Anda di halaman 1dari 17

TEORI TEORI DALAM PEMERINTAHAN DAERAH

Silva Syahraini
Universitas Muhammadiyah Sidenreng Rappang
Silvasyahrainiyahya1406@gmail.com

ABSTRAK

Teori adalah generalisasi yang abstrak mengenai beberapa fenomena. Dalam menyusun
generalisasi, teori selalu memkai konsepkonsep. Konsep lahir dalam pikiran (mind) manusia dan
karena itu bersifat abstrak, sekalipun fakta-fakta dapat dipakai sebagai batu loncatan. Konsep
adalah unsur yang penting dalam usaha kita untuk mengerti dunia sekeliling. Otonomi daerah
adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonomuntukmengatur dan mengurus sendiri
pemerintahan dan kepentingan masyarakat sesuai dengan perundang - undangan. Dengan
diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah diberikan tanggung jawab untuk mengatur,
memanfaatkandanmenggali sumber - sumber potensi yang ada di daerah untuk memenuhi
kebutuhandaerah masing - masing. Dalam memenuhi kebutuhan daerah, pemerintah
daerahberupaya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). PADbersumber dari pajak
daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah danhasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan, dan pendapatan lain-lain yangsah. Salah satu pajak daerah yang berpotensi
besar adalah pajak hotel.

Kata kunci : Teori teori dalam pemerintahan

PENDAHULUAN

Negara Kesatuan merupakan bentuk negara yang berdasarkan kesepakatan perubahan atau
amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI 1945) sampai
kapanpun tidak akan diubah.Dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan daerah, diupayakan
pelaksanaannya berdasarkan prinsip otonomi daerah. Hal ini supaya penyelenggaraan
pemerintahan dapat menjangkau sampai dengan daerah daerah terjauh dari pusat pemerintahan.
Setiap daerah otonom yang melaksanakan fungsi dan prinsip otonomi daerah memiliki
pemerintah daerah yang menyelenggarakan pemerintahan daerah. Penyelenggaraan urusan
Pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya
dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
UUD NRI 1945, hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang No. 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU No. 23 Tahun 2014). Pengaturan
dalam UU No. 23 Tahun 2014 tersebut sejatinya merupakan amanah pengaturan Pemerintahan
Daerah dalam konstitusi, yakni Pasal 18 UUD NRI 1945, yang berbunyi: (1) Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan
daerah yang diatur dengan undang-undang. (2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten,
dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. (3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi
kabupaten, dan kota di[ilih secara demokratis. 5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan pemerintah pusat. (6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. (7) Susunan dan
tata cara penyelenggaraan Pemerintah Daerah diatur dalam undang-undang. Selain itu, pasal
berikutnya yakni Pasal 18A UUD NRI 1945 mengamanatkan tentang hubungan wewenang
antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara
provinsi, kabupaten serta kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan
dan keragaman daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam,
serta sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan
dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.

Pengaturan dalam kedua pasal tersebut sekaligus apa yang diatur dalam undang-undang
organiknya, dalam penerapan memiliki implikasi “ikutan” yakni adanya hubungan kewenangan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah otonom, terdapat pelimpahan maupun
penyerahan beberapa urusan dari pusat ke daerah sampai dengan kemandirian yang coba untuk
dibangun di daerah-daerah otonom. Adanya penyerahan atau pelimpahan urusan dari pusat ke
daerah juga diakui sebagaimana UU No. 23 Tahun 2014 mengartikan apa itu otonomi daerah,
yakni hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sedangkan untuk daerah otonom diartikan sebagai kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Baik penyerahan
maupun pelimpahan urusan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah Otonom sesungguhnya
harus benar-benar diatur secara serius, melihat bahwasannya negara kita konsisten untuk
mempertahankan bentuk negara kesatuan, maka konsep yang harus dibangun dalam hal
hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus diatur sedemikian
rupa sehingga tidak sampai mengancam kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, sekalipun daerah diberikan hak untuk bertumbuh secara mandiri. Atau paling tidak,
jangan sampai penerapan otonomi daerah nantinya, justru menghasilkan tarik menarik hubungan
yang kemudian memunculkan apa yang oleh Bagir Manan (1994 : 22-23), disebut dengan
spanning antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
1. Definisi Otonomi daerah

Otonomi Daerah Otonomi daerah adalh hak wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan otonomi yang nyata
adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu
yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah. Yang
dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung
jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas
dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi,
berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan
kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara
pusat dan daerah serta antardaerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Dalam penjelasan umum Undang- Undang Nomor 23 tahun 2014 Tentang dikemukakan
bahwa daerah provinsi berkedudukan sebagai daerah otonom sekaligus wilayah administratif.
Dengan kata lain daerah provinsi dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi.
Asas dekonsentrasi dilaksanakan secara meluas di tingkat provinsi dan secara 8 9 terbatas di
tingkat kabupaten/kota, terutama untuk kewenangan yang mutlak berada di tangan pemerintah
pusat. Model ini oleh B.C.Smith (1985) dinamakan sebagai “Fused Model”. Daerah
kabupaten/kota merupakan daerah otonom semata yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi,
dan menurut Smith model ini dinamakan “Split Model” (Smith:1985). Pengertian Otonomi
Daerah Menurut Para Ahli

1. Menurut F. Sugeng Istianto: Otonomi Daerah adalah sebuah hak dan wewenang untuk
mengatur serta mengurus rumah tangga daerah.
2. Menurut Syarif Saleh: Otonomi Daerah merupakan hak yang mengatur serta
memerintah daerahnya sendiri dimana hak tersebut merupakan hak yang diperoleh dari
pemerintah pusat.
3. Menurut Kansil: Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, serta kewajiban daerah
untuk mengatur serta mengurus daerahnya sendiri sesuai perundang-undangan yang
masih berlaku.
4. Menurut Widjaja: Otonomi Daerah merupakan salah satu bentuk desentralisasi
pemerintahan yang pada dasarnya ditujukan untuk memenuhi kepentingan bangsa dan
negara secara menyeluruh dengan upaya yang lebih baik dalam mendekatkan berbagai
tujuan penyelenggaraan pemerintahan agar terwujudnya cita-cita masyarakat yang adil
dan makmur.
5. Menurut Philip Mahwood: Otonomi Daerah merupakan hak dari masyarakat sipil
untuk mendapatkan kesempatan serta perlakuan yang sama, baik dalam hal
mengekspresikan, berusaha 10 mempertahankan kepentingan mereka masing-masing
dan ikut serta dalam mengendalikan penyelenggaraan kinerja pemerintahan daerah.
6. Menurut Benyamin Hoesein: Otonomi Daerah merupakan pemerintahan oleh dan
untuk rakyat di bagian wilayah nasional Negara secara informal berada diluar
pemerintah pusat.
7. Menurut Mariun: Otonomi Daerah merupakan kewenangan atau kebebasan yang
dimiliki pemerintah daerah agar memungkinkan mereka dalam membuat inisiatif
sendiri untuk mengatur dan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki daerahnya.
8. Menurut Vincent Lemius: Otonomi Daerah adalah kebebasan/ kewenangan dalam
membuat keputusan politik serta administrasi yang sesuai dengan peraturan
perundang- undangan.

Dasar Hukum Pelaksanaan Otonomi Daerah: 1. Undang Undang Dasar Tahun 1945
Amandemen ke-2 yang terdiri dari: Pasal 18 Ayat 1 - 7, Pasal 18A ayat 1 dan 2 dan Pasal
18B ayat 1 dan 2. 2. Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan
Otonomi Daerah. 3. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 mengenai Rekomendasi
Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. 4. Undang Undang No. 32 Tahun
2004 mengenai Pemerintahan Daerah. 11 5. Undang Undang No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Daerah dan Pusat. Penerapan Otonomi Daerah,
Penerapan (Pelaksanaan) otonomi daerah di Indonesia menjadi titik fokus penting dalam
memperbaiki kesejahteraan rakyat. Pengembangan suatu daerah bisa disesuaikan oleh
pemerintah daerah dengan potensi dan ciri khas daerah masing-masing. Otonomi daerah
mulai diberlakukan di Indonesia berdasarkan UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah. Pada tahun 2004, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
telah dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, serta
tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah. Oleh karena itu maka Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Sampai sekarang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah telah mengalami banyak perubahan. Salah satunya yaitu Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

2. Teori Pembagian Kekuasaan Secara Vertikal (areal division of power)

Menurut Arthur Mass, terdapat dua hal terkait dengan pembagiankekuasaan, yaitu capital
division of power sebagai pembagiankekuasaan secara horizontal atau yang sering
dipersamakan denganpemisahan kekuasaan (separation of power) dan areal division of
powersebagai pembagian kekuasaan secara vertikal. Pembagian danpemisahan tergantung
pada prinsip-prinsip yang dianut dalam landasanhukum suatu negara. Kekuasaan
pemerintahan diartikan sebagai totalcapacity to govern which is or can be exercised by a
given politicalcommunity. Kekuasaan pemerintahan ini dapat dibagi di antara badan-badan
resmi di pusat pemerintahan dan di antara wilayah dengan cara yang berbeda-beda. Teori
Pembagian Wilayah dalam Negara Kesatuan Asas yang terdapat dalam negara kesatuan
adalah bahwa urusan-urusan negara tidak dibagi antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah sedemikian rupa sampai pada urusan-urusan tertentu badan pemerintah yang satu
tidak dbenarkan mencampuri urusan-urusan badan pemerintah yang lainnya. Jadi urusan-
urusan negara kesatuan merupakan satu kesatuan yang bulat, karena jabatan- jabatan dalam
organisasi negara yang bersifat kekuasaan tertinggi atau urusan-urusan negara berada pada
pemerintah pusat.

Dari filosofi bentuk negara, terdapat dua pola dasar pembagian kekuasaan dan
kewenangan, pertama, pola general competence atau open and arrangement, yang dinamakan
otonomi luas, yakni urusan yang dilakukan oleh pemerintah pusat bersifat limitatif dan
sisanya (urusan residual) menjadi kewenangan pemerintah daerah. Di Negara federal, limitasi
tersebut eksplisit di dalam konstitusi, sementara di negara kesatuan, tercantum dalam
undang-undang atau aturan hukummyang lebih rendah. Kedua, pola ultravires, atau otonomi
terbatas adalah urusan-urusan daerah yang ditentukan secara limitatif (terbatas) dan sisanya
menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pembatasan ini dilakukan dalam suatu undang-
undang.

Terkait dengan Teori pembagian kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah


Daerah, menurut pendapat penulis, pada saat ini telah berkembang varian baru, sehingga
tidak terpaku pada pola otonomi luas maupun otonomi terbatas. Di Indonesia tidak lagi dapat
diseragamkan bahwa penyerahan kewenangan dari pusat ke daerahsemuanya sama, yaitu
dengan otonomi luas. Untuk Aceh dan Papua dikenal adanya desentralisasi asimetrik,
dimana kedua daerah tersebut memiliki otonomi khusus. Pemerintahan Aceh misalnya juga
memiliki kewenangan yang sebenarnya hanya dimiliki oleh pusat. Hal ini tidak akan berhenti
sampai di sini, karena perkembangan di Indonesia akan memunculkan otonomi-otonomi
dengan varian lain yang berbeda satu sama lain. Misalnya, dengan memperhatikan
karakteristik khusus wilayah kepupauan dan perbatasan atau dengan penitikberatan otonomi
pada tingkat kecamatan demi efektifitas pemerintahan dan memperpendek rentang kendali.
Dengan demikian, Indonesia akan menjadi satu negara yang mempunyai sistem otonomi
yang berbeda dengan memperhatikan karakteristik masing-masing daerah, namun tetap
dengan tujuan akhir kesejahteraan bagi seluruh warga Negara dan terjaganya integrasi
bangsa.

3. Teori Kelembagaan

Menurut Veblen, kelembagaan adalah sekumpulan norma dan kondisi-kondisi ideal (sebagai
subyek dari perubahan dramatis) yang direproduksi secara kurang sempurna melalui kebiasaan
pada masing-masing generasi individu berikutnya (Yustika: 2013: 43). Dengan demikian
kelembagaan berperan sebagai stimulus dan petunjuk terhadap perilaku individu. Dalam hal ini,
keinginan individu (individual preferences) bukanlah faktor penyebab fundamental dalam
pengambilan keputusan, sehingga pada posisi ini tidak ada tempat untuk memulai suatu teori.
Kelembagaan berasal dari kata lembaga, yang berarti aturan dalam organisasi atau kelompok
masyarakat untuk membantu anggotanya agar dapat berinteraksi satu dengan yang lain untuk
mencapai tujuan yang diinginkan (Ruttan dan Hayami: 1984 dalam repository UMY). Menurut
pandangan ahli kelembagaan rentang alternatif manusia ditentukan melalui struktur
kelembagaan. Kelembagaan hadir di masyarakat karena kondisi masyarakat dipenuhi oleh
berbagai aturan, untuk mengatur perilaku manusia maka kelembagaan sebagai media atau wadah
dalam membentuk pola-pola yang telah mempunyai kekuatan yang tetap dan aktivitas guna
memenuhi kebutuhan harus dijalankan melalui pola yang ada di kelembagaan. Melalui
kelembagaan yang dibuat untuk mengatur terhadap 13 pola perilaku dan pemenuhan kebutuhan
manusia, maka keberadaan kelembagaan akan memberikan kontribusi bagi kehidupan
masyarakat.

4. Teori Desentralisasi

Desentralisasi adalah sebuah paradigma yang sangat antitesis dengan sentralisasi yang menjadi
paradigma absolut dari pemerintahan orde baru yang hegemonik. Dengan wilayah yang sangat
luas seperti Indonesia, dengan beragam corak dan budaya daerah yang beraneka rupa, dengan
bermacam-macam kebutuhan dan potensi yang dimiliki daerah, dan dengan letak geografis dan
demografis yang begitu luas, tentu saja paradigma sentralistik akan menjadi sesuatu yang sangat
mustahil dalam menciptakan pemerataan kemakmuran dan keadilan serta pemberdayaan yang
merata bagi semua warga negara. Karena itulah, pada zaman Orde Baru banyak sekali
kesenjangan yang terjadi antara pusat dan daerah, baik dari segi pemerataan pembangunan,
pembagian dan distribusi 2 kewenangan, tingkat kemakmuran, hingga pada persoalan
pengelolaan sumber daya alam, yang membuat daerah menjadi merasa diperlakukan tidak adil
dan akhirnya melakukan penentangan-penentangan yang jika tidak dikelola dengan baik akan
berujung pada disintegrasi bangsa.

Namun, sejak era reformasi bergulir, proyek desentralisasi yang diwujudkan dalam proyek
otonomi daerah menjadi sesuatu yang sangat signifikan bagi perkembangan dan dinamisasi
potensi daerah sehingga mereka bisa memberdayakan dan mengelola potensi dan sumber daya
mereka dengan semaksimal mungkin untuk kepentingan daerahnya dan kemakmuran masyarakat
yang ada di daerahnya. Jadi, membahas tentang desentralisasi tentu merupakan sebuah upaya
yang signifikan agar terjadi sebuah pemahaman yang utuh tentang apa dan bagaimana hakikat
desentralisasi itu sendiri? Selain itu, desentralisasi juga merupakan sesuatu yang khas dan
bersifat lokal, sehingga proyek desentralisasi ini tentu akan sangat berbeda dari satu negara ke
negara yang lain. Karena itu, menjadi sangatlah penting untuk memahami potret desentralisasi di
Indonesia, yang diwujudkan dalam bentuk otonomi daerah yang menemukan momentumnya
sejak awal dasawarsa 2000-an hingga sekarang ini. Lalu seperti apakah potret desentralisasi dan
otonomi daerah di Indonesia itu? Tentu buku ini akan memberikan penjelasannya. Buku ini tentu
tidak hanya membahas tentang apa dan bagaimana hakikat desentralisasi tersebut dan juga
bagaimana potretnya di Indonesia, tapi juga akan membahas tentang elemen penting dalam
proyek desentralisasi dan 3 otonomi daerah itu sendiri, yaitu kesiapan pemerintah dan aparatnya
serta kesiapan warga negaranya.

Konsep Desentralisasi Secara konseptual, pengertian desentralisasi ini telah banyak


didefinisikan oleh para ahli dari berbagai sudut pandang, terutama perspektif politik dan
administrasi publik. Salah satu definisi desentralisasi yang menjadi rujukan dalam
perspektif administrasi publik adalah dikemukakan Rondinelli dan Cheema (1983: 18)
yang menyatakan bahwa desentralisasi: “...The transferring of planning, decision-making,
or administrative authority from central government to its field organizations, local
administrative units, semi autonomous and parastatal organizations, local governments, or
nongovernmental organizations.”

Desentralisasi menurut Rondinelli dan Cheema merupakan penyerahan perencanaan,


pengambilan keputusan atau kewenangan administratif dari pemerintah pusat kepada
organisasinya di lapangan, unit-unit administrasi lokal, organisasi semi-otonom dan
organisasi parastatal, pemerintah lokal atau organisasi daerah.

Litvack & Seddon (1999: 2) menerjemahkan desentralisasi sebagai: “The transfer of


authority and responsibility for public function from central government to subordinate or
quasi- independent government organization or the private sector.” Litvack & Seddon
menyatakan bahwa desentralisasi merupakan penyerahan kewenangan dan tanggung
jawab fungsi publik dari pemerintahan pusat kepada organisasi pemerintah sub-nasional
atau semi-independen atau sektor swasta.

Esensi dari konsep desentralisasi sesungguhnya berkaitan dengan upaya pemerintah


untuk menyerahkan sebagian kewenangannya, baik kepada pemerintahan yang ada di
bawahnya maupun pihak lain termasuk kepada pihak swasta.

Mardiasmo (2002: 5) mengemukakan bahwa: “Desentralisasi tidak hanya


diterjemahkan sebagai pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah
yang lebih rendah, tetapi juga pelimpahan beberapa wewenang pemerintahan ke pihak
swasta, yang di antaranya diterjemahkan dalam bentuk privatisasi.”

Mengapa Perlu Desentralisasi The Liang Gie (1978: 13) mengemukakan alasan-alasan
perlunya implementasi konsep desentralisasi. Alasan-alasan tersebut, Dilihat dari sudut
politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah
penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang akhirnya dapat menimbulkan tirani.

Dalam bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai tindakan


demokratisasi untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam
menggunakan hak-hak demokrasi.
Dari sudut teknis organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan
daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang
efisien. Apa yang dianggap lebih utama untuk diurus oleh pemerintah setempat,
pengurusannya diserahkan kepada daerah. Hal-hal yang lebih tepat di tangan pusat tetap
diurus oleh pusat.

Dari sudut kultural, desentralisasi perlu diadakan supaya perhatian dapat


sepenuhnya ditumpahkan kepada kekhususan suatu daerah, seperti geografi, keadaan
penduduk, kegiatan ekonomi, watak budaya atau latar belakang sejarahnya.

Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena


pemerintah daerah dapat lebih banyak secara langsung membantu pembangunan tersebut.
Mengapa Perlu Desentralisasi

Argumentasi yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Cheema & Rondinelli (1983:
14-16) yang menguraikan beberapa alasan perlunya desentralisasi, yaitu: Suatu cara untuk
mengatasi berbagai kegawatan keterbatasan; Mengatasi prosedur struktur ketat suatu
perencanaan terpusat; Peningkatan sensitivitas terhadap masalah dan kebutuhan
setempat; Penetrasi politik dan administrasi negara; Perwakilan lebih baik; Kapasitas dan
kemampuan administrasi publik yang lebih baik; Pelayanan lapangan dengan efektivitas
lebih tinggi di tingkat lokal; Meningkatkan koordinasi dengan pimpinan setempat;
Melembagakan partisipasi masyarakat setempat; Menciptakan cara-cara alternatif
pengambilan keputusan; Administrasi publik yang lebih fleksibel, inovatif dan kreatif;
Keanekaragaman fasilitas pelayanan yang lebih baik; Stabilitas politik yang lebih baik; dan
Peningkatan jumlah dan efisiensi penyaluran barang dan pelayanan publik. 7

Desentralisasi Teritorial Brian C. Smith (1985), dalam bukunya Decentralization: The


Territorial Dimension of the State, secara tegas mengatakan bahwa dimensi teritorial
dalam desentralisasi memiliki kedudukan yang sangat penting. Smith mengatakan: “In the
study of politics decentralization refers to the territorial distribution. It is concerned with
the extent to which power and authority are dispersed through the geographical hierarchy
of the state, and the institutions and processes through which such dispersal occurs.
Decentralization entails the subdivision of the state's territory into smaller areas and the
creation of political and administrative institutions in those area. Some of the institutions
so created may themselves find it necessary to practice further decentralization.

Desentralisasi Teritorial Smith berpendapat bahwa dalam studi politik, desentralisasi


merujuk pada distribusi kekuasaan berdasarkan kewilayahan (teritorial). Desentralisasi
berkenaan dengan sejauh mana kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) melalui
hierarki secara geografis dalam negara dan juga berkenaan dengan institusi dan proses
yang memungkinkan berlangsungnya pembagian tersebut. Dalam praktiknya, kata Smith,
desentralisasi mensyaratkan pembagian wilayah negara ke dalam daerah-daerah yang
lebih kecil serta pembentukan institusi-institusi administratif dan politik di daerah
tersebut.

Desentralisasi Teritorial Studi yang dilakukan Mudiyati Rahmatunnisa (2011: 2)


terhadap konsep desentralisasi teritorial yang digunakan beberapa ahli menunjukkan
perbedaan dari segi arti dan bentuknya (Burns, Hambleton & Hogget, 1999; Rondinelli &
Cheema, 1983). Variasi ini didasarkan pada tiga perspektif yang berbeda, yaitu derajat dari
kewenangan dan kekuasaan, otonomi dari organisasi-organisasi yang diberi kekuasaan dan
kewenangan, dan jenis dari kewenangan yang diserahkan yang harus dijalankan oleh level
pemerintah daerah (pemda). Satu hal yang para akademisi sepakat adalah perbedaan-
perbedaan ini menentukan tindakan yang khusus dan masing-masing bentuk dari
desentralisasi teritorial.

Tiga Jenis Desentralisasi Para ahli desentralisasi merumuskan desentralisasi ini ke


dalam tiga varian bentuk, yakni dekonsentrasi (deconcentration), desentralisasi fiskal
(fiscal decentralization), dan devolusi (devolution) (Manor, 1999 dalam Mudiyati, 2011).

Dekonsentrasi Yang pertama, dekonsentrasi, merujuk kepada “the dispersal of agents


of higher levels of government into lower level arenas”. Manor menekankan bahwa dalam
tipe desentralisasi ini, sebenarnya tidak ada kewenangan yang diserahkan dari pusat,
hanya ada relokasi aparat publik yang bertanggung jawab kepada aparat yang lebih tinggi
tingkatannya dalam sebuah sistem pemerintahan. Ini senada dengan definisi yang
dikemukakan Talcott Parsons. Menurutnya, dekonsentrasi adalah the sharing of power
between members of the same ruling group having authority respectively in different areas
of the state. Atau dalam bahasa Rondinelli dan Cheema, dekonsentrasi adalah pengalihan
beberapa kewenangan atas tanggung jawab administrasi di dalam suatu kementerian atau
jawatan. Di sini tidak ada transfer kewenangan yang nyata, bawahan hanya menjalankan
kewenangan atas nama atasannya dan bertanggung jawab kepada atasannya.

Terlihat jelas, dekonsentrasi lebih mendukung sentralisasi, karena lebih memperkuat


pengaruh dari level pemerintahan yang lebih tinggi atas pemerintahan lokal di bawahnya.
Manor juga menekankan kondisi seperti ini menjadi fenomena yang sering kali terjadi
terutama di negara berkembang (less developed countries) di mana aparat pusat yang ada
di daerah mendominasi hampir semua urusan pemerintahan, karena tekanan pusat sangat
besar daripada masyarakat lokal. Sebaliknya, Turner (2002) berpendapat bahwa
dekonsentrasi, jika “well-planned and properly implemented”, memiliki beberapa potensi
keuntungan, baik secara manajerial maupun politik dalam hal memperluas partisipasi
masyarakat. Berdasarkan pengalaman Kamboja, Turner menyatakan bahwa dekonsentrasi
merupakan strategi yang lebih baik untuk diterapkan di negara berkembang ketimbang
devolusi. Hal ini karena negara berkembang memiliki kapasitas organisasi yang masih
terbatas dalam hal struktur, proses dan keahlian yang mendukung devolusi kewenangan
yang sesungguhnya. Ditambah lagi, banyak negara berkembang masih mengalami kondisi
politik yang tidak stabil. Dekonsentrasi juga lebih tepat ketimbang devolusi di negara
berkembang karena masih kuatnya tradisi hierarkis yang mungkin akan menghambat
pengambilan keputusan dari pemerintah lokal dan membangun program desentralisasi
yang partisipatif, responsif dan akuntabel.

DESENTRALISASI FISKAL Desentralisasi fiskal yang menyangkut “downward fiscal


transfers, by which higher levels in a system cede influence over budgets and financial
decisions to lower level” (Manor, 1999: 9). Kewenangan ini biasanya diserahkan kepada
aparat birokrasi pusat (deconcentrated bureaucrats) atau yang ditunjuk dari pemerintah
pusat yang bertanggung jawab kepada atasannya. Untuk alasan ini, desentralisasi fiskal
juga dikritisi karena bukan sebagai “genuine decentralization”, khususnya berkenaaan
dengan tidak adanya kesempatan bagi penduduk lokal untuk terlibat dalam urusan-urusan
fiskal dari pemerintah lokal.

DEVOLUSI Bentuk yang ketiga adalah devolusi atau democratic decentralization yang
merujuk kepada “the transfer of resources and power (and often tasks) to lower level
authorities which are largely or wholly independent of higher levels of government….”
Schneider (2003: 18) menambahkan bahwa kemandirian tersebut memungkinkan aktor
politik lokal untuk mengelola isu-isu lokal tanpa campur tangan pusat atau pemerintah di
atasnya. Bentuk yang ketiga ini dianggap oleh para pendukung konsep desentralisasi
merupakan desentralisasi dalam makna yang sesungguhnya (the genuine form of
decentralization). Menurut Smith (1985), hal ini karena devolusi memungkinkan penduduk
lokal untuk mempunyai suara dan dapat memengaruhi proses-proses pengambilan
keputusan; demokratisasi menjadi diperkuat karena aparat publik menjadi lebih akuntabel,
dan pelayanan publik menjadi lebih baik karena pemerintah lokal menjadi lebih efisien
dalam mengatasi kebutuhan-kebutuhan masyarakatnya daripada pemerintah pusat.

Devolusi merupakan inti dari desentralisasi. Ada dua alasan yang mendasari argumen
tersebut; Pertama, dibandingkan dengan dekonsentrasi dan desentralisasi fiskal, konsep
devolusi mengandung prinsip independensi atau otonomi dari entitas lokal dalam proses-
proses politik lokal. Hal tersebut juga bermakna bahwa melalui devolusi, entitas lokal
memiliki peran dan tanggung jawab yang lebih besar dalam mengelola urusan-urusan lokal
daripada pemerintah pusat (Manor, 1999; Schneider, 2003). Alasan kedua, devolusi
mendukung ide pemberdayaan masyarakat lokal. Samoff mengatakan, secara konseptual,
devolusi mengandung makna pemberdayaan mereka yang tidak terwakili
(underrepresented) dan kelompok-kelompok yang kurang beruntung (disadvantaged
groups) melalui penyerahan kewenangan pengambilan keputusan yang aktual. Tanpa
memberdayakan disadvantaged groups, tidak ada desentralisasi. Karena itu, melalui
devolusilah urusan-urusan lokal dapat menjadi domain dari penduduk lokal ketimbang
mereka yang dipekerjakan di pusat administrasi pemerintah. Devolusi menjanjikan
partisipasi aktif masyarakat lokal, memungkinkan mereka untuk meminta
pertanggungjawaban politisi terpilih dan aparat pemerintah. Dengan kata lain, devolusi
menjanjikan democratic decentralization.

Devolusi merupakan inti dari desentralisasi. Ada dua alasan yang mendasari argumen
tersebut; Pertama, dibandingkan dengan dekonsentrasi dan desentralisasi fiskal, konsep
devolusi mengandung prinsip independensi atau otonomi dari entitas lokal dalam proses-
proses politik lokal. Hal tersebut juga bermakna bahwa melalui devolusi, entitas lokal
memiliki peran dan tanggung jawab yang lebih besar dalam mengelola urusan-urusan lokal
daripada pemerintah pusat (Manor, 1999; Schneider, 2003). Alasan kedua, devolusi
mendukung ide pemberdayaan masyarakat lokal. Samoff mengatakan, secara konseptual,
devolusi mengandung makna pemberdayaan mereka yang tidak terwakili
(underrepresented) dan kelompok-kelompok yang kurang beruntung (disadvantaged
groups) melalui penyerahan kewenangan pengambilan keputusan yang aktual. Tanpa
memberdayakan disadvantaged groups, tidak ada desentralisasi. Karena itu, melalui
devolusilah urusan-urusan lokal dapat menjadi domain dari penduduk lokal ketimbang
mereka yang dipekerjakan di pusat administrasi pemerintah. Devolusi menjanjikan
partisipasi aktif masyarakat lokal, memungkinkan mereka untuk meminta
pertanggungjawaban politisi terpilih dan aparat pemerintah. Dengan kata lain, devolusi
menjanjikan democratic decentralization.

Pada gilirannya, penerapan pada bentuk desentralisasi masing-masing di atas akan


melahirkan fungsi dan peran pemerintah daerah yang berbeda. Dalam hal ini, ada dua
pandangan untuk menggambarkan peran yang dimainkan oleh pemerintah daerah.
Pertama, autonomous model (model otonom), yang menggambarkan bahwa pemerintah
daerah secara relatif terpisah dari pemerintah pusat. Terlepas seberapa besar cakupan
pemerintah daerah, dalam perspektif ini, peran negara hanyalah untuk memonitor
aktivitas pemerintah daerah. Terdapat suatu pemisahan yang jelas mana yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat dan mana yang menjadi kewenangan pemerintah daerah.
Model otonom ini berakar dari sejarah dan budaya pemerintahan yang disebarkan oleh
Inggris. Keberadaan pemerintah daerah bukanlah ciptaan pemerintah pusat walaupun
keberadaannya terintegrasi dalam sistem nasional. Kecuali untuk beberapa hal, menurut
Alderfer (1964), karakteristik dasar pemerintahan daerah di Inggris adalah unit lokal yang
bebas dari pengendalian kekuasaan di luarnya. Perspektif ini memiliki afinitas dengan
liberal ideology. Dalam hal ini, pemerintah daerah memiliki badan-badan pembuatan
keputusan lokal dengan kewenangan dan keberadaan yang cukup independen. Tipe
pemerintah daerah seperti ini lebih banyak memperoleh kewenangan devolutif daripada
dekonsentratif. Dalam istilah lain, model pemerintah daerah otonom memiliki kemiripan
dengan partnership model atau interdependent model-nya Rhodes (1981) yang melihat
hubungan antara pemerintah daerah dan pusat sebagai saling ketergantungan dan kerja
sama.

Kedua, integrated model (model integrasi), yang memandang hubungan antara


pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagai bagian yang saling terintegrasi. Pola
hubungan yang terjadi antara berbagai tingkatan pemerintahan bersifat pragmatis dan
fleksibel, tergantung kepada kebutuhan persoalan-persoalan yang dihadapi. Model
integrasi ini diadopsi dari sistem pemerintahan di Prancis. Dalam sistem ini, terdapat
prefect di daerah yang mewakili kepentingan- kepentingan pemerintah pusat. Model
hierarkis pemerintahan daerah Prancis ini dicirikan dengan adanya sentralisasi, jalur
komando, struktur hierarkis, dominasi eksekutif serta subordinasi lembaga legislatif.
Pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan yang diberikan kepadanya melalui
konstitusi. Dalam model integrasi Prancis ini, setiap unit pemerintah daerah memiliki
kewenangan pengendalian administrasi dan keuangan kepada eselon yang lebih rendah.
Sebagai model yang memiliki afinitas dengan interventionist ideology, pemerintah pusat
berusaha memperkuat pengaruhnya melalui pemerintah daerah. Dari kacamata lain yang
menggunakan analogi principal-agency model (Wilson and Game, 1994: 107), pemerintah
pusat berfungsi sebagai principal yang selalu mengawasi pemerintah lokal sebagai agency.
Model ini dengan sedikit perbedaan diistilahkan oleh Jones and Stewart (1983) sebagai
coercive model ataupun oleh Chandler (1988) sebagai stewardship model.

Di Indonesia, dari beberapa model yang ada, praktik desentralisasi yang diterapkan
lebih mengarah ke devolutif ketimbang dekonsentratif, dalam bentuk pelimpahan atau
pendelegasian kewenangan (kekuasaan) dari pemerintah pusat (di atasnya) kepada
pemerintahan daerah (local government), yang kemudian dikenal dengan otonomi daerah.
Otonomi daerah sebagaimana dikemukakan oleh Partadinata (2002: 83) adalah
“keleluasaan dalam bentuk hak dan wewenang serta kewajiban dan tanggung jawab badan
pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sebagai
manifestasi dari desentralisasi.”

Pengertian tersebut menunjukan bahwa sebagai konsekuensi pemberian otonomi


daerah dalam wujud hak dan wewenang mengatur dan mengurus rumah tangga
daerahnya, pemerintah daerah berkewajiban untuk mempertanggung- jawabkannya, baik
kepada negara maupun masyarakatnya. Dengan demikian, dapat dikatakan, otonomi
daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
sebagaimana diamanatkan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku.

Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa sebagai konsekuensi pemberian otonomi


daerah dalam wujud hak dan wewenang mengatur dan mengurus rumah tangga
daerahnya, pemerintah daerah berkewajiban untuk mempertanggung-jawabkannya, baik
kepada negara maupun masyarakatnya. Dengan demikian, dapat dikatakan, otonomi
daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
sebagaimana diamanatkan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku. Hoessein
(1993: 15), yang menerjemahkan otonomi daerah sebagai pemerintahan dari, oleh dan
untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu negara melalui lembaga-lembaga
pemerintahan yang secara formal berada di luar pemerintahan pusat. Pengertian tersebut
mencerminkan bahwa otonomi daerah sesungguhnya merupakan pengejawantahan dari
kehendak rakyat, yang secara formal dimanifestasikan melalui kelembagaan pemerintah
daerah atau di luar pemerintahan pusat.

Berbagai pandangan di atas menunjukan bahwa otonomi daerah sesungguhnya


merupakan hak dan wewenang pemerintah daerah untuk mengelola atau mengurus dan
mengatur berbagai potensi, sumber daya dan rumah tangga daerah sesuai dengan situasi
dan kondisi daerah yang diarahkan bagi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat, yang
secara operasional diterjemahkan atau dilaksanakan oleh kelembagaan daerah.

Koswara (2001: 72) mengemukakan empat pertimbangan tentang pentingnya


pemberian otonomi kepada daerah, yakni: Pertama, dari segi politik, pemberian otonomi
dipandang untuk mencegah penumpukan kekuasaan di satu tangan yang akhirnya
menimbulkan pemerintahan tirani dan totaliter serta anti-demokratis. Kedua, dari segi
demokrasi, otonomi diyakini dapat mengikutsertakan rakyat dalam proses pemerintahan
sekaligus mendidik rakyat menggunakan hak dan kewajibannya dalam penyelenggaraan
pemerintahan sehari-hari. Ketiga, dari segi teknis organisasi pemerintahan, otonomi
dipandang sebagai cara untuk mencapai pemerintahan yang efektif dan efisien serta lebih
responsible. Apa yang dianggap lebih doelmatig untuk diurus pemerintah dan masyarakat
setempat diserahkan saja ke daerah dan apa yang lebih tepat berada di tangan pusat tetap
diurus oleh pusat. Keempat, dari segi manajemen sebagai salah satu unsur administrasi,
suatu pelimpahan wewenang dan kewajiban memberikan pertanggungjawaban bagi
penyelesaian suatu tugas sebagai hal yang wajar.

Secara substantif dapat dikemukakan bahwa urgensi pelaksanaan otonomi daerah,


antara lain: Pertama, upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan, khususnya di daerah. Kedua, upaya untuk memperlancar pelaksanaan
pembangunan, khususnya di daerah. Ketiga, meningkatkan peran serta masyarakat dalam
proses demokratisasi pemerintahan. Keempat, meningkatkan keadilan dan pemerintaan
dalam berbagai dimensi kehidupan. Urgensi pelaksanaan otonomi daerah tersebut akan
terjawab manakala kebijakan otonomi daerah tersebut dapat dilaksanakan secara efektif.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Mustanir, M. R. (2018). Participatory Rural Appraisal ( PRA ) Sebagai Sarana


Dakwah Muhammadiyah Pada Perencanaan Pembangunan Di Kabupaten Sidenreng
Rappang. 1–9.
Ahmad Mustanir, P. A. (2017). Partisipasi masyarakat dalam musyawarah rencana
pembangunan di kelurahan kanyuara kecamatan watang sidenreng kabupaten
sidenreng rappang. Jurnal Politik Profetik, 5(2), 248–261.
Ahmad Mustanir1, Hariyanti Hamid2, R. N. S. (2019). Pemberdayaan Kelompok Masyarakat
Desa Dalam Perencanaan Metode Partisipatif. Jurnal Moderat, 5(3), 227–239.

Akhmad, I., Mustanir, A., & Ramadhan, M. R. (2006). Enrekang. 89–103.

Ar, A. A., Mustanir, A., Syarifuddin, H., Jabbar, A., Sellang, K., Rais, M., Razak, R., Ibrahim, M.,
& Ali, A. (2021). Sipil Negara Kabupaten Sidenreng Rappang. 2(1).
Dawabsheh, M., Mustanir, K., & Jermsittiparsert, K. (2020). School Facilities as a Potential
Predictor of Engineering Education Quality: Mediating Role of Teaching Proficiency
and Professional Development. TEST Engineering & Management, 82(3511), 3511–
3521. http://www.testmagzine.biz/index.php/testmagzine/article/view/1417

Dr. Vladimir, V. F. (1967). 済無No Title No Title No Title. In Gastronomía ecuatoriana y


turismo local. (Vol. 1, Issue 69).

Fitrah, N., Mustanir, A., Akbari, M. S., Ramdana, R., Jisam, J., Nisa, N. A., Qalbi, N., Febriani, A.
F., Irmawati, I., Resky S., M. A., & Ilham, I. (2021). Pemberdayaan Masyarakat Melalui
Pemetaan Swadaya Dengan Pemanfaatan Teknologi Informasi Dalam Tata Kelola
Potensi Desa. SELAPARANG Jurnal Pengabdian Masyarakat Berkemajuan, 5(1), 337.
https://doi.org/10.31764/jpmb.v5i1.6208
Ibrahim, M., Mustanir, A., Astinah Adnan, A., & Alizah P, N. (2020). Pengaruh Manajemen
Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa Terhadap Peningkatan Partisipasi Masyarakat Di
Desa Bila Riase Kecamatan Pitu Riase Kebupaten Sidenreng Rappang. Movere Journal,
2(2), 56–62. https://doi.org/10.53654/mv.v2i2.118

Irwan, I., Latif, A., & Mustanir, A. (2021). Pendekatan Partisipatif Dalam Perencanaan
Pembangunan di Kabupaten Sidenreng Rappang. GEOGRAPHY Jurnal Kajian, Penelitian
Dan Pengembangan Pendidikan, 9(2), 137–151.
https://journal.ummat.ac.id/index.php/geography/article/view/5153

Irwan, Latif, A., Sofyan, Mustanir, A., & Fatimah. (2019). Gaya Kepemimpinan, Kinerja
Aparatur Sipil Negara dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Pembangunan di
Kecamatan Kulo Kabupaten Sidenreng Rappang. Jurnal Moderat, 5(1), 32–43.
https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/moderat
Jamal, Y., Mustanir, A., & Latif, A. (2020). Penerapan Prinsip Good Governance Terhadap
Aparatur Desa Dalam Pelayanan Publik Di Desa Ciro-Ciroe Kecamatan Watang Pulu
Kabupaten Sidenreng Rappang. PRAJA: Jurnal Ilmiah Pemerintahan, 8(3), 207–212.
https://doi.org/10.51817/prj.v8i3.298

Kholifah R, E., & Mustanir, A. (2019). Food Policy and Its Impact on Local Food. October, 27–
38. https://doi.org/10.32528/pi.v0i0.2465

Langkah Langkah Membuat Tugas. (n.d.).

Latif, A., Mustanir, A., & ir. (2019). Buku Kepemimpinan Adam Irwan 2020.pdf (p. 154).

Latif, A., Mustanir, A., & Irwan, I. (2019). Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Partisipasi
Masyarakat Pada Perencanaan Pembangunan. JAKPP (Jurnal Analisis Kebijakan &
Pelayanan Publik), 144–164. https://doi.org/10.31947/jakpp.v1i2.7977

Latif, A., Rusdi, M., Mustanir, A., & Sutrisno, M. (2019). Partisipasi Masyarakat Dalam
Pembangunan Infrastruktur Di Desa Timoreng Panua Kecamatan Panca Rijang
Kabupaten Sidenreng Rappang Dosen Ilmu Pemerintahan Stisip Muhammadiyah
Rappang Dosen Ilmu Administrasi Negara Stisip Muhammadiyah Rappang 5). Jurnal
MODERAT, 5(1), 1–15.
https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/moderat/article/view/1898

Luis, F., & Moncayo, G. (n.d.). No 主観的健康感を中心とした在宅高齢者における 健康関連


指標に関する共分散構造分析Title.

Museum, M. F. (2019). No 主観的健康感を中心とした在宅高齢者における 健康関連指標


に関する共分散構造分析Title. 45(45), 95–98.
Mustanir, A., Abadi, P., & A., N. (2017). Participation of Ethnic Community Towani Tolotang
in Deliberation of Development Plan. 84(Iconeg 2016), 356–359.
https://doi.org/10.2991/iconeg-16.2017.79

Mustanir, A., & Darmiah, D. (2016). Implementasi Kebijakan Dana Desa Dan Partisipasi
Masyarakat Dalam Pembangunan Di Desa Teteaji Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten
Sidenreng Rappang. Jurnal Politik Profetik, 4(2), 225–238. http://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/jpp/article/view/2749%0Ahttp://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/jpp/issue/view/457

Mustanir, A., Fitriani, S., Adri, K., Nurnawati, A. A., & Goso, G. (2020). Sinergitas Peran
Pemerintah Desa dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Perencanaan Pembangunan di
Kabupaten Sidenreng Rappang (The Synergy of Village Government’s Role and
Community Participation in the Process of Development Planning in Sidenreng
Rappang D. Journal of Government Science (GovSci), 2020(2), 84–108.

Mustanir, A., Hamid, H., & Syarifuddin, R. N. (2020). Perencanaan Partisipatif Pada
Pemberdayaan Masyarakat Kelompok Wanita Tani. 1, 1–120.
https://play.google.com/store/books/details/Ahmad_Mustanir_S_I_P_M_Si_PERENCA
NAAN_PARTISIPATIF?id=E1sAEAAAQBAJ
Mustanir, A., Ibrahim, M., Rusdi, M., & Jabbareng, M. (2020). Pembangunan Partisipatif dan
Pemberdayaan Masyarakat. July, 111.

Mustanir, A., & Jusman. (2016). Implementasi Kebijakan Dan Efektivitas Pengelolaan
Terhadap Penerimaan Retribusi Di Pasar Lancirang Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten
Sidenreng Rappang. Jurnal Ilmiah Akmen, 13(3), 542–558. https://e-jurnal.stienobel-
indonesia.ac.id/index.php/akmen/article/view/69%0Ahttps://e-jurnal.stienobel-
indonesia.ac.id/index.php/akmen/issue/view/6
Mustanir, A., Kamarudding, S., Akhwan, A., Madaling, & Mutmainna. (2018). Peranan
Aparatur Pemerintahan Desa dan Partisipasi Masyarakat Dalam Musyawarah
Perencanaan Pembangunan di Desa Tonrongnge Kecamatan Baranti Kabupaten
Sidenreng Rappang. Jurnal Ilmiah Clean Government, 2(1), 67–84.
http://lonsuit.unismuhluwuk.ac.id/index.php/clean/article/view/213

Rappang, M., & Sulawesi, S. (2017). IAPA 2017 IAPA 2017-Towards Open Goverment: Finding
The Whole-Goverment Approach Participatory Rural Appraisal As The Participatory
Planning Method Of Development Planning. 78–84.

Samad, Z., Mustanir, A., & Pratama, M. Y. P. (2019). Partisipasi Masyarakat Dalam
Musyawarah Rencana Pembangunan Untuk Mewujudkan Good Governance Kabupaten
Enrekang. Moderat: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, 5(4), 379–395.
https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/moderat/article/viewFile/3014/2750

Sapri, S., Mustanir, A., Ibrahim, M., Adnan, A. A., Wirfandi, W. (2019). Peranan Camat dan
Partisipasi Masyarakat Dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Di Kecamatan
Enrekang Kabupaten Enrekang. MODERAT: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, 5(2), 33–
48. https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/moderat/article/view/2127
Siriattakul, P., Jermsittiparsert, K., & Mustanir, A. (2019). What Determine the
Organizational Citizenship Behavior in Indonesian Agriculture Manufacturing Firms?
International Journal of Psychosocial Rehabilitation, 23(4), 778-`792.
https://doi.org/10.37200/ijpr/v23i4/pr190409
Sulaeman, Z., Mustanir, A., & Muchtar, A. I. (2019). Partisipasi Masyarakat Terhadap
Perwujudan Good Governance Di Desa Damai Kecamatan Watang Sidenreng
Kabupaten Sidenreng Rappang. PRAJA: Jurnal Ilmiah Pemerintahan, 7(3), 88–92.
https://doi.org/10.51817/prj.v7i3.374

Surya Adi Tama, P., & Wirama, D. G. (2020). Akuntabilitas Pemerintah Desa dalam
Pengelolaan Alokasi Dana Desa. E-Jurnal Akuntansi, 30(1), 73.
https://doi.org/10.24843/eja.2020.v30.i01.p06

Uceng, A., Erfina, E., Mustanir, A., & Sukri, S. (2019). Partisipasi Masyarakat Dalam
Musyawarah Perencanaan Pembangunan Di Desa Betao Riase Kecamatan Pitu Riawa
Kabupaten Sidenreng Rappang. MODERAT: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, 5(2), 18–
32. https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/moderat/article/view/2126

宗成庆. (n.d.). No Title统计自然语言处理(第二版).

Anda mungkin juga menyukai