Anda di halaman 1dari 73

PELAKSAAN OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

(IMPELEMENTASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG OTONOMI DAERAH SERTA PELAKSANAAN OTONONOMI KHUSUS)

Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perbandingan Kuliah Yang Dibina Oleh Bapak Rozikin

Disusun Oleh : Nurul Solehah Yusuf Widodo Aris Setyo Budi Romy Alfisyahri Dalimunthe ( 105030507111029 ) ( 105030507111031 ) ( 105030500111020 ) ( 105030500111013 )

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2013

BAB I PEDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara yang kesatuan yang berbentuk kepulauan yang terdiri dari beberapa wilayah yang memiliki karakteristik sendiri baik itu karakteristik geografis, budaya maupun latar belakang sejarah. Dalam penyelenggraan pemerintahannya Negara Indonesia tentu saja sudah beberapa kali menerapkan sistem pemerintahan yang berbeda mulai dari sistem pemerintahan yang sentralistik sampai dengan sistem pemerintahan yang desentralistik, hal tersebut ditujukan supaya penyelenggaraan pemerintahan dapat mencapai tujuan yang diinginkan yaitu terwujudnya masyarakat yang sejahtera Welfare State. Pergeseran cara pandang akan terselenggaranya pemerintahan yang dapat mengapresiasi seluruh keinginan masyarakat khususnya dalam hal ini adalah masyarakat di daerah yang merupakan pokok bahasan yang sering kali memunculkan perdebatan. Terdapat dua kiblat besar yang dapat digarisbawahi dalam perdebatan tersebut yaitu penyelenggraan pemerintahan yang sentralistik dimana pemerintah pusat memegang kendali pemerintahan nasional secara utuh dan desentralisasi dimana daerah diberikan hak untuk mengelola urusan daerahnya sendiri secara mandiri. Di dalam dua paradigma tersebut menyimpan suatu pemikiran bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien masih dalam perdebatan. Dalam perkembangannya otonomi daerah merupakan kajian yang terletak di tengah Sentralisasi dan Desentralisasi itu sendiri. Otonomi daerah merupakan isu sentral dan strategis dalam tata pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dimana otonomi daerah sering kali dipandang sebagai kepentingan politis yang dibungkus dalam kajian kebijakan mengenai penyelenggaraan pemerintahan. Otonomi Daerah bukanlah merupakan suatu kebijakan yang baru dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia karena sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah dikenal adanya otonomi daerah yang dipayungi oleh Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 (Haris, 2005). Pelaksanaan otonomi daerah adalah terdapatnya keleluasaan pemerintah daerah (discretionary power) untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas, dan peran serta masyarakat dalam rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya.

Akan tetapi dalam implementasinya sering kali otonomi daerah dijadikan suatu kerangka strategi politik dalam mendapatkan dan mempertahankan eksistensi politik. Pelimpahan kewenangan, hak, dan kewajiban dari pemerintah pusat ke pemerintahan daerah menjadikan setiap daerah bebas mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat, sehingga pelayanan kepada masyarakat dapat meningkat, terjadi percepatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat akan meningkat (Said, 2008). Otonomi daerah memiliki sejarah yang panjang dalam sistem tata pemerintahan Negara Indonesia sendiri dimana lahirnya otonomi daerah bukan semata-mata atas bergulirnya reformasi pada tahun 1998. Otonomi daerah lahir jauh sebelum adanya reformasi itu sendiri dimana pada masa penjajahan Belanda otonomi daerah sudah lahir yaitu tepatnya pada tahun 1903 yang dikenal dengan Desentralitatie Wet akan tetapi sifat otonomi daerahnya saja yang masih kabur karena asas dekonsentrasi yang lebih terasa pada waktu itu. Seiring dengan lahirnya kemerdekaan Indonesia pada 17 agustus 1945 otonomi daerah bahkan menjadi isu yang sangat krusial dan kompleks dimana lahirnya kemerdekaan Negara Indonesia juga dimaknai dengan lahirnya kemerdekaan daerah-daerah. Suasana politik yang masih kacau dan ditambah dengan batas wilayah kekuasaan Negara Indonesia yang masih belum jelas membuat daerah-daerah menginginkan kemerdekaannya. Bergulirnya otonomi daerah tidak dapat dimaknai kemerdekaan yang diberikan untuk daerah akan tetapi otonomi daerah merupakan hak daerah untuk mengelola urusan rumah tangganya sendiri namun tetap diawasi oleh pemerintah pusat. Penyelenggaraan otonomi daerah diharapakan memberikan manfaaat yang besar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Manfaat ini dapat diperoleh dengan menumbuhkembangkan kehidupan yang demokratis, mendorong upaya pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan, memperkuat kedudukan serta kemampuan pemerintah daerah, meningkatkan mutu pelayanan umum, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia juga memperhatikan prinsip-prinsip pengaturan kewenangan pengaturan pemerintahan sebagai berikut: a. Pada dasarnya semua kewenangan pemerintahan diserahkan kepala daerah, kecuali bidang pertahanan dan keamaanan, politik luar negeri, moneter dan

fiskal, peradilan, agama, serta kewenangan pemerintahan lainnya yang secara nasional lebih berdayaguna dan berhasilguna jika di urus oleh pemerintah pusat. b. Penyerahan kewenangan di bidang pemerintahan kepada daerah harus disertai dengan pembiayaan, SDM, saran dan prasarana. c. Pelaksanaan kewenangan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah didasarkan pada norma, standar, kriteria, dan prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Disamping memperhatikan prinsip-prinsip seperti tersebut diatas,

pelaksanaan otonomi daerah agar lebih efektif, juga harus didukung oleh unsurunsur pokok, yaitu kelembagaan yang demokratis, efektif dan efisien, serta tersedianya sumber daya aparatur daerah yang berkualitas, potensi ekonomi daerah yang dapat digerakkan sebagai sumber pendapatan daerah, pemberian insentif fiskal, dan non fiskal guna menciptakan iklim kondusif bagi dunia usaha di daerah dan pengaturan hubungan keuangan pusat dan daerah yang adil dan proporsional. Keinginan yang kuat untuk melaksanakan otonomi daerah sejak awal dilandasi oleh amanat dalam UUD 1945 pasal 18 dan penjelasannya yang antara lain mengamanatkan sebagai berikut: a. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah-daerah yang lebih kecil; b. Daerah-daerah itu bersifat otonom atau bersifat administratif belaka sesuai dengan aturan yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang; c. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan Badan Perwakilan Daerah. Dengan landasan amanat UUD 1945 tersebut ditetapkan peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaannya, yaitu UU Nomor 1 Tahun 1945, UU Nomor 2 Tahun 1948 yang selanjutnyya diperbaharui sesuai dengan UUDS RI tahun 1950, kemudian melalui UU Nomor 1 Tahun 1957, PENPRES Nomor 6 Tahun 1959, PENPRES Nomor 5 Tahun 1960 dan setelah kembali pada UUD 1945 diubah lagi dengan UU Nomor 18 Tahun 1965, dan selanjutnya diterbitkan UU Nomor 5 Tahun 1974. Selanjutnya sejalan dengan semangat otonomi daerah di era reformasi lahir UU Nomor 22 Tahun 1999 serta UU Nomor 32 Tahun 2004. Lahirnya peraturan perundang-undangan tersebut diharapkan mampu meningkatkan integrasi bangsa dengan daerah yang mampu mengelola daerahnya secara mandiri. Untuk mengapresiasi keberagaman kultur budaya dan kultur

wilayah daerah-daerah di Indonesia maka otonomi daerah itu sendiri dibagi menjadi otonomi umum, otonomi khusus, dan otonomi istimewa sehingga daerah akan mampu mengembangakan wilayahnya berdasarkan karakterisrik latar belakang sejarah dan budayanya. Dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 18B ayat (1) disebutkan bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Tidak sedikit pandangan yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tersebut bertentangan dengan konsep negara kesatuan yang dianut Indonesia. Eko Prasodjo seperti yang dikutip Edi Toet Hendratno menyatakan bahwa Pasal 18B ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyebutkan negara mengakui keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kesamaan dengan konsep diversity in unity (keragaman dalam kesatuan) dalam sistem federal. Hal tersebut dianggap bertentangan dengan konsep negara kesatuan yang dianut di Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hendratno juga menyatakan bahwa pemberian status otonomi khusus maupun status keistimewaan terhadap daerah-daerah seperti Aceh dan Papua lebih mengarah pada model bentuk susunan negara federal. Pandangan tersebut didasarkan pada berbagai alasan dan argumentasi yang ditemukan dalam undangundang pemerintahan daerah maupun dalam undang-undang yang menjadi landasan yuridis bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah di kedua daerah otonomi khusus tersebut. Misalnya diberikannya hak bagi masyarakat Aceh untuk membentuk partai politik lokal, maupun disyaratkan bahwa hanya orang asli papua yang dapat mencalaonkan diri sebagai calon gubernur Papua dan sebagainya. Akan tetapi, tidak sedikit juga konsep atau teori hukum tata negara yang dapat dijadikan landasan argumentasi untuk menyatakan bahwa status otonomi khusus atau istimewa bagi daerah-daerah tertentu tetaplah merupakan bagian dari model bentuk susunan negara kesatuan yang dianut Indonesia. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hampir seluruh kewenangan pemerintah pusat diserahkan pada daerah, kecuali bidang; politik luar negeri, pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal

nasional

dan

agama.

Hal

ini

menimbulkan

peningkatan

tanggungjawab

penyelenggaraan pemerintahan (penyediaan barang publik dan pembangunan ekonomi) di tingkat daerah yang sangat besar. Termasuk bagi daerah dengan status otonomi khusus maupun status istimewa. Penyerahan atau membiarkan mengatur dan mengurus asas dan cara mnjalankan kewenangan pemerintahan di daerah merupakan suatu otonom.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan, yaitu: 1. Bagaimana model penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia pada setiap peraturan perundang-undangan? 2. Bagaimana pelaksanaan otonomi khusus dan perbandingannya dengan otonomi daerah secara umum dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia?

C. Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui: 1. Model penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia pada setiap peraturan perundang-undangan. 2. Pelaksanaan otonomi khusus dan perbandingannya dengan otonomi daerah secara umum dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Otonomi Daerah 1. Konsep Otonomi Daerah Kata otonomi tersebut berasal dari kata Yunani yaitu autos berarti sendiri dan nomos berarti hukum atau aturan. Adapun pengertian otonomi daerah menurut Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 junto Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Berbeda halnya dengan otomi daerah daerah otonom memiki pengertiannya sendiri, menurut UndangUndang Nomor 32 tahun 2004 Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemberian kewenangan itu sendiri didasarkan kepada azas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah ini tentunya diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumbersumber keuangan sendiri dan juga didukung oleh perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Menurut Kaho (1997) bahwa kemampuan daerah dalam bidang keuangan menentukan keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah, karena kemampuan keuangan merupakan salah satu indikator penting untuk mengukur tingkat otonomi suatu daerah. Adapun prinsip - prinsip pemberian otonomi daerah itu sendiri sebagaimana pada UU Nomor 22 Tahun 1999 junto undang-undang nomor 32 tahun 2004, adalah : 1) penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah; 2) pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab; 3) otonomi daerah yang luas dan utuh tersebut diletakkan pada daerah Kabupaten/Kota; 4) pelaksanaannya otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara;

5) Otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom; 6) Otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi legislatif; 7) asas dekosentrasi diletakkan pada daerah propinsi; 8) tugas pembantuan dapat dari pemerintah pusat kepada daerah dan dapat juga dari pemerintah daerah kepada desa yang disertai pembiayaannya. Sesuai dengan amanat undang-undang Otonomi daerah UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 dan Nomor 33 Tahun 2004, penyerahan wewenang diikuti dengan penyerahan 3P (Personalia, Pembiayaan dan Prasarana/aset). 1) Personalia, Penyerahan atau pengalihan status pegawai pusat menjadi pegawai daerah dimaksudkan dalam rangka mendukung tugas-tugas yang dibebankan kepada daerah sehingga secara teknis tugas-tugas yang dilimpahkan tersebut tidak terhambat pelaksanaanya sebagai akibat dari tidak tersedianya sumber daya manusia. 2) Pembiayaan, Dari aspek pembiayaan, pelaksanaan undang-undang nomor 32 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan dimaksudkan untuk mendukung terselenggaranya pemerintahan didaerah sesuai dengan kewenangan yang diberikan. Adapun yang menjadi kompenen dari dana perimbangan yang diterima oleh daerah antara lain sebagai berikut : Dana bagi hasil, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK). 3) Prasarana dan sarana (aset). Dalam mendukung kewenangan yang dilimpahkan ke daerah, maka pemerintah pusat juga menyerahkan berbagai aset sehingga menjadi aset daerah. Beberapa aset tersebut, antara lain berupa gedung-gedung kantor termasuk tanah dan sarana mobilitas. Namun tidak seluruh aset pusat diserahkan kepada daerah, antara lain tempat penginapan dari Departemen Pekerjaan Umum, dan Aset milik Departemen Perhubungan seperti Bandara dan pelabuhan. Hambatan-hambatan dalam implementasi dilihat dari beberapa aspek yaitu diantaranya: 1) Aspek Pemerintahan, Pelaksanaan otonomi daerah disatu sisi sangat memberikan harapan untuk cepatcepat meraih satu kemajuan karena adanya kebebasan seluas-luasnya untuk

mengatur sendiri pemerintahan, disisi lain dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya ditopang oleh Sumber Daya Manusia yang memadai. 2) Aspek Keuangan, Pendapatan Asli Daerah rendah, karena sebagian besar daerah kabupaten/kota memiliki pendapatan asli daerah sangat kecil sehingga tidak mampu membiayai pembangunan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan. Dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan daerah-daerah masih sangat tergantung dari kucuran dana pusat, seperti dana DAU,DAK dan lainnya. 2. Peraturan Perundangan Yang Berkaitan Dengan Pemerintah Daerah dan Otonomi Daerah 1) Undang-Undang No.1 tahun 1945 Bila ditinjau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, tampak jelas bobot kekuasaan berada pada pemerintah pusat, sedangkan desentralisai yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah-daerah otonom adalah desentralisasi politik, khususnya aspek kekuasaan legislatif lokal. Desentralisasi administrasi dan desentralisasi fiskal belum diatur sama sekali, bahkan bentuk dan susunan daerah belum ditetapkan termasuk pengaturan daerah istimewa. 2) Undang-Undang No. 22 tahun 1948 Sejalan dengan tujuan menegakkan kedaulatan rakyat dan untuk berjalan lancarnya roda pemerintahan di daerah, oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 diberikan kewenangan sebanyak-banyaknya kepada daerah otonom baik secara penuh (hak otonomi) maupun secara tidak penuh (hak medebewind) guna mengatur dan mengurus sendiri rumah tangganya. Bahkan hak medebewind itu dapat diserahkan lagi oleh pemerintah daerah provinsi kepada daerah otonom yang lebih rendah melalui peraturan daerah. Agar kewenangan yang diserahkan dapat dijalankan dengan baik, kepada daerah otonom diberikan sumber-sumber pendapatan, pajak negara yang diserahkan kepada daerah, dan lain-lain pendapatan seperti pinjaman dan subsidi. Selain itu, daerah-daerah diwajibkan pula memiliki APBD. 3) Undang-Undang No. 1 tahun 1957 Pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, pada dasarnya dikarenakan adanya keragaman pengaturan pemerintahan daerah, terutama Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yang diberlakukan di daerah-daerah eks RI dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950 yang diberlakukan untuk daerah-

daerah Indonesia Timur. Undang-Undang ini adalah hasil kerja DPR pemilu tahun 1955 dengan harapan dapat menanggulangi kemelut politik yang bermuara pada pendemokrasian pemerintahan daerah awal tahun 1950-an. Adanya dualisme penyelenggaraan pemerintahan lokal antara

Pemerintahan Daerah dan Pejabat Pamong Praja (dekonsentrasi), dimana masingmasing pihak berusaha mewujudkan kepentingannya sendiri. Dapat dikatakan walau dalam Undang_Undang ini sendi-sendi Desentralisasinya masih ada seperti pemelihan kepala daerah yang langsung dipilih oleh raktat, dan kepala daerah tersebut tidak lagi sebagai alat pusat dan sekaligus menjadi alat daerah namun, tetapi hanya sebagai alat daerah. Namun dalam Undang-Undang ini nuansa Dekonsentrasinya lebih terasa hal ini dibuktikan dengan adanya alat pusat yaitu Pejabat Pamong Praja sebagai unsur penyelenggara pemerintahan umum artinya disini penyelenggaraan pemerintah daerah masih diseting berdasarkan komando dari pusat. 4) Penpres No. 6 tahun 1959 dan Penpres No. 5 tahun 1960 Setelah berlakunya kembali UUD 1945 dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem demokrasi berubah dengan jargon demokrasi terpimpin. Hal ini berdampak kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 yang berada dibawah bingkai sistem demokrasi liberal, dengan diberlakukannya Penpres Nomor 6 tahun 1959 dan Penpres Nomor 5 Tahun 1960. Penyusunan Penpres Nomor 6 Tahun 1959 berlangsung dengan cepat dan ditetapkan pada tanggal 1 September 1959 oleh Presiden Soekarno, hal ini dimungkinkan karena merupakan produk eksekutif yang tidak memerlukan persetujuan legislatif (DPR) dengan tujuan menarik kembali kewenangankewenangan pusat yang banyak diambil daerah. Tujuan tersebut, dikarenakan Presiden Soekarno menganggap otonomi luas mengancam keutuhan bangsa dan karena itu otonomi harus disesuaikan dengan konsepsi demokrasi terpimpin. Dalam Penpres Nomor 6 tidak diatur mengenai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), karena itu untuk melengkapinya Presiden Soekarno mengeluarkan Penpres Nomor 5 Tahun 1960 tentang DPR-GR (parlemen lokal). 5) Undang-Undang No.18 tahun 1965 Acuan konsep yang dianut dalam Undang-Undang ini adalah konsep demokrasi terpimpin dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan umum, misinya adalah uniformitas

landasan bagi pembentukan dan penyusunan pemerintahan daerah, mengakhiri kelemahan demokrasi liberal dan membagi habis wilayah negara dalam tingkatan daerah otonom. Dikarenakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 seluruhnya mengadopsi Penpres Nomor 6 Tahun 1959 dan Penpres Nomor 5 Tahun 1960, bobot kekuasaan masih dikuasai oleh pusat. Namun ada beberapa hal positif dalam undang-undang ini dalam pengembangan otonomi daerah, antara lain: a. Susunan DPRD mencerminkan kegotongroyongan nasional revolusioner yang terdiri atas partai-partai dan golongan karya, dimana DPRD dipimpin oleh ketuanya sendiri bersama-sama dengan wakil-wakil ketua. (pasal 7-pasal 9). b. Sumber pendapatan daerah ditambah tidak saja dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan daerah, pajak negara yang diserahkan, subsidi, dan sumbangan seperti di atur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, tetapi juga dari bea dan cukai, hasil perusahaan negara dan ganjaran, dan diperbolehkannya daerah melakukan pinjaman untuk menjalankan aktivitas pemerintahan. Adanya tambahan pendapatan daerah tersebut, memudahkan daerah dalam menjalankan pemerintahan di daerah (Pasal 69-Pasal 73). Diberikannya hak Petisi kepada DPRD untuk membela kepentingan daerah dan masyarakat di hadapan pemerintah pusat untuk mencegah kesewenangwenangan pemerintah atasan (pasal 55). 6) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Dalam pelaksanaannya, dominasi pelaksanaan asas dekonsentrasi yang mencerminkan sentralistiknya pemerintahan dengan menarik kembali urusanurusan daerah menjadi urusan dekonsentrasi tanpa melalui prosedur yang ditetapkan, dan penempatan aparat dekonsentrasi yang semakin banyak di daerah. Hal ini menyebabkan ruang gerak daerah menjadi terbatas, malahan kegiatan dekonsentrasi yang seharusnya dibiayai pemerintah pusat dalam pelaksanaannya dibiayai oleh daerah (APBD) yang menambah beban bagi keuangan daerah. Selama era orde baru, ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat semakin eskalatif, sehingga dapat disimpulkan bahwa salah satu kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah tidak konsisten dan konsekuennya pelaksanaan Undang-Undang tersebut, terutama terjadinya deviasi dan distorsi terhadap pelaksanaan desentralisasi dan dekonsentrasi

dikarenakan keinginan pemerintah pusat dalam menjaga stabilitas negara, sehingga menciptakan sentralistik pemerintahan oleh pemerintah pusat. Keadaan tersebut mengakibatkan dominasi pemerintah pusat semakin besar yang menyebabkan ketergantungan daerah ke pusat otomatis menjadi semakin besar pula. Untuk menjaga stabilitas negara, pemerintah orde baru lebih mengedepankan peran militer, dimana peran militer yang sangat besar bahkan di daerah-daerah mengakibatkan masyarakat tidak dapat menggunakan hak-haknya dalam menyatakan pendapat. 7) Undang-Undang No.22 tahun 1999 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 di bentuk sebagai jawaban terhadap situasi krisis setelah bergulirnya reformasi dengan adanya tuntutan dari masyarakat dan elit-elit politik lokal yang menyerukan perubahan dalam sistem pemerintahan daerah. Undang-Undang ini melakukan perubahan mendasar dalam pola penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, dimana daerah diberi kewenangan yang luas untuk mengurus dan mengatur rumah tangga daerah dengan desentralisasi dan otonomi seluas-luasnya yang di titik beratkan pada Kabupatan dan Kota. Pemberian otonomi yang luas diharapkan mampu mencegah terjadinya disintegrasi bangsa, menciptakan keadilan, demokrasi, dan pemberdayaan masyarakat demi terciptanya kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Namun pada kenyataannya, euforia berlebihan yang timbul setelah sekian lama di kekang mengakibatkan munculnya raja-raja kecil di daerah. Kenyataan tersebut pada dasarnya dikarenakan oleh 3 (tiga) hal, yaitu: a. Tidak ada hubungan hierarkis antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kelemahan sentral dalam pengaturan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah mengenai hubungan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Provinsi selain sebagai daerah otonom juga sebagai wilayah administrasi yang melaksanakan tugas-tugas dekonsentrasi sebagai perpanjangan tangan wilayah administrasi pemerintah. Selaku perpanjangan tangan pemerintah, Provinsi diharapkan dapat menjadi sarana pengikat dalam menjaga keutuhan negara kesatuan, menyelesaikan masalah lintas daerah Kabupaten/Kota, dan berbagai tugas yang belum dapat dilaksanakan Kabupaten/Kota. Namun dalam Pasal 4 ayat (2) dinyatakan bahwa Provinsi dan Kabupaten/Kota tidak mempunyai hubungan hierarkis. Hal ini mangakibatkan Kabupaten/Kota tidak lagi atau

kurang menghormati Gubernur sebagai wakil pemerintahan di daerah. Keadaan demikian menyulitkan Gubernur kegiatan dalam mengkoordinir yang

Bupati/Walikota mengakibatkan

dalam kesulitan

melaksanakan besar dalam

pemerintahan,

keterpaduan

penyelenggaraan

pemerintahan, pelayanan umum, dan proses pembangunan daerah. b. Kepala Daerah di pilih oleh DPRD. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak dipilih secara langsung oleh rakyat, akan tetapi di pilih oleh DPRD sehingga menimbulkan manufer dan deal-deal politik oleh partai-partai politik yang ada untuk mengukuhkan kekuasaannya. c. Kesalahan persepsi dalam menafsirkan makna desentralisasi. Terjadinya kesalahan persepsi para pejabat di daerah dalam menafsirkan makna desentralisasi dan otonomi daerah yang didistorsikan sekedar sebagai penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, tanpa memahami bahwa membesarnya kewenangan daerah harus diikuti dengan membesarnya tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan dalam mensejahterakan dan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. 8) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Latar belakang terbentuknya undang-undang ini adalah bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran, serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, dimana efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Selain itu,

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dirasa sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga perlu diganti. Secara garis besar, undang-undang ini mengatur tentang pembentukkan daerah dan kawasan khusus, pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan daerah, penyelenggaraan pemerintahan yang terdiri dari pemerintah daerah dan DPRD, hak dan kewajiban daerah dalam menyelenggarakan otonomi, tugas, wewenang, larangan, pemberhentian, tindakan penyidikan kepala daerah dan wakil kepala daerah, kedudukan, fungsi,wewenang, hak, kewajiban, larangan, pemberhentian, penggantian antar waktu anggota DPRD, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, perangkat daerah, kepegawaian daerah, peraturan daerah, perencanaan pembangunan daerah, keuangan daerah meliputi pendapatan, belanja dan pembiayaan, BUMD, APBD, kawasan kota dan desa, pertimbangan dalam kebijakan otonomin daerah. 9) Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Latar belakang pembentukkan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 adalah bahwa hubungan keuangan, pelayanan umum pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya adalahpemerintah pusat dan daerah, dan antar pemerintah daerah perlu diatur secara selaras. Selain itu, untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pendanaan berdasarkan kewenangan pemerintah pusat, desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan perlu diatur perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah berupa sistem keuangan yang diatur berdasar pembagian kewenangan, tugas, dan tanggungjawab yang jelas antar susunan pemerintahan. Disamping itu, undangundang nomor 25 tahun 1999 sudah tidak sesuai dan perlu diganti. 10) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Peraturan pemerintah pengganti undang-undang ini dibentuk berdasarkan pertimbangan bahwa dalam rangka mengantisipasi keadaan genting yang disebabkan oleh bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan, dan/atau gangguan lainnya yang terjadi diseluruh atau sebagian wilayah pemilihan kepala

daerah dan wakil kepala daerah yang mengakibatkan pemilihan tidak dapat dilaksanakan sesuai jadwal, sehingga perlu dilakukan pengaturantentang penundaan pelaksanaan pemilihan. Selain itu, dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah harus menerapkan prinsip efisiensi dan efektivitas karena berkaitan dengan pemanfaatan dana, perlengkapan, personil dan keadaan di wilayah pemilihan. Hal tersebut di atas belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sehingga perlu menetapkan Peraturan Pengganti Undang-Undang untuk merubah Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004. 11) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 tahun 2005 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Berdasarkan pertimbangan yang tersebut dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 tahun 2005 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah bahwa peristiwa bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan dan/atau gangguan lainnya diseluruh atau sebagian wilayah pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat mengakibatkan tidak dapat dilaksanakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sesuai dengan jadwal yang belumdiatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, sehingga pemerintah membentuk peraturan untuk mengatur hal tersebut dan menetapkan merasa perlu untuk menetapkan peraturan tersebut yang merupakan landasan hukum yang kuat sehingga menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 tahun 2005 sebagai Undang-Undang. 12) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Latar belakang dibentuknya undang-undang ini adalah dirasa perlu bahwa untuk mewujudkan kepemimpinan daerah yang demokratis yang memperhatikan prinsip persamaan dan keadilan, penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga negara yang memenuhi persyaratan sehingga dalam penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah terjadi perubahan, terutama setelah putusan Mahkamah Konstitusi tentang calon perseorangan. Dalam Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah belum diatur mengenai pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang menggantikan kepaladaerah yang meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya. Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah belum diatur mengenai pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang meninggal dunia, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya. Sehingga, dalam rangka mewujudkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, perlu adanya pengaturan untuk mengintegrasikan jadwal penyelenggaraan pemilihan kepala daerah sehingga Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah perlu diubah. B. Otonomi Khusus 1. Konsep Otonomi Khusus Otonomi khusus merupakan otonomi yang diberikan pada suatu daerah tertentu untuk menjalankan pemerintahan (mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri) dengan pemberian hak-hak khusus yang derajat kemandiriannya lebih tinggi dibandingkan daerah-daerah lainnya. Menurut Kausar AS: Indonesia sebagai Negara Bangsa (nation state), mewadahi banyak keragaman budaya yang tumbuh di dalam masyarakat. Setiap keragaman budaya yang tumbuh di Indonesia terbentuk melalui proses sejarah yang sangat panjang yang kemudian melembaga dan diyakini oleh masyarakatnya. Termasuk didalamnya adalah lembaga-lembaga yang berupa institusi pemerintahan yang bercorak khusus di setiap daerah. Oleh karena itu UUD 1945 sebagai konstitusi NKRI mengakui keberadaan dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa.1 Otonomi khusus dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, hanya diberikan kepada 2 (dua) daerah, yaitu Provinsi Aceh dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 dan Provinsi Papua dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Adanya hak-hak khusus, membedakan sistem pemerintahan daerah yang dijalankan dibandingkan daerah lainnya. Perbedaan tersebut antara lain, seperti di Aceh di bentuk lembaga peradilan sendiri yang bernama Mahkamah Syariah, adanya
1

Kausar AS, Jurnal Otonomi Daerah, Vol. VII,No.3, Agustus-September 2007

Lembaga Wali Nanggroe yang merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat, adanya Lembaga Mukim untuk penyelesaian adat di desa yang membawahi sekurangnya 3 (tiga) desa, adanya partai politik lokal, Pemerintah Aceh dapat mengadakan hubungan kerja sama dengan lembaga atau badan di luar negeri, keikutsertaan Pemerintahan Aceh dalam persetujuan internasional yang berkaitan dengan Pemerintahan Aceh, Pendanaan Pelaksanaan otonomi khusus, tambahan dana perimbangan dan hak-hak lain-lainnya. Bila ditinjau pemberian otonomi khusus terhadap Provinsi Aceh dan Provinsi Papua, terdapat perbedaan mendasar dari perolehan status otonomi khusus tersebut, dimana sifat otonomi khusus untuk Papua didasarkan pada konsekuensi politis yang lebih merupakan tindakan sepihak dari Pemerintah Pusat untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di Papua, sedangkan untuk Aceh konsekuensi politis diberikan berdasarkan kesepakatan dari Not Kesepahaman (MoU) antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki (Finlandia). Perolehan otonomi khusus dalam konteks internasional pada umumnya didasarkan pada suatu perjuangan untuk memperoleh status politik dalam suatu negara yang telah merdeka. Hukum Internasional memang secara khusus membatasi hak untuk menentukan nasib sendiri dalam suatu negara pada 3 (tiga) kategori, yaitu: 1. Masyarakat yang berada dibawah penguasaan (penjajahan) dari negara lain; 2. Masyarakat yang berada dibawah pendudukan pemerintahan asing; dan 3. Masyarakat yang masih tertindas oleh suatu pemerintahan yang otoriter. Otonomi khusus dalam hukum internasional telah diakui sebagai salah satu jalan untuk menghindari proses disintegrasi dari suatu negara. Oleh karenanya, hukum internasional memberikan penghormatan terhadap perlindungan dari suatu kelompok bangsa atau etnis untuk mempertahankan identitasnya. Salah satu keuntungan dari penerapan otonomi khusus adalah sebagai sarana penyelesaian konflik. Perkembangan dari prinsip-prinsip otonomi ini sebagai hasil dari

perkembangan hukum internasional secara umum, berdasarkan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang secara langsung berdampak pada pemajuan standar umum bagi kepercayaan terhadap demokrasi, dan partisipasi rakyat dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum dari suatu negara. Adanya otonomi dalam suatu negara (a self governing intra state region) sebagai mekanisme penyelesaian konflik adalah suatu tindakan pilihan bagi penyelesaian konflik internal, sehingga memaksa

pemerintah pusat untuk menciptakan daerah otonomi khusus sebagai suatu intra state region with unique level of local self government. 2. Peraturan Perundangan Yang Berkaitan Dengan Pemerintah Daerah dan Otonomi Khusus 1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Undang-Undang ini dibentuk dengan latar belakang bahwa integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, melalui penetapan daerah Otonomi Khusus, dimana penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia, yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri. Selain itu, bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan

penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua. Pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua. Sehingga, dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilainilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak dan kewajiban sebagai warga negara. Masyarakat Papua merasa perlu untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua. Dan perkembangan situasi dankondisi daerah

Irian

Jaya,

khususnya

menyangkut

aspirasi

masyarakat

menghendaki

pengembalian nama Irian Jaya menjadi Papua sebagaimana tertuang dalam Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus 2000 tentang Pengembalian Nama Irian Jaya Menjadi Papua. Undang-undang ini secara garis besar mengatur tentang lambang-lambang daerah, pembagian daerah yang meliputi distrik-distrik, kewenangan daerah, bentuk dan susunan pemerintahan daerah, Majelis Rakyat Papua, perangkat dan kepegawaian, partai politik, peraturan daerah khusus (perdasus), peraturan daerah propinsi (perdasi), keputusan gubernur, keuangan daerah, perekonomian daerah, perlindungan hak-hak masyarakat adat, Hak Asasi Manusia, kepolisian daerah, kekuasaan peradilan, pengakuan peradilan adat dalam masyarakat hukum adat tertentu, keagamaan, pendidikan dan kebudayaan, kesehatan, kependudukan dan ketenagakerjaan, pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup, masalah sosial berkaitan dengan perhatian khusus terhadap suku-suku di propinsi Papua yang terisolasi, terpencil dan terabaikan, pengawasan, kerjasama dan penyelesaian perselisihan. 2) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Dilatarbelakangi oleh masalah yang timbul di provinsi Irian Jaya Barat yang kemudian berganti nama menjadi provinsi Papua Barat yang pada kenyataannya telah menjalankan urusan pemerintahan dan pembangunan dan memberikan pelayan masyarakat sejak tahun 2003, namun belum diberlakukan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sehingga dirasa pemberlakuan otonomi khusus bagi provinsi Papua Barat memerlukan kepastian hukum yang sifatnya mendesak dan segera agar tidak menimbulkan hambatan percepatan pembangunan khususnya dibidang sosial, ekonomi, dan politik serta infrastruktur di provinsi Papua Barat. 3) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2008 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang didasari mengingat bahwa Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dimana seperti yang telah diketahu bahwa di Provinsi Papua Barat belum diberlakukan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang kemudian UndangUndang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua merupakan suatu kebijakan khusus dalam rangka peningkatan pelayanan, akselerasi pembangunan, dan pemberdayaan seluruh rakyat di Provinsi Papua agar dapat setara dengan daerah lain. Sehingga karena pemberlakuan otonomi khusus bagi Provinsi Papua Barat memerlukan kepastian hukum yang sifatnya mendesak dan segera agar tidak menimbulkan hambatan percepatan pembangunan khususnya bidang sosial, ekonomi, dan politik serta infrastruktur di Provinsi Papua Barat, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Maka berdasarkan pertimbangan diatas, pemerintah merasa perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang.

BAB III PEMBAHASAN A. Implementasi Otonomi Daerah di Indonesia 1. Penyelenggaraan Otonomi Pada Masa Penjajahan Penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah sesungguhnya telah terjadi jauh sebelum Negara Indonesia merdeka, khususnya pada masa penjajahan Belanda. Pondasi awal desentralisasi pada masa penjajahan belanda diatur dalam Regering Reglement (RR) yang ditetapkan pada tahun 1854. Peraturan ini menegaskan bahwa di Hindia Belanda tidak dikenal adanya desentralisasi karena sistem yang digunakan adalah sentralisasi, namun disamping sentralisasi

diperkenalkan juga dekonsentrasi. Dengan adanya dekonsentrasi, kawasan Hindia Belanda di bentuk wilayah-wilayah administratif yang diatur secara hierarkis mulai Gewest (residentie), Afdeling, Distric, dan Onderdistric. Selanjutnya pada tahun 1903, oleh Pemerintah Belanda ditetapkan Decentralisatie Wet pada tanggal 23 Juli 1903 yang diundangkan dalam Staatsblad Tahun 1903 Nomor 329. Decentralisatie Wet pada dasarnya memuat ketentuan dari Regering Reglement tahun 1854 ditambah beberapa pasal baru yang memungkinkan adanya daerah otonom (gewest) yang memiliki kewenangan mengurus keuangan sendiri. Daerah-daerah yang dibentuk dipimpin oleh petinggi-petinggi Belanda yang ditunjuk oleh Pemerintah Belanda. Kemudian pada tahun 1925 Pemerintah Belanda mengeluarkan Wet op de Staatsinrichting van Nederlands-Indie yang biasa disebut Indische Staatsregeling (IS). Aturan ini mulai melibatkan orang Indonesia dalam badan-badan pemerintahan, khususnya para kaum ningrat. Untuk melaksanakan Indische Staatsregeling (IS) tersebut, dikeluarkan dua peraturan baru, yaitu Regentschap ordonatie dan Provincies ordonantie. Melalui kedua peraturan tersebut, kawasan Jawa dan Madura mulai dibagi dalam beberapa Provincies (setara dengan provinsi), Regent (setara dengan karesidenan) dan Stad (setara dengan kabupaten/kotamadya). Kawasan di luar Jawa, pada tahun 1937 diberlakukan Groepgemeenschap ordonantie dan Stadgemeente ordonantie Buittengewesten. Pemerintahan lokal yang dibentuk berdasarkan peraturan sebelumnya tetap dipertahankan tetapi dibawahnya dibentuk beberapa Groeps (setara karesidenan) dan Stad (setara

kabupaten/kotamadya). Dalam sistem ini mulai diterapkan konsep desentralisasi yang disebut otonomi daerah. Otonomi dalam konsep ini adalah hak untuk membantu

pelaksanaan pemerintah pusat, sementara kepala daerah adalah orang pusat di daerah yang sekaligus memegang jabatan tertinggi di daerah dan diawasi oleh Gubernur Jenderal. Ketika Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942, konsep yang sudah dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda tidak dipakai lagi. Pemerintah Jepang menghapuskan sistem desentralisasi dengan menerapkan sistem sentralisasi penuh melalui kekuasaan militer sebagai sentralnya. 2. Pelaksanaan otonomi Era Kemerdekaan Proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia oleh Sukarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta, merupakan babak baru bagi terbentuknya negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, memberikan konsekuensi logis bagi negara Indonesia untuk membentuk sistem pemerintahan yang akan di jalankan. Oleh karena itu, pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) disepakati untuk mensahkan UUD yang dikenal dengan UUD 1945. Dalam

Konstitusi tersebut diakui adanya otonomi dalam sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia, khususnya dalam Pasal 18 UUD 1945, yaitu: Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Lebih lanjut dijelaskan dalam penjelasan Pasal 18 yang terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu:2 I. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek and locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undangundang. II. Dalam territorial Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.

Penjelasan UUD ini hanya terdapat di dalam naskah UUD yang asli, sedangkan dalam Amandemen UUD, penjelasan tersebut ditiadakan dengan memasukkan substansi yang penting ke dalam pasal dan ayat tertentu.

Isi pasal 18 beserta penjelasannya merupakan acuan dan dasar bagi pemerintah untuk mengatur sistem otonomi daerah dengan pola pengaturan yang mensinergikan hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, maupun antar pemerintahan daerah. Pada era kemerdekaan (1945-1965) sebagai babak awal baru bagi terbentuknya pemerintahan daerah, oleh pemerintah telah dikeluarkan beberapa kebijakan tentang otonomi daerah yang diawali dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, kemudian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Ketetapan Presiden (PANPRES) Nomor 6 Tahun 1959, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965. a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 Sejalan dengan proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia dan ditetapkannya UUD 1945, yang dalam Pasal 18 mengamanahkan pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahan ditetapkan dengan Undang-Undang, maka pada tanggal 19 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan pembagian daerah Negara Republik Indonesia menjadi 8 (delapan) Provinsi yang masing-masing dikepalai oleh seorang Gubernur, yaitu: Jawa Barat (Mas Soetardjo Karrohadikusumo), Jawa Tengah (R.P. Soeroso), Jawa Timur (R.M.T.A. Soeryo), Sumatera (Mr. Teuku Muhammad Hasan), Kalimantan (Ir. Pangeran Muhammad Nur), Sulawesi (dr. G.S.S.J. Ratu Langie), Sunda Kecil (Mr. I Gusti Ketut Pudja), dan Maluku (Mr. J. Latuharhary). Daerah Propinsi dibagi lagi dalam Karesidenan yang dikepalai oleh seorang Residen.3 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dalam Pasal IV Aturan Peralihan juga mengamanahkan agar dibentuk suatu Komite Nasional sebelum terbentuknya lembaga MPR, DPR, dan DPA guna membantu Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan. Atas dasar hal tersebut, Wakil Presiden Mohd. Hatta pada tanggal 16 Oktober 1945 mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden Nomor X yang menyatakan bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) diserahi kekuasaan legislatif dan tugasnya sehari-hari dijalankan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP). Dengan dibaginya Negara Republik Indonesia menjadi 8 (delapan) daerah Propinsi dan Karesidenan, maka untuk terselenggaranya penyelenggaraan
3

Yohanis Anton Raharusun, Op.cit, hlm.130

pemerintahan daerah tersebut dibentuklah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) yang diundangkan pada tanggal 23 November 1945. Undang-undang ini merupakan kebijakan formal pertama yang melandasi semangat otonomi daerah di Indonesia dengan maksud untuk mengadakan lembaga legislatif lokal yang bernama Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) guna mendampingi Kepala Daerah dalam menjalankan pemerintahan di daerah. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 menegaskan keberadaan Komite Nasional Daerah yang berkedudukan di Karesidenan (Kabupaten/Kota sekarang) sebagai Badan Permusyawaratan Rakyat Daerah (BPRD) atau pemegang kekuasaan legislatif lokal yang bertugas mengatur urusan rumah tangga daerah bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah. Bila ditinjau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, tampak jelas bobot kekuasaan berada pada pemerintah pusat, sedangkan desentralisai yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah-daerah otonom adalah desentralisasi politik, khususnya aspek kekuasaan legislatif lokal. Desentralisasi administrasi dan desentralisasi fiskal belum diatur sama sekali, bahkan bentuk dan susunan daerah belum ditetapkan termasuk pengaturan daerah istimewa.4 Hal ini disadari sepenuhnya oleh para pembentuk undang-undang akan segala kekurangan dan ketidaklengkapan undang-undang tersebut, sebagaimana dinyatakan secara eksplisit di dalam penjelasan umumnya bahwa Peraturan ini tidak sempurna dan tentu tidak akan memberikan kepuasan sepenuhnya, karena harus diadakan dengan cepat sekedar mencegah kemungkinan kekacauan. Selain itu di dalam konsideran juga dinyatakan, kehadiran undang-undang ini hanyalah untuk sementara waktu, terutama sebelum diadakan pemilu. Namun, dapatlah dikatakan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun1945 memberikan konstribusi dalam meletakkan fundamen awal terbentuknya badan legislatif lokal dan menanamkan tradisi otonomi daerah. b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang dilakukan secara cepat dengan materi pengaturan yang sangat sederhana (hanya terdiri dalam 6 pasal), menimbulkan banyak kesulitan dalam pelaksanaannya, terutama karena

Yohanis Anton Raharusun, op.cit, hlm.132

dominannya peran Kepala Daerah yang tidak saja sebagai kepala pemerintahan akan tetapi juga selaku pimpinan KND (BPRD). Dominannya peran Kepala Daerah, mengakibatkan mandulnya peran KND (BPRD) selaku badan legislatif dan menjadikan kurang harmonisnya hubungan keduanya. Karena itu, pada tanggal 10 Juli 1948 oleh pemerintah ditetapkan Udang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yang mengatur pokok-pokok pemerintahan di daerah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 terdiri atas V Bab dan 47 Pasal yang dilengkapi dengan penjelasan umum dan penjelasan pasal per pasal dengan rincian, Bab I mengatur tentang pembagian daerah otonom, Bab II mengatur tentang bentuk dan susunan pemerintahan daerah, Bab III mengatur tentang kekuasaan dan kewajiban pemerintahan daerah, Bab IV mengatur tentang keuangan daerah, dan Bab V mengatur tentang pengawasan terhadap daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 ditegaskan bahwa daerah dalam Negara Republik Indonesia tersusun dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu: provinsi, kabupaten (kota besar) dan desa, nagari, marga, gampong dan sebagainya yang disebut swatantra (menyelenggarakan pemerintahan sendiri). Masing-masing daerah tersebut dinamakan Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II, dan Daerah Tingkat III. Secara yuridis-fungsional pemerintahan atau wilayah hukum penyelenggaraan administrasi pemerintahan, wilayah nasional Republik Indonesia dibagi secara hierarkis dan horizontal atas wilayah nasional sebagai wilayah hukum pemerintahan pusat, wilayah provinsi sebagai wilayah hukum pemerintahan provinsi, setiap wilayah provinsi dibagi atas wilayah kabupaten (kota besar), dan wilayah kabupaten (kota besar) dibagi atas wilayah yang disebut desa, nagari, marga dan lain-lain. Tingkatan daerah swatantra dilatar belakangi oleh pemikiran pembentuk undang-undang, sebagaimana dimuat dalam penjelasan umum tentang empat persoalan penting. Persoalan pertama mengenai apakah suatu urusan adalah urusan pusat atau urusan daerah, Kedua mengenai keberagaman kesatuan masyarakat hukum dan bahwa urusan otonomi tidak kongruen dengan urusan hukum adat, Ketiga mengenai Kepala Daerah yang harus dipilih secara langsung oleh rakyat daerah yang bersangkutan, tetapi harus pula mendapat pengesahan dari pemerintah, Keempat mengenai pengawasan, maksudnya bahwa Pemerintah

Pusat pada intinya mengawasi DPRD dan DPD baik produk-produk hukumnya maupun tindakan-tindakannya. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 telah bersifat kolegial, dimana masalah pemerintahan tidak lagi diputuskan secara tunggal oleh BPRD yang dipimpin oleh Kepala Daerah, akan tetapi diputuskan oleh DPRD dan DPD. Pemerintahan daerah terdiri atas DPRD dan DPD, dimana para anggota DPD dipilih oleh dan dari anggota-anggota daerah yang diangkat oleh Presiden untuk Provinsi dan oleh Menteri Dalam Negeri untuk Kabupaten (kota besar) atau oleh Kepala Daerah Provinsi untuk desa. Aturan tersebut ditujukan demi tegaknya kedaulatan rakyat dan berjalan lancarnya roda pemerintahan di daerah, selain itu agar dualisme pemerintahan daerah seperti dianut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tidak terjadi lagi dimana pemerintah daerah yang berdasarkan BPRD dan pemerintah daerah yang dijalankan oleh Kepala Daerah sendiri termasuk posisi kepala daerah sebagai pimpinan BPRD.5 Sejalan dengan tujuan menegakkan kedaulatan rakyat dan untuk berjalan lancarnya roda pemerintahan di daerah, oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 diberikan kewenangan sebanyak-banyaknya kepada daerah otonom baik secara penuh (hak otonomi) maupun secara tidak penuh (hak medebewind) guna mengatur dan mengurus sendiri rumah tangganya. Bahkan hak medebewind itu dapat diserahkan lagi oleh pemerintah daerah provinsi kepada daerah otonom yang lebih rendah melalui peraturan daerah. Agar kewenangan yang diserahkan dapat dijalankan dengan baik, kepada daerah otonom diberikan sumber-sumber pendapatan, pajak negara yang diserahkan kepada daerah, dan lain-lain pendapatan seperti pinjaman dan subsidi. Selain itu, daerah-daerah diwajibkan pula memiliki APBD. Menurut Amarah Muslimin: Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 mengandung prinsip: a. Penghapusan perbedaan cara pemerintahan di Jawa dan Madura dengan daerah luar bisa disatukan, atau uniformitas pemerintahan daerah di seluruh Indonesia;

Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948.

b. Membatasi tingkatan badan-badan pemerintahan daerah sedikit mungkin, yaitu provinsi, kabupaten atau kota besar, dan tingkatan terendah yang belum ditentukan namanya karena namanya berbedabeda bagi daerah-daerah; c. Penghapusan dualisme pemerintahan daerah; dan d. Pemberian hak otonomi dan medebewind seluas-luasnya kepada badan-badan pemerintahan daerah yang tersusun secara demokratis (collegial bestuur) atas dasar permusyawaratan.6 Bila kita lihat secara eksplisit terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, dapat dikatakan bahwa undang-undang tersebut telah mencakup hampir seluruh segi desentralisasi, baik desentralisasi politik, desentralisasi administrasi, dan desentralisasi fiskal, walaupun desentralisasi tersebut pengaturannya tidak di jabarkan secara langsung sehingga membingungkan daerah dalam

pelaksanaannya. Untuk mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, oleh pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) dibawah kepemimpinan Perdana Menteri Hatta dan Menteri Dalam Negeri Anak Agung Gede Agung, undang-undang pemerintahan daerah itu coba digulirkan, namun hanya terbatas di daerah eks RI. Bentuknya adalah dengan menerbitkan Undang-Undang dan Perpu pembentukan daerah otonom provinsi, yaitu Provinsi Jawa Timur (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1950), Provinsi Yogyakarta (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950), Provinsi Jawa Tengah (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950), Provinsi Jawa Barat (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950), Provinsi Sumatera Selatan (Perpu Nomor 3 Tahun 1950), dan Provinsi Sumatera Utara (Perpu Nomor 5 Tahun 1950).7 Pada tahun 1950 terjadi pergantian konstitusi UUD 1945 dengan UUDS 1950 dan bubarnya Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara umum UUDS 1950 itu sendiri masih kental dipengaruhi paham liberalisme. Pada masa ini diberlakukan 2 (dua) peraturan pemerintahan yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yang diberlakukan di daerah-daerah eks RI dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950 tentang

6 7

Amarah Muslimin, Ichtisar Perkembangan Otonomi Daerah, (Jakarta : Jembatan, 1960). hlm.50 Yohanis Anton Raharusun, op.cit. hlm.142

Pemerintahan Daerah Indonesia Timur yang diberlakukan untuk daerah-daerah Indonesia Timur (Sunda Kecil, Sulawesi, dan Maluku). c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 Pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, pada dasarnya dikarenakan adanya keragaman pengaturan pemerintahan daerah, terutama Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yang diberlakukan di daerah-daerah eks RI dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950 yang diberlakukan untuk daerahdaerah Indonesia Timur. Undang-Undang ini adalah hasil kerja DPR pemilu tahun 1955 dengan harapan dapat menanggulangi kemelut politik yang bermuara pada pendemokrasian pemerintahan daerah awal tahun 1950-an. Terdapat perubahan yang mendasar dalam pengaturan mengenai pemerintahan daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 dibandingkan undang-undang sebelumnya, walaupun secara substansial masih mempertahankan format pemerintahan lokal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, antara lain tingkatan daerah otonom masih tetap tiga lapis yaitu Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II, dan Daerah Tingkat III, Pemerintah Daerah masih tetap terdiri dari DPRD dan DPD, sumber pendapatan daerah masih tetap, sistem pengawasan preventif dan represif oleh pemerintahan atasan terhadap keputusan-keputusan pemerintah bawahan dan beberapa hal lainnya. Beberapa perubahan mendasar dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 antara lain: a. Sistem pemilihan Kepala Daerah. Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat, berbeda dengan sebelumnya dimana diangkat oleh pejabat pemerintah pusat berdasarkan calon yang diajukan oleh DPRD. b. Keanekaragaman dalam pengaturan pemerintahan daerah secara bertahap dihilangkan, dengan cara mengakui daerah-daerah otonom yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 dan menerbitkan Undang-Undang pembentukan daerah otonom baru bagi daerah-daerah eks NIT/negara bagian lainnya. c. Kedudukan Kepala Daerah tidak lagi menjadi alat pusat dan sekaligus alat daerah, tetapi hanya sebagai alat daerah saja. Konsekuensinya, diberikan kewenangan kepada Kepala Daerah untuk mengawasi pekerjaan DPRD dan DPD, juga berhak menahan dijalankannya keputusan DPRD dan DPD.

d. Otonomi materiil yang dianut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 diubah menjadi otonomi riil. Daerah-daerah mengerjakan urusan-urusan

pemerintahan menurut bakat, kesanggupan dan kemampuannya. Urusan rumah tangga daerah dapat ditambah dari waktu ke waktu. Bahkan, kepada pemerintah daerah dapat diberikan tugas pembantuan. e. Di daerah-daerah, selain ada lembaga-lembaga DPRD, DPD dan Kepala Daerah (collegial bestuur) yang mengatur dan mengurus rumah tangga daerah dan menjalankan tugas medebewind, juga terdapat penguasa lain (pamong praja) yang menyelenggarakan tugas dekonsentrasi atau pemerintahan umum.8 Menurut Soetarjo, Undang-Undang ini mencerminkan negara serikat atau bonstaat karena pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan untuk menjalankan kekuasaannya di daerah. Undang-Undang ini, di satu pihak menganjurkan negara kesatuan, tetapi di pihak lain membentuk negara federasi.9 Pengaturan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 pada dasarnya sudah cukup baik, hanya sayangnya tidak diberlakukan secara sungguh-sungguh oleh pemerintah pusat, dikarenakan keengganan pemerintah pusat untuk merealisasikan penyerahan urusan-urusan pemerintahan kepada daerah-daerah otonom sehingga menimbulkan berbagai konflik dalam sistem pemerintahan. Adanya dualisme penyelenggaraan pemerintahan lokal antara

Pemerintahan Daerah dan Pejabat Pamong Praja (dekonsentrasi), dimana masingmasing pihak berusaha mewujudkan kepentingannya mengakibatkan koordinasi tidak berjalan dengan baik. d. Penpres Nomor 6 Tahun 1959 dan Penpres Nomor 5 Tahun 1960 Setelah berlakunya kembali UUD 1945 dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem demokrasi berubah dengan jargon demokrasi terpimpin. Hal ini berdampak kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 yang berada dibawah bingkai sistem demokrasi liberal, dengan diberlakukannya Penpres tahun 1959 dan Penpres Nomor 5 Tahun 1960. Penyusunan Penpres Nomor 6 Tahun 1959 berlangsung dengan cepat dan ditetapkan pada tanggal 1 September 1959 oleh Presiden Soekarno, hal ini dimungkinkan karena merupakan produk eksekutif yang tidak memerlukan
8 9

Nomor 6

Djohermansyah Djohan, dikutip Yohanis Anton Raharusun, op.cit. hlm.147 Soetarjo Kartohadikusumo, Kedudukan Pamong Praja, Majalah Swatantra, dikutip Jimly Asshiddiqie, op.cit. hlm.403

persetujuan legislatif (DPR) dengan tujuan menarik kembali kewenangankewenangan pusat yang banyak diambil daerah. Tujuan tersebut, dikarenakan Presiden Soekarno menganggap otonomi luas mengancam keutuhan bangsa dan karena itu otonomi harus disesuaikan dengan konsepsi demokrasi terpimpin.10 Dalam Penpres Nomor 6 tidak diatur mengenai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), karena itu untuk melengkapinya PresidenSoekarno mengeluarkan Penpres Nomor 5 Tahun 1960 tentang DPR-GR (parlemen lokal). Pemberlakuan kedua Penpres ini, menurut The Liang Gie, merubah tujuan desentralisasi dari demokrasi kepencapaian stabilitas dan efesiensi pemerintahan di daerah. Kedua Penpres ini merubah asas-asas pemerintahan daerah dari arah desentralisasi ke sentralisasi. Prajudi menyebutkan, kedua penpres ini memakai sistem dualisme fungsional yaitu sebagai organ pusat dan organ daerah.11 Penetapan Presiden (penpres) Nomor 6 Tahun 1959 bermaksud memulihkan dan bahkan memperkokoh kewibawaan Kepala Daerah sebagai alat pemerintah pusat dengan diberi kedudukan dan fungsi rangkap dekonsentrasi dan sekaligus desentralisasi. Dengan kedudukan dan fungsi rangkap tersebut persoalan di daerah diharapkan dapat ditanggulangi oleh setiap Kepala Daerah, sehingga Kepala Daerah dapat exist sebagai perpanjangan tangan kepemimpinan nasional.12 Penpres Nomor 6 Tahun 1959 menimbulkan reaksi hebat dikalangan partai-partai politik, karena kekuasaan mereka dalam penyelenggaraan otonomi daerah dipreteli. Penpres tersebut oleh partai-partai politik dinilai sebagai suatu langkah mundur penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia karena telah menggusur demokrasi pemerintahan dengan sentralisasi kekuasaan oleh pemerintah pusat untuk mengatur pemerintahan daerah.13 Dikatakan demikian karena: a. Pemilihan Kepala Daerah tidak di pilih secara langsung oleh rakyat, akan tetapi diajukan oleh DPRD kepada Presiden. Bahkan pemerintah pusat dapat mengangkat Kepala Daerah di luar calon yang diajukan oleh DPRD. b. Pertanggung jawaban Kepala Daerah kepada Pemerintah Pusat bukan kepada DPRD selaku wakil rakyat (Kedaulatan tidak lagi berada ditangan rakyat). c. Kepala Daerah dapat menangguhkan atau membatalkan keputusan DPRD.
10 11

Yohanis Anton Raharusun, op.cit, hlm.160 Jimly Asshiddiqie, op.cit. hlm.404 12 Ibid. hlm.404 13 Yohanis Anton Raharusun, op.cit. hlm.151

d. Kedudukan Kepala Daerah selaku alat pusat sekaligus alat daerah sehingga memungkinkan terjadinya tindakan sewenang-wenang oleh Kepala Daerah selaku penguasa tunggal. Bila dilihat dari sisi bobot kekuasaan, terlihat jelas dalam pelaksanaan Penpres Nomor 6 Tahun 1959 dan Penpres Nomor 5 Tahun 1960, bobot kekuasaan kembali dipegang oleh pemerintah pusat, berbeda dengan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1957 di mana bobot kekuasaan lebih pada pemerintahan daerah. e. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 Pada tanggal 3 Desember 1960, MPRS14 mengeluarkan TAP

No.II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Sementara Tahapan Pertama 1961-1969. Salah satu isinya mangamanatkan untuk membentuk satu Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah sesuai dengan kegotongroyongan demokrasi terpimpin dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang mencakup segala pokok-pokok (unsur) yang progresif dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959, Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1960 dan Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960 jo Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1965. Untuk menindaklanjuti TAP MPR tersebut, Presiden Soekarno

menetapkan Keppres Nomor 514 Tahun 1961 (diubah dengan Keppres Nomor 54 Tahun 1961) membentuk Panitia Negara Urusan Desentralisasi dan Otonomi Daerah dengan tugas memberikan usul kepada pemerintah tentang pokok-pokok pengaturan pemerintahan daerah.15 Atas tugas tersebut, Panitia Negara menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang akhirnya dapat disetujui oleh DPR-GR dan ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 1 September 1965. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan Daerah terdiri dari IX Bab dan 90 Pasal. Undang-Undang ini menggantikan posisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 dan melanjutkan ide Penpres Nomor 6 Tahun 1959, bahkan dapat dikatakan bahwa ketentuan14

MPRS di bentuk Presiden Soekarno dengan Penpres Nomor 2 Tahun 1959 yang keanggotaannya terdiri dari semua anggota DPR-GR ditambah utusan daerah dan wakil-wakil golongan. 15 Yohanis Anton Raharusun, op.cit, hlm.154

ketentuan dalam Penpres Nomor 6 Tahun 1959 dan Penpres Nomor 5 tahun 1960 seluruhnya diadopsi kedalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965.16 Acuan konsep yang dianut dalam Undang-Undang ini adalah konsep demokrasi terpimpin dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan umum, misinya adalah uniformitas landasan bagi pembentukan dan penyusunan pemerintahan daerah, mengakhiri kelemahan demokrasi liberal dan membagi habis wilayah negara dalam tingkatan daerah otonom. Dikarenakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 seluruhnya mengadopsi Penpres Nomor 6 Tahun 1959 dan Penpres Nomor 5 Tahun 1960, bobot kekuasaan masih dikuasai oleh pusat. Namun ada beberapa hal positif dalam undang-undang ini dalam pengembangan otonomi daerah, antara lain: a. Susunan DPRD mencerminkan kegotongroyongan nasional revolusioner yang terdiri atas partai-partai dan golongan karya, dimana DPRD dipimpin oleh ketuanya sendiri bersama-sama dengan wakil-wakil ketua. (pasal 7-pasal 9). b. Sumber pendapatan daerah ditambah tidak saja dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan daerah, pajak negara yang diserahkan, subsidi, dan sumbangan seperti di atur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, tetapi juga dari bea dan cukai, hasil perusahaan negara dan ganjaran, dan diperbolehkannya daerah melakukan pinjaman untuk menjalankan aktivitas pemerintahan. Adanya tambahan pendapatan daerah tersebut, memudahkan daerah dalam menjalankan pemerintahan di daerah (Pasal 69-pasal 73). c. Diberikannya hak Petisi kepada DPRD untuk membela kepentingan daerah dan masyarakat di hadapan pemerintah pusat untuk mencegah kesewenangwenangan pemerintah atasan (pasal 55). 3. Otonomi Daerah di Era Orde Baru Periode orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto berjalan cukup panjang selama 32 tahun sejak tahun 1966 hingga 1998. Pada era ini ditetapkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, dan terus bertahan hingga jatuhnya rezim orde baru melalui reformasi di Indonesia. Kebijakan pelaksanaan otonomi daerah selama pelaksanaan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah berjalan

16

Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Jakarta, 2003. Lihat pula Jimly Asshiddiqie, op.cit. hlm.405

dengan dimensi yang amat berbeda dibandingkan dengan era sebelumnya. Secara kontekstual, selama penerapan Undang-Undang tersebut diperkenalkan dimensi baru menyangkut otonomi daerah, yaitu otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Sebagai Undang-Undang produk orde baru yang pada prinsipnya

mengutamakan pembangunan ekonomi, dimensi perundangan ini tidak bisa lepas dari kebijakan pembangunan ekonomi yang berasaskan trilogy pembangunan, yaitu stabilitas yang semakin mantap, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan pemerataan kegiatan pembangunan dan hasil-hasilnya, sebagaimana tertuang di dalam penjelasan umum angka 1 huruf i Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa. Menurut J. Kaloh: Pengaruh yang cukup signifikan dari trilogi pembangunan tersebut adalah pelaksanaan otonomi yang diarahkan untuk terbentuknya stabilitas pemerintahan daerah, yang ciri-cirinya meliputi: a. Konsentrasi kekuasaan terletak di lembaga eksekutif (Kepala Daerah). b. Dihapusnya lembaga BPH (Badan Pelaksana Harian) sebagai perwakilan parpol di dalam Pemerintahan Daerah. c. Tidak dilaksanakannya hak angket DPRD yang dapat mengganggu keutuhan Kepala Daerah. d. Kepala Daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD, tetapi secara hierarki kepada Presiden. e. Kepala Daerah hanya memberi keterangan kepada DPRD tentang pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan sekali dalam setahun.17 Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 bertitik tolak pada 3 (tiga) prinsip dasar, yaitu desentralisasi berupa penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah, sehingga menjadi urusan rumah tangganya, Dekonsentrasi berupa pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di daerah, dan tugas pembantuan (medebewind) berupa penyerahan tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerintah daerah oleh pemerintah atau pemerintah daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggung jawabkan kepada yang memberi tugas (Pasal 1 huruf d UU Nomor 5 Tahun 1974).
17

J. Kaloh, op.cit, hlm.23

Ketiga prinsip dasar tersebut pada dasarnya mengatur hubungan kekuasaan pusat dan daerah dalam bobot yang seimbang dalam arti kekuasaan yang dimiliki pusat dan daerah berada dalam titik keseimbangan (balance power sharing). Pada masa itu muncul istilah Pusat adalah pusatnya daerah dan daerah adalah daerahnya pusat. Ini berarti bahwa antara Pusat dan Daerah saling komplementer, saling memerlukan, dan bukan dalam posisi saling berhadapan.18 Dalam pelaksanaannya, ketiga prinsip dasar tersebut tidak berjalan dengan serasi, karena semakin besar dan dominannya pelaksanaan asas dekonsentrasi yang mencerminkan sentralistiknya pemerintahan dengan menarik kembali urusan-urusan daerah menjadi urusan dekonsentrasi tanpa melalui prosedur yang ditetapkan, dan penempatan aparat dekonsentrasi yang semakin banyak di daerah. Hal ini menyebabkan ruang gerak daerah menjadi terbatas, malahan kegiatan dekonsentrasi yang seharusnya dibiayai pemerintah pusat dalam pelaksanaannya dibiayai oleh daerah (APBD) yang menambah beban bagi keuangan daerah.19 Kuntjorojakti, menggambarkan desentralisasi pada periode itu sebagai gerak pendulum dari satu kutub ke kutub lainnya. Kehidupan desentralisasi pada masa orde baru cenderung berayun diantara dua kutub, dari kutub desentralisasi dan sisitem demokrasi ke kutub sentralisasi dan autokrasi tetapi lebih berat ke sentralisasi dan autokrasi.20 Selama era orde baru, ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat semakin eskalatif, sehingga dapat disimpulkan bahwa salah satu kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah tidak konsisten dan konsekuennya pelaksanaan Undang-Undang tersebut, terutama terjadinya deviasi dan distorsi terhadap pelaksanaan desentralisasi dan dekonsentrasi dikarenakan keinginan pemerintah pusat dalam menjaga stabilitas negara, sehingga menciptakan sentralistik pemerintahan oleh pemerintah pusat. Keadaan tersebut mengakibatkan dominasi pemerintah pusat semakin besar yang menyebabkan ketergantungan daerah ke pusat otomatis menjadi semakin besar pula. Untuk menjaga stabilitas negara, pemerintah orde baru lebih mengedepankan peran militer, dimana peran militer yang sangat besar bahkan di daerah-daerah

18 19

J. Kaloh, op.cit, hlm.65 Ibid, hal.25 20 Jimly Asshiddiqie, op.cit. hlm.407

mengakibatkan masyarakat tidak dapat menggunakan hak-haknya dalam menyatakan pendapat. 4. Otonomi Daerah di Era Reformasi Reformasi besar-besaran yang terjadi di Indonesia pada akhir tahun 1998 mengakibatkan lengsernya rezim orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Euforia reformasi yang menggulirkan dinamika perubahan, ikut menumbuh kembangkan kesadaran masyarakat di daerah-daerah, khususnya elit-elit politik daerah untuk menuntut hak dan kewenangan dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah secara demokratis, yang selama masa orde baru selalu dikekang dan diekploitasi oleh Pemerintah Pusat. Isu yang dikembangkan oleh elit-elit politik daerah adalah pembagian kekuasaan/kewenangan yang seimbang antara pemerintah pusat dan daerah, termasuk perimbangan terhadap eksploitasi sumber daya alam yang selama masa orde baru di monopoli pemerintah pusat. Ketika reformasi dicetuskan, salah satu tuntutan penting reformasi yang disuarakan oleh masyarakat di daerah adalah agar terselenggaranya otonomi daerah secara komprehensif menyentuh rasa keadilan, terutama menyangkut aspek politik, pemerintahan, dan ekonomi. Hal ini oleh berbagai kalangan dan para pakar pemerintahan, politik, dan ekonomi dianggap sebagai masalah utama ketidakpuasan sebagian besar rakyat di daerah. Manifestasi terselenggaranya otonomi daerah adalah terwujudnya pemerintahan daerah yang mampu menjawab berbagai permasalahan masyarakat di daerah, baik menyangkut aspek administrasi pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan.21 Reformasi bidang politik dan pemerintahan daerah telah melahirkan agenda dan kesepakatan nasional, yang ditandai dengan diterbitkannya TAP MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan dan

Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI. Tap MPR inilah yang menjadi semangat dan landasan awal pengaturan pemerintahan daerah setelah reformasi, melalui

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 di bentuk sebagai jawaban terhadap situasi krisis setelah bergulirnya reformasi dengan adanya tuntutan dari

21

J.Kaloh, op.cit.hlm.69

masyarakat dan elit-elit politik lokal yang menyerukan perubahan dalam sistem pemerintahan daerah. Undang-Undang ini melakukan perubahan mendasar dalam pola penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, dimana daerah diberi kewenangan yang luas untuk mengurus dan mengatur rumah tangga daerah dengan desentralisasi dan otonomi seluas-luasnya yang di titik beratkan pada Kabupatan dan Kota. Pemberian otonomi yang luas diharapkan mampu mencegah terjadinya disintegrasi bangsa, menciptakan keadilan, demokrasi, dan pemberdayaan masyarakat demi terciptanya kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Namun pada kenyataannya, euforia berlebihan yang timbul setelah sekian lama di kekang mengakibatkan munculnya raja-raja kecil di daerah. Kenyataan tersebut pada dasarnya dikarenakan oleh 3 (tiga) hal, yaitu: 1. Tidak ada hubungan hierarkis antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kelemahan sentral dalam pengaturan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah mengenai hubungan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Provinsi selain sebagai daerah otonom juga sebagai wilayah administrasi yang melaksanakan tugas-tugas dekonsentrasi sebagai perpanjangan tangan wilayah administrasi pemerintah. Selaku perpanjangan tangan pemerintah, Provinsi diharapkan dapat menjadi sarana pengikat dalam menjaga keutuhan negara kesatuan, menyelesaikan masalah lintas daerah Kabupaten/Kota, dan berbagai tugas yang belum dapat dilaksanakan Kabupaten/Kota. Namun dalam Pasal 4 ayat (2) dinyatakan bahwa Provinsi dan Kabupaten/Kota tidak mempunyai hubungan hierarkis. Hal ini mangakibatkan Kabupaten/Kota tidak lagi atau kurang menghormati Gubernur sebagai wakil pemerintahan di daerah. Keadaan demikian menyulitkan Gubernur kegiatan dalam mengkoordinir yang

Bupati/Walikota mengakibatkan

dalam kesulitan

melaksanakan besar dalam

pemerintahan,

keterpaduan

penyelenggaraan

pemerintahan, pelayanan umum, dan proses pembangunan daerah. 2. Kepala Daerah di pilih oleh DPRD. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak dipilih secara langsung oleh rakyat, akan tetapi di pilih oleh DPRD sehingga menimbulkan manufer dan deal-deal politik oleh partai-partai politik yang ada untuk mengukuhkan kekuasaannya.

3. Kesalahan persepsi dalam menafsirkan makna desentralisasi. Terjadinya kesalahan persepsi para pejabat di daerah dalam menafsirkan makna desentralisasi dan otonomi daerah yang didistorsikan sekedar sebagai penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, tanpa memahami bahwa membesarnya kewenangan daerah harus diikuti dengan membesarnya tanggung jawabpenyelenggaraan pemerintahan dalam mensejahterakan dan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Tidak adanya hubungan hierarkis antara Provinsi dan Kabupaten/Kota, pemilihan Kepala Daerah yang di pilih oleh DPRD, serta kesalahan persepsi para Pejabat daerah dalam menafsirkan makna desentralisasi dan otonomi daerah, mengakibatkan timbulnya raja-raja kecil yang lebih mementingkan untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya tanpa memikirkan tujuan utama penyelenggaraan pemerintahan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat demi terciptanya kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dalam rangka mengatasi kesulitan-kesulitan yang timbul sebagai akibat kelemahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, sekaligus untuk

menyesuaikan pengaturan pemerintahan daerah terhadap Amandemen UUD 1945, dibentuklah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Beberapa perubahan mendasar yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, antara lain soal hubungan antara pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota, pemilihan Kepala Daerah, dan pemberhentian Kepala Daerah. Dalam pengaturan hubungan antara pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota, sifat hubungan hierarkis dihidupkan kembali yang di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ditiadakan. Dengan dihidupkannya hubungan hierarkis, diharapkan Gubernur dapat mengkoordinir Bupati/Walikota dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur pula dalam Pasal 24 ayat (5), dimana Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di pilih secara langsung oleh rakyat daerah yang bersangkutan. Dalam proses pelantikan, Gubernur memiliki fungsi yang cukup penting, dimana Gubernur mengajukan pasangan Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota terpilih yang diusulkan

DPRD untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan kepada Menteri Dalam Negeri (Pasal 109). Terhadap pemberhentian Kepala Daerah, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa pemberhentian Kepala Daerah dilakukan melalui prosedur impeachment ke Mahkamah Agung. Apabila DPRD menganggap Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajibannya, maka dapat diusulkan pemberhentiannya dengan terlebih dahulu diajukan Ke Mahkamah Agung untuk memperoleh pembuktian secara hukum. Hal ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dimana DPRD dapat memutuskan pemberhentian Kepala Daerah dalam hal melanggar aturan yang telah ditentukan dengan disahkan oleh Presiden (Pasal 49). B. Penyelenggaraan Otonomi Khusus di Indonesia 1. Kewenangan Daerah Otonomi Khusus Salah satu hasil perubahan UUD NRI Tahun 1945 yaitu dengan dijabarkannya secara lebih rinci mengenai sistem pemerintahan daerah yang terdapat dalam ketentuan Pasal 18 UUD 1945. Bagir Manan menyatakan bahwa perubahan Pasal 18 UUD 1945, baik secara struktur maupun substansi perubahan tersebut sangatlah mendasar. Secara struktur, Pasal 18 (lama) sama sekali diganti baru. Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa terdapat 4 prinsip yang mendasari ketentuan Pasal 18 UUD 1945, yaitu: 1) Prinsip pembagian daerah yang bersifat hirarkis pada Ayat (1); 2) Prinsip otonomi dan tugas pembantuan pada Ayat (2); 3) Prinsip demokrasi pada Ayat (3) dan Ayat (4); dan 4) Prinsip otonomi seluas-luasnaya pada Ayat (5). Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam terbitan resminya mengenai Panduan dalam memasyarakatkan UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa ada 7 prinsip yang menjadi paradigma dan arah politik yang mendasari Pasal 18, 18A dan Pasal 18B UUD 1945, yaitu: 1) Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan { Pasal 18 ayat (2) } 2) Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya { Pasal 18 ayat (5) } 3) Prinsip kekhususan dan keragaman daerah { Pasal 18A ayat (1) }

4) Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya { Pasal 18 B ayat (2) } 5) Prinsip mengakui dan menghormati Pemerintahan Daerah yang bersifat khsusus dan istimewa { Pasal 18 B ayat (1) } 6) Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum { Pasal 18 ayat (3) } 7) Prinsip hubungan pusat dan daerah dilaksanakan secara selaras dan adil { Pasal 18A ayat (2) }. Penyelenggaraan pemerintahan daerah tidaklah terlepas dari konsep negara hukum dan demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia. Titik Triwulan Tutik menyatakan bahwa pengertian demokrasi secara harfiah identik dengan makna kedaulatan rakyat seperti yang dianut oleh bangsa Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) UndangUndang Dasar Tahun 1945. Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim menyatakan bahwa suatu negara yang menganut azas kedaulatan rakyat disebut juga sebagai negara demokrasi. Soehino membedakan demokrasi menjadi Demokrasi langsung dan Demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat zaman sekarang dilaksanakan melalui sistem perwakilan (representative government). Dalam sistem pemerintahan, demokrasi dimaknai sebagai keterlibatan rakyat untuk ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan dan ikut serta dalam merencanakan, memutuskan maupun menetapkan kebijakan-kebijakan politik yang dilakukan melalui wakilnya yang dipilih secara langsung baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Oleh karena itu, keberadaan lembaga perwakilan rakyat baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah merupakan wujud dari pelaksanaan prinsip demokrasi. a. Kewenangan Daerah Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam UU No. 11 Tahun 2006 merupakan undang-undang yang menjadi dasar hukum bagi penyelenggaraan otonomi khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tidak bisa dipungkiri bahwa undang-undang tersebut dibuat sebagai tindak lanjut dari nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah RI dengan GAM pada 15 Agustus 2005. Satu tahun kemudian, yaitu pada tanggal 1 Agustus 2006, akhirnya UU No. 11 Tahun 2006 tersebut diundangkan.

Penggunaan istilah Pemerintahan Aceh sebagai nama dari UU No. 11 Tahun 2006 tersebut merupakan suatu yang tidak lazim dalam sistem perundangundangan Nasional. Berbeda dengan daerah lainnya yang menggunakan istilah Pemerintahan Daerah Provinsi, Daerah Otonomi Khusus Aceh tidak menyebutkan istilah tersebut di dalam penyebutan nama daerahnya. Penggunaan istilah tersebut sangat tidak sesuai dengan UUD 1945 maupun UU No. 32 Tahun 2004. Sama seperti Provinsi Papua yang menggunakan istilah DPRP untuk menyebut dewan perwakilan rakyat tingkat provinsinya, NAD juga menggunakan istilah Dewan Perwakilan Rakyat Aceh DPRA. Sedangkan untuk menyebut DPRD tingkat kabupaten/kotanya, digunakan istilah DPRK atau Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota, tanpa menggunakan kata daerah. Istilah berbeda lainnya yang terdapat dalam UU No. 11 Tahun 2006 dengan undang-undang lainnya misalnya penyebutan Komisi Independen Pemilihan (KIP) yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/ Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA/DPRK, pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota di NAD. Daerahdaerah lainnya di Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2004 menggunakan Istilah Komisi Pemilihan Umum Daerah KPUD. Aceh juga berhak untuk memiliki bendera, lambang dan hymne daerah sebagaimana yang dimakud dalam ketentuan Pasal 246 UU No. 11 Tahun 2006. Ketentuan tersebut sama dengan yang terdapat di Papua seperti penjelasan sebelumnya. Ada beberapa kekhususan lainnya yang sangat berbeda dengan daerah lainnya yang dimiliki oleh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan UU No. 11 Tahun 2006 antara lain sebagai berikut: 1) Pembagian daerah di Aceh yang dibagi kedalam kabupaten/kota, kecamatan, mukim, kelurahan dan gampong.22 Mukim merupakan kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong.

22

Lihat: Pasal 2 UU No. 11 Tahun 2006

Sedangkan kelurahan dan gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim.23 2) Rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan

Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA.24 Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerja sama dengan lembaga atau badan di luar negeri kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah. Dalam naskah kerja sama tersebut dicantumkan frasa Pemerintah Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Serta Pemerintah Aceh dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olah raga internasional.25 3) Rencana pembentukan undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA.26 4) Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur.27 5) Penduduk Aceh dapat membentuk partai politik lokal yang memiliki hak antara lain; mengikuti Pemilu untuk memilih anggota DPRA dan DPRK; mengusulkan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon walikota dan wakil walikota di Aceh.28 6) Di Aceh terdapat pengadilan Syariat Islam yang dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Syariyah, yang terdiri dari Mahkamah Syariyah Aceh sebagai pengadilan tingkat banding dan Mahkamah Syariyah Kabupaten/Kota sebagai pengadilan tingkat pertama. Mahkamah Syariyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syariat Islam dengan hukum acara yang ditetapkan berdasarkan Qanun.29

23 24

Lihat: Pasal 1 angka 19 dan angka 20 j.o Pasal 114, Pasal 115 UU No. 11 Tahun 2006. Lihat: Pasal 2 UU No. 11 Tahun 2006 25 Lihat: Pasal 9 UU No. 11 Tahun 2006 26 Lihat: Pasal 8 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2006 27 Lihat: Pasal 8 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2006 28 Lihat: Pasal 75 sampai dengan Pasal 88 UU No. 11 Tahun 2006 29 Lihat: Pasal 128 sampai dengan Pasal 137 UU No. 11Tahun 2006

7) Produk hukum sejenis peraturan daerah (perda) di Aceh disebut dengan istilah Qanun. Terdapat dua macam Qanun, yaitu Qanun Aceh yang disahkan oleh Gubernur setelah mendapatkan persetujuan bersama dengan DPRA, dan Qanun Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota setelah mendapatkan persetujuan bersama DPRK. Qanun dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Aceh, pemerintahan kabupaten/kota, dan penyelenggaraan tugas pembantuan.30 Qanun dapat memuat ancaman pidana atau denda lebih dari 6 (enam) bulan kurungan dan/atau denda paling banyak Rp.50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah). Bahkan Qanun mengenai jinayah (hukum pidana) dapat menentukan jenis dan bentuk ancaman pidana tersendiri.31 8) Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membentuk lembaga, badan dan/atau komisi dengan persetujuan DPRA/DPRK.32 Di Aceh terdapat institusi atau lembaga yang tidak terdapat di daerah-daerah lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh, Kabupaten/Kota dan DPRA/DPRK,33 Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga Adat,34 Pengadilan Hak Asasi Manusia,35 Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,36 dan unit Polisi Wilayatul Hisbah sebagai bagian dari Satuan Polisi Pamong Praja, sebagai penegak Syariat Islam.37 b. Kewenangan Daerah Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat Status Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua saat ini didasarkan pada UU No. 21 Tahun 2001. Undang-undang tersebut ditetapkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Undang-undang tersebut mulai berlaku pada tanggal 21 November 2001. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pemberian status otonomi khusus pada Provinsi Papua setidaknya didasarkan pada dua hal yaitu karena adanya kesenjangan pembangunan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Salah satu kekhususan yang dimiliki oleh Provinsi Papua dan Papua Barat adalah pada bentuk dan susunan pemerintahannya. Pemerintahan Provinsi Papua
30 31

Lihat: Pasal 232 sampai dengan Pasal 245 UU No. 11 Tahun 2006. Lihat: Pasal 241 UU No. 11 Tahun 2006 bandingkan dengan ketentuan Pasal 143 UU No. 32 Tahun 2004 32 Lihat: Pasal 10 UU No. 11 Tahun 2006 33 Lihat: Pasal 138 sampai dengan Pasal 140 UU No. 11 Tahun 2006 34 Lihat: Pasal 96 sampai dengan Pasal 99 UU No. 11 Tahun 2006 35 Lihat: Pasal 228 UU No.11 Tahun 2006 36 Lihat: Pasal 229 UU No. 11 Tahun 2006 37 Lihat: Pasal 244 ayat (2) UU No.11 Tahun 2006

terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) sebagai badan legislatif dan Pemerintahan Provinsi sebagai badan eksekutif. Pasal 5 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2001 berbunyi sebagai berikut: Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas DPRP sebagai badan legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dari penggunaan istilah legislatif dan eksekutif dalam rumusan Pasal 5 ayat (1) di atas. Pertama, dilihat dari makna istilah legislatif atau eksekutif itu merujuk pada pembagian kekuasaan negara atau bagian dari alat kekuasaan negara. Sukardi menyatakan bahwa lembaga legislatif adalah lembaga pembentuk undang-undang dan produk hukum dari badan legislatif adalah undang-undang (act of parliament; law). Sedangkan lembaga eksekutif adalah lembaga pelaksana undang-undang. Pembagian kekuasaan negara kedalam badan eksekutif dan legislatif tersebut juga seperti yang diajarkan oleh Jhon Locke dan Montesquieu. C.F. Strong menyatakan dalam konsep negara kesatuan, kedaulatan negara tidak terbagi-bagi. Konstitusi negara kesatuan tidak mengakui adanya badan pembentuk undang-undang selain badan pembentuk undang-undang pusat. Sukardi dengan mengutip pendapat Salmond menyatakan bahwa ada dua jenis legislasi, yaitu legislasi utama (supreme legislation) dan legislasi delegasian (subordinate legislasi) atau delegated legislation. Legislasi utama ditetapkan oleh lembaga pemegang kedaulatan dalam negara. Sedangkan legislasi delegasian merupakan produk hukum dari lembaga lain di luar lembaga pemegang kedaulatan. Di Indonesia, Peraturan Daerah merupakan salah produk hukum dari delegated legislation. Dari paparan di atas, terdapat sebuah penekanan pada penggunaan istilah badan legislasi dan badan eksekutif, jenis badan legislasi tersebut. Penggunaan istilah badan legislasi dan badan eksekutif adalah tidak lazim dalam sistem perundang-undangan nasional. Walaupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) lainnya juga memiliki fungsi legislasi. Akan tetapi tidak disebutkan sebagai badan legislatif. Penyebutan badan legislatif dan badan eksekutif merupakan bentuk pembagian kekusaan dalam pemerintahan Propinsi Papua yang berbeda dengan daerah lainnya. Daerah lainnya berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tidak

menggunakan istilah badan legislatif dan badan eksekutif. Dalam sistem otonomi daerah, kekuasaan yang dipencarkan hanyalah kekuasaan pemerintahan (eksekutif) saja. Sehingga tidak terdapat pembagian atau pemisahan kekuasaan di daerah. Pemerintahan daerah yang terdiri dari pemerintah daerah dan DPRD merupakan satu-kesatuan pemerintahan (mitra) dan bukanlah bentuk pembagian atau pemisahan kekuasaan. Penggunaan istilah DPRP jika ditinjau lebih lanjut sangat berbeda dengan sistem perundang-undangan nasional lainnya. Baik UUD Pasal 18 ayat (3) maupun UU No. 32 Tahun 2004 serta UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau biasa disebut dengan UU MD3, dengan jelas menggunakan istilah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Selain itu, Provinsi Papua juga dapat membentuk Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2001. Selain Perdasus, terdapat juga Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2001. Jika mengacu pada ketentuan Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 maupun dalam ketentuan Pasal 136 ayat UU No. 32 Tahun 2004, maka Perdasi merupakan produk hukum yang tingkatannya sama dengan Peraturan Daerah (Perda) yang dimaksud oleh kedua undang-undang tersebut. Hal tersebut dikarenakan pejabat yang berwenangan membuat Perdasi adalah DPRP bersama dengan Gubernur.38 Dengan demikian, maka ada dua tingkatan produk hukum yang berlaku di Provinsi Papua maupun Papua Barat, yaitu Perdasus pada tingkat yang lebih tinggi dan Perdasi pada tingkat yang lebih rendah. Kekhususan lainnya yang dimiliki oleh Provinsi Papua diantaranya; dalam ketentuan Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2001 disebutkan bahwa Papua dapat memiliki bendera daerah dan lagu daerah sebagaimana Sang Merah Putih sebagai
38

Pasal 7 ayat (2) huruf a UU No.10 Tahun 2004 berbunyi: Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama dengan Gubernur. Hal ini juga senada dengan ketentuan Pasal 136 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 yang berbunyi: Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapatkan persetujuan bersama DPRD. Lalu bandingkan dengan Pasal 29 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2001 yang menyatakan :Perdasi dibuat dan ditetapkan DPRP bersama-sama dengan Gubernur.

Bendera Negara Indonesia dan Lagu Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan Indonesia, walaupun dinyatakan hal tersebut bukan merupakan symbol kedaulatan. 2. Analisis Implementasi Kewenangan Daerah Otonomi Khusus Pemberian otonomi yang berbeda atas satu daerah atau wilayah dari beberapa daerah merupakan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang cukup umum ditemui dalam pengalaman pengaturan politik di banyak negara. Pengalaman ini berlangsung baik di dalam bentuk negara kesatuan yang didesentralisasikan, maupun dalam format pengaturan federatif. Dalam khasanah ilmu politik dan pemerintahan, pola pengaturan yang tidak sebanding ini disebut sebagai asymmetrical decentralization, asymmetrical devolution atau asymmetrical federalis, atau secara umum asymmetrical

intergovernmental arrangements. Secara prinsipil, berbagai bentuk penyebaran kekuasaan yang bercorak asimetris di atas merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dimaksudkan untuk mengatasi dua hal fundamental yang dihadapi suatu negara, yakni persoalan bercorak politik, termasuk yang bersumber pada keunikan dan perbedaan budaya; dan persoalan yang bercorak teknokratis-menejerial, yakni keterbatasan kapasitas suatu daerah atau suatu wilayah dalam menjalankan fungsi dasar pemerintahan. Alasan-alasan yang bercorak teknokratis-menejerial umumnya terkait dengan kapasitas pemerintahan daerah. Hal ini muncul ketika daerah tidak mampu menyediakan pelayanan publik secara memadai dan efisien sebagaimana daerah lain yang berada di level yang sama. Pendekatan asimetris memungkinkan pejabat pemerintah yang berwenang di tingkat nasional memaksimalkan rentang fungsi dan kekuasaannya. Rentang fungsi dan kekuasaan ini bisa dibatasi di kemudian hari apabila telah terbangun kapasitas yang cukup memadai. Untuk itu, perlu dilakukan pengukuran terhadap kapasitas. Pengaturan asimetris yang terkait dengan politik ditempuh sebagai strategi kebijakan untuk mempertahankan basic boundaries unit politik suatu negara dan atau sebagai aspresiasi atas keunikan budaya tertentu. Dengan tingkat keberhasilan yang berbeda-beda, representasi minoritas pada level sub-nasional serta pemberian status keistimewaan/ khusus bagi satu daerah atau kawasan daerah dapat mendorong kelompok/daerah, yang menuntut status keistimewaan/kekhususan, meniadakan/ meminimalkan kekerasan dan mempertahankan keutuhan wilayah.

Rasionalitas politik pengaturan daerah secara asimetris tidak selalu karena faktor keberagaman etnis. Di Hongkong, misalnya, tidak ada perbedaan yang substansial antara orang Hongkong dengan orang Cina Daratan. Daripada memberikan ijin pada Hongkong untuk mengelola sistem ekonominya, Cina memilih untuk membuat kesepakatan dengan Inggris dengan menetapkan status Hongkong sebagai special administrative region pada tahun 1997. Berkenaan dengan desentralisasi dan perkembangan variannya, di masa depan Indonesia menghadapi lima permasalahan kritikal. Pertama, apakah administrasi negara yang desentralistik di masa depan akan tetap mengakomodasi otonomi khusus yang sekarang ada dan yang akan ada. Artinya, apakah Indonesia akan bertahan dengan kombinasi desentralisasi umum dan desentralisasi khusus dalam ruang Republik Indonesia dengan segala kerumitannya. Kedua, apakah bentuk kekhususan tersebut pada akhirnya hanya merupakan sebutan tanpa pembedaan, ataukah memang ada pembedaan yang berpotensi menciptakan kecemburuan antardaerah. Ketiga, apakah ke depan tidak ada lagi otonomi khusus karena desentralisasi telah dijalankan secara konsisten. Keempat, apakah bentuk akhir dari desentralisasi Indonesia adalah federasi Indonesia. Kelima, akankah Indonesia menemukan bentuk baru dari desentralisasi yang efektif di dalam kerangka negara republik kesatuan. Sehingga dalam perkembangannya apakah eksistensi

penyelenggaraan otonomi khusus memberikan perubahan yang mendasar bagi peningkatan kualitas masyarakat lokal sebagai wujud dari penghargaan atas kekhususan atau kekhasan yang dimiliki daerah tersebut ataukah hanya sebagai upaya untuk menghindari konflik yang bersifat sementara untuk mempertahankan keutuhan bangsa ini. Maka dari itu masih banyak hal yang perlu digaris bawahi dalam penyelenggaraan otonomi khusus tersebut terutama otonomi khusus Aceh dan otonomi khusus Papua dan Papua Barat. 1. Otonomi khusus Aceh UU 11/2006, yang berisi 273 pasal, merupakan Undang-undang Pemerintahan Daerah bagi Aceh secara khusus. Materi UU ini, selain itu materi kekhususan dan keistimewaan Aceh yang menjadi kerangka utama dari UU 11/2006, sebagian besar hampir sama dengan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu Aceh tidak tergantung lagi pada UU Pemerintahan Daerah (sepanjang hal-hal yang telah diatur menurut UU Pemerintahan Aceh).

Namun dalam pelaksanaan dan implementasinya, UU 11/2006 masih jauh dari yang diharapakan. Contohnya tentang fungsi legislasi, budgeting dan controling yang dilakukan oleh DPRA dan semakin meluasanya peluang korupsi, serta masalah pengakuannya partai politik lokal aceh. 1) Fungsi DPRA Tidak Berjalan (Pasal 22. No 11 Tahun 2006) Untuk tahun 2011, DPRA melalui Badan Legislasinya telah menetapkan 31 rancangan qanun prioritas, namun sampai saat ini belum ada satu pun yang berhasil diparipurnakan, kecuali qanun APBA. Hal ini menjadi salah satu indikator lemahnya kemampuan DPRA dalam hal legislasi. Sebagai salah satu produk hukum yang dihasilkan setelah

Penandatanganan MoU Perdamaian antara GAM dan RI, UU. No 11 tahun 2006 merupakan sandaran hukum bagi aceh dalam menjalankan roda pemerintahan kedepan. Menjalankan aturan yang dirumuskan didalam undang-undang tersebut merupakan salah satu upaya untuk terus merawat damai aceh. UU akan berjalan sempurna jika aturan pelaksananya turun semua, baik itu Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Presiden, Qanun Aceh, Qanun Kabupaten/Kota, maupun Peraturan Gubernur. Sejauh ini, dari 63 Qanun Aceh yang direkomendasikan oleh UU-PA, baru 20% dibuat oleh Pemerintahan Aceh (Legislatif dan eksekutif). Dalam hal budgeting, DPRA masih belum disiplin. Pengesahan APBA pada akhir April adalah salah satu bukti nyata. Berdasarkan hasil pemantauan, fokus DPRA dalam melaksanakan pembahasan R-APBA 2011 ini berlangsung optimal pada bulan April 2011, ini pun berjalan dibawah tekanan pemerintah pusat yang telah mengeluarkan peringatan Finalty atau pemotongan jatah anggaran bagi Aceh sebesar 30%. Dan Aceh pun mendapat gelar p rovinsi paling telat mengesahkan APBA 2011 dari 33 provinsi yang ada di Indonesia, ini menjadi preseden buruk bagi pemerintahan Aceh dalam menjalankan roda pemerintahan. Akibat keterlambatan pengesahan APBA ini juga mempengaruhi kondisi dan situasi perekonomian yang berdampak negatif bagi masyarakat serta pembangunan Aceh menjadi terhambat. Ini belum lagi arah kebijakan pembangunan Aceh yang tidak jelas tergambar dalam platform anggaran belanja Aceh, artinya pemerintah Aceh sendiri baik eksekutif maupun legislatif belum mampu mentransformasi arah dan konsep pembangunan Aceh

yang berkelanjutan dalam penyusunan R-APBA guna meningkatkan taraf hidup masyarakat, pelestarian damai dan Aceh yang modern. Fungsi Pengawasan yang dilakukan DPRA juga belum siginifikan. Selama ini pengawasan lebih kepada pengawasan teknis, misalnya pengawasan pembangunan jalan dan jembatan, dan sifatnya seporadis. Sementara beberapa SKPA menunjukkan kinerja yang tidak bagus, seperti lemahnya daya serap anggaran. DPRA belum menunjukkan fungsi pengawasan yang optimal diseluruh sektor publik yang menjadi kebutuhan penting masyarakat. Dalam hal ini fungsi pengawasan DPRA masih fokus pada 1 sektor yaitu pengawasan infrastruktur. Namun bagaimana pengawasan sektor lainnya, ini menjadi perhatian penting bagi DPRA kedepan. Mutu pendidikan aceh masih berada di urutan bawah, besarnya anggaran dinas pendidikan tidak serta-merta dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Bagaimana dengan pengawasan sektor kesehatan, anggaran yang dialokasikan disektor ini jumlahnya besar tapi jumlah orang yang sakit atau tingkat kesehatan masyarakat Aceh memiliki kualitas kesehatan rendah. Ini ditunjukkan dengan ramainya masyarakat yang sakit atau masyarakat yang memanfaatkan program JKA. Dampak ini juga akan berpengaruh pada proses pelayanan rumah sakit yang akhirnya masyarakat tidak mendapat pelayanan optimal dan juga kurangnya saranaprasarana pelayanan kesehatan. Seharusnya jika pengawasan disektor publik ini dilakukan secara maksimal dan menyeluruh oleh anggota DPRA, dapat dipastikan seluruh persoalan yang timbul dan penyalahgunaan wewenang oleh pihak eksekutif dalam menggunakan anggaran Aceh akan dapat diminimalisir dan wibawa DPRA sebagai wakil rakyat akan meningkat. Sealin itu, DPRA harus menggunakan fungsi pengawasannya tidak hanya pada pengawasan teknis dan pembangunan fisik, tapi juga pada penganggaran dan kebijakan. Alat kelengkapan Dewan, seperti Badan kehormatan, Komisi, Pansus, harus menjalankan peran dan fungsi nya secara maksimal. Dan bagi anggota DPRA yang tidak mampu menjalankan peran dan fungsinya silahkan untuk mundur.

2) Pengawasan Qanun yang Tidak Maksimal (BAB VII Pasal 23. UU No 11 tahun 2006) Berdasarkan Pasal 23 UU No. 11 tahun 2011, tugas pengawasan DPRA adalah melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun Aceh dan peraturan perundang-undangan lain, melaksanakan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah Aceh dalam melaksanakan program pembangunan Aceh, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta penanaman modal dan kerja sama internasional. Pola kinerja juga masih rendah, indikatornya adalah masih banyaknya anggota parlemen Aceh yang kurang disiplin baik menyangkut dengan kehadiran dalam persidangan, pertemuan/audiensi maupun rapat-rapat lainnya. Hal ini didasarkan pada data laporan pemantauan (absensi) yang menunjukkan tingkat kedisiplinan anggota DPRA masih rendah, bahkan ada yang melakukan tandatangan absensi, namun ketika di cross chek dalam ruangan ternyata yang bersangkutan tidak berada dalam ruangan kegiatan tersebut. Beberapa Fraksi tidak memanfaatkan keberadaannya di DPRA sebagai penyeimbang terhadap Fraksi mayoritas, sehingga transformasi informasi ke publik di kuasai oleh fraksi mayoritas. Dalam beberapa rencana kebijakan yang di follow-up oleh media massa, seperti Qanun APBA, Qanun Pemilukada, Qanun Wali Nanggroe yang sering menanggapinya adalah anggota DPRA dari fraksi mayoritas. Kondisi seperti ini berdampak negatif terhadap kualitas kebijakan yang akan dihasilkan. Rendahnya produktivitas kinerja parlemen ini menjadi cerminan dari peranan partai politik dalam melakukan pendidikan bagi kadernya. Untuk menginterfensi kinerja anggota parlemen juga dapat melalui fungsi pengawasan partai politik. Dalam implementasinya, Parpol harus memiliki sistem pendidikan dan pengkaderan yang berbasis pengetahun legislastif bagi setiap calon anggota legislatif yang akan diusung. Parpol juga harus menjadikan tolak ukur berbasis kinerja dalam melakukan pengawasan terhadap kadernya yang duduk di parlemen. 3) Tingkat Korupsi yang Tinggi (Pasal 1. UU No. 11 Tahun 2006) Otonomi khusus yang diberikan pemerintah dengan segala

keistimewaannya tidak serta merta juga membuat kinerja pemerintahannya berjalan dengan bagus. Sangat disayangkan pula apabila semangat makar yang

berkumandang keras dahulu tidak berjalan lurus dengan pengelolaan dan komitmen para pemangku kepentingan untuk kepentingan publik. Yang ada sekarang ialah timbulnya gejala korupsi yang merebak di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, dan bisa juga sedang menjadi tren disana. Harian aceh.com mencatat kasus korupsi di serambi mekah itu mencapai 141 kasus yang masih mengambang di kejaksaan, 43 kasus diantaranya tahap penuntutan dan 54 lainnya tahap penyidikan. Kemudian apa yng menjadi permasalahannya? Apakah otonomi khusus yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada Nangroe Aceh Darussalam hanya berimplikasi pada meningkatnya tren korupsi di Aceh? Jawaban atas pertanyaan di atas kita bisa mencermati dan mengkaji Qanun atau peraturan daerah sebagai acuan kita mengkaji lebih mendalam tentang maraknya korupsi di Aceh. Menurut Pasal 1 undang-undang no 11 tahun 2006: 1) Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. 2) Qanun kabupaten/kota adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah kabupaten/kota yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat kabupaten/kota di Aceh. 3) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Aceh yang selanjutnya disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah Provinsi Aceh yang ditetapkan dengan Qanun Aceh. Keberadaan Qanun atau peraturan daerah Aceh diakui oleh konstitusi indonesia. Namun kefektifan Qanun belum menunjukan sebuah batas maksimal untuk memberantas korupsi. Malah keberadaan Qanun sendiri dinilai sebagai ramuan kebijakan yang menyebabkan korupsi. Hal ini mendapat sebuah pembanaran juga dari Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar bahwa korupsi lahir dari peraturan yang multi tafsir dan kadang-kadang berbeda antara Qanun di Aceh dengan aturan pusat. Inilah yang menjadi ironi ketika aceh menuntut sebuah pemerintahan yang menjunjung nilai adat setempat tetapi keadaan sekarang, malah menunjukan peraturan yang dikeluarkan (Qanun) oleh pemerintah dan DPRA tidak berkualitas. Bahkan sampai saat ini pun belum ada Qanun tentang korupsi sebagai payung hukum untuk menjerat para koruptor di Aceh.

Selain permasalahan Qanun yang menjadi kontrofersi dan menjadi lubang untuk para koruptor karena produk hukumnya yang multi tafsir. Ternyata korupsi di Aceh juga dikarenakan oleh permasalahan kompleks birokrasi seperti kelalaian administrasi, kesengajaan dan kebiasaan untuk menyimpang serta politik anggaran yang tidak sehat. Bahkan menurut sebuah survey oleh transparency International indonesia menilai kinerja dari pemerintah dalam upaya memberantah korupsi sendiri menjadi pertanyaan. Karena selama ini belum ada sebuah gebrakan dari pemerintah untuk komitmen dalam memberantas korupsi. Hal ini terbukti dari dari hasil Survei Barometer Korupsi Aceh. Sebanyak 56% responden menyatakan bahwa Pemprov Aceh tidak efektif dalam usaha memberantas korupsi selama periodesasi pemerintahan Aceh (2006-2011). Tetapi pada faktanya juga bahwa korupsi tidak terjadi selama periode ini saja, namun telah berlangsung beberapa kali periodesasi pemerintahan sebelumnya. Dalam artian korupsi yang terjadi telah menjadi warisan turun temurun. Selain itu responden menilai enam lembaga berwajah korup dengan persentase sebagai berikut: 1) Performa kinerja lembaga-lembaga terkait penegakan hukum juga menjadi pangkal dari maraknya korupsi. Hal ini bisa tercermin dari perilaku ke 6 lembaga ini yang melakukan jual beli proyek, kesepakatan diluar ruangan, lobi-lobi informal, jual-beli kasus dan semua proses dibelakang meja yang terjadi di lingkungan lembaga-lembaga tersebut. Hal inilah yang ikut memperburuk penuntasan korupsi di Aceh dengan birokrasi dan lembaga yang buruk. 2) Korupsi di aceh sepertinya akan terus berlangsung secara terus-menerus apabila dari hulu ke hilir dalam sebuah sistem melakukan korupsi. Selain itu Qanun yang menjadi sandaran hukum dalam mengadukan korupsi tidak menunjukan optimalisasi dalam memberantas korupsi. Dari 28 produk Qanun yang telah dikeluarkan oleh DPRA hanya 1 Qanun yang menyebut korelasinya mengenai korupsi dalam hal pelayanan publik, dan yang lainnya hanya membahas penataan kinerja internal . Maka kemudian keseriusan dari pemerintah Aceh dalam memberantas korupsi juga dinilai tidak serius.

4) Masalah Partai Politik Lokal Aceh (BAB XI Pasal 77, 78 dan 79. UU No. 11 Tahun 2006) Beberapa tahun yang lalu di dalam Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia di Aceh telah meloloskan 12 partai lokal sebagai bagian dari realisasi kesepakatan damai antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia. Kehadiran partai lokal di Aceh secara tidak langsung menandai perubahan anatomi sistem kepartaian di Indonesia. Keberadaan partai lokal ini sebenarnya sudah lama dikenal di masa demokrasi parlementer pada tahun 1950-an, seperti Partai Dayak di Kalimantan. Hanya saja sejak pada masa Orde Baru berkuasa dan jumlah partai dipangkas menjadi tiga partai (Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan), referensi tentang partai lokal hilang dari sistem kepartaian Indonesia yang kemudian lebih didominasi oleh wacana partai nasional. Sampai saat ini walaupun partai lokal telah mendapatkan status legalnya dari pemerintah, namun posisinya sebagai partai yang mempunyai hak untuk ikut serta dalam pemilihan umum (Pemilu) belum memperoleh kepastian. Masih ada keengganan atau kekhawatiran dari partai-partai nasional melalui fraksinya di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk tidak memberikan ruang gerak yang lebih luas pada partai lokal untuk memasuki arena politik Pemilu. Namun bisakah partai lokal menjadi alternatif politik lokal? Memang tidak otomatis partai lokal bisa menjadi lebih baik dari partai nasional atau menjadi harapan masyarakat lokal. Partai lokal juga bisa terjebak penyakit sebagaimana yang diidap oleh partai nasional, seperti sifat paternalistik dan menguatnya elitisme lokal yang bersandar pada tokoh-tokoh lokal, serta praktik politik uang. Mampukah partai politik lokal Aceh menjalankan amanat sesuai dalam pasal 77, 78 dan 79 UU 11/2006 tentang kedudukan, tujuan dan fungsi partai politik lokal Aceh yang intinya adalah menciptakan kesejahteraan dalam lingkup demokrasi pancasila? Oleh karena itu, Partai Politik harus mengawasi setiap kader yang duduk di DPRA berdasarkan kinerja, dan memberikan sanksi bagi yang berkinerja rendah. Dalam menentukan kader yang akan duduk di Parlemen, Partai Politik harus mempertimbangkan basis pengetahuan dan wawasan legislatif. Namun secara geografi politik partai lokal memiliki kesempatan yang besar untuk dapat secara emosional bersentuhan langsung dengan

konstituennya di tingkat akar rumput. Karena itu yang penting untuk diupayakan adalah bagaimana dapat membangun partai lokal yang modern dan berakar di masyarakat. Partai lokal di Aceh perlu dijadikan contoh yang baik agar kehadirannya bisa mengubah perspektif sistem kepartaian di Indonesia. Dengan demikian pemikiran tunggal bahwa partai politik haruslah partai nasional sudah harus mulai ditanggalkan. 2. Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat Secara teoritis, konsep otonomi khusus sesungguhnya cukup baik jika ditinjau dari segi mempertahankan keutuhan bangsa dan kekhasan yang dimiliki suatu daerah serta untuk meningkatkan kualitas masyarakat daerah tersebut. Namun dalam penyelenggaraannya otonomi khusus juga melahirkan gab dengan daerah otonomi lain karena bergulirnya otonomi khusus juga diikuti dengan pendanaan yang besar yang diberikan oleh pemerintah pusat. Dana otonomi khusus begitu banyak dikucurkan selama periode 2002 sampai 2010 sebesar Rp 28,8 triliun. Disisi lain Jabatan pemimpin (Gubernur dan Bupati) sudah diberikan kepada putra asli Papua. Selain itu, orang asli Papua sudah ditempatkan sebagai pelaku utama pembangunan di tanah leluhurnya sendiri. Dari berbagai dimensi tersebut dapat dikatakan otonomi khusus juga memiliki cita-cita yang luhur dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat lokal namun dalam kenyataannya seperti yang terjadi dalam otonomi khusus di Aceh otonomi Papua juga masih terdapat banyak permasalahan yang fundamental. Selama 11 tahun implementasi Otsus di Papua, ada bengitu banyak pelanggaran terhadap pelaksanaan Otsus Papua. Pelanggaran pelanggaran tersebut dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan TNI/POLRI. Pelanggaran pelanggaran tersebut dapat ditinjau dari hubungan pusat daerah maupun dijinjau dari segi birokrasi daerahnya sendiri. Jika ditinjau dari segi hubungan pusat daerah otonomi khusus sendiri lebih cenderung dipandang sebagai bentuk dari kepentingan-kepentinggan para pemangku kekuasaan baik di pusat maupun di daerah yang telah ditrasnsformasikan. Pada Bagian ini akan mengungkapkan fakta fakta atau letak persoalan kegagalan Otsus Papua yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah. Menurut hasil evaluasi otonomi khusus Papua dan Papua Barat : Refleksi sebelas tahun pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 yang

dilaksanakan oleh Ditjen. Otonomi daerah-Kemendagri (2012) bahwa capaian sebelas tahun implementasi otonomi khusus Papua dapat dikelompokkan ke dalam aspek kebijakan dan aspek implementasi kebijakan. Aspek kebijakan, hasil yang dicapai sebagai berikut: 1) Belum adanya juklak maupun juklis dalam pelaksanaan kewenangan khusus seperti pendidikan, kesehatan, sosial, kependudukan dan tenaga kerja dan lingkungan hidup yang juga diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berdampak pada ketidakjelasan urusanurusan yang harus dikelola sebagai penjabaran kewenangan khusus tersebut dan seringkali terjadi tumpang tindih pengelola kewenangan tersebut; 2) Implikasi dari ketidakjelasan penjabaran dan penafsiran secara tepat tentang manajemen penyelenggaraan otonomi khusus, mengakibatkan desain

kebijakan perdasus dan perdasi yang sudah diterbitkan/ditetapkan kurang bisa menjadi acuan yang jelas; 3) Perdasus dan perdasi yang diperintahkan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 adalah sebanyak 13 perdasus dan 18 perdasi, saat ini Provinsi Papua sudah menerbitkan 7 perdasus dan 8 perdasi. Untuk Provinsi Papua Barat belu menerbitkan perdasus, sedangkan terkait perdasi sudah menerbitkan 1 perdasi (Perdasi Nomor 2 Tahun 2006 tentang Lembaga Negara), dalam proses 2 perdasi belum diproses 16 perdasi; 4) Keterlambatan penyusunan, pembahasan dan penetapan perdasus dan perdasi selain disebabkan permasalahan keterlambatan legislasi juga terkendala oleh masalah anggaran; 5) Belum ada perumusan indikator-indikator keberhasilan pelaksanaan otonomi khusus pada berbagai bidang pembangunan; 6) Belum ada mekanisme dalam penambahan kuota kursi bagi DPRP yang diamanatkan Undang-Undang Otonomi Khusus; 7) Belum terbangunnya pola dan mekanisme dalam penambahan. Aspek implementasi kebijakan, dalam bidang keuangan dan

pengelolaannya, hasil yang dicapai adalah sebagai berikut: 1) Alokasi dana dalam rangka otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat mengalami kenaikan dari tahunke tahun, sejak tahun 2002-2012 untuk Provinsi Papua seluruhnya sebesar Rp 28,413 Triliyun, dan Provinsi Papua Barat mulai ditransfer langsung sejak tahun 2009-2012 sebesar Rp 5,269

Triliyun. Alokasi 2% dari DAU Nasional tersebut dibagi dengaan proporsi untuk Provinsi Papua 7-% sedangkan Papua Barat 30%. Sementara itu, dana tambahan infrastruktur untuk Provinsi Papua sebesar Rp 3,502 Triliyun dan Provinsi Papua Barat sebesar Rp 2,298 Triliyun; 2) Pembagian dana otonomi khusus antara provinsi dan kabupaten/kota di Provinsi Papua dilakukan dengan proporsi alokasi 60% : 40% sedangkan Provinsi Papua Barat lebih tinngi ke kabupaten/kota yaitu 70% : 30%; 3) Kriteria pembagian dana otonomi khusus antara provinsi dengan

kabupaten/kota belum jelas pengaturannya, pengalokasian belum sepenuhnya memperhatikan faktor luas wilayahnya, jumlah penduduk, kondisi geografis dan tingkat kesulitan wilayah, pendapatan asli daerah, penerimaan pajak bumi dan bangunan, produk domestik regional bruto, sehingga manfaatnya belum optimal dirasakan oleh masyarakat asli Papua; Hasil implementasi kebijakan terkait kewenangan khusus dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat, infrastruktur kependudukan dan ketenagakerjaan, sosial dan lingkungan dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Bidang pendidikan, capaian bidang ini sampai tahun 2012 adalah: a. Selama pelaksanaan otonomi khusus telah diprogramkan dan dilaksanakan kegiatan-kegiatan peningkatan prasarana serta peningkatan kualitas dan kuantitas pendidik, serta sejumlah program peningkatan pendidikan putraputri asli Papua (antara lain: program 100 doktor anak asli Papua yang dilaksanakan pemerintah Provinsi Papua); b. Terdapat peningkatan angka partisipasi sekolah (APS) di berbagai jenjang usia pendidikan. Di Provinsi Papua, APS tingkat sekolah dasar (SD) masih berfluktuasi walaupun dapat belum dapat mencapai target program wajib belajar nasional APS > 95%. APS jenjang sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sejak tahun 2003-2011 dapat mencapai target standar program wajib belajar nasional APS > 70%. Untuk APS jenjang Sekolah Lanjutan Atas (SLTA) tahun 2004-2008, dan 2011 sudah sudah mencapai program wajib belajar nasional APS > 50%, hanya pada tahun 2009 dan 2010 mengalami penurunan dan tidak dapat mencapai program wajib belajar nasional. Sedangkan di Provinsi Papua Barat, capaian APS tingkat SD sudah hampir memenuhi standar program wajib belajar nasional, dan APS tingkat SLTP dan SLTA sudah memenuhi syarat target program

wajib belajar nasional sejak tahun 2008-2011 serta terus menunjukkan peningkatan; c. Angka melek huruf di Provinsi Papua sejak tahun 2003-2010 masih mengalami fluktuasi meskipun perubahannya tidak terlalu signifikan, tahun 2008 bisa mencapai 97,21%, tahun 2009 mengalami penurunan menjadi 75,58%. Sedangkan di Provinsi Papua Barat terus mengalami peningkatan sejak dari tahun 2008 sebesar 91,15%, 2009 sebesar 92,34%, dan 2010 sebesar 93,19%. Perkembangakn angka melek huruf ini menandakan bahwa kondisi angka buta huruf terus mengalami penurunan sehingga makin banyak masyarakat yang bisa baca tulis; 2) Bidang kesehatan: a. Selama implementasi otonomi khusus di bidang kesehatan antara tahun 2002-2009 belum diatur dengan perdasus. Tahun 2010 baru ditetapkan Perdasus pelayanan kesehatan namun belum tersosialisasikan dengan baik. Kewajiban memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat belum dilaksanakan secara memadai, mayarakat masih mengalami kesulitan mengakses pelayanan kesehatan, terutama karena minimnya sarana pelayanan kesehatan dan tenaga bidang kesehatan; b. Terdapat berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan berbagai penyakit endemis dan penyakit-penyakit yang membahayakan

kelangsungan hidup masyarakat, namun belum ditangani secara optimal. Demikian halnya dengan program-program perbaikan dan peningkatan gizi masyarakat, meski ada indikasi penurunan secara makro, namun angka penderita gizi buruk masih signifikan di kedua provinsi; c. Berdasarkan distribusinya, baik di Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat tidak semua kabupaten memiliki rumah sakit senidiri. Dari 29 kabupaten yang ada di Provinsi Papua pada tahun 2010 hanya 16 kabupaten/kota yang memiliki rumah sakit sendiri sedangkan 13 kabupaten lainnya tidak memiliki rumah sakit. Sementara di Provinsi Papua Barat pada tahun 2010 masih ada 4 kabupaten yang belum memiliki, 2 diantaranya adalah kabupaten pemekaran baru yaitu Kabupaten Maybrat dan Kabupaten Tambrauw; d. Terkait kesediaan tenaga medis, meskipun dari tahun ke tahun di Provinsi Papua dan Papua Barat terjadi peningkatan jumlah dokter dan tenaga

medis tetapi tetap mengalami kekurangan tenaga pelayan kesehatan. di Provinsi Papua, jumlah tenaga kesehatan dokter umum tahun 2008 sebanyak 420 orang, 2009 sebanyak 508 orang, 2010 sebanyak 551 orang, dan 2011 sebanyak 619 orang. Sarana kesehatan Rumah Sakit tahun 2008 sebanyak 12 unit, 2009 sebanyak 16 unit, 2010 sebanyak 16 unit, dan tahun 2011 sebanyak 29 unit, sedangkan puskesmas tahun 2008 sebanyak 260 unit, 2009 sebanyak sebanyak 296 unit, 2010 sebanyak 320 unit, dan tahun 2011 sebanyak 360 unit; e. Terdapat masalah kesehatan di Provinsi Papua dan Papua Barat, seperti: tingginya angka kematian ibu dan bayi baru lahin, sepuluh penyakit terbanyak yakni malaria, diare, ISPA, penyakit kulit, kecacingan, frambusia, TBC, filarial, gingivitis, dan kongjutivitis; f. Prevaliansi balita dengan status gizi baruk pada tahun 2010 masih cukup tinggi di Provinsi Papua (6,3%) dan Papua Barat (9,3%) di atas rata-rata nasional 4,9%. Untuk balita dengan status gizi kurang, pada tahun yang sama mencapai 10% di Provinsi Papua dan 17,4% di Papua Barat dibandingkan rata-rata nasional sebesar 13%. 3) Bidang perekonomian a. Telah diterbitkan perdasus tentang ekonomi berbasis kerakyatan dan berpihak kepada masyarakat adat dalam mendapatkan manfaat ekonomi dalam pengelolaan hutan dan kekayaan alam Papua, serta di level kabupaten/kota telah diupayan berbagai program ekonomi kerakyatan namun hasilnya belum optimal. Program pemberdayaan ekonomi raktat efeknya kurang terasa dalam pembangunan perekonomiannya; b. Pada tahun 2010 Indeks Perkembangan Manusia (IPM) di Provinsi Papua Barat sebesar 69,15% lebih baik dibandingkan IPM Provinsi Papua sebesar 64,94% menempati urutan 33 dibandingkan provinsi seluruh Indonesia; c. Terkait penditribusian pendapatan yang dapat dilihat dari rasio gini, pada tahun 2008, rasio gini Provinsi Papua Barat dinilai 0,31, mendadakan bahwa PDRB di provinsi tersebut pendistribusiannya lebih merata. Berbeda dengan Provinsi Papua yang memiliki pendistribusian pendapatan yang lebih tidak merata dengan angka rasio gini 0,40. Pada tahun 2009 Provinsi Papua mengalami pendistribusian pendapatan yang membaik namun masih tetap berada dalam angka rasio gini 0,38 dan pada tahun

2010 kembali menurun menjadi 0,41. Demikian pula Provinsi Papua Barat angka rasio gini menurun dari tahun 2009 (0,35) ke tahun 2010 (menjadi 0,38), hal ini berarti pendistribusian menjadi semakin tidak merata; d. Secara umum pada kurun waktu 2003-2011 terdapat kecenderungan penurunan presentase penduduk miskin terutama 3 tahun terakhir (20092011), namun demikian masih lebuh tinggi daripada presentase penduduk miskin nasional. Terakhir pada tahun 2011 presentase kemiskinan di Provinsi Papua sebesar 31,98%, provinsi Papua Barat sebesar 28,53%, keduanya lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional sebesar 12,49%. 4) Bidang infrastruktur a. Dalam rangka otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat telah dilaksanakan berbagai bentuk pembangunan sarana dan prasarana fisik. Pembangunan infrastuktur yang dijalanan meliputi 16 ruang jalan strategis trans papua, pelabuhan laut, sarana transportasi darat, laut dan udara, perumahan, air bersih, kelistrikan, serta pos dan telekomunikasi. Namun demikian ada kecenderungan bahwa sasaran program pembangunan infrastruktur yang dilakukan belum sepenuhnya mengacu pada upaya penerobosan isolasi daerah guna meningkatkan aksesibilitas wilayah. Hal ini menjadikan pelaksanaan otonomi khusus dalam pembangunan infrastrukur tidak sejalan dengan esensinya. Kondisi ini bisa saja terkait dengan ketiadaan juknis yang jelas dalam pemanfaatan dana otonomi khusus; b. Pembangunan infrastruktur dalam rangka pelaksanaan otonmi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat juga diwarnai dengan masalah mulai masalah teknis pendanaan yang mengalami keterlambatan, kendala pembebasan tanah ulayat, dan kondisi geografis yang sulit. 5) Bidang kependudukan dan ketenagakerjaan: a. Upaya untuk melakukan pembinaan, pengawasan, dan pegendalian tehadap pertumbuhan penduduk di provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus telah dilakukan diantaranya melalui penerbitan Perdasi Nomor 15 Tahun 2008 tentang kependudukan, sementara di Provinsi Papua Barat belum ada perdasi yang mengatur tentang kependudukan. Disatu sisi hal ini dapat membantu menyediakan data dan informasi tentang keberadaan penduduk asli Papua. Namun

demikina, ada kecenderungan untuk memberikan tindakan diskriminatif terhadap penduduk asli Papua dan bukan asli Papua. Upaya untuk mempercepat terwujudnya pemberdayaan, peningkatan kualitas dan partisipasi penduduk asli Papua dalam semua sektor pembangunan yang diamanatkan dalam kebijakan otonomi khusus tidak dimaksudkan untuk memberikan dikriminasi antara penduduk asli Papua dengan penduduk tidak asli Papua dalam memberikan kesempatan bekerja. Namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana meningkatan kemampuan dan keahlian masyarakat asli Papua untuk lebih berdaya saing dalam memperoleh pekerjaan; b. Angka pengangguran terbuka mengalami penurunan pada bebrapa tahun terakhir ini, namun kondisi tingakt penggaguran terbuka masih mengindikasikan perlunya upaya yang baik. Perhatian untuk pelaksanaan otonomi khusus bagi bidang kependudukan dan tenaga kerja masih perlu ditingkatkan; c. Tingginya tingkat pengganguran berkorelasi dengan teingginya jumlah penduduk miskin dan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK). TPAK Provinsi Papua, tahun 2008 sebesar 76,76%, 2009 sebesar 77,95%, dan 2010 sebesar 80,99%. Sedangka untuk Provinsi Papua Barat, tahun 2008 sebesar 68,15%, 2009 sebesar 68,32%, dan 2010 sebesar 69,29%; d. Secara umum pada kurun waktu 2003-2011 terdapat kecenderungan penurunan presentase penduduk miskin di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat terutama 3 tahun terakhir (2009-2011). 6) Bidang sosial a. Dana otonomi khusus yang diberikan untuk membiayai bidang sosial masih sangat terbatas dan bidang ini cenderung tidak mendapat pehatian yang memadai. Minimnya perhatian dari pemerintah dalam hal pendanaan, penanganan masalah sosial menjadi kurang optimal; b. Anggran bidang kesejahteraan sosial antara lain melalui program/kegiatan pemberdayaan fakir miskin, pelayanan dan rehabilitasi kesejahteraan sosial, pembiayaan anak-anak terlantar, pembiayaan eks penyandang penyakit sosial. Pemberdayaan kelembagaan kesejahteraan sosial di provinsi Papua masih relatif kecil yaitu tahun 2008 Rp 17.717.223.975 dan tahun 2010 sebesar Rp 14.040.381.950, sedangkan jumlah panti asuhan di

Provinsi Papua, tahun 2007 sebanyak 131 unit dan tahun 2010 sebanyak 146 unit. Sedangkan provinsi Papua Barat tahun 2009 dan 2010 masingmasing sebanyak 41 unit. 7) Bidang lingkungan hidup a. Dalam bidang lingkungan hidup, upaya pengelolaan lingkungan

diantaranya telah dilakukan dengan menerbitkan Perdasus tentang pengelolaan lingkungan hidup dan pengelolaan hutan berkenjutan di Provinsi Papua. Sementara untuk Provinsi Papua Barat belum ada perdasus yang menagtur tentang hal tersebut. Meski telah diterapkan, namun perdasus yang ada belum sepenuhnya menjadi acuan dan belum banyak diterapkan pada upaya-upaya yang kongkrit. Upaya pelestarian ligkungan hidup, pemanfaatan sumber daya yang berkelanjutan, perlindungan sumber daya secara berkelanjutan, perlindungan sumber daya hayati, sumber daya non hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati, pengelolaan hutan lindung serta pengelolaan perubahan iklim perlu ditingkatkan; b. Permasalahan lain di bidang pengelolaan lingkungan hidup ini adalah belum adanya lembaga independen dalam penyelesaian sengketa lingkungan, kemudia juga diikuti dengan sarana prasarana pendukung dan ditunjang sumber daya manusia yang berlatar belakang pendidikan dan pengalaman dalam bidang lingkungan hidup. 8) Aspek implementasi kelembagaan khusus a. Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat (DPRPB) tidak memiliki peran dan fungsi secara langsung dan mewujudkan perlindungan hak-hak orang asli Papu, keberpihakan terhadap masyarakat asli Papua diwujudkan ketika pembahasan dan penetapan Perdasus yang melibatkan hubungan kerja antara Gubernur, DPRP/DPRPB, dan Majelis Rakyat Papua (MRP), sehingga tujuan utama penyelenggaraan otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat yaitu proteksi terhadap keberadaan orang asli Papua masih sering terabaikan; b. Keberadaan MRP Papua Barat dan MRP Papua yang merupakan lembaga kultural yang relatif baru, masih memerlukan penguatan terhadap anggota

dalam memahami tugas dan wewenang, hak dan kewajibannya baik sebagai anggota MRp maupun ssebagai lembaga khusus; c. Dari sisi kebijakan (Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 dan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004) dalam pelaksanaan pemerintahan di Papua dan Papua Barat menyebabkan pelaksana kebijakan mengalami kebingungan dalam proses penerjemahannya dan dalam tidak ada penagturan yang jelas berimplikasi terjadi tumpang tindih wewenang pelaksanaan pembangunan diantara ketiga level pemerintahan baik pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Isu strategik terkait dengan penyelenggaraan otonomi khusus Papua dan Papua Barat Berdasarkan pencapaian kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat di atas, maka dapat dikemukakakn isu-isu strategik sebagai berikut: Pertama, terjadi disharmoni dan inkonsistensi kebijakan antara Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana diubah dengan UndangUndang Nomor 35 tahun 2008 dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai Undang-Undang generik atau simetris berlaku di seluruh daerah dan menitikberatkan otonomi berada di tingkat kabupaten/kota sementara Undang-Undang otonomi khusus terletak di level provinsi. Hal tersebut dapat berimplikasi terjadinya kerancuan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya di level pemerintah kabupaten/kota karena di satu sisi menjalankan otonomi khusus dan di sisi lain harus menjalankan otonomi generik. Akibatnya terjadi inkonsistensi kebijakan dimana pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Papua dan Papua Barat mengalami kerancuan dalam pelaksanaan program dan kegiatan serta pengelolaan pembiayaannya. Kedua, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 harus dijabarkan ke dalam 13 perdasus dan 18 perdasi tetapi belum disusun dan diterapkan seluruhnya, masih diperlukan 5 perdasus dan 11 perdasi lagi. Namun perdasus dan perdasi yang telah diterbitkan pun belum sesuai dan selaras dengan amanat Undang-Undang otonomi khusus untuk mensejahterakan rakyat di tanah Papua.

Ketiga, belum adanya perumusan indikator keberhasilan pelaksanaan otonomi khusus sebagai penafsiran atas kewenangan setiap bidang. Kondisi ini menyulitka pengkuran keberhasila implementasi otonomi khusus itu sendiri. Keempat, masih terjadi keterlambatan transfer dana otonomi khusus dari pusat ke provinsi dan provinsi ke kabupaten/kota. Keterlambatan tersebut ikut berpengaruh terhadap keefektifan penggunaan dana otonomi khusus. Kelima, pembagian dana otonomi khusus antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Provinsi Papua maupun Papua Barat masih dilakukan sama rata (Papua 40:60, Papua Barat 30:70), padahal jumlah penduduk, luas wilayah berbeda antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya. Keenam, Majelis Rakyat Papua di Provinsi Papua dan Papua Barat belum menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang sebagai lembaga kultural secara optimal. Hal ini disebabkan kemampuan anggota disamping penataan kelembagaan yang belum berlangsung dengan baik. Ketujuh, di bidang perekonomian telah diterbitkan Perdasus Nomor 18 Tahun 2008 tentang Perekonomian Berbasis Kerakyatan. Namun perdasus tersebut belum dilaksanakan secara efektif karena belum didukung aturan pelaksanaan sehingga ekonomi rakyat orang asli Papua belum berkembang secara maksimal. Kedelapan, adalah di bidang pendidikan dan kebudayaan, minimnya jumlah dan kualitas tenaga pendidik dan kependidikan da persoalan distribusi tenaga pendidik, sarana prasarana pendidik terutama di daerah terpencil, tertinggal dan terisolir. Hal yang sama juga berlaku di bidang kesehatan dimana minimnya sarana pelayanan dan alat-alat kesehatan mulai dari Puskesmas hinggaa setingkat Rumah Sakit. Sarana pelayanan kesehatan meski cenderung mengalami peningkatan jumlanya, namun belum mencukupi, ditambah dengan penyebaran tenaga kesehatan yang relatif tidak merata karena sebagian besar hanya ingin berada di kota besar. Ketiadaan petunuk pelaksanaan dan petunjuk teknis juga menjadi cacatan tersendiri bagi kedua bidang ini, yang pada akhirnya menghambat kebijakan affirmative action yang menjadi kaharsan dalam penyelenggaraan otonomi khusus di Papua dan Papua Barat. Kesembilan, pembangunan infrastruktur juga belum ditunjang dengan petunjuk teknis yang jelas dalam pemanfaatan dana otonomi khusus.

Akibatnya sasaran program pembangunan infrastruktur yang dilakukan belum sepenuhnya mengacu pada upaya penerobosan isolaso daerah dalam upaya meningkatkan aksesibilitas wilayah. 3. Perbandingan Efektivitas dan Efisiensi Pelaksanaan Otonomi Khusus dengan Otonomi Khusus Istimewa Otonomi khusus, sebagai varian dari otonomi, merupakan bagian penting bagi perjalanan Indonesia karena kebijakan yang ada tidak memberikan kejelasan akan keberadaan suatu daerah dengan otonomi yang berbeda dengan yang lain. Otonomi khusus diberlakukan karena ada daerah yang sejak sebelum kemerdekaan sudah mempunyai status mandiri atau kawasan berotonomi khusus, karena ada daerah yang diperlukan untuk berotonomi khusus, dan karena ada daerah yang memaksa untuk memperoleh otonomi khusus. Pertentangan di antara fakta-fakta obyektif ini akan terus menjadi bagian dari pergulatan Indonesia memasuki masa depan. Isu ini bukan saja menjadi bagian penting bagi kemajuan Indonesia, tetapi bagian yang menentukan. Karena itu, menjadi relevan mengangkatnya sebagai isu strategis dan bukan sebagai isu politis. Pada saat ini, Provinsi Aceh, Papua, dan Jakarta adalah tiga daerah di Indonesia yang ditatakelola dengan model otonomi khusus. Selain ketiganya, yang sedang dalam proses, adalah Yogyakarta. Namun dalam peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai otonomi khusus hanya Aceh dan Papua yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 untuk Aceh dan UndangUndang Nomor 21 Tahun 2001 untuk Papua. Pernyataan di atas menjelaskan bahwa dalam imlementasinya daerah otonomi istimewa seperti Jakarta dan Yogyakarta juga memiliki segi kekhususan dalam jika ditinjau dari segi definisi tentang otonomi khusus maka Jakarta dan Yogyakarta dapat dikategorikan sebagai daerah otonomu khusus. Isu penting yang dapat diangkat adalah bagaimana model-model kekhususan masing-masing daerah itu sendiri sehingga akan berdampak terhadap perbedaan dan perbandingan ciri otonomi khusus itu sendiri antara daerah satu dengan daerah yang lain. Aceh dan Papua mempunyai kesaman dalam hal kekhususan, yaitu mereka mendapatkan bagian pendapatan atas kekayaan yang ada di daerah mereka di atas hak yang diperoleh oleh daerah-daerah lain di Indonesia, seperti yang diatur pada UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Jakarta mempunyai kekhususan karena otonomi ada di tingkat provinsi. DIY mengajukan

kekhususan sebagai monarki yang ada pada sebuah negara republik modern. Berikut ini dipaparkan matriks perbandingan kekhususan antar daerah tersebut. Isu Pelaksanaan Aceh 2001, diperkuat 2007 Bentuk Kekhasan utama Pembagian kekayaan yang lebih besar dibanding provinsi lain Pembagian kekayaan yang lebih besar dibanding provinsi lain Otonomi di tingkat Provinsi Papua 2001 Jakarta 1961 DIY Belum dilaksanakan Hak kemonarkian termasuk politik, pemerintahan dan anggaran Bentuk kekhususan pendukung Adanya kelembagaan khas di tingkat daerah Adanya kelembagaan khas di tingkat daerah Anggaran disesuaikan dengan ebutuuhan sebagai ibukota Bentuk kekhususa penyerta Adanya peristilahan khas di tingkat daerah Adanya peristilahan khas di tingkat daerah Kedudukan protokoler Gubernur di tingkat nasional Asal utama inisiatif kekhususan Sumber: Agung, Rudianto dan Cucu, 2008 Dari segi isu, penyebab daerah meminta otonomi khusus, juga mempunyai persamaan dan perbedaan, terutama dengan melihat kualifikasi isunya. Untuk Aceh dan Papua, isu pokok yang mendorong permintaan otonomi khusus adalah kekayaan alam yang tidak dinikmati daerah, melainkan dinikmati oleh Pusat, baik sebagai sebuah entitas kelembagaan maupun secara perorangan atau kelompok, terutama yang dekat dengan elit kekuasaan. Alasan pendukung bagi Aceh dan Papua untuk meminta otonomi khusus juga sama, yaitu tingginya tingkat kemiskinan di daerah sebagai Daerah Daerah Pusat Daerah (Monarki) Adanya peristilahan khas di tingkat daerah Adanya kelembagaan khas di tingkat daerah

akibat tidak adanya transfer kesejahteraan kepada daerah sebagai imbalan transfer ekonomi ke pusat. Alasan penyerta, atau instrumental, untuk Aceh dan Papua juga sama, yaitu kuatnya keinginan elit politik daerah untuk menjadi pelaku politik utama di daerah. Untuk alasan pokok, pada kasus Aceh dan Papua, Pemerintah Pusat mempunyai persamaan. Isu pokok yang mendorong pemberian otonomi khusus adalah ancaman disintegrasi/gerakan pro kemerdekaan yang tidak pernah dapat diselesaikan secara tuntas. Lepasnya Timor Timur merupakan pengalaman buruk bagi setiap Presiden Indonesia. Siapa pun Presiden Indonesia, akan senantiasa berada dalam kecemasan akan lepasnya bagian dari Republik. Isu ini bukan merupakan monopoli mereka yang berlatar belakang militer, yang senantiasa dikenali sebagai kelompok yang paling menjaga keutuhan Indonesia dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berkenaan dengan alasan pendukung, untuk kasus Aceh dan Papua, Pemerintah Pusat juga mempunyai persamaan. Isu yang mendorong pemberian otonomi khusus adalah sama dengan isu yang diangkat oleh daerah, yaitu kemiskinan dan keterbelakangan rakyat daerah. Pemerintah pusat, bagaimanapun juga, menghendaki setiap daerah terlepas dari belenggu kemiskinan dan menjadi kawasan yang maju. Berkenaan dengan alasan penyerta, untuk kasus Aceh dan Papua, Pemerintah Pusat mempunyai persamaan. Isu yang mendorong pemberian otonomi khusus adalah memelihara kekayaan nasional yang terdapat di daerah. Lepasnya daerah-daerah dengan kekayaan alam yang menjadi bagian utama pendapatan nasional menjadi kecemasan bagi setiap elit politik Pusat. Dengan demikian, meskipun masuk kategori minor, isu ini menjadi penting dipertimbangkan. Berbeda dengan Jakarta. Jakarta sebenarnya bukan daerah yang meminta otonomi khusus, melainkan dibentuk untuk menjadi daerah dengan otonomi khusus. Otonomi khusus bagi Jakarta diberikan lebih karena kepentingan Pusat, atau pemerintah nasional, untuk mempunyai Ibukota Negara dengan dukungan penuh dari sisi keamanan, kesejahteraan, dan sebagai etalase nasion. Isu pendukung pemberian otonomi khusus adalah keinginan untuk menjadikan Jakarta sebagai pusat perkembangan ekonomi nasional sehingga kendali ekonomi secara nasional relatif dapat dikontrol dari satu titik. Keberadaan kantor-kantor pusat perusahaanperusahaan besar di Jakarta sangat memudahkan Pemerintah mengontrol aktor-aktor

ekonomi nasional. Sedangkan alasan penyerta, adalah pengendalian kekuatankekuatan politik melalui kontrol terhadap pusat kekuatan politik nasional. Kontrol ini membantu Pemerintah mengelola politik yang semakin pluralistik. Berbeda dengan Yogyakarta. Dari kajian yang dibuat oleh Tim JIP-UGM, nampak ada ambiguitas untuk mengajukan Yogyakarta sebagai sebuah daerah otonomi khusus monarki. Padahal, kepentingan yang paling menonjol atau pokok dari permintaan terhadap otonomi khusus adalah mempertahankan monarki daerah, tetapi tetap di dalam sebuah negara republik. Wacana ini nampak dari isu-isu yang diangkat lebih banyak berasal dari kontribusi Yogyakarta sebagai suatu monarki daripada isuisu kekhususan yang lain. Ambiguitas ini terjadi karena tidak ada payung hukum yang mencukupi untuk membingkai wacana monarki dalam republik. Ambiguitas ini juga berkaitan dengan kepentingan dari elit lokal, terutama Raja, untuk pada momentum tertentu dapat berkiprah di tingkat nasional, terutama sebagai pimpinan nasional (Presiden). Melepaskan posisi raja terlalu riskan, tetapi mempertahankan posisi raja dapat memperkecil ruang gerak untuk meningkatkan kekuasaan politik. Ambiguitas juga dinampakkan dari semangat demokrasi di satu sisi, namun di sisi lain yang ditonjolkan adalah demokrasi yang diinisiasi oleh Kraton. Di dalam kenyataannya, kekuatan dari monarki adalah kekuatan ekonominya. Dengan Sultanaat Grond dan Pakualamanaat Grond saja, kekuasaan Sultan dan Paku Alam, membentang di sebagian besar kawasan utama Yogyakarta. Peluang diberikannya otonomi khusus bagi Yogyakarta oleh Pemerintah Pusat akan ditentukan seberapa jauh Pemerintah mampu menenggang kekuasaan monarki atas aset-aset ekonomi dan sosial di daerah tersebut. Dari segi isu pendukung, Yogyakarta mengarah kepada upaya memperkuat hak-hak politik dan ekonomi bagi monarki yang didukung oleh sebagian besar masyarakat Yogyakarta, baik karena alasan kultural, sosial, politik, maupun ekonomi. Pemerintah Pusat, memberikan otonomi khusus yang bersifat kekinian (atau temporer untuk saat ini), yaitu mencegah potensi konflik, terutama (pada saat ini) konfik antar elit, khususnya elit Pusat dan elit Yogyakarta. Kondisi ini berkembang mengingat kekuatan wibawa elit di Pusat dan Yogyakarta relatif setara. Berbeda dengan pada masa Orde Baru, di mana posisi Soeharto (Presiden) jauh lebih superior dibanding Sultan HB IX (Sultan Yogyakarta pada saat itu) maupun Paku Alam (Gubernur Yogyakarta pada saat itu).

Dari segi isu pendukung dan penyerta, antara Pemerintah Pusat dan Yogyakarta mengerucut kepada satu persamaan, yaitu menjadikannya sebagai kawasan yang khas atau unik. Dibanding daerah-daerah lain di Indonesia, Yogyakarta merupakan kawasan yang unik dan berpotensi menjadi kekayaan nasional yang sangat berharga. Keunikan ini juga dapat ditinjau dari segi politik dan administrasi negara. Keberadaan suatu monarki dalam negara republik dengan relasi yang positif dan saling mendukung adalah keunikan yang sangat berharga dari berbagai segi. Secara keseluruhan, isu pokok, pendukung, dan penyerta bagi permintaan (dari daerah) akan otonomi khusus dan pemberian (oleh Pusat) otonomi khusus disampaikan pada tabel berikut ini: Isu pendorong Permintaan/ Pemberian Otsus Aceh Kekayaan alam Daerah (permintaan) tidak dinikmati daerah Papua Kekayaan alam tidak dinikmati daerah Jakarta Keberadaan sebagai Ibukota Negara dengan dukungan penuh dari sisi Ancaman Pokok disintegrasi/ Gerakan Aceh Pusat (Pemberian) Merdeka yang tidak pernah dapat diselesaikan secara tuntas Daerah (permintaan) Kemiskinan dan keterbelakangan rakyat daerah Ancama disintegrasi/ gerakan pro kemerdekaan yang tidak pernah dapat diselesaikan secara tuntas Kemiskinan dan Pusat keterbelakangan perkembangan rakyat daerah ekonomi nasional Pusat (pemberina) Hak-hak politik dan ekonomi bagi monarki Mencegah potensi konflik, (terutama pada saat ini) konflik antar elit keamanan, kesejahteraan, dan sebagai etalase nasion. Yogyakarta Mempertahankan monarki daerah tetapi tetap di dalam sebuah negara republik Kekuasaan monarki atas aset-aset ekonomi dan sosial di daerah tersebut

Pendukung

Keinginan elit Daerah (permintaan) politik daerah untuk menjadi pelaku politik utama di daerah Memelihara Pusat (pemberian) kekayaan nasional yang terdapat di daerah Sumber: Agung, Rudianto dan Cucu, 2008

Keinginan elit politik daerah untuk menjadi Pelaku politik utama di daerah Memelihara kekayaan nasional yang terdapat di daerah

Pengendalian kekuatankekuatan politik melalui kontrol terhadap pusat kekuatan politik nasional

Kawasan yang khas dan unik

Penyerta

Dengan memperhatikan pemetaan di atas, dapat dipahami jika otonomi daerah di Aceh, Papua, dan Jakarta dapat dilaksanakan dengan cepat dibanding Yogyakarta. Pemahaman tersebut digambarkan berikut ini.

Sumber: Agung, Rudianto dan Cucu, 2008 Aceh dan Papua mendesakkan kepentingannya dan akseptansi Pusat tinggi. Jakarta tidak perlu mendesakkan kepentingannya, tetapi akseptansi Pusat tinggi. Riau tidak terlalu mendesakkan kepentingannya menjadi otonom karena isu otonomi khusus berhenti di tingkat wacana elit sehingga Pusat tidak memerlukan diri untuk meresponnya. Yogyakarta mendesakkan kepentingannya, tetapi akseptansi Pusat rendah. Pertanyaanya adalah, mengapa Yogyakarta tidak segera mendapatkan

dukungan, terutama dukungan Pusat dan daerah-daerah lain?

Ada dua alasan.

Pertama, Yogyakarta belum mampu menciptakan kesebangunan kepentingannya dengan kepentingan Pusat atau nasional, seperti Jakarta. Kedua, barangkali pemetaan di bawah ini dapat menjelaskannya.

Sumber: Agung, Rudianto dan Cucu, 2008 Alasan utama yang didesakkan Aceh dan Papua bermula dari alasan kultural, yang kemudian berkembang menjadi alasan sosial, sehingga menjadi sebuah gerakan sosial atau gerakan publik, yang selanjutnya berkembang menjadi desakan ekonomi karena kawasan tersebut menuntut keadilan ekonomi atas kekayaan lokal yang diekstraksi ke Pusat selama pulihan tahun tanpa trade-off yang memadai. Pada akhirnya, desakan tersebut mengerucut menjadi alasan politik, dengan tawaran yang sulit untuk ditolak Pusat : otonomi khusus atau meninggalkan Indonesia. Hal yang khas adalah, alasan yuridis-formal yang dicantumkan pada setiap undang-undang otonomi khusus tidak menyebutkan klausul atau isu tentang desakan ekonomi atau politik, namun mencantumkan alasan-asalan kultural, yaitu kekhasan suatu daerah dari aspek sosial-budaya, sebagaimana dapat dilihat pada undang-undang otonomi khusus Aceh dan Papua. Dengan demikian, rujukan faktual dari otonomi khusus adalah masalah ekonomi dan politik, namun rujukan tekstual atau yuridisformal adalah sosial dan budaya.

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia telah ada sejak era penjajahan Belanda dan Jepang, dimana pada saat penjajahan Belanda otonomi daerah lahir sejak lahirnya Decentralitatie Wet pada tahun 1903 yang lebih bersifat dekonsentrasi. Pada era penjajahan Jepang semua kebijakan otonomi derah yang telah dibuat oleh Belanda dihapus dan model penyelenggaraan pemerintahannya sentralistik. Pada saat Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 penyelenggaraan otonomi daerah mengalami pasang surut dimana model penyelenggaraanya ditandai dengan berbagai pergantian peraturan perundang-undagan. Pada saat era orde lama terdapat enam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang otonomi daerah, diantaranya adalah: Undang-undang No.1 Tahun 1945 yang bersifat dekonsentrasi; Undang-Undang No.22 Tahun 1948 yang bersifat desentralisasi; Undang-Undang No.1 Tahun 1957 yang bersifat dekonsentrasi; Penpres No.6 Tahun 1959 dan Penpres No.5 Tahun 1960 yang bersifat dekonsentrasi dan Undang-Undang No.18 Tahun 1965 yang bersifat desentralisasi. Pada saat orde lama hanya terdapat satu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang otonomi daerah yaitu Undang-Undang No.5 Tahun 1974 yang bersifat dekonsentrasi. Pada saaf reformasi terdapat dua peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang otonomi daerah yaitu: Undang-Undang No.22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No.32 Tahun 2004 yang bersifat desentralisasi. 2. Otonomi khusus merupakan penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan atas pengakuan dan penghormatan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya serta pengakuan dan penghormatan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istiwema yang terdapat dalam Pasal 18 UUD RI 1945. Otonomi khusus ini hanya diberikan kepada Nangroe Aceh Darussalam dan Papua. Penyelenggaraan otonomi khusus di NAD didasarkan atas UU No.1 Tahun 2006 sedangkan penyelenggaraan otonomi khusus di Papua didasarkan atas UU No.21 Tahun 2001. Penyelenggaraan otonomi khusus di NAD dan di Papua berbeda dengan penyelenggaraan otonomi daerah secara umum yang diselanggarakan di Indonesia. Pada penyelenggaraan otonomi khusus NAD dan Papua memiliki badan legislasi daerah sendiri yang dinamakan dengan DPRA untuk NAD dan DPRP untuk Papua. NAD dan Papua juga berhak memiliki bendera, lambang dan hymne daerah sendiri.

Selain itu NAD dan papua juga memiliki wewenang untuk membuat peraturan khusus dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Namun dalam pelaksanaannya otonomi khusus masih banyak terdapat permasalahan dan isu strategik yang memerlukan perhatian dari pemerintah pusat dan daerah. Otonomi khusus tidak hanya lahir oleh penyelesaian sebuh konflik internal seperti Aceh dan Papua, akan tetapi otonomi khusus juga lahir karena adanya dorongan penuh dari pemerintah seperti yang diberikan kepada Jakarta, serta menghargai sebuah kekhasan yang dimiliki oleh suatu daerah seperti yang diberikan kepada Yogyakarta. B. Saran 1. Sebaiknya dalam penyelenggaraan otonomi pemilihan Gubernur dan Wakil gubernur tidak dipilih langsung oleh masyarakat melainkan ditunjuk atau diangkat oleh presiden, karena pemilihan Gubernur dan Wkil Gubernur secara langsung membutuhkan biaya yang sangat besar namun disisi lain peran dan fungsi gubernur tidak bersingungan langsung dengan masyarakat. 2. Sebaiknya beberapa kewenangan yang diberikan kepada daerah otonomi khusus tersebut seperti kewenangan untuk mengadakan hubungan luar negeri ditinjau kembali karena hal itu bertentangan dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa hubungan luar negeri adalah salah satu dari kewenangan mutlak milik pemerintah pusat.

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 Penpres Nomor 6 Tahun 1959 Penpres Nomor 5 Tahun 1960 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007

Muluk, Khairul. Peta Konsep Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah. Surabaya: ITS Press. 2009 Tricahyo, Ibnu. Reformasi Pemilu Menuju Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal. Malang: In-TRANS Publishing. 2009 Thoha, Miftah. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi, Cet.3. Jakarta: Kencana. 2011 Waluyo. Manajemen Publik (Konsep, Aplikasi dan Implementasinya Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah). Bandung: Penerbit Mandar Maju. 2007 Sedarmayanti. Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemiminan Masa Depan (Mewujudkan Pelayanan Prima dan Kepemerintahan Yang Prima). Bandung: Refika Aditama. 2009 Budirdjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi Cet.4. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2008 Djojosoekarto, Agung. Sumarwono, Rudiarto. Suryaman, Cucu. Kebijakan Otonomi Khusus Papua, Cetakan Pertama. Jakarta: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia.

Rusdianto. Status Daerah Otonomi Khusus dan Istimewa Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Zaini F, Anung. Otonomi Khusus Papua, Tugas Presentasi. Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2007 Kausar AS, Jurnal Otonomi Daerah, Vol. VII,No.3, Agustus-September 2007 Fatem, Agustinus, Sebelas Tahun Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus di Tanah Papua: Isu, Target dan Upaya Perbaikan, Vol. 10, No.3, Desember 2012

Anda mungkin juga menyukai