarah konflik yang panjang sejak berdirinya Kesultanan Banten, yang kemudian
mengancam keberadaan kerajaan Sunda saat itu. Faktor etnis muncul dengan menguatnya
identitas etnis Banten, yang memandang etnis Banten berbeda dari orang Sudan dengan segala
perbedaan nilai dan budaya yang mereka miliki, yang juga berkontribusi pada konflik antara elit
Banten dan Barat. elit jawa. Pada masa pembentukan Provinsi Banten sering diucapkan kalimat:
"Banten-Urang berbeda dengan Urang Sunda". Konflik etnis ini tercermin dari munculnya
diskriminasi dalam penempatan pejabat strategis birokrasi di Banten yang diduduki oleh kaum
Priyangan hingga berakhirnya rezim Orde Baru. Faktor ekonomi dilatarbelakangi oleh
ketertinggalan pembangunan sosial ekonomi Banten dari kabupaten/kota lain di Jawa Barat. Hal
ini menimbulkan anggapan bahwa masyarakat Banten menerima ketidakadilan sosial ekonomi.
Hal ini juga menyebabkan konflik antara Banten dan Jawa Barat.
Faktor politik dikaitkan dengan keberhasilan elit lokal Banten dalam memanfaatkan
momen perubahan kehidupan politik di Indonesia, yaitu munculnya demokratisasi. Elit politik
Banten memperjuangkan kepentingan politiknya dalam rangka memperjuangkan dan
mengkonsolidasikan lingkup pengaruh, membentuk Provinsi Banten, di samping kepentingan
ekonomi, kedudukan dan penguasaan atas sumber daya lainnya. Selain itu, ada kepentingan
politik elit politik nasional, baik parpol (khususnya Golkar) maupun presiden, yang mendorong
gagasan pembentukan Provinsi Banten, sedangkan pihak Jawa Barat tidak setuju dengan hal
tersebut. Walaupun demikian, pada akhirnya elite Banten berhasil menghegemoni pengaruh-
pengaruh yang memiliki andil penting dalam penyelenggaraan proses pemekaran Provinsi yaitu
fraksi yang terdapat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan juga pemerintah pusat.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan pengkajian dan pendalaman terkait kasus elit yang terjadi di Banten secara
historis dan teoritis, dapat disimpulkan bahwa:
Terdapat faksi-faksi elit dalam proses pembentukan Provinsi Banten yang terbelah antara
kubu pro dan kontra. Pihak yang mendukun proses pemekaran Provinsi Banten adalah kelompok
yang tergabung dalam elite informal yang terdiri atas masyarakat, anggota partai politik, DPRD,
dan elite lainnya yang tergabung dalam pemerintahan lokal. Elite yang mendukung pemekaran
Provinsi Banten ini lebih lanjut terbagi menjadi dua kelompok yaitu Pokja PPB dan Panitia PPB.
Kemudian, pihak yang kontra akan pemekaran Provinsi Banten terdiri atas Pemerintah Provinsi
dan DPRD Jawa Barat.
Pertentangan antara elite yang terjadi dalam proses pemekaran Provinsi Banten dapat
diklasifikasikan menjadi dua pengaruh besar yaitu elite Banten dan elite Jawa Barat. Kedua elite
tersebut memiliki perbendaan kepentingan yang dilandasi faktor historis, budaya, sosial, dan
ekonomi. Berbagai macam kepentingan dan unsur perbedaan antara kedua belah pihak yang
berselisih tersebut menjadi akar dari perselisihan antara dua pengaruh besar dalam proses
pemekaran Provinsi Banten. Adapun dinamika yang terjadi memiliki pengaruh yang besar dalam
penyelenggaraan pemerintahan ketika itu.
Dinamika yang terjadi dalam proses pemekaran Provinsi Banten berimplikasi pada
stabilitas perpolitikan di tingkat nasional. Hal tersebut tercermin dari perbedaan pendapat antar
fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), walaupun pada akhirnya seluruh Fraksi yang ada
(Fraksi PDI-P, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PPP, Fraksi PKB, Fraksi Reformasi, Fraksi PBB,
Fraksi PDU, Fraksi TNI/POLRI, Fraksi KKI dan Fraksi PDKB) menyetujui pembentukan
Provinsi Banten. Persetujuan pemekaran Provinsi Banten yang diinisaisi oleh elite Banten dan
ditentang oleh elite Jawa Barat menemui beragam permasalahan dan rintangan dalam prosesnya.
DAFTAR PUSTAKA

Ariesa, P. (2020). Elit Lokal Banten dalam Pembangunan Desa.


Agustino, L., & Yusoff, M. A. (2010). Politik lokal di Indonesia: Dari otokratik ke reformasi
politik. Jurnal Ilmu Politik, Edisi, 21, 2010.
Dhyatmika, K. W., & Atmanti, H. D. (2013). Analisis Ketimpangan Pembangunan Provinsi
Banten Pasca Pemekaran (Doctoral dissertation, Fakultas Ekonomika dan Bisnis).
Fitri, A. (2019). Dinasti Politik pada Pemerintahan di Tingkat Lokal. KEMUDI: Jurnal Ilmu
Pemerintahan, 4(1), 91-111.
Ilham, T. (2019). Ulama dan Jawara dalam Dinamika Politik Lokal Banten. Jurnal
Politikologi, 7(1), 67-78.
Nuradhawati, R. (2019). Dinamika Sentralisasi Dan Desentralisasi Di Indonesia. Jurnal
Academia Praja, 2(01), 152-170.
Rohmah, N. S. (2018). Elit Dan Pemekaran Daerah; Konflik Antar Elit Dalam Proses
Pembentukan Provinsi Banten. CosmoGov: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 4(1), 90-105.

Anda mungkin juga menyukai