Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

“OTONOMI DAERAH BANDUNG”

Disusun Oleh:

Liana Marsiela (21B505012012)

Yasinta Putri Cinta (21B505012001)

Zaidan Taqiyuddin (21B505011023)

ITL TRISAKTI JAKARTA


I. Pendahuluan

a. Latar Belakang

Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2014 pasal 1 ayat 6 Otonomi Daerah


adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selama berlangsung pemerintahan Orde Baru, daerah tidak dapat berkembang


secara optimal karena sistem politik dan ekonomi yang dibangun pemerintah Orde
Baru sangat sentralistis. Segala kebijakan tentang daerah selalu diputuskan oleh
pusat. Daerah tidak memiliki kekuasaan untuk mengembangkan potensi daerahnya,
bahkan akhirnya menjadi sangat ”tergantung” dengan pusat. Kepentingan pusat untuk
terus mendominasi daerah berjalan beriringan dengan sistem politik yang cenderung
represif dan tidak demokratis. Rezim orde baru mengatur pemerintahan lokal secara
detail dan diseragamkan secara nasional. Organ-organ suprastruktur politik lokal
diatur secara terpusat dan seragam tanpa mengindahkan heterogenitas sistem politik
lokal yang telah eksis jauh sebelum terbentuk konsep kebangsaan Indonesia. Elite
pemerintahan lokal hanyalah sekedar kepanjangan tangan Pemerintah Pusat di
Daerah yang diberi kekuasaan besar untuk melakukan manuver politik untuk
menunjukkan pengabdiannya ke Pusat. Kepala Daerah dipersatukan dengan figur
Kepala Wilayah, yang proses pemilihannya banyak dikendalikan pusat.

Ketidak adilan distribusi sumber daya politik dan ekonomi yang dilakukan Rezim
Orde Baru berakhir menjadi masalah besar dalam hubungan antara Pusat dan Daerah
yang harus dihadapi Pemerintahan B.J. Habibie. Pemerintahan B.J. Habibie bukan
tampil dari proses politik yang demokratis, tetapi kelanjutan dari penguasa
otoritarianisme Orde Baru H.M. Soeharto. Bahkan kabinet B.J. Habibie sebagian
besar dianggap sebagai petualang politik produk otoritarianisme yang mencoba hidup
di era demokratisasi.
Kelangkaan legitimasi politik Pemerintah Pusat ini menjadi momentum yang
sangat baik bagi masyarakat di daerah untuk menuntut perubahan menyangkut
hubungan Pusat-Daerah. Ada yang menuntut akses daerah yang lebih besar untuk
menikmati sumber daya alam daerah melalui kebijakan otonomi daerah yang seluas-
luasnya, ada yang menuntut perubahan bentuk negara, dari kesatuan ke federal,
bahkan ada yang menuntut untuk memisahkan diri menjadi negara merdeka.
Penelitian telah membuktikan, Pemerintah Orde Baru enggan menyerahkan beberapa
urusan, kekuasaan, dan tanggung jawab kepada daerah yang lebih rendah. Dalam hal
ini Pemerintah Daerah diberi kekuasaan luas untuk menjalankan fungsi perencanaan
dan pelaksanaan pembangunan, tetapi mereka tidak pernah memperoleh sumber
finansial yang cukup dan sumber daya manusia yang berkualitas.

Pendapatan asli daerah (PAD) yang kecil membuat Pemerintah Daerah tetap
mengandalkan sumber-sumber keuangan Pemerintah Pusat, sehingga mereka tetap
dibawah kontrol birokrasi Pusat. Kekurangan sumber finansial ini disebabkan antara
lain kekurangan prakarsa kebijakan dari Pemerintah Pusat untuk menambah jumlah
urusan dan wewenang Daerah Kabupaten/Kota dalam mengolah sumber-sumber
pendapatan yang lebih besar. Dengan sumber finansial yang kecil ini Pemerintah
Daerah menghadapi kesulitan dalam menutup biaya operasional mereka, dalam
melatih personel, membeli peralatan, melakukan penyempurnaan organisasi,
memperoleh bantuan teknik, dan memperluas jangkauan dan pelayanan kepada
masyarakat. Dana yang terbatas tidak memungkinkan mereka untuk meningkatkan
kapasitas administrasi mereka, dan tidak mendorong penetapan fungsi-fungsi baru
karena mereka khawatir tidak dapat menjalankan fungsi-fungsi itu secara efektif.
Pada gilirannya, kapasitas administrasi dapat mengurangi kemampuan mereka dalam
menarik pajak dan mengerahkan sumber-sumber pendapatan mereka. Situasi yang
demikian sama sekali tidak menguntungkan bagi upaya peningkatan pelayanan
kepada masyarakat dan usaha memperlancar gerakan pembangunan.

Berdasarkan catatan kritis perjalanan otonomi daerah, khususnya selama


pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1974 yang dianggap sentralistik, maka MPR melalui
Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 mengamanatkan kepada Presiden untuk
menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
Kewenangan otonomi yang luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelesaikan
pemerintahaan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali
kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter
dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah. Disamping itu, kekuasaan otonomi mencakup pula
kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dari pelaksanaan
sampai dengan evaluasi.

Adapun yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada,
diperlukan, tumbuh, dan berkembang di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan
otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban
sebagai konsekuensi yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan
pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat
yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan
serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah, serta antar daerah
dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sehubungan dengan pelimpahan kewenangan dari Tap MPR diatas, sejarah


ketatanegaraan Indonesia telah memasuki babak baru dalam pelaksanaan otonomi
daerah dibawah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UUPD) dan
UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah (UU PKPD). Melalui kedua UU tersebut daerah diberi kesempatan luas untuk
mengatur daerahnya dengan ditopang pendanaan yang lebih memadai. Sejak
kelahiran Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang menggantikan Undang-undang
No. 5 Tahun 1974, masyarakat di daerah menyambut kehadiran Undang-Undang
tersebut dengan penuh harapan, apalagi setelah disusul dengan kelahiran Undang-
Undang No. 25 tahun 1999. Kehadiran dua undang-undang tersebut seperti saudara
kembar yang akan saling melengkapi dan menyempurnakan pelaksanaan otonomi
daerah, khususnya untuk mempersiapkan daerah di masa depan agar lebih otonom
dan demokratis. Ketika suasana hiruk pikuk terjadinya korupsi menjangkiti parlemen
dan eksekutif di daerah, dari Sabang sampai Merauke, lahirlah undang-undang baru
yakni UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang mencabut
pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 dan kemudian UU No.32 Tahun 2004 diganti
dengan UU No. 23 Tahun 2014.

Tantangan yang dihadapi negara dewasa ini adalah, bagaimana menemukan


keseimbangan yang tepat hubungan antara Pusat dan Daerah dalam Negara Kesatuan
dan menghubungkan keduanya dengan cara yang dapat mendukung pembangunan
secara efektif. Dengan penerapan Otonomi Daerah banyak peluang yang dapat
dimanfaatkan oleh daerah dengan cara menggali potensi-potensi daerah secara
maksimal untuk kepentingan daerah. Akan tetapi di pihak lain ada hambatan dan
kendala dalam pelaksanaan otonomi daerah ini yang salah satunya adalah masalah
kesiapan daerah dalam hal ketersediaan sumber daya manusia yang mampu
mengimplementasikan otonomi daerah dengan baik dan maksimal.

II. Pembahasan
a. Kajian
Implementasi kebijakan otonomi daerah di sini adalah pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Bandung Barat
sebagai daerah otonom baru, dan untuk memberikan arah pembangunan dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun, Pemerintah Kabupaten Bandung Barat telah
menetapkan berbagai kebijakan dan program pembangunan daerah yang tercantum
dalam Rencana Strategis 2008-2013, Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) Tahun 2008-2013.

Selama periode 2008-2012 laju peningkatan IPM Kabupaten Bandung Barat


cenderung mengalami percepatan walaupun diantara ketiga bidang tersebut daya
beli masyarakat mempunyai indeks yang lebih kecil dibandingkan dengan indeks-
indeks lainnya. Pada tahun 2009-2010, IPM mengalami peningkatan 0,50 poin,
selanjutnya mengalami peningkatan percepatan dengan laju peningkatan 0,35 poin
pada tahun 2011-2012, namun peningkatan IPM di Kabupaten Bandung Barat ini
tidak semata-mata menunjukan bahwa pembangunan di bidang pendidikan,
kesehatan dan perekonomian di Kabupaten Bandung Barat telah berhasil, masih
banyak kendala-kendala di lapangan yang masih memerlukan kerja ekstra dari
pemerintah daerah guna mewujudkan tujuan dari implementasi kebijakan otonomi
daerah di Kabupaten Bandung Barat. Mengingat banyaknya permasalahan,
kekurangan dan realisasi yang belum sesuai harapan/target dalam implementasi
kebijakan otonomi daerah di Kabupaten Bandung Barat ini maka perlu dilihat atau
perlu dikaji faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan otonomi
daerah di Kabupaten Bandung Barat sebagai daerah otonom baru di bidang
pendidikan, kesehatan dan perekonomian.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan otonomi


daerah di kabupaten Bandung Barat seperti isi kebijakan yang di dalamnya terdapat
kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan, jenis manfaat, tingkat perubahan
yang diharapkan, posisi atau letak pengambilan keputusan, implementor program,
serta sumber-sumber yang dilibatkan. Selain isi kebijakan, terdapat pula faktor
konteks kebijakan yang di dalamnya terdapat kekuasaan, kepentingan, dan strategi
dari para pelaku atau aktor yang terlibat, karakteristik lembaga dan pemerintah, serta
pemenuhan dan daya tanggap.

Dalam kaitannya dengan penerapan di Kota Bandung, otonomi daerah inipun juga
memberikan dampak-dampak positif. Di kota berpenduduk 2,4 juta jiwa ini, asas-asas
Otonomi Daerah yang terdiri dari desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan diterjemahkan dalam Program Inovasi Pembangunan dan Pemberdayaan
Kewilayahan (PIPPK). Program yang bergulir sejak 2015 itu telah memberikan
signifikan bagi pemerataan pembangunan. Sebagai salah satu buktinya, PIPPK tahun
2018 yang telah banyak melahirkan infrastruktur baru di setiap wilayah. Ada 588.701
m2 jalan lingkungan yang diperbaiki, 106 unit Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu)
yang direhabilitasi, dan ada 339 unit WC umum yang dibangun untuk kepentingan
sanitasi.

Selain itu, dana PIPPK juga digunakan untuk merehabilitasi 491 unit kantor
lembaga kemasyarakatan, memperbaiki 31.107 m2 gorong-gorong dan saluran air,
serta membangun 26 unit sumur resapan. Warga juga secara mandiri membangun 606
unit gapura RW, memelihara 58 unit taman dan urban farming, memperbaiki 54 unit
rumah ibadah, dan menyalakan 154 unit penerangan jalan lingkungan. Tak hanya di
bidang infrastruktur, dana PIPPK juga digunakan untuk kegiatan sosial dan ekonomi,
seperti kegiatan keagamaan, lomba-lomba, pelatihan, pembinaan, dan sosialisasi
program pemerintah. Semua kegiatan tersebut menghabiskan dana Rp142,23 miliar
dari pagu anggaran sebesar Rp154,45 miliar di tahun 2018. Oleh karenanya, Wali
Kota Bandung Oded M. Danial mendukung pelaksanaan otonomi daerah.
Menurutnya, otonomi daerah menjadi salah satu upaya agar pembangunan bisa
tumbuh dengan melibatkan partisipasi masyarakat.

“Dengan otonomi daerah ini kami diberi keleluasaan untuk membangun daerahnya
dengan semangat desentralisasi dan partisipasi aktif masyarakat,” ucap Oded usai
menjadi pembina Upacara Hari Otonomi Daerah di Plaza Balai Kota Bandung, Kamis
(25/4/2019). Prinsip-prinsip otonomi daerah sejalan dengan semangat PIPPK untuk
mendesentralisasikan pembangunan di wilayah-wilayah. Para lurah dan camat diberi
kewenangan untuk melaksanakan inovasi pembangunan di wilayahnya.

Oded mengatakan, tiga pilar Kota Bandung, yakni inovasi, kolaborasi, dan
desentralisasi, yang terus ditanamkan melalui berbagai program diharapkan mampu
mewujudkan visi Kota Bandung menjadi kota yang unggul, nyaman, sejahtera, dan
agamis. “Dengan 3 pilar ini kita betul-betul sudah berupaya mengimplementasikan
semangat otonomi Daerah ini,” imbuhnya. "Kenaikan harga biasanya disebabkan
kebutuhan komoditasnya yang meningkat. Jika suplainya aman, kenaikan itu masih
bisa dikendalikan dalam batas wajar. Menjadi masalah adalah saat permintaannya
tinggi, suplainya sedikit. Di kota Bandung masih dalam angka wajar," papar Kepala
Bidang Keamanan Pangan Dinas Pangan dan Pertanian (Dispangtan) Kota Bandung,
Ermariah dalam Bandung Menjawab di Balai Kota Bandung, Kamis (24/4/2019).
"Kami berkoordinasi dengan para pemasok daging sapi, ayam potong, telur buah-
buahan dan sayuran guna memastikan ketersediaan komoditas tersebut," lanjutnya.
Untuk menjaga ketersediaan sejumlah komoditas, Dispangtan sudah bekerja sama
dengan PD Pasar Bermartabat, Dinas Perdagangan dan Industri serta produsen
komoditas. Tak hanya menjelang Ramadan tetapi juga hingga Hari Raya Idulfitri
nanti. Berkaca pada data di Tahun 2018, konsumsi daging sapi bisa meningkat hingga
tujuh kali lipat, apalagi saat menjelang lebaran. "Normalnya, pemotongan sapi berada
di angka 85 ekor per hari. Jumlah tersebut naik menjadi 330 ekor per-hari saat
munggahan, dan mencapai 667 ekor per-hari saat H-2 Lebaran," papar Ermariah.
Sementara itu komoditas telur mengalami peningkatan permintaan konsumen,
terutama menjelang Lebaran. Hal itu karena banyaknya produsen makanan berupa
kue yang membutuhkan bahan pokok telur. Untuk meredam lonjakan harga
komoditas bahan pangan, Pemkot Bandung juga bersiap menggelar operasi pasar.
Sementara itu, Kepala Seksi Distribusi Pangan Dispangtan Kota Bandung, Asep
Rustian mengimbau kepada masyarakat Kota Bandung agar tidak “panic buying” saat
berbelanja untuk kebutuhan pangan jelang Ramadan. "Kenaikan harga juga bisa
disebabkan oleh konsumen yang mengalami panic buying, takut kehabisan, sehingga
angka permintaan komoditas melonjak. Jika tak dibarengi peningkatan suplai, hal ini
bisa berdampak pada kenaikan harga,” katanya. “Oleh karena itu, masyarakat tidak
perlu khawatir. Berbelanjalah sesuai kebutuhan. Suplai bahan pangan di Kota
Bandung aman. Dan kenaikan harganya masih dalam batas normal," imbuhnya.

III. Kesimpulan & Opini


a. Kesimpulan

Implementasi Kebijakan otonomi daerah di Kabupaten Bandung Barat pada


prinsipnya dilaksanakan sesuai dengan program-program atau kegiatan yang
mengacu pada pelaksanaan misi RPJMD 2008-2013 yang ditetapkan dengan
Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat No 4 Tahun 2009 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) 2008-2013, dimana hasil implementasi
kebijakan otonomi daerah berdasarakan perkembangan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) yang terdiri dari bidang pendidikan, kesehatan dan daya beli
masyarakat menunjukkan kenaikan atau peningkatan indeks dari tahun ke tahun,
tetapi secara faktual masih banyak kekurangan di lapangan dan belum efektif
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Bandung Barat.

Adapun konsep yang disarankan dari hasil penelitian ini adalah cara/pola dan
pendekatan yang komprehensif dan partisipatif dari dan kepada semua stakeholders
yang diawali dari perencanaan, dengan memperhatikan manfaat serta perubahan, baik
tingkat perubahan jangka pendek maupun jangka panjang merupakan syarat
keberhasilan implementasi kebijakan otonomi daerah khususnya di Kabupaten
Bandung Barat sebagai daerah otonom baru.

b. Opini
Menurut kelompok kami, otonomi daerah merupakan suatu hal yang
implementasinya dapat menimbulkan dampak baik jika pelaksanaannya dilakukan
sesuai dengan aturan dan kajian yang berlaku, serta disesuaikan dengan kebutuhkan
serta kewajiban dari pihak pemerintahan pusat dan daerah otonom itu sendiri.

Pada kaitannya dengan daerah otonom yang kami bahas di makalah ini, Bandung
sendiri telah merasakan beberapa keuntungan dan manfaat dengan menjadi salah satu
daerah otonom di Indonesia, yangmana penjelasannya telah diuraikan pada
Pembahasan di bagian sebelumnya pada makalah ini. Ditambah lagi dengan torehan
prestasi Bandung yang meraih nilai tertinggi berdasarkan hasil evaluasi Kementerian
Dalam Negeri, dari 57 daerah otonomi baru bentukan 2007-2009.

.Hal ini kemudian menurut kami dapat menjadi contoh maupun inspirasi yang baik
bagi daerah lainnya dalam menjalankan pemerintahan secara otonom atau secara
mandiri, tentunya kembali lagi dengan memerhatikan keseimbangan antara
kebutuhkan dan kewajiban daerah.
IV. Referensi Penulisan Makalah

https://jurnal.unpad.ac.id/sosiohumaniora/article/view/12137/6237

https://repository.uir.ac.id/841/1/%2819%29%20PROSIDING%20SEMNAS%20UMR
AH%20%28OTDA%202017%29%20.pdf

https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/38685/uu-no-23-tahun-2014

https://kumparan.com/humas-kota-bandung/pippk-otonomi-daerah-ala-kota-bandung-
1qxi2tRZxn8/full

Anda mungkin juga menyukai