Anda di halaman 1dari 53

Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia

Disusun Oleh:
Audrey Jasmine 2016-050-151
Brenda Rampen 2016-050-213
Hillery 2016-050-048
Aldo Virgadana 2016-050-234
Octa Siburian 2016-050-224

Mata Kuliah: Otonomi Daerah


Dosen: Paulus Wisnu Yudoprakoso, S.H., M.H.
Seksi C

Unika Atma Jaya Jakarta


Jakarta
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini
dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi
maupun pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

                                                                                      

Jakarta, September 2018

Tim Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Demokrasi di Indonesia saat ini adalah demokrasi yang memperhatikan aspirasi masyarakat.
Menurut Kuncoro, “demokrasi diartikan sebagai pemerintah atau kekuasaan dari rakat untuk
rakyat” dan demokrasi yang tepat dalam hal pembagian kekuasaan adalah penerapan
desentralisasi. Dalam era orde baru pelaksanaan demokrasi seperti ini membuat orde baru
jatuh pada masa krisis yang tengah melada asia dan digantikan ke era reformasi yang
menekankan kepada demokrasi yang lebih bebas dalam berpendapat serta sistem demokrasi
yang tidak terpusat atau desentralisasi (Menurut Wijaya). Inti dari desentralisasi adalah
penyerahan urusan pemerintah dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah
menjadi urusan rumah tangganya. Untuk menjalankan sistem desentralisasi ini, maka
dibentuklah suatu sistem desentralisasi yang disebut dengan otonomi daerah.  Otonomi
daerah adalah hak, wewenang, kewajiban Daerah mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan adanya hal ini
maka diharapkan terjadinya percepatan ekonomi dan mempercepat tujuan pembangunan
nasional.

Adanya otonomi daerah tentunya juga akan memacu daerah untuk mampu mengelola
daerahnya sendiri agar mampu menjadi daerah yang mandiri dan menjadi sumber bagi
pembangunan nasional. Sehingga dapat dikatakan bahwa otonomi daerah memiliki peran
yang sangat penting terhadap pembangunan suatu daerah. Kebijakan otonomi daerah yang
memberikan kewenangan terhadap pemerintah daertah tetap harus berpedoman pada undang-
undang yang berlaku secara nasional di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak ada
pertentangan antara kebijakan hukum di daerah. Adanya perbedaan di antaranya sangat
dimungkinkan terjadi selama perbedaan tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang.
Karena inti dari konsep pelaksanaan otonomi daerah adalah upaya memaksimalkan daerah
yakni, memaksimalkan hasil yang akan dicapai dan sekaligus menghindari kerumitan dan
hal-hal yang dapat menghambat pelaksanaan otonomi daerah. Dengan demikian, tuntutan
masyarakat dapat terjawab secara nyata dengan penerapan otonomi daerah yang luas dan
kelangsungan pelayanan umum tidak diabaikan.
B.    Rumusan Masalah

1. Apakah Otonomi Daerah ?


2. Bagaimana Perkembangan Pelaksanaan Otonomi di Indonesia ?
3. Apakah hubungan antara otonomi daerah dengan sistem pemerintahan pusat?

C.    Tujuan

1. Mengetahui ruang lingkup otonomi daerah.


2. Mengetahui bagaimana pelaksanaan otonomi daerah.
3. Mengetahui hubungan antara pelaksanaan otonomi daerah dengan sistem pemerintahan
pusat.
BAB II

PEMBAHASAN

A. RUANG LINGKUP

Otonomi daerah memberi keleluasaan kepada daerah mengurus urusan rumah tangganya
sendiri secara demokratis dan bertanggung jawab dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Kebijakan otonomi daerah, telah diletakkan dasar-dasarnya sejak jauh sebelum
terjadinya krisis nasional yang diikuti dengan gelombang reformasi besar-besaran di tanah
air. Namun, perumusan kebijakan otonomi daerah itu masih bersifat setengah-setengah dan
dilakukan tahap demi tahap yang sangat lamban.

Setelah terjadinya reformasi yang disertai pula oleh gemlobang tuntutan ketidakpuasan
masyarakat di berbagai daerah mengenai pola hubungan antara pusat dan daerah yang
dirasakan tidak adil, maka tidak ada jalan lain bagi kita kecuali mempercepat pelaksanaan
kebijakan otonomi daerah itu, dan bahkan dengan skala yang sangat luas yang diletakkan di
atas landasan konstitusional dan operasional yang lebih radikal.

Suatu bentuk buah gagasan dalam melaksanakan suatu bentuk otonomi daerah dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang dibicarakan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) telah disetujui oleh Soepomo bahwa segala hal pengaturan lebih lanjut mengenai
bentuk desentralisasi segala hal itu diatur dalam undang- undang. Gagasan gagasan akan hal
ini pada akhirnya dikemukakan dalam Pasal 18 UUD (Undang Undang Dasar) 1945 yang
didalamnya memuat akan beberapa hal yakni; Seluruh bagian daerah di Indonesia dalam hal
ini akan dibagi akan beberapa daerah yang terbagi akan daerah besar dan daerah yang kecil.
Dimana hal ini diatur dalam undang undang, pengaturan akan hal hal tersebut memperhatikan
berbagai macam bentuk dalam dasar dasar suatu bentuk permusyawaratan dalam suatu
bentuk sistem pemerintahan negara dan kemudian memperhatikan akan hak hak dan asal usul
dalam daerah daerah yang dalam hal ini bersifat istimewa.

Telah dijelaskan dalam pasal 18 UUD 1945 yang didalamnya ditambahkan empat hal pokok
lagi, yakni; daerah besar dan kecil dalam hal ini bukanlah negara bagian dikarenakan daerah
tersebut dibentuk dalam suatu bentuk kerangka negara kesatuan (Eenheidstaat), Dari kedua
daerah tersebut baik yang besar maupun yang kecil salah satu dari keduanya bisa otonom bisa
juga administratif, Sebagai contoh sifat otonom suatu daerah tidak hanya dimiliki oleh negara
kecil saja dan administratif adalah untuk daerah yang besar saja. Namun daerah besar
sekalipun bisa bersifat ototnom dan dapat juga bersifat administratif.

Daerah yang mempunyai hak atas asal usul yang didalam hal ini bersifat istimewa adalah
swapraja dan desa atau nama lain semacam hal itulah yang akhirnya disebut
Volksgemeenschappen, Negara Republik Indonesia akan sangat menghormati kedudukan
daerah yang didalamnya mempunyai suatu bentuk asal usul yang dimana hal itu sangat amat
istimewa.

UUDS (Undang Undang Dasar Sementara) tahun 1950 didalamnya mengatur berbagai
macam bentuk hal yang dimana hal ini diatur dalam pasal 131, kemudian pasal 132, dan pasal
133. Didalam pasal 131 mencakup berbagai hal yakni; pembagian dalam wilayah daerah
indonesia di dalam daerah besar dan kecil akan menjadi daerah yang berhak dalam mengurus
rumah tangga sendiri (otonom), Bentuk didalam susunan pemerintahan daerah otonom akan
diatur dengan suatu bentuk sistem perundang undangan yang dimana pembentukkan dan
penyusunan ditetapkan dengan memperhatikan akan dasar dasar permusyawaratan dan dasar
dasar perwakilan, kemudian dari segala hal itu kepala pemerintahan di daerah daerah akan
diberikan otonomi seluas luasnya untuk dalam ha ini digunakan untuk mengatur rumah
tangganya, dengan diaturnya undang undang akan hal tersebut maka hal ini akan diserahkan
kepada penyelenggara tugas tugas kepada daerah daerah yang tidak termasuk dalam urusan
rumah tangganya.

UU No.1 Tahun 1945 yang dalam hal ini ditetapkan pada 23 November 1945, tiga bulan
terjadi setelah proklamasi adalah suatu bentuk undang-undang yang berisi tentang
Kedudukan Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID). KNID merupakan suatu bentuk mata
rantai dari Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada saat UUD 1945 disahkan oleh
PPKI tanggal 18 Agustus 1945, PPKI juga menetapkan bahwa pekerjaan Presiden untuk
sementara waktu dibantu oleh sebuah Komite Nasional, tanpa dibatasi pada tingkat nasional
saja atau tingkat daerah. Dalam sidangnya pada tanggal 19 Agustus 1945, PPKI menetapkan.
suatu pembagian di seluruh daerah Indonesia, bahwa Daerah Provinsi yang dikepalai oleh
seorang Gubernur, dibagi dalam Karedidenan yang dikenpalai oleh seorang Residen.
Gubernur dan Residen dibantu oleh Komite Nasional Daerah.

Dalam suatu bentuk ketatanegaraan republik indonesia ada dua macam bentuk sistem dalam
melaksankan kekuasaan yaitu dengan suatu bentuk sistem sentralisasi dengan desentralisasi.
Sistem sentralisasi sendiri erupakan suatu bentuk sistem kekuasaan yang dimana sepenuhnya
diatur oleh pemerintahan pusat sehingga daerah kabupaten/ kota tinggal melaksanakan hal
tersebut. Sedangkan sistem desentralisasi merupakan suatu bentuk sistem pemerintahan
dimana pemerintah daerah memiliki kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga
daerahnya sendiri dan mengurus rumah tangga daerahnya sendiri disebut hak otonomi.

Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan


kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam
proses desentralisasi itu, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke
pemerintahan daerah sebagaimana mestinya, sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari
pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus
kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat, maka diidealkan bahwa sejak
diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan bergerak
sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah.

Pelaksanaan otonomi daerah pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan


kesejahteraan masyarakat dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan sesuai
dengan kehendak dan kepentingan masyarakat. Berkaiatan dengan hakekat otonomi daerah
tersebut yang berkenaan dengan pelimpahan wewenang pengambilan keputusan kebijakan,
pengelolaan dana publik dan pengaturan kegiatan dalam penyelenggaraan pemerintah dan
pelayanan masyarakat maka peranan data keuangan daerah sangat dibututuhkan untuk
mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan daerah serta jenis dan besar belanja yang harus
dikeluarkan agar perencanaan keuangan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.

Data keuangan daerah yang memberikan gambaran statistik perkembangan anggaran dan
realisasi, baik penerimaan maupun pengeluaran dan analisa terhadapnya merupakan
informasi yang penting terutama untuk membuat kebijakan dalam pengelolaan keuangan
daerah untuk meliahat kemampuan/ kemandirian daerah.

Menurut Undang-Undang no 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang di maksud


otonomi daerah adalah hak, wewenang, kewajiban Daerah mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya
yang di maksud dengan daerah otonom, selanjutnya di sebut daerah,  adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang,
berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peratura perundang-udangan yang berlaku.
Otonomi daerah memiliki peran penting dalam penerapan demokrasi di Indonesia terutama
pada fungsi pembagian kekuasaan yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan
memberikan otonomi daerah(desentralisasi). Konsep desentralisasi sendiri sebenarnya sudah
ada sejak tahun 1974 dengan dibentuknya Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan Daerah. Akan tetapi gelombang perubahan yang melanda Indonesia
pasca jatuhnya pemerintahan orde baru, membuka wacana dan gerakan baru tentang konsep
desentralisasi yaitu otonomi daerah .

B. Sejarah Pekembangan Otonomi Daerah

Sejarah perkembangan otonomi daerah dapat dibagi menjadi beberapa tahap diantaranya
sebagai berikut :

a. UU Nomor 1 Tahun 1945 Tentang Pembentukan Komite Nasional Daerah.

Dalam pasal 18 UUD 1945, dikatakan bahwa, “Pembagian daerah Indonesia ataas dasar
daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan
Undang-Undang, dengabn memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam system
pemerintahan Negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa”. Oleh
karena itu Indonesia dibagi dalam daerah-daerah yang lebih kecil yang bersifat otonom yang
pengaturanya dilakukan dengan Undang-undang. Peraturan perundangan yang pertama yang
mengatur otonomi daerah di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945.
Undang-Undang ini dibuat dalam keadaan darurat, sehingga sehingga hanya mengatur hal-hal
yang bersita darurat dan segera saja. Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 (enam )
pasal saja dan sama sekali tidak memiliki penjelasan. Penjelasan kemudian dibuat oleh
Menteri Dalam Negeri dan tentang penyerahan urusan kedaerah tidak ada penjelasdan secara
eksplisit.

Dalam undang-undang ini menetapkan tiga jenis daerah otonom, yaitu karesidenan,
kabupaten dan kota berotonomi. Pada pelaksanaannya wilayah Negara dibagi kedalam
delapan propinsi berdasarkan penetapan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
tanggal 19 Agustus 1945. Propinsi-propinsi ini diarahkan untuk berbentuk administratif
belaka, tanpa otonomi. Dalam perkembangannya khususnya, Propinsi Sumatera, propinsi
berubah menjadi daerah otonom. Di propinsi ini kemudian dibentuk Dewan Perwakilan
Sumatera atas dasar Ketetapan Gubernur Nomor 102 tanggal 17 Mei 1946, dikukuhkan
dengan PP Nomor 8 Tahun 1947. Peraturan yang terakhir menetapkan Propinsi Sumatera
sebagai Daerah Otonom.

Dari uraian diatas maka tidak dapat dilihat secara jelas system rumah tangga apa yang dianut
oleh Undang-undang ini.

b. Undang-Undang Pokok tentang Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1948.

Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU nomor 22
tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 15 April 1948.

Dalam UU dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni :

a. Propinsi

b. Kabupaten/ Kota Besar

c. Desa/ Kota Kecil, negeri, marga dan sebagainya A s/d C tyang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri. (Soejito;1976)

Dalam undang-undang ini tidak dinyatakan mengenai system rumah tangga yang dianutnya.
Oleh karena itu untuk mengetahui system mana yang dianutnya, kita harus memperhatikan
pasal-pasal yang dimuatnya. Terutama yang mengatur batas-batas rumah tangga daerah.
Ketentuan yang mengatur hal ini terutama terdapat pada pasal 23 yang terdiri dari 2 ayat
sebagi berikut:

1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya.

2. Hal-hal yang masuk urusan rumah tangga tersebut dalam ayat 1 ditetapkan dalam undang-
undang pembentukan bagi tiap-tiap daerah. (Sujamto;1990)

Dari kedua pasal diatas terlihat bahwa luas daripada urusan rumah tangga atau kewenangan
daerah dibatasi dalam undang-undang pembentukannya. Daerah tidak memiliki kewenangan
untuk mengatur atau mengurus urusan-urusan diluar yang telah termasuk dalam daftar urusan
yang tersebut dalam UU pembentukannya kecuali apabila urusan tersebut telah diserahkan
kemudian dengan UU.

Dari uraian di atas terlihat bahewa UU ini menganut sistem atau ajaran materiil. Sebagai
mana dikatakan Nugroho (2001) bahwa peraturan ini menganut menganut otonomi material.,
yakni dengan mengatur bahwa pemerintah pusat menentukan kewajiban apasaja yang
diserahkan kepada daerah. Artinya setiap daerah otonom dirinci kewenangan yang
diserahkan, diluar itu merupakan kewenangan pemerintah pusat. Hanya saja sistem ini
ternyata tidak dianut secara konsekuen karena dalam UU tersebut ditemukan pula ketentuan
dalam pasal 28 ayat 4 yang berbunyi: “Peraturan daerah tidak berlaku lagi jika hal-hal yang
diatur didalamnya kemudian diatur dalam Undang-Undang atau dalam Peraturan pemerintah
atau dalam peraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya”. (Sujamto;1990)

Ketentuan ini terlihat jelas membawa ciri sistem rumah tangga formil. Jadi pada dasarnya UU
ini menganut dua sistem rumah tangga yaitu formil dan materil. Hanya saja karena sifat-sifat
sistem materiil lebih menonjol maka banyak yang beranggapan UU ini menganut sistem
Materil.

Perlu dicatat bahwa pada 27 Desember 1949 RI menandatangani Konferensi Meja Bundar,
dimana RI hanya sebagai Negara bagian dari Republik Indonesia Serikat yang wilayahnya
hanya meliputi Jawa, Madura, Sumatera ( minus Sumatera Timur), dan Kalimantan. Dengan
demikian maka hanya pada kawasan ini sajalah UU ini diberlakukan sampai tanggal 17
Agustus 1950 saat UUD sementara diberlakukan.

c. Undang-Undang Nomor 1 tahun1957

Dalam perjalannya UU ini mengalami dua kali penyempunaan yaitui dengan Penetapan
Presiden Nomor 6 Tahun 1959 dan Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960. Adapun nama
resmi dari system otoniomi yang dianut adalah system otonomi riil, sebagaimana secara tegas
dinyatakan dalam memori penjelan UU tersebut. (Soejito;1976)

Ketentuan yang mencirikan tentang sistem otonomi yang dianutnya terdapat pada pasal 31
ayat 1,2 dan 3 sebagai berikut:

1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus segala urusan rumah tangga
daerahnya kecuali urusan yang oleh Undang-undang diserahkan kepada peguasa lain.

2. Dengan tidak mengurangi ketentuan termaksud dalam ayat 1 diatas dalam peraturan
pembentukan ditetapkan urusan-urusan tertentu yasng diatur dan diurus oleh dewan
perwakilan Rakyat Daerah sejak saat pembentukannya.

3. Dengan peraturan pemerintah tiap-tiap waktu dengan memperhatikan kesanggupan dan


kemampuan dari masing-masing daerah, atas usul dari dewan perwakilan rakyat daerah yang
bersangkutan dan sepanjang mengenai daerah tingkat II dan III setelah minta pertimbangan
dari dewan pemerintah daerah dari daderah setingkat diatasny, urusan-urusan tersebut dalam
ayat 2 ditambah denga urusan lain.

d. Undang-undang Nomor 18 tahun 1965

UU ini hampir seluruhnya melanjutkan ketentuan yang ada dalam UU Nomor 1 tahun 1957
dan Penetapan Presiden Nomor 6 tahun 1959 serta Nomor 5 tahun 1960. Dikatakan oleh
Sujamto (1990) Seperti halnya UU Nomor 1 Tahun 1957 UU ini juga menyatakan diri
menganut Sistem Otonomi Riil. Bahkan dalam penjelasan umumnya banyak sekali mengoper
bagian dari penjelasan umum UU Nomor 1 Tahun 1957.

Dalam pelaksanaannya meski konsepsinya menyatakan adalah penyerahan otonomi daerah


secara riil dan seluas-luasnya, namun kenyataannya otonomi daerah secara kesel;uruhan
masih berupa penyerahan oleh pusat.daerah tetap menjadi actor yang pasif.

e. UU Nomor 5 tahun 1974

Berbeda dengan dua UU terdahulu ( UU Nomor 1 tahun 1957 dan UU Nomor 18 tahun 1965)
yang menyatakan diri menganut system otonomi riil UU nomor 5 tahun 1974 tidak berbicara
apa-apa mengenai system otonomi yang dianutnya. UU ini menyatakan otonomi yang nyata
dan bertanggung jawab bukan sebagai system atau faham ataupengertian akan tetapi sebagai
suatu prinsip. (Sujamto; 1990)

Sebagaimana diketahui pada masa pemerintahan Orde baru melakukan perombakan secara
mendasar dalam penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, melalui kebijakan yang
tertuang di garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam Ketetapan MPR No.
IV/MPR/1973, yang antara lain mengatakan :

a. Asas desentralisai digunakan seimbang dengan asas dekonsentrasi dimana asas


dekonsentrasi tidak lagi dipandang sebagai suplemen atau pelengkap dari asas desentralisasi ;

b. Prinsip yang dianut tidak lagi prinsip otonomi yang seluas-luasnya, melainkan otonomi
yang nyata dan bertanggungjawab. Di kemudian hari, MPR dengan ketetapan MPR Nomor
IV/MPR/1978 menambahkan kata dinamis di samping kata nyata dan bertanggungjawab.

Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan
kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan
Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Dalam Undang-undang ini juga menganut
prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip ini dianut untuk mengganti
sistem otonomi rill dan seluas-luasnya yang dianut oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun
1965.

Adapun ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan terhadap luasnya urusan rumah
tangga daerah dapat dilihat dalam beberapa pasal berikut :

1. Pasal 5 yang merupakan ketentuan yang belum pernah ada pada semua UU terdahulu yaitu
yang mengatur tentang penghapusan suatu daerah.

2. Pasal 7 yang berbunyi daerah berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan
mengurus rumah tangga sendiri sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku;

3. Pasal 8 ayat 1 berbunyi “Penambahan penyerahan urusan pemerintahan ditetapkan dengan


Peraturan Pemerintah”

4. Pasal 9 yang berbunyi “sesuatu urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah
dapat ditarik kembali dengan pengaturan perundang-undangan yang setingkat.

5. pasal 39 yang mengatur pembatasan-pembatasan terhadap ruang lingkup materi yang yang
dapat diatur oleh Peraturan Daerah.

Dari ketentuan-ketentuan diatas maka terlihat sesungguhnya UU adalah menganut system


atau ajaran rumah tangga material . dalam UU ini tidak ditemukan ketentuan yang
mengatakan tentang gugurnya suatu Peraturan Daerah apabila materinya telah diatur dalam
Peraturan perundang-undangan atau dalam peraturan daerah yang lebih tinggi yang
merupakan ciri dari system rumah tangga formil.

f. UU Nomor 22 tahun 1999

Sebagaimana UU Nomor 5 tahun 1974 dalam UU ini juga tidak dinyatakan secara gamblang
tentang system atau ajarang rumah tangga yang dianutnya. Untuk dapat mengetahui system
atau ajaran yang dianut kita harus melihatnya pada pasal-pasal yang mengatur tentang
pembatasan kewenangan atau luasnya uruasan yang diberikan kepada daerah.  Dalam UU
sebutan daerah tingkat I dan II sebagaimana UU Nomor 5 tahun 1974 dihilangkan menjadi
hanya daerah propinsi dan daerah kabupaten/ kota. Hierarki antara propinsi dan Kabupaten/
kota ditiadakan. Otonomi yang luas diberikan kepada daerah kabupaten dan daerah kota.
Sedangkan propinsi.

Adapun ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan terhadap luasnya urusan rumah
tangga daerah dapat dilihat dalam beberapa pasal berikut :

1. Dalam pasal 7 dinyatakan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam


seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama serta kewenangan bidang lain.

2. Dalam pasal 9 dinyatakan Kewenangan propinsi sebagai daerah otonom mencakup


kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota serta
kewenangan yang tidak atau belum dilaksankan oleh kabupaten dan kota. Selain itui
kewenangan propinsi sebagai daerah administrative mencakup kewenangan dalam bidang
pemerintahan yanmg dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah pusat.

3. Dalam pasal 10 ayat 1 daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia
diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan
perundang-undangan.

4. Dalam pasal 11 dinyatakan bahwa kewenangan daerah kabupaten dan kota mencakup
semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam pasal 7 dan
yang diatur dalam pasal 9.

Dari uraian diatas terlihat system atau ajaran rumah tangga yang digunakan atau danutnya
adalah perpaduan antara ajaran rumah tangga material dan ajaran rumah tangga formil.
Dikatakan menganut ajaran materil karena dalam pasal 7, pasal 9 dan pasal 11dinyatakan
secara jelas apa-apa saja yang menjadi urusan rumah tangga yang merupakan ciri daripada
system atau ajaran rumah tangga material. Sedangkan dikatakan menganut pula ajaran formil
antara lain terlihat pada pasal 10, pasal 70 dan pasal 81 didalamnya dinyatakan bahwa daerah
kabupaten dan kota memiliki kewenangan untuk mengelola sumberdaya nasional yang
tersedia di wilayahnya. Selain itu dkatakan bahwa peraturan daerah daerah tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan daerah lain dan peraturan perundangan-
undangan yang lebih tinggi yang meruapakan ciri daripada system atau ajaran rumah tangga
formil.

g. UU Nomor 32 tahun 2004


Otonomi Daerah yang dilaksanakan saat ini adalah Otonomi Daerah yang berdasarkan
kepada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut UU
ini, otonomi daerah dipahami sebagai Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan
oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

Kewenangan Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip-prinsip
pemberian Otonomi Daerah dalam UU 32/2004 adalah :

1.Penyelengaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi,


keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah.

2.Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertangung jawab.

3.Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota.

4.Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin
hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah.

5.Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan
karenanya dalam daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi wilayah administratif.

6.Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif
Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

C. SISTEM RUMAH TANGGA DAERAH


Sistem rumah tangga adalah suatu bentuk tatanan yang dimana didalamnya bersangkutan
dengan tugas, wewenang dan tanggungjawab antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah. Di dalam pelaksanaan tugasnya tata kelola pemerintahan yang menyangkut dengan
tugas, wewenang dan tanggungjawab ini harus memiliki suatu bentuk konsep yang jelas
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

Hal ini bertujuan agar pengusahaan tata kelola pemerintahan daerah dapat berjalan dengan
baik sesuai dengan prosedur dan memiliki sistem landasan hukum maupun teritis yang
didalamnya dapat dipertanggung jawabkan baik secara konstitusi maupun secara moral
kepada masyarakat selaku pemilik hekuasaan.

Sistem rumah tangga di daerah sendiri terdiri dari 3 sistem yaitu

1. sistem rumah tangga Materil yakni pembagian tugas,wewenang dan tanggung jawab
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dijelaskan secara normatif dalam
Undang-undang dan turunan hirarki di bawahnya. sistem rumah tangga ini berpangkal
tolak dari pemikiran bahwa antara urusan pemerintah pusat dan urusan pemerintah
daerah dapat dibedakan yang kemudian di tuangkan dalam landasan hukum yang
mengikat terhadap urusan tersebut.
2. Sistem rumah tangga Formil yaitu pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab
atara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tidak dijelaskan secara rinci. artinya,
sebuah urusan pemerintahan diserahkan kepada pemerintah daerah oleh pemerintah pusat
dengan mempertimbangkan tingkat efisiensi (berdaya guna) dan efektivitas (berhasil
guna). sistem rumah tangga ini mempunya landasan pemikiran bahwa tidak ada
perbedaan urusan secara prinsipnya antara urusan pemerintah pusat atau urusan
pemerintah daerah.
3. Sistem rumah tangga Riil yaitu pembagian tugas, wewenang dan tanggungjawab
antara pemerintah pyusat dengan pemerintah daerah yang mengambil jalan tengah dari
sistem rumah tangga materil dan sistem rumah tangga formil. artinya, sistem rumah
tangga ini mengkombinasikan 2 sistem rumah tangga daerah. dalam konspnya, sistem
rumah tangga Riil lebih banyak memakai asas sistem rumah tangga formil.

Sistem rumah tangga formal berpangkal tolak dari prinsip bahwa tidak ada perbedaan sifat
urusan yang diselenggarakan pusat dan yang diselenggarakan oleh daerah. Pembagian
wewenang, tugas, dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus suatu urusan
pemerintahan semata-mata didasarkan pada keyakinan bahwa suatu urusan pemerintahan
akan lebih baik dan lebih berhasil kalau diurus dan diatur oleh satuan pemerinatahan tertentu,
dan begitu pula sebaliknya.

Pertimbangan daya guna (dan hasil guna) merupakan titik perhatian untuk menentukan
pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab tersebut. Secara teoritik, sistem rumah
tangga formal memberikan keleluasaan yang seluas-luasnya kepada daerah untuk mengatur
dan mengurus urursan pemerintahan dan menjadikan urursan tersebut sebagai urusan
pemerintahan daerah.

Namun di dalam pelaksanaan sistem rumah tangga ini, terdapat beberapa kendala yang
dialami oleh pemerintah daerah. yaitu antara lain; sistem rumah tangga ini menuntut
pemerintah daerah agar mempunyai inisiatif yang tinggi. apa saja urusan penyelenggaraan
pemerintah yang bisa di laksanakan oleh pemerintah derah. hal ini berpotensi terjadinya
perbedaan yang mencolok antara daerah yang memiliki inisiatif tinggi dengan daerah yang
memiliki inisiatif yang rendah. dengan demikian tingkat keegoan daerah meningkat yang
tentu mengancam negara republik indonesia dalam kerangka negara kesatuan, Anggaran
daerah yang terbatas untuk melaksanakan seluruh usaha penyelenggaraan pemerintah yang
sekiranya sangat efektif dan efisien jika dilaksanakan oleh pemerintah daerah.

Pemerintah daerah sulit untuk mengetahui urusan-urusan apa saja yang tidak diberikan dan
yang telah diberikan. karena urusan tersebut tidak terdapat pada legal formal yang menjadi
dasar hukum usaha penyelenggaraan pemerintah. akibatnya pemerintah daerah tidak berani
untuk berinisiatif menyelenggarakan urusan tersebut dengan kekhawatiran akan menyalahi
tugas, wewenang dan tanggungjawabnya.

Hak otonomi dalam rumah tangga formal adalah apa yang menjadi urusan otonomi tidak
dibatasi secara positif. Satu-satunya pembatasan adalah daerah otonom yang bersangkutan
tidak boleh mengatur apa yang telah diatur oleh perundangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Dengan demikian, daerah otonom lebih bebas mengatur urusan rumah tangganya, sepanjang
tidak memasuki “area” urusan pemerintah pusat. Otonomi seperti ini merupakan hasil dari
pemberian otonomi berdasarkan teori sisa, dimana pemerintah pusat lebih dulu menetapkan
urusan yang dipandang lebih layak diurus pusat., sedangkan sisanya diserahkan kepada
pemerintah daerah.

Hak otonomi dalam rumah tangga material dibatasi secara positif, yaitu dengan menyebutkan
secara limitatif dan terinci atau secara tegas apa saja yang berhak diatur dan diurusnya.
Dalam otonomi material ini ditegaskan bahwa untuk mengetahui apakah urusan menjadi
urusan rumah tangga sendiri, harus dilihat pada substansinya.

Artinya, bila suatu urusan secara substansial dinilai dapat menjadi urusan pemerintah puisat,
pemertintah daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri pada hakikatnya tidak akan
mampu menyelenggarakan urusan tersebut. Sebaliknya, apabila suatu urusan secara
substansial merupakan urusan daerah, pemerintah pusat meskipun dilakukan oleh wakil-
wakilnya yang berada di daerah (pemerintah pusat di daerah), tidak akan mampu
menyelenggarakannya.

Hak otonomi dalam rumah tangga riil merupakan gabungan antara hak otonomi dalam rumah
tangga formal dan hak otonomi dalam rumah tangga material. Dalam undang-undang
pembentukan otonomi, kepada pemerintah daerah diberikan wewenang sebagai wewenang
pangkal dan kemudian dapat ditambah dengan wewenang lain secara bertahap, ddan tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Atau dengan kata lain, hak otonomi riil ini pada prinsipnya menentukan bahwa pengalihan
atau penyerahan wewenang urusan tersebut didasarkan pada kebutuhan dan keadaan serta
kemampuan daerah yang menyelenggarakannya. Kemudian untuk penyelenggaraan rumah
tangga itu, objek tugas yang dikuasakan wewenang satu demi satu atau dirinci secara
numeratif.

Bentuk dan susunan pemerintahan daerah dalam kerangka Negara Republik Indonesia dalam
UUD 1945 Perubahan ke 4 (empat) Pasal 18 ayat (1) yakni:
“ Negara Kesatuan Repulik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi
itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propisi, kabupaten dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah yang diatur Undang-Undang”.

Sedang Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 menyebutkan bahwa “pemerintah daerah merupakan
daerah otonom yang dapat menjalankan urusan pemerintahan dengan seluas-luasnya serta
mendapat hak untuk mengatur kewenangan pemerintahan kecuali urusan pemerintahan yang
oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat”. Pasal 18 A ayat (1)
menyebutkan bahwa hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan daerah propinsi,
kabupaten, dan kota atau antara propinsi dan kabupaten dan kota diatur dengan undang-
undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Sedang Pasal 18 A ayat
(2) menyebutkan hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan
sumber daya lainya antara pemerintah pusat dan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil
dan selaras berdasarkan undang-undang.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut terlihat bahwa ciri-ciri sistem otonomi riil jauh lebih
menonjol dibandingkan dengan yang tedapat dalam UU nomor 22 tahun 1948. karena itu
tidak aneh jika banyak para ahli yang tetap menganggabnya sebagai sistem otonomi formil.
Tetapi karena dualisme yang dianutnya seperti telihat pada pasal 31 ayat 2 diatas maka tidak
salah juga unutk mengatakan bahwa UU ini menganut system yang dapat diberi nama sendiri
yaitu system otonomi riil.

Penyempurnaan pertama terhadap UU ini dilakukan berdasarkan Penetapan Presiden Nomor


6 tahun 1959. pemberlakukan PP dilatar belakangi oleh kembalinya RI kedalam sistem
Negara kesatuan dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli
1959 menggantikan UUD Sementara tahun 1950. dalam peraturan ini daerah tetap dibagi
dalam tiga tingkatan, namun dengan perbedaan bahwa Kepala Daerah I dan II tidak
bertanggung jawab kepada DPRD I dan II sehingga dualisme kepemimpinan di daerah
dihapuskan. Kepala Daerah berfungsi sebagi alat pusat di Daerah dan Kepala Daerah diberi
kedududukan sebagai Pegawai Negara.

D. SUSUNAN DAERAH PEMERINTAHAN

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi. Daerah provinsi itu
dibagi lagi atas daerah kabupaten dan daerah kota. Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten,
dan daerah kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Pada 19 Agustus 1945, PPKI menetapkan beberapa bentuk pembagian wilayah dalam
pemerintahan Republik Indonesia di daerah dalam suatu bentuk susunan teritorial : Provinsi,
Keresidenan, Kooti (Swapraja) dan Kota (Gemeente). Pembagian daerah-daerah tersebut
belum dilakukan dalam rangka desentralisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UUD
1945.
Pemerintah daerah dalam hal ini dibentuk dengan tujuan untuk mengisi suatu bentuk
kekosongan pemerintahan yang telah ditinggalkan oleh pendudukan tentara Jepang, yang
dimana artinya pemerintahan tentara Jepang sudah tidak dipatuhi lagi oleh Rakyat Indonesia
yang merdeka dan berdaulat, selain itu juga hal ini bertujuan untuk sesegera mungkin
melengkapi segala bentuk susunan pemerintahan RI sampai ke daerah-daerah, sehingga
kehadiran dari Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat menjadi tampak nyata sampai
ke daerah-daerah di seluruh negara.

Kenyataannya setelah berjalannya pemerintahan tingkat daerah tidak terbatas pada satu
bentuk Provinsi, Karesidenan, Kota dan Kooti (Swapraja) saja yang ada, melainkan juga
Kawedanaan, Kecamatan, dan Desa. Susunan baru ini diatur kembali di dalam UU No.1
Tahun 1945. Akibat perubahan kedudukan KNID, maka dihidupkan kembali pemerintahan
daerah otonom yang terhapus selama pendudukan tentara Jepang. Provinsi, Kawedanaan, dan
Kecamatan tidak dilengkapi dengan KNID, karena itu tetap semata-mata sebagai unsur
dekonsetrasi yang menjalankan pemerintahan umum atau kepamongprajaan di daerah,
sebagai wakil pemerintah pusat atau aparat pemerintah daerah atasannya.

Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten,
dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum,
pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan
pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-
undang.

Pembentukan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota ditetapkan dengan undang-
undang. Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian
daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.
Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain apabila daerah yang bersangkutan
tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah. Penghapusan dan penggabungan daerah
beserta akibatnya ditetapkan dengan undang-undang. Untuk menyelenggarakan fungsi
pemerintahan tertentu yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional, Pemerintah dapat
menetapkan kawasan khusus dalam wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota.
E. SUSUNAN PEMERINTAH DAERAH

Dasar utama dari suatu bentuk penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi
adalah adanya urusan pemerintahan yang perlu ditangani. Namun tidak berarti bahwa setiap
adanya penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk ke dalam suatu bentuk organisasi
tersendiri.

Besaran organisasi perangkat daerah sekurang-kurangnya mempertimbangkan faktor


kemampuan keuangan; kebutuhan daerah; cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas yang
harus diwujudkan, jenis dan banyaknya tugas; luas wilayah kerja dan kondisi geografis;
jumlah dan kepadatan penduduk; potensi daerah yang bertalian dengan urusan yang akan
ditangani; sarana dan prasarana penunjang tugas. Oleh karena itu kebutuhan akan organisasi
perangkat daerah bagi masing-masing daerah tidak senantiasa sama atau seragam.

Pemerintahan daerah di provinsi, kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Gubernur, Bupati, dan
Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota
dipilih secara demokratis.

Hubungan dengan suatu bentuk wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur
dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil
dan selaras berdasarkan undang-undang.

Maka akhirnya di daerah dibentukklah DPRD sebagai suatu bentuk badan Legislatif Daerah
dan Pemerintah Daerah sebagai suatu bentuk Badan Eksekutif Daerah. Pemerintah Daerah
terdiri dari Kepala Daerah beserta perangkat daerah yang lainnya. DPRD sebagai suatu
bentuk dari lembaga perwakilan dari rakyat di daerah merupakan suatu bentuk wahana untuk
melaksanakan suatu bentuk demokrasi yang didasarkan kepada pancasila. DPRD sebagai
suatu bentuk badan legislatif daerah berkedudukan sejajar dan menjadi suatu bentuk mitra
dan pemerintahan daerah.
DPRD yang sebagaimana merupakan suatu bentuk lembaga dari suatu bentuk perwakilan
akan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai suatu bentuk unsur dalam penyelenggaraan
pemerintah daerah. Dalam kedudukan yang seperti itu, DPRD sebagaimana diketahui
memiliki fungsi yang cukup berpengaruh yakni suatu bentuk fungsi yakni terdiri dari fungsi
legislasi, anggaran, dan pengawasan.

1. Fungsi Legislasi berkaitan dengan suatu bentuk pembentukkan akan suatu peraturan
daerah yang didalamnya mencakup suatu bentuk pembahasan dan pemberian akan
persetujuan kepada raperda serta suatu bentuk hak anggota DPRD untuk mengajukan
Raperda.
2. Fungsi anggaran dalam hal ini berkaitan dengan kewenanganya dalam suatu bentuk
hal anggaran daerah (APBD).
3. Fungsi pengawasan dalam hal ini berkaitan degan kewenanga dalam mengontrol
pelaksanaan perda dan peraturan peraturan lainnya serta suatu bentuk kebijakan
pemerintah daerah.

Urusan dalam suatu bentuk Pemerintahan Pusat Pemerintahan daerah menyelenggarakan


urusan pemerintahan yang menjadi suatu bentuk akan kewenangannya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh Undang-undang ditentukan menjadi urusan pemerintah pusat.
Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat meliputi:

1. politik luar negeri;

2. pertahanan;

3. keamanan;

4. yustisi;

5. moneter dan fiskal nasional;

6. agama ; dan

7. norma.

Penyelenggaraan akan segala maacam bentuki urusan pemerintahan dalam hal ini dibagi
berdasarkan suatu bentuk kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan
memperhatikan sisi dan bentuk keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan
berdasarkan kriteria di atas terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.

Urusan wajib yang menjadi suatu bentuk kewenangan pemerintahan daerah provinsi
merupakan salah satu bentuk urusan dalam skala provinsi yang meliputi 16 buah urusan.
Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan dalam hal ini meliputi urusan
pemerintahan yang dalam hal ini secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah
yang bersangkutan.

Urusan wajib yang akan menjadi suatu bentuk kewenangan pemerintahan daerah kabupaten
atau daerah kota merupakan urusan yang berskala kabupaten atau kota meliputi 16 buah
urusan. Urusan pemerintahan kabupaten atau kota yang bersifat pilihan meliputi urusan
pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk melaksanakan peningkatan akan
suatu bentuk kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi
unggulan daerah yang bersangkutan.

Dalam menyelenggarakan segala macam bentuk urusan pemerintahan yang menjadi suatu
kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan suatu bentuk otonomi seluas-luasnya
untuk mengatur dan mengurus sendiri segala macam urusan pemerintahan berdasarkan asas
otonomi dan tugas pembantuan.

Pemerintahan daerah dalam segala usaha menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki


segala macam hubungan dengan pemerintah pusat dan dengan pemerintahan daerah lainnya.
Hubungan tersebut meliputi segala macam hubungan wewenang, keuangan, pelayanan
umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. Hubungan keuangan,
pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan
secara adil dan selaras. Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan
kewilayahan antarsusunan pemerintahan.

F. PROSES PEMILIHAN KEPALA DAERAH


Suatu bentuk akan mekanisme dari pemilihan Kepala Daerah berdasarkan otonomi daerah
sebelum perubahan dari UUD 1945, pemilihan akan kepala daerah sebelum dan sesudah
perubahan Undang – Undang Negara Republik Indonesia 1945.

Pada jaman sebelumnya disaat menetapkan Presiden dan Wakilnya segala hal itu ditetapkan
oleh MPR ( Majelis Permusyawaratan Rakyat) dari segala macam pantas tidaknya seseorang
dilantik sebagai seorang Presiden dan Wakilnya segala hal itu menjadi suatu bentuk
pengurusan yang dilaksankan oleh MPR. Namun setelah perubahan akan hal itu mulai
sekarag presiden ditetapkan dipilih oleh rakyatnya sendiri. Demikian juga dengan wakil.

Sistem dalam proses pemilihan daerah pada jaman sebelom amandemen demokratis. Pada
zaman sebelumnya ada suatu bentuk perubahan pemilukada dipilih langsung oleh rakyat dan
proses ini berlangsung selama lebih dari 10 tahun sebelum akhirnya berganti. Namun sistem
ini ternyata membawa akibat yang cukup buruk bagi perkembangan suatu bangsa. Sistem ini
dikatakan sebagai suatu bentuk sistem yang dapat mengakibatkan lahirnya suatu bentuk
instansi pemerintah yang buruk. Dapat dikatakan buruk karena berpotensi akan korupsi.

Pemberitahuan DPRD kepada Kepala Daerah tentang berakhirnya masa jabatan.


Pemberitahuan ini dilakukan secara tertulis paling lambat 5 bulan sebelum jabatan belum
berakhir.Pemberitahuan DPRD kepada KPUD tentang berakhirnya jabatan Kepala Daerah.
Pemberitahuan ini juga dilakukan secara tertulis paling lambat 5 bulan sebelum jabatan
Kepala Daerah tersebut berakhir.Perencanaan penyelenggaraan yang meliputi penetapan tata
cara, jadwal pelaksanaan Pilkada. a) Perencanaan ini diputuskan dengan ketetapan KPUD
paling lambat 14 hari setelah pemberitahuan DPRD. b) Ketetapan tentang perencanaan
tersebut disampaikan KPUD kepada DPRD dan Kepala Daerah.Pembentukan panitia
pengawas, PPK, PPS, dan KPPS.Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau pemilihan.

Tahap pelaksanaan Pilkada meliputi:

1. Penetapan daftar pemilih


Proses penetapan daftar pemilih Pilkada meliputi:
a) Penyusunan daftar pemilih sementara
Daftar pemilih sementara diproses dari daftar pemilih pelaksanaan Pemilu
terakhir di daerah disertai daftar pemilih tambahan.Bila ada usulan-usulan daftar
pemilih sementara masih bisa diperbaiki (misalnya soal kesalahan menulis nama,
alamat, identitas, dan lain-lain).
b) Penyusunan dan pengumuman daftar pemilih tetap
Daftar pemilih sementara akan disusul menjadi daftar pemilih tetap.Daftar
pemilih tetap digunakan sebagai bahan untuk menyusun kebutuhan suara dan
berbagai perlengkapan pemilihan.Daftar pemilih tetap diumumkan di PPS
desa/RT/RW/atau tempat lain yang strategis.
c) Pembagian kartu pemilih
Sesudah daftar pemilih tetap diumumkan, KPUD melakukan pengisian kartu
pemilih berdasarkan susunan daftar pemilih tetap.Kartu pemilih diserahkan
kepada pemilih oleh PPS dibantu oleh RT/TW.Kartu pemilih digunakan pemilih
untuk memberikan suara.Daftar pemilih tetap yang sudah ditetapkan PPS tidak
dapat diubah lagi.

2. Pendaftaran dan penetapan pasangan calon


Yang mengajukan atau mendaftarkan pasangan calon ketua/wakil ketua Kepala Daerah
adalah partai politik, atau gabungan partai politik.

3. Kampanye
Kampanye dilakukan Pilkada selama 14 hari dan berakhir 3 hari sebelum tanggal
pemungutan suara.

4. Pemungutan suara
Penyelenggaraan pemungutan suara pemilihan Kepala/Wakil kepala daerah dilaksanakan
selambat-lambatnya 30 hari sebelum masa jabatan kepala daerah berakhir.

1) Penghitungan suara
Penghitungan suara di TPS dilakukan oleh KPPS sesudah pemungutan suara berakhir.

1. Penetapan calon kepala/wakil kepala daerah terpilih, termasuk pengesahan dan


pelantikan
Pasangan calon kepala/wakil kepala daerah yang memperoleh lebih dari 50% suara
merupakan calon pasangan kepala/wakil kepala daerah terpilih.

Setelah bentuk dari konstitusi negara kembali pada Undang-Undang 1945, terbitlah suatu
bentuk undang-undang yang mengatur akan mekanisme dan peraturan pengangkatan kepala
daerah. Kepala daerah dalam hal ini diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atau Menteri
Dalam Negeri. DPRD (Dewan Perakilan Rakyat Daerah) dalam pelaksanaannya hanya
memiliki suatu bentuk tugas untuk mengajukan suatu nama, dan yang pada keputusan
finalnya yang menentukan adalah Presiden atau Menteri Dalam Negeri sesuai tingkatan
masing-masing.

Posisi dari pemerintah pusat atas pemerintah daerah dalam hal ini semakin kuat setelah terbit
Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965, yang dalam hal ini kemudian menyusul Dekrit
Presiden pada 5 Juli 1959. Dalam peraturan undang-undang ini, kepala daerah diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden atau Menteri Dalam Negeri melalui calon-calon yang diajukan
DPRD.

Pemerintah pusat makin mengendalikan daerah setelah status kedudukan kepala daerah
ditetapkan sebagai pegawai negara. Seorang kepala daerah tidak dapat diberhentikan oleh
DPRD. Pemberhentian kepala daerah merupakan kewenangan penuh Presiden untuk
gubernur, dan Menteri Dalam Negeri untuk bupati atau wali kota.

Pemilihan kepala daerah mengandung kelemahan, karena dalam mekanisme rekrutmen calon
ditemukan banyak praktik politik uang. Calon kepala dareah selalu mengobral uang untuk
membeli suara para anggota DPRD dalam pemilihan. Selain itu, mengumbar uang untuk
membiayai kelompok-kelompok tertentu sebagai cara menciptakan opini publik.

Meski begitu, pemilukada dalam hal ini langsung tak serta-merta diterapkan karena suatu
bentuk Undang-Undang itu terlebih dahulu diuji materi (judicial review), lalu diterbitkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 3 Tahun 2005, yang
berimplikasi pada perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang pedoman
pelaksanaan pemilukada langsung menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005.

Setelah itu, Pilkada dilaksanakan secara langsung. Para calon adalah pasangan calon yang
diusulkan partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh dukungan minimal 15
persen kursi DPRD atau dari akumulasi perolehan suara sah pada Pemilu Legislatif. Peranan
partai adalah mendukung dalam hal kampanye damai.Dalam kedudukannya sebagai pilar
demokrasi, peran partai politik dalam sistem perpolitikan nasional merupakan wadah seleksi
kepemimpinan nasional dan kepemimpinan daerah. Pengalaman dalam rangkaian
penyelenggaraan seleksi kepemimpinan nasional dan kepemimpinan daerah melalui Pemilu
membuktikan keberhasilan partai politik sebagai pilar demokrasi.

G. PERTANGGUNG JAWABAN KEPALA DAERAH

Kepemimpinan sulit didefinisikan secara tepat. Oleh karena itu, banyak pakar mencoba
memperkenalkan defenisinya sesuai versi masing-¬masing. Misalnya, John priffner dalam
Miftah Thoha (1994:46) memberikan defenisi kepemimpinan sebagai berikut :
“kepemimpinan adalah seni untuk mengkoordinasikan dan memberikan dorongan terhadap
individu atau kelompok untuk mencapai tujuan yang di inginkan.

Kepemimpinan otokratis adalah kepemimpinan yang lebih menganggap organisasi sebagai


milik pribadi yang oleh orang lain hanya sebagai pelaksanaan atau hanya bekerja untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam organisasi. Adapun ciri-ciri dari tipe
kepemimpinan otokratis adalah sebagai berikut :

A. Mengidentikkan antara tujuan pribadi dengan tujuan organisasi sama.


B. Menganggap organissi sebagai milik pribadi.
C. Menganggap bawahan sebagai alat semata-mata,
D. Tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat,
E. Terlalu bergantung kepada kekuasaan formalnya.
F. Dalam tindakan pergerakannya sering menggunakan approach yang mengandung
unsur paksaan dan punitif (bersifat menghukum).

Dasar Hukum Pertanggungjawaban Kepala Daerah Dalam Pelaksanaan APBD tercantum


dalam UU No 17 Tahun 2003 pada pasal 31 ayat 1 dan 2, yang berbunyi :
1. Gubernur/Bupati/Walikota menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang
telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan
setelah tahun anggaran berakhir.
2. Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBD,
Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan
laporan keuangan perusahaan daerah.
3. Kedudukan Kepala Daerah dalam Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD tercantum
Dalam UU No 32 Tahun 2004 pada pasal 184 ayat 1 sampai 3, yang berbunyi:
1. Kepala daerah menyampaikan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh
Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat  6 (enam) bulan setelah tahun anggaran
berakhir.
2. Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi
laporan realisasi APBD, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan,
yang dilampiri dengan laporan keuangan badan usaha milik daerah.
3. Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dan disajikan sesuai
dengan standar akuntansi pemerintahan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pertanggungjawaban Kepala Daerah dinilai berdasarkan tolok ukur Renstra, dan setiap
Kepala Daerah wajib menerapkan Renstra yang dibuat 1 (satu) bulan setelah Kepala Daerah
dilantik dan Renstra tersebut ditetapkan dengan Perda (Peraturan Daerah).

Dengan berlakunya Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
pertanggungjawaban Kepala Daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 27 ayat (2)
Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 dikenal dengan Laporan Keterangan
Pertanggungjawaban (LKPJ). Hal ini berbeda dengan Undang-undang Pemerintahan Daerah
sebelumnya yang dikenal dengan laporan pertanggungjawaban (LPJ).

Ketentuan ini mengamanatkan bahwa seorang Kepala Daerah diberikan kewajiban untuk
mempertanggungjawabkan atas penyelenggaraan pemerintah di daerah kepada Pemerintah
(dalam hal ini Pemerintah Pusat) serta memberikan laporan pertanggungjawaban kepada
DPRD yang bersangkutan.

Kemudian lebih lanjut dikatakan pula pada Pasal 27 ayat (2) “Laporan penyelenggaraan
pemerintahan daerah kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud ayat (2) disampaikan pada
Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur dan kepada Menteri Dalam Negeri
melalaui Gubernur untuk Bupati/Walikota satu kali dalam satu tahun”.

Demikian pula karena sifatnya memberikan penjelasan atas penyelenggaraan pemerintahan


di daerah serta pelaksanaan APBD, dalam penyampaiannya dilakukan secara menyeluruh
terhadap hak dan kewajiban yang dimiliki oleh Kepala Daerah dalam laporan keterangan
pertanggungjawaban yang diatur oleh Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam hal
ini tidak bisa ditolak atau diterima oleh DPRD karena sifatnya hanya keterangan. Begitu pula
tidak dapat dijadikan tolok ukur untuk pemberhentian Kepala Daerah atas laporan
keterangan pertanggunjawaban tersebut.

Kewajiban Kepala Daerah tidak hanya memberikan Laporan Keterangan


Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tetapi juga
wajib memberikan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada
masyarakat sebagai aturan pelaksanaannya. Pada dasarnya Kepala Daerah bekerja untuk
kesejahteraan rakyak sebagaimana amanat Undang - Undang Dasar 1945.

Oleh karenanya Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah hanya diwajibkan memberikan
Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (ILPPD) kepada masyarakat
sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat (2) yang kemudian dijabarkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah kepada masyarakat sebagai aturan pelaksanaannya.

Dengan menyampaikan ILPPD kepada masyarakat bersamaan dengan penyampaian LPPD


kepada Pemerintah, maka dapat diartikan Kepala Daerah tersebut telah memenuhi
kewajibannya kepada masyarakat dan kepada Pemerintah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Atau dengan kata lain Kepala Daerah tersebut telah memberikan hak
masyarakat dan sebagai wujud pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya dalam
penyelenggaraan pemerintahan didaerahnya yang diberikan oleh masyarakat pada waktu
Pemilihan Kepala Daerah.

Dalam peraturan perundangan disebutkan bahwa masyarakat dapat memberikan tanggapan


terhadap ILPPD yang diterimanya dari Kepala Daerah sebagai umpan balik atau masukan
bagi Kepala Daerah dalam memperbaiki dan meningkatkan kinerjanya pada periode
berikutnya. Dengan demikian akan terjalin komunikasi intensif antara masyarakat dan
Kepala Daerah yang pada gilirannya nanti akan berakibat meningkatnya peranserta
masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Akan tetapi banyak Kepala Daerah, baik Gubernur, Bupati maupun Walikota yang kurang
memperhatikan arti pentingnya penyampaian ILPPD kepada masyarakat. Kebanyakan
mereka lebih condong untuk menyampaikan LPPD kepada pemerintah, padahal yang
memilih seseorang menjadi Gubernur, Bupati maupun Walikota adalah rakyat di daerah
yang bersangkutan dan bukanlah pemerintah.

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah hanya diwajibkan memberikan Informasi Laporan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (ILPPD) kepada masyarakat sebagaimana diatur
dalam pasal 27 ayat (2) yang kemudian dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3
Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Pemerintah,
Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada masyarakat.

H. KEUANGAN DAERAH

Dengan adanya reformasi dibidang keuangan negara seperti terbitnya UU RI No. 17 Tahun
2003 tentang keuangan negara, dan UU lainnya seperti Tersebut di atas dan termasuk juga
pengaturan sistem pengelolaan keuangan daerah yang telah tergabung di dalam sistem
keuangan negara.

Dalam penjelasan atas UU RI No. 17 Tahun. 2003 tidak dimuat uraian mengenai dasar
pemikiran, ruang lingkup maupun kekuasaan atas pengelolaan keuangan daerah dalam
kaitannya dengan upaya penyatuan peraturannya. tetapi yang dimuat hanya menyangkut
sebagian dari keuangan daerah yakni tentang penyusunan dan penetapan APBD Penggunaan
istilah keuangan daerah tidak konsisten, Contoh, UU RI No. 17 Tahun. 2003 dalam bab satu,
ketentuan umum, sama sekali tidak dimuat pengertian dan istilah keuangan daerah. tetapi
dalam bab-bab dan pasal-pasal berikutnya, istilah keuangan daerah digunakan juga, lihat
pasal 6 ayat (2) huruf c; dalam pasal 10 bahkan ada istilah pejabat pengelola keuangan daerah

Dalam UU RI No. 1 Tahun. 2004 pejabat pengelola keuangan daerah hanya berfungsi sebagai
pelaksana pengelolaan APBD, sementara gubernur, bupati dan walikota tidak dinyatakan
sebagai pejabat penanggung jawab atas pengelolaan keuangan daerah (pasal 1 angka 19 dan
21 UU RI No. 1 Tahun. 2004). jadi dalam pelaksanaannya wajar jika ada anggapan bahwa
pengelolaan keuangan daerah bukan wewenang kepala daerah.
Salah satu kendala keterlambatan dalam pelaksanaan APBD maupun penyusunan
perencanaan anggaran oleh pemerintah daerah adalah tidak sinkronnya waktu dari tahun
anggaran. jika penyusunan anggaran pemerintah pusat adalah pada triwulan ke-empat tahun
anggaran berjalan tapi penyusunan anggaran pemerintah daerah barulah bisa dilakukan pada
triwulan ke-satunya, masuk diawal tahun anggaran barunya.

Dalam hal penyusunan perencanaan anggaran daerah, pemerintah daerah ‘sangat’ terkait
dengan perolehan ‘kepastian’ besaran alokasi dana apbn. kepastian dana alokasi ini umumnya
baru dapat diketahuinya pada bulan terakhir dari tahun anggaran berjalan, yakni sekitar bulan
desember. setelah itu, pemerintah daerah baru dapat memulai penyusunannya, selesainya
kira-kira satu triwulan.

Lalu rancangan anggaran daerah yang telah mendapat persetujuan dprd, masih harus melalui
proses evaluasi oleh menteri dalam negeri untuk RAPBD pemerintahan provinsi atau
gubernur untuk RAPBD pemerintahan kabupaten/kota (PP RI No. 58 Tahun 2005 Pasal 47
ayat (1) dan Pasal 48 ayat (1). Hal ini membuat semakin lambatnya pemerintah daerah
melaksanakan anggarannya.

Pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan keuangan daerah UU RI No. 15 Tahun.
2004 merupakan dasar hukum bagi BAPAK dalam melakukan pemeriksaan atas pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara, lalu bagaimana dengan kewenangan pemeriksaan atas
pengelolaan keuangan daerah (UU RI No. 15 Tahun. 2004 pasal 2 ayat (1) dan pasal 17 ayat
(2) karena dalam UU ini tidak ada sama sekali menyebut istilah keuangan daerah, hanya
menggunakan istilah keuangan pemerintah daerah).

Karena lingkup pemeriksaan keuangan negara maupun keuangan daerah sangat besar, maka
BAPAK jelas tidaklah sanggup dan mampu melaksanakannya. sebaiknya UU ini direvisi
dengan memuat juga peran dari aparat-aparat pengawasan intern pemerintah pusat dan
pemerintah daerah (tersirat pada UU RI No. 15 Tahun. 2004 pasal 9 ayat (1)). sehingga
BAPAK dapat menjalin sistem koordinasi dan pendistribusian kewenangan tugas
pemeriksaan dengan aparat-aparat pengawas.

Dalam UU RI No. 17 Tahun. 2003 materi pasal 27 pasal 28 tidak jelas dan tidak sesuai
dengan judul Bab. apakah bentuk laporan realisasi masuk laporan pertanggung jawaban.
Dalam upaya penyempurnaan peraturan perundang-undangan dibidang keuangan negara,
maka peran BAPAK sangat diharapkan dapat menjadi sponsor dan mediator berbagai pihak
baik pemerintah pusat, departemen keuangan, departemen dalam negeri atau instansi lainnya,
maupun pemerintah-pemerintah daerahnya.karena BAPAK sudah dan lebih mengetahui
dinamika lapangan saat pelaksanaan pengelolaan keuangan negara dan keuangan daerah
dengan berbagai permasalahan yang ditemukannya.

Maksud diterbitkannya pengaturan keuangan negara ini adalah menyatukan sistem keuangan
negara yang dikelola pemerintah pusat dengan sistem keuangan daerah yang dikelola
pemerintah daerah. karena itu, dalam UU RI No. 17 Tahun. 2003 sebenarnya sudah dimuat
materi-materi keuangan daerah, seperti tentang APBD, penerimaan, pengeluaran, pendapatan,
dan belanja daerah, termasuk adanya istilah keuangan daerah.

I. PENGAWASAN

Penyerahan, pelimpahan dan penugasan kewenangan kepada pemerintah daerah dari waktu
ke waktu selalu mengalami dinamika yang secara langsung mempengaruhi konsep hubungan
pusat dan daerah dalam pelaksanaan pemerintahan. Terkadang, daerah diposisikan hanya
sebagai “wakil” pemerintah pusat di daerah dan bukan sebagai “institusi otonom” yang
berfungsi sebagai penyalur aspirasi rakyat di daerah

Dalam konsep otonomi daerah pelaksanaan pengawasan tidak boleh mengakibatkan


pengurangan atau penggerogotan terhadap nilai-nilai yang berlaku dan terkandung dalam
dasar-dasar desentralisasi yaitu kebebasan dan inisiatif daerah dalam berprakarsa. Tanpa
pengawasan yang tepat maka disinyalir akan dapat mengakibatkan terancamnya brandol
kesatuan NKRI, dan kalau pengawasan terlalu kuat justru akan membuat nafas desentralisasi
menjadi tersengal-sengal.

Dalam era otonomi daerah sekarang, ada kecenderungan otonomi ditafsirkan sebagai
kebebasan daerah untuk melakukan apa saja tanpa campur tangan Pemerintah Pusat. Padahal
dalam negara kesatuan, Pemerintah Daerah merupakan subordinasi dari Pemerintah Pusat
dimana pada tingkat terakhir Pemerintah Pusat-lah yang akan mempertanggungjawabkan
segala sesuatunya kepada Parlemen. Kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat harus tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Untuk itu perlu adanya pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dalam Undang-undang telah dinyatakan
dilakukan dengan dua cara yaitu dengan preventif dan represif.

Pengawasan represif yang dilakukan dalam bentuk pembatalan Peraturan Daerah dapat
dilakukan baik oleh Pemerintah Pusat maupun oleh Mahkamah Agung. Oleh Mahkamah
Agung dilakukan melalui penggunaan hak uji materiil dengan dasar pengujian peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Tetapi melalui Pasal 24 Amandemen Ketiga UUD
1945 dinyatakan bahwa dasar pengujian yang dapat digunakan Mahkamah Agung hanyalah
Undang-Undang. Berbeda dengan pengawasan oleh Pemerintah Pusat yang menggunakan
dasar pengujian yang lebih luas yakni atas dasar bertentangan dengan peraturan perundangan
yang lebih tinggi dan bertentangan dengan kepentingan umum.

Dalam proses implementasinya, Pemerintah Pusat tidak langsung membatalkan Perda yang
dianggap bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi dan
kepentingan umum, melainkan mengembalikannya terlebih dahulu kepada Pemerintah
Daerah untuk direvisi ataupun dicabut. Dengan demikian Pemerintah telah memperluas
prosedur/mekanisme pembatalan yang telah diatur dalam Pasal 145 UU No. 32 Tahun 2004

Di sisi lain, sebagian pihak mensinyalir bahwa berbagai upaya pengawasan yang telah
dilakukan selama ini memberikan hasil yang cukup baik, dalam artian dapat memberikan
sikap kehati-hatian dan disiplin terhadap aturan yang berlaku. Selanjutnya yang dibutuhkan
hanyal optimalisasi dan kesungguhan aparat pengawasan pada seluruh jenjang/strata menurut
tugas, fungsi dan tanggung jawab masing-masing.

Berpijak pada fenomena pengawasan yang ada dewasa ini, yang terkesan belum dilakukan
dengan maksimal terkait dengan mekanisme maupun implikasi logisnya pada pelaksanaan
pemerintahan daerah, maka perlu kiranya pemerintah pusat melakukan restrukrurisasi
sistematika pengawasan baik dalam aspek organisasi maupun administrasi. Pada hematnya
hal ini dapat dilakukan melalui (1) penguatan kelembagaan Bawasda (Inspektorat) sesuai
dengan ketentuan yang berlaku sebagai auditor internal pemerintah daerah yang mendorong
terwujudnya tata kepemerintahan yang baik (good governance); (2) pembagian sasaran audit
reguler terpadu dan prioritas berdasarkan pendekatan indikator kinerja tahunan secara
berjenjang sehingga mereduksi duplikasi atau tumpang tindih audit; dan (3) penguatan
kapasitas APIP untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi auditor atau pemeriksa.
Pengawasan represif adalah bentuk pengawasan yang dilaksanakan setelah
keputusan/ketentuan itu dilaksanakan. Wujudnya adalah berupa tindakan membandingkan
apakah pekerjaan yang sedang/telah dilaksanakan menurut kenyataan telah sesuai dengan
ketentuan-ketentuan atau prosedur-prosedur yang berlaku/ditetapkan. Dalam konsep otonomi
daerah maka jenis pengawsan ini dipahami sebagai pengawasan yang berupa penangguhan
atau pembatalan terhadap kebijakan yang telah ditetapkan daerah baik berupa Peraturan
Daerah, Peraturan Kepala Daerah, Keputusan DPRD, maupun Keputusan Pimpinan DPRD
dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah maka pengawasan merupakan hal yang
bersifat kontinum dari longgar ke ketat. Makin ketat pengawasan makin kecil otonomi
daerah, sebaliknya makin longgar pengawasan makin besar otonomi daerah. Sejalan dengan
paradigma demokratisasi pada pemerintahan daerah maka pengawasan tidak lagi dilakukan
secara ketat tapi di tengah-tengah. Dengan demikian, diharapkan daerah tetap dapat
mengembangkan otonominya dan tetap dalam bingkai NKRI.

Dalam UU No. 32 Tahun 2004, pengawasan dapat dilihat dalam beberapa hal yaitu evaluasi
rancangan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah tentang APBD, perubahan APBD
dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan rancangan Perda Provinsi tentang APBD
yang telah disetujui bersama dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD
sebelum ditetapkan oleh gubernur disampaikan kepada Mendagri untuk dievaluasi. Hasil
evaluasi kemudian disampaikan oleh Mendagri kepada gubernur.

Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintah daerah dilaksanakan oleh pemerintah pusat.


Koordinasi dilakukan secara berkala pada tingkat nasional, regional dan provinsi. Pemberian
pedoman dan standar mencakup aspek perencanaan, pelaksanaan, tata laksana, pendanaan,
kualitas, pengendalian dan pengawasan, pemberian bimbingan, sipervisi dan konsultasi
dilaksanakan secara berkala dan sewaktu-waktu, baik secara menyeluruh kepada seluruh
daerah maupun kepada daerah tertentu sesuai dengan kebutuhan

Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh pemerintah (pusat)


yaitu oleh aparat pengawas intern pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal ini pemerintah berkewajiban memberikan penghargaan dalam menyelenggarakan
pemerintahan daerah (Pasal 185 UU No 33 Tahun 2004). Sedangkan sanksi diberikan
pemerintah dalam rangka pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sanksi dapat
diberikan kepada pemerintahan daerah, kepala daerah atau wakil kepala daerah, anggota
DPRD, perangkat daerah, PNS daerah, dan kepala desa. Hasi lpembinaan dan pengawasan
digunakan sebagai bahan pembinaan selanjutnya oleh pemerintah dan dapat digunakan
sebagai bahan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah secara nasional


dikoordinasikan oleh Mendagri. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan
daerah untuk kabupaten/kota dikoordinasikan oleh gubernur. Pembinaan dan pengawasan
untuk penyelenggaraan pemerintahan desa dikoordinasikan oleh Bupati/Walikota. Bupati dan
walikota dalam pembinaan dan pengawasan dapat melimpahkannya pada camat. Pedoman
pembinaan dan pengawasan yang meliputi standar, norma, prosedur, penghargaan dan sanksi
diatur dalam peraturan pemerintah

Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang
dilakukan oleh pemerintah dan atau gubernur selaku wakil pemerintah di daerah untuk
mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam rangka pembinaan
oleh pemerintah, menteri dan pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen melakukan
pembinaan sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh
Mendagri untuk pembinaan dan pengawasan provinsi serta oleh gubernur untuk pembinaan
dan pengawasan kabupaten/kota.

Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang


ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daeah berjalan sesuai dengan rencana dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan yang dilaksanakan oleh
pemerintah terkait dengan penyelengaraan urusan pemerintahan dan utamanya terhadap
peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Dalam hal pengawasan terhadap rancangan
peraturan daerah dan peraturan daerah, pemerintah melakukan dengan dua cara yaitu:

. Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah (Raperda) yaitu terhadap rancangan


peraturan daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RUTR
sebelum disahkan oleh kepala daerah, terlebih dahulu dievaluasi oleh Mendagri untuk
Raperda Provinsi dan oleh gubernur terhadap Raperda kabupaten/kota. Mekanisme ini
dilakukan agar pengaturan tentang hal-hal tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil
guna yang optimal.
. Pengawasan terhadap semua peraturan daerah di laur yang termasuk dalam angka 1,
yaitu setiap peraturan daerah wajib disampaikan pada Mendagri untuk provinsi dan
gubernur untuk kabupaten/kota untuk memperoleh klarifikasi. Terhadap peraturan daerah
yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi dapat
dibatalkan sesuai dengan mekanisme yang berlaku.

Pengawasan dan pengendalian (controlling) dapat dimaknai sebagai aktivitas pokok dalam
manajemen yang disertai tindakan lanjutan dengan tujuan agar pelaksanaan pemerintahan
berlangsung dengan efisien, efektif dan etis untuk mencapai sasaran menurut rencana yang
telah ditetapkan dengan hasil yang dikehendaki.  engawasan yang ada dewasa ini dari
pemerintah pusat terhadap pemerintahan daerah, terkesan belum dilakukan dengan maksimal.
Sepanjang pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia pengawasan pernah dilakukan dengan
tiga cara yaitu pengawasan secara umum, preventif dan refresif. Pengawasan pemerintah
pusat terhadap pemerinta daerah menurut UU No 33 Tahun 2004 dilakukan dengan dua jenis
pengawasan yaitu preventif dan refresif.

Undang – Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 57 Penyelenggara
Pemerintahan Daerah provinsi dan kabupaten/kota terdiri atas kepala daerah dan DPRD
dibantu oleh Perangkat Daerah. Dengan asas kepastian hukum; b. tertib penyelenggara
negara; c. kepentingan umum; d. keterbukaan; e. proporsionalitas; f. profesionalitas; g.
akuntabilitas; h. efisiensi; i. efektivitas; dan j. keadilan.

DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah mempunyai peran penting dalam tata
kelola pemerintahan Daerah , melalui partai Politik mewakili masyarakat mengupayakan
Demokrasi dan mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan Efisiensi salah satunya melalui
Fungsi pengawasan, tentu dalam menjalankan Fungsi Pengawasan ini ada juga batasan –
batasan yg perlu diperhatikan sebagimana ketentuan Pasal 153 UU.23 tahun 2014 Mengatur
Bentuk pengawasan yg dilakukan Oleh DPRD dan kita anggap sebagai bagian dari batasan –
batasan itu sendiri

Sebab sebagaimana diatur dalam Pasal 9 sampai Pasal 10 UU No. 23 tahun 2014 ada yg
menjadi batasan – batasan kewenangan daerah dan Kewenangan Pusat diataur secara jelas
dimana urusan pemerintahan absolut, (Urusan pemerintahan Pusat) urusan pemerintahan
kongkuren, (dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah) dan urusan
pemerintahan umum (kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan).

Proses pengawasan merupakan hal penting dalam menjalankan kegiatan organisasi, oleh
karena itu setiap pimpinan harus dapat menjalankan fungsi pengawasan sebagai salah satu
fungsi manajemen. Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan organisasi terhadap 
setiap pegawai yang berada dalam organisasi adalah wujud dari pelaksanaan fungsi
administrasi dari pimpinan organisasi terhadap para bawahan, serta mewujudkan peningkatan
efektifitas, efisiensi, rasionalitas, dan ketertiban dalam pencapaian tujuan dan pelaksanaan
tugas organisasi. Pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan organisasi akan memberikan
implikasi terhadap pelaksanaan rencana akan baik jika pengawasan dilakukan secara baik,
dan tujuan baru dapat diketahui tercapai dengan baik atau tidak setelah proses pengawasan
dilakukan. Dengan demikian peranan pengawasan sangat menentukan baik buruknya
pelaksanaan suatu rencana.

Dalam UU No.32 Tahun 2004 memposisikan masalah pengawasan dan pembinaan dalam
satu paket. Dalam rangka mengoptimalkan fungsi pengawasan dan pembinaan Pemerintah
dapat menerapkan sanksi kepada penyelenggara pemerintahan daerah apabila terdapat
penyimpangan dan pelanggaran oleh penyelenggara pemerintahan daerah tersebut. Jadi
pengawasan terhadap daerah harus dalam rangka pembinaan terhadap daerah itu sendiri agar
tujuan pemberian otonomi kepada daerah sesuai dengan yang diharapkan. Sehingga
pembinaan dan pengawasan harus menjadi satu kesatuan.

Dalam rangka pelaksanaan fungsi pembinaan dan pengawasan tersebut Pemerintah Pusat
mengeluarkan PP No.79 Tahun 2005 sebagai pelaksanaan dari UU No.32 Tahun 2004.

Dalam UU No. 32 Tahun 2004 juga diatur mengenai mekanisme pembatalan Perda. Bahwa
Perda itu dapat dibatalkan dengan Perpres paling lama 60 hari sejak Perda itu diterima oleh
Pemerintah. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, perda itu dibatalkan oleh Keputusan
Mendagri. Hal ini sangat logis, pengawasan berupa pembatalan dan/atau penangguhan
peraturan perundang-undangan di tingkat daerah dilakukan oleh Mendagri untuk peraturan
yang ditetapkan ditingkat provinsidan oleh Gubernur untuk peraturan yang ditetapkan di
tingkat kabupaten/kota.

J. Peranan Otonomi Daerah Terhadap Ekonomi Daerah

Era reformasi saat ini memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional
dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembagunan secara lebih adil
dan berimbang. Perubahan paradigma ini antara lain diwujudkan melalui kebijakan otonomi
daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah diatur dalam satu paket undang-undang
yaitu UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No 25 tahun 1999 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Kebijakan pemberian otonomi daerah dan desentralisasi yang luas nyata dan bertanggung
jawab kepada daerah merupakan langkah strategis dalam dua hal. Pertama, otonomi daerah
dan desentralisasi merupakan jawaban atas permasalahan lokal bangsa Indonesia berupa
ancaman disentrgrasi bangsa, kemiskinan, ketidak merataan pembangunan, rendahnya
kualitas hidup masyarakat dan masalah pembaguna  sumber daya manusia (SDM). Kedua,
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal merupakan langkah strategis bangsa Indonesia untuk
menyongsong era globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perekonomian daerah.

Otonomi yang diberikan kepada daerah dan kota dilaksanakan dengan memberikan
kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara
proporsiona. Artinya, pelimpahan tanggung jawab akan diikuti oleh pengaturan, pembagian,
dan pemamfaatan dan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah.

Hal-hal yang mendasar pada undang-undang ini adalah kuatnya upaya untuk mendorong
pemberdayaan masyarakat, perkembangan prakarsa dan kreativitas, peningkatan peran serta
masyarakat, dan pengembangan peran dan fungsi DPRD. UU ini memberikan otonomi secara
penuh kepada daerah kabupaten dan kota untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan
menurut prakarsa dan aspirasi masyarakatnya. Artinya, saat sekarang daerah sudah di berikan
kewenagan penuh untuk merencanakan, melaksanakan, mengawasi, mengendalikan dan
mengevaluasi kebijakan-kebijakan daerah. Dengan semakin besarnya partsipasi masyarakat
ini, desentralisasi kemudian akan mempengaruhi komponen kualitas pemerintahan lainnya.
Salah satunya berkaitan dengan pergeseran orientasi pemerintah dari command and control
menjadi berorientasi pada tuntutan dan kebutuhan publik. Orientasi yang seperti ini kemudian
akan menjadi dasar bagi pelakasanaan peran pemerintah sebagai stimulator, fasilitator,
koordinator dan entrepreneur (wirausaha ) dalam proses pembangunan.

Maka dengan demikan jelas bahwa peran otonomi daerah sangat besar terhadap
perkembangan ekonomi daerah karena otonomi daerah membeikan kewenangan bagi daerah
untuk mengelola segala potensi yang ada dalam daerahnya masing-masing. Hal ini akan
menstimulan masyarakat daerah itu sendiri untuk berbuat lebih maju agar daerahnya sendiri
dapat maju dan berkembang.
K. Bagaimana Otonomi Daerah Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi
Suatu Daerah

Pemberian otonomi daerah di harapkan dapat meningkatkan efisiensi, efekivitas, dan


akuntanbilitas sektor publik di Indonesia. Dengan otonomi, daerah di tuntut untuk mencari
alternative sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masi adanya
bantuan dan bagian sharing dari pemerintah pusat dan mengunakan dana publik sesuai
dengan prioritan dan aspirasi masyarakat.

Dengan kondisi seperti ini, peran investasi swasta dan perusahaan milik daerah sangat di
harapkan sebagai pemicu utama pertumbuhandan pembagunan ekonomi daerah. Daerah juga
di harapkan mampu menarik investor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah serta
menimbulka efek multiplier yang besar.

Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam
pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan
partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan
dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, yaitu :

1. Menciptakan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya daerah


2. Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat
3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta
( berpartisipasi) dalam proses pembagunan.

Globalisasi ekonomi telah meningkatkan persaingan antar Negara dalam suatu sistem
ekonomi internasional. Salah satu dengan cara menghadapi dan memamfaatkan perdagangan
internasional adalah meningkatkan daya saing melalui peningkatan efisiensi dan
produktivitas kerja. Sebagai langkah awal untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas,
perlu dilakukan perubahan struktual untuk memperkuat kedudukan dan peran ekonomi rakyat
dalam perekonomian nasional.

Menurut Mardiasmo (2002), ” Perubahan struktual adalah perubahan dari ekonomi


tradisional yang subsistem menuju ekonomi yang modern yang berorientasi pada pasar”.
Untuk mendukung perubahan struktual dari ekonomi tradisional yang subsistem menuju
ekonomi yang modern ini di perlukan pengalokasian sumber daya, penguatan kelembagaan,
penguatan teknologi pembagunan sumber daya manusia. Langkah-langkah yang perlu
diambil dalam mewujudkan kebijakan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Pemberian peluang atau skes yang lebih besar kepada asset prosuksi, yang paling
mendasar adalah askes pada dana.
2. Memperkuat posisi transaksidan kemitraan usaha ekonomi rakyat.
3. Meningkatkan pelayanan pendidikan  dan kesehatan dalam rangka kualitas sumber
daya manusia, disertai dengan upaya peningkatan gizi
4. Kebijakan pengembangan industri harus mengarah pada penguatan industri rakyat yang
terkait dengan industri besar. Industri rakyat yang berkembang menjadi industri-
industri kecil dan menengah yang harus kuat menjadi tulang punggung industri
nasional.
5. Kebijakan ketenagakerjaan yang mendorong tumbuhnya tenaga kerja yang mandiri
sebagai cikal bakal wirausaha baru yang nantinya berkembang menjadi wirausaha kecil
dan menengah yang kuat dan saling menunjang.
6. Pemerataan pembagunan antar daerah. Ekonomi rakyat tersebut tersebar di seluruh
penjuru tanah air.

Oleh karena itu pemerataan pembagunan daerah diharapkam mempengaruhi peningkatan


pembaguna ekonomi rakyat.

L. DASAR HUKUM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI


INDONESIA

Dasar Hukum Otonomi Daerah berpijak pada dasar Perundang-undangan yang kuat, yakni :

1. Undang-undang Dasar. Sebagaimana telah disebut di atas Undang-undang Dasar 1945


merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pasal 18
UUD menyebutkan adanya pembagian pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah.
2. Ketetapan MPR-RI Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan
Otonomi Daerah : Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional
yang berkeadilan, erta perimbangan kekuangan Pusat dan Daerah dalam rangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Undang-Undang Undang-undang N0.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada
prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih
mengutamakan pelaksanaan asas Desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam UU
No.22/1999 adalah mendorong untuk pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan
prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran masyarakat, mengembangkan peran dan
fungsi DPRD.

Dari ketiga dasar perundang-undangan tersebut di atas tidak diragukan lagi bahwa
pelaksanaan Otonomi Daerah memiliki dasar hukum yang kuat. Tinggal permasalahannya
adalah bagaimana dengan dasar hukum yang kuat tersebut pelaksanaan Otonomi Daerah bisa
dijalankan secara optimal.

Pokok-Pokok Pikiran Otonomi Daerah isi dan jiwa yang terkandung dalam Pasal 18 UUD
1945 beserta penjelasannya menjadi pedoman dalam penyusunan UU No. 22/1999 dengan
pokok-pokok pikiran sebagai berikut :

1. Sistim ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip-prinsip pembagian


kewenangan berdasarkan asas konsentrasi dan desentralisasi dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
2. Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah
daerah propinsi, sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi
adalah daerah Kabupaten dan daerah Kota. Daerah yang dibentuk dengan asas
desentralisasi berwenang untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan atas
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
3. Pembagian daerah diluar propinsi dibagi habis ke dalam daerah otonom. Dengan
demikian, wilayah administrasi yang berada dalam daerah Kabupaten dan daerah
Kota dapat dijadikan Daerah Otonom atau dihapus.
4. Kecamatan yang menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 sebagai wilayah
administrasi dalam rangka dekonsentrasi, menurut UU No 22/99 kedudukanya diubah
menjadi perangkat daerah Kabupaten atau daerah Kota.

M.Praktek Otonomi Daerah di Indonesia

Praktek Otonomi Daerah di Indonesia akan dikatakan berhasil apabila adanya kemajuan-
kemajuan yang dapat diukur dengan parameter kehidupna politik, kehidupan ekonomi, dan
pelayanan publik. Kemajuan daerah dapat diukur dari parameter kehidupan ekonomi, layanan
publik dan performa politik. Namun untuk mencapai suatu kemajuan daerah diperlukan suatu
inovasi yang berkelanjutan dan didukung oleh semua pihak. Selain itu juga dibutuhkan
adanya suatu proses inovasi dari pencetus inisiator dan keputusan serta pelaksana sangat di
dominasi oleh Kepala Daerah. Untuk menjamin agar pelaksanaan otonomi daerah benar-
benar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, maka segenap lapisan
masyarakat baik mahasiswa, LSM, Pers maupun para pengamat harus secara terus menerus
memantau kinerja Pemda dengan mitranya DPRD agar tidak disalahgunakan untuk
kepentingan mereka sendiri, transparansi, demokratisasi dan akuntabilitas harus menjadi
kunci penyelenggaraan pemerintahan yang baik good government dan Clean government.
Suatu daerah akan dikatakan berhasil dalam praktek otonomi daerah dapat dilihat dari
parameter berikut ini , antara lain :
1. Ekonomi, Kemampuan Pemda untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.
2. Layanan Publik, Layanan publik yang baik (pendidikan, kesehatan, adm
kependudukan)
3. Performa Politik, Kesinambungan, sinkronisasi antar lembaga politik, keharmonisan
demi kelancaran pemerintahan daerah.

N. Kewenangan Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah

Dalam susunan pemerintahan di negara kita ada Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/kota, serta Pemerintahan Desa. Masing-
masing pemerintahan tersebut memiliki hubungan yang bersifat hierakhis. Dalam UUD
Negara Indonesia tahun 1945 ditegaskan, bahwa hubungan wewenang antara pemerintah
pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan
kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah (Pasal 18 A (1)). Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang (Pasal 18 A (2)).
Berdasarkan kedua ayat tersebut dapat dijelaskan, bahwa:
1. Antar susunan pemerintahan memiliki hubungan yang bersifat hierarkhis;

2. Pengaturan hubungan pemerintahan tersebut memperhatikan kekhususan dan


keragaman daerah;
3. Pengaturan hubungan sebagaimana disebutkan pasal 18A ayat (1) diatur lebih lanjut
dalam UU Republik Indonesia No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

4. Antara Pemerintah Pusat dan pemerintahan daerah memiliki hubungan keuangan,


pelayanan umum, dan pemanfaatan sumber daya;

5. Pengaturan hubungan sebagaimana disebutkan pasal 18A ayat (2) diatur lebih lanjut
dalam UU Republik Indonesia No.33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan
antara Pemerintah Pusat dan pemerintahan daerah.

Kewenangan provinsi diatur dalam Pasal 13 UU No. 32 Tahun 2004 dapat diuraikan sebagai
berikut :

. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah propinsi meliputi :

a. perencanaan dan pengendalian pembangunan


b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengwasan tata ruang
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
d. penyediaan sarana dan prasarana umum
e. penanganan bidang kesehatan
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial
g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/ kota
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah termasuk lintas
kabupaten/kota
j. pengendalian lingkungan hidup
k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/ kota
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan
n. pelayanan administrasi penanaman modal, termasuk lintas kabupaten/kota
o. penyelenggraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh
kabupaten/kota, dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

. Urusan pemerintahan propinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan


yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sesuai dengan kondisi kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan
Kewenangan kabupaten/kota diatur dalam pasal 14 yang dapat diuraikan sebagai
berikut :

a. perencanaan dan pengendalian pembangunan


b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengwasan tata ruang
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat
d. penyediaan sarana dan prasarana umum
e. penanganan bidang kesehatan
f. penyelenggaraan pendidikan
g. penanggulangan masalah sosial
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah
j. pengendalian lingkungan hidup
k. pelayanan pertanahan
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan
n. pelayanan administrasi penanaman modal,
o. penyelenggraan pelayanan dasar lainnya dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

O. Mekanisme dan Implementasi Otonomi daerah

Kebijakan otonomi daerah tidak hanya menyangkut ruang lingkup penyelenggaraan


pemerintahan saja, namun harus bisa mendorong berlangsungnya proses otonomi masyarakat
di daerah. Masyarakat otonom adalah masyarakat mandiri, yang dapat secara bebas
menentukan sendiri pilihannya berdasarkan kebutuhan yang diperlukan dan dirasakan, seperti
memilih kepala daerah, merumuskan kebijakan pembangunan daerah dan keputusan lainnya
sesuai dengan kondisi dan kemampuan daerah.

Salah satu prasyarat untuk menciptakan kemandirian daerah adalah adanya perubahan dalam
tata pemerintahan di daerah sehingga fungsi pemerintah daerah sebagai fasilitator masyarakat
biasa optimal. Pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah kabupaten harus meminimalisir
fungsi memerintah untuk kemudian secara tegas dan jelas lebih mengedepankan fungsi
melayani dan memberikan fasilitas pada usaha-usaha pemberdayaan masyarakat.
Pemerintah kabupaten seharusnya konsisten untuk mengikuti perubahan paradigma
pemerintahan dalam melaksanakan setiap kebijakan dalam rangka pelaksanaan otonomi
daerah. Tekad ini seharusnya terwujud dalam segala bidang dan diupayakan seoptimalkan
mungkin agar bersama-sama dengan seluruh komponen masyarakat daerah mau mewujudkan
misi otonomisasi yaitu keadilan dan kesejahteraan masyarakat daerah.

P. Contoh dari Otonomi Daerah di Indonesia

Mungkin pelaksanaan otonomi daerah ini agak membingungkan pembaca. Oleh karena itu, di
bawah ini penulis sampaikan beberapa contoh otonomi daerah di Indonesia yang dapat
pembaca pelajar agar semakin memahami otonomi daerah seutuhnya. Berikut ini
pembahasannya:

1. Penentuan Nominal Upah Minimum Regional

Upah Minimum Regional atau yang biasa kita singkat sebagai UMR merupakan suatu standar
gaji bulanan terendah yang harus dipenuhi oleh instansi yang menggunakan jasa pekerja di
suatu daerah tertentu. UMR sangat penting untuk diatur oleh daerah masing-masing karena
UMR dipengaruhi oleh standar biaya hidup daerah dan tingkat keahlian dari pekerja. UMR
terdiri dari upah pokok yang di dalamnya termasuk tunjangan tetap yang lingkup berlakunya
adalah satu provinsi. UMR di tingkatan provinsi sendiri dapat kita sebut sebagai UMR tingkat
satu.

Setiap daerah memiliki UMR yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh,
UMR tertinggi di Indonesia saat ini terdapat di ibu kota negara kita, yaitu provinsi DKI
Jakarta sebesar Rp. 3.500.000. tentunya daerah lain memiliki besaran UMRnya sendiri,
bergantung pada tingkat kesejahteraan daerah dan pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.
Aturan mengenai otonomi daerah dalam penentuan besaran UMR ini terdapat di dalam
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 01/MEN/1999 tentang Upah Minimum.

2. Penentuan Besaran Pajak dan Retribusi Daerah

Pajak merupakan salah satu pemasukan paling penting bagi negara dan tentunya untuk setiap
daerah di Indonesia. kebebasan suatu daerah untuk menentukan besaran pajak dan retribusi
daerah tertuang di dalam peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Terdapat
banyak jenis dari pajak daerah yang mungkin sering kita temui di dalam kehidupan sehari-
hari, misalnya yaitu pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak
bahan bakar kendaraan bermotor, pajak air permukaan, pajak rokok, pajak hotel, pajak
restoran, pajak hiburan, pajak reklame, dan lain sebagainya.

Lain halnya dengan pajak yang sifatnya adalah suatu kewajiban bagi setiap individu, maka
retribusi daerah adalah pungutan yang dilakukan oleh daerah sebagai kompensasi atau
bayaran bagi jasa atau pemberian izin tertentu yang secara khusus diberikan dan/ atau
disediakan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan institusi, lembaga, badan atau
kepentingan perseorangan. Contoh nyata dari adanya retribusi daerah yaitu retribusi
pelayanan kesehatan, retribusi pelayanan persampahan/ kebersihan, retribusi penggantian
biaya cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil, serta berbagai jenis retribusi
daerah yang mungkin berbeda antara daerah lainnya.

3. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Sesuai Daerah

Sedari dulu kita telah menyadari bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya
dengan perbedaan atau keanekaragaman pada berbagai sektor kehidupan. Perbedaan tersebut
tentunya ada di antara seluruh daerah di Indonesia. benar, setiap daerah pastinya memiliki
aturan, norma, atau budaya masing-masing yang berbeda dan tentu perlu untuk dilestarikan
keberadaannya agar warisan bangsa tidaklah hilang. Oleh karena itu, adanya otonomi daerah
di dalam kehidupan bernegara di Indonesia membuat hal tersebut dapat dengan mudah untuk
dilakukan.
Dengan adanya otonomi daerah, maka setiap daerah dibebaskan untuk membentuk suatu
proses pembelajaran khusus yang dilakukan untuk melestarikan budaya daerah dengan tetap
menjalankan kurikulum wajib yang telah digariskan oleh pemerintah melalui dinas
pendidikan. Kita biasa mengenal contoh nyata dari sistem ini yaitu terdapat pada mata
pelajaran muatan lokal atau biasa disingkat sebagai mulok. Muatan lokal antar daerah itu
berbeda, seperti di Lampung, muatan lokal bagi siswa SD dan SMP adalah mata pelajaran
bahasa Lampung, sedangkan di Yogyakarta, mata pelajaran muatan lokal adalah pelajaran
bahasa Jawa.

4. Penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau yang biasa kita singkat dengan APBD
merupakan suatu rencana keuangan dalam periode tahunan dari pemerintah daerah di
Indonesia yang rancangan tersebut disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. APBD
merupakan salah satu contoh otonomi daerah yang sangat jelas karena penyusunan dan
pengesahannya sangat erat kaitannya dengan peraturan daerah. APBD sendiri terdiri dari
beberapa komponen, yaitu anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan.

Anggaran pendapatan ini termasuk di dalamnya adalah pendapatan asli daerah yang terdiri
dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah dan lain sebagainya.
Selain itu, terdapat pula bagian dana perimbangan yang di dalamnya termasuk Dana Bagi
Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus dan pendapatan daerah lainnya.
Anggaran belanja sendiri merupakan perencanaan keuangan yang khusus digunakan untuk
keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan di daerah.

Secara umum, penggunaan APBD adalah demi memajukan daerah sendiri dengan usaha
sebaik mungkin. Maka dari itu, mungkin di antara tiap daerah APBDnya tentu berbeda,
bergantung pada kebutuhan dan kemampuan dari daerah tersebut. Fungsi APBD yaitu adalah
untuk fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilitas
pembangunan daerah yang berkelanjutan.

5. Pengelolaan Objek Wisata Milik Daerah

Indonesia sangat kaya dengan berbagai warisan alam dan budayanya di berbagai daerah.
Kekayaan alam dan budaya ini sudah semestinya dikelola dengan baik agar tujuan
pembangunan nasional dapat tercapai dengan segera dan berkelanjutan. Salah satu contoh
dari otonomi daerah di Indonesia adalah asas desentralisasi di dalam hal pengelolaan objek
wisata milik daerah. Pengelolaan objek wisata milik daerah sepenuhnya dilakukan oleh
daerah yang terkait.

Adapun kampanye visit Indonesia juga tetap dilakukan oleh kementerian budaya dan
pariwisata. Hal ini dilakukan agar setiap potensi objek wisata di Indonesia dapat
terakomodasi dengan baik dan nama Indonesia semakin dikenal oleh dunia sebagai negara
tujuan wisata dunia terbaik. Pengelolaan objek wisata milik daerah ini juga akan membantu
suatu daerah dalam hal pendapatan daerah tersebut. Apabila sektor pariwisata dari suatu
daerah maju, maka sektor lainnya akan mengikuti kemajuan tersebut, terlebih pada sektor
ekonomi.

Sektor ekonomi akan mengalami kemajuan dengan adanya kunjungan wisata baik dari turis
domestik maupun turis asing. Hal ini dikarenakan dengan adanya kunjungan wisata, maka
rakyat dapat mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang ada
hubungannya dengan pariwisata itu sendiri, seperti penjualan oleh-oleh khas daerah atau
penyediaan jasa transportasi dan kuliner. Dengan begitu, kesejahteraan rakyat suatu daerah
akan semakin meningkat.

6. Kebebasan Pelaksanaan Kebijakan oleh Berbagai Tingkat Struktur Pemerintahan

Struktur pemerintahan di dalam suatu negara tentunya sangat kompleks dan pasti memiliki
ruang lingkup pemerintahannya sendiri. Struktur terbesar dalam pemerintahan suatu negara
adalah pemerintah pusat, sedangkan struktur yang ada di bawahnya dalam hal wewenang dan
kekuasaan adalah pemerintah daerah. Salah satu contoh otonomi daerah di Indonesia adalah
dibebaskannya pelaksanaan kebijakan oleh berbagai tingkat struktur pemerintahan.

Maksud dibebaskan disini tentu suatu kebebasan yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai
dasar Pancasila di dalam jalannya pemerintahan, yaitu kebebasan yang bertanggung jawab
dan dilaksanakan demi sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Setidaknya terdapat
empat fungsi pemerintah daerah dalam pembangunan, yaitu fungsi pemerintahan absolut,
pemerintahan wajib, pemerintahan pilihan, dan pemerintahan umum. Semua fungsi ini
dimiliki oleh setiap pemerintah daerah.
Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah daerah dapat membentuk suatu peraturan daerah
yang diperlukan dan sesuai dengan kebutuhan. Tingkatan struktur pemerintahan di daerah
sendiri terdiri dari gubernur, bupati, camat, lurah, ketua RW (Rukun Warga), hingga yang
paling kecil yaitu ketua RT (Rukun Tetangga). Semua struktur ini dibebaskan dalam hal
perumusan dan pelaksanaan kebijakan sesuai dengan cakupan wilayah kewenangan dan
kekuasaannya.

7. Penerapan Sistem Manajemen Hasil Perikanan di Nusa Tenggara Barat

Nusa Tenggara Barat atau yang biasa disingkat menjadi NTB merupakan suatu daerah
kepulauan dengan potensi hasil perikanan yang tinggi. pada awalnya, pemerintah pusat
dengan kebijakan sentralisasi (semua kebijakan di dalam seluruh wilayah negara
dikendalikan oleh pemerintah pusat) mengatur bahwa tiap-tiap perairan dan juga sumber daya
di dalam perairan tersebut adalah milik negara dan negara berhak mengatur perairan tersebut
dengan memanfaatkan pemerintah provinsi, kabupaten, sampai desa untuk mendayagunakan
perairan tersebut.

Setiap pendapatan yang diperoleh dari sumber daya perairan nantinya dikelola dan digunakan
oleh negara. di kemudian hari, setelah adanya pengaturan mengenai desentralisasi dalam
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, maka pemerintah provinsi
NTB mengesahkan sebuah Peraturan Daerah, yaitu Perda No. 15 Tahun 2001 yang mengatur
terkai sistem manajemen perikanan di daerahnya. Adanya aturan ini membuat hak dan
wewenang pengelolaan perairan menjadi murni dimiliki oleh provinsi NTB. Selain itu,
pemerintah provinsi juga dapat lebih leluasa dalam hal perancangan aturan manajemen dan
praktek pengelolaan perairan yang berasaskan pada kearifan lokal serta penerapan adat untuk
hasil perairan yang berkelanjutan.

8. Desentralisasi Sektor Kehutanan Indonesia

Indonesia memiliki luas hutan terbesar ketiga di dunia. Hal tersebut menjadikan Indonesia
sebagai paru-paru dunia. Hutan-hutan ini tentunya tersebar di berbagai wilayah Indonesia.
hutan yang dimiliki oleh negara ini pun bermacam-macam jenisnya, baik itu hutan savanah,
hutan tropis, hutan hujan, hingga hutan lindung. Hutan-hutan tersebut merupakan suatu
sumber daya alam dengan potensi pengembangan yang sangat besar bagi Indonesia. pada
masa sebelum adanya penerapan asas desentralisasi di Indonesia, semua keuntungan dari
hasil hutan diperoleh dan dikelola oleh pemerintah pusat.

Hal ini menyebabkan terjadinya ketimpangan pembangunan di antara pemerintah pusat


dengan pemerintah daerah. Maka dari itu, semenjak adanya UU No. 22 Tahun 1999 tentang
otonomi daerah, asas desentralisasi diterapkan di Indonesia, khususnya dalam hal
pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Pada akhirnya, hutan dikelola oleh pemerintah daerah
dimana hutan tersebut berada. Dengan begitu, praktek pengusahaan dan perlindungan hutan
beserta makhluk hidup yang ada di dalamnya dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dengan
tetap memperhatikan kekayaan budaya, adat, dan juga kearifan lokal serta dengan tidak
melupakan penjagaan keseimbangan ekosistem.

9. Pengembangan Kawasan Kota Bandung sebagai Smart City

Salah satu hak yang dimiliki oleh pemerintah dengan adanya kebijakan otonomi daerah di
Indonesia yaitu kebebasan untuk menata daerahnya sendiri atau melakukan pengembangan
daerah dengan tetap melaporkan hal tersebut kepada pemerintah pusat. Hak ini nampaknya
dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah kota Bandung dengan menerapkan kebijakan
pengembangan kawasan kota Bandung sebagai Smart City atau kota pintar. Dikatakan
sebagai kota pintar karena kota ini sangat memanfaatkan teknologi di dalam pelaksanaan
pemerintahan kota.

Bandung Smart City adalah konsep sebuah kota yang memiliki jaringan terjalin dalam
berbagai bidang, seperti penanggulangan kemacetan, penumpukan sampah, pengawasan
terhadap kerusakan sarana prasarana kota, dan lain sebagainya. Setidaknya terdapat empat
ratus aplikasi yang telah diluncurkan oleh pemerintah kota Bandung dalam rangka
mewujudkan kota Bandung sebagai Smart City. Penerapan kebijakan ini telah dilakukan
semenjak tahun 2014 dan masyarakat sangat mengapresiasi apa yang dilakukan oleh
pemerintah kota Bandung. Bahkan, kebijakan kota Bandung ini ditiru oleh dua puluh
sembilan kota lain di Indonesia.

10. Penerapan Aturan Mengenai Angkutan Online di Kota Bogor


Pada era komunikasi dan informasi seperti saat ini, perkembangan teknologi pada berbagai
bidang kehidupan merupakan suatu hal yang pasti dan tidak dapat dielakkan. Apabila kita
mengelak darinya, dan bahkan cenderung melawan dengan keras, bukan tidak mungkin jika
kita sendiri tergerus dengan teknologi tersebut. Yang dapat kita lakukan adalah menyaring
teknologi tersebut dan bersahabat dengan teknologi yang benar-benar bermanfaat. Beberapa
waktu yang lalu, terjadi banyak bentrok antara pengemudi angkutan Online dengan
pengemudi angkutan konvensional, khususnya di kota Bogor.

Bentrok terjadi dan membuat masyarakat ketakutan untuk melalui beberapa ruas jalan utama
di Bogor. Saat itu, belum ada aturan yang pasti mengenai angkutan Online dari pemerintah
pusat sehingga hal ini membuat pemerintah kota Bogor harus berpikir dan bertindak cepat
untuk meredam keributan dan menjaga keamanan kota. Oleh karena itu, dibuatlah suatu
peraturan wali kota (perwali) yang disahkan dan diterapkan pada pekan pertama bulan April
2017. Perwali ini mengatur tentang jumlah armada angkutan Online yang beroperasi di kota
Bogor sehingga tidak menimbulkan kemacetan, pangkalan angkutan Online dan
konvensional, jangkauan layanan angkutan Online, titik penjemputan penumpang, dan
kualitas armada angkutan Online. Aturan ini ditanggapi secara baik oleh perwakilan angkutan
Online dan konvensional sehingga penyebab konflik sosial dapat diatasi dan keamanan
tercipta kembali di kota hujan tersebut.

Pembahasan panjang di atas merupakan penjelasan secara rinci mengenai apa saja yang
termasuk ke dalam contoh dari otonomi daerah di Indonesia yang dapat penulis sampaikan
pada kesempatan yang baik ini. Penulis berharap, dengan pembaca memahami materi ini,
maka pembaca dapat dengan lancar menyebutkan apa saja yang termasuk ke dalam contoh
penerapan otonomi daerah di Indonesia. secara lebih jauhnya, pembaca dapat mengkritisi
apabila terdapat penerapan otonomi daerah yang tidak sesuai dengan tata peraturan hukum
yang berlaku. Otonomi daerah dapat kita pandang sebagai solusi agar tidak terjadi
ketimpangan di dalam pembangunan pusat pemerintahan dengan pembangunan di daerah.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dengan melihat berbagai fakta yang terjadi di lapangan tersebut, prospek otonomi daerah
untuk menuju masyarakat lokal yang sejahtera masih jauh sekali untuk digapai. Para elite
pusat dan daerah yang justru disejahterakan oleh otonomi daerah, namun hasilnya tidak
merembes ke bawah. Jika sudah demikian adanya, akan sangatlah sulit mengharapkan
otonomi daerah menjadi jalan keluar bagi kesejahteraan masyarakat. Beberapa kalipun ada
proses revisi UU Pemerintahan Daerah, namun substansinya masih menyenangkan elite
daripada masyarakat.Sama saja otonomi daerah hanyalah rekayasa politik untuk
menyembunyikan kepentingan politik tertentu. Diperlukan adanya kesadaran bersama baik
itu pusat,daerah, maupun masyarakat bahwa otonomi daerah harus kembali pada jalannyasemula yakni
mensejahterakan masyarakat. Jika semua pihak belum sadar,otonomi daerah sama saja
dengan retorika politik yang menghabiskan banyak anggaran Negara.

Bahwa otonomi daerah merupakan suatu bentuk/cara pemerintahan dengan menggunakan


dan memanfaatkan seluruh potensi yang ada di daerah tersebut untuk dapat dipergunakan
seoptimal mungkin untuk pembangunan kesejahteraann daerah tersebut. Hak-hak dan
kewenangan daerah untuk meregulasi, mengatur dan menetapkan segala bentuk kebikajakan
sendiri tanpa harus sentralistik dan mengacu kepada kebijakan yang lainnya. Otonomi dengan
kekuatan yang memenuhi segala aspek, baik ekonomi,social dan politik akan membawa
masyarakat kepada kesejahteraan hidup, karena pemrintah akan lebih cepat menemukan
berbagai permasalahan sekaligus pemecahannya dengan kekuatan aspek-aspek di atas tadi.

Salah satu kunci keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dalam menghadapi era global
adalah dengan mengembangkan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dengan demikian,
diharapkan mekanisme perumusan kebijakan yang akomodatif terhadap aspirasi masyarakat
daerah dapat dibagun, sehingga keberadaan otonomi daerah akan lebih bermakna dan pada
akhirnya akan meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat.

B. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih
fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber – sumber yang
lebih banyak yang tentunga dapat di pertanggung jawabkan.

Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi
terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah dijelaskan.
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 34 tahun 1999

http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_daerah_di_Indonesia

https://guruppkn.com/contoh-otonomi-daerah

Sabon, Max Boli, 2011, Hukum Otonomi Daerah. Penerbit Universitas Atma Jaya. Jakarta.

J. Kaloh, 2002, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan
Lokal dan Tantangan Global, Rineka Cipta, Jakarta.

Wijaya, 2003, HAW. Otonomi Desa Merupakan Otonomi Asli Bulat Dan Utuh. Rajawali
Pers Jakarta.

https://ngada.org/pp108-2000.html

Anda mungkin juga menyukai