Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Faktor ketiga, adalah faktor peralatan yang merupakan sarana pendukung bagi
terselenggaranya aktivitas pemerintahan daerah. Peralatan yang ada haruslah cukup
dari segi jumlahnya, memadai dari segi kualitasnya dan praktis dari segi
penggunaannya. Syarat-syarat peralatan semacam inilah yang akan sangat
berpengaruh terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
B. Tujuan Penulisan
PEMBAHASAN
Indonesia merupakan salah satu negara dari berbagai negara di dunia yang menganut
sistem otonomi daerah dalam pelaksanaan pemerintahannya. Pelaksanaan otonomi daerah
sudah mulai diberlakukan pada tahun 1999 yang diharapkan dapat membantu serta
mempermudah dalam berbagai urusan penyelenggaraan negara. Dengan adanya otonomi
daerah, daerah memiliki hak guna untuk mengatur daerahnya sendiri namun masih tetap
dikontrol oleh pemerintah pusat serta undang-undang. Otonomi daerah adalah bagian dari
desentralisasi. Adapun pengertian otonomi daerah menurut beberapa ahli
F. Sugeng Istianto mengatakan bahwa otonomi daerah merupakan sebuah hak dan
wewenang guna untuk mengatur serta mengurus rumah tangga daerah.
Ateng Syarifuddin, otonomi memiliki makna kebebasan atau kemandirian namun
bukan kemerdekaan melainkan hanya sebuah kebebasan yang terbatas atau
kemandirian itu terwujud sebagai suatu pemberian kesempatan yang harus mampu
dipertanggungjawabkan.
Syarif Saleh juga mengatakan bahwa otonomi daerah merupakan hak mengatur serta
memerintah daerah sendiri dimana hak tersebut adalah hak yang diperoleh dari
pemerintah pusat.
Kansil, otonomi daerah adalah hak, wewenang, serta kewajiban daerah guna untuk
mengatur serta mengurus rumah tangganya atau daerahnya sendiri sesuai perundang-
undangan yang masih berlaku.
Widjaja berpendapat otonomi daerah merupakan salah satu bentuk dari desentralisasi
pemerintahan yang dasarnya ditujukan guna untuk memenuhi kepentingan bangsa
secara menyeluruh, merupakan suatu upaya yang lebih mendekatkan berbagai tujuan
penyelenggaraan pemerintahan sehingga dapat mewujudkan cita-cita masyarakat yang
adil dan makmur.
Mahwood mengatakan otonomi daerah adalah hak dari masyarakat sipil guna untuk
mendapatkan kesempatan serta perlakuan yang sama, baik dalam hal
mengekspresikan serta memperjuangkan kepentingan mereka masing-masing, dan
ikut mengontrol penyelenggaraan kinerja pemerintahan daerah
Dari pendapat beberapa ahli diatas dapat dikatakan bahwa otonomi daerah ialah
penyelengaraan pemerintah yang dilaksanakan secara desentralisasi, dimana pemerintah
daerah memiliki hak dan wewenang atas penyelenggaraan rumah tangga daerah sesuai
dengan perundang-undangan guna kepentingan bersama dan dapat dipertanggungjawabkan
Sedangkan secara etimologi kata otonomi berasal dari 2 kata yaitu, auto yang berarti
sendiri sedangkan nomos berarti rumah tangga atau urusan pemerintahan. Otonomi dengan
demikian berarti mengurus rumah tangga sendiri. Dengan mendampingkan kata ekonomi
dengan kata daerah, maka istilah “mengurus rumah tangga sendiri” mengandung makna
memperoleh kekuasaan dari pusat dan mengatur atau menyelenggarakan rumah tangga
pemerintahan daerah sendiri.
Ada juga berbagai pengertian yang berdasarkan pada aturan yang di tetapkan oleh
Pemerintahan Daerah. Pengertian yang memliki kaitan dan hubungan dengan otonomi daerah
yang terdapat di dalam Undang-Undang, yaitu sebagai berikut:
a) Warisan Kolonial
Pada tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan staatsblaad No. 329 yang
memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri.
Kemudian staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S. 181/1905.
Pada tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah undang-undang S. 216/1922.
Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie, regentschap, stadsgemeente, dan
groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale ressort. Selain itu juga, terdapat
pemerintahan yang merupakan persekutuan asli masyarakat setempat (zelfbestuurende
landschappen).
Pemerintah kerajaan satu per satu diikat oleh pemerintahan kolonial dengan
sejumlah kontrak politik (kontrak panjang maupun kontrak pendek). Dengan demikian,
dalam masa pemerintahan kolonial, warga masyarakat dihadapkan dengan dua
administrasi pemerintahan.
c) Masa Kemerdekaan
1) Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
a. Provinsi
b. Kabupaten/kota besar
c. Desa/kota kecil.
UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera
saja. Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak memiliki
penjelasan.
a. Propinsi
b. Kabupaten/kota besar
c. Desa/kota kecil
d. Yang berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.
Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan istilah daerah
swatantra. Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil yang berhak mengurus
rumah tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu
Dekonsentrasi sangat menonjol pada kebijakan otonomi daerah pada masa ini, bahwa
kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat, terutama dari kalangan pamong praja.
a. Provinsi (tingkat I)
b. Kabupaten (tingkat II)
c. Kecamatan (tingkat III)
1. Dasar Hukum
2. Landasan Teori
Berikut ini ada beberapa yang menjadi landasan teori dalam otonomi daerah :
a. Asas Otonomi
b. Desentralisasi
c. Sentralisasi
d. Tugas Pembantuan
Penugasan dari pemerintah kepada daerah serta desa dan dari daerah ke
desa guna melaksanakan berbagai tugas tertentu yang disertai dengan
pembiayaan, sarana, serta prasarana dan sumber daya manusia dengan kewajiban
dalam melaporkan pelaksanaannya dan dapat mempertanggungjawabkannya
kepada yang menugaskan tugas tersebut.
1. Dampak Positif
Dampak positif otonomi daerah adalah bahwa dengan otonomi daerah maka
pemerintah daerah akan mendapatkan kesempatan untuk menampilkan identitas lokal
yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat
mendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang
berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada yang
didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut
memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun
program promosi kebudayaan dan juga pariwisata.
2. Dampak Negatif
Dampak negatif dari otonomi daerah adalah adanya kesempatan bagi oknum-
oknum di pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan negara
dan rakyat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu terkadang ada kebijakan-
kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan konstitusi negara yang dapat menimbulkan
pertentangan antar daerah satu dengan daerah tetangganya, atau bahkan daerah
dengan Negara, seperti contoh pelaksanaan Undang-undang Anti Pornografi ditingkat
daerah. Hal tersebut dikarenakan dengan system otonomi daerah maka
pemerintahpusat akan lebih susah mengawasi jalannya pemerintahan di daerah, selain
itu karena memang dengan sistem.otonomi daerah membuat peranan pemeritah pusat
tidak begitu berarti.
Prinsip otonomi daerah yaitu menggunakan prinsip otonomi yang nyata, prinsip
otonomi yang seluas-luasnya, serta berprinsip otonomi yang dapat bertanggung jawab.
Kebebasan otonomi yang diberikan terhadap pemerintah daerah merupakan kewenangan
otonomi yang luas, nyata, dan dapat bertanggung jawab. Berikut prinsip otonomi daerah :
Hal ini dapat dijadikan kesempatan yang baik bagi pemerintah daerah guna membuktikan
kemampuannya untuk melaksanakan kewenangan yang menjadi hak daerah masing-
masing. Maju dan tidaknya suatu daerah ditentukan oleh kemampuan serta kemauan
dalam melaksanakannya. Pemerintah daerah dapat bebas berkreasi dalam rangka
membangun daerahnya masing-masing, tentu saja masih tidak melanggar dengan
perundang-undangan yang berlaku.
Kewenangan daerah otonomi sangat luas, pemerintah daerah berwenang mengurus sendiri
kepentingan masyarakat. Urusan itu meliputi berbagai bidang. Misalnya:
a. Pendidikan
b. Kesejahteraan
c. Perumahan
d. Pertanian
e. Kesehatan
f. Perdagangan, dll
Secara konseptual, negara Indonesia dilandasi oleh 3 tujuan utama antara lain :
tujuan politik
tujuan administratif
tujuan ekonomi.
Hal yang ingin dicapai melalui tujuan politik adalah upaya dalam mewujudkan
demokratisasi politik dengan cara melalui partai politik dan DPRD.
Hal yang ingin dicapai melalui tujuan administratif adalah adanya pembagian antara
urusan pemerintahan pusat dengan pemerintah daerah, termasuk sumber keuangan,
pembaharuan manajemen birokrasi keuangan.
I. Permasalahan Otonomi daerah dan solusinya
Adapun permasalahan otonomi di Indonesia
Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum
mantap
Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memiadai dan
penyesuaian peraturan perundang-undangan yang ada dengan UU 22/1999
masih sangat terbatas
Sosialisasi UU 22/1999 dan pedoman yang tersedia belum mendalam dan
meluas
Manajemen penyelenggaraan otonomi daerah masih sangat lemah
Pengaruh Perkembangan dinamika politik dan aspirasi masyrakat serta
pengaruh globaliasi yang tidak mudah dikelola
Kondisi sumber daya manusia aparatur pemerintahan yang belum menunjang
sepenuhnya pelaksanaan otonomi daerah
Belum jelas dalam kebijakan pelaksanaan perwujudan konsep otonomi yang
proporsional kedalam pengaturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya
nasional serta pertimbangan nasioanal, serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan
keadilan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Otonomi daerah saat ini juga belum mengarah pada otonomisasi masyarakat daerah.
Salah satu ciri otonomi daerah adalah peningkatan keterlibatan masyarakat daerah untuk ikut
menentukan nasibnya sendiri, tetapi kenyataannya masyarakat belum memiliki andil besar
dalam pelaksanaan otonomi daerah. Ada kecenderungan bahwa partisipasi masyarakat di era
desentralisasi dimanfaatkan oleh para elit masyarakat yang lebih mengetahui akses untuk
mempengaruhi kebijakan di tingkat daerah dan kehadiran mereka mengatasnamakan wakil
rakyat yang menyuarakan keinginan rakyat. Rakyat hanya digunakan sebagai tunggangan
politik ketika pemilu untuk memenangkan tujuan seseorang atau kelompok tertentu. Setelah
yang bersangkutan terpilih, tidak ada kekuatan hukum yang secara tertulis mengikat si
terpilih untuk memenuhi tuntutan rakyat yang telah mendukungnya dalam pemilu. Besarnya
dominasi pemerintah daerah dalam proses pembuatan kebijakan publik, penganggaran
belanja daerah, penyelenggaraan pelayanan publik serta pengelolaan sumberdaya menjadi
salah satu alasan makin tertutupnya akses masyarakat untuk ikut menentukan proses
pemerintahan. Selain itu, Pemda hanya melibatkan organisasi-organisasi formal yang
berbadan hukum seperti parpol dalam proses pengambilan keputusan maupun pelaksanaan
pemerintahan. Dengan kata lain, partisipasi masyarakat masih rendah.
Pemaknaan otonomi secara kultural memandang politik lokal sebagai kesatuan nilai,
kultur, kustom, adat istiadat dan bukan sebagai konsep politik. Perspektif ini juga mengakui
kemajemukan masyarakat namun dalam arti sosio-kultural, di mana setiap masyarakat dan
lokalitas adalah unik sehingga setiap masyarakat dan lokalitas memiliki hak-hak sosial,
ekonomi, budaya, dan identitas diri yang berbeda dengan identitas nasional. Pemahaman
inilah yang kemudian memunculkan berbagai kebijakan daerah yang bernuansa etnisitas.
Sedikit banyak karakteristik masyarakat Indonesia yang pluralistik dan terfragmentasi, turut
mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya etnonasionalisme.
Perlu publikasi yang luas dan mendalam atas setiap kebijakan yang diberlakukan.
Yang kita maksudkan publikasi disini adalah penjelasan atau sosialisasi kebijakan dimaksud
kepada masyarakat. Selama ini yang sering kita pantau dan tangkap, sosialisasi kebijakan
hanya diberikan kepada para elite politik atau pejabat tertentu, dalam jumlah yang terbatas
pula, tanpa melibatkan secara aktif peran-serta masyarakat. Padahal kita tahu, kebijakan itu
adalah untuk masyarakat dan aturan tersebut dikenakan kepada masyarakat. Sebab itu, sangat
ironis jika mereka yang menjadi obyek suatu kebijakan tidak mengetahui apa yang harus
dilakukan. Kita sebut publikasi yang luas dan mendalam artinya adalah memberikan
penjelasan kepada masyarakat dengan bahasa masyarakat, yang jelas dan mudah dimengerti,
karena masyarakat kita sangat majemuk, dengan tingkat pendidikan dan penalaran yang
beragam pula. Sangat tidak masuk akal bila kita menjelaskan suatu kebijakan kepada mereka
dengan bahasa ilmiah, politik, atau pun bahasa lain yang sulit dimengerti oleh “rakyat
banyak”. Bila bahasa “canggih” atau yang tidak memasyarakat seperti itu yang kita
pergunakan, hampir pasti bahwa penjelasan yang disampaikan tidak akan sampai atau
menyentuh hati mereka. kita juga perlu memilih dan mempergunakan media yang tepat guna.
Artinya, media yang dikenal dan sering bersentuhan dengan masyarakat serta menggunakan
bahasa rakyat akan jauh lebih efektif daripada media lainnya. Ia dapat berupa tabloid,
majalah, surat kabar, televisi, dan bahkan para ulama dan tokoh agama dalam masyarakat.
Dengan cara atau pendekatan seperti itu, kita yakin, pesan yang hendak kita sampaikan ke
tengah-tengah masyarakat akan sampai dengan lebih baik. Media yang belum begitu banyak
dilakukan dalam rangka sosialisasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dewasa ini,
misalnya, adalah dakwah, khotbah dan “ruang-ruang” pengajian. Padahal, media ini adalah
merupakan salah satu alternatif media masyarakat yang dapat dipergunakan untuk
memperkenalkan otonomi daerah secara lebih luas dan lebih efektif. Lewat dakwah, pesan
otonomi daerah akan lebih mengena, karena kesan yang ditangkap bukan menggurui, tetapi
lebih cenderung mengajak dan mengajak untuk berbuat secara konkrit untuk kelancaran dan
keberhasilan implementasi otonomi daerah. Melalui cara ini, umat diharapkan akan
berpartisipasi secara aktif bersama umat beragama lainnya. Jadi, bila peran-serta aktif
masyarakat dalam implementasi otonomi daerah sekarang belum terlihat, bukan berarti
bahwa mereka tidak perduli dan tidak menghendaki adanya kebijakan tersebut. Tetapi, ada
beberapa hal yang kurang kita perhatikan atau kita lupakan belakangan ini. Harapan kita,
lewat apa yang kita ketengahkan di atas sebagai “urun rembug” untuk pencapaian tujuannya,
di waktu mendatang, otonomi daerah akan dapat diterima oleh masyarakat secara baik dan
benar. Dengan demikian, partisipasi aktif masyarakat untuk kelancaran dan keberhasilan
implementasi otonomi daerah itu pun tidak perlu lagi diragukan.
Dari beberapa solusi tersebut di atas bisa diketahui bahwa
sumber daya manusia menjadi kata kunci dalam mewujudkan keberhasilan otonomi
daerah. Pada sisi pemerintah dapat terwujud menjadi teknokrat yang bertanggung jawab
kepada kepentingan rakyat, sebaliknya pada sisi rakyat muncul partisipasi yang besar dalam
rangka pelaksanaan otonomi daerah. Jadi, faktor yang mempengaruhi keberhasilan
implementasi Otonomi Daerah secara operasional di lapangan adalah intensitas partisipasi
masyarakat. Masyarakat menjadi salah satu faktor penting bagi setiap kebijakan yang
diberlakukan, karena masyarakat merupakan pihak yang langsung berkepentingan dengan
kebijakan tersebut. Oleh karena itu, tidak mungkin jika menghendaki suatu kebijakan berhasil
tanpa melibatkan peran masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat dipahami dengan adanya otonomi daerah, maka
setiap daerah akan diberi kebebasan dalam menyusun program dan mengajukannya kepada
pemerintahan pusat. Hal ini sangat akan berdampak positif dan bisa memajukan daerah
tersebut apabila Orang/badan yang menyusun memiliki kemampuan yang baik dalam
merencanan suatu program serta memiliki analisis mengenai hal-hal apa saja yang akan
terjadi dikemudia hari. Tetapi sebaliknya akan berdamapak kurang baik apabila orang /badan
yang menyusun program tersebut kurang memahami atau kurang mengetahui mengenai
bagaimana cara menyusun perencanaan yang baik serta analisis dampak yang akan terjadi.
B. Saran
4. Proses otonomi tidak dapat dilihat sebagai semata-mata tugas dan tanggung jawab dari
menteri negara otonomi atau menteri dalam negeri,akan tetapi menuntut koordinasi dan
kerjasama dari seluruh bidang dalam kabinet (Ekuin,Kesra & Taskin, dan Polkam).
Upaya Yang Menurut Saya harus Dilakukan Pejabat Daerah Untuk Mengatasi Ketimpangan
Yang Terjadi :
1. Pejabat harus dapat melakukan kebijakan tertentu sehingga SDM yang berada di pusat
dapat terdistribusi ke daerah.
2. Pejabat harus melakukan pemberdayaan politik warga masyarakat dilakukan melalui
pendidikan politik dan keberadaan organisasi swadaya masyarakat, media massa dan lainnya.