Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia para founding fathers telah


menjatuhkan pilihannya pada prinsip pemencaran kekuasaan dalam penyelenggaraan
pemerintahan Negara.
Cita desentralisasi ini senantiasa menjadi bagian dalam praktek pemerintahan Negara
sejak berlakunya UUD 1945, terus memasuki era Konstitusi RIS, UUDS 1950 sampai pada era
kembali ke UUD 1945 yang dikukuhkan lewat Dekrit Presiden 5 juli 1959.
Garis perkembangan sejarah tersebut membuktikan bahwa cita desentralisasi senantiasa
dipegang teguh oleh Negara Republik Indonesia, sekalipun dari satu periode ke periode lainnya
terlihat adanya perbedaan dalam intensitasnya.
Sebagai  perwujudan dari cita desentralisasi tersebut, maka langkah-langkah penting
sudah dilakukan oleh pemerintah. Lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang pemerintahan daerah membuktikan bahwa keinginan untuk mewujudkan cita-
cita ini terus berlanjut. Sekalipun demikia, kenyataan membuktikan bahwa cita tersebut masih
jauh dalam realisasinya. Otonomi daerah masih lebih sebagai harapan ketimbang sebagai
kenyataan yang telah terjadi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Otonomi Daerah
belumlah terwujud sebagaimana yang diharapkan. Kita nampaknya baru menuju kea rah
Otonomi Daerah yang sebenarnya.
Beberapa faktor-faktor yang  menetukan prospek otonomi daerah, diantaranya, yaitu :
Faktor Pertama adalah faktor manusia sebagai subyek penggerak (faktor dinamis) dalam
peenyelenggaraan otonomi daerah. Faktor manusia ini haruslah baik, dalam pengertian moral
maupun kapasitasnya. Faktor ini mencakup unsur pemerintah daerah yang terdiri dari Kepala
Daerah dan DPRD, aparatur daerah maupun masyarakat daerah yang merupakan lingkungan
tempat aktivitas pemerintahan daerah tersebut.
Faktor kedua adalah faktor keuangan yang merupakan tulang punggung bagi
terselenggaranya aktivitas pemerintahan  Daerah. Salah stu cirri daerah otonom adalah terletak
pada kemampuan self supportingnya / mandiri dalam bidang keuangan. Karena itu, kemampuan
keuangan ini akan sangat memberikan pengaruh terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Sumber keuangan daerah yang asli, misalnya pajak dan retribusi daerah, hasilm
perusahaan daerah dan dinas daerah, serta hasil daerah lainnya yang sah, haruslah mampu
memberikan kontribusinya bagi keuangan daerah.

1
I
Faktor ketiga adalah faktor peralatan yang merupakan sarana pendukung bagi
terselenggaranya aktivitas pemerintahan daerah. Peralatan yang ada haruslah cukup dari segi
jumlahnya, memadai dari segi kualitasnya dan praktis dari segi penggunaannya. Syarat-syarat
peralatan semacam inilah yang akan sangat berpengaruh terhadap penyelenggaraan pemerintahan
daerah.
Faktor keempat adalah faktor organisasi dan manajemen. Tanpa kemampuan organisasi
dan manajemen yang memadai penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat dilakukan dengan
baik, efisien, dan efektif.oleh sebab itu perhatian yang sungguh-sunggguh terhadap masalah ini
dituntut dari para penyelenggara pemerintahan daerah.
Sejarah perkembangan Otonomi Daerah membuktikan bahwa keempat faktor tersebut di
atas masih jauh dari yang diharapkan. Karenanya Otonomi Daerah masih menunjukkan sosoknya
yang kurang menggembirakan.oleh sebab itu apabila kita berkeinginan untuk merealisasi cita-
cita Otonomi Daerah maka pembenahan dan perhatian yang sungguh-sungguh perlu diberikan
kepada empat faktor di atas.

B.     Tujuan Penulisan

Dengan adanya otonomi daerah diharapkan daerah tingkat I maupun Tingkat II mampu
mengelola daerah nya sendiri. Untuk kepentingan rakyat dan untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat secara sosial ekonomi yang merata.

C.    Rumusan Masalah

Makalah ini di buat dengan rumusan masalah:


1.       Apa itu Otonomi Daerah?
2.      Bagaimana latar belakang otonomi daerah?
3.      Apa tujuan dan prinsip otonomi daerah?
4.      Apa yang dicapai pada pelaksanaan otonomi daerah orde baru?
5.      Bagaimana otonomi daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999?
6. Apa saja yang dibahas dalam implementsi otonomi daerah?

2
I
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Otonomi Daerah

Otonomi daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan
pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:

1. Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai
kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang
berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia
tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
2. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar
1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa
Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di
bidang ketatanegaraan.
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia
berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian
kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan
mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat
pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II) dengan beberapa dasar
pertimbangan:

1. Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga


risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
2. Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat
relatif dapat lebih efektif;
3. Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah
yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:

1. Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi objektif di
daerah;
2. Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar
pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
3. Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan
maju

3
I
B. Latar Belakang Otonomi Daerah

Krisis ekonomi dan politik yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 telah memporak-
porandakan hampir seluruh sendi-sendi ekonomi dan politik negeri ini yang telah dibangun
cukup lama. Lebih jauh lagi, krisis ekonomi dan politik, yang menjadi multikrisis, telah
mengakibatkan semakin rendahnya tingkat kemampuan dan kapasitas negara dalam menjamin
kesinambungan pembangunan. Krisis tersebut salah satunya disebabkan oleh sistem manajemen
negara dan pemerintahan yang sentralistik, dimana kewenangan dan pengelolaan segala sektor
pembangunan berada dalam kewenangan pemerintah pusat, sementara daerah tidak memiliki
kewenangan untuk mengelola dan mengatur daerahnya.

Sebagai respons dari krisis tersebut, pada masa reformasi dicanangkan suatu kebijakan
restrukturisasi sistem pemerintahan yang cukup penting, yaitu melaksanakan otonomi daerah dan
pengaturan perimbangan keuangan antarpusat dan daerah.

C. Tujuan Dan Prinsip Otonomi Daerah

Tujuan dilaksanakannya otonomi daerah menurut pendapat beberapa ahli adalah sebagai
berikut:

1. Dilihat dari segi politik, penyelenggaraan otonomi daerah dimaksudkan untuk mencegah
penumpukan kekuasaan di pusat dan membangun masyarakat yang demokratis, untuk
menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan, dan melatih diri dalam menggunakan hak-
hak demokrasi.
2. Dilihat dari segi pemerintahan. Penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk mencapai
pemerintahan yang efisien.
3. Dilihat dari segi sosial budaya, penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan agar
perhatian lebih fokus kepada daerah.
4. Dilihat dari segi ekonomi, otonomi perlu diadakan agar masyarakat dapat turut
berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi di daerah masing-masing.

D. Pelaksanaan Otonomi Daerah pada Masa Orde Baru


Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan
nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat
pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan
panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar
partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil
yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang
ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat.
Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah,
dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.

4
I
Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku. Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak,
berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-
daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:

1. Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat


atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya;
2. Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala
Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah; dan
3. Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan
pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh
Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Provinsi) maupun Dati II
(Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari
sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah
dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri, untuk masa jabatan 5 (lima) tahun
dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya,dengan hak, wewenang
dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan
pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali
setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.
Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota;
meminta keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan
penyelidikan),dan kewajiban seperti a) mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan
PANCASILA dan UUD 1945; b)menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garis-
garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati
segala peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) bersama-sama Kepala Daerah menyusun
Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan
Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan
peraturan perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan d)
memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada
program pembangunan Pemerintah.
Dari dua bagian tersebut di atas, tampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5
Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam praktiknya yang terjadi adalah
sentralisasi (baca: kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi

5
I
pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5
Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat.

Pelaksanaan Otonomi Daerah setelah Masa Orde Baru


Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di
tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari
rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah
setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas
nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu:

1. melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi


peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;
2. pembentukan negara federal; atau
3. membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.
Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru
untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-
Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang
mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara
lain :

1. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih


mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.
2. Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas
dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas,
nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan
pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga
dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan
keanekaragaman daerah.
3. Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat,
menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran
dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini
otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan
masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang
dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
4. Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah
otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, di mana semua kewenangan
pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal

6
I
serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan
menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
5. Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan
melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama
ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah provinsi dengan
kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah
kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang
didelegasikan kepadanya.
6. Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam
hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan
wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas
tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah provinsi, kabupaten, kota dan desa.
Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada
daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
7. Wilayah Provinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis
pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut
sebatas 1/3 wilayah laut provinsi.
8. Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang
DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran
dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD.
Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
9. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai
pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang
berwenang.
10.Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial
budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang
memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu
menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain.
Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan
undang-undang.
11.Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama
pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
12.Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian,
penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.
13.Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada provinsi otonomi
yang terbatas. Kewenangan yang ada pada provinsi adalah otonomi yang bersifat lintas
Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau
diselenggarakan dengan pola kerja sama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya
kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan
kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala provinsi termasuk
berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
14.Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara
membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten
sendiri maupun melalui berkerja sama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain
DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari
7
I
Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis
Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan
dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan
lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur,
Pembantu Bupati/Wali Kota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.
15.Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta
Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua)
kali tidak dapat diterima oleh DPRD.

E. Otonomi Daerah Menurut UU No. 22 Tahun 1999

UU No. 22 Tahun 1999 yang berlaku sejak diundangkan tanggal 7 Mei 1999 mencabut
berlakunya UU No.5 Tahun 1974, terhitung mulai tanggal 7 Mei 1999. Dalam pasal 132 ayat (2)
UU No.22 Tahun 1999 dinyatakan bahwa pelaksanaan undang-undang ini dilakukan secara
efektif selambat-lambatnya dalam waktu 2 (dua) tahun sejak ditetapkannya undang-undang ini,
atau paling lambat tanggal 7 Mei 2001. Melalui UU No.22 tahun 1999 terdapat paradigma baru
dalam pelaksanaan otonomi daerah, karena undang-undang tersebut meletakkan otonomi daerah
secara luas pada daerah Kabupaten dan Kota berdasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran
serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta memperhatikan provinsi dan keanekaragaman
daerah.

Banyak hal baru yang diakomodasi oleh UU No.22 tahun 1999, salah satunya adalah
pemisahan antara lembaga legislatif dan eksekutif di daerah dalam bentuk susun pemerintahan
daerah. Sebelumnya kedua lembaga tersebut merupakan satu kesatuan yang disebut pemerintah
daerah.Menyertai pemisahan kedua lembaga tersebut maka kepada DPRD diberikan tugas, hak
dan wewenang yang sangat luas dan menuansa parlementarian.Misalnya, hak DPRD untuk
meminta pertanggung jawaban Kepala Daerah atas suatu kasus disamping itu kepada Kepala
Daerah diberi kewajiban untuk menyampaikan pertanggung jawaban kepada DPRD setiap akhir
tahun anggaran. Ketentuan tersebut membuka peluang terjadinya penolakan kepada DPRD yang
dapat berujung pada upaya pemberhentian terhadap Kepala Daerah justru dengan pemberian
kekuasaan yang lebih besar kepada DPRD malah memicu terjadinya konflik berkepanjangan
antara kepala daerah dan DPRD.

Idealnya antara dua kekuasaan pemerintah daerah, yakni kepala daerah dan DPRD
berlaku pola hubungan kemitraan terutama dalam pelaksanaan fungsi legislasi dan fungsi
anggaran. Sedang dalam fungsi pengawasan melalui pemberian kewenangan yang besar kepada
DPRD dimaksudkan agar terjadi mekanisme check and balance yang sehat dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Penerapan UU No.22 tahun 1999 oleh sementara
kalangan dinilai terlalu liberal dan parlementarian sehingga menimbulkan kontrofersi dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia pada era reformasi. Sehubungan dengan hal
tersebut kemudian muncul gagasan agar dilakukan reduksi terhadap kekuasaan DPRD agar
seimbang dan tidak terjadi dominasi diantara salah satu pemegang kekuasaan terhadap
kekuasaan yang lain, sehingga akan tercipta harmoni antara kepala daerah dan DPRD dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah guna menuju terciptanya kesejahteraan rakyat di daerah
bersangkutan. Dalam rangka pelaksanaan asas dan prinsip desentralisasi, ketentuan pasal 4 ayat

8
I
(1) UU No.22 tahun 1999 menyatakan bahwa pembagian daerah Indonesia dibentuk dan disusun
Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, yang berwenang yang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

Reformasi atau perubahan yang sangat mendasar terkait sistem pemerintahan daerah
menurut UU No.22 tahun 1999 selain memperkuat desentralisasi adalah, pertama, hubugnan
antara lembaga legislatif (DPRD) dengan Eksekutif (Kepala Daerah) didasarkan pada
prinsip check and balance.Kedua lembaga tersebut mempunyai kedudukan yang sederajat
dengan kewenangan yang berbeda.Kepala Daerah dipilih oleh DPRD dan bertanggung jawab
kepada DPRD.Hal ini lebih memperkuat posisi DPRD di hadapan Kepala Daerah, yang sudah
barang tentu berbeda dengan sistem yang berlaku menurut UU No. 5 Tahun 1974.DPRD
merupakan mitra Kepala Daerah dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah.Kepala Daerah
mempertanggung jawabkan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada DPRD setiap tahun
pada akhir masa jabatan.Kedua, pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah dilaksanakan sesuai prinsip kelayakan, keseimbangan dan keadilan.Artinya porsi
perolehan daerah dalam pembagian keuangan menjadi lebih besar di banding pada masa orde
baru.Hal ini diatur dalam UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Pembagian Keuangan
antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah. Dengan perolehan keuangan yang lebih
besar tersebut, baik dalam bentuk Dana Alokasi Umum maupun Dana Alokasi Khusus, maka
Pemerintah Daerah mendapat tambahan pemasukan di samping Penghasilan Asli Daerah (PAD),
sehingga lebih memungkinkan Pemerintah Daerah untuk lebih meningkatkan pelayanan dan
kesejahteraan bagi rakyat di daerah bersangkutan.

ada pula beberapa prinsip-prinsip otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam
penyelenggaraan pemerintah negara sebagaimana terdapat dalam UU No. 22 Tahun 1994 adalah
sebagai berikut:

1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi,


keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2. Pelaksanaan otonomi daerah dilaksanakan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggung
jawab.
3. Pelaksanaan otonomi daerah yang utuh dan luas diletakan pada daerah kabupaten dan
daerah kota, sedang pada daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas.
4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap
terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar-daerah.
5. Pelakasanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan
karenanya dalam daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain,
seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan pertambangan, kawasan perumahan,
kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru,
kawasan pariwisata, dan semacamnya beraku ketentuan peraturan daerah otonom.
6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan
legislatif daerah, baik fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas
penyelenggaraan pemerintahan daerah.

9
I
7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakan pada daerah propinsi dalam kedudukannya
sebagai wilayah administrasi utuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang
dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah.
8. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada
daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan
pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban
melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.

Hal-hal yang membedakan UU No.22 Tahun 1999 dengan undang-undang sebelumya antara
lain:

1. Dalam UU No. 5 Tahun 1974 lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban
dari pada hak, sedangkan dalam UU No.22 Tahun 1999 menekankan arti penting
kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui
prakarsa sendiri.
2. Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas
dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam UU No.5 Tahun 1974 tidak di
pergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan
bertanggung jawab.
3. Dalam UU No.22 Tahun 1999 otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah
otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu Daerah Kabupaten dan Kotamadya
yang sebelumnya berkedudukan sebagai daerah Tk.II atau Daerah Kabupaten dan Daerah
Kota.
4. Sistem otonomi yang dianut dalam UU No. 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas,
nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah diserahkan kepada
daerah secara utuh, kecuali bidang-bidang tertentu.
5. Daerah Otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan
melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat setempat.
6. Daerah Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom.
7. Wilayah Provinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari
pangkal pantai, sedangkan wilayah Kabupaten atau Kota yang berkenaan dengan wilayah
laut sebatas 1/3 wilayah laut Provinsi.
8. Gubernur selaku kepala wilayah administrative bertanggung jawab kepada Presiden,
sedangkan selaku kepala daerah bertanggung jawab kepada DPRD.
9. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD Sesuai
pedoman yang ditetapkan pemerintah, dan tidak perlu di sahkan oleh pejabat yang
berwenang.
10. Daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau
digabung dengan daerah lain. Suatu daerah dapat di mekarkan menjadi lebih dari satu
daerah yang ditetapkan dengan undang-undang.

10
I
F. Implementasi Otonomi Daerah

Implementasi otonomi daerah bagi daerah tingkat 1 dan tingkat 2, seiring dengan
pelimpahan wewenang pemerintah pusat dapat dikelompokkan dalam lima bidang yaitu
implementasi dalam pembinaan wilayah, pembinaan sumber daya manusia, penanggulangan dan
percepatan penurunan kemiskinan, penataan hubungan fungsional antara DPRD dan pemerintah
daerah, serta peningkatan koordinasi atau kerja sama tim (team work).

1. Implementasi Otonomi Daerah dalam Pembinaan Wilayah


1. Pelaksanaan otonomi daerah tidak secara otomatis menghilangkan tugas, peran,
dan tanggungjawab pemerintah pusat, karena otonomi yang dijalankan bukan
otonomi tanpa batas. Penjelasan pasal 18 UUD 1945 menyatakan bahwa
“Indonesia itu satu eenheidstaat”, Indonesia tidak akan mempunyai daerah dengan
status staat atau negara. Otonomi tidak dirancang agar suatu daerah memiliki
sifat-sifat seperti suatu negara. Pemerintah pusat dalam kerangka otonomi masih
melakukan pembinaaan wilayah. Pembinaan wilayah dapat diartikan bagaiman
mengelola dan mengerahkan segala potensi wilayah suatu daerah untuk di
dayagunakan secara terpadu guna mewujudkan kesejahteraan rakyat. Potensi
wilayah termasuk segala potensi sumber daya yang mencakup potensi
kependudukan, sosial ekonomi, sosial budaya, politik dan pertahanan keamanan.
2. Pola pembinaan wilayah dilaksanakan dengan mendelegasikan tugas-tugas
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dilaksanakan, dan
dipertanggungjawabkan oleh pemerintah daerah. Pada prinsipnya pembinaan
wilayah diserahkan kepada daerah unuk mengelola sumber daya yang potensial
untuk kesejahteraan daerah, dan dalam negara kesatuan, tugas pemerintah pusat
melakukan pengawasan. Bentuk pengawasan dalam otonomi daerah adalah
seluruh rancangan kegiatan dan anggaran daerah tingkat II dibuat kepala daerah
dan DPRD II, serta diperiksa oleh gubernur. Untuk rencana kegiatan dan
anggaran tingkat I, dibuat gubernur dan DPRD I, dan diperiksa oleh menteri
dalam negeri atas nama pemerintah pusat.
3. Tugas dan fungsi pembinaan wilayah meliputi prinsip pemerintahan umum, yaitu
penyelenggaraan pemerintahan pusat di daerah, memfasilitasi dan
mengakomodasi kebijakan daerah, menjaga keselarasan pemerintah pusat dan
daerah, menciptakan ketenteraman dan ketertiban umum, menjaga tertibnya
hubungan lintas batas dan kepastian batas wilayah, menyelenggarakan
kewenangan daerah, dan menjalankan kewenangan lain.
4. Pejabat pembina wilayah dilaksankan oleh kepala daerah yang menjalankan dua
macam urusan pemerintahan, yaitu urusan daerah dan urusan pemerintahan
umum.
2. Implementasi Otonomi Daerah dalam Pembinaan Sumber Daya Manusia

1. Pelaksaan otonomi daerah memberikan wewenang pembinaan sumber daya


manusia kepada daerah. Hal ini tugas berat bagi daerah, karena SDM pada
umumnya mempunyai tingkat kompetensi, sikap, dan tingkah laku yang tidak
maksimal. Menurut kaloh (2002) banyak faktor yang menyebabkan kinerja
pegawai negeri sipil (PNS) rendah, yaitu: (a) adanya monoloyalitas PNS kepada

11
I
satu partai pada zaman ORBA, sehingga mendorong PNS bermain politik praktis
atau tersembunyi, (b) prose rekrutmen PNS masih tidak sesuai dengan ketentuan
yang ada berdasarkan jenis dan persyaratan pekerjaan, (c) rendahnya tingkat
kesejahteraan, (d) penempatan dan jenjang karir tidak berdasarkan jenjang karir
dan bidang keahlian, dan (e) PNS terkesan kurang ramah, kurang informatif, dan
lamban dalam memberikan pelayanan.
2. Dalam era otonomi, daerah harus mempersiapkan SDM untuk memenuhi
kebutuhan dan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas. Pemerintah membutuhkan
PNS yang tanggap, responsip, kreatif, dan bekerja secara efektif.
3. Untuk menunjang kinerja daerah dalam rangka kerja sama antar daerah dan pusat,
pemda membutuhkan SDM yang mempunyai kemampuan mengembangkan
jaringan dan kerja sam tim, dan mempunyai kualitas kerja yang tinggi.
4. Untuk pembinaan SDM, pemda diharapkan: (1) membuat struktur organisasi yang
terbuka, (2) menyediakan media untuk PNS berkreatif dan membuat terobosan
baru, (3) mendorong PNS berani mengambil resiko, (4) memberikan penghargaan
bagi yang berhasil, (5) mengembangkan pola komunikasi yang efektif antar PNS,
(6) membangu suasana kerja di PNS yang inovatif, (7) mengurangi hambatan
birokrasi, (8) mencegah tindakan intervensi yang mengganggu proses kerja
profesional; dan (9) mendelegasikan tanggung jawab dengan baik.
5. Memperbaiki cara kerja birokrasi dengan cara memberikan teladan, membuat
perencanaan, melaksanakan kerja denga pengawasan yang memadai, menentukan
prioritas, memecahkan masalah dengan inoivatif, melakukan komunikasi lisan
dan tulisan, melakukan hubungan antar pribadi, dan memperhatikan waktu
kehadiran dan kretaivitas.
6. Mengurangi penyimpangan pelayanan birokrasi. Pelayanan pemerintah sering kali
banyak mengalami penyimpangan yang disebabkan sistem birokrasi, atau
keinginan menambah penghasilan dari pegawai. Pemda harus melakukan
perbaikan dengan: menegakan disiplin pegawai dengan memberikan penghargaan
dan sanksi, memberikan pelayanan yang berorientasi pelanggan, menetapkan
tanggung jawab dengan jelas, dan mengembangkan budaya birokrasi yang bersih,
serta memberikan pelayanan cepat dan tepat dengan biaya murah.

3. Implementasi Otonomi Daerah dalam Penanggulangan Kemiskinan

1. Masalah merupakan masalah penting bagi pemerintah daerah. Otonomi


memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola sumber daya dengan
tujuan peningkatan kesejahteraan penduduk di wilayahnya.
2. Pengentasan kemiskinan menjadi tugas penting dari UU nomor 25 tahun 1999,
dimana pemda mempunyai wewenang luas, dan didukung dana yang cukup dari
APBD. Pengentasan kemiskinan menggunakan prinsip: penegmbangan SDM
dengan memberdayakan peranan wanita, membrdayakan dan memprmudah akses
keluarga miski utuk berusaha, dengan mendekatkan pada modal dan pemasaran
produknya, menanggulangi bencana, dan membuat kebijakan yang berpihak
kepada rakyat miskin.

12
I
3. Program penanggulangan kemiskinan harus dilakukan berdasarka karakter
penduduk dan wilayah, dengan melakukan koordinasi antar-instansi yang terkait.
4. Pembangunan dalam rangka penanggulangan kemiskinan harus mengedepankan
peran masyarakat dan sektor swasta, dengan melakukan ivestasi yang dapat
menyerap tenaga kerja dan pasar bagi penduduk miskin.
5. Membangun paradigma baru tentang peranan pemda, yaitu dari pelaksana
menjadi fasilitor, memberikan interuksi menjadi melayani, mengatur menjadi
memberdayakan masyarakat, bekerja memenuhi aturan menjadi bekerja untuk
mencapai misi pembangunan.
6. Dalam pemberdayan masyarakat, peranan pemda adalah memberikan legitimasi
kepada LSM dan masyarakat penerima bantuan, menjadi penengah apabila terjadi
konflik, mendorong peningkatan kemampuan keluarga miskin, turut
mengendalikan pembangunan fisik, dan memberikan sosialisasi gerakan terpadu
pengentasan kemiskinan.
7. Pemda dalam rangka percepatan penanggulangan kemiskinan dapat mengambil
kebijakan keluarga, yaitu mendata dengan benar karakter keluarga miskin,
mengidentifikasi tipe dan pola keluarga miskin, melakukan intervensi kebijakan,
yang meliputi kebijakan penyediaan sumber daya melalui pendidikan dan
pelatihan, menyediakan program yang mendorong kesempatan kerja, dan
menyediakan program untuk membangun lingkungan fisik masyarakat miskin,
seperti prasarana jalan, jembatan, perumahan, listrik dan air bersih, dan pada
tahap akhir pemda melakukan evaluasi efektivitas dari pelaksanaan
penanggulangan kemiskinan.
4. Implementasi Otonomi Daerah dalam Hubungan Fungsional Eksekutif dan
Legislatif

1. Hubungan eksekutif (pemda) dan legislatif (DPRD) dalam era otonomi mencuat
dengan munculnya ketidakharmonisan antara pemda dan DPRD.
Ketidakharmonisan dipicu oleh interprestasi dari UU nomor 22 tahun 1999, yang
menyatakan peran legislatif lebih dominan dibandingkan peran pemda, dan hal ini
bertentangan dengan kondisi sebelumnya, dimana pemda lebih dominan daripada
DPRD.
2. Ketidakharmonisan harus dipecahkan dengan semangat otonomi, yaitu pemberian
wewenang kepada daerah untuk mengatur daerahnya dalam menjawab
permasalahan rakyat, yang meliputi administrasi pemrintahan, pembangunan, dan
pelayanan publik.
3. Asas dalam otonomi menurut UU No. 22 tahun 1994 adalah: (1) penyerahan
wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, kecuali dalam bidang
hankam, luar negeri, peradilan, agama, mpneter, dan fiskal, (2) pelimpahan
wewenang pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, dan
(3) pembantuan yaitu penugasan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
untuk melaksanakan tugas teretentu yang disertai pembiayaan, sarana dan
prasarana, serta SDM, dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan
pertanggungjawaban kepada pemerintah pusat.
4. Kepala daerah mempunyai wewenang memimpin penyelenggaraan pemerintah
daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan DPRD, bertanggung jawab kepada

13
I
DPRD, dan menyampaikan laporan atas penyelenggaraan pemerintah daerah
kepada presiden melalui mendagri, minimal satu tahun sekali melalui gubernur.
5. DPRD dalam era otonomi mempunyai wewenang dan tugas: memilih
gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati atau walikota/ wakil walikota,
membentuk peraturan daerah, menetapkan anggaran pendapatan belanja daerah,
melaksankan pengawasan. Memberikan saran pertimbangan terhadap perjanjian
internasional menyangkut kepentingan daerah, serta menampung dan
menindaklanjuti aspirasi rakyat.
6. Kepala daerah dan DPRD dalam melakukan tugasnya dapat melakukan
komunikasi yang intensuf, baik untuk tukar menukar informasi, dan
pengembangan regulasi maupun klarifikasi suatu masalah.
7. Prinsip kerja dalam hubungan antara DPRD dengan kepala daerah adalah: proses
pembuatan kebijakan transparan, pelaksanaan kerja melalui mekanisme
akuntabilitas, bekerja berdasarkan susduk, yang mencakup kebijakan, prosedur
dan tata kerja, menjalankan prinsip kompromi, dan menjunjung tinggi etika.

1. Implikasi Otonomi Daerah dalam Membangun Kerja Sama Tim

1. Koordinasi merupakan maslah yang serius dalam pemerintah daerah. Sering


bongkar dan pasang sarana dan prasarana seperti PAM,PLN, dan Telkom
menunjukan lemahnya koordinasi selama ini.
2. Dalam rangka otonomi, di mana pemda mempunyai wewenang mengatur enam
bidang selain yang diatur pusat, maka pemda dapat mengatur sektir riil seperti
transportasi, sarana/prasarana, pertanian, dan usaha kecil, serta wewenang lain
yang ditentukan undang-undang.
3. Lemahnya koordinasi selam otonomi daerah telah menimbulkan dampak negatif,
di antaranya: inefisiensi organisasi dan pemborosan uang, tenaga dan alat,
lemahnya kepemimpinan koordinasi yang menyebabkan keputusan tertunda-
tunda, tidak tepat dan terjadi kesalahan, serta tidak terjadi integrasi dan
sinkronisasi pembangunan.
4. Penyebab kurangnya koordinasi dalam era otonomi daerah di pemda antara lain
karena sesama instansi belum mempunyai visi yang sama, tidak adanya rencana
pembangunan jangka panjang yang menyebabkan arah kebijakan tidak strategis,
rendahnya kemauan kerja sama, gaya kepemimpinan yang masih komando,
rendahnya keterampilan, integritas dan kepercayaan diri.
5. Dalam rangka meningkatkan koordinasi, maka pemerintah daerah harus
menciptakan kerja sama tim. Kerja tim dilaksanakan dengan (1) pelatihan kepada
PNS pemda untuk menumbuhkan komitmen, integritas, kejujuran, rasa hormat
dan percaya diri, peduli terhadap pemerintah daerah, mempunyai kemauan dan
tanggung jawab, matang secara emosi, dan mempunyai kompetensi, (2)
mengembangkan visi dan misi pemerintahan daerah yang menjadi acuan kerja, (3)
membuat sistem kerja yang baik, yaitu adanya kejelasan tugas pokok, fungsi dan
akuntabilitas pekerjaan, dan (4) membangun suasana dialogis antar pimpinan dan
staf pemda.

14
I
Terkait dengan implementasi otonomi daerah, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
untuk keberhasilan otonomi daerah, yaitu:

1. Meningkatkan kualitas SDM. Yang dapat dilakukan melalui:


2. Pelaksanaan seleksi PNS yang jelas, ketat, yang baik, serta berdasarkan pekerjaan dan
spesifikasi lowongan pekerjaan.
3. Peningkatan kompetensi, keterampilan, dan sikap melalui pelatihan dan pendidikan,
sesuai dengan kebutuhan pemerintah daerah, serta mengevaluasi keefektifan program
pendidikan dan pelatihan.
4. Penempatan PNS berdasarkan kompetensi, minat, dan bakat, serta kebutuhan pemerintah
daerah.
5. Pengembangan SDM yang kreatif, inovatif, fleksibel, profesional, dan sinergis di pemda.
6. Menindaklanjuti ketentuan undang-undang tentang otonomi dengan peraturan daerah
yang terkait dengan kelembagaan, kewenangan, tanggung jawab, pembiayaan, SDM, dan
sarana penunjang terhadap penugasan wewenang yang dilimpahkan pemerintah pusat.
7. Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan
hankam.
8. Mengembangkan sistem manajemen pemerintahan yang efektif, objektif, rasional, dan
modern.

15
I

Anda mungkin juga menyukai