Anda di halaman 1dari 4

1

Sejarah Lahirnya Otonomi Daerah di Indonesia


Nama : Adelina Silvia Bilqis

Nim : 135010107111179

Email : adelinabilqis@yahoo.com

ABSTRAK
Indonesia dalam sejarahnya telah lama mengalami politik yang tersentralisasi.
Ini merupakan warisan dari struktur sentralisasi pemerintah dari zaman penjajahan
Belanda. Namun telah ada upaya pada berbagai waktu untuk mendesentralisasi
strukturnya, dimulai sejak disahkannya Undang-undang Desentralisasi 1903 di Hindia-
Belanda. Undang- undang ini bertujuan ganda yang dampaknya saling bertentangan:
untuk mendesentralisasi pemerintahan di daerah-daerah yang jauh dan sangat beragam
sifatnya, dan untuk mengembangkan kontrol pemerintah atas wilayah-wilayah tersebut.
Sejak kemerdekaan indonesia pada tahun 1945, para elite di Jakarta sering merasa takut
untuk memberikan kontrol lebih besar kepada daerah untuk mengatur urusannya
sendiri karena nantinya akan jatuh ke tangan kekuatan yang merusak dan bersifat
memecah belah. Kegagalan upaya desentralisasi di masa lalu adalah kurangnya
komitmen pusat terhadap daerah.

Berakhirnya orde baru pada tahun 1998, terdapat sejumlah permasalahan


terkait dengan sistem ketatanegaraan dan tuntutan daerah-daerah terutama daerah
yang selama ini telah memberikan kontribusi yang besar dengan kekayaan alam yang
dimilikinya seperti Aceh agar diberikan otonomi daerah. Mereka mengancam apabila
daerah-daerah mereka tidak diberi otonomi yang lebih maka Indonesia akan
menghadapi disintegrasi. Wacana otonomi daerah kemudian bergulir sebagai alternatif
untuk menjawab permasalahan sosial dan ketatanegaraan Indonesia yang dianggap
perlu diganti. Inilah yang menjadi latar belakang otonomi daerah di Indonesia. Selain itu
ada dua faktor yang menyebabkan adanya tuntutan otonomi daerah, yaitu faktor
internal dan eksternal.

Faktor internal timbul sebagai tuntutan atas buruknya pelaksanaan sistem


pemerintahan yang sentralistik. Terdapat kesenjangan dan ketimpangan yang cukup
besar antara pembangunan yang terjadi di daerah dengan pembangunan yang
dilaksanakan di kota-kota besar, khususnya Ibukota Jakarta. Selain itu tuntutan adanya
otonomi daerah juga disebabkan oleh adanya eksploitasi besar-besaran terhadap
Sumber Daya Alam (SDA) di daerah yang kaya namun berbanding terbalik dengan
pembangunan di daerah tersebut.

Faktor eksternal yang menjadi latar belakang otonomi daerah di Indonesia.


Faktor eksternal yang menjadi salah satu pemicu lahirnya otonomi daerah di Indonesia
adalah adanya keinginan modal asing untuk menanamkan investasinya di Indonesia.

Sampai saat ini sudah sekitar enam kali dilakukan perubahan Undang-Undang
tentang pemerintahan daerah. Dua aspek penting perubahan yang secara substansial
1
menjadi warna berbagai undang-undnag tersebut adalah pengaturan mengenai susunan
pemerintahan daerah dan corak serta kadar desentralisasi dalam pelaksanaan otonomi
daerah.[6] Pada 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui dua Undang-undang
tentang desentralisasi yaitu UU No. 22 yang menyangkut desentralisasi administrasi,
sementara UU No. 25 yang menyangkut administrasi keuangan. Perangkat pertama dari
aturan penerapan UU No. 22 telah dikeluarkan pada awal Mei 2000. Dua undang-
undang ini menandakan keseriusan baru atas upaya menjabarkan desentralisasi
demokratis oleh pemerintahan pusat. Hal ini untuk mewujudkan pemerintahan daerah
yang menganut asas desentralisasi dan bukan yang cenderung sentral seperti
pemerintahan sebelumnya.

SEJARAH OTONOMI DAERAH

Indonesia dalam sejarahnya telah lama mengalami politik yang tersentralisasi.


Ini merupakan warisan dari struktur sentralisasi pemerintah dari zaman penjajahan
Belanda. Namun telah ada upaya pada berbagai waktu untuk mendesentralisasi
strukturnya, dimulai sejak disahkannya Undang-undang Desentralisasi 1903 di Hindia-
Belanda. Undang- undang ini bertujuan ganda yang dampaknya saling bertentangan:
untuk mendesentralisasi pemerintahan di daerah-daerah yang jauh dan sangat beragam
sifatnya, dan untuk mengembangkan kontrol pemerintah atas wilayah-wilayah tersebut.
Sejak kemerdekaan indonesia pada tahun 1945, para elite di Jakarta sering merasa takut
untuk memberikan kontrol lebih besar kepada daerah untuk mengatur urusannya
sendiri karena nantinya akan jatuh ke tangan kekuatan yang merusak dan bersifat
memecah belah. Kegagalan upaya desentralisasi di masa lalu adalah kurangnya
komitmen pusat terhadap daerah1.

Berakhirnya orde baru pada tahun 1998, terdapat sejumlah permasalahan


terkait dengan sistem ketatanegaraan dan tuntutan daerah-daerah terutama daerah
yang selama ini telah memberikan kontribusi yang besar dengan kekayaan alam yang
dimilikinya seperti Aceh agar diberikan otonomi daerah. Mereka mengancam apabila
daerah-daerah mereka tidak diberi otonomi yang lebih maka Indonesia akan
menghadapi disintegrasi. Wacana otonomi daerah kemudian bergulir sebagai alternatif
untuk menjawab permasalahan sosial dan ketatanegaraan Indonesia yang dianggap
perlu diganti. Inilah yang menjadi latar belakang otonomi daerah di Indonesia.

1
Penilaian Demokratisasi di Indonesia, Lembaga Internasional untuk Bantuan Demokrasi dan
Pemilu (International IDEA) 2000. Hlm 69.
Selain itu ada dua faktor yang menyebabkan adanya tuntutan otonomi daerah,
yaitu faktor internal dan eksternal.

Faktor internal timbul sebagai tuntutan atas buruknya pelaksanaan sistem


pemerintahan yang sentralistik. Terdapat kesenjangan dan ketimpangan yang cukup
besar antara pembangunan yang terjadi di daerah dengan pembangunan yang
dilaksanakan di kota-kota besar, khususnya Ibukota Jakarta. Selain itu tuntutan adanya
otonomi daerah juga disebabkan oleh adanya eksploitasi besar-besaran terhadap
Sumber Daya Alam (SDA) di daerah yang kaya namun berbanding terbalik dengan
pembangunan di daerah tersebut.

Faktor eksternal yang menjadi latar belakang otonomi daerah di Indonesia.


Faktor eksternal yang menjadi salah satu pemicu lahirnya otonomi daerah di Indonesia
adalah adanya keinginan modal asing untuk menanamkan investasinya di Indonesia.[3]

Sampai saat ini sudah sekitar enam kali dilakukan perubahan Undang-Undang
tentang pemerintahan daerah. Dua aspek penting perubahan yang secara substansial
menjadi warna berbagai undang-undnag tersebut adalah pengaturan mengenai susunan
pemerintahan daerah dan corak serta kadar desentralisasi dalam pelaksanaan otonomi
daerah.[4] Pada 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui dua Undang-undang
tentang desentralisasi yaitu UU No. 22 yang menyangkut desentralisasi administrasi,
sementara UU No. 25 yang menyangkut administrasi keuangan. Perangkat pertama dari
aturan penerapan UU No. 22 telah dikeluarkan pada awal Mei 2000. Dua undang-
undang ini menandakan keseriusan baru atas upaya menjabarkan desentralisasi
demokratis oleh pemerintahan pusat. Hal ini untuk mewujudkan pemerintahan daerah
yang menganut asas desentralisasi dan bukan yang cenderung sentral seperti
pemerintahan sebelumnya.

[2] http://otonomidaerah.com/latar-belakang-otonomi-daerah/( diakses tanggal 25 Juni


2014 jam 10.30)

[3] Ibid
[4] Yudoyono, Bambang. 2001. Loc. Cit. Hlm 18.

Anda mungkin juga menyukai