PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
I
Faktor ketiga adalah faktor peralatan yang merupakan sarana pendukung bagi
terselenggaranya aktivitas pemerintahan daerah. Peralatan yang ada haruslah cukup dari segi
jumlahnya, memadai dari segi kualitasnya dan praktis dari segi penggunaannya. Syarat-syarat
peralatan semacam inilah yang akan sangat berpengaruh terhadap penyelenggaraan pemerintahan
daerah.
Faktor keempat adalah faktor organisasi dan manajemen. Tanpa kemampuan organisasi
dan manajemen yang memadai penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat dilakukan dengan
baik, efisien, dan efektif.oleh sebab itu perhatian yang sungguh-sunggguh terhadap masalah ini
dituntut dari para penyelenggara pemerintahan daerah.
Sejarah perkembangan Otonomi Daerah membuktikan bahwa keempat faktor tersebut di
atas masih jauh dari yang diharapkan. Karenanya Otonomi Daerah masih menunjukkan sosoknya
yang kurang menggembirakan.oleh sebab itu apabila kita berkeinginan untuk merealisasi cita-
cita Otonomi Daerah maka pembenahan dan perhatian yang sungguh-sungguh perlu diberikan
kepada empat faktor di atas.
B. Tujuan Penulisan
Dengan adanya otonomi daerah diharapkan daerah tingkat I maupun Tingkat II mampu
mengelola daerah nya sendiri. Untuk kepentingan rakyat dan untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat secara sosial ekonomi yang merata.
C. Rumusan Masalah
2
I
BAB II
PEMBAHASAN
Otonomi daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan
pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
1. Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai
kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang
berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia
tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
2. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar
1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa
Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di
bidang ketatanegaraan.
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia
berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian
kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan
mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat
pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II) dengan beberapa dasar
pertimbangan:
1. Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi objektif di
daerah;
2. Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar
pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
3. Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan
maju
3
I
B. Latar Belakang Otonomi Daerah
Krisis ekonomi dan politik yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 telah memporak-
porandakan hampir seluruh sendi-sendi ekonomi dan politik negeri ini yang telah dibangun
cukup lama. Lebih jauh lagi, krisis ekonomi dan politik, yang menjadi multikrisis, telah
mengakibatkan semakin rendahnya tingkat kemampuan dan kapasitas negara dalam menjamin
kesinambungan pembangunan. Krisis tersebut salah satunya disebabkan oleh sistem manajemen
negara dan pemerintahan yang sentralistik, dimana kewenangan dan pengelolaan segala sektor
pembangunan berada dalam kewenangan pemerintah pusat, sementara daerah tidak memiliki
kewenangan untuk mengelola dan mengatur daerahnya.
Sebagai respons dari krisis tersebut, pada masa reformasi dicanangkan suatu kebijakan
restrukturisasi sistem pemerintahan yang cukup penting, yaitu melaksanakan otonomi daerah dan
pengaturan perimbangan keuangan antarpusat dan daerah.
Tujuan dilaksanakannya otonomi daerah menurut pendapat beberapa ahli adalah sebagai
berikut:
1. Dilihat dari segi politik, penyelenggaraan otonomi daerah dimaksudkan untuk mencegah
penumpukan kekuasaan di pusat dan membangun masyarakat yang demokratis, untuk
menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan, dan melatih diri dalam menggunakan hak-
hak demokrasi.
2. Dilihat dari segi pemerintahan. Penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk mencapai
pemerintahan yang efisien.
3. Dilihat dari segi sosial budaya, penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan agar
perhatian lebih fokus kepada daerah.
4. Dilihat dari segi ekonomi, otonomi perlu diadakan agar masyarakat dapat turut
berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi di daerah masing-masing.
4
I
Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku. Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak,
berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-
daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
5
I
pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5
Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat.
6
I
serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan
menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
5. Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan
melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama
ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah provinsi dengan
kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah
kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang
didelegasikan kepadanya.
6. Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam
hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan
wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas
tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah provinsi, kabupaten, kota dan desa.
Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada
daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
7. Wilayah Provinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis
pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut
sebatas 1/3 wilayah laut provinsi.
8. Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang
DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran
dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD.
Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
9. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai
pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang
berwenang.
10.Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial
budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang
memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu
menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain.
Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan
undang-undang.
11.Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama
pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
12.Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian,
penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.
13.Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada provinsi otonomi
yang terbatas. Kewenangan yang ada pada provinsi adalah otonomi yang bersifat lintas
Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau
diselenggarakan dengan pola kerja sama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya
kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan
kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala provinsi termasuk
berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
14.Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara
membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten
sendiri maupun melalui berkerja sama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain
DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari
7
I
Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis
Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan
dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan
lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur,
Pembantu Bupati/Wali Kota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.
15.Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta
Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua)
kali tidak dapat diterima oleh DPRD.
UU No. 22 Tahun 1999 yang berlaku sejak diundangkan tanggal 7 Mei 1999 mencabut
berlakunya UU No.5 Tahun 1974, terhitung mulai tanggal 7 Mei 1999. Dalam pasal 132 ayat (2)
UU No.22 Tahun 1999 dinyatakan bahwa pelaksanaan undang-undang ini dilakukan secara
efektif selambat-lambatnya dalam waktu 2 (dua) tahun sejak ditetapkannya undang-undang ini,
atau paling lambat tanggal 7 Mei 2001. Melalui UU No.22 tahun 1999 terdapat paradigma baru
dalam pelaksanaan otonomi daerah, karena undang-undang tersebut meletakkan otonomi daerah
secara luas pada daerah Kabupaten dan Kota berdasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran
serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta memperhatikan provinsi dan keanekaragaman
daerah.
Banyak hal baru yang diakomodasi oleh UU No.22 tahun 1999, salah satunya adalah
pemisahan antara lembaga legislatif dan eksekutif di daerah dalam bentuk susun pemerintahan
daerah. Sebelumnya kedua lembaga tersebut merupakan satu kesatuan yang disebut pemerintah
daerah.Menyertai pemisahan kedua lembaga tersebut maka kepada DPRD diberikan tugas, hak
dan wewenang yang sangat luas dan menuansa parlementarian.Misalnya, hak DPRD untuk
meminta pertanggung jawaban Kepala Daerah atas suatu kasus disamping itu kepada Kepala
Daerah diberi kewajiban untuk menyampaikan pertanggung jawaban kepada DPRD setiap akhir
tahun anggaran. Ketentuan tersebut membuka peluang terjadinya penolakan kepada DPRD yang
dapat berujung pada upaya pemberhentian terhadap Kepala Daerah justru dengan pemberian
kekuasaan yang lebih besar kepada DPRD malah memicu terjadinya konflik berkepanjangan
antara kepala daerah dan DPRD.
Idealnya antara dua kekuasaan pemerintah daerah, yakni kepala daerah dan DPRD
berlaku pola hubungan kemitraan terutama dalam pelaksanaan fungsi legislasi dan fungsi
anggaran. Sedang dalam fungsi pengawasan melalui pemberian kewenangan yang besar kepada
DPRD dimaksudkan agar terjadi mekanisme check and balance yang sehat dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Penerapan UU No.22 tahun 1999 oleh sementara
kalangan dinilai terlalu liberal dan parlementarian sehingga menimbulkan kontrofersi dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia pada era reformasi. Sehubungan dengan hal
tersebut kemudian muncul gagasan agar dilakukan reduksi terhadap kekuasaan DPRD agar
seimbang dan tidak terjadi dominasi diantara salah satu pemegang kekuasaan terhadap
kekuasaan yang lain, sehingga akan tercipta harmoni antara kepala daerah dan DPRD dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah guna menuju terciptanya kesejahteraan rakyat di daerah
bersangkutan. Dalam rangka pelaksanaan asas dan prinsip desentralisasi, ketentuan pasal 4 ayat
8
I
(1) UU No.22 tahun 1999 menyatakan bahwa pembagian daerah Indonesia dibentuk dan disusun
Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, yang berwenang yang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Reformasi atau perubahan yang sangat mendasar terkait sistem pemerintahan daerah
menurut UU No.22 tahun 1999 selain memperkuat desentralisasi adalah, pertama, hubugnan
antara lembaga legislatif (DPRD) dengan Eksekutif (Kepala Daerah) didasarkan pada
prinsip check and balance.Kedua lembaga tersebut mempunyai kedudukan yang sederajat
dengan kewenangan yang berbeda.Kepala Daerah dipilih oleh DPRD dan bertanggung jawab
kepada DPRD.Hal ini lebih memperkuat posisi DPRD di hadapan Kepala Daerah, yang sudah
barang tentu berbeda dengan sistem yang berlaku menurut UU No. 5 Tahun 1974.DPRD
merupakan mitra Kepala Daerah dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah.Kepala Daerah
mempertanggung jawabkan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada DPRD setiap tahun
pada akhir masa jabatan.Kedua, pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah dilaksanakan sesuai prinsip kelayakan, keseimbangan dan keadilan.Artinya porsi
perolehan daerah dalam pembagian keuangan menjadi lebih besar di banding pada masa orde
baru.Hal ini diatur dalam UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Pembagian Keuangan
antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah. Dengan perolehan keuangan yang lebih
besar tersebut, baik dalam bentuk Dana Alokasi Umum maupun Dana Alokasi Khusus, maka
Pemerintah Daerah mendapat tambahan pemasukan di samping Penghasilan Asli Daerah (PAD),
sehingga lebih memungkinkan Pemerintah Daerah untuk lebih meningkatkan pelayanan dan
kesejahteraan bagi rakyat di daerah bersangkutan.
ada pula beberapa prinsip-prinsip otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam
penyelenggaraan pemerintah negara sebagaimana terdapat dalam UU No. 22 Tahun 1994 adalah
sebagai berikut:
9
I
7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakan pada daerah propinsi dalam kedudukannya
sebagai wilayah administrasi utuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang
dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah.
8. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada
daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan
pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban
melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.
Hal-hal yang membedakan UU No.22 Tahun 1999 dengan undang-undang sebelumya antara
lain:
1. Dalam UU No. 5 Tahun 1974 lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban
dari pada hak, sedangkan dalam UU No.22 Tahun 1999 menekankan arti penting
kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui
prakarsa sendiri.
2. Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas
dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam UU No.5 Tahun 1974 tidak di
pergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan
bertanggung jawab.
3. Dalam UU No.22 Tahun 1999 otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah
otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu Daerah Kabupaten dan Kotamadya
yang sebelumnya berkedudukan sebagai daerah Tk.II atau Daerah Kabupaten dan Daerah
Kota.
4. Sistem otonomi yang dianut dalam UU No. 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas,
nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah diserahkan kepada
daerah secara utuh, kecuali bidang-bidang tertentu.
5. Daerah Otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan
melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat setempat.
6. Daerah Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom.
7. Wilayah Provinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari
pangkal pantai, sedangkan wilayah Kabupaten atau Kota yang berkenaan dengan wilayah
laut sebatas 1/3 wilayah laut Provinsi.
8. Gubernur selaku kepala wilayah administrative bertanggung jawab kepada Presiden,
sedangkan selaku kepala daerah bertanggung jawab kepada DPRD.
9. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD Sesuai
pedoman yang ditetapkan pemerintah, dan tidak perlu di sahkan oleh pejabat yang
berwenang.
10. Daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau
digabung dengan daerah lain. Suatu daerah dapat di mekarkan menjadi lebih dari satu
daerah yang ditetapkan dengan undang-undang.
10
I
F. Implementasi Otonomi Daerah
Implementasi otonomi daerah bagi daerah tingkat 1 dan tingkat 2, seiring dengan
pelimpahan wewenang pemerintah pusat dapat dikelompokkan dalam lima bidang yaitu
implementasi dalam pembinaan wilayah, pembinaan sumber daya manusia, penanggulangan dan
percepatan penurunan kemiskinan, penataan hubungan fungsional antara DPRD dan pemerintah
daerah, serta peningkatan koordinasi atau kerja sama tim (team work).
11
I
satu partai pada zaman ORBA, sehingga mendorong PNS bermain politik praktis
atau tersembunyi, (b) prose rekrutmen PNS masih tidak sesuai dengan ketentuan
yang ada berdasarkan jenis dan persyaratan pekerjaan, (c) rendahnya tingkat
kesejahteraan, (d) penempatan dan jenjang karir tidak berdasarkan jenjang karir
dan bidang keahlian, dan (e) PNS terkesan kurang ramah, kurang informatif, dan
lamban dalam memberikan pelayanan.
2. Dalam era otonomi, daerah harus mempersiapkan SDM untuk memenuhi
kebutuhan dan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas. Pemerintah membutuhkan
PNS yang tanggap, responsip, kreatif, dan bekerja secara efektif.
3. Untuk menunjang kinerja daerah dalam rangka kerja sama antar daerah dan pusat,
pemda membutuhkan SDM yang mempunyai kemampuan mengembangkan
jaringan dan kerja sam tim, dan mempunyai kualitas kerja yang tinggi.
4. Untuk pembinaan SDM, pemda diharapkan: (1) membuat struktur organisasi yang
terbuka, (2) menyediakan media untuk PNS berkreatif dan membuat terobosan
baru, (3) mendorong PNS berani mengambil resiko, (4) memberikan penghargaan
bagi yang berhasil, (5) mengembangkan pola komunikasi yang efektif antar PNS,
(6) membangu suasana kerja di PNS yang inovatif, (7) mengurangi hambatan
birokrasi, (8) mencegah tindakan intervensi yang mengganggu proses kerja
profesional; dan (9) mendelegasikan tanggung jawab dengan baik.
5. Memperbaiki cara kerja birokrasi dengan cara memberikan teladan, membuat
perencanaan, melaksanakan kerja denga pengawasan yang memadai, menentukan
prioritas, memecahkan masalah dengan inoivatif, melakukan komunikasi lisan
dan tulisan, melakukan hubungan antar pribadi, dan memperhatikan waktu
kehadiran dan kretaivitas.
6. Mengurangi penyimpangan pelayanan birokrasi. Pelayanan pemerintah sering kali
banyak mengalami penyimpangan yang disebabkan sistem birokrasi, atau
keinginan menambah penghasilan dari pegawai. Pemda harus melakukan
perbaikan dengan: menegakan disiplin pegawai dengan memberikan penghargaan
dan sanksi, memberikan pelayanan yang berorientasi pelanggan, menetapkan
tanggung jawab dengan jelas, dan mengembangkan budaya birokrasi yang bersih,
serta memberikan pelayanan cepat dan tepat dengan biaya murah.
12
I
3. Program penanggulangan kemiskinan harus dilakukan berdasarka karakter
penduduk dan wilayah, dengan melakukan koordinasi antar-instansi yang terkait.
4. Pembangunan dalam rangka penanggulangan kemiskinan harus mengedepankan
peran masyarakat dan sektor swasta, dengan melakukan ivestasi yang dapat
menyerap tenaga kerja dan pasar bagi penduduk miskin.
5. Membangun paradigma baru tentang peranan pemda, yaitu dari pelaksana
menjadi fasilitor, memberikan interuksi menjadi melayani, mengatur menjadi
memberdayakan masyarakat, bekerja memenuhi aturan menjadi bekerja untuk
mencapai misi pembangunan.
6. Dalam pemberdayan masyarakat, peranan pemda adalah memberikan legitimasi
kepada LSM dan masyarakat penerima bantuan, menjadi penengah apabila terjadi
konflik, mendorong peningkatan kemampuan keluarga miskin, turut
mengendalikan pembangunan fisik, dan memberikan sosialisasi gerakan terpadu
pengentasan kemiskinan.
7. Pemda dalam rangka percepatan penanggulangan kemiskinan dapat mengambil
kebijakan keluarga, yaitu mendata dengan benar karakter keluarga miskin,
mengidentifikasi tipe dan pola keluarga miskin, melakukan intervensi kebijakan,
yang meliputi kebijakan penyediaan sumber daya melalui pendidikan dan
pelatihan, menyediakan program yang mendorong kesempatan kerja, dan
menyediakan program untuk membangun lingkungan fisik masyarakat miskin,
seperti prasarana jalan, jembatan, perumahan, listrik dan air bersih, dan pada
tahap akhir pemda melakukan evaluasi efektivitas dari pelaksanaan
penanggulangan kemiskinan.
4. Implementasi Otonomi Daerah dalam Hubungan Fungsional Eksekutif dan
Legislatif
1. Hubungan eksekutif (pemda) dan legislatif (DPRD) dalam era otonomi mencuat
dengan munculnya ketidakharmonisan antara pemda dan DPRD.
Ketidakharmonisan dipicu oleh interprestasi dari UU nomor 22 tahun 1999, yang
menyatakan peran legislatif lebih dominan dibandingkan peran pemda, dan hal ini
bertentangan dengan kondisi sebelumnya, dimana pemda lebih dominan daripada
DPRD.
2. Ketidakharmonisan harus dipecahkan dengan semangat otonomi, yaitu pemberian
wewenang kepada daerah untuk mengatur daerahnya dalam menjawab
permasalahan rakyat, yang meliputi administrasi pemrintahan, pembangunan, dan
pelayanan publik.
3. Asas dalam otonomi menurut UU No. 22 tahun 1994 adalah: (1) penyerahan
wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, kecuali dalam bidang
hankam, luar negeri, peradilan, agama, mpneter, dan fiskal, (2) pelimpahan
wewenang pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, dan
(3) pembantuan yaitu penugasan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
untuk melaksanakan tugas teretentu yang disertai pembiayaan, sarana dan
prasarana, serta SDM, dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan
pertanggungjawaban kepada pemerintah pusat.
4. Kepala daerah mempunyai wewenang memimpin penyelenggaraan pemerintah
daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan DPRD, bertanggung jawab kepada
13
I
DPRD, dan menyampaikan laporan atas penyelenggaraan pemerintah daerah
kepada presiden melalui mendagri, minimal satu tahun sekali melalui gubernur.
5. DPRD dalam era otonomi mempunyai wewenang dan tugas: memilih
gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati atau walikota/ wakil walikota,
membentuk peraturan daerah, menetapkan anggaran pendapatan belanja daerah,
melaksankan pengawasan. Memberikan saran pertimbangan terhadap perjanjian
internasional menyangkut kepentingan daerah, serta menampung dan
menindaklanjuti aspirasi rakyat.
6. Kepala daerah dan DPRD dalam melakukan tugasnya dapat melakukan
komunikasi yang intensuf, baik untuk tukar menukar informasi, dan
pengembangan regulasi maupun klarifikasi suatu masalah.
7. Prinsip kerja dalam hubungan antara DPRD dengan kepala daerah adalah: proses
pembuatan kebijakan transparan, pelaksanaan kerja melalui mekanisme
akuntabilitas, bekerja berdasarkan susduk, yang mencakup kebijakan, prosedur
dan tata kerja, menjalankan prinsip kompromi, dan menjunjung tinggi etika.
14
I
Terkait dengan implementasi otonomi daerah, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
untuk keberhasilan otonomi daerah, yaitu:
15
I