Nim : 135010107111179
Email : adelinabilqis@yahoo.com
ABSTRAK
Indonesia dalam sejarahnya telah lama mengalami politik yang tersentralisasi.
Ini merupakan warisan dari struktur sentralisasi pemerintah dari zaman penjajahan
Belanda. Namun telah ada upaya pada berbagai waktu untuk mendesentralisasi
strukturnya, dimulai sejak disahkannya Undang-undang Desentralisasi 1903 di Hindia-
Belanda. Undang- undang ini bertujuan ganda yang dampaknya saling bertentangan:
untuk mendesentralisasi pemerintahan di daerah-daerah yang jauh dan sangat beragam
sifatnya, dan untuk mengembangkan kontrol pemerintah atas wilayah-wilayah tersebut.
Sejak kemerdekaan indonesia pada tahun 1945, para elite di Jakarta sering merasa takut
untuk memberikan kontrol lebih besar kepada daerah untuk mengatur urusannya
sendiri karena nantinya akan jatuh ke tangan kekuatan yang merusak dan bersifat
memecah belah. Kegagalan upaya desentralisasi di masa lalu adalah kurangnya
komitmen pusat terhadap daerah.
Sampai saat ini sudah sekitar enam kali dilakukan perubahan Undang-Undang
tentang pemerintahan daerah. Dua aspek penting perubahan yang secara substansial
1
menjadi warna berbagai undang-undnag tersebut adalah pengaturan mengenai susunan
pemerintahan daerah dan corak serta kadar desentralisasi dalam pelaksanaan otonomi
daerah.[6] Pada 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui dua Undang-undang
tentang desentralisasi yaitu UU No. 22 yang menyangkut desentralisasi administrasi,
sementara UU No. 25 yang menyangkut administrasi keuangan. Perangkat pertama dari
aturan penerapan UU No. 22 telah dikeluarkan pada awal Mei 2000. Dua undang-
undang ini menandakan keseriusan baru atas upaya menjabarkan desentralisasi
demokratis oleh pemerintahan pusat. Hal ini untuk mewujudkan pemerintahan daerah
yang menganut asas desentralisasi dan bukan yang cenderung sentral seperti
pemerintahan sebelumnya.
1
Penilaian Demokratisasi di Indonesia, Lembaga Internasional untuk Bantuan Demokrasi dan
Pemilu (International IDEA) 2000. Hlm 69.
Selain itu ada dua faktor yang menyebabkan adanya tuntutan otonomi daerah,
yaitu faktor internal dan eksternal.
Sampai saat ini sudah sekitar enam kali dilakukan perubahan Undang-Undang
tentang pemerintahan daerah. Dua aspek penting perubahan yang secara substansial
menjadi warna berbagai undang-undnag tersebut adalah pengaturan mengenai susunan
pemerintahan daerah dan corak serta kadar desentralisasi dalam pelaksanaan otonomi
daerah.[4] Pada 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui dua Undang-undang
tentang desentralisasi yaitu UU No. 22 yang menyangkut desentralisasi administrasi,
sementara UU No. 25 yang menyangkut administrasi keuangan. Perangkat pertama dari
aturan penerapan UU No. 22 telah dikeluarkan pada awal Mei 2000. Dua undang-
undang ini menandakan keseriusan baru atas upaya menjabarkan desentralisasi
demokratis oleh pemerintahan pusat. Hal ini untuk mewujudkan pemerintahan daerah
yang menganut asas desentralisasi dan bukan yang cenderung sentral seperti
pemerintahan sebelumnya.
[3] Ibid
[4] Yudoyono, Bambang. 2001. Loc. Cit. Hlm 18.