Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia para founding


fathers telah menjatuhkan pilihannya pada prinsip pemencaran kekuasaan dalam
penyelenggaraan pemerintahan Negara.

Cita desentralisasi ini senantiasa menjadi bagian dalam praktek pemerintahan


Negara sejak berlakunya UUD 1945, terus memasuki era Konstitusi RIS, UUDS 1950
sampai pada era kembali ke UUD 1945 yang dikukuhkan lewat Dekrit Presiden 5 juli
1959.

Garis perkembangan sejarah tersebut membuktikan bahwa cita desentralisasi


senantiasa dipegang teguh oleh Negara Republik Indonesia, sekalipun dari satu
periode ke periode lainnya terlihat adanya perbedaan dalam intensitasnya.

Sebagai perwujudan dari cita desentralisasi tersebut, maka langkah-langkah


penting sudah dilakukan oleh pemerintah. Lahirnya berbagai peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah membuktikan bahwa
keinginan untuk mewujudkan cita-cita ini terus berlanjut. Sekalipun demikia,
kenyataan membuktikan bahwa cita tersebut masih jauh dalam realisasinya. Otonomi
daerah masih lebih sebagai harapan ketimbang sebagai kenyataan yang telah terjadi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Otonomi Daerah belumlah terwujud
sebagaimana yang diharapkan. Kita nampaknya baru menuju kea rah Otonomi Daerah
yang sebenarnya.

Beberapa faktor-faktor yang menetukan prospek otonomi daerah, diantaranya, yaitu :

Faktor Pertama, adalah faktor manusia sebagai subyek penggerak (faktor


dinamis) dalam peenyelenggaraan otonomi daerah. Faktor manusia ini haruslah baik,
dalam pengertian moral maupun kapasitasnya. Faktor ini mencakup unsur pemerintah
daerah yang terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD, aparatur daerah maupun
masyarakat daerah yang merupakan lingkungan tempat aktivitas pemerintahan daerah
tersebut.
Faktor kedua, adalah faktor keuangan yang merupakan tulang punggung bagi
terselenggaranya aktivitas pemerintahan daerah. Salah stu ciri daerah otonom adalah
terletak pada kemampuan self supportingnya / mandiri dalam bidang keuangan.
Karena itu, kemampuan keuangan ini akan sangat memberikan pengaruh terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sumber keuangan daerah yang asli, misalnya
pajak dan retribusi daerah, hasil perusahaan daerah dan dinas daerah, serta hasil
daerah lainnya yang sah, haruslah mampu memberikan kontribusinya bagi keuangan
daerah.

Faktor ketiga, adalah faktor peralatan yang merupakan sarana pendukung bagi
terselenggaranya aktivitas pemerintahan daerah. Peralatan yang ada haruslah cukup
dari segi jumlahnya, memadai dari segi kualitasnya dan praktis dari segi
penggunaannya. Syarat-syarat peralatan semacam inilah yang akan sangat
berpengaruh terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Faktor keempat, adalah faktor organisasi dan manajemen. Tanpa kemampuan


organisasi dan manajemen yang memadai penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat
dilakukan dengan baik, efisien, dan efektif.oleh sebab itu perhatian yang sungguh-
sunggguh terhadap masalah ini dituntut dari para penyelenggara pemerintahan daerah.

Sejarah perkembangan Otonomi Daerah membuktikan bahwa keempat faktor


tersebut di atas masih jauh dari yang diharapkan. Karenanya Otonomi Daerah masih
menunjukkan sosoknya yang kurang menggembirakan.oleh sebab itu apabila kita
berkeinginan untuk merealisasi cita-cita Otonomi Daerah maka pembenahan dan
perhatian yang sungguh-sungguh perlu diberikan kepada empat faktor di atas.

B. Tujuan Penulisan

 Penulis mampu memahami apa yan dimaksud dengan otonomi daerah


 Penulis memahami sejarah perkembangan otonomi daerah di Indonesia
 Penulis mengetahui dasar hukum dan landasan teori otonomi daerah di
Indonesia
 Penulis mengetahui pemeran penting dalam otonomi daerah
 Penulis mengetahui dampak dari pengelolaan otonomi daerah
C. Rumusan Masalah

 Apa itu Otonomi Daerah?


 Bagaimana Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia
 Apa dasar hukum dan Landasan teori Otonomi Daerah?
 Apa salah satu yang paling berperan di dalam Otonomi Daerah?
 Apa dampak yang di timbulkan oleh Otonomi Daerah?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Otonomi Daerah

Indonesia merupakan salah satu negara dari berbagai negara di dunia yang menganut
sistem otonomi daerah dalam pelaksanaan pemerintahannya. Pelaksanaan otonomi daerah
sudah mulai diberlakukan pada tahun 1999 yang diharapkan dapat membantu serta
mempermudah dalam berbagai urusan penyelenggaraan negara. Dengan adanya otonomi
daerah, daerah memiliki hak guna untuk mengatur daerahnya sendiri namun masih tetap
dikontrol oleh pemerintah pusat serta undang-undang. Otonomi daerah adalah bagian dari
desentralisasi. Adapun pengertian otonomi daerah menurut beberapa ahli

 F. Sugeng Istianto mengatakan bahwa otonomi daerah merupakan sebuah hak dan
wewenang guna untuk mengatur serta mengurus rumah tangga daerah.
 Ateng Syarifuddin, otonomi memiliki makna kebebasan atau kemandirian namun
bukan kemerdekaan melainkan hanya sebuah kebebasan yang terbatas atau
kemandirian itu terwujud sebagai suatu pemberian kesempatan yang harus mampu
dipertanggungjawabkan.
 Syarif Saleh juga mengatakan bahwa otonomi daerah merupakan hak mengatur serta
memerintah daerah sendiri dimana hak tersebut adalah hak yang diperoleh dari
pemerintah pusat.
 Kansil, otonomi daerah adalah hak, wewenang, serta kewajiban daerah guna untuk
mengatur serta mengurus rumah tangganya atau daerahnya sendiri sesuai perundang-
undangan yang masih berlaku.
 Widjaja berpendapat otonomi daerah merupakan salah satu bentuk dari desentralisasi
pemerintahan yang dasarnya ditujukan guna untuk memenuhi kepentingan bangsa
secara menyeluruh, merupakan suatu upaya yang lebih mendekatkan berbagai tujuan
penyelenggaraan pemerintahan sehingga dapat mewujudkan cita-cita masyarakat yang
adil dan makmur.
 Mahwood mengatakan otonomi daerah adalah hak dari masyarakat sipil guna untuk
mendapatkan kesempatan serta perlakuan yang sama, baik dalam hal
mengekspresikan serta memperjuangkan kepentingan mereka masing-masing, dan
ikut mengontrol penyelenggaraan kinerja pemerintahan daerah
Dari pendapat beberapa ahli diatas dapat dikatakan bahwa otonomi daerah ialah
penyelengaraan pemerintah yang dilaksanakan secara desentralisasi, dimana pemerintah
daerah memiliki hak dan wewenang atas penyelenggaraan rumah tangga daerah sesuai
dengan perundang-undangan guna kepentingan bersama dan dapat dipertanggungjawabkan

Sedangkan secara etimologi kata otonomi berasal dari 2 kata yaitu, auto yang berarti
sendiri sedangkan nomos berarti rumah tangga atau urusan pemerintahan. Otonomi dengan
demikian berarti mengurus rumah tangga sendiri. Dengan mendampingkan kata ekonomi
dengan kata daerah, maka istilah “mengurus rumah tangga sendiri” mengandung makna
memperoleh kekuasaan dari pusat dan mengatur atau menyelenggarakan rumah tangga
pemerintahan daerah sendiri.

Ada juga berbagai pengertian yang berdasarkan pada aturan yang di tetapkan oleh
Pemerintahan Daerah. Pengertian yang memliki kaitan dan hubungan dengan otonomi daerah
yang terdapat di dalam Undang-Undang, yaitu sebagai berikut:

 Pemerintah daerah yaitu penyelenggaraan urusan di dalam suatu daerah.


 Penyelenggaran urusan pemerintah daerah tersebut harus menurut asas otonomi
seluas-luasya dalam prinsip dan sistem NKRI sebagaimana yang dimaksudkan di
dalam UUD 1945.
 Pemerintah Daerah itu meliputi Bupati atau Walikota, perangkat daerah seperti
Lurah,Camat serta Gubernur sebagai pemimpin pemerintahan daerah tertinggi.
 DPRD adalah lembaga pemerintahan daerah di mana di dalam DPRD duduk para
wakil rakyat yang menjadi penyalur aspirasi rakyat.Selain itu DPRD adalah suatu
unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
 Otonomi daerah adalah wewenang,hak dan kewajiban suatu daerah otonom untuk
mengurus dan mengatur sendiri urusan pemerintahan dan mengurus berbagai
kepentingan masyarakat yang berada dan menetap di dalam daerah tersebut sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 Daerah otonom adalah suatu kesatuan masyarakat yang berada di dalam batas-batas
wilayah dan wewenang dari pemerintahan daerah di mana prngaturan nya berdasarkan
prakarsa sendiri namum sesuai dengan sistem NKRI.
 Di dalam otonomi daerah di jelaskan bahwa pemerintah pusat adalah Presiden
Republik Indonesia sebagaiman tertulis di dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
B. Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia

a) Warisan Kolonial

Pada tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan staatsblaad No. 329 yang
memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri.
Kemudian staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S. 181/1905.
Pada tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah undang-undang S. 216/1922.
Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie, regentschap, stadsgemeente, dan
groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale ressort. Selain itu juga, terdapat
pemerintahan yang merupakan persekutuan asli masyarakat setempat (zelfbestuurende
landschappen).

Pemerintah kerajaan satu per satu diikat oleh pemerintahan kolonial dengan
sejumlah kontrak politik (kontrak panjang maupun kontrak pendek). Dengan demikian,
dalam masa pemerintahan kolonial, warga masyarakat dihadapkan dengan dua
administrasi pemerintahan.

b) Masa Pendudukan Jepang

Ketika menjalar PD II Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur mulai


Korea Utara ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini berhasil
menaklukkan pemerintahan kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di Filipina, serta
Belanda di Daerah Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar tiga
setengah tahun berhasil melakukan perubahan-perubahan yang cukup fundamental dalam
urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-wilayah bekas Hindia Belanda.
Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang (Osamu Seire) No.
27/1942 yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pada masa Jepang
pemerintah daerah hampir tidak memiliki kewenangan. Penyebutan daerah otonom bagi
pemerintahan di daerah pada masa tersebut bersifat misleading.

c) Masa Kemerdekaan
1) Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitik beratkan pada asas


dekonsentrasi, mengatur pembentukan KND (Komite Nasional Daerah) di
keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan daerah-daerah yang dianggap perlu
oleh mendagri. Pembagian daerah terdiri atas dua macam yang masing-masing dibagi
dalam tiga tingkatan yakni:

a. Provinsi
b. Kabupaten/kota besar
c. Desa/kota kecil.

UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera
saja. Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak memiliki
penjelasan.

d) Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948

Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU


Nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948.
Dalam UU itu dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni:

a. Propinsi
b. Kabupaten/kota besar
c. Desa/kota kecil
d. Yang berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.

e) Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957

Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan istilah daerah
swatantra. Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil yang berhak mengurus
rumah tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu

a. Daerah swatantra tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta Raya


b. Daerah swatantra tingkat II
c. Daerah swatantra tingkat III.

UU No. 1 Tahun 1957 ini menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah


seluas-luasnya sesuai Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.

f) Periode Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959


Penpres No. 6 Tahun 1959 yang berlaku pada tanggal 7 November 1959
menitikberatkan pada kestabilan dan efisiensi pemerintahan daerah, dengan memasukkan
elemen-elemen baru. Penyebutan daerah yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri
dikenal dangan daerah tingkat I, tingkat II, dan daerah tingkat III.

Dekonsentrasi sangat menonjol pada kebijakan otonomi daerah pada masa ini, bahwa
kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat, terutama dari kalangan pamong praja.

g) Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965

Menurut UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni:

a. Provinsi (tingkat I)
b. Kabupaten (tingkat II)
c. Kecamatan (tingkat III)

Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas memegang pimpinan


kebijaksanaan politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan koordinasi
antarjawatan pemerintah pusat di daerah, melakukan pengawasasan, dan menjalankan
tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat. Sebagai alat
pemerintah daerah, kepala daerah mempunyai tugas memimpin pelaksanaan
kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah, menandatangani peraturan dan keputusan
yang ditetapkan DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.

h) Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974

UU ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan mengatur rumah


tangganya berdasar asas desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan daerah, yaitu
daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi menurut tingkatannya
menjadi:

a. Provinsi/ibu kota negara


b. Kabupaten/kotamadya
c. Kecamatan
Titik berat otonomi daerah terletak pada daerah tingkat II karena daerah tingkat II
berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga lebih mengerti dan memenuhi aspirasi
masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah otonomi yang nyata dan bertanggung
jawab.

i) Periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang


lebih mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22
tahun 1999 adalah sebagai berikut:

 Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian


kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.
 Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah
daerah provinsi sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi
adalah daerah kabupaten dan daerah kota.
 Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.
 Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten.

Secara umum, UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi


daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan
keinginan masyarakat daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum memenuhi rasa
keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.

j) Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

Pada tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah


Daerah yang dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa dengan berlakunya UU
ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi.
UU baru ini memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki antara kabupaten dan
provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan asas kesatuan administrasi
dan kesatuan wilayah. Pemerintah pusat berhak melakukan kordinasi, supervisi, dan
evaluasi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian juga provinsi terhadap
kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan kemitraan dan sejajar antara kepala daerah dan
DPRD semakin di pertegas dan di perjelas.

C. Dasar Hukum Dan Landasan Teori Otonomi Daerah

1. Dasar Hukum

Penyelenggaraan negara dengan desentralisasi sebagai alur untuk mengatur


berjalannya otonomi daerah, berpedoman terhadap undang-undang sebagai dasar hukum
Adapun beberapa peraturan dasar tentang pelaksanaan otonomi daerah,yaitu sebagai
berikut:

 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


 Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 mengenai Penyelenggaraan
Otonomi Daerah, Pengaturan, pembagian, serta Pemanfaatan Sumber
Daya Nasional yangg Berkeadilan, dan perimbangan keuangan Pusat dan
Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
 Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 mengenai Rekomendasi
Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
 UU No. 31 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah.
 UU No. 33 Tahun 2004 mengenai Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

2. Landasan Teori

Berikut ini ada beberapa yang menjadi landasan teori dalam otonomi daerah :

a. Asas Otonomi

Berikut ini ada beberapa asas otonomi daerah, sebagai berikut:

 Asas kepastian hukum, asas yang lebih mengutamakan landasan


peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam kebijakan
penyelenggara negara.
 Asas tertib penyelenggara, asas yang menjadi landasan keteraturan,
keseimbangan, serta keserasian dalam pengendalian penyelenggara
negara.
 Asas kepentingan umum, asas yang lebih mengutamakan
kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, serta
selektif.
 Asas keterbukaan, Asas yang membuka diri terhadap hak-hak
masyarakat guna memperoleh berbagai informasi yang benar,
nyata, jujur, serta tidak diskriminatif mengenai penyelenggara
negara dan masih tetap memperhatikan perlindungan hak asasi
pribadi, golongan, serta rahasia negara.
 Asas proporsinalitas, asas yang lebih mementingkan keseimbangan
hak dan kewajiban
 Asas profesionalitas, asas yang lebih mengutamakan keadilan
berlandaskan kode etik serta berbagai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang masih berlaku.
 Asas akuntabilitas, asas yang menentukan setiap kegiatan serta
hasil akhir dari suatu kegiatan penyelenggara negara harus dapat
untuk dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemegang
kedaulatan yang tertinggi negara sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
 Asas efisiensi dan efektifitas, asas yang dapat menjamin
terselenggaranya kepada masyarakat menggunakan sumber daya
yang tersedia secara optimal serta bertanggung jawab.

b. Desentralisasi

Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat


kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri
berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan
Republik Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka muncullah otonomi bagi
suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam
keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan
kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia,
desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan
karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan pardigma
pemerintahan di Indonesia. Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan
tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia dll) dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Dasar pemikiran yang melatarbelakanginya adalah keinginan untuk


memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang
merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang dirancang dan
dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan meningkatkan relevansi antara
pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus tetap
mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah ditingkat daerah dan
nasional, dari segi sosial dan ekonomi. Inisiatif peningkatan perencanaan,
pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat
menjamin digunakannya sumber-sumber daya pemerintah secara efektif dan
efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal.

c. Sentralisasi

Sentralisasi dan desentralisasi sebagai bentuk penyelenggaraan negara


adalah persoalan pembagian sumber daya dan wewenang. Pembahasan masalah
ini sebelum tahun 1980-an terbatas pada titik perimbangan sumber daya dan
wewenang yang ada pada pemerintah pusat dan pemerintahan di bawahnya. Dan
tujuan “baik” dari perimbangan ini adalah pelayanan negara terhadap masyarakat.

Di Indonesia sejak tahun 1998 hingga baru-baru ini, pandangan politik


yang dianggap tepat dalam wacana publik adalah bahwa desentralisasi
merupakan jalan yang meyakinkan, yang akan menguntungkan daerah.
Pandangan ini diciptakan oleh pengalaman sejarah selama masa Orde Baru di
mana sentralisme membawa banyak akibat merugikan bagi daerah. Sayang,
situasi ini mengecilkan kesempatan dikembangkannya suatu diskusi yang sehat
bagaimana sebaiknya desentralisasi dikembangkan di Indonesia. Jiwa
desentralisasi di Indonesia adalah “melepaskan diri sebesarnya dari pusat” bukan
“membagi tanggung jawab kesejahteraan daerah”.
Sentralisasi dan desentralisasi tidak boleh ditetapkan sebagai suatu proses
satu arah dengan tujuan pasti. Pertama- tama, kedua “sasi” itu adalah masalah
perimbangan. Artinya, peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan selalu
merupakan dua hal yang dibutuhkan. Tak ada rumusan ideal perimbangan. Selain
proses politik yang sukar ditentukan, seharusnya ukuran yang paling sah adalah
argumen mana yang terbaik bagi masyarakat.

d. Tugas Pembantuan

Penugasan dari pemerintah kepada daerah serta desa dan dari daerah ke
desa guna melaksanakan berbagai tugas tertentu yang disertai dengan
pembiayaan, sarana, serta prasarana dan sumber daya manusia dengan kewajiban
dalam melaporkan pelaksanaannya dan dapat mempertanggungjawabkannya
kepada yang menugaskan tugas tersebut.

D. Pemeran Penting Dalam Otonomi Daerah

APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah)

Didalam Otonomi daerah selalu identik dengan yang namanya Anggaran


Pendapatan dan Belanja Daerah atau yang sering disebut APBd.Di sini saya akan
membahas sedikit mengenai APBD.

Keberhasilan otonomi daerah tidak lepas dari kemampuan bidang keuangan


yang merupakan salah satu indikator penting dalam menghadapi otonomi daerah.
Kedudukan faktor keuangan dalam penyelenggaraan suatu pemerintah sangat penting,
karena pemerintahan daerah tidak akan dapat melaksanan fungsinya dengan efektif
dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan pembangunan dan
keuangan inilah yang mrupakan salah satu dasar kriteria untukmengetahui secara
nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Suatu daerah otonom diharapkan mampu atau mandiri di dalam membiayai kegiatan
pemerintah daerahnya dengan tingkat ketergantungan kepada pemerintah pusat
mempunyai proposal yang lebih kecil dan Pendapatan Asli Daerah harus menjadi
bagian yang terbesar dalammemobilisasi dana penyelenggaraan pemerintah daerah.
Oleh karena itu,sudah sewajarnya apabila PAD dijadikan tolak ukur dalam
pelaksanaan otonomi daerah demi mewujudkan tingkat kemandirian dalam
menghadapi otonomi daerah.

Mardiasmo mendefinisikan anggaran sebagai pernyataan mengenai estimasi


kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam
ukuran finansial,sedangkan penganggaran adalah proses atau metode untuk
mempersiapkan suatu anggaran.Mardiasmo mendefinisikan nya sebagai berikut
,anggaran publik merupakan suatu dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan
dari suatu organisasi yang meliputi informasi mengenai pendapatan belanja dan
aktifitasSecara singkat dapat dinyatakan bahwa anggaran publik merupakan suatu
rencana finansial yang menyatakan :

 Berapa biaya atas rencana yang di buat(pengeluaran/belanja)


 Berapa banyak dan bagaimana cara uang untuk mendanai rencana
tersebut(pendapatan)

Sedangkan menurut UU No.17 tahun 2003 tentang keuangan Negara


disebutkan bahwa APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.Lebih lanjut dijelaskan dalam PP
No.58 Tahun 2005 tentang Pengelolahan Keuangan Daerah disebutkan bahwa APBD
adlah rencana keuangan tahunan Pemerintah daerah yang di bahas dan disetujui
bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD ditetapkan dengan peraturan daerah.
Inisiatif peningkatan perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial
ekonomi diharapkan dapat menjamin digunakannya sumber-sumber daya pemerintah
secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal.

E. Dampak Otonomi Daerah

1. Dampak Positif

Dampak positif otonomi daerah adalah bahwa dengan otonomi daerah maka
pemerintah daerah akan mendapatkan kesempatan untuk menampilkan identitas lokal
yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat
mendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang
berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada yang
didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut
memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun
program promosi kebudayaan dan juga pariwisata.

2. Dampak Negatif

Dampak negatif dari otonomi daerah adalah adanya kesempatan bagi oknum-
oknum di pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan negara
dan rakyat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu terkadang ada kebijakan-
kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan konstitusi negara yang dapat menimbulkan
pertentangan antar daerah satu dengan daerah tetangganya, atau bahkan daerah
dengan Negara, seperti contoh pelaksanaan Undang-undang Anti Pornografi ditingkat
daerah. Hal tersebut dikarenakan dengan system otonomi daerah maka
pemerintahpusat akan lebih susah mengawasi jalannya pemerintahan di daerah, selain
itu karena memang dengan sistem.otonomi daerah membuat peranan pemeritah pusat
tidak begitu berarti.

Beberapa modus pejabat nakal dalam melakukan korupsi dengan APBD :

a. Korupsi Pengadaan Barang


Modus :
 Penggelembungan (mark up) nilai barang dan jasa dari harga pasar.
b. Kolusi dengan kontraktor dalam proses tender.
c. Penghapusan barang inventaris dan aset negara (tanah)
Modus :
 Memboyong inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
 Menjual inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
e. Pungutan liar penerimaan pegawai, pembayaran gaji, keniakan pangkat,
pengurusan pensiun dan sebagainya.
Modus : Memungut biaya tambahan di luar ketentuan resmi.
f. Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti
asuhan dan jompo)
Modus :Pemotongan dana bantuan sosial, Biasanya dilakukan secara
bertingkat (setiap meja).
g. Bantuan fiktif
Modus : Membuat surat permohonan fiktif seolah-olah ada bantuan dari
pemerintah ke pihak luar.

F. Prinsip otonomi daerah

Prinsip otonomi daerah yaitu menggunakan prinsip otonomi yang nyata, prinsip
otonomi yang seluas-luasnya, serta berprinsip otonomi yang dapat bertanggung jawab.
Kebebasan otonomi yang diberikan terhadap pemerintah daerah merupakan kewenangan
otonomi yang luas, nyata, dan dapat bertanggung jawab. Berikut prinsip otonomi daerah :

 Prinsip otonomi seluas-luasnya


Daerah diberikan kebebasan dalam mengurus serta mengatur berbagai urusan
pemerintahan yang mencakup kewenangan pada semua bidang pemerintahan, kecuali
kebebasan terhadap bidang politik luar negeri, agama, keamanan, moneter, peradilan,
keamanan, serta fiskal nasional.
 Prinsip otonomi nyata
Daerah diberikan kebebasan dalam menangani berbagai urusan pemerintahan
dengan berdasarkan tugas, wewenang, serta kewajiban yang senyatanya telah ada dan
berpotensi dapat tumbuh, hidup, berkembang dan sesuai dengan potensi yang ada dan ciri
khas daerah.

 Prinsip otonomi yang bertanggung jawab

Prinsip otonomi yang dalam sistem penyelenggaraannya harus sejalan dengan


tujuan yang ada dan maksud dari pemberian otonomi, yang pada dasarnya guna untuk
memberdayakan daerahnya masing-masing termasuk dalam meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
G. Pelaksanaan Otonomi Daerah

Pelaksanaan otonomi daerah adalah titik fokus penting guna memperbaiki


kesejahteraan rakyat. Pengembangan suatu daerah disesuaikan oleh pemerintah daerah itu
sendiri dengan potensi yang ada serta ciri khas dari daerahnya masing-masing.

Otonomi daerah sudah diberlakukan di Indonesia dengan melalui Undang-Undang Nomor


22 Tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah. Pada tahun 2004, Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah sudah dianggap tidak sesuai
dengan adanya perkembangan keadaan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah,
sehingga sudah digantikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai
Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sampai saat ini sudah
banyak mengalami perubahan, terakhir kali adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 mengenai Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai
Pemerintahan Daerah.

Hal ini dapat dijadikan kesempatan yang baik bagi pemerintah daerah guna membuktikan
kemampuannya untuk melaksanakan kewenangan yang menjadi hak daerah masing-
masing. Maju dan tidaknya suatu daerah ditentukan oleh kemampuan serta kemauan
dalam melaksanakannya. Pemerintah daerah dapat bebas berkreasi dalam rangka
membangun daerahnya masing-masing, tentu saja masih tidak melanggar dengan
perundang-undangan yang berlaku.
Kewenangan daerah otonomi sangat luas, pemerintah daerah berwenang mengurus sendiri
kepentingan masyarakat. Urusan itu meliputi berbagai bidang. Misalnya:
a. Pendidikan
b. Kesejahteraan
c. Perumahan
d. Pertanian
e. Kesehatan
f. Perdagangan, dll

Pemerintah pusat hanya menangani 6 urusan saja, yaitu:


1. Politik luar negri
2. Pertahanan
3. Keamanan
4. Yustisi
5. Moneter dan Fisikal Nasional
6. Agama

H. Tujuan otonomi daerah


Penyelenggaraan otonomi daerah bertujuan, sbb:
a. Peningkatan terhadap pelayanan masyarakat yang semakin lebih baik.
b. Pengembangan kehidupan yang lebih demokrasi.
c. Keadilan nasional.
d. Pemerataan wilayah daerah.
e. Pemeliharaan hubungan antara pusat dengan daerah serta antar daerah dalam
rangka keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
f. Mendorong pemberdayaaan masyarakat.
g. Menumbuhkan prakarsa serta kreativitas, meningkatkan peran serta
keterlibatan masyarakat, mengembangkan peran serta fungsi dari DPRD.

Secara konseptual, negara Indonesia dilandasi oleh 3 tujuan utama antara lain :
 tujuan politik
 tujuan administratif
 tujuan ekonomi.

Hal yang ingin dicapai melalui tujuan politik adalah upaya dalam mewujudkan
demokratisasi politik dengan cara melalui partai politik dan DPRD.

Hal yang ingin dicapai melalui tujuan administratif adalah adanya pembagian antara
urusan pemerintahan pusat dengan pemerintah daerah, termasuk sumber keuangan,
pembaharuan manajemen birokrasi keuangan.
I. Permasalahan Otonomi daerah dan solusinya
Adapun permasalahan otonomi di Indonesia
 Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum
mantap
 Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memiadai dan
penyesuaian peraturan perundang-undangan yang ada dengan UU 22/1999
masih sangat terbatas
 Sosialisasi UU 22/1999 dan pedoman yang tersedia belum mendalam dan
meluas
 Manajemen penyelenggaraan otonomi daerah masih sangat lemah
 Pengaruh Perkembangan dinamika politik dan aspirasi masyrakat serta
pengaruh globaliasi yang tidak mudah dikelola
 Kondisi sumber daya manusia aparatur pemerintahan yang belum menunjang
sepenuhnya pelaksanaan otonomi daerah
 Belum jelas dalam kebijakan pelaksanaan perwujudan konsep otonomi yang
proporsional kedalam pengaturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya
nasional serta pertimbangan nasioanal, serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan
keadilan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Otonomi daerah saat ini juga belum mengarah pada otonomisasi masyarakat daerah.
Salah satu ciri otonomi daerah adalah peningkatan keterlibatan masyarakat daerah untuk ikut
menentukan nasibnya sendiri, tetapi kenyataannya masyarakat belum memiliki andil besar
dalam pelaksanaan otonomi daerah. Ada kecenderungan bahwa partisipasi masyarakat di era
desentralisasi dimanfaatkan oleh para elit masyarakat yang lebih mengetahui akses untuk
mempengaruhi kebijakan di tingkat daerah dan kehadiran mereka mengatasnamakan wakil
rakyat yang menyuarakan keinginan rakyat. Rakyat hanya digunakan sebagai tunggangan
politik ketika pemilu untuk memenangkan tujuan seseorang atau kelompok tertentu. Setelah
yang bersangkutan terpilih, tidak ada kekuatan hukum yang secara tertulis mengikat si
terpilih untuk memenuhi tuntutan rakyat yang telah mendukungnya dalam pemilu. Besarnya
dominasi pemerintah daerah dalam proses pembuatan kebijakan publik, penganggaran
belanja daerah, penyelenggaraan pelayanan publik serta pengelolaan sumberdaya menjadi
salah satu alasan makin tertutupnya akses masyarakat untuk ikut menentukan proses
pemerintahan. Selain itu, Pemda hanya melibatkan organisasi-organisasi formal yang
berbadan hukum seperti parpol dalam proses pengambilan keputusan maupun pelaksanaan
pemerintahan. Dengan kata lain, partisipasi masyarakat masih rendah.

Permasalahan-permasalahan yang diuraikan diatas menuntut untuk segera dicari


solusinya agar tujuan otonomi daerah berjalan sesuai ketentuan undang-undang. Solusi yang
dapat ditawarkan antara lain mengenai kualifikasi pimpinan atau kepala daerah. Tidak dapat
dipungkiri, peran kepala daerah dalam menentukan arah pembangunan daerah sangat besar.
Apabila tidak ada political will dari pimpinan, usaha-usaha perbaikan tidak dapat dilakukan.
Selain itu, dibutuhkan kepala daerah yang memang mampu dibidangnya, tanggap, kritis,
memiliki kreatifitas dan inovasi yang tinggi dan kemauan yang kuat merubah daerahnya lebih
baik. Untuk itu diperlukan pembinaan kader-kader politik dengan membekali pendidikan
serta pengetahuan yang luas mengenai kearifan lokal dan pentingnya daya saing daerah.
Selama ini kepala daerah sebagian besar berasal dari parpol, dengan demikian pembinaan
kader politik dapat dilakukan oleh partai yang bersangkutan dan memberikan mereka
tanggungjawab untuk menelurkan kader-kader politik yang berkualitas.

Selain dalam segi kepemimpinan yang harus diperbaiki, peningkatan keterlibatan


masyarakat dari berbagai kalangan, bukan hanya pada golongan elit masyarakat. Peningkatan
keterlibatan tersebut dapat dilakukan melalui pemberian akses seluas-luasnya kepada seluruh
masyarakat tanpa menimbulkan diskriminiasi bagi beberapa pihak serta memberikan tata cara
partisipasi mereka secara jelas dan tersosialisasi. Pemberian hak seluas-luasnya kepada
masyarakat untuk memperoleh informasi mengenai penyelenggaraan pemerintah daerah juga
merupakan kewajiban pemerintah. Menyediakan tempat dan SOP mekanisme pengaduan
masyarakat, bukan hanya melalui kotak pengaduan, via email, call center maupun surat pos,
tetapi menyediakan wadah atau lembaga yang secara khusus melayani pengaduan masyarakat
disertai upaya merealisasikannya. Tidak harus membentuk lembaga baru, optimalisasi
lembaga/badan atau SKPD yang ada untuk menyediakan mekanisme pengaduan masyarakat,
juga merupakan upaya yang cerdas untuk membuka kesempatan berpartisipasi serta menjadi
media pengawasan dari masyarakat.
Solusi lain yaitu mengenai perekrutan pegawai pemerintahan. Selama ini PNS di
daerah, rekrutmen hanya melalui seleksi secara umum, belum ada sistem perekrutan sesuai
spesialisasi kerja (disesuaikan antara formasi dan latar belakang pendidikan), sehingga ketika
mereka ditempatkan di pemerintahan, kinerja mereka hanya sebatas tugas yang dibebankan
sebagai pegawai tanpa memberikan kontribusi serta inovasi yang lebih dalam menentukan
maupun pelaksanaan program-program pemerintah. Selain itu, banyak sekali kasus KKN
yang terjadi di daerah ketika perkrutan PNS. Tidak sedikit dari mereka membayar ratusan
juta kepada calo agar mereka bisa diterima sebagai PNS. Jadi, kinerja mereka bukan berdasar
keahlian serta motivasi untuk berkontribusi kepada daerah, dampaknya buruknya dirasakan
oleh masyarakat yang tidak memperoleh pelayanan dengan baik. Kurangnya orang-orang
yang berpotensi, ahli dan inovatif dalam struktur pemerintahan daerah, membuat pemerintah
daerah mandek, monoton, dalam menjalankan program daerah. Kondisi ini mengerucut pada
daya saing daerah yang lemah, dan pangkalnya, cita-cita terhadap Kemandirian daerah
melalui Otonomi daerah laksana jauh panggang dari api.

Dalam menempatkan seseorang pada jabatan harus dipertimbangkan betul tentang


profesinya dan melalui suatu seleksi (psiko, kesehatan dan kompetensi). Tes kompetensi
tersebut, jika dimungkinkan oleh lembaga yang ahli dan independen. Harus ada ketentuan
yang tegas, bahwa politik tidak mencampuri penentuan penempatan untuk jabatan-jabatan
struktural. Pola Reward and Punishment ditegakkan secara adil dan profesional, sehingga
tidak terkesan sama rata atau diskriminatif. Pola pembinaan karir para aparatur hendaknya
ditetapkan secara jelas dengan suatu peraturan perundangan sehingga akan menjadi pedoman
dalam pembinaan aparatur di daerah. Masyarakat menjadi salah satu faktor penting bagi
setiap kebijakan yang diberlakukan, karena masyarakat sesungguhnya adalah pelaku utama,
yang langsung “bersentuhan” atau berkepentingan dengan kebijakan tersebut. Oleh karena
itu, sangat naif jika kita menghendaki suatu kebijakan berhasil tanpa melibatkan masyarakat.
Sebenarnya pemberian otonomi dan desentralisasi politik pada daerah tidak otomatis
menjadi solusi untuk mempererat integrasi nasional. Bahkan sebaliknya memberi ruang bagi
tumbuhnya semangat kedaerahan yang berlebihan. Hal ini terjadi karena pola hubungan antar
etnis di Indonesia selama ini tidak dibangun atas dasar pemahaman yang mendalam dan
komprehensif mengenai pemaknaan terhadap karakteristik masingmasing etnis. Yang
mengemuka justru pola-pola stereotip yang mengarah pada prasangka satu sama lain. Tidak
ada mekanisme yang dapat mempersatukan etnis yang satu dengan etnis yang lain secara
alamiah, bahkan mekanisme pasar sekaligus didasarkan atas etnisitas. Misalnya di daerah
Nusa Tenggara Timur, pembagian kerja antara pedagang sayur dengan pedagang daging
didasarkan atas etnisitasnya. Di sisi lain, politik daerah yang dikembangkan pada era transisi
ini belum menempatkan daerah sebagai ruang politik tetapi sebagai ruang kultural.
Akibatnya, proses politik dan relasi kekuasaan di daerah pun didasarkan pada pola-pola
hubungan primordial. Keinginan untuk dipimpin oleh putra daerah merupakan kewajaran
dalam ruang kultural, tapi tidak dalam ruang politik karena ruang politik mensyaratkan
persamaan hak-hak warga negara di mana pun ia berdomisili.

Pemaknaan otonomi secara kultural memandang politik lokal sebagai kesatuan nilai,
kultur, kustom, adat istiadat dan bukan sebagai konsep politik. Perspektif ini juga mengakui
kemajemukan masyarakat namun dalam arti sosio-kultural, di mana setiap masyarakat dan
lokalitas adalah unik sehingga setiap masyarakat dan lokalitas memiliki hak-hak sosial,
ekonomi, budaya, dan identitas diri yang berbeda dengan identitas nasional. Pemahaman
inilah yang kemudian memunculkan berbagai kebijakan daerah yang bernuansa etnisitas.
Sedikit banyak karakteristik masyarakat Indonesia yang pluralistik dan terfragmentasi, turut
mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya etnonasionalisme.

Perlu publikasi yang luas dan mendalam atas setiap kebijakan yang diberlakukan.
Yang kita maksudkan publikasi disini adalah penjelasan atau sosialisasi kebijakan dimaksud
kepada masyarakat. Selama ini yang sering kita pantau dan tangkap, sosialisasi kebijakan
hanya diberikan kepada para elite politik atau pejabat tertentu, dalam jumlah yang terbatas
pula, tanpa melibatkan secara aktif peran-serta masyarakat. Padahal kita tahu, kebijakan itu
adalah untuk masyarakat dan aturan tersebut dikenakan kepada masyarakat. Sebab itu, sangat
ironis jika mereka yang menjadi obyek suatu kebijakan tidak mengetahui apa yang harus
dilakukan. Kita sebut publikasi yang luas dan mendalam artinya adalah memberikan
penjelasan kepada masyarakat dengan bahasa masyarakat, yang jelas dan mudah dimengerti,
karena masyarakat kita sangat majemuk, dengan tingkat pendidikan dan penalaran yang
beragam pula. Sangat tidak masuk akal bila kita menjelaskan suatu kebijakan kepada mereka
dengan bahasa ilmiah, politik, atau pun bahasa lain yang sulit dimengerti oleh “rakyat
banyak”. Bila bahasa “canggih” atau yang tidak memasyarakat seperti itu yang kita
pergunakan, hampir pasti bahwa penjelasan yang disampaikan tidak akan sampai atau
menyentuh hati mereka. kita juga perlu memilih dan mempergunakan media yang tepat guna.
Artinya, media yang dikenal dan sering bersentuhan dengan masyarakat serta menggunakan
bahasa rakyat akan jauh lebih efektif daripada media lainnya. Ia dapat berupa tabloid,
majalah, surat kabar, televisi, dan bahkan para ulama dan tokoh agama dalam masyarakat.
Dengan cara atau pendekatan seperti itu, kita yakin, pesan yang hendak kita sampaikan ke
tengah-tengah masyarakat akan sampai dengan lebih baik. Media yang belum begitu banyak
dilakukan dalam rangka sosialisasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dewasa ini,
misalnya, adalah dakwah, khotbah dan “ruang-ruang” pengajian. Padahal, media ini adalah
merupakan salah satu alternatif media masyarakat yang dapat dipergunakan untuk
memperkenalkan otonomi daerah secara lebih luas dan lebih efektif. Lewat dakwah, pesan
otonomi daerah akan lebih mengena, karena kesan yang ditangkap bukan menggurui, tetapi
lebih cenderung mengajak dan mengajak untuk berbuat secara konkrit untuk kelancaran dan
keberhasilan implementasi otonomi daerah. Melalui cara ini, umat diharapkan akan
berpartisipasi secara aktif bersama umat beragama lainnya. Jadi, bila peran-serta aktif
masyarakat dalam implementasi otonomi daerah sekarang belum terlihat, bukan berarti
bahwa mereka tidak perduli dan tidak menghendaki adanya kebijakan tersebut. Tetapi, ada
beberapa hal yang kurang kita perhatikan atau kita lupakan belakangan ini. Harapan kita,
lewat apa yang kita ketengahkan di atas sebagai “urun rembug” untuk pencapaian tujuannya,
di waktu mendatang, otonomi daerah akan dapat diterima oleh masyarakat secara baik dan
benar. Dengan demikian, partisipasi aktif masyarakat untuk kelancaran dan keberhasilan
implementasi otonomi daerah itu pun tidak perlu lagi diragukan.
Dari beberapa solusi tersebut di atas bisa diketahui bahwa
sumber daya manusia menjadi kata kunci dalam mewujudkan keberhasilan otonomi
daerah. Pada sisi pemerintah dapat terwujud menjadi teknokrat yang bertanggung jawab
kepada kepentingan rakyat, sebaliknya pada sisi rakyat muncul partisipasi yang besar dalam
rangka pelaksanaan otonomi daerah. Jadi, faktor yang mempengaruhi keberhasilan
implementasi Otonomi Daerah secara operasional di lapangan adalah intensitas partisipasi
masyarakat. Masyarakat menjadi salah satu faktor penting bagi setiap kebijakan yang
diberlakukan, karena masyarakat merupakan pihak yang langsung berkepentingan dengan
kebijakan tersebut. Oleh karena itu, tidak mungkin jika menghendaki suatu kebijakan berhasil
tanpa melibatkan peran masyarakat.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas dapat dipahami dengan adanya otonomi daerah, maka
setiap daerah akan diberi kebebasan dalam menyusun program dan mengajukannya kepada
pemerintahan pusat. Hal ini sangat akan berdampak positif dan bisa memajukan daerah
tersebut apabila Orang/badan yang menyusun memiliki kemampuan yang baik dalam
merencanan suatu program serta memiliki analisis mengenai hal-hal apa saja yang akan
terjadi dikemudia hari. Tetapi sebaliknya akan berdamapak kurang baik apabila orang /badan
yang menyusun program tersebut kurang memahami atau kurang mengetahui mengenai
bagaimana cara menyusun perencanaan yang baik serta analisis dampak yang akan terjadi.

B. Saran

Analisis Langkah-Langkah Yang Harus Diambil Pemerintah Dalam Mengontrol Otonomi


Daerah:

1. Merumuskan kerangka hukum yang memenuhi aspirasi untuk otonomi di tingkat


propinsi dan sejalan dengan strategi desentralisasi secara bertahap.

2. Menyusun sebuah rencana implementasi desentralisasi dengan memperhatikan faktor-


faktor yang menyangkut penjaminan kesinambungan pelayanan pada masyarakat,perlakuan
perimbangan antara daerah-daerah,dan menjamin kebijakan fiskal yang berkelanjutan.

3. Untuk mempertahankan momentum desentralisasi,pemerintah pusat perlu menjalankan


segera langkah desentralisasi,akan tetapi terbatas pada sektor-sektor yang jelas merupakan
kewenangan Kabupaten dan Kota dan dapat segera diserahkan.

4. Proses otonomi tidak dapat dilihat sebagai semata-mata tugas dan tanggung jawab dari
menteri negara otonomi atau menteri dalam negeri,akan tetapi menuntut koordinasi dan
kerjasama dari seluruh bidang dalam kabinet (Ekuin,Kesra & Taskin, dan Polkam).

Upaya Yang Menurut Saya harus Dilakukan Pejabat Daerah Untuk Mengatasi Ketimpangan
Yang Terjadi :

1. Pejabat harus dapat melakukan kebijakan tertentu sehingga SDM yang berada di pusat
dapat terdistribusi ke daerah.
2. Pejabat harus melakukan pemberdayaan politik warga masyarakat dilakukan melalui
pendidikan politik dan keberadaan organisasi swadaya masyarakat, media massa dan lainnya.

3. Pejabat daerah harus bisa bertanggung jawab dan jujur.

4. Adanya kerjasama antara pejabat dan masyarakat.

5. Dan yang paling penting pejabat harus tahu prinsip-prinsip otonomi.

Anda mungkin juga menyukai