Disusun Oleh:
a. Latar Belakang
Ketidak adilan distribusi sumber daya politik dan ekonomi yang dilakukan Rezim
Orde Baru berakhir menjadi masalah besar dalam hubungan antara Pusat dan Daerah
yang harus dihadapi Pemerintahan B.J. Habibie. Pemerintahan B.J. Habibie bukan
tampil dari proses politik yang demokratis, tetapi kelanjutan dari penguasa
otoritarianisme Orde Baru H.M. Soeharto. Bahkan kabinet B.J. Habibie sebagian
besar dianggap sebagai petualang politik produk otoritarianisme yang mencoba hidup
di era demokratisasi.
Kelangkaan legitimasi politik Pemerintah Pusat ini menjadi momentum yang
sangat baik bagi masyarakat di daerah untuk menuntut perubahan menyangkut
hubungan Pusat-Daerah. Ada yang menuntut akses daerah yang lebih besar untuk
menikmati sumber daya alam daerah melalui kebijakan otonomi daerah yang seluas-
luasnya, ada yang menuntut perubahan bentuk negara, dari kesatuan ke federal,
bahkan ada yang menuntut untuk memisahkan diri menjadi negara merdeka.
Penelitian telah membuktikan, Pemerintah Orde Baru enggan menyerahkan beberapa
urusan, kekuasaan, dan tanggung jawab kepada daerah yang lebih rendah. Dalam hal
ini Pemerintah Daerah diberi kekuasaan luas untuk menjalankan fungsi perencanaan
dan pelaksanaan pembangunan, tetapi mereka tidak pernah memperoleh sumber
finansial yang cukup dan sumber daya manusia yang berkualitas.
Pendapatan asli daerah (PAD) yang kecil membuat Pemerintah Daerah tetap
mengandalkan sumber-sumber keuangan Pemerintah Pusat, sehingga mereka tetap
dibawah kontrol birokrasi Pusat. Kekurangan sumber finansial ini disebabkan antara
lain kekurangan prakarsa kebijakan dari Pemerintah Pusat untuk menambah jumlah
urusan dan wewenang Daerah Kabupaten/Kota dalam mengolah sumber-sumber
pendapatan yang lebih besar. Dengan sumber finansial yang kecil ini Pemerintah
Daerah menghadapi kesulitan dalam menutup biaya operasional mereka, dalam
melatih personel, membeli peralatan, melakukan penyempurnaan organisasi,
memperoleh bantuan teknik, dan memperluas jangkauan dan pelayanan kepada
masyarakat. Dana yang terbatas tidak memungkinkan mereka untuk meningkatkan
kapasitas administrasi mereka, dan tidak mendorong penetapan fungsi-fungsi baru
karena mereka khawatir tidak dapat menjalankan fungsi-fungsi itu secara efektif.
Pada gilirannya, kapasitas administrasi dapat mengurangi kemampuan mereka dalam
menarik pajak dan mengerahkan sumber-sumber pendapatan mereka. Situasi yang
demikian sama sekali tidak menguntungkan bagi upaya peningkatan pelayanan
kepada masyarakat dan usaha memperlancar gerakan pembangunan.
Adapun yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada,
diperlukan, tumbuh, dan berkembang di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan
otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban
sebagai konsekuensi yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan
pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat
yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan
serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah, serta antar daerah
dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
II. Pembahasan
a. Kajian
Implementasi kebijakan otonomi daerah di sini adalah pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Bandung Barat
sebagai daerah otonom baru, dan untuk memberikan arah pembangunan dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun, Pemerintah Kabupaten Bandung Barat telah
menetapkan berbagai kebijakan dan program pembangunan daerah yang tercantum
dalam Rencana Strategis 2008-2013, Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) Tahun 2008-2013.
Dalam kaitannya dengan penerapan di Kota Bandung, otonomi daerah inipun juga
memberikan dampak-dampak positif. Di kota berpenduduk 2,4 juta jiwa ini, asas-asas
Otonomi Daerah yang terdiri dari desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan diterjemahkan dalam Program Inovasi Pembangunan dan Pemberdayaan
Kewilayahan (PIPPK). Program yang bergulir sejak 2015 itu telah memberikan
signifikan bagi pemerataan pembangunan. Sebagai salah satu buktinya, PIPPK tahun
2018 yang telah banyak melahirkan infrastruktur baru di setiap wilayah. Ada 588.701
m2 jalan lingkungan yang diperbaiki, 106 unit Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu)
yang direhabilitasi, dan ada 339 unit WC umum yang dibangun untuk kepentingan
sanitasi.
Selain itu, dana PIPPK juga digunakan untuk merehabilitasi 491 unit kantor
lembaga kemasyarakatan, memperbaiki 31.107 m2 gorong-gorong dan saluran air,
serta membangun 26 unit sumur resapan. Warga juga secara mandiri membangun 606
unit gapura RW, memelihara 58 unit taman dan urban farming, memperbaiki 54 unit
rumah ibadah, dan menyalakan 154 unit penerangan jalan lingkungan. Tak hanya di
bidang infrastruktur, dana PIPPK juga digunakan untuk kegiatan sosial dan ekonomi,
seperti kegiatan keagamaan, lomba-lomba, pelatihan, pembinaan, dan sosialisasi
program pemerintah. Semua kegiatan tersebut menghabiskan dana Rp142,23 miliar
dari pagu anggaran sebesar Rp154,45 miliar di tahun 2018. Oleh karenanya, Wali
Kota Bandung Oded M. Danial mendukung pelaksanaan otonomi daerah.
Menurutnya, otonomi daerah menjadi salah satu upaya agar pembangunan bisa
tumbuh dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
“Dengan otonomi daerah ini kami diberi keleluasaan untuk membangun daerahnya
dengan semangat desentralisasi dan partisipasi aktif masyarakat,” ucap Oded usai
menjadi pembina Upacara Hari Otonomi Daerah di Plaza Balai Kota Bandung, Kamis
(25/4/2019). Prinsip-prinsip otonomi daerah sejalan dengan semangat PIPPK untuk
mendesentralisasikan pembangunan di wilayah-wilayah. Para lurah dan camat diberi
kewenangan untuk melaksanakan inovasi pembangunan di wilayahnya.
Oded mengatakan, tiga pilar Kota Bandung, yakni inovasi, kolaborasi, dan
desentralisasi, yang terus ditanamkan melalui berbagai program diharapkan mampu
mewujudkan visi Kota Bandung menjadi kota yang unggul, nyaman, sejahtera, dan
agamis. “Dengan 3 pilar ini kita betul-betul sudah berupaya mengimplementasikan
semangat otonomi Daerah ini,” imbuhnya. "Kenaikan harga biasanya disebabkan
kebutuhan komoditasnya yang meningkat. Jika suplainya aman, kenaikan itu masih
bisa dikendalikan dalam batas wajar. Menjadi masalah adalah saat permintaannya
tinggi, suplainya sedikit. Di kota Bandung masih dalam angka wajar," papar Kepala
Bidang Keamanan Pangan Dinas Pangan dan Pertanian (Dispangtan) Kota Bandung,
Ermariah dalam Bandung Menjawab di Balai Kota Bandung, Kamis (24/4/2019).
"Kami berkoordinasi dengan para pemasok daging sapi, ayam potong, telur buah-
buahan dan sayuran guna memastikan ketersediaan komoditas tersebut," lanjutnya.
Untuk menjaga ketersediaan sejumlah komoditas, Dispangtan sudah bekerja sama
dengan PD Pasar Bermartabat, Dinas Perdagangan dan Industri serta produsen
komoditas. Tak hanya menjelang Ramadan tetapi juga hingga Hari Raya Idulfitri
nanti. Berkaca pada data di Tahun 2018, konsumsi daging sapi bisa meningkat hingga
tujuh kali lipat, apalagi saat menjelang lebaran. "Normalnya, pemotongan sapi berada
di angka 85 ekor per hari. Jumlah tersebut naik menjadi 330 ekor per-hari saat
munggahan, dan mencapai 667 ekor per-hari saat H-2 Lebaran," papar Ermariah.
Sementara itu komoditas telur mengalami peningkatan permintaan konsumen,
terutama menjelang Lebaran. Hal itu karena banyaknya produsen makanan berupa
kue yang membutuhkan bahan pokok telur. Untuk meredam lonjakan harga
komoditas bahan pangan, Pemkot Bandung juga bersiap menggelar operasi pasar.
Sementara itu, Kepala Seksi Distribusi Pangan Dispangtan Kota Bandung, Asep
Rustian mengimbau kepada masyarakat Kota Bandung agar tidak “panic buying” saat
berbelanja untuk kebutuhan pangan jelang Ramadan. "Kenaikan harga juga bisa
disebabkan oleh konsumen yang mengalami panic buying, takut kehabisan, sehingga
angka permintaan komoditas melonjak. Jika tak dibarengi peningkatan suplai, hal ini
bisa berdampak pada kenaikan harga,” katanya. “Oleh karena itu, masyarakat tidak
perlu khawatir. Berbelanjalah sesuai kebutuhan. Suplai bahan pangan di Kota
Bandung aman. Dan kenaikan harganya masih dalam batas normal," imbuhnya.
Adapun konsep yang disarankan dari hasil penelitian ini adalah cara/pola dan
pendekatan yang komprehensif dan partisipatif dari dan kepada semua stakeholders
yang diawali dari perencanaan, dengan memperhatikan manfaat serta perubahan, baik
tingkat perubahan jangka pendek maupun jangka panjang merupakan syarat
keberhasilan implementasi kebijakan otonomi daerah khususnya di Kabupaten
Bandung Barat sebagai daerah otonom baru.
b. Opini
Menurut kelompok kami, otonomi daerah merupakan suatu hal yang
implementasinya dapat menimbulkan dampak baik jika pelaksanaannya dilakukan
sesuai dengan aturan dan kajian yang berlaku, serta disesuaikan dengan kebutuhkan
serta kewajiban dari pihak pemerintahan pusat dan daerah otonom itu sendiri.
Pada kaitannya dengan daerah otonom yang kami bahas di makalah ini, Bandung
sendiri telah merasakan beberapa keuntungan dan manfaat dengan menjadi salah satu
daerah otonom di Indonesia, yangmana penjelasannya telah diuraikan pada
Pembahasan di bagian sebelumnya pada makalah ini. Ditambah lagi dengan torehan
prestasi Bandung yang meraih nilai tertinggi berdasarkan hasil evaluasi Kementerian
Dalam Negeri, dari 57 daerah otonomi baru bentukan 2007-2009.
.Hal ini kemudian menurut kami dapat menjadi contoh maupun inspirasi yang baik
bagi daerah lainnya dalam menjalankan pemerintahan secara otonom atau secara
mandiri, tentunya kembali lagi dengan memerhatikan keseimbangan antara
kebutuhkan dan kewajiban daerah.
IV. Referensi Penulisan Makalah
https://jurnal.unpad.ac.id/sosiohumaniora/article/view/12137/6237
https://repository.uir.ac.id/841/1/%2819%29%20PROSIDING%20SEMNAS%20UMR
AH%20%28OTDA%202017%29%20.pdf
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/38685/uu-no-23-tahun-2014
https://kumparan.com/humas-kota-bandung/pippk-otonomi-daerah-ala-kota-bandung-
1qxi2tRZxn8/full